GAMBARAN HISTOLOGIS MENCIT (Mus Musculus L.) JANTAN SEBAGAI RESPON TERHADAP KEBISINGAN
OLEH
ERANGGA JULIO Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS
Pada Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
GAMBARAN HISTOLOGIS HATI MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN SEBAGAI RESPON TERHADAP KEBISINGAN
Oleh Erangga Julio
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan struktur histologis hati mencit (Mus musculus L.) jantan akibat paparan kebisingan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai akibat dari paparan kebisingan terhadap kesehatan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai bulan Juni 2013 di Laboratorium Zoologi jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan, sedangkan untuk pembuatan preparat histologis hati dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III. Mencit dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit. Kelompok pertama adalah kontrol yang tidak diberi paparan kebisingan, kelompok kedua diberi paparan kebisingan 6 jam/hari, kelompok ketiga 8 jam/hari, kelompok keempat 10 jam/hari, dan terakhir diberi paparan kebisingan 12 jam/hari. Masing-masing kelompok perlakuan diberi paparan kebisingan dengan intensitas bunyi 85-90 dBA selama 21 hari. Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif. Hasil pengamatan deskriptif menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan terdapat kerusakan. Pada kelompok (P1) terdapat kerusakan berupa Kongesti pada vena sentralsebesar 83,4%, nekrosa pada sel hepatosit sebesar 17,7% dan perdarahan sebesar 19,45%, (P2) perdarahan pada sinusoid 23,44% , kongesti pada vena sentral 67% dan nekrosa pada sel hepatosit 67%, (P3) perdarahan pada sinusoid 34,51%, kongesti 70,25% dan nekrosa pada sel hepatosit 26,69%, (P4) kongesti pada vena sentral 76,6%, perdarahan pada sinusoid 25,61% dan nekrosa pada sel hepatosit 76,6%. Sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan adanya kerusakan berupa kongesti pada vena sentral 40%, perdarahan pada sinusoid 15,13% dan sel hepatosit tidak mengalami kerusakan.
DAFTAR ISI
2. Sumber-sumber Kebisingan ... 6
3. Jenis-jenis Kebisingan ... 7
4. Alat Pengukur dan Metode Pengukur Kebisingan ... 8
5. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan ... 9
B. Biologi Mencit (Mus musculus L.) ... 11
B. Alat dan Bahan ... 19
2. Persentase kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L.) Jantan……….….. 38
B. Pembahasan ... 41
1. Histologis hati mencit (Mus musculusL.) jantan…..………….. 41
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebisingan merupakan salah satu jenis pencemaran lingkungan yang sangat
diperhatikan, karena berdampak negatif terhadap kesehatan. Dampak kebisingan
merupakan menu wajib penting yang harus dikelola, maka Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) sepakat memasukkannya ke dalam dokumen
penting. Menurut Suma’mur (1984) kebisingan adalah suara yang tidak
dikehendaki yang dapat menggangu dan membahayakan kesehatan, sedangkan
musik adalah suara yang diinginkan tapi menyebabkan bising.
Pengaruh bising terhadap kesehatan tergantung pada intesitas, frekuensi, lama
paparan, jenis bising dan sensitivitas individu. Intensitas bising yang tinggi lebih
menggangu dibanding intensitas bising yang rendah. Intensitas kebisingan yang
berada di lingkungan sekitar dapat diukur menggunakan alat Sound Level Meter
(SLM) dengan cara menangkap perubahan tekanan udara yang terjadi akibat
adanya benda bergetar yang selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk
pada SLM. Alat yang digunakan untuk mengukur nilai ambang pendengaran
adalah Audiometer. Nilai ambang batas keamanan yang direkomendasikan oleh
Kesehatan Dunia (WHO) dan mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No. KEP-51/MEN/1999, tentang baku mutu tingkat kebisingan, yaitu intensitas
bising rata-rata tidak lebih dari 85 dB selama 8 jam per hari atau 40 jam per
minggu, serta getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak langsung
pada lengan dan tangan tenaga kerja ditetapkan sebesar 4 meter per detik kuadrat
(Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999).
Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai kelenjar yang paling besar.
Hati mempunyai selubung peritoneum dan menerima darah dari vena porta dan
arteri hepatika, sedangkan darah keluar melalui vena hepatika yang masuk ke
dalam vena cava caudalis (Ressang, 1984). Vena porta dan vena hepatika
merupakan pembuluh darah dari usus yang membawa nutrisi dan zat-zat lain
yang diserap oleh usus. Nutrisi yang sampai di hati melalui aliran darah portal,
diolah dan diserap keluar sebagai bahan baru dalam aliran darah (Hartono 1992).
Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat
bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara). Degenerasi merupakan
kerusakan yang reversible, dimana sel mengalami perubahan dari struktur
normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macam antara lain gangguan
metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung
terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa)
Hati sering menjadi organ target karena sebagian besar zat/senyawa toksik akan
melalui tubuh. Di dalam hati terdapat sel hepatosit yang berperan dalam
mensintesis protein dan lipid. Banyaknya senyawa toksik di dalam tubuh akan
mempengaruhi kerja dari sel hepatosit, apabila banyak senyawa toksik yang
terdapat di dalam protein maka lama-lama sel hepatosit akan mengalami
kerusakan (Sloane, 2003).
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap
gambaran kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L.) jantan.
C. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
pengaruh kebisingan terhadap kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L.)
jantan.
D. Kerangka Pikir
Kebisingan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia, kebisingan
dapat diartikan sebagai suara yang timbul dari getaran-getaran yang tidak teratur
16 - 20.000 hertz (Hz), dan intensitas dengan nilai ambang batas (NAB) 85
desibel (dB) (A) secara terus menerus. Intensitas lebih dari 85 desibel (dB) dapat
menimbulkan gangguan dan batas ini disebut critical level of intensity. Gangguan
kebisingan dapat menimbulkan stres. Stres akibat bising menyebabkan kegagalan
dalam tingkat hipotalamus, sehingga memaksa kelenjar adrenal pada bagian
medula untuk mensekresikan hormon epineprin dan noepineprin yang
menyebabkan aliran darah ke organ hati menjadi meningkat. Meningkatnya
aliran darah menyebabkan kegagalan pada fungsi organ hati dalam mengatur
kadar glukosa dalam darah, sehingga hati mensekresikan hormon glukagon
sebagai respon homeostasis. Karena kerja dari organ hati akan semakin berat
dengan adanya gangguan kebisingan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian tentang pengaruh kebisingan terhadap gambaran histologi hati mencit
jantan (Mus musculus L).
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bahwa paparan dari kebisingan dapat
menyebabkan kerusakan struktur histologis organ hati mencit (Mus musculus L.)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebisingan
1. Definisi Kebisingan
Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan oleh karena itu
merupakan stress tambahan dari suatu pekerjaan dan tentunya akan
berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Gangguan kesehatan yang dapat
muncul akibat paparan bising adalah: gangguan psikologis, gangguan
fisiologis, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan dan gangguan
hormonal (Mahanggoro, 2001).Selain definisi tersebut, terdapat beberapa
pengertian kebisingan, antara lain:
a. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999
menyebutkan bahwa kebisingan adalah semua suara yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari alat proses produksi dan atau
alat-alat kerja yang berada pada titik tertentu dapat menimbulkan gangguan
pendengaran.
b. Suma’mur (1995) menyatakan bunyi didengar sebagai rangsangan
-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis dan jika
bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka bunyi dinyatakan sebagai
c. Griefahn (2000) menyatakan Kebisingan adalah suara yang tidak
diinginkan. Oleh karena itu merupakan stress tambahan dari suatu
pekerjaan. Gangguan psikologi tersebut dapat berupa rasa kurang nyaman,
kurang konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan R.I. No.718/MENKES/PER/XI/1987 tentang
kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan bahwa kebisingan adalah
terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu dan
membahayakan kesehatan.
2. Sumber – Sumber Kebisingan
Menurut Suma’mur (1995) sumber bising utama dapat diklasifikasikan
dalam 2 kelompok, yaitu :
a. Bising interior, berasal dari manusia, alat rumah tangga, atau mesin-mesin
gedung, misalnya radio, televisi, bantingan pintu, kipas angin, komputer,
pembuka kaleng, pengkilap lantai, dan pengkondisi udara.
b. Bising eksterior, berasal dari kendaraan, mesin-mesin diesel,
transportasi.Dari kedua sumber bising tersebut di atas, tingkat bising yang
sangat tinggi diproduksi dalam beberapa bangunan industri oleh proses
pabrik atau produksi. Tingkat bunyi sumber-sumber bising tertentu, yang
Tingkat bising rata-rata yang biasadapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat bising rata-rata biasa
SumberBising Tingkat Bising (dB)
1. Rumahtenangpadaumumnya 2. Jalanpemukiman yang tenang 3. Mobil penumpang di lalulintas 4. Mobil penumpang di jalan raya 5. Lalu lintas kota pada jam sibuk
42
Kebisingan menurut Suma’mur (1995) dapat dibagi menjadi empat jenis,
yaitu:
a. Kebisingan yang kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady
state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar,
dan lain-lain.
b. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state,
narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dan lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus (intermitten), misalnya lalu lintas, suara kapal
terbang di lapangan udara.
d. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti pukulan,
4. Alat Pengukur dan Metode Pengukur Kebisingan
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter(SLM).
Alat ini mengukur kebisingan antara 30-130 dB dengan frekuensi antara
20-20.000 Hz. Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk
kalibrasi mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai
kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur
amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi ini, yang
tergantung dari tekanan udara, sehingga perlu koreksi tergantung dari
barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disenangi, oleh
karena alat itu mungkin dipakai mengukur intensitas tinggi.Tiga metode
pengukuran kebisingan menurut Suma’mur (1995) :
a. Pengukuran dengan titik sampling
Pengukuran dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas
hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga digunakan
untuk mengevaluasi kebisingan yang disebabkan oleh peralatan sederhana,
misal kompresor dan generator.
b. Pengukuran dengan Peta Kontur
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam
mengukur kebisingan karena dapat memberikan gambaran tentang kondisi
kebisingan dalam cakupan area.
c. Pengukuran dengan Grid
Teknik pengukuran dengan grid adalah dengan membuat contoh data
dengan jarak interval yang sama diseluruh lokasi. Setelah titik sampling
diplot dalam peta, maka kebisingan dapat digambarkan dengan
menghubungkan titik yang mempunyai tingkat kebisingan yang sama.
5. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan
Menurut Buchari (2007), Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung
pada karakteristik fisik, waktu berlangsung dan waktu kejadian, ada beberapa
gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan diantaranya :
a. Gangguan Pendengaran
Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan
dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang berbentuk telinga
berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespon tanpa
menimbulkan rasa sakit.Sensitifitas pendengaran pada manusia yang
dikaitkan dengan suara paling lemah yang masih dapat didengar disebut
ambang pendengaran, sedangkan suara yang paling tinggi yang masih
dapat didengar tanpa menimbulkan rasa sakit disebut ambang rasa sakit.
Kerusakan pendengaran (dalam bentuk ketulian) merupakan penurunan
sensitifitas yang berlangsung secara terus-menerus. Tindak pencegahan
terhadap ketulian akibat kebisingan memerlukan kriteria yang
berhubungan dengan tingkat kebisingan maksimum dan lamanya
kebisingan yang diterima. Lebarnya interval tekanan suara dan frekuensi
yang dapat diterima oleh telinga manusia membuat telinga manusia
memiliki kawasan-kawasan yang peka suara dan jika di petakan pada
Suara akan memperlihatkan adanya auditory sensation area. Kawasan
tersebut di bagian atas dibatasi oleh ambang pendengaranya itu suatu arah
tekanan suara maksimal yang masih bias direspon oleh pendengaran
tanpa merusaknya, sedangkan bagian bawah dibatasi oleh ambang
pendengaran minimum yaitu arah tekanan minimal yang dibutuhkan
untuk merangsang pendengaran.
b. Gangguan Kesehatan
Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia apabila
manusia terpapar aras suara dalam suatu perioda yang lama dan
terus-menerus. Aras suara 75 dB untuk 8 jam kerja per hari jikahanya terpapar
satu hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan, tetapi
apabila berlangsung setiap hari, maka suatu saat akan melewati suatu
batas dimana paparan kebisingan tersebut akan menyebabkan hilangnya
pendengaran seseorang (tuli). Untuk beberapa kasus paparan kebisingan,
dampaknya terhadap kesehatan lebih banyak bersifat individual dan tidak
bisa dipukul rata untuk sekelompok populasi manusia sehingga dalam hal
ini diperlukan suatu fungsi pembobotan yang dipilih untuk menentukan
resiko dampak kebisingan terhadap sekelompok populasi manusia. Fungsi
ini disebut fungsi pembobotan proteksi pendengaran. Resiko dampak
kebisingan terhadap ketulian populasi. Selain gangguan terhadap sistem
pendengaran, dan usia anggota berpengaruh atau dapat menimbulkan
gangguan terhadap mental, emosional, serta sistem jantung dan peredaran
hidup, mudah marah, menjadi lebih peka atau mudah tersinggung, melalui
mekanisme hormonal yaitu diproduksinya hormon adrenalin yang dapat
meningkatkan frekuensi detak jantung dan tekanan darah.
B. BiologiMencit (Musmusculus L.)
Gambar1.Morfologimencit (Musmusculus L.) (Amori, 1996).
Klasifikasimencit
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Sub-Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub-Ordo : Myoimorphia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Mencit (Mus musculus L.) merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari
mencit liar yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada
laboratorium, yaitu sekitar 40%-80%. Banyak keunggulan yang dimiliki oleh
mencit sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis dengan
manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak,
variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan
(Moriwaki, Shiroishi, Yonekawa.1994).
Mencit merupakan salah satu anggota family muridae (tikus-tikusan) yang
ukurannya kecil. Mencit digolongkan kedalam kelas mammalia karena pada
mencit betina setelah melahirkan anaknya melakukan proses menyusui,
dan digolongkan kedalam ordo rodentia dan family muridae karena kebiasaannya
sebagai hewan pengerat (Kimbal, 1983).
Mencit mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia terutama untuk
penelitian di laboratorium. Mencit merupakan hewan nokturnal (hewan yang
aktif pada malam hari). Mencit memiliki sifat penakut yang dalam hidupnya
cenderung berkelompok, dan aktivitasnya akan terhenti apabila ada kehadiran
manusia di sekitar tempat mencit tersebut melakukan aktivitas (Rahayu, 2006).
Mencit memiliki panjang tubuh antara 6-10 cm, hidung runcing, dan telinga yang
tegak, dan memiliki ekor yang tidak berambut dengan panjang 7-11 m
Mencit laboratorium memiliki beratba dan yang bervariasi antara 18-20 g pada
umur empat minggu (Smith danMangkoewidjojo, 1998). Mencit memiliki
rambut yang pendek halus dan berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan
dengan ukuran lebih panjang dari badan dan kepalanya.
Cirikhas mencit yaitu kulit, rambut tidak berpigmen sehimgga warnanya putih.
Mencit lebih tahan lama terhadap penyakit dan lebih jinak. Semua hewan
termasuk mencit dapat tumbuh lebih cepat pada waktu masih muda, kecepatan
pertumbuhan semakin berkurang dengan bertambahnya umur dan akhirnya
pertumbuhan terhenti. Hewan ini sering dijadikan hewan percobaan di
laboratorium karena perkembangbiakan hewan ini mudah dan cepat. Hewan ini
hidup di lingkungan yang lembab dengan intensitas cahaya yang kurang
C. Organ Hati
Hati terletak di rongga perut sebelah kanan, tepat di bawah diafragma, berwarna
merah kecoklatan. Hati terdiri dari lobus yang jumlah lobusnyatergantung pada
spesiesnya. Pada mencit terdapat empat lobus
(Harada,Enomoto, Boorman, Maronpot.1999).
Hati mempunyai 3 fungsi yaitu fungsi vaskuler, fungsi metabolik sertafungsi sekresi dan ekskresi. Fungsi vaskuler berhubungan denganproses penyimpanan darah,
sedangkan fungsi sekresi dan ekskresi berperan untukproduksi empedu yang
mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan (Guytondan Hall 1997).
Hati juga mempunyai fungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Makanan
berupa glukosa akan diabsorbsi di usus, kemudian diteruskan ke hati melalui vena portal. Sebagian dari glikogen yang disimpan, akan dipecah dalam hati menjadi
glukosa. Dalam keadaan normal kadar glikogen dalam hati cukup untuk
mempertahankan kadar glukosa darah. Jika terjadi gangguan hati, dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia atau hipoglikemia (Ganiswarna 1995).
Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan.Ada dua alasan
yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima
80%suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem
bakteri, logam,mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap kedarah portal
ditransportasikan kehati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang
mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan
endogen untuk dieliminasi tubuh (Carlton danMcGavin 1995).
Gambar 2. Struktur anatomi hati manusia normal (Sloane, 2003)
Berdasarkan Gambar2 di atas hati terbagi menjadi 2 lapisan utamayaitu :
1. Permukaan atas yang berbentuk cembung, terletak di bawah diafragma.
Permukaan bawah yang tidak rata dan memperlihatkan lekukan
Gambar 3. Sel hepatosit (Sloane, 2003).
Sel hepatosit merupakan salah satu bagian yang terdapat di dalam organ hati. Sel
hepatosit adalah sel parenkimal utama yang terdapat di dalam hati yang
mempunyai peran dalam metabolisme. Sel hepatosit memiliki berat 80% dari
berat hati dan memiliki inti sel baik tunggal maupun ganda. Hepatosit sangat
aktif mensintesis protein dan lipid untuk disekresi, dan memiliki banyak
retikulum endoplasma dan badan golgi.Hepatosit dipisahkan oleh sinusoid yang
tersusun dengan melingkari efferent vena hepatica dan duktus hepatikus. Darah
yang masuk ke dalam hati melalui arteri hepatika dan vena porta serta yang akan
menuju ke vena sentralis akan mengalami pengurangan oksigen secara bertahap.
Akibatnya beberapa jaringan akan sangat rentan terhadap kerusakan asinus. Di
dalam organ hati, hepatosit terletak berhadapan dengan sinusoid yang
yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang disse (ruang sinusoida) (Sloane, 2003).
Hati tikus terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu samalain.
Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri.
Lobuslateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi
bagiananterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus
dorsal danventral (Harada, Akiko, Gary, Robert. 1999).
Permukaan hati tikus dilapisi oleh lapisan jaringan ikat yang liat dantembus
pandang. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darahmelewati
deret sel-sel hati melalui sinusoid dari daerah porta hepatika kedalamvena
sentralis tiap lobulus. Darah yang lewat sinusoid adalah campuran darah
daricabang-cabang vena porta dan arteri hepatika. Setiap lobulus hati terbangun
dariberbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena
sentralis,sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel
Kuppferdan kanalikuli biliaris. Sel-sel Kuppfer yang berada di dalam lumen
sinusoidbertindak sebagai makrofag yang memiliki fungsi fagositik (Ganong
2003).
Gambaran histologis hati tikus normal saat lahir masih mengandung cukup
banyak jaringan hematopoietik. Fokus hematopoietik menghilang antara 9 dan
13hari pasca persalinan. Untuk minggu pertama, lobulus hati tidak dapat
lobulus menjadijelas (Harada, Akiko, Gary, Robert. 1999).
Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat
bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara). Degenerasi merupakan
kerusakan yang reversible, dimana sel mengalamiperubahan dari struktur
normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macamantara lain gangguan
metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi selberlangsung
terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa)
(MacLachlan dan Cullen 1995).
Stres akibat bising menyebabkan kegagalan dalam tingkat hipotalamus, sehingga
memaksa kelenjar adrenal pada bagian medula untuk mensekresikan hormon
epineprin dan norepineprin yang menyebabkan aliran darah ke organ hati
menjadi meningkat. Meningkatnya aliran darah menyebabkan kegagalan pada
fungsi organ hati dalam mengatur kadar glukosa dalam darah, sehingga hati
mensekresikan hormon glukagon sebagai respon homeostasis (Ganiswarna,
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit,
sedangkan pembuatan preparat histologis hati dilaksanakan di Balai Penyidikan
dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April 2013 sampai dengan bulan Mei 2013.
B. Alat dan Bahan
1. Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus L.) jantan yang berasal
dari BPPV Regional III sebanyak 25 ekor. Mencit yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki berat rata-rata sekitar 30 - 35 gram. Sebelum diberikan
perlakuan, dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu kepada mencit selama
kurang lebih 1 minggu. Aklimatisasi ini dilakukan dengan tujuan agar mencit
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit yang
berbentuk persegi dengan ukuran 15x15 cm. Kandang mencit yang digunakan
sebanyak 20 kandang dengan penutupnya menggunakan bahan plastik untuk
menghindari gelombang radiasi. (SLM) Sound Level Meter yang digunakan
untuk mengukur intensitas bunyi, sedangkan sumber bunyi nya berasal dari
generator suara. Alat lainnya yang digunakan adalah gelas kimia, timbangan
mencit, kotak mencit, papan fiksasi, botol minum mencit, kaca penutup (cover
glass), stopwatch, mikroskop cahaya dan seperangkat alat untuk pembuatan
preparat histologis testis.
3. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu organ hati
mencit jantan, aluminium foil, xylol, paraffin, aquades, alkohol 80%, alkohol
95%, alkohol 96%, alkohol absolute, eosin, pewarna Harris, larutan PBS
(Phosphat Buffer Saline) dengan pH 6,8 dan kloroform.
C. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1
kelompok kontrol, 4 kelompok diberi paparan kebisingan yang sama dengan
perbedaan waktu paparan, pada masing – masing perlakuan terdapat 5 kali
ulangan. Kelompok pertama digunakan sebagai kontrol, kelompok kedua diberi
kebisingan selama 8 jam/hari, kelompok keempat diberi paparan kebisingan
selama 10 jam/hari dan kelompok kelima diberi paparan kebisingan selama 12
jam/hari. Gambar desain penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Desain penelitian paparan kebisingan
D.Pelaksanaan Penelitian
1. Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus L.)
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Lampung dengan menggunakan 25 ekor mencit jantan. Mencit
ditempatkan di dalam kandang yang diberi sekat menjadi lima bagian. Mencit
3-4 bulan, diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BVPP)
Regional III Bandar Lampung. Selama pemeliharaan, mencit diberi makan
pellet komersial mencit atau hewan pengerat
(
makanan asupan sekitar15g/100g BB / hari; asupan air sekitar 15 ml/100g BB / hari) dan ditempatkan
dalam lingkungan yang terkendali (24 jam siklus gelap suhu kamar
dipertahankan pada 27 ± 2 ° C, dengan kelembaban relatif pada 55 ± 10%)
(Fidan, Enginar, Cigerci, Korcan, Ozdemir, 2008).
Paparan kebisingan yang diberikan sebagai perlakuan terhadap mencit adalah
sebagai berikut:
1. Mencit ditempatkan pada ruangan yang akan diberi paparan suara
kebisingan yang berjarak 2 meter dari tempat mencit berada.
2. 25 ekor mencit jantan dewasa dibagi mejadi 5 kelompok dengan
masing-masing kelompok tersebut terdiri dari lima ekor mencit jantan dewasa.
Berikut adalah uraian dari masing-masing kelompok :
a. Kelompok kontrol (P0) : kelompok kontrol ini tidak diberikan perlakuan
paparan kebisingan karena sebagai pembanding yang normal terhadap
kelompok mencit yang diberikan perlakuan pajanan kebisingan.
b. Kelompok pajanan I (P1): kelompok ini diberi paparan kebisingan
80-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 6 jam per hari selama 21 hari.
c. Kelompok pajanan II (P2): kelompok ini diberi paparan kebisingan
d. Kelompok pajanan III (P3): kelompok ini diberi paparan kebisingan
80-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 10 jam per hari selama 21 hari.
e. Kelompok pajanan IV (P4): kelompok ini diberi paparan kebisingan
80-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 12 jam per hari selama 21 hari.
(Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 Nilai Ambang Batas
Kebisingan, 1999).
2. Proses Pembedahan Mencit (Mus musculus L.)
Setelah mencit diberi perlakuan selama 21 hari, maka pada hari yang ke-22
dilakukan pembedahan untuk diambil organ hati dari mencit tersebut.
Pembedahan ini dilakukan dengan cara pembiusan mencit menggunakan
kloroform, setelah mencit pingsan, dilakukan pembedahan pada bagian ventral
tubuh mencit secara vertikal, lalu diambil organ hatinya. Hati yang telah
diambil segera difiksasi menggunakan larutan formalin 10% di dalam botol.
Perbandingan volume spesimen dengan larutan formalin 1:10 untuk
mendapatkan hasil yang sempurna. Kemudian organ hati tersebut dibawa ke
laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV)
Regional III Bandar Lampung, untuk seterusnya organ hati tersebut akan
3. Pembuatan Preparat Histologi Hati Mencit (Mus musculus L.) Jantan Dalam pembuatan preparat histologi hati mencit ini akan dilakukan di
Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV)
Regional III. Adapun cara pembuatan preparat histologis adalah sebagai
berikut ini:
a. Trimming
Trimming adalah suatu proses tahapan yang dilakukan setelah proses
fiksasi, dimana buffer formalin 10% dihilangkan menggunakan air
mengalir selama 30 menit. Berikut ini adalah proses tahapan trimming :
1. Spesimen berupa potongan organ hati segera difiksasi dengan larutan
pengawet berupa buffer formalin atau 10% formalin.
2. Potongan hati dicuci dengan air mengalir lalu dipotong setebal 2-4mm.
3. Potongan-potongan hati tersebut dimasukkan ke dalam embedding
casette. Dalam satu embedding casette dapat diisi 1-5 buah potongan
hati yang disesuaikan dengan ukuran besar kecilnya potongan.
4. Potongan hati tersebut lalu dicuci dengan air mengalir.
b. Dehidrasi
Dehidrasi adalah proses penarikan molekul air dari dalam jaringan. Tujuan
dari dehidrasi adalah agar seluruh ruang-ruang antar sel dalam jaringan
dapat diisi dengan molekul parafin. Berikut ini adalah proses tahapan
dehidrasi :
1. Air dituntaskan dengan meletakkan embedding casette pada kertas tisu.
Tabel 2. Tahapan proses dehidrasi
1 jam Alkohol absolut III
Clearing
Adapun proses tahapan embedding adalah sebagai berikut :
1. Sisa-sisa parafin pada pan dibersihkan dengan memanaskan beberapa
saat di atas api kemudian diusap dengan kapas.
2. Parafin cair dimasukkan ke dalam cangkir logam dan dimasukkan ke
dalam oven dengan suhu di atas 58 oC.
4. Jaringan dipindahkan satu persatu dari embedding casette ke dasar pan
dengan mengatur jarak satu dengan lainnya.
5. Pan dimasukkan ke dalam air.
6. Parafin yang berisi jaringan tersebut dilepaskan dari pan dengan
memasukkan ke dalam oven dengan suhu 4-6 oC beberapa saat.
7. Parafin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada
menggunakan skalpel atau pisau hangat.
8. Potongan parafin diletakkan pada balok kayu, pinggirnya diratakan dan
ujungnya dibuat sedikit meruncing.
9. Blok parafin siap dipotong dengan mikrotom.
d. Cutting
Cutting adalah proses pemotongan atau pengirisan jaringan dengan
menggunakan mikrotom yang dilakukan di ruangan dingin.
Berikut ini adalah proses tahapan cutting :
1. Sebelum jaringan dipotong, blok terlebih dahulu didinginkan.
2. Dilakukan pemotongan kasar dan dilanjutkan dengan pemotongan halus
dengan ketebalan 4-5 mikron.
3. Setelah pemotongan dipilih lembaran jaringan yang paling baik,
diapungkan pada air dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan
salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi
yang lain ditarik dengan menggunakan kuas runcing.
beberapa detik sampai mengembang sempurna.
5. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan diambil dengan slide
bersih dan ditempatkan di tengah atau atau pada sepertiga atas atau
bawah, dicegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan.
6. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu 37 oC)
selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.
e. Staining/Pewarnaan
Setelah jaringan melekat sempurna, dilakukan pewarnaan dengan
menggunakan pewarna Hematoxylin Eosin (HE). Slide yang dipilih adalah
yang terbaik, selanjutnya secara berurutan dimasukkan ke dalam zat kimia
Tabel 3. Tahapan proses stainning
Zat kimia Waktu
Xylol I 5 menit
Xylol II 5 menit
Xylol III 5 menit
Alkohol absolut I 5 menit
Alkohol absolut II 5 menit
Aquadest 1 menit
Harris Hematoxylin 20 menit
Aquadest 1 menit
Acid Alkohol 2-3 celupan
Aquadest 1 menit
Aquadest 15 menit
Eosin 2 menit
Alkohol 96 % I 2 menit
Alkohol 96 % II 3 menit
Alkohol absolut III 3 menit
Alkohol absolut IV 3 menit
Xylol IV 5 menit
Zat kimia yang digunakan dalam pewarnaan ini adalah sebagai berikut:
1. Hematoxylin Kristal : 5 g
2. Alkohol absolute : 50 ml
3. Ammonium : 100g/L
4. Aquadest : 1000 mL
5. Mercury oxide : 2,5 g
f. Mounting
Setelah pewarnaan slide selesai, slide ditempelkan di atas kertas tisu pada
tempat yang datar dan selanjutnya ditetesi dengan menggunakan Canada
Balsam dan ditutup dengan menggunakan cover glass dan dicegah jangan
sampai ada gelembung udara.
g. Pengamatan/pembacaan slide
Preparat yang telah jadi diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100x, 200x, 400x. Kemudian diamati perubahan yang terjadi.
4. Definisi Operasional
1. Nekrosa adalah kematian sel irreversible yang terjadi ketika sel cedera
berat dalam waktu lama dimana sel tidak mampu beradaptasi lagi atau
2. Kongesti adalah keadaan di mana terdapat darah secara berlebihan
(peningkatan jumlah darah) di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu.
3. Perdarahan adalah keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai
penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh dan keluarnya darah dari
tubuh.
E.Parameter yang Diamati
Pada penelitian ini parameter yang diamati yaitu derajat kerusakan berupa nekrosa,
perdarahan dan kongesti yang dialami oleh sel hepatosit pada struktur histologis
hati mencit (Mus musculus L.) jantan.
F. Analisis Data
Setelah pembuatan preparat histologi organ hati selesai maka dilakukan
pengamatan secara deskriptif dan dihitung persentase kerusakan tersebut yang
G. Diagram Alir Penelitian
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian 25 mencit jantan diaklimatisasi
selama 7 hari (1 minggu)
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap struktur histologis hati mencit
(Mus musculus L.) yang diberi paparan kebisingan selama 21 hari dengan
intensitas 85-90 dBA mengakibatkan kerusakan dan dapat disimpulkan :
1. Kerusakan berupa nekrosa pada pemaparan kebisingan 6 jam/hari (P1), 8
jam/hari (P2), 10 jam/hari (P3) dan 12 jam/hari (P4) adalah 17,7%, 21,65%,
26,69%, 31,16%.
2. Kerusakan berupa kongesti setelah pemaparan kebisingan 85-90 dB pada
kelompok kontrol, 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari dan 12 jam/hari selama
21 hari adalah 40%, 83,4%, 67%, 70,25% dan 76,6%.
3. Kerusakan berupa perdarahan setelah pemaparan kebisingan 85-90 dB
kelompok kontrol, 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari dan 12 jam/hari selama
21 hari adalah 15,13%, 19,45%, 23,44%, 34,51% dan 25,61%.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh paparan kebisingan
DAFTAR PUSTAKA
Amori, G. 1996. Mus musculus. 2007 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN. Diakses pada tanggal 04 April 2013.
Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care and management og Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing, Inc., New York.
Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program, 2007 USU Repository.
Carlton, W.W. dan M.D. McGavin. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. St. Louis. Mosby-Year Book, Inc. hlm 229-446.
Fidan, A. F., H. Enginar, I.H. Cigerci,S.E. Korcan, A. Ozdemir.2008. The radioprotective potensial of spinacia aleracia and aasculuc
hippocastannum against ionizing with their antioxidant and antimicrobial properties. Journal of Animal and Advances 7:1582-1536.
Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Andrianto P. Penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.
Griefahn, B. 2000. Noise effects not only the ears, but can damage to health be objectively evaluated. MMW-Fortschr-Medicine 142 (14):26-29
Guyton, A.C. dan J.E.Hall. 1997. Buku Ajar Kedokteran. Edisi 7. Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Harada, T. A. Enomoto, G.A. Boorman dan R.R. Maronpot. 1999. Liver and Gallbadder.
In: Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi 1. Cache
River Press. hlm 120-171.
Harada, T. E. Akiko., A. B. Gary., R.M. Robert. 1999. Liver and Gallblader. Di dalam:
Maronpot RR, Gary AB, Beth WG, editor. Pathology of The Mouse. USA: Cache
Jones, T.C., R.D.Hunt, N.W. King. 1997. Veterinary Pathology. Ed ke-6. USA : Williams and Walkins.
Kimbal, J. W. 1983. Biologi Jilid 3. Edisi 5. Erlangga. Jakarta. Hal. 942.
MacLachlan, N.J., J.M. Cullen . 1995. Liver, Biliary System, and Exocrine Pancreas. Di
dalam: Carlton WW, McGavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary
Pathology. Ed ke-2. New York: Mosby Yearbook. hlm. 81-115.
Mahanggoro, T. 2001. Kadar hormon tiroksin (T4) mencit (Mus musculus) betina setelah pendedahan bising tinggi, JurnalKedokteran Yarsi 9 (3): 54-58.
Menteri Tenaga Kerja. 1999. Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja. Edisi 1999. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta
Moriwaki, K, T. Shiroishi, H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Aplication to Biomedical Research. Tokyo: Japan Scientific Sosieties Press. Karger.
Price, S. A. and L. M. Wilson. 1995. Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4. EGC. Penerbit buku Kedokteran. Jakarta. Vol:4.
Priyambodo, S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu Seri Agrikat. Penebar Swadaya. Jakarta. Vol : 6.
Rahayu, L. 2006. Penanganan Hewan Percobaan. Laboratorium Farmakologi. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Jakarta.
Ressang, A.A.. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisis 2. Percetakan Bali.
Denpasar
Robbins, S.L. dan V. Kumar 1992. Buku Ajar Patologi I. Penerjemah Staff Pengajar Laboratorium Anatomik, Fak. Kedokteran. Edisi 4, Universitas Airlangga, Jakarta. Hlm: 13-29, 70.
Siregar, M.A.P. 2011. Hubungan Kebisingan dengan Kemampuan Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit Adolina PTPN IV Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010.Skripsi, FKM Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Suma’mur, P.K. 1995. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). CV.Sagung Seto, Jakarta.
Sutjibto, N. S. 1998. Petunjuk Praktikum Patologi DIII. Laboratorium Patologi. FKH UGM. Yoyakarta.
a. Data kerusakan histologi hati mencit (Mus musculus L) berupa Nekrosa (%)
b. Data kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L) berupa Kongesti (%)
Ulangan Perlakuan
1 11,11 25 17,64 35 30,76
kongesti : Perdarahan yang berlebih
Perdarahan : Perdarahan berlebih pada sinusoid
P0 : Kontrol, tidak diberi perlakuan pemaparan
P1 : Perlakuan 1, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama
pemaparan 6 jam/hari
P2 : Perlakuan 2, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama
pemaparan 8 jam/hari
P3 : Perlakuan 3, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 10 jam/hari
P4 : Perlakuan 4, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama
Gambar 14. Histologis hati Mencit kelompok kontrol ulangan 1-4 Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit
a
b
c
b
c
c
a
b
c
Gambar 15. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 6 jam/hari ulangan 1-4
Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit
b
c
c
b
a
c
b
c
a
Gambar 16. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 8 jam/hari
ulangan 1-5
Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit
a
c
b
a
c
b
a
b
c
c
c
Gambar 17. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 10 jam/hari ulangan 1-4
Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit
b
c
c
b
c
a
Gambar 18. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 12 jam/hari ulangan 1-3
Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit
b
c
a
c
c
a
Gambar 19. Hewan Mencit