• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Politik Calon Legislatif Perempuan Nomor Urut Satu Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008 (Studi Pada Calon Legislatif Perempuan DPRD Kota Medan) Tentang Suara Terbanyak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sikap Politik Calon Legislatif Perempuan Nomor Urut Satu Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008 (Studi Pada Calon Legislatif Perempuan DPRD Kota Medan) Tentang Suara Terbanyak."

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Sikap Politik Calon Legislatif Perempuan Nomor Urut Satu Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008 Tentang SuaraTerbanyak

(Studi Pada Calon Legislatif Perempuan DPRD Kota Medan)

D I S U S U N

Oleh :

Nama : Putri Afiati

Nim : 050906049

Dosen Pembimbing : Muryanto Amin, S.sos. M.Si Dosen Pembaca : Drs. Tonny P. Situmorang, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Sikap Politik Calon Legislatif Perempuan Nomor Urut Satu Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008

(Studi Pada Calon Legislatif Perempuan DPRD Kota Medan)

Tentang Suara Terbanyak

Nama : Putri Afiati Nim : 050906049

Departemen : Ilmu Politik

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ABSTRAKSI

Pemilihan umum legislatif tahun 2009 secara langsung telah ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Hal tersebut ditandai dengan berlakunya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang sistem suara terbanyak. Dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008 yang isinya yaitu memutuskan bahwa memberlakukan atau mengesahkan sistem pemilihan suara terbanyak dalam pemilihan umum calon legislatif tahun 2009, maka keputusan itu kemudian memicu banyak pendapat pro dan kontra dari berbagai pihak, terutama bagi kaum perempuan yang selama ini menjadi pihak yang diperjuangkan keterwakilannya dengan upaya

affirmative action 30%. Berlakunya keputusan MK ini maka secara otomatis sistem

kuota 30% bukan lagi menjadi jaminan akan terpilihnya calon legislatif perempuan nantinya dalam pemilihan umum, serta dengan sendirinya akan merugikan calon legislatif perempuan yang pada saat itu telah menduduki nomor urut satu dalam pencalonan.

Sikap mengandung suatu penilaian yang dapat mempengaruhi suatu tindakan dalam diri seseorang, oleh sebab itu sikap politik adalah perilaku seseorang untuk merespon, menilai, dan mengemukakan pendapat terhadap adanya suatu keputusan.

Dengan adanya permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui sikap dan pemahaman dari beberapa calon legislatif perempuan di nomor urut satu terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang suara terbanyak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta menguraikan bagaimana sebenarnya sikap dari calon legislatif perempuan nomor urut satu terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu dengan menggunakan metode wawancara dan studi pustaka, dan jenis analisa data dengan pendekatan kualitatif yaitu yang hasil penelitiannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.

Sikap yang dominan dalam penelitian ini yaitu sikap positif yaitu banyak calon legislatif perempuan nomor urut satu menyatakan setuju dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Dalam arti, pandangan dan tanggapan dari kaum perempuan tentang suara terbanyak tersebut lebih banyak yang beranggapan bahwa kesetaraan dan keadilan itu terwujud atas dasar upaya dari kaum perempuan itu sendiri, dan sistem suara terbanyak tersebut sangat mendukung upaya kaum perempuan untuk harus lebih berupaya keras dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan tersebut.

(3)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Perumusan Masalah ... 9

I.C Tujuan Penelitian ... 10

I.D. Manfaat Penelitian ... 11

I.E. Kerangka Teori ... 11

I.E.1. Sikap ... 11

I.E.2. Patriarki... 14

I.E.3. Feminisme ... 15

I.E.3.1. Feminisme Liberal ... 17

I.E.3.2. Feminisme Radikal ... 22

I.F. Definisi Konsep ... 27

I.G. Definisi Operasional ... 28

i.H. Metode Penelitian ... 30

I.H.1. Jenis Penelitian ... 30

I.H.2. Lokasi Penelitian... 30

I.H.3. Teknik Pengumpulan Data ... 31

I.H.4. Teknik Analisa Data... 32

I.H.5. Sistematika Penulisan ... 33

BAB II : ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.22&24/PUU-VI/2008 TENTANG SUARA TERBANYAK II.A. Sekilas Tentang Gerakan Perempuan dan Usulan 30% Kuota Perempuan Dalam Politik... 35

(4)

BAB III : ANALISIS SIKAP POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN NOMOR URUT 1 DPRD KOTA MEDAN TERHADAP KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.22&24/PUU-VI/2008 TENTANG SUARA TERBANYAK

III.A. Sikap ... 57

III.B. Sikap Berdasarkan Perspektif Feminisme ... 79

III.B.1. Feminisme Liberal ... 80

III.B.2. Feminisme Radikal ... 86

BAB IV : KESIMPULAN IV.A. Kesimpulan ... 94

(5)

Sikap Politik Calon Legislatif Perempuan Nomor Urut Satu Terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008

(Studi Pada Calon Legislatif Perempuan DPRD Kota Medan)

Tentang Suara Terbanyak

Nama : Putri Afiati Nim : 050906049

Departemen : Ilmu Politik

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ABSTRAKSI

Pemilihan umum legislatif tahun 2009 secara langsung telah ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Hal tersebut ditandai dengan berlakunya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang sistem suara terbanyak. Dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 & 24/PUU-VI/2008 yang isinya yaitu memutuskan bahwa memberlakukan atau mengesahkan sistem pemilihan suara terbanyak dalam pemilihan umum calon legislatif tahun 2009, maka keputusan itu kemudian memicu banyak pendapat pro dan kontra dari berbagai pihak, terutama bagi kaum perempuan yang selama ini menjadi pihak yang diperjuangkan keterwakilannya dengan upaya

affirmative action 30%. Berlakunya keputusan MK ini maka secara otomatis sistem

kuota 30% bukan lagi menjadi jaminan akan terpilihnya calon legislatif perempuan nantinya dalam pemilihan umum, serta dengan sendirinya akan merugikan calon legislatif perempuan yang pada saat itu telah menduduki nomor urut satu dalam pencalonan.

Sikap mengandung suatu penilaian yang dapat mempengaruhi suatu tindakan dalam diri seseorang, oleh sebab itu sikap politik adalah perilaku seseorang untuk merespon, menilai, dan mengemukakan pendapat terhadap adanya suatu keputusan.

Dengan adanya permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui sikap dan pemahaman dari beberapa calon legislatif perempuan di nomor urut satu terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang suara terbanyak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta menguraikan bagaimana sebenarnya sikap dari calon legislatif perempuan nomor urut satu terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu dengan menggunakan metode wawancara dan studi pustaka, dan jenis analisa data dengan pendekatan kualitatif yaitu yang hasil penelitiannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.

Sikap yang dominan dalam penelitian ini yaitu sikap positif yaitu banyak calon legislatif perempuan nomor urut satu menyatakan setuju dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Dalam arti, pandangan dan tanggapan dari kaum perempuan tentang suara terbanyak tersebut lebih banyak yang beranggapan bahwa kesetaraan dan keadilan itu terwujud atas dasar upaya dari kaum perempuan itu sendiri, dan sistem suara terbanyak tersebut sangat mendukung upaya kaum perempuan untuk harus lebih berupaya keras dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan tersebut.

(6)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Kaum perempuan selalu menjadi objek pembicaraan, terutama pada masa yang

berdekatan dengan dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). Pada dasarnya pemilihan

umum memang merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik

yang demokratis, sehingga nantinya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki

kebebasan dalam menentukan hak pilihnya, yang pada hakekatnya hubungan dan

kedudukan antara laki-laki dan perempuan haruslah sama, seimbang dan setara.

Pergerakan dan perjuangan wanita Indonesia secara nyata lahir bersama-sama

dengan dikobarkannya semangat nasional oleh pemimpin-pemimpin nasional pada saat

dikumandangkan “Sumpah Pemuda” di seluruh tanah air pada tahun 1928. Semenjak saat

itulah berbagai perkumpulan dan organisasi berdiri yang dilandasi oleh kesadaran bahwa

kaum wanita sanggup dan mampu ikut mengatur masyarakat. Adapun kesadaran

perempuan tersebut akan memberikan dampak besar dalam mendorong kepada keadilan

dan keharmonisan hidup bersama dengan laki-laki.

Jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 memberi harapan baru bagi

terjadinya reformasi yang menyeluruh dalam sistem politik, pemerintahan, ekonomi, dan

sosial.1

1

Dr. Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Wacana, 2005, hal.52

Pada masa reformasi, banyak dilihat suatu perubahan-perubahan yang signifikan

meskipun dalam hal ini partisipasi perempuan pada saat itu dalam kancah politik belum

(7)

perempuan yang sebelumnya hanya sekedar menjadi pemilih, tetapi kemudian perempuan

berkembang menjadi memilih dan dipilih. Perkembangan tersebut membawa pengaruh

besar bagi kaum perempuan, ini dipengaruhi berbagai hal yang diantaranya adalah

meningkatnya kesadaran perempuan terhadap keterlibatannya dalam bidang politik,

bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan kekurangan pengetahuannya tentang

politik. Sehingga dengan adanya perkembangan tersebut, kaum perempuan dapat

semakin meningkatkan kesadaran akan haknya untuk berpolitik, dan tidak hanya sebagai

pemilih yang pasif, namun dapat menunjukkan kiprahnya bahwa berpolitik adalah bagian

hak azasi yang harus direbut untuk menentukan masa depan kaum perempuan itu sendiri.

Melihat fakta-fakta yang muncul tersebut maka isu kuota untuk perempuan dapat

diwujudkan. Dengan demikian pada tahun 2003, Undang-undang No.12 pasal 65 ayat (1)

tentang pemilu mengenai kuota perempuan disahkan, yang menyatakan bahwa

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR,

DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.

Ini merupakan langkah awal perjuangan politik perempuan yang mendapat

dukungan formal untuk berkiprah di bidang politik. Adapun kuota perempuan diterapkan

dengan alasan yaitu kuota perempuan bukan diskriminasi tetapi memberikan kompensasi

atas hambatan-hambatan aktual yang mencegah perempuan dan keterlibatannya secara

adil dalam posisi politik, selain itu perempuan mempunyai hak representasi yang setara,

dan juga pengalaman perempuan diperlukan dalam kehidupan politik.2

Dengan demikian, meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan

kuota 30% dalam parlemen, itu tidak menjamin peningkatan keterwakilan perempuan

dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu

2

(8)

hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya disertai

sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota

tersebut.

Dalam bidang politik, hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di

panggung politik dan lembaga-lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah

dibandingkan dengan laki-laki. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik

yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari

akar budayanya dimana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi

patriarki. Dalam konteks budaya semacam ini dominasi laki-laki atas berbagai peran di

masyarakat dan di ranah publik tidak terelakkan.3

Adapun dalam UU No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat (1) tentang pemilu belum

menyentuh substansi ideal sebagai pranata hukum sebagaimana yang diharapkan, karena

sifatnya yang masih berupa “himbauan”, dimana pernyataan tersebut “tidak” atau

“belum” memberlakukan sanksi pada partai politik atas gagalnya

Tetapi bukan hanya kaum lelaki saja

yang bisa bergelut dalamnya, pada zaman modern ini juga sudah banyak perempuan yang

ikut bergelut di bidang politik, namun partisipasi perempuan dalam proses pengambilan

keputusan publik dan keterwakilan dalam lembaga pengambilan keputusan masih sangat

rendah, termasuk dalam lembaga kemasyarakatan dan birokrasi, dengan alasan

perempuan disini sering dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak sepatutnya

bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran akan

permainan kekuasaan, dengan begitu perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan

membuat kebijakan dalam hal ini.

affirmative action

3

Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal.158

(9)

Sehingga dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam bidang politik kembali

mendapatkan payung hukum dengan dikeluarkannya Undang-undang Pemilu No.10

tahun 2008, yaitu pada pasal 8 ayat 1 butir (d) dinyatakan bahwa

“Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan

menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.

Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya suatu keharusan bagi partai politik

untuk dapat menyertakan sedikitnya 30% kaum perempuan dalam kepengurusan partai.

Keterlibatan perempuan dalam pemilu dengan kuota 30% merupakan suatu peluang bagi

perempuan dengan keterwakilannya untuk dapat kiranya menyuarakan kepentingannya

serta kepentingan umum dengan membawa aspirasi dalam berbagai bidang. Adapun

wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30%,

masih menjadi wacana kontroversi. Banyak kalangan perempuan sendiri menolak dengan

alasan membatasi langkah perempuan yang ditinjau dengan hitungan statistik yang

berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Tetapi sebagian kalangan perempuan yang

lain menyambut wacana tersebut dengan langkah maju untuk memberi gerak bagi

perekrutan kaum perempuan dalam dunia politiknya. Dengan adanya ketentuan kuota 30

persen keterwakilan perempuan dalam politik, maka dapat memberikan suatu kemajuan

bagi kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Dengan begitu

sekarang perempuan bebas mencalonkan dirinya untuk dapat menduduki jabatan

politiknya.

Perjuangan emansipasi di bidang politik mendapatkan angin segar. Hal tersebut

ditandai dengan adanya Undang-undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur

(10)

maupun dalam anggota legislatif, dimana setiap tiga nama yang didaftarkan dalam caleg,

harus menyertakan satu nama perempuan. Hal tersebut jelas terdapat dalam UU No.10

tahun 2008 pasal 55 ayat (2) yang menyatakan bahwa

“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3

(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”.

Undang-undang pemilu tersebut telah menunjukkan bahwa pentingnya perhatian

khusus ke perempuan. Hal itu tampak dengan adanya ketentuan affirmative action untuk

calon anggota legislatif perempuan yang berupa pemberian kuota ke perempuan. Adapun

penetapan kuota tersebut dipandang merupakan mekanisme paling efektif untuk

menjamin akses perempuan di bidang politik. Kuota tersebut bisa menjadi titik pijak

dimulainya pembaruan semua kebijakan dan perundang-undangan yang lebih berspektif

gender dan lebih sensitif atas kepentingan perempuan.

Adanya upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan

dalam politik akan kembali diuji pada pemilu 2009. Beberapa peraturan

perundang-undangan pun telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam

menempatkan calon anggota legislatifnya, hal itu terdapat dalam UU No.10/2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta UU No.2/2008 tentang Partai Politik telah

memberikan mandat kepada partai politik untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan

dalam politik, terutama di Lembaga Perwakilan Rakyat.

Affirmative action tersebut merupakan diskriminasi positif (positive

discrimination) atau suatu langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat

(11)

menerapkannya adalah hukum, karena jaminan pelaksanaannya harus ada dalam

Konstitusi dan UU.

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat

sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat

pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik itu penting yaitu

kuota perempuan berfungsi sebagai pencapaian landasan keadilan, pada pelaksanaannya

tidak dapat menghindari dari persiapan pengkaderan politisi perempuan yang handal

dengan sebanyak-banyaknya sehingga ruang yang dicanangkan dapat terisi dengan baik.

Selain itu karakteristik kapasitas, pengalaman, nilai, dan cara pandang yang berbeda yang

dimiliki perempuan dapat memberikan kontribusi yang berbeda pada perpolitikan. Paling

tidak, pola asuh yang diterapkan pada perempuan akan membuat suasana lembaga dewan

tidak terlalu agresif dan penuh dengan kekerasan, menjadi diwarnai dengan berbagai

konsensus, musyawarah mufakat. Selain itu, tujuan utama dari affirmative action atau

tindakan khusus sementara ini adalah untuk memperbaiki ketimpangan yang disebabkan

oleh perbedaan ras, bahasa, gender, dan kelompok sosial, maupun kasta. Dengan

memberikan kesempatan dan keberpihakan khusus pada individu-individu yang berasal

dari kelompok-kelompok yang berbeda diharapkan dapat menciptakan kesetaraan dan

keadilan.

Tindakan khusus sementara (affirmative action) tersebut bertujuan memberi

peluang lebih besar bagi perempuan untuk bisa terlibat aktif di politik formal dalam

posisi pengambilan keputusan, melalui partai politik maupun sebagai kandidat legislatif

di semua tingkatan. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat yang

(12)

penetapan calon legislatif akan memakai sistem berdasarkan suara terbanyak. Mahkamah

Konstitusi (MK) telah menghapus sistem nomor urut dalam Undang-undang Pemilu dan

sekarang penetapan calon anggota legislatif terpilih kini ditentukan berdasarkan suara

terbanyak,

Berdasarkan maksud dari pasal 214 UU No.10/2008 tersebut diatas dapat dilihat

bahwa pasal tersebut hanya menguntungkan para calon legislatif yang berada di nomor

urut jadi yakni nomor urut 1, 2, dan 3. Sedangkan, calon legislatif yang berada di nomor

urut buntut meski mendapatkan suara terbanyak, tapi perolehan suaranya itu nantinya

akan diberikan kepada nomor urut jadi (1, 2, dan 3) tersebut. Oleh sebab itu, Mahkamah

Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e

UU No.10/2008 tentang Pemilu tersebut.

demikian putusan MK atas uji materi UU No.10/2008 tentang Pemilu yaitu

pasal 214 huruf a, b, c, d dan e.

Sehingga pada tanggal 23 Desember 2008, sistem pemilihan umum calon

legislatif telah mengalami revisi, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan

keputusan No.22 & 24/PUU-VI/2008 yang isinya memutuskan bahwa memberlakukan

atau mengesahkan sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak dalam pemilu calon

legislatif 2009.

Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004

seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan, dan hasilnya pada Jadi, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dapat memberi

kesempatan kepada para calon legislatif yang tidak berada di nomor urut satu untuk dapat

menunjukkan dirinya bahwa walaupun tidak di urutan pertama tetapi dapat meraup suara

terbanyak, hal tersebut menjadi suatu motivasi bagi para caleg untuk dapat berjuang dan

(13)

saat itu adalah 5 orang perempuan yang terpilih dari 45 orang anggota DPRD Kota

Medan yang terpilih. Sementara itu pada pemilu 2009, perempuan dalam Daftar Calon

Tetap (DCT) untuk DPRD Kota Medan yaitu sebanyak 463 orang dari jumlah

keseluruhan yaitu sebanyak 1.378 orang, dan hasilnya hanya 6 orang perempuan yang

terpilih dari 50 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih. Sedangkan dalam Daftar

Calon Tetap (DCT) DPRD Kota Medan pada Pemilu 2004 yang lalu, jumlah perempuan

yang berada di nomor urut satu yaitu sebanyak 12 orang dan dalam Daftar Calon Tetap

(DCT) pada pemilu 2009, jumlah perempuan yang berada di nomor urut satu bertambah

menjadi 23 orang.4

Dengan demikian, berdasarkan wacana tersebut di atas maka disinilah penulis

tertarik ingin meneliti dan ingin mengetahui seberapa jauh pandangan, tanggapan, dan Data tersebut diatas mengindikasikan bahwa masih mendominasinya kaum

laki-laki di parlemen. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masih rendahnya keterwakilan

perempuan dalam lembaga legislatif jika dibandingkan dengan kaum laki-laki yang

terpilih pada saat itu. Beberapa fakta pun mendukung bahwa adanya ketidakinginan kaum

perempuan untuk terjun dalam bidang politik. Adapun dalam kenyataannya caleg

perempuan yang dicalonkan partai politik lebih banyak hanya menjadi pelengkap untuk

memenuhi kuota 30%. Kekurangan caleg perempuan tersebut di tandai dengan adanya

sebagian besar perempuan yang masih beranggapan kalau politik bukanlah dunianya.

Dalam hal ini budaya patriarki juga salah satu faktor yang membuat perempuan tidak

ingin terjun di dunia politik, karena politik masih identik dengan dunia maskulin (kaum

pria). Padahal dalam hal ini, jika perempuan ikut serta didalamnya maka nasib kaum

perempuan akan dapat diperjuangkan nantinya.

4

(14)

tindakan dari calon legislatif perempuan yang berada di nomor urut satu terhadap

keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Untuk itulah melalui penelitian ini,

penulis ingin mengetahui serta membahas tentang sikap calon legislatif perempuan yang

menduduki nomor urut satu dalam menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)

tentang sistem suara terbanyak.

I.B. Perumusan Masalah

Dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22 &

24/PUU-VI/2008 yang isinya yaitu memutuskan bahwa memberlakukan atau

mengesahkan sistem pemilihan suara terbanyak dalam pemilihan umum calon legislatif

tahun 2009. Keputusan itu kemudian memicu banyak pendapat pro dan kontra dari

berbagai pihak.

Bagi yang pro, keputusan berdasarkan suara terbanyak dianggap sebagai jalan

keluar yang paling konstitusional dan harapannya adalah terpilihnya anggota-anggota

legislatif yang memiliki legalitas dan makin dekat dengan konstituennya. Selama ini

dirasa bahwa para anggota legislatif telah 'terpisah' dari para pemilih karena berdasarkan

sistem nomor urut tersebut. Situasi itu kemudian membawa partai politik memiliki

peranan yang besar dalam menentukan anggota legislatif yang akan ditempatkan di kursi

dewan tersebut. Sedangkan bagi yang kontra, keputusan MK tersebut merupakan

liberalisasi politik yang akan berakibat pada meningkatnya politik orang kaya karena

dengan sistem suara terbanyak tersebut hanya calon yang memiliki kemampuan material

(15)

Berdasarkan data yang diperoleh, tingkat partisipasi dan minat perempuan untuk

mengikuti pencalonan pada pemilu 2009 cukup tinggi, dimana jumlah perempuan yang

terdaftar didalamnya berjumlah 463 orang, dan hanya 23 orang yang menduduki nomor

urut satu, hal tersebut dapat dilihat pada

Dengan demikian, yang menjadi masalah dalam hal ini yaitu dengan adanya

keputusan

Daftar Calon Tetap (DCT) DPRD Kota Medan

pada Pemilu 2009.

MK tentang sistem suara terbanyak tersebut seolah-olah mementahkan

perjuangan kaum perempuan dalam berpolitik, karena hal itu berarti menandakan

hilangnya porsi perempuan dalam anggota dewan yang tadinya sudah aman dengan

adanya jumlah kuota tertentu sebagai syarat untuk dapat duduk di lembaga legislatif.

Seharusnya perjuangan kaum perempuan dalam bidang politik mendapatkan bantuan

dalam mengupayakan serta meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif,

yang dikarenakan masih besarnya dominasi kaum pria di lembaga tersebut dan

seolah-olah keputusan MK ini tidak membantu perjuangan mereka. Dengan adanya

permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui sikap dari beberapa calon

legislatif perempuan di nomor urut satu terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)

tersebut.

1. Bagaimana pandangan, tanggapan, dan tindakan calon legislatif perempuan

nomor urut satu DPRD Kota Medan 2009 terhadap keputusan Mahkamah

Konstitusi (MK)

Oleh sebab itu, berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah diuraikan

diatas, maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

No.22 & 24/PUU-VI/2008

2. Bagaimana pemahaman calon legislatif perempuan nomor urut satu DPRD Kota

Medan 2009 terhadap gerakan feminisme?

(16)

I.C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pemikiran dari calon legislatif perempuan nomor urut satu

DPRD Kota Medan terhadap akibat yang ditimbulkan dari keputusan Mahkamah

Konstitusi (MK) tentang sistem suara terbanyak.

2. Untuk mengetahui pola sikap dan tindakan gerakan feminisme yang dilakukan

oleh calon legislatif perempuan nomor urut satu DPRD Kota Medan akibat

adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sistem suara terbanyak.

I.D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini berfungsi sebagai referensi tambahan bagi

mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

khususnya mahasiswa/i Departemen Ilmu Politik.

2. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan pengalaman

dalam melihat bagaimana sebenarnya kedudukan dan perkembangan kaum

(17)

I.E. Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi dan proposisi untuk

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan

hubungan antar konsep.5

Konsep sikap pertama kali diangkat ke dalam bahasan ilmu sosial oleh Thomas

(1918) yaitu seorang sosiolog yang banyak menelaah tentang kehidupan dan perubahan

sosial. Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu sosial semenjak awal abad ke

20. Sikap (attitude) berasal dari bahasa Italia “attitudine” yaitu “Manner of placing or

holding the body, or way of feeling, thinking and behaving” yang artinya sikap adalah

cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Dalam penelitian ini, penulis mengambil teori-teori yang

berkaitan dengan masalah diatas. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang teori yang

mendukung penelitian ini.

I.E.1. Sikap

6

• Menurut Myers (1996)

Sikap juga merupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam psikologi

sosial, yang pada dasarnya para pakar tidak selalu sepakat tentang definisinya. Adapun

definisi sikap menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

Sikap adalah reaksi evaluatif yang baik atau tidak baik untuk mengatakan sesuatu

atau seseorang, yang diperlihatkan pada kepercayaan seseorang, perasaan atau perilaku

yang diharapkan. (Attitude is a favourable or unfavourable evaluative reaction to ward

something or someone, exhibited in one’s belief, feelings or intended behavior).

5

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37

6

(18)

• Menurut Azjen (1988)

Sikap adalah watak untuk merespon yang baik atau tidak baik pada suatu objek,

orang, lembaga atau peristiwa. (An attitude is a disposition to respond favourably or

unfavourably to an object, person, institution or event).

• Menurut Eagly & Chaiken (1992)

Sikap adalah suatu kecenderungan psikologis yang dinyatakan dengan

mengevaluasi kesatuan tertentu dengan derajat tingkat dari beberapa kebaikan atau

keburukan. (Attitude is a psychological tendency that is expressed by evaluating a

particular entity with some degree of favor or disfavor).7

Sementara itu tidak seluruh konsensus diantara para ilmuan sosial yang

memperhatikan definisi sikap, ada kesetujuan mandiri yang mempengaruhi atau menolak

sebagai suatu komponen yang kritis pada konsep sikap itu. Lain halnya dengan Louis

Thurstone adalah seorang ahli psikologi sosial yang pada tahun 1928 mendefinisikan

sikap sebagai “jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka,

prapemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu

hal khusus”. Tetapi di tahun 1931 ia berkata secara sederhana bahwa “sikap adalah

menyukai atau menolak suatu obyek psikologis”.8

Dari definisi-definisi tersebut tampak bahwa meskipun ada perbedaan, semuanya

sependapat bahwa ciri khas dari sikap adalah mempunyai objek tertentu (orang, perilaku,

konsep, situasi, benda, dan sebagainya), mengandung penilaian (setuju-tidak setuju dan

suka-tidak suka).9

7

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hal.232

8

Daniel J. Mueller, Mengukur Sikap Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hal.4

9

Sarlito Wirawan Sarwono, Loc.Cit

Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap adalah pengaruh atau penolakan,

(19)

suatu penilaian yang dapat mempengaruhi suatu tindakan. Adapun terkait dengan judul

diatas, maka sikap politik adalah perilaku seseorang untuk merespon, menilai, dan

mengemukakan pendapat terhadap suatu keputusan, dimana politik adalah suat

pembentukan dan pembagia

pada proses

Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa sikap tidak dapat dilihat secara

langsung. Untuk mengatahui sikap seseorang terhadap suatu objek, maka dapat dilihat

melalui tiga domain sikap, yaitu pengetahuan (kognisi), perasaan (afek) dan perilaku

(konasi).10

Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana

kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaaan atas kaum Sehingga yang menjadi titik tolak pengukuran sikap dalam penelitian ini yaitu

diukur berdasarkan pandangan, tanggapan, dan tindakan seseorang dalam menyikapi

suatu keputusan.

I.E.2. Patriarki

Dalam pencapaian tujuan dan partisipasi yang dapat menciptakan kesetaraan dan

keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan akan memberikan

keseimbangan yang lebih tepat mencerminkan komposisi masyarakat dan diperlukan

untuk memperkuat dan memajukan fungsi demokrasi yang sejati dalam suatu negara.

Dalam hal ini, peran kaum perempuan dalam bidang politik masih sangat kurang.

Kendala utama disebabkan oleh mendominasinya peran laki-laki dari pada perempuan

dalam hal kekuasaan atau yang disebut dengan patriarki. Budaya patriarki di kalangan

masyarakat telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai kehidupan.

10

(20)

perempuan.11 Engels (1972) berpendapat bahwa asal mula patriarki berkaitan dengan mulai adanya pemilikan pribadi dan pewarisan yang berujung pada pengaturan jenis

kelamin perempuan dalam satuan keluarga monogami. Namun pendapatnya itu dikritik

karena mereduksi subordinasi perempuan pada faktor-faktor ekonomis dan

ketidakmampuannya menjelaskan ketimpangan gender dalam masyarakat pra dan

pasca-kapitalis.12

Patriarki menurut Kamla Bhasin adalah sistem yang selama ini meletakan kaum

perempuan terdominasi dan tersubordinasi (patriarki). Hubungan antara perempuan dan

laki-laki bersifat Hierarkis : yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan

perempuan sub-ordinat, (laki-laki menentukan, perempuan ditentukan)

Dalam hal ini, perdebatan feminis pun berkisar di seputar soal kemungkinan

mengembangkan teori umum tentang patriarki.

13

Seperti yang dikemukakan oleh para feminis sosialis dan marxis memusatkan

perhatiannya pada soal otonomi maupun hubungan antara kapitalisme dan patriarki. Para

feminis yang lain mengemukakan pandangan yang berbeda-beda tentang manfaat dari

upaya menggabungkan marxisme dan feminisme menjadi teori tunggal “bersistem

ganda”, mengingat tak memadainya pembahasan gender dalam teori marxis dan masih

perlunya membahas bentuk-bentuk penindasan lain seperti yang berkaitan dengan soal

ras.

14

11

Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal.18

12

Ibid

Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah ciri khas masalah patriarki yang

selalu ada dimana-mana dan perubahannya sepanjang sejarah maupun perwujudannya

yang berbeda-beda secara kultural.

13

Dapat dilihat di

14

(21)

I.E.3. Feminisme

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau

kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang

dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya, dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang

dipelopori oleh

masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di

selatan

yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan

di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai

universal sisterhood.15

Kata feminisme berasal dari bahasa Perancis yang pertama kali digunakan pada

tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya.

Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di

Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata feminisme dan femeniste.

Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada

tahun 1906. Gerakan feminisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut

hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak-hak perempuan di bidang sosial, politik, dan

ekonomi.16

Gerakan feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan

hak-hak perempuan dalam masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan

perhatian kepada “masalah perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya

permasalahan ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi

15

Dapat dilihat pada Maret 2009

16

(22)

pada dasarnya perempuan adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan sama

dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Gerakan

feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan

pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk

mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut.17 Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman

yang bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang

asumsi dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan,

yaitu pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang.

Feminisme secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu

feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal merupakan dasar pergerakan

perempuan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham demokrasi

liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua

individu. Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra publik dan hak asasi

perempuan. Berbeda dengan Feminisme liberal, feminisme radikal melihat persoalan

tidak sebatas pada hak yang bersifat publik, mereka mempersoalkan dasar struktur

masyarakat yang menurut mereka patriarkis. Oleh karena itu, jika feminisme liberal

beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka

bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan. Berikut ini adalah

penjelasan lebih rinci tentang teori feminisme liberal dan feminisme radikal.

17

(23)

I.E.3.1. Feminisme Liberal

Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang

memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Gagasan feminisme liberal telah

muncul sejak akhir abad-19 dan awal abad-20, namun baru pada tahun 60-an gerakan ini

kelihatan menonjol, dan akhirnya mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh

dunia, khususnya dunia ketiga saat ini.18 Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai

moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi

kaum perempuan. Oleh karena itu jalan keluar yang ditawarkan oleh aliran ini adalah

perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa atau mampu bersaing di berbagai

aspek kehidupan dalam persaingan bebas, sehingga mempunyai kedudukan yang setara

dengan laki-laki.19

Feminisme liberal berupaya mencapai kesetaraan bagi perempuan dengan cara

mereformasi struktur-struktur institusional yang ada.

Menurut aliran ini, setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan

bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan

keterbelakangan pada perempuan yaitu disebabkan oleh kesalahan pada diri perempuan

itu sendiri. Maka dalam hal ini, kaum perempuan harus dapat bersaing yang nantinya

dapat mempunyai kedudukan yang setara dengan kaum laki-laki.

20

Peter Beilharz, Op.Cit., hal.17

Inilah ragam feminisme yang

bekerja untuk mengintegrasikan perempuan ke dalam struktur mainstream masyarakat. Ia

berakar pada teori kontrak sosial pemerintahan yang dibentuk Revolusi Amerika. Mereka

tampak memusatkan energinya untuk membangun dan melindungi kesempatan yang

(24)

bermaksud membangun kesempatan yang setara bagi perempuan dalam ruang publik

dalam terminologi-terminologi kesempatan kerja dan upah.21

Tokoh dalam aliran ini adalah

merupakan solusi, menurutnya kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi

pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya

serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah

golongan tertindas. Feminisme liberal dalam hirauan utamanya yaitu laki-laki dan

perempuan memiliki hak-hak yang sama. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan

kesetaraaan rasionalitas. Oleh sebab itu asumsi dasar dari feminisme liberal berakar pada

pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) berakar pada

rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Perempuan adalah makhluk

rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama

juga dengan laki-laki.

Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat

tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk

didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama

antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu

pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Itulah sebabnya usulan mereka

untuk memecahkan masalah kaum perempuan adalah dengan cara menyiapkan kaum

perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.22

21

Ali Husain Hakim, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, Jakarta: Al-Huda, 2005, hal.30

22

Dr. Mansour Fakih, Op.Cit., hal.81-82

Pada

(25)

diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam

berbagai hal. Oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaraan dan

keadilan dalam berbagai bidang.

Kesetaraan atau kesamaan atau dengan kata lain disebut dengan “equality” adalah

suatu konsep yang menunjukkan bahwa semua manusia “sama” di mata hukum.

Kesetaraan juga menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang ”sama”

untuk mendapat perlakuan yang adil, terutama kesamaan hak bagi perempuan harus

ditegakkan di dalam suatu negara. Melalui suatu perdebatan, terbentuklah teorisasi

feminis secara jelas dan meyakinkan telah menjadi perdebatan ‘persamaan dan

perbedaan’. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan

diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri, hal tersebut telah menggambarkan

perbedaan dan perspektif yang bersaing dalam teori feminis. Orang-orang yang

berkepentingan dalam menggambarkan posisi ideologi telah memetakan pencarian

‘persamaan’ ke dalam bentuk-bentuk feminisme liberal atau sosialis dan mencari

‘perbedaan’ ke dalam bentuk feminisme radikal atau kultural.23

Teori feminis liberal meyakini bahwa masyarakat telah melanggar nilai tentang

hak-hak kesetaraan terhadap wanita, terutama dengan cara mendefinisikan wanita sebagai

sebuah kelompok ketimbang sebagai individu-individu. Mazhab ini mengusulkan agar

wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Gerakan utama feminisme liberal tidak

mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan memasukan wanita ke

dalam struktur yang ada berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki. Aliran feminis

liberal melihat bahwa persamaan (posisi/ derajat) laki-laki dan perempuan itu dapat

23

(26)

dicapai melalui reformasi hukum dan politik. Perempuan dapat menyamakan posisi

dirinya dengan laki-laki di masyarakat, jika perempuan dapat mengaktualisasikan

kemampuannya. Adapun inti dari ajaran feminis liberal adalah memfokuskan pada

perlakuan yang sama terhadap wanita di luar, daripada di dalam (keluarga), perjuangan

harus menyentuh kesetaraan politik antara wanita dan laki-laki melalui penguatan

perwakilan wanita di ruang-ruang publik.24

Adapun keadilan atau yang disebut dengan “justice” dalam literatur mengenai

gender dalam teori politik disamakan dengan ‘etika keadilan’. Pertama, etika keadilan

adalah perspektif yang lebih tepat dan meyakinkan menurut ‘pandangan tidak dari

manapun’ dan oleh karena itu pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender.

Kedua, etika keadilan adalah sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender.

Ketiga, etika keadilan adalah sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus

dan spesifik secara historis yang memainkan peranan signifikan dalam proses

penggenderan identitas sosial.25

Keadilan (justice) merupakan suatu upaya untuk menempatkan suatu kaum agar

memperoleh pengakuan dan perlakuan yang adil dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam

hal ini, kaum perempuanlah yang selalu menjadi pokok pembahasannya. Berbicara

mengenai keadilan,

24

Dapat dilihat pada

dunia saat ini masih dipenuhi dengan ketidakadilan, terutama

terhadap kaum perempuan. Jumlah perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah

tangga, perempuan yang miskin, perempuan yang buta huruf dan perempuan yang

seringkali mengalami pelecehan seksual masih dalam hitungan persentase cukup tinggi.

Itulah contoh dari adanya ketidakadilan tersebut. Selain itu, dalam bidang perpolitikan,

diakses pada tanggal 10 April 2009

25

(27)

jumlah kaum perempuan yang duduk di parlemen juga masih sangat rendah bila

diband

Dalam hal ini, feminisme liberal merupakan dasar pergerakan perempuan pada

tahun 1960-an hingga 1970-an yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu

bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu.

Feminisme liberal berkaitan terutama dengan citra publik dan hak asasi perempuan. ingkan dengan kaum pria, bahkan kaum pria masih jauh lebih banyak jumlahnya

di parlemen.

Aliran feminis liberal mengupayakan terciptanya keadilan, terutama keadilan terhadap

keberadaan kaum perempuan. Oleh karenanya g

Menurut aliran feminis liberal, perempuan adalah makhluk rasional,

kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan

laki-laki baik itu dalam bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Seperti halnya

dalam bidang politik, reformasi hukum yang berperspektif keadilan melalui desakan 30%

kuota bagi perempuan dalam keterlibatannya di politik adalah merupakan kontribusi dari

pengalaman feminis liberal. Dalam pandangan feminisme liberal, keadilan dan kesetaraan

terwujud bukan dari campur tangan negara di dalamnya, sehingga feminisme liberal

menyatakan bahwa negara harus bertindak memberikan kebebasan secara penuh kepada

setiap individu, baik pada kaum perempuan maupun pada kaum laki-laki. Pada dasarnya

dalam pandangan ini campur tangan negara tidak boleh ada dan tidak mendominasi erakan utama feminisme liberal tidak

mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan berupaya memasukkan

wanita ke dalam struktur yang ada berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki.

Adapun akar dari teori feminisme liberal bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan

(28)

segala bentuk pergerakan kaum feminisme, karena feminisme liberal menganggap bahwa

keadilan bagi perempuan adalah keadilan yang individual atau keadilan diri sendiri,

sehingga tidak boleh ada pengaturan negara terhadap upaya untuk memperjuangkan

keadilan dan kesetaraan tersebut.

I.E.3.2. Feminisme Radikal

Feminisme radikal mulai muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Aliran ini

menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Feminisme radikal

merupakan kelompok pertama penganut teori konflik yang sejarahnya justru muncul

sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di

Barat pada tahun 60-an, khususnya sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan

pornografi.26 Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya sistem patriarki. Para penganut feminisme radikal tidak

melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau

biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap

kaum perempuan oleh laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin

laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya.27 Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok

mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan. Feminisme radikal melihat bahwa

dominasi laki-laki atas perempuan adalah wujud penindasan yang paling mendasar dan

berakar mendalam.28

26

Dr. Mansour Fakih, Op.Cit., hal.84

27

Ibid., hal.84-85

28

(29)

Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam

sistem masyarakat yang sekarang ada. Sehingga gerakan ini disebut sesuai dengan

namanya yang "radikal". Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap

perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan

hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki.29

Teori feminisme radikal menganut paham sosialis. Dan tokoh dari aliran ini

adalah Marxis, menurut Marx “tidak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan dan

tidak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”. Aliran ini mengatakan bahwa

patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika

kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas

perempuan. Feminisme radikal sosial menggunakan analisis kelas dan gender untuk

memahami penindasan perempuan, dimana kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan

yang saling mendukung. Feminisme radikal bertujuan menarik garis tegas antara perilaku

yang determinan secara biologis dengan perilaku yang determinan secara budaya. Hal

tersebut dilakukan untuk membebaskan, baik pria maupun perempuan sebebas mungkin,

dari aturan-aturan gender mereka yang terdahulu.

Adapun sistem patriarki tersebut

disebabkan oleh mendominasinya peran laki-laki dari pada perempuan. Sehingga budaya

patriarkhi di kalangan masyarakat telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai

kehidupan saat ini, bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi

laki-laki juga sangat kuat.

30

29

Dr. Mansour Fakih, Op.Cit., hal.85

30

Ali Husain Al-Hakim, Op.Cit., hal.29

Aliran ini menolak setiap jenis

kerjasama, dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih

(30)

melihat problem-problem ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan penindasan yang menjadi

beban kaum perempuan.

Dalam membahas teori tentang kesetaraan, banyak orang yang mempelajari teori

gender dan politik dari perspektif kesetaraan sangat meyakini bahwa gender akan

menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik, atau dengan kata lain tidak berhubungan

satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita umumnya dipahami berbeda

adalah alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam

lingkungan politik.31

Kesetaraan pada kaum perempuan menurut aliran ini bertumpu pada pandangan

bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya sistem patriarki.

Menurutnya tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan

laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta

hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi Feminisme secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu

feminisme liberal dan feminisme radikal. Adapun feminisme liberal merupakan dasar

pergerakan perempuan yang didasarkan atas paham demokrasi liberal, yaitu bahwa

keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu terutama

dengan citra publik dan hak asasi perempuan. Hal tersebut berbeda dengan feminisme

radikal yang melihat persoalan kesetaraan tidak hanya sebatas pada hak yang bersifat

publik tetapi mereka lebih jauh mempersoalkan dasar struktur masyarakat yang menurut

mereka patriarkis. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah

gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal

ini tidak menyelesaikan persoalan.

31

(31)

privat-publik. Menurutnya pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan tersebut

adalah merupakan salah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Sehingga

informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis

radikal. Oleh karena itulah gerakan ini disebut sesuai dengan namanya yang "radikal"

Selain kesetaraan, keadilan pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender

dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya

disamakan dengan yang namanya ‘etika keadilan’. Etika keadilan ini dikecam secara luas

dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam literatur teori feminis, yang

dilambangkan sebagai perspektif etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang

objektivisme moral.

.

32

Aliran feminis radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak

sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial. Feminis radikal juga dikembangkan dari

gerakan-gerakan Kiri Baru (New Left) yang menyatakan bahwa perasaan-perasaan

keterasingan dan ketidakberdayaan pada dasarnya diciptakan secara politik dan

karenanya transformasi personal melalui aksi-aksi radikal merupakan cara dan tujuan

yang paling baik. Aliran feminis radikal ini secara fundamental menolak agenda Adapun, ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan kedudukan

laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan dan keadilan akan hak-hak

antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Secara garis besar, terdapat dua aliran utama

dalam feminisme yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Setiap aliran feminis

tersebut memiliki perspektif yang berbeda mengenai hakekat ketidakadilan dan

penindasan terhadap kaum perempuan. Masing-masing aliran memiliki pendekatan dan

strategi yang beragam pula dalam mengartikan ketidakadilan gender tersebut.

32

(32)

feminisme liberal mengenai kesamaan hak wanita dan menolak strategi kaum liberal

yang bersifat tambal sulam, incremental, dan tidak menyeluruh.33

Dalam pandangan feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa

penindasan terhadap perempuan terjadi akibat adanya sistem patriarki yang disebabkan

oleh mendominasinya peran laki-laki dari pada perempuan. Sehingga menurut feminisme

radikal kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan tidak akan terwujud karena

budaya patriarki tersebut telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai bidang

kehidupan. Oleh sebab itu, feminisme radikal menyatakan bahwa dalam mewujudkan

keadilan dan kesetaran diperlukan peran dan campur tangan negara untuk mengatur dan

mejamin agar terwujudnya kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan di dalam Lain halnya dengan feminis liberal yang lebih menekankan akan kesamaan antara

wanita dan laki-laki, aliran feminis radikal menekankan pada perbedaan antara kaum

wanita dan kaum laki-laki. Seperti halnya wanita dan laki-laki dalam

mengkonseptualisasikan kekuasaan secara berbeda, dimana bila laki-laki berusaha untuk

mendominasi dan mengontrol orang lain, maka wanita lebih tertarik untuk berbagi dan

merawat kekuasaan. Pada dasarnya ajaran feminis radikal menyatakan “the personal is

political” yang merupakan slogan yang kerap digunakan oleh kaum feminis radikal. Yang

artinya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan

kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal. Pada

hakekatnya feminis radikal menganggap bahwa isu-isu politik yang membuat

ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki. Aliran feminis radikal juga

menolak sistem hirarki yang berstrata berdasarkan garis jender dan kelas, yang

sebagaimana hal tersebut diterima oleh aliran feminis liberal.

33

(33)

pemerintahan dan masyarakat. Sehingga negara harus lebih memperhatikan akan

keberadaan kaum perempuan di bidang politik yaitu dengan cara membuka akses

seluas-luasnya bagi kaum perempuan untuk dapat berpartisipasi di bidang politik. Hal ini di

sadari karena tanpa adanya campur tangan negara maka akan sulit dalam mencapai

keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.

I.F. Definisi Konsep

Definisi konsep merupakan hal yang penting dalam penelitian. Dalam penelitian,

seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus untuk menggambarkan secara tepat

fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut konsep, yakni istilah dan definisi

yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau

individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.34

1. Sikap mengandung suatu penilaian yang dapat mempengaruhi suatu tindakan

dalam diri seseorang, oleh sebab itu sikap politik adalah perilaku seseorang untuk

merespon, menilai, dan mengemukakan pendapat terhadap suatu keputusan.

Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan definisi konsep sebagai berikut:

2. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau

kesamaan dan keadilan hak dengan pria sehingga kaum perempuan harus diberi

hak yang sama juga dengan laki-laki. Dalam hal ini, feminisme diklasifikasikan

kedalam dua aliran, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal.

34

(34)

I.G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu penjelasan tentang suatu variabel yang diukur.

Definisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel diukur yang

dijelaskan melalui rincian dari indikator-indikator pengukuran suatu variabel tersebut.

Dalam penelitian ini maka variabel yang akan diteliti adalah sikap calon legislatif

perempuan terhadap sistem pemilihan umum yang berdasarkan suara terbanyak.

1. Sikap, dapat dilihat dari tiga indikator, yaitu:

a. Pandangan tentang makna kesetaran dan keadilan, yaitu suatu cara pandang yang

mengungkapkan tentang arti nilai kesetaraan dan keadilan terhadap kaum

perempuan.

b. Tanggapan tentang nilai kesetaraan dan keadilan, yaitu suatu sikap yang

mengemukakan alasan tentang kesetaraan dan keadilan terhadap kaum

perempuan.

c. Tindakan akan kesetaraan dan keadilan, yaitu suatu sikap yang akan dilakukan

dalam mengupayakan kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan.

2. Feminisme, dapat dilihat dari dua indikator, yaitu:

a. Feminisme Liberal, adalah suatu pandangan yang lebih menekankan akan

kesamaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam pandangan feminisme liberal,

keadilan dan kesetaraan terwujud bukan dari campur tangan negara di dalamnya,

sehingga feminisme liberal menyatakan bahwa negara harus bertindak

memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap individu, baik pada kaum

perempuan maupun pada kaum laki-laki. Pada dasarnya dalam pandangan ini

(35)

pergerakan kaum feminisme, karena feminisme liberal menganggap bahwa

keadilan bagi perempuan adalah keadilan yang individual atau keadilan diri

sendiri, sehingga tidak boleh ada pengaturan negara terhadap upaya untuk

memperjuangkan keadilan dan kesetaraan tersebut.

b. Feminisme Radikal, adalah suatu pandangan yang lebih menekankan pada adanya

suatu perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam pandangan feminisme

radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi

akibat adanya sistem patriarki yang disebabkan oleh mendominasinya peran

laki-laki dari pada perempuan. Sehingga menurut feminisme radikal kesetaraan dan

keadilan terhadap kaum perempuan tidak akan terwujud karena budaya patriarki

tersebut telah mengakar dan mendominasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Oleh sebab itu, feminisme radikal menyatakan bahwa dalam mewujudkan

kesetaraan dan keadilan diperlukan peran dan campur tangan negara untuk

mengatur dan menjamin agar terwujudnya kesetaraan dan keadilan bagi kaum

perempuan di dalam pemerintahan dan masyarakat. Sehingga dalam hal ini,

negara harus lebih memperhatikan akan keberadaan kaum perempuan di bidang

politik yaitu dengan cara membuka akses seluas-luasnya bagi kaum perempuan

untuk dapat berpartisipasi di bidang politik. Hal ini di sadari karena tanpa adanya

campur tangan negara maka akan sulit dalam mencapai keadilan dan kesetaraan

(36)

I.H. Metode Penelitian I.H.1. Jenis Penelitian

Untuk mengetahui serta menguraikan bagaimana sebenarnya sikap dari calon

legislatif perempuan tersebut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, maka penelitian ini

menggunakan metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research)

adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas

mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti.35

35

Ronny Kountur, Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003, hal.105

Pada penelitian deskriptif ini, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta

sebagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Penelitian deskriptif bukan

hanya sekedar menemukan fakta yang terjadi di lapangan tetapi juga melakukan analisis

terhadap fakta dan data yang didapat di lapangan tersebut. Metode penelitian deskriptif

ini digunakan untuk menggambarkan serta mendeskripsikan tanggapan serta tindakan

dari calon-calon legislatif perempuan yang nantinya bakal menjadi objek dalam

penelitian ini.

I.H.2. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan informasi yang dapat mendukung penelitian ini, maka

penulis melakukan penelitian secara langsung kepada calon legislatif perempuan nomor

urut satu di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan periode 2009-2014.

(37)

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis

menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder.36

1. Data Primer

Untuk memperoleh data dan fakta yang berupa informasi yang jelas, maka penulis

menggunakan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :

Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara

yaitu suatu cara pengumpulan data dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara

bertanya langsung kepada informan serta melakukan proses tanya jawab secara langsung

dengan para informan yang terkait dalam penelitin ini. Dalam penelitian ini, yang

menjadi alasan peneliti memilih calon legislatif perempuan nomor urut satu pada partai

politik di bawah ini adalah karena kelima partai politik tersebut dapat menempatkan

calon legislatif perempuan di nomor urut satu lebih dari satu orang pada setiap daerah

pemilihan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Dra. Lily, MBA. MH (Partai Perjuangan Indonesia Baru, Daerah Pemilihan I)

2. Latifah Hanum, SE (Partai Hati Nurani Rakyat, Daerah Pemilihan II)

3. Sri Mutia Ulin Nuha (Partai Pemuda Indonesia, Daerah Pemilihan III)

4. Maria Sinaga (Partai Demokrasi Pembaruan, Daerah Pemilihan IV)

5. Dra. Hasnil Aida (Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Daerah Pemilihan V)

Dengan demikian, data yang nantinya diperoleh dari hasil wawancara tersebut merupakan

data pendukung bagi terlaksananya penelitian ini.

2. Data Sekunder

36

(38)

Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan tinjauan kepustakaan dan

dokumentasi. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dan informasi melalui referensi

kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, undang-undang, peraturan-peraturan,

artikel-artikel dalam majalah, koran, jurnal ilmiah, laporan-laporan penelitian serta

bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yang nantinya

teori-teori yang didapat tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan suatu

penelitian.

I.H.4. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data yang digunakan penulis adalah jenis

analisa data dengan pendekatan kualitatif. Adapun istilah penelitian kualitatif

dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui

prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.37

37

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal.4

Dalam kerangka penelitian kualitatif, data yang nantinya didapat dari hasil

wawancara dan dokumentasi akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis

kemudian dijelaskan secara mendalam selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan

yang dapat menjelaskan masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif, yaitu suatu metode dengan tujuan memberikan gambaran atau uraian atas

suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti, dimana

jenis penelitian ini biasanya diiringi dengan jenis analisis data secara kualitatif. Sehingga

nantinya yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini akan terjawab setelah data dan

(39)

I.H.5. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk

mempermudah dalam memahami isi dari skripsi ini, maka penulis membagi kedalam

empat bab. Untuk itu penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi

konsep, definisi operasional dan metode penelitian.

BAB II : ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30%

BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NO.22&24/PUU-VI/2008

Menguraikan tentang sejarah dikeluarkannya ketetapan kuota 30%

bagi perempuan dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)

tentang sistem suara terbanyak. TENTANG SUARA TERBANYAK

BAB III : ANALISIS SIKAP POLITIK CALON LEGISLATIF

PEREMPUAN NOMOR URUT 1 DPRD KOTA MEDAN

TERHADAP KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO.22&24/PUU-VI/2008

Menguraikan secara garis besar mengenai pandangan, tanggapan,

dan tindakan dari calon legislatif perempuan nomor urut satu

(40)

yang dilihat berdasarkan pada nilai kesetaraan dan keadilan

terhadap kaum perempuan.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bagian terakhir dalam penulisan skripsi, yang

berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan pada

bab-bab sebelumnya yang berguna bagi penulis dalam penyusunan

(41)

BAB II

ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.22&24/PUU-VI/2008 TENTANG SUARA TERBANYAK

II.A. Sekilas Tentang Gerakan Perempuan dan Usulan 30% Kuota Perempuan Dalam Politik

Berbicara mengenai representasi kaum perempuan di parlemen merupakan suatu

proses sejarah yang sangat panjang. Adapun dalam sejarahnya, Kongres Wanita

Indonesia pertama diselenggarakan pada tahun 1928, dimana lahirnya pergerakan dan

perjuangan wanita Indonesia pada saat itu bersama-sama dengan dikumandangkan

Sumpah Pemuda di seluruh tanah air Indonesia, dan semenjak saat itulah berbagai

perkumpulan dan organisasi berdiri yang dilandasi oleh kesadaran bahwa kaum wanita

juga sanggup dan mampu ikut mengatur masyarakat.

Dalam forum inilah organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok

etnis, agama dan bahasa dipersatukan. Hal tersebutlah yang membangkitkan kesadaran

dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan, itulah merupakan tonggak

sejarah lahirnya semangat kaum perempuan di wilayah publik terutama dapat berperan

dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam

pembangunan, termasuk dalam dunia politik. Kemunculan dan perkembangan

organisasi-organisasi inilah yang memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri

perempuan, seperti meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan

(42)

Dalam hal ini, salah satu persoalan penting dalam Pemilihan Umum (pemilu)

adalah tentang porsi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pada masa reformasi,

peran kaum perempuan terus meningkat, hal tersebut dapat dilihat bahwa kaum

perempuan pada tatanan politik di masa itu mulai berkembang, dimana perempuan yang

sebelumnya hanya sekedar menjadi pemilih kemudian kaum perempuan berkembang

menjadi memilih dan dipilih. Sehingga dengan adanya perkembangan tersebut, kaum

perempuan dapat semakin meningkatkan kesadaran akan haknya untuk berpolitik, dan

tidak hanya sebagai pemilih yang pasif, namun dapat menunjukkan kiprahnya bahwa

berpolitik adalah bagian hak azasi yang harus direbut untuk menentukan masa depan

kaum perempuan.

Peran perempuan dalam dunia politik seakan beraneka ragam, dimana dalam

dunia perpolitikan, sebenarnya perempuan bisa menembus apa saja dengan kualitas yang

dimilikinya. Bahkan kaum perempuan itu mampu untuk menjadi pemimpin. Namun

harapan itu sangat jauh dari kenyataan dilapangan. Dalam hal ini, perempuan banyak

yang ditolak oleh komunitasnya sendiri ketika ingin berperan lebih. Banyak kalangan

perempuan yang tidak siap bersaing dan mendukung ketika sesama perempuan maju

untuk bersaing dalam sebuah ranah politik. Hal tersebutlah yang menyebabkan

mendominasinya peran laki-laki daripada perempuan di bidang politik.

Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian

hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus

dipelajari secara terperinci untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk

Referensi

Dokumen terkait