Oleh:
ENDI PURNOMO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Magister Hukum
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM MAGISTER HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
ii
Oleh
ENDI PURNOMO
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat di Indonesia diakui secara tegas dalam konstitusi negara kita. Pasal 19 UUPA mewajibkan pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, termasuk Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prosedur Pendaftaran Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan: Pendaftar Tanah terhadap Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat dapat dilakukan, setelah ada Perda tentang Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat yang didasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar hukum adat, masyarakat adat yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi yang terkait. Sampai dengan saat ini, di Provinsi Lampung belum terdapat Perda tentang Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat untuk dapat dilakukan Pendaftaran Tanah. Sementara di sisi lain, peraturan tentang penyelesaian masalah Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat bersifat fakultatif dan substansinya anjuran bagi Pemda untuk melaksanakan kewenangan Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat.
Akhirnya disarankan kepada Pemda Kabupaten/Kota atau Provinsi Lampung segera melakukan penelitian tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayatnya yang hasilnya dituangkan dalam Perda dan kepada Pemerintah Pusat segera menerbitkan peraturan Pendaftaran Tanah Ulayat yang lebih lengkap yang dapat memberikan fungsi kepastian, bermanfaat, dan keadilan.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL --- i.
ABSTRAK --- ii.
ABSTRACT --- iii.
PERSETUJUAN --- iv.
PENGESAHAN --- v.
PERNYATAAN --- vi.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP --- vii.
MOTO --- viiii.
PERSEMBAHAN --- ix.
KATA PENGANTAR --- x.
DAFTAR ISI --- xii.
DAFTAR DIAGRAM --- xv.
BAB I. PENDAHULUAN --- 1.
1.1. Latar Belakang --- 1.
1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup--- 5.
1.2.1. Permasalahan --- 5.
1.2.2. Ruang Lingkup --- 6.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian --- 6.
1.3.1. Tujuan Penelitian --- 6.
1.3.2. Kegunaan Penelitian --- 6.
1.4. Kerangka Teori dan Kerangka Pikir --- 7.
1.4.1. Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat --- 9.
1.4.2. Pendaftaran Tanah --- 12.
1.5. Kerangka Konseptual --- 16.
xiii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA --- 20.
2.1. Masyarakat Hukum Adat --- 20.
2.2. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat --- 25.
2.3. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat--- 29.
2.4. Negara Hukum Indonesia --- 32.
2.5. Kewenangan Pemerintah --- 39.
2.6. Hak-Hak Atas Tanah --- 41.
2.7.1. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah ---49.
2.7.2. Pengertian Pendaftaran Tanah ---54.
2.7.3. Unsur-Unsur Pendaftaran Tanah ---56.
2.7.4. Asas-Asas Pendaftaran Tanah ---57.
2.7.5. Tujuan dan Manfaat Pendaftaran Tanah---58.
2.7.6. Sistem Pendaftaran Tanah ---60.
BAB III. METODE PENELITIAN --- 64.
3.1 Pendekatan Masalah --- 64.
3.2 Sumber dan Jenis Data --- 64.
3.3. Metode Pengumpulan Data --- 65.
3.4. Metode Pengolahan Data --- 66.
3.5. Analisis Data --- 66.
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN --- 67.
4.1 Gambaran Umum Masyarakat Hukum Adat Lampung dan Tanah Ulayatnya ---67. 4.1.1. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Lampung --- 67.
4.1.2. Dinamika Masyarakat Hukum Adat Lampung --- 74.
4.1.3. Pengelolaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lampung --- 78.
4.1.4. Sistem Hukum Positif Mengakui Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ---86. 4.1.5. Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lampung ---90.
4.2. Prosedur Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat --- 94. 4.2.1. Tata Cara Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat ---98.
4.2.2. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Berbasis Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Lampung
xiv
4.3. Bentuk Hak Atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat --- 115.
4.4. Hambatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ---127. 4.4.1. Hambatan Teknis --- 127.
4.4.2. Hambatan Hukum --- 131.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN --- 134.
5.1 Kesimpulan --- 134.
5.2 Saran-Saran --- 139.
1.1 Latar Belakang Masalah
Sengketa tanah yang terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi Lampung,
jumlahnya terus semakin meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan akan
penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai lahan untuk penanaman modal baik
untuk perkebunan, industri, maupun pembangunan perumahan. Sengketa tanah
yang sering terjadi memunculkan berbagai konflik yang kompleks, karena tidak
hanya melibatkan satu atau dua individu saja yang bersengketa seperti
perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan Badan Hukum,
perseorangan dengan Instansi Pemerintah tetapi juga melibatkan banyak pihak
atau masyarakat banyak seperti kelompok-kelompok Masyarakat Hukum Adat.
Berdasarkan data pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Lampung terdapat sedikitnya 11 (sebelas) perusahaan besar yang tanahnya diakui
atau diklaim oleh Masyarakat Hukum Adat sebagai Tanah Ulayat mereka,
diantaranya sengketa tanah antara:
1. PT. Bumi Madu Mandiri dengan Masyarakat Hukum Adat Buay Bahuga di
Kabupaten Way Kanan;
2. PT. Huma Indah Mekar dengan Masyarakat Hukum Adat Mego Pak Buay
Pemuka di Kabupaten Tulang Bawang Barat;
3. PT. Sac Nusantara dengan Masyarakat Hukum Adat Mego Pak Buay
Tegamoan di Kabupaten Mesuji.1
1
Salah satu penyebab terjadinya sengketa tanah antara Masyarakat Hukum Adat
dengan perusahaan adalah banyaknya Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
yang belum atau tidak terdaftar (tidak bersertipikat atas nama Masyarakat Hukum
Adat) dan sekarang tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan, atau dalam
perkembangan investasi ekonomi, masyarakat Hukum Adat sudah melepaskan
hak-haknya terhadap Tanah Hak Ulayat tersebut melalui pembebasahan lahan
dalam rangka perolehan tanah oleh perusahaan untuk penanaman modal, dan di
sisi lain, Tanah Hak Ulayat banyak yang sudah beralih menjadi hak individu
anggota Masyarakat Hukum Adat dan sudah terdaftar atau bersertipikat atas nama
individu-individu tersebut melalui mekanisme Pengakuan Hak Bekas Tanah Adat.
Pengakuan terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat terdapat di dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), yaitu dalam Pasal
18 UUD 1945 (sebelum perubahan) yang mengakui adanya hak asal usul dalam
daerah-daerah istimewa. Dipertegas lagi dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945
yang menjelaskan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Selanjutnya
dalam Pasal 18.B ayat (2) dan Pasal 28.I ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-dua,
terdapat pengakuan yang semakin dipertegas sekaligus penghormatan terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat, sedangkan dalam perubahan ke-empat UUD
1945 diberikan jaminan konstitusional terhadap kebudayaan Indonesia yang
termuat di dalam Pasal 32. Tetapi di sisi lain, dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, eksistensi Masyarakat Hukum
Adat sebagai satu kesatuan yang tetap dan teratur dalam suatu teritorial maupun
genealogis, menjadi terpecah-pecah, tidak hanya subyek tetapi juga obyek dari
Bagi Bangsa Indonesia, hubungan manusia dengan tanah merupakan hak yang
sangat mendasar dan asasi. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik, maka
akan lahir kemiskinan dan ketidakadilan bagi sebagian rakyat Indoneisa.
Hubungan yang mendasar dan asasi dimaksud dijamin dan dilindungi
keberadaannya oleh Konstitusi yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya
sebagai landasan kebijakan pertanahan di Indonesia ditetapkanlah Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang memiliki tujuan, sebagaimana
diuraikan dalam Penjelasan Umum Angka I UUPA, dijelaskan bahwa: ”Di dalam
Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita
cita-citakan. Hukum agraria yang berlaku sekarang ini, seharusnya merupakan salah
satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur
tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan
penghambat daripada tercapainya cita-cita di atas.2
Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat telah diakui keberadaannya dan diatur
dalam Pasal 3 UUPA, yaitu: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal
1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.3 Selanjutnya
dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi
air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara”.4 Isi ke-dua pasal tersebut merupakan
pengakuan keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.
Dengan demikian, “landasan hukum yang dijadikan sendi-sendi dari Hukum
Agraria Nasional adalah Hukum Adat menurut versi Undang-Undang Pokok
Agraria”.5 Jelaslah bahwa keberadaan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang
diakui berdasarkan UUPA masih dapat ditemukan pada masa sekarang.6
Pengakuan yang lebih riil diberikan melalui Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang
merupakan pengaturan lebih lanjut tentang pengakuan Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dalam UUPA.
Pasal 19 UUPA, mewajibkan pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia berdasarkan peraturan pemerintah.
Pendaftaran tanah dimaksud adalah merupakan upaya yang diadakan pemerintah
yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum di bidang hak-hak atas tanah.
Kegiatan pengumpulan data fisik (obyek) dan data yuridis (subyek) dalam
kegiatan Pendaftaran Tanah, bertujuan untuk memperoleh data mengenai letak
3
Urip Santoso, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Hlm. 81
4
Ahmad Fauzie Ridwan, “Hukum Tanah Adat-Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila”,
Dewaruci Press, Jakarta, 1982, Hlm. 12. 5
Ahmad Fauzie Ridwan, Ibid, Hlm.16
tanah dan penggunaannya, jenis haknya, siapa pemegang haknya, dan atau tidak
adanya hak pihak lain yang membebaninya, sedang kegiatan yang ketiga adalah
penerbitan surat tanda bukti haknya. Surat tanda bukti hak atas tanah yang sudah
didaftar tersebut disebut sertifikat. Sistem pendaftaran tanah, adalah
mempermasalahkan tentang apa yang harus didaftar, bentuk penyimpanan dan
penyajian data yuridis, serta bentuk tanda buktinya. Terdapat dua macam sistem
pendaftaran tanah yaitu: ”(1). Sistem pendaftaran akta (Registration of deeds); dan
(2). Sistem pendaftaran hak (Registration of titles)”7.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui dan mempelajari lebih mendalam
tentang prosedur dan mekanisme Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, maka penulis tertarik untuk meneliti dan menuangkan dalam suatu
tulisan dalam bentuk tesis dengan judul ”Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”.
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup 1.2.1 Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang sebagaimana di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prosedur pendaftaran tanah hak ulayat masyarakat hukum
adat?
2. Bagaimanakah bentuk hak atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat?
3. Apakah yang menjadi hambatan yuridis pendaftaran tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat?
7
1.2.2 Ruang Lingkup
Selanjutnya ruang lingkup dalam penulisan tesis ini, penulis batasi pada:
1. Ruang lingkup disiplin ilmu: penulis batasi pada disiplin Ilmu Hukum
Administrasi Negara;
2. Ruang lingkup penelitian: penulis batasi pada Pendaftaran Tanah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Lampung.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami dan menganalisis
tentang:
1. Untuk menganalisis prosedur pendaftaran tanah hak ulayat masyarakat hukum
adat;
2. Untuk menganalisis bentuk hak atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat;
3. Untuk menganalisis yang menjadi hambatan yuridis pendaftaran tanah hak
ulayat masyarakat hukum adat;
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan
sumbangan pikiran dalam bidang ilmu hukum khususnya hukum pertanahan
serta berguna untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis
khususnya dalam hal Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan
pemikiran kepada Instansi Badan Pertanahan Nasional dalam melaksanakan
kegiatan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
3. Sebagai bahan masukan yang dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
para pihak terkait untuk melakukan penelitian lanjutan tentang Pendaftaran
Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
1.4 Kerangka Teori dan Kerangka Pikir
Teori adalah menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik atau proses tertentu
terjadi,8 dan suatu teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.9 Sugiyono berpendapat, bahwa:
Teori adalah jalur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep,
definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum, teori
mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan
(prediction), dan pengendalian (control) suatu gejala.10 Sedangkan Kerangka
Teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan
menginterprestasi hasil penelitian dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil penelitian terdahulu.11
Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
8
J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial , Jilid I, Asas-Asas, FE, UI, Jakarta, 1996 Hlm. 203
9
J.J.J.M. Wuisman, Ibid, Hlm. 16 10
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D., Alfabeta, Bandung, 2012, Hlm. 54.
11
perbandingan, pegangan teoritis12. Bagi peneliti, Pendaftaran Tanah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, dilakukan melalui alat-alat bukti adanya hak tersebut
berupa Subyek Hukum (Masyarakat Hukum Adat), Obyek Hukum (Tanah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat), peraturan perundang-undangan Pendaftaran
Tanah, keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar
kebenarannya dianggap cukup oleh pejabat yang berwenang.
Bagi sebuah penelitian kerangka teori sangat mendukung sebagai acuan yang
relevan, karena “kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari
hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan”.13
Sugiyanto mengutip pendapat Uma Sekaran dalam bukunya Business
Research (1992) mengemukakan bahwa, kerangka berfikir merupakan model
konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang
telah diidentifikasi sebagai masalah penting.14 Soerjono Soekanto, berpendapat,
bahwa kerangka teori memiliki kegunaan yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. 2. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.15
12
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, Hlm. 80 13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-PRESS, Jakarta,1986, Hlm. 125 14
Sugiyono, Op Cit., Hlm. 60 15
1.4.1 Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Seperti kita ketahui bersama, bahwa negara kita adalah suatu negara agraris,
karena sebagian besar dari penduduknya adalah hidup dari bercocok tanam.
Karena itu faktor tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Di samping
itu sifat masyarakat kita yang religio magis, maka unsur tanah memegang peranan
yang dominan pula. Kalau kita teliti, maka secara garis besar, arti tanah itu bagi
Bangsa Indonesia, yaitu: Pertama: Sebagai sumber mata pencaharian, karena
sebagian besar hidup dari bertani, maka faktor tanah adalah sebagai modal usaha
pertanian yang pokok; Kedua: Tanah merupakan tempat tinggal/tempat kediaman
bagi orang-seorang keluarga maupun persekutuan; Ketiga: Tanah adalah tempat di
mana para warga masyarakat yang meninggal dunia dikebumikan; Keempat:
Tanah adalah tempat tinggal para roh-roh halus, seperti para leluhur,
danyang-danyang, dan lain-lain yang memberi perlindungan dan kekuatan gaib bagi
masyaraklat adat; Kelima: Tanah merupakan harta kekayaan, yang karena
letaknya dan kemajuan daerah, kemungkinan sekali harga atau nilai ekonomisnya
semakin lama semakin tinggi; Keenam: Tanah dapat memberi kenyamanan dan
ektrentaman dengan dapat ditanaminya pohon-pohon yang rindang atau
tebat-tebat/kolam ikan yang menyegarkan.16
Kedudukan tanah dalam lingkungan hukum adat, memiliki fungsi yang sangat
fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk
sedemikian rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup
atau modal esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh
16
karena itu, selalu terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak-hak
seseorang sebagai anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum
atas tanah yang ditempati. Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian
serius bahwa hukum tanah sekarang telah mengalami unifikasi melalui UUPA.
Undang-undang ini sering disebut sebagai peratuiran yang bersandarkan pada
hukum adat, seperti dinyatakan dalam bagian konsiderans-nya (berpendapat):
“Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan -pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.17
Sejak awal mulanya UUPA ditujukan untuk menempatkan Negara Indonesia
sebagai ekspresi kekuasaan yang sah dari Rakyat Indonesia. Melalui UUPA,
Pemerintah Nasional Indonesia berkomitmen untuk memodernisasi Hukum Adat,
dan untuk membuatnya lebih cocok dengan kebutuhan-kebutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang baru sebagai salah satu anggota bangsa-bangsa
yang merdeka di dunia. Hal ini dinyatakan secara jelas bahwa “Hukum Agraria
yang berlaku untuk bumi, air, dan udara adalah bukan Hukum Adat, namun
pelaksanaan dari Hukum Adat.18 Selanjutnya hubungan hidup manusia dalam
suatu masyarakat adat dengan tanah di mana mereka berdiam, bersifat abadi dan
megis-religius. Tanah menjadi sumber kehidupan, tempat mereka dilahirkan,
tanah di mana mereka dimakamkan, bahkan tempat kediaman roh-roh halus dan
17
H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, 2001. Hlm. 160.
18
arwah para leluhurnya,19 yang di dalamnya eksistensi manusia juga berakar
bahkan di mana eksistensi tersebut bergantung dan yang terus hidup dalam cara
berpikir partisipatif persekutuan yang telah berakar di dalamnya, dapat dan
malahan harus dimengerti dan dipahami sebagai hubungan dan perimbangan
hukum kelompok tersebut dengan tanahnya.20
Persoalan yang sering muncul adalah bergesernya penggunaan “hak mengusai”
oleh negara yang berintikan “mengatur” dalam kerangka populisme menjadi
“memiliki” dalam kerangka pragmatisme untuk melaksanakan program
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Dalam istilah
Sudijono, pemiskinan petani terjadi karena pemerintah keluar dari desain
ideologis UUPA, yakni dari populisme menjadi liberal-individualisme. Pergeseran
pilihan nilai dan penerobodsan atas desain ideologis kemudian ditindih
problem-problem lain seperti tak diperhatikannya lagi secara sungguh-sungguh tanah-tanah
milik masyarakat menurut hukum adat yang dikenal sebagai Hak Ulayat. Sangat
banyak kasus yang diadukan menyangkut banyaknya tanah yang seharusnya
merupakan milik Masyarakat Adat dipindahkan haknya kepada pihak lain.
Ketiadaan bukti formal tentang tanah ulayat, serta anggota masyarakat yang
secara hukum kadangkala cair dan sangat fleksibel telah mempermudah
pencaplokan tanah-tanah adat ini.21
19
Muchtar Wahid, “Memaknai Kepastian Hak Milik Atas Tanah, Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis”, Republika, Jakarta, 2008. Hlm. 12 20 B. Ter Har Bzn, “
Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat” Mandar Maju, Bandung, 2011, Hlm. 49
21
1.4.2 Pendaftaran Tanah
Pendaftaran Tanah (Kadaster) menurut Rudolf Hemanses, adalah: “Pembukuan
bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar, berdasarkan Pengukuran dan Pemetaan,
yang seksama dari bidang-bidang itu”.22 Pendaftaran Tanah diatur dalam UUPA
Pasal 19 ayat (2) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang
disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan secara
teknis diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, yang menegaskan bahwa Pendaftaran Tanah
dilaksanakan berdasarkan Azas Sederhana, Aman, Terjangkau, Mutakhir, dan
Terbuka. Sedangkan tujuan dari Pendaftaran Tanah ditegaskan dalam Pasal 19
ayat (1) UUPA dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu:
untuk memberikan kepastian hukum, menyediakan informasi kepada semua
pihak, dan terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Konsepsi hak menguasai dari negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
UUPA tersebut, selanjutnya di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, ditetapkan beberapa
hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang, baik secara perorangan
maupun bersama-sama, atau oleh suatu badan hukum. Sedangkan jenis-jenis hak
tersebut diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yang terdiri dari: Hak Milik; Hak
Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Sewa; Hak Membuka Tanah;
Hak Memungut Hasil Hutan; Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut di atas, yang ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) UUPA.
22
Makna dikuasai negara dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA dimaksud, tidak terbatas
pada pengaturan, pengurusan, dan pengawasan terhadap pemanfaatan hak-hak
perorangan. Tetapi, negara mempunyai kewajiban untuk turut ambil bagian secara
aktif dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Bagir Manan,
berpendapat, bahwa Negara Indonesia Merdeka adalah negara kesejahteraan
sebagaimana termaksud dalam Pembukaan UUD RI 1945. Dasar pemikiran
lahirnya konsep hak penguasaan negara, dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD RI 1945,
merupakan perpaduan antara teori negara hukum kesejahteraan dan konsep
penguasaan hak ulayat dalam persekutuan hukum adat. Makna penguasaan negara
adalah kewenangan negara untuk mengatur (Regelen), mengurus (Bestuuren), dan
mengawasi (Tozichthouden). Dibalik hak, substansi penguasaan negara adalah
terkandung kewajiban negara untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah
sebagai sumber daya ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.23 Pasal
4 ayat (1) UUPA menetapkan: atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana
tertuang dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum. Berdasarkan uraian di atas, pengertian tanah secara yuridis adalah
permukaan Bumi, termasuk bagian tubuh bumi serta ruang di atasnya, sampai
batas tertentu yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah. Sedangkan,
hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.24
23
F.X. Sumarja, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing”, Indepth Publising, Bandar Lampung, 2012, Hlm. 11.
24
Diagram 1 : Bagan Alir Landasan Konstitusional Pengakuan Terhadap Masayarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat, serta Landasan Konstitusional Kebijakan Pertanahan Bidang Pendaftaran Tanah
UUD 1945
Memberi Pengakuan Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia 2. Memberikan Informasi bagi
yang berkepentingan 3. Tertib Administrasi
Pertanahan
1
-Pengumpulan Data Fisik dan Data Yuridis -Verifikasi Data Fisik dan Data Yuridis -Sidang Panitia Pemeriksaan Tanah A -Pengakuan Hak-Pembukuan Hak
-Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah
1.5. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konsepsionil merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.25 Suatu
Konsep atau kerangka konsepsionil pada hakekatnya merupakan suatu pengarah,
atau pedoman yang lebih kongkrit dari pada rangka teoritis yang sering kali masih
bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil belaka
kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi
operasionil yang akan menjadi pegangan kongkrit di dalam proses penelitian.26
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dalam teori. Peranan konsepsi dalam
penelitian ini untuk menghubungan teori dan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.27
Menurut Soerjono Soekanto bahwa: “Kontiunitas Perkembangan Ilmu Hukum”
selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori”.28 Selanjutnya Burhan Ashofa mendefinisikan suatu teori
merupakan: “Serangkaian asumsi, konsep definisi, dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
antar konsep”.29 Sedangkan Snelbecker berpendapat, bahwa teori sebagai:
“Seperangkat proposisi yang terintegritas secara sistaksis, yaitu yang mengikuti
aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan
25
Soerjono Soekanto, Op Cit, Hlm. 132. 26
Soerjono Soekanto, Op Cit, Hlm. 133. 27
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafsindo Persada, Jakarta, 1998, Hlm.3.
28
Soerjono Soekanto, Op Cit, Hlm. 6. 29
data dasar, yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan
dan menjelaskan fenomena yang diamati”.30
Konsepseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.31
2. Hak Ulayat adalah kewenangan Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam
yang ada di wilayah Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan yang
menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya.32
3. Tanah Ulayat adalah tanah bersama-sama yang dimiliki oleh para warga masyarakat hukum adat, yang di dalamnya melekat serangkaian hak,
kewajiban dan wewenang dari masyarakat hukum adat tersebut menurut
hukum adat mereka, untuk mengelola dan mengambil manfaat terhadap
tanah yang mereka kuasai yang terletak di dalam lingkungan wilayahnya.33
30
Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, Hlm. 40
31
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 32
Pasal 1 angka 4 Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan 33
4. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan
tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan
tatanan hukum adat di wilayah adatnya.34
1.6. Sistematika Penulisan
Agar tesis ini memenuhi syarat sebagai karya tulis ilmiah serta untuk
memudahkan dalam memahami isi pembahasan materi, maka perlu dipaparkan
sebuah pertanggungjawaban sistematika. Sistematika dalam penulisan tesis ini
terbagi menjadi lima bab, pada masing-masing bab terdiri dari sub bab-sub bab.
BAB I. PENDAHULUAN.
Bab ini berisi tentang uraian singkat dari isi tulisan ini guna memberikan
gambaran kepada pembaca tentang topik apa yang akan dibahas dalam tesis ini,
yakni memberikan acuan terarah mengenai permasalahan yang akan dibahas.
Dalam bab pendahuluan ini terdiri dari beberapa sub bab, yaitu Latar Belakang
Masalah, Permasalahan dan Ruang Lingkup yang akan dijelaskan pada bab-bab
selanjutnya, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Kerangka
Pikir, Kerangka Konseptual, dan Sistematika Penulisan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.
Bab ini dipaparkan untuk menjawab permasalahan pertama, yaitu Masyarakat
Hukum Adat dapat menjadi pendukung subyek hak pendaftaran tanah, dan Tanah
34
Ulayat dapat menjadi pendukung obyek hak pendaftaran tanah serta dilanjutkan
dengan prosedur dan mekanisme Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
BAB III. METODE PENELITIAN.
Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penulisan,
yaitu metodologi penelitian yang dibagi lagi atas jenis penelitian yang meliputi
pendekatan masalah, sumber data, jenis data atau bahan hukum, pengumpulan
data, pengolahan data, serta teknik analisa data.
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.
Bab ini memuat pembahasan dari pokok permasalahan tentang: keberadaan
Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi pendukung subyek hak pendaftaran
tanah, dan Tanah Ulayat dapat menjadi pendukung obyek hak pendaftaran tanah
serta dilanjutkan dengan prosedur dan mekanisme Pendaftaran Tanah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
BAB V. PENUTUP.
Bab ini mengakhiri seluruh rangkaian uraian dan pembahasan. Sub babnya terdiri
atas kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran
terhadap permasalahan yang ada, yang merupakan alternatif penyelesaian
permasalahan yang mungkin berguna dan dapat menambah wawasan hukum
2.1 Masyarakat Hukum Adat
Sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari Indige Nous
People dan atau Tribal People, sesungguhnya memiliki akar sejarah yang cukup
panjang dalam perbincangan internasional. ILO, sebuah badan antar pemerintahan
dengan struktur tripartit, yang terdiri atas perwakilan pemerintah,
pengusaha-pengusaha nasional dan organisasi-organisasi buruh, sudah menaruh perhatian
dengan isu pekerja penduduk asli (indigenous worker) sejak 1920-an. Kingsbury
(1995:3). dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, “Adat
Dalam Politik Indonesia” memberikan sebuah ciri untuk mengenali
kelompok-kelompok yang disebut Indigenous Pople, dengan sejumlah karakteristik pokok:
(1) Mengidentifikasi dirinya secara otomatis sebagai kelompok suku yang
berbeda; (2) Pengalaman historis dalam hubungan dengan kerentanan kondisi
kehidupan mereka terhadap gangguan, dislokasi, dan ekploitasi; (3) Memiliki
hubungan yang panjang dengan wilayah yang didiaminya; dan (4) Berkeinginan
mempertahankan ideologi yang berbeda.35
Sebagai tambahan, dengan definisi yang terlampau umum, juga memiliki risiko
bagi gerakan masyarakat adat. Penyebutan “ketersendirian”memang memberikan
arti bahwa masyarakat adat memilik ciri-ciri yang berbeda dibanding masyarakat
lain di luarnya. Akan tetapi, menjadi rumit karena dengan rumusan yang begitu
umum, memberikan implikasi gerakan masyarakat adat terjebak dalam orientasi
35
yang tidak memihak nilai-nilai progresif, misalnya keadilan dan demokrasi.36
Stavenhagen (1994.9-29) dan Kingsbury (1995:414-57) dalam Jamie S. Davidson,
David Henley, dan Sandra Moniaga, “Adat Dalam Politik Indonesia”,
memberikan definisi Masayarakat Adat adalah keturunan dari orang yang telah
menghuni sebuah wilayah tertentu, sebelum wilayah itu diserang, ditaklukkan atau
dijajah oleh satu kekuatan asing atau masyarakat lain.37
Uraian tentang dasar-dasar organisasi masyarakat hukum itu, oleh van
Vollenhoven ditekankan, arti pentingnya kelompok-kelompok wangsa bagi
kewibawaan hukum. Selanjutnya dinyatakan bahwa “horde” (kelompok tak
teratur) bukanlah suatu masyarakat hukum, karena tidak mempunyai
“kewibawaan hukum” dan “paksaan hukum”, sedangkan masyarakat hukum
dikualifikasikan sebagai “pejabat kewibawaan dan pendukung hak”. Uraian van
Vollenhoven itu menimbulkan kesan bahwa suatu masyarakat hukum adalah suatu
kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kewibawaan (authority) di dalam
pembentukan, pelaksaan dan pembinaan hukum.38
UUD 1945 pada awalnya menggunakan istilah “Orang Indonesia Asli” dan
“volkgemenschap”, undang-undang serta peraturan yang menggantikannya telah
menggunakan berbagai istilah secara tidak konsisten. Istilah “Masyarakat Hukum
Adat”(istilah ini terjemahan harfiah dari bahasa Belanda rechtsgemeenschappen)
digunakan dalam Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan
Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Sedangkan Departemen Sosial telah
menggunakan istilah “Masyarakat Terasing” (Setyoko 1998). Sebagai akibat dari,
36
Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, Ibid, Hlm. 350 37
Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, Ibid, Hlm. 303 38
atau mungkin secara strategis memang mengekploitasi, inkonsistensi ini, negara
telah memperlihatkan sebuah pendekatan yang tidak padu terhadap pengakuan
hukum adat dan hak-hak atas tanah serta sumber daya alam lainnya.39
Hilman Hadikusuma mengutip pendapat Ter Haar (1950:16), mendefinisikan
Masyarakat Hukum Adat adalah “Kelompok-kelompok masyarakat yang tetap
dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang
berwujud atau tidak berwujud. Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang
merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang
bersifat teritorial dan genealogis. Di samping adanya masyarakat hukum yang
terdapat di kalangan rakyat tersebut. Ter Haar mengemukakan adanya
kelompok-kelompok masyarakat itu di lingkungan raja-raja dan kaum bangsawan dan di
lingkungan kaum pedagang. Kelompok-kelompok masyarakt ini dipengaruhi oleh
kehidupan hukum adat dan tempat kediaman yang terpisah dari masyarakat
umum.40
Sependapat dengan Hilman Hadikusuma, Soerjono Soekanto yang juga mengutip
pendapat Ter Haar di dalam bukunya yang berjudul Beghinselen en Stelsel van bet
Adatrecht, ter Haar merumuskan Masyarakat Hukum Adat, sebagai:
“……geodende groepen van blijvend karakter met bewind en eigen
materieel en immaterieel vermogen (terjemahan bebas: ….Kelompok -kelompok teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda materiel maupun immateriel” (B. ter Haar Bzn, 1950:16)”.41
39
Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga, Op Cit, Hlm. 306 40
Hilman Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hlm. 105.
41
Hazairin memberikan suatu uraian yang relatif panjang mengenai Masyarakat
Hukum Adat, sebagai berikut (Hazairin 1970: 44):
“Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya….Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, Matrilineal, atau Bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri: komunal, di mana gotong royong, tolong menolong, serta dan selalu mempunyai peranan yang besar.42
Kelompok-kelompok itu di satu pihak dinamakan persekutuan hukum atau
masyarakat hukum, sebab di dalam kelompok itulah bangkitnya serta dibinanya
kaidah-kaidah hukum adat sebagai suatu endapan dari kenyataan-kenyataan sosial,
dan di lain pihak dalam hubungannya dengan kelompok yang lain bersikap
sebagai suatu kesatuan dan juga hidup dalam suatu pergaulan hukum antar
kelompok. Dengan demikian kelompok-kelompok dimaksud dinamakan juga
sebagai Subyek Hukum. Sehingga dengan hal tersebut menurut B.Ter Haar Bzn.,
dalam bukunya “Asas-asas dan Susunan Hukum Adat Indonesia” , menyatakan:
“Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan batin.
Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak seorangpun diantara mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu.
Gambaran yang melukiskan bahwa susunan Hukum Adat bermula dari manusia
yang terikat pada masyarakatnya, dan bahwa individu tidak mempunyai hak-hak
abstrak melainkan kekuasaan-kekuasaan kongkrit/nyata, itulah bukti adanya
hak-hak milik bersama yang dilukiskan para Ahli Hukum Adat Belanda, dengan
menggunakan istilah Bahasa Hukum Belanda, yaitu: ”communaal bezitsrecht”,
yang padanan Bahasa Indonesianya disebut “Hak Milik Komunal”44.
Supomo dalam buku “Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat”
melukiskan sifat “Komunal” atau “Kebersamaan” dari suatu Masyarakat Hukum
Adat, yaitu sebagai berikut:
“Masyarakat tidak dipandang sebagai badan tersendiri dengan suasana kepentingan sendiri. Masyarakat bukan suatu kekuasaan, yang berdiri lepas dari manusia seorang-seorang dan berhadapan dengannya. Tidak, individu-individu terutama merasa dirinya sebagai bahagian-bahagian dari keseluruhan dan hidup sesuai dengan itu. Demikian pula masyarakat melihat individu sebagai bagian yang diperkhusus daripadanya. Jadi, menurut cara berpikir tersebut, individu adalah satu mahluk, dalammana masyarakat mengkhusukan diri. Masyarakat ialah keseluruhan dari sekalian anggota-anggota seorang-seorang. Karena itu keinsafan kemasyarakatan dari keinsafan individu bercampur baur. Itulah sebabnya maka hukum adat mempunyai sifat kommunal (untuk bersama). Sudah dalam Tahun 1917 van Vollenhoven menunjukkan adanya sifat kommunal ini dalam kehidupan Hukum Indonesia”45
.
Hazairin menyatakan, bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat tersebut juga
terangkum di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya46
sebelum perubahan, yang isinya adalah sebagai berikut:
44
Herman Soesangobeng; “Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria”;
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Press; Yogyakarta; 2012; Hlm. 190-191 45
R. Soepomo; Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 1970; Hlm. 11. Lihat juga Herman Soesangobeng; “Ibid; Hlm. 191
46
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”47
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sebagaimana ditegaskan oleh
Bushar Muhammad (1994:22), inti dari Persekutuan Hukum, adalah:
a. Kesatuan manusia yang teratur; b. Menetap di daerah tertentu;
c. Mempunyai penguasa-penguasa, dan
d. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud di mana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hak yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara mereka para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.48
2.2 Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Kedudukan hak ulayat sudah terkandung dalam Pasal 18.B ayat (2) UUD 1945,
yang menyatakan bahwa: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Secara konstitusional, jaminan
UUD 1945 itu diharapkan semakin memperkuat eksistensi hukum adat bagi
keberlangsungan kehidupan mayarakat adat.49
dengan undang-undang di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut
Bagi Masyarakat Hukum Adat, maka tanah mempunyai fungsi yang sangat
penting. Tanah merupakan tempat di mana warga masyarakat hukum adat
bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. Mengenai
hal ini, Iman Sudiyat menyatakan, bahwa (Iman Sudiyat 1978:1)50:
“Sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peranan vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdiminasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, merupakan suatu conditio sine qua non”51
Tolib Setiyadi, dalam buku Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam Kajian
Kepustakaan), berpendapat bahwa:
Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam Hukum Adat, yaitu disebabkan:
A. Karena Sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimana pun juga akan tetapi tokh akan masih bersifat tetap dalam keadaannya bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan.
B. Karena Faktnya
Yaitu kenyataannya bahwa tanah itu adalah:
1). Merupakan tempat tinggal persekutuan (masyarakat);
2). Memberikan penghidupan kepada persekutuan (masyarakat); 3). Merupakan tempat di mana para warga persekutuan
(masyarakat) yang meninggal dunia dikuburkan;
4). Merupakan pula tempat tinggal bagi danyang-danyang pelindung persekutuan (masyarakat) dan roh-roh para leluhur persekutuan (masyarakat)52
Kedudukan tanah dalam lingkungan hukum adat, memiliki fungsi yang sangat
fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk
sedemikian rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup
atau modal esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh
karena itu, selalu terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak-hak
seseorang sebagai anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum
atas tanah yang ditempati.53 Di mana yang menjadi Obyek Hak Ulayat adalah
meliputi:
a. Tanah (daratan);
b. Air (Perairan) seperti misalnya: kali, danau, pantai beserta perairannya;
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon-pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan lain sebagainya);
d. Binatang-binatang yang hidup di atas lingkungan ulayat (hidup liar, bebas dalam hutan).54
Bagi persekutuan-persekutuan hukum Indonesia yang kecil (terutama yang
bersifat territorial) dan hampir seluruhnya bertitik tumpu pada pertanian itu, suatu
wilayah bukanhanya merupakan tempat mempertahankan hidup semata, tetapi
kepada wilayah itulah orang juga terikat. Tanah merupakan modal utama bagi
bagian terbesar dari wilayah-wilayah itu bahkan merupakan satu-satunya modal.55
Mengenai hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah, ter Haar
menyatakan, sebagai berikut (B ter Haar Bzn 1950:56)
“Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik keluar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan sebagai suatu kesatuan bertanggung jawab terhadap perilaku menyeleweng yang dilakukan oleh orang asing di tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya, dengan cara membatasi peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian tanah tertentu dari hak menikmatinya secara pribadi, untuk kepentingan masyarakat secara langsung”56
Mengingat akan fakta sebagaimana tersebut di atas, maka antara persekutuan
dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan
yang mempunyai sumber serta yang bersifat relegio-magis. Hubungan yang erat
dan bersifat relegio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk
tanah dimaksud, memanfaatkannya tanah itu, memungut hasil dari
tumbuh-tumbuhan dan atau pohon-pohon yang hidup di atas tanah tersebut serta juga
berburu binatang-binatang yang hidup di situ57. Hak Persekutuan atas tanah ini
disebut sebagai Hak Pertuanan atau Hak Ulayat. Hak ini oleh Van Vollenhoven
disebut sebagai “Beschikkingsrecht”. Istilah ini dalam Bahasa Indonesia adalah
merupakan suatu pengertian baru, satu dan yang lain dikarenakan dalam Bahasa
Indonesia (juga dalam bahasa-bahsa daerah) istilah yang dipergunakan semua
pengertiannya adalah sebagai “Lingkungan Kekuasaan” sedangkan
“Beschikkingsrecht” itu menggambarkan tentang hubungan antara Persekutuan
dengan Tanah itu sendiri. Kini lajimnya dipergunakan istilah Hak Ulayat sebagai
terjemahan dari Beschikkingsrecht.58
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu Masyarakat Hukum
Adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dinyatakan masih ada, apabila
memenuhi tiga unsur, yaitu:
57
B. Ter Haar Bzn menyatakan, bahwa sebagai suatu totalitas, maka Masyarakat Hukum Adat menerapkan Hak Ulayat dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagai badan penguasa, maka masyarakat hukum adapt membatasi kebebasan warga masyarakat untuk memungut hasil-hasil tersebut. Hak Ulayat dan hak-hak warga masyarakat sevcara pribadi, mempunyai hubungan timbale-balik yang bertujuan untuk mempertahankan keserasian sesuai dengan kepentingan masyarakat dan warga-negaranya (B ter Haar Bzn 1950:57). Soerjono Soekanto, Op Cit, Hlm.175
58
1). Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan Hukum Adat tertentu, yang merupakan suatu Masyarakat Hukum Adat;
2). Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat Masyarakat Hukum Adat tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai “labensraum”-nya;
3). Masih adanya penguasa adat yang pada kernyataannya dan diakui oleh para warga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan melakukan kegiatyan sehari-hari sebagai pelaksana Hak Ulayat.59
Hak-hak tanah menurut Hukum Adat dibedakan menjadi dua istilah: “Hak
Ulayat” dan “Hak Milik Perseorangan”. Istilah lain dari pada Hak Ulayat ialah:
Van Vollen Hoven, menyebut dengan “Beschikkingsrecht” atau “Hak
Pertuanan”, sedangkan Mr. Djojodiguno menyebut istilah Hak Ulayat adalah
“Hak Purba” dan Mr. Soepomo memberi istilah dari Hak Ulayat adalah “Hak
Pertuanan”, sedangkan istilah “Hak Ulayat” itu sendiri digunakan oleh Mr.
Soerjono Sokanto dan Mr. Mahadi serta dipergunakan dalam Undang-Undang
Nomor: 5 Tahun 1960 (Pasal 3)60. Terlepas dari semua itu, di seluruh Indonesia
kita melihat adanya hubungan-hubungan antara persekutuan hukum yaitu
Masyarakat Hukum Adat dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan kata lain,
persekutuan hukum (Masyarakat Hukum Adat) itu mempunyai hak atas
tanah-tanah itu, yang dinamakan Beschikkingsrecht tersebut.
2.3 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
Pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat terdapat di dalam UUD
1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945. Sebelum perubahan,
Pasal 18 UUD 1945 mengakui adanya hak asal usul dalam daerah-daerah
59
Urip Santoso, Loc Cit, Hlm. 81-82; Lihat Maria S.W. Sumardjono; Loc Cit; Hlm. 158-159; dan Rizani Puspawidjaja; Loc Cit; Hlm. 55
60
Mg. Sri Wiyarti, “Hukum Adat II” Buku Pegangan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1989, Hlm. 93. Soerjono Soekanto,
istimewa, yaitu: “Pembagian Daerah atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang Pemerintahan Negara dan hak-hak,
asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa”. Pasal ini belum secara tegas memberikan
pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, namun dalam
penjelasan Pasal 18 UUD 1945 diuraikan tentang pengakuan terhadap Masyarakat
Hukum Adat, yaitu:
“Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti marga, desa, dan negeri, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. “Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut”.61
Pengakuan dan penghormatan terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
tersebut, sebagaimana diuraikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013, dimuat di dalam:
1). Level perundang-undangan di bawah UUD 1945, yaitu: Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Pertambangan, dan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan. Sedangkan persyaratan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara sebelum perubahan UUD 1945, salah satunya diatur dalam Pasal 3 UUPA, yaitu: a). Sepanjang menurut kenyataan masih hidup; b). Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan c). Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
2). Sementara itu, sesudah perubahan kedua UUD 1945, pengakuan sekaligus penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat semakin dipertegas dalam Pasal 18.B ayat (2) dan Pasal 28.I ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
a. Pasal 18.B ayat (2) UUD 1945: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
61
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.
b. Pasal 28.I ayat (3) UUD 1945: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
3). Kemudian masih terkait dengan msyarakat hukum adat, perubahan keempat UUD 1945 juga memberikan jaminan konstitusional terhadap kebudayaan Indonesia yang termuat di dalam Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”
(2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
4). Dengan demikian, masyarakat hukum adat memiliki basis konstitusional untuk mempertahankan hak-haknya sebagaimana dimuat di dalam Pasal-Pasal di atas, walaupun dari beberapa kalangan melihatnya justru sebagai konteks pembatasan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat. Selain termaktub di dalam UUD 1945, pengakuan terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat pasca perubahan UUD 1945 juga tersebar di berbagai Keteapan MPR dan undang-undang, di antaranya, yaitu: Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ketentuan mengenai keberadaan Masyarakat Hukum Adat pasca perubahan UUD 1945 juga dimuat di dalam Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu memuat unsur-unsur sebagai berikut:
a). Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap);
b). Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c). Ada wilayah hukum adat yang jelas; dan
d). Memiliki pranata;
5). Paguyuban dalam hal ini dapat diartikan sebagai bentuk kehidupan bersama, di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut berasal dari rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis dengan ciri-ciri:
a). Intimate, hubungan menyeluruh yang mesra;
c). Exclusive, hubungan tersebut hanyalah untuk ”kita” saja dan
tidak untuk orang-orang lain di luar ”kita”.
6). Sementara itu di tingkat Pemerintahan Daerah, telah diterbitkan juga beberapa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang mengakui keberadaan desa adat, seperti Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari di Provinsi Sumatera Barat, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, dan Keputusan Bupati Tana Toraja Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat sudah terintegrasi mulai dari tingkatan UUD 1945, Undang-Undang, hingga Peraturan Daerah di beberapa wilayah Indonesia.62
2.4 Negara Hukum Indonesia
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep „rechtsstaat’
dan „the rule of law‟, juga berkaitan dengan konsep „nomocracy‟ yang berasal dari
perkataan „nomos‟ dan „cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan
dengan „demos‟ dan „cratos’ atau „kratien‟ dalam demokrasi. „Nomos‟ berarti norma, sedangkan „cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor
penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu,
istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip
hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan
oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang
berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of
Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri,
bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide
62
nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani
Kuno.63
Sejak perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan, cita-cita bangsa Indonesia
ialah membangun sebuah Negara Hukum. Cita-cita Negara Hukum itu
dicantumkan dalam tiap-tiap Undang-Undang Dasar, baik Undang-Undang Dasar
1945 sebelum perubahan, Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949,
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950, dan
Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan64
Meskipun konsep Negara Hukum di Indonesia merupakan cita-cita bangsa
Indonesia dan juga telah diatur dalam setiap Undang-Undang Dasar, namun
konsep Negara Hukum itu sendiri bukanlah asli dari bangsa Indonesia. Negara
Hukum Indonesia merupakan produk yang diimport atau suatu bangunan yang
dipaksakan dari luar “Imposed from outside” yang di adopsi dan di transplantasi
lewat politik konkordansi kolonial Belanda65. Sekalipun konsep Negara Hukum
Indonesia merupakan adopsi dan transplantasi dari Negara lain, namun konsep
Negara Hukum Indonesia berbeda dengan konsep Negara Hukum bangsa lain.
Negara Hukum Indonesia lahir bukan sebagai reaksi dari kaum liberalis terhadap
pemerintahan absolut, melainkan atas keinginan bangsa Indonesia untuk membina
kehidupan Negara dan masyarakat yang lebih baik guna mencapai tujuan yang
63
Jimly Asshiddiqie, “Makalah Gagasan Negara Hukum”, Hlm 2. 64
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1967, Hlm. 9 65
telah ditetapkan, menurut cara-cara yang telah disepakati. Hal ini disebabkan
karena latar belakang sosio budayanya yang berbeda66.
Konsep Negara Hukum yang sebenarnya dianut oleh negara Indonesia dapat
dilihat pada Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945 sebagai keseluruhan
sumber politik hukum Indonesia. Dasar penegasan keduanya sebagai sumber
politik hukum nasional adalah: Pertama, Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD
1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar Negara Indonesia yang
harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum Indonesia. Kedua,
Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945 mengandung nilai khas yang
bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh
nenek moyang bangsa Indonesia67. Berdasarkan pemikiran tersebut, Bahder Johan
Nasution berpendapat, dapat dipahami bahwa ide dasar Negara Hukum Indonesia,
tidak lepas dari ide dasar tentang rechtsstaat di mana syarat-syarat utamanya
terdiri dari: (1). Asas legalitas; (2). Pembagian Kekuasaan; (3). Hak-hak dasar,
yaitu Perlindungan HAM dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk
undang-undang; (4). Tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji
keabsahan tindak pemerintah.68
Menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah negara hukum, UUD 1945 sebagai
hukum dasar, menempatkan hukum pada posisi yang menentukan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dari sudut pandang konstitusi, tidak berlebihan apabila
dikatakan bahwa supremasi hukum dapat dianggap sebagai salah satu tujuan
66
Bambang Arumanadi dan Sunarto, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945, IKIP Semarang Press, Semarang, 1990, Hlm. 106
67
Mahfud M.D., Op Cit, hlm. 23 68
Bangsa Indonesia mendirikan negara ini. Dalam kaitan itu, konsep kenegaraan
Idnonesia, antara lain menentukan bahwa pemerintahan dibatasi oleh ketentuan
yang termuat dalam konstitusi. Pada negara yang bersistem konstitusi atau
berdasarkan hukum dasar, terdapat suatu hierarki perundang-undangan, di mana
UUD berada dipuncak piramida, sedangkan ketentuan yang lain berada di bawah
konstitusi.69
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia dengan telah diamandemennya UUD
1945, maka terjadi perubahan yang signifikan terhadap konsep Negara Hukum
Indonesia, perubahan mana terlihat mengenai penyebutan Indonesia Negara
Hukum, yang semula sebelum diamandemen hanya ditemukan dalam penjelasan
UUD 1945, kemudian setelah diamandemen, penegasan Indonesia sebagai negara
hukum, dimuat secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, hal ini
membuktikan bahwa Indonesia menjunjung tinggi hukum (rechtsstaat) dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat (the rule of law).70
Penegasan bahwa negara indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur di
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dapat diketemukan juga ciri-ciri atau
prinsip-prinsip suatu negara hukum di dalam UUD 1945. Sebagaimana yang sudah
dikemukakan di atas, bahwa ciri-ciri atau prinsip-prinsip negara hukum secara
umum adalah adanya perlindungan HAM, adanya pembagian kekuasaan,
pemerintahan berdasarkan atas hukum, persamaan hak di depan hukum dan
69
Ismail Suny, “Mencari Keadilan”Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, Hlm. 21. 70