• Tidak ada hasil yang ditemukan

APAKAH ILMU HUKUM ADALAH ILMU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "APAKAH ILMU HUKUM ADALAH ILMU"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

APAKAH ILMU HUKUM ADALAH ILMU ?

Oleh : Amir Syarifudin, S.H., M.Hum dan Indah Febriani, S.H., M.H (Dosen Fakultas Hukum Unsri)

Abstrak

Ilmu diciptakan manusia untuk membantunya mengatasi masalah dalam kehidupan nya. Sebagai alat ilmu diyakini dapat mengantarkan manusia menemukan kebenaran dan atas dasar itu manusia mempergunakan nya untuk menjelaskan masalah, mengendalikan, serta meramalkan. Setiap ilmu hanya menkaji salah satu dimensi kehidupan manusia dan dari dimensi itulah lantas ilmu menciptakan metode untuk memahami dimensi tersebut. Oleh sebab itu, dalam memahami objek itu ilmu menciptakan sistematika dan metode yang merupakan dua syarat dasar dari suatu ilmu. Metode siklis, yaitu metode yang diterapkan oleh fisika dengan langkah-langkah yaitu (1) observasi, (2) induksi, (3) deduksi, (4) eksperimentasi, dan (5) evaluasi dijadikan standar untuk menentukan keabsahan suatu ilmu. Jika ilmu hukum tidak mempergunakan metode siklis tersebut maka ia belum dapat dianggap ilmu. Namun pandangan tersebut memiliki kelemahan yaitu akan terdapat objek formal yang tidak dapat dijelaskan seperti objek yanh dihasilkan fikiran, kemauan, dan rasa manusia. Oleh karena itu para ahli mempergunakan kriteria lain yaitu mendasarkan pada apa adanya dari objek tersebut. Bila suatu objek, seperti hukum, dapat diselidiki apa tujuannya, cara-cara mencapai tujuan itu, serta derajad keberhasilan yang telah dicapainya, maka ia dapat dikategorikan sebagai ilmu.

Kata Kunci : Objek Formal, Dimensi, Sistematika, dan Metode.

1. Pengantar

Istilah ilmu adalah terjemahan dari kata science. Ilmu memiliki tiga dimensi

yaitu (1) sebagai masyarakat, (2) proses/kegiatan, dan (3) produk1. Sebagai masyarakat

ilmu menampakan diri sebagai kehidupan yang didasarkan norma-norma keilmuan.

Sebagai proses/kegiatan, ilmu terlihat pada kegiatan penelitian, sebagai produk ilmu

terlihat pada diketemukannya teori, hukum, dalil, dan lain-lain. Pengertian ilmu lebih

banyak diartikan sebagai produk yaitu hasil dari kegiatan penelitian. Sebagai salah satu

1

(2)

2

hasil kegiatan penelitian, teori dapat berasal dari (1) hipotesis yang teruji benar, (2) hasil

generalisasi/induksi, (3) penjelasan/eksplanasi , dan (4) semua penalaran atau pemikiran

intelek. Dilihat dari gradasinya dapat dibedakan (1) teori yang universal (grandtheory),

dan (2) teori yang partikular.

Hukum adalah salah satu dimensi kehidupan manusia. Manusia adalah individu

yang berhakikat sosial. Dalam kesosialannya itu ia memerlukan hukum. Sebagai salah

satu dimensi kesosialan manusia, hukum menjadi objek formal dari ilmu hukum. Objek

formal itu menentukan metode yang dipergunakan dalam memahami objek tersebut.

Selanjutnya metode akan menentukan produk yang dihasilkan. Produk itu dinamakan

teori hukum.

Masalah yang timbul adalah sifat dari hukum itu sendiri. Sebagai perbandingan,

objek formal dari fisika adalah atom atau sub-atomik, jiwa sebagai objek formal dari

psikologi. Objek-objek tersebut dijelaskan menurut paradigma kausalitas, akan tetapi

hukum tidak dapat dijelaskan secara kausalitas. Hakikat hukum itu adalah standar atau

patokan2 tentang apa yang seyogya nya harus dilakukan. Dengan alasan itu lalu timbul

pandangan yang menyatakan hukum itu bersifat preskriptif. Sifat preskriptif dari hukum

tidak dapat dijelaskan manurut paradigma kausalitasan, dan karena itu timbul pendapat

bahwa karena objeknya abersifat preskriptif, tidak dapat dijelaskan melalui penjelasan

kausal dan karena itu ia tidak dapat disebut ilmu.

2

(3)

3

2.Penggolongan Ilmu

Auguste Comte3 membuat gradasi ilmu dengan tolak ukur dari kerumitan objek

formalnya (gegenstand), dari objek yang sederhana sampai yang paling rumit, lantas

disusun oleh gradasi ilmu sebagai berikut (1) Matematika, (2) Astronomi, (3) Fisika, (4)

Kimia, (5) Biologi, dan (6) Fisika Sosial (Sosiologi). Karena itu ilmu-ilmu tersebut baru

dapat disebut ilmu, jika ilmu-ilmu telah menggunakan Metode Ilmu Alam, yang

langkahnya dimulai (1) observasi, (2) eksperimentasi, dan (3) komparasi. Sesuai dengan

Filsafat Positivisme yang diciptakannya, maka kebenaran ilmiah haruslah konkret,

eksak, akurat, dan bermanfaat4. Dengan perkataan lain bahwa yang ilmiah itu harus

nyata, lawan dari abstarak, harus pasti (eksak) lawan dari reka-reka, harus tepat sebagai

lawan dari kabur dan harus bermanfaat sebagai lawan dari sia-sia.

Wilhem Delthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi lain, dengan membagi ilmu

itu menjadi (1) Ilmu Pengetahuan Alamiah (natuurwissenchaft) dan (2) Pengetahuan

kerohanian (geisteswissenchaft), masing-masing menggunakan metode siklis dan

metode linier. Metode siklis bersifat erklaren yaitu berusaha menjelaskan dan

menggambarkan objek, sedangkan metode linier bukan untuk menjelaskan objek akan

tetapi berusaha untuk menemukan “makna”, “nilai” dan “tujuan” yang terkandung di

dalam objek.

UNESCO membagi ilmu menjadi (1) Ilmu Eksakta Alam, (2) Ilmu Sosial, dan

(3) Ilmu Humaniora. Ilmu Eksakta Alam terdiri dari Fisika, Kimia, Biologi, dan

lain-lain. Ilmu Sosial terdiri dari politik, ekonomi, psikologi, sosiologi, dan antropologi.

Humaniora terdiri dari filsafat, bahsa dan hukum. Humaniora adalah ilmu yang

3

Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gajah Mada University Press, 1996.

4

(4)

4

diciptakan manusia untuk membuat agar manusia itu lebih manusiawi. Di lain pihak

ilmu dapat dilihat dari fungsinya dapat dibedakan menjadi ilmu dasar dan ilmu

pembantu. Ilmu pembantu bertujuan untuk membantu ilmu pokok. Ilmu pembantu itu

antara lain matematika, bahasa, etika, sedangkan ilmu dasarnya seperti fisika, kimia,

sosiologi, dan lain-lain.

Dilihat dari ruang lingkupnya ilmu dapat dibedakan menjadi (1) ilmu murni, dan,

(2) ilmu terapan. Ilmu murni adalah untuk pengembangan ilmu itu sendiri, sedangkan

ilmu terapan adalah yang mengambil manfaat dari ilmu murni. Ilmu hukum adalah ilmu

murni, sedangkan perundang-undangan adalah ilmu terapan, ilmu kimia adalah ilmu

murni, dan ilmu farmasi adalah terapan.

3. Ilmu Hukum

Jika ilmu diartikan sebagai produk, yang berupa teori, dan teori itu berasal dari

hasil penalaran/pemikiran intelek, maka ilmu hukum dapat disebut disiplin hukum.

Disiplin adalah sistem ajaran tentang kenyataan yang mencakup disiplin preskriptif dan

disiplin analitis5. Disiplin preskriptif adalah menyorot sesuatu (objek) yang

dicita-citakan atau yang seharusnya, sedangkan disiplin analitis menyorot sesuatu (objek)

sebagai kenyataan. Atas dasar itulah maka terdapat dua disiplin hukum yaitu disiplin

preskriptif dan disiplin analitis. Hukum yang dirumuskan dalam undang-undang

merupakan hukum dalam norma atau kaedah yang di dalamnya memuat sesuatu yang

dicita-citakan, sebaliknya hukum adat merupakan bentuk kebiasaan yang hidup dalam

masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum6. Hukum sebagai norma, dikaji

5

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, 1990. Hal. 2.

6

(5)

5

oleh ilmu kaedah dan ilmu pengertian, yang lazim nya bila digabung disebut dogmatik

hukum. Sedangkan hukum sebagai kenyataan dikaji ilmu kenyataan hukum seperti

sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, dan

perbandingan hukum.

Suatu masalah yang timbul adalah mengapa hukum itu memiliki dua dimensi

yaitu dimensi normatif dan dimensi realitas ? . Pernyataan Immanuel Kant yang

menyatakan bahwa kesulitan membuat definisi hukum disebabkan oleh (1) hukum itu

memiliki ruang lingkup luas dan , (2) hukum itu banyak dimensi, juga tidak dapat

menjawab masalah itu. Sebagaimana diketahui bahwa objek kajian ilmu itu adalah objek

empiris, yaitu objek yang dapat dialami, dalam arti objek itu dapat diketahui melalui

panca indera. Objek itu sendiri masih memiliki banyak dimensi . Adakalanya objek itu

benda-benda alamiah seperti batu, rumah, tanah, gunung , dan lain-lain, akan tetapi

objek itu bukan benda-benda alamiah, tetapi produk karya manusia, seperti bahasa,

sastra, ilmu, hukum, etika, logika, estetika, dan lain-lain. Dalam objek hasil pemikiran

pemikiran manusia itu terkandung “nilai”, „tujuan”, “makna” yang berwujud ke dalam

objek tersebut.

Wilhem Delthey7 setelah melihat objek sebagaimana diuraikan di atas ia lantas

membedakan ilmu menjadi (1) Natuurwissenchaft yang berobjekan benda-benda

alamiah, sedangkan Geisteswissenchaft yang berobjek pemikiran manusia.

Natuurwissenchaft bertujuan untuk menjelaskan (erklaeren), sedangkan

Geisteswissenchaft bertujuan untuk memahami (verstehen) nilai, tujuan, dan makna

yang terkandung dalam objek itu. Dengan demikian norma hukum yang merupakan

produk pemikiran manusia (ratio scripta) terdapat nilai-nilai hukum, tujuan hukum, dan

7

(6)

6

makna tersirat dalam norma, tergolong dalam Geisteswissenchaft. Ilmu hukum yang

tergolong dalam geisteswissenchaft yang bertujuan memahami makna, menggunakan

metode linier dengan langkah-langkah yaitu (1) persepsi (penangkapan data melalui

panca indera), (2) persepsi (pengelolaan dan penyususnan data dalam suatu sistem), (3)

prediksi (penyimpulan dan peramalan). Memahami (verstehen) itu mencakup

memahami perasaan, keadaan batin seseorang (introspeksi) dan mengetahui makna

tersirat di balik teks dan sekaligus menafsirkan ( hermeneutik) teks tersebut.

Lantas apakah kita sudah benar menarik kesimpulan bahwa ilmu hukum

tergolong ilmu pengetahuan kerohanian (Geisteswissenchaft) ?. Sebelum kesimpulan itu

ditetapkan perlu dikaji lebih lanjut apakah pengertian science dalam ilmu hukum sama

dengan pengertian science dalam pengertian ilmu alamiah dan ilmu sosial?. Untuk

menjawab masalah ini, sebagai pembanding, ada pendapat yang menyatakan bahwa sifat

norma itu adalah preskriptif, dan terapan. Sifat preskriptif bermakna yaitu apa yang

seharusnya dilakukan, bukan apa yang senyatanya dilakukan. Sifat terapan itu terlihat

dari standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan hukum.

Karena kedua sifat ini yaitu preskritif dan terapan itulah maka ilmu hukum tidak dapat

digolongkan sebagai ilmu dalam pengertian ilmu alam dan ilmu sosial8.

Jika sifat preskriptif dan terapan dijadikan tolak ukur untuk menentukan

golongan mana norma hukum itu, apakah masuk kategori ilmu alam atau ilmu sosial,

tidaklah terlalu tepat. Sebagaimana diketahui objek kajian ilmu yaitu objek empiris,

dimana objek itu dapat dijelaskan menurut paradigma mekanistik9 atau menurut hukum

sebab akibat, dan penjelasan ini tidak dapat diterapkan pada objek ilmu hukum yaitu

8

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Hal. 22.

9

(7)

7

berupa norma yang bersifat preskriptif dan terapan10. Dalam kenyataannya Kita dapat

menyaksikan bahwa norma hukum juga menggunakan perumusan hipotetis, yaitu

perumusan yang mengandung hubungan sebab-akibat atau kausalitas, sebagaimana yang

terjadi pada ilmu alamiah dan ilmu sosial. Sebagai contoh perumusan pasal 362 KUHP

yang rumusannya sebagai berikut ;

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain , dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam

puluh rupiah”

Bagian yang menyatakan “barang siapa mengambil barang kepunyaan orang

lain….adalah sebab, sedangkan dihukum paling lama lima tahun adalah akibat. Akan

tetapi hubungan akibat dalam objek ilmu alam berbeda dengan hubungan

sebab-akibat dalam hukum. Dalam ilmu alam hubungan itu adalah hubungan keniscayaan

(keharusan) artinya jika terjadi panas (sebab) pasti diikuti oleh terjadi logam memuai

(akibat). Dengan demikian setiap masalah pada ilmu dapat dijelaskan secara mekanistik

atau kausalitas. Dalam hukum, hubungan sebab-akibat itu adalah hubungan

pertanggungjawaban (zurechnung)11, artinya jika terjadi pencurian oleh A (sebab),

belum tentu terjadi akibat yaitu berupa hukuman 5 tahun terhadap A. Tidak terjadinya

akibat ini, karena adanya teori penyimpangan kaedah hukum12. A tidak dapat dihukum

mungkin karena ia orang gila yang tidak dapat bertanggung jawab.

10

Peter Mahmud Marzuki., Loc. Cit. Hal. 21. 11

Maria Farida Indriani S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, jakarta, 2007. Hal. 38.

12

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1993. Hal. 60. Jika penyimpangan memiliki dasar hukum, maka ia deisebut pengecualian. Jika

penyimpangan itu tidak mempunyai dasar hukum, ia dinamakan penyelewengan, yang dapat berupa (1)

(8)

8

Disamping mengguanakan perumusan hipotetis, norma hukum juga dirumuskan

secara kategoris, yaitu perumusan yang dipergunakan dalam UUD 1945 dan

perundang-undangan lainnya. Dengan perkataan lain, perumusan kategoris hanaya merumuskan

sebabya saja, tidak merumuskan akibat. Contoh perumusan kategoris terlihat pada pasal

7 UUD 1945 :

“presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun,

dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk

satu kali masa jabatan”.

Disamping itu tidak semua norma hukum bersifat terapan, kita dapat menyaksikan

beberapa ketentuan bukan untuk diterapkan melainkan hanya amemberikan penjelasan

dalam bentuk definisi atau uraian, seperi yang terlihat pada bab Ketentuan Umum dalam

setiap undang-undang. Sebagai contoh ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang No.

48 Tahun 2009 sebagai berikut :

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”

Kenyataan yang demikian mengantarkan kita menyaksikan ilmu hukum itu hanya

mengkaji pengertian, essensi, perumusan norma, dan seterusnya dan ini dinamakan ilmu

murni. Sebaliknya kita juga menyaksikan adanya ilmu hukum yang mengkaji

norma-norma untuk diterapkan dalam kehidupan, seperti ilmu perundang-undangan, adalah

ilmu terapan. Dimulai dari pandangan Auguste Comte yang mengemukakan gradasi

ilmu yaitu (1) matematika, (2) astronomi, (3) fisika, (4) kimia, (5) biologi, dan (6) fisika

sosial (sosiologi), didasarkan pada kerumitan objek formal dari ilmu yang bersangkutan,

dan baru dapat disebut ilmu apabila telah menggunakan metode ilmu fisika dengan

(9)

9

tolak ukur suatu ilmu, maka ilmu hukum tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu. Namun

di lain pihak Chalmer13 menyatakan bahwa setiap bidang pengetahuan, termasuk

hukum dapat dianalisis sebagai mana apa adanya, artinya kita dapat menyelidiki apa

tujuannya, cara-cara mencapai tujuan tersebut, dan derajat keberhasilan yang telah

dicapainya. Pandangan ini kelihatannya lebih realistis dengan pendapat bahwa objek

materiel ilmu adalah objek empiris, bukan objek transenden, yaitu objek yang dialami

manusia. Setiap objek materiel memiliki banyak dimensi dan setiap ilmu hanya

mengkaji salah satu dimensi saja. Jika hukum adalah salah satu dimensi dari kehidupan

manusia dan hukum itu memiliki tujuan, cara-cara mencapai tujuan (metode), serta

memiliki derajat keberhasilan metode tersebut, maka ilmu hukum tersebut terkategori

ilmu. Dari uraian di atas terlihat bahwa tidak semua norma hukum itu bersifat

preskriptif dan terapan. Ini bermakna bahwa hukum di samping bersifat preskriptif juga

bersifat analitis dan juga sebagai ilmu terapan juga sebagai ilmu murni.

4. Hukum Sebagai Sistem

Suatu pernyataan atau pendapat atau konsep dikatakan ilmiah apabila memiliki

(1) sistematik, dan (2) metodologi. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari

beberapa bagian dan diantara bagian-bagian itu terdapat hubungan satu sama lainnya.

Sistem memiliki dimensi luas yang mencakup (1) sistem fisik dan sistem non fisik, (2)

sistem terbuka dan sistem tertutup, (3) sistem rumit dan sistem sederhana, (4) sisem

bertingkat dan sistem linier, (5) sistem rigit dan sistem fleksibel, dan (6) sistem tetap

dan sistem berubah. Sebagai suatu sistem, maka setiap subsistem tidak boleh

bertentangan satu sama lain, dan setiap subsistem harus berkontribusi kepada sistem

13

(10)

10

keseluruhan. Jika terdapat pertentangan di antara subsistem akan berpengaruh negatif

atau kontra produktif dalam sistem itu. Untuk menjaga agar kelangsungan relasi antara

subsistem berjalan normal, maka diperlukan mekanisme kontrol yang juga merupakan

subsistem pula dari sistem tersebut. Mekanisme kontrol merupakan sistem pengendalian

sebagaimana dikemukakan dalam teori sibernetik14.

Mekanisme kontrol agar sistem hukum dapat terjaga, dikenal dengan istilah

judicial review. Judcial review dapat dilakukan terhadap prosedur, tata cata

pembentukan undang-undang dan terhadap ketentuan bab, pasal dan ayat yang

bertentangtan dengan peraturan yang lebih tinggi. Cara pengujian pertama disebut

sebagai uji formil, sedangkan cara kedua disebut uji materil15.

Sebagai suatu sistem hukum terdiri dari tiga subsistem yaitu struktur, substansi,

dan budaya hukum. Ketiga subsistem itu memiliki hubungan satu sama lain. Struktur

yang mencakup badan-badan pelaksana perundang-undangan seperti kepolisisan,

kehakiman, kejaksaan, dan kepengacaraan. Selanjutnya struktur yang tugasnya

melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut juga diatur oleh substansi.

Struktur yang tidak diatur oleh substansi adalah struktur yang “illegal”. Dalam substansi

itu diatur tentang kedudukan, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum,

objek hukum yang kesemuanya dinakmakan “pengertian-pengertian dasar daripada

hukum” yang menjadi ciri dari sistem hukum16

. Pengertian-pengertian dasar tersebut

kadang-kadang tersebar dalam beberapa perundang-undangan atau beberapa kebiasaan

14

Fritjop Capra, Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistimologi dan Kehidupan , Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002. Hal. 97. Mengemukakan bahwa sisyem pengendalian (cybernetic) terwujud dalam (1) bidang ekonomi yang dikenal dengan konsep “invisible hands”, (2) dalam bidang kekuasaan, yang terwujud dalam konsep check and balances di konstitusi Amerika, (3) di bidang berfikir, yang terwujud dalam cara berfikir Hegel, yaitu tesis-antitesis, seintesis.

15

Jimly Assidiqie, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Kompas, Jakarta. 16

(11)

11

(konvensi) di bidang ketatanegaraan. Perundang-undangan itu mencakup bidang

“hukum materiel” dan juga bidang cara-cara struktur tersebut melaksanakan hak dan

kewajibannya (hukum formil).

Sebaliknya budaya hukum (legal culture) yang di dalamnya termuat nilai-nilai

hukum, yaitu sesuatu yang dianggap baik atau buruk , sehingga ia dianut baik oleh

substansi hukum maupun oleh struktur hukum. Bisa jadi budaya hukum yang dianut

oleh substansi hukum akan berbeda dengan budaya hukum yang dianut oleh struktur

hukum, terutama para pejabat pelaksana hukum. Bisa jadi budaya hukum yang hidup di

masyarakat berbeda dengan budaya hukum yang dirumuskan dalam substansi. Dengan

perkataan lain, bisa terjadi antara ketiga subsistem dalam sistem hukum tidak serasi. Bila

ketiga subsistem itu berada dalam keadaan tidak serasi, sangat berpotensi besar

berakibat sistem hukum itu tidak efektif.

Suatu contoh klasik tentang hal ini dapat kita lihat kejadian di Indonesia pada

masa Orde Lama17 dan Orde Baru18. Pada masa pemerintahan tersebut semuanya

berlandaskan pada UUD 1945 yang menganut asas kedaulatan rakyat, yang pada intinya

menganut budaya hukum nilai kesamaan. Namun kedua pemerintahan tersebut justeru

menganut budaya hukum nilai ketidaksamaan dan itu termanifestasi dalam konfigurasi

politik yang otoriter. Suatu kelemahan konfigurasi politik terakhir adalah pelaksanaan

kekuasaannya sulit bdiawasi atau dikontrol dan pada akhirnya bermuara kepada korupsi.

Kekuasaan cenderung korup, tetapi kekuasaan yang otoriter pasti korup (power tends to

corrupt, absolute power corrupt absolutely). Mekanisme untuk menjaga agar sistem

berjalan sesuai dengan patokan serta mengarah kepada tujuan, merupakan subsistem

17

Orde lama adalah sebutan untuk masa pemerintahan presiden Soekarno yang dimulai dari tahun 1959-1965, yang oleh para ahli digolongkan sebagai konfigurasi politik yang otoriter.

18

(12)

12

sendiri dari sistem itu. Mekanisme itu terwujud dalam berbagai istilah seperti check and

balances, kontrol, pengendalian, pengawasan, dan sebagainya.

5. Epistimologi Hukum

Hukum adalah salah satu aspek kehidupan manusia. Hukum adalah objek formal

dari ilmu hukum. Setiap objek formal akan menentukan metode penelitian setiap ilmu.

Sebaliknya metode akan menentukan produk yang didapat. Sebagai objek formal ilmu

hukum memiliki ruang lingkup yang luas dan memiliki banyak dimensi dan karena

metode penelitian hukum normatif. Sebaliknya jika hukum diartikan sebagai

perikelakuan yang ajek atau sikap tindak yang teratur maka terciptalah metode

penelitian hukum sosiologis23.Namun dilain pihak terdapat keberatan terhadap

pembagian metode penelitian sebagaimana tersebut di atas, dengan menyatakan bahwa

19

.J. Van Apeldoorn. Inleideng tot de Studie van Nederlandse Recht. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oetarid Sadino dengan judul Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005. Hal. 1.

20

Pada Garis-Garis besar haluan Negara (GBHN) dulu, ketiga bidang itu dirinci lebih lanjut menjadi ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional (IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS).

(13)

13

penelitian hukum itu hanya satu yaitu penelitian hukum saja24. Penelitian hukum

sosiologis atau penelitan socio-legal, bukan penelitian hukum, melainkan penelitian

ilmu sosial bagi kajian hukum.

Karena hukum itu multi dimensi, maka penelitiannya juga haruslah sesuai

dengan dimensi tersebut. Jika penelitian ditujukan terhadap hukum secara instrinsik

dinamakan penelitian hukum normatif, yang mencakup (1) penelitian terhadap asas-asas

hukum, (2) penelitian terhadap sistematika hukum, (3) penelitian terhadap tingkat

sinkronisasi hukum, (4) penelitian sejarah hukum, dan (5) penelitian perbandingan

hukum. Sebaliknya jika hukum dilihat dari luar, hukum dipandang sebagai gejala sosial,

hukum sebagai sarana pengendalian masyarakat, hukum sebagai sikap tindak atau

perilaku, maka penelitiannya adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang

mencakup (1) penelitian terhadap identifikasi hukum tidak tertulis, (2) penelitian

terhadap efektivitas hukum25.

Ketiga penelitian hukum yang disebut terdahulu tergolong penelitian hukum

doktrinal, hal ini disebabkan ilmu hukum itu bersifat preskriptif, bukan deskriptif

sebagaimana ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial. Sedangkan tipe ke-4 termasuk

dalam kategori penelitian hukum sosiologis karena memandang hukum sebagai gejala

sosial. Penelitian hukum di samping untuk kebutuhan teoritis, juga untuk praktik hukum.

Penelitian terhadap praktik hukum seperti telaah atas kontrak, audit hukum atas suatu

perusahaan, atau naskah akademik dari suatu rancangan undang-undang. Hasil

penelitian terhadap hal tersebut di atas dibuat opini atau pendapat hukum yang bersifat

24

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta, 2005. Hal. 11-18.

25

(14)

14

preskriptif. Sifat preskriptif dari hukum bukan deskriptif berakibat bahwa metode

penelitian ilmu alamiah dan sosial tidak dapat diterapkan dalam penelitian hukum.

Pendekatan dalam penelitian hukum dimana objeknya berupa norma yang

sifatnya preskriptif, dapat dilakukan melalui (1) pendekatan undang-undang (statute

approach), (2) pendekatan kasus (case approach), (3) pendekatan historis (historical

approach), (4) pendekatan komparatif (comparative approach), dan (5) pendekatan

konseptual (conceptual approach). Hasil pendekatan-pendekatan tersebut dipergunakan

untuk menelaah masalah atau isi hukum yang sedang dihadapi.

Penelitian hukum sosiologis, hukum sebagai variabel terikat (dependent

variable), sedangkan faktor-faktor non hukum dipandang sebagi variabel bebas

(independent variable). Hasil yang hendak didapat dari penelitian ini ialah untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan 26 :

1. Apakah ketentuan hukum tertentu efektif di suatu daerah tertentu?

2. Apakah ketentuan hukum tertentu efektif untuk seluruh Indonesia?

3. Faktor-faktor non hukum apakah yang mempengaruhi terbentuknya suatu

undang-undang?

4. Apakah peranan lembaga tertentu efektif dalam menegakan hukum?

5. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegakan hukum?27.

Penelitian hukum sosiologis yang melihat korelasi antar dua variabel dimulai

dengan hipotesis, untuk membuktikan hipotesis tersebut diperlukan data yang diperoleh

dengan sampling secara random, atau purposive sampling atau stratified random

sampling atau bahkan sampel bergantung pada sifat populasi yang diteliti. Tehnik

26

Peter Mahmud Marzuki., Op. Cit. Hal. 87. 27

(15)

15

pengumpulan data dimulai mungkin dengan wawancara, observasi, kuisioner, atau cara

lain. Data yang telah terkumpul dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif. Jika analisis

kuantitatif menggunakan metode statistik. Hasil yang diperoleh adalah menerima atau

menelaah hipotesis. Jika diterima maka berubah menjadi tesis yang dapat berupa teori

atau hukum.

6. Dimensi Sosial dari Norma

Norma hukum diciptakan manusia , karena norma sosial (religi, kesusilaan, dan

sopan santun) tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang bertambah kompleks.

Hukum adalah alat masyarakat untuk mengendalikan perilaku warganya (hukum sebagai

alat pengendalian sosial) agar perilaku warga itu mengarah kepada tujuan yang telah

ditetapkan. Tujuan masyarakat antara lain kesejahteraan, kedamaian, keadilan, dan

kemajuan. Jika hukum berhasil mengarahkan perilkau warganya, sehingga dapat

mencapai tujuan di atas, maka hukum dinamakan hukum yang efektif.

Efektivitas hukum tergantung kepada banyak faktor atau variabel. Jika kita

menggunakan kerangka sistem hukum menurut Lawrence Friedman28 maka faktor itu

mencakup substansi, struktur dan budaya hukum. Dalam berbagai penelitian dan kajian

di Indonesia, karya Friedman sering dijadikan semacam rujukan standar dalam

mendeskripsikan sistem hukum. Efektivitas sistem hukum sangat tergantung dari ketiga

elemen dasar tersebut. Jika kita hanya mengkaji substansi (materi hukum) berarti kita

mengkaji hukum itu secara instrinsik, mengkaji hukum dari dalam dan ini termasuk

penelitian hukum normatif. Akan tetapi sebagai sistem hukum tidak hanya dapat dikaji

dari segi substansi saja, tetapi juga harus dikaji dari segi struktur (tatanan kelembagaan

28

(16)

16

dan kinerja lembaga) dan budaya hukum, dan jika ini dilakukan , kita telah memasuki

arena melihat hukum dari luar. Penelitian hukum sosiologis (socio-legal) sering

dikatakan sebagai penelitian ilmu-ilmu sosial yang diterapkan pada hukum29.

Efektivitas hukum tertulis (undang-undang) juga dipengaruhi banyak faktor30

yaitu (1) undang-undangnya sendiri, (2) penegak hukum, (3) sarana dan prasarana, (4)

masyarakat, dan (5) budaya hukum. Kelima faktor baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama dapat menyebabkan undang-undang itu menjadi efektif atau tidak efektif. Jika

undang-undang tidak efektif, sangatlah perlu diadakan penelitian faktor-faktor mana di

antara nya yang tidak mendukung pencapaian tujuan. Dari hasil penelitian itu pula dapat

diajukan rekomendasi berupa efektifikasi suatu undang-undang.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian hukum memiliki dua

dimensi yaitu hukum normatif (meneliti substansi hukum atau perundang-undangan)

maupun penelitian hukum sosiologis (socio-legal research) yaitu meneliti struktur dan

udaya hukum, termasuk fasilitas dan pandangan masyarakat terhadap hukum.

7. Penutup

Hukum merupakan salah satu dimensi kehidupan manusia. Sebagai salah satu

dimensi, hukum memiliki keterkaitan dengan dimensi lainnya. Karena itu kajian

terhadap hukum secara utuh paling sedikit dilakukan dari dimensi notmatif dan dimensi

kenyataan. Dengan perkataan lain hukum harus dilihat secara instrinksik, dari dalam,

juga dilihat dari luar. Dengan kajian dari dua dimensi itu masing-masing menjadi

“gegenstand” dari ilmu dogmatik hukum dan ilmu kenyataan hukum

29

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum., Op. Cit. Hal. 87-88. 30

(17)

17

(tatsachenwissenchaft). Dengan demikian ilmu hukum itu adalah ilmu yang objeknya

dapat berupa norma dan juga kenyataan.

---

DAFTAR BACAAN

AF. Chalmer, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?. Hasta Mitra, Jakarta, 1982.

Fritcof Capra, Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Benteng Budaya, Yogyakarta, 1997.

J. Van Apeldoorn. Inleideng tot de Studie van Nederlandse Recht. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oetarid Sadino dengan judul Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005.

Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gajah Mada University Press, 1996.

Koento Wibisono, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah pada Intership dosen-dosen Filsafat Pancasila se Indonesia, Yogyakarta, 1996.

Maria Farida Indriani S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, jakarta, 2007.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1985.

---, dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

(18)

18

---, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI. 1986.

Referensi

Dokumen terkait

Demikian juga dalam kamus Cambridge online, revolusi memiliki ragam definisi sesuai dengan konteksnya, namun bagaimanapun dalam konteks ini, revolusi dapat dipahami

teknologi tentunya tidak akan banyak bermunculan bila tidak memiliki peran yang besar, adapun beberapa peran besar penerapan teknologi financial dalam proses kredit

Menyapih bibit adalah memisahkan/memindahkan bibit dari kelompoknya hingga menjadi tanaman individu dalam suatu wadah tersendiri sesuai dengan ukuran dari

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan salah seorang guru fisika di SMAN 1 Tapaktuan, maka dapat diketahui bahwa soal-soal semester itu adalah soal yang dibuat

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR KARTU RENCANA STUDI TAHUN AKADEMIK 20161.. PROGRAM STUDI

Masa pranatal adalah masa konsepsi atau pertumbuhan, masa pembuahan sampai dengan masa pertumbuhan, dan perkembangan individu yaitu pada saat pembuatan telur

Tujuan Praktek Kerja Lapang ini adalah mengetahui cara manajemen, mengetahui kendala, dan mengetahui cara penaggulangan kendala yang terjadi pada tahap penerimaan

Hasil penelitian :(1) model pembelajaran ARIAS dengan strategi active learning tipe ICM berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMA dan