Hak Ulayat dalam Hukum Adat.
-Apa itu Tanah Ulayat dan Hak Ulayat?
-Bagaimana hubungan tanah ulayat dan hak perorangan?
-Bagaimana hubungan tanah ulayat dan undang-undang pokok agraria?
Hak Ulayat.
Tanah bagi kehidupan manusia sangatlah penting. Hal ini dikarenakan hampir seluruh aspek kehidupan terlebih lagi bagi masyarakat indonesia yang agraris. Tanah tidak hanya dipahami sebagai sumber ekomomi saja. Namun bagi pihak lain memandang tanah sebagai sesuatu yang sakral dan harus dijaga. Salah satunya adalah masyarakat adat. Mereka memandang tanah khususnya tanah ulayat karena merupakan peninggalan nenek moyang ataupun sebagai lambang identitas mereka.
Konstitusi negara kita-pun melihat tanah sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan dan dijaga untuk kepentingan bersama. Ini tergambar dalam Undang-Undang Dasar Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ; Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
•
Sebagai tindak lanjut dari pasal 33 ayat (3) undang-undang Dasar 1945 yang berkaitan demgam bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah undang-undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok dasar agraria yang lebih dikenal dengan undang-undang pokok agraria (UUPA). Yang lebih kurang mempunyai azas yang mendukung kepentingan umum lebih tinggi daripada kepentingan individu.
Bagi negara indonesia, sebagai negara yang agraris keberadaan tanah memiliki fungsi yang sangat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Dinegara seperti indonesia fungsi tanah kian meningkat dan mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Dari sekian banyak bidang yang menyangkut tanah, bidang ekonomi nampak mendominasi aktivitas manusia atas tanah. Karna berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia, dimana pertumbuhan penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat.
Begitu juga dengan masyarakat adat, penjelasan mengenai tanah asal mereka-tanah ulayat- amatlah dirasa perlu untuk diperjelas. Dan kemudian ketika kita juga melihat adanya hubungan antara masyarakat adat dengan masyarakat/individu diluar adat, maka akan ada kemungkinan kesempatan bagi mereka yang diluar adat untuk memanfaatkan tanah adat.
• Sifat masyarakat adat itu sendiri adalah masyarakat komunal- sosial-religius, maka adanya tanah ulayat pada masyarakat adat mengisyaratkan kegunaan tanah ulayat adalah untuk kepentingan komunal masyarakat adat, namun kemungkinan untuk meningkatnyak hak ulayat kepada hak milik tentu masih ada. Dalam UUPA juga diatur kepemilikan pribadi sebagaimana tertuang dalam pasal 16 UUPA. Dan kemudian ketika berbicara UUPA dan tanah ulayat, ketika negara disatu sisi dan masyarakat adat disisi lain akan dilihat bertemunya dua kepentingan. Sebagaimana yang disebutkan tadi, bahwa tanah sangat penting untuk perekonomian. Kadang kala kita melihat dimedia masa bahwasanya negara kadang kala bertindak refresif, apakah yang sebenarnya terjadi dalam kasus tanah indonesia.
Pengertian Tanah dan Hak Ulayat.
Tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat diistilahkan dengan berbagai istilah dan nama. Hal ini disesuaikan dengan geografis dan kebiasaan adat setempat, tanah ulayat mempunyai batas- batas sesuai dengan situasi alam sekitarnya, seperti puncak bukit atau sungai. Nama-nama tersebut antara lain: patuanan (ambon), panyampeto dan pawatasan (kalimantan), wewengkon (jawa), prabumian dan payar (bali), totabuan (bolaang mongondow), torluk (angkola), limpo ( sulawesi selatan), nuru (buru), paer (lombok), ulayat (minangkabau), dan masih banyak lagi nama-nama untuk tanah ulayat tersebut.
Perbedaan istilah itu bukanlah perbedaan makna mendasar yang membedakan tanah ulayat tersebut secara substansial. Karena dalam hukum adat, khususnya hukum tanah adat terdapat kesamaan yang merupakan perwujudan konsepsi dan asas-asas hukum yang sama.
Walaupun sebutan dan lembaga-lembaga hukumnya berbeda karena perbedaan bahasa dan kebutuhan masyarakat hukum adat tersebut.
tanah ulayat ini bagi masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama. Dan diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek monyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat. Dan juga sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Lebih lanjut hak kepunyaan bersama atas tanah inilah yang dikenal dalam kepustakaan dan akademik hukum adat dengan hak ulayat.
Beberapa ahli hukum adat ada juga memberikan nama yang berbeda-beda terhadap hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat tersebut. Van vollenhoven mengistilahkannya dengan
‘beschikkingsrecht” (hak pertuanan) yaitu hak penguasaan yang berada ditangan komunitas desa berdasarkan hukum adat atas suatu teritori tertentu, Djojodigoeno dengan hak purba, Supomo dengan hak pertuanan, Hazairin dengan hak bersama dan hak ulayat dalam undang-undang pokok agraria (uupa). Menurut djojodiegoeno, hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu clan/gens/stam, sebuah serikat desa-desa atau biasanya sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Kita juga dapat mengatakan hak ulayat ini semacam hak kekuasaan, hak menguasai bahkan menyerupai semacam kedaulatan suatu persekutuan hukum adat atas suatu wilyah tertentu.
khusunya dalam masyarakat minangkabau, ada dua jenis tanah ulayat dalam satu daerah, yaitu ulayat nagari dan ulayat kaum.
Ulayat nagari berupa hutan yang jadi cagar alam dan tanah cadangan nagari. Ia juga disebut sebagai hutan tinggi. Ulayat kaum ialah tanah yang dapat dimanfaatkan tetapi belum diolah oleh penduduk. Ia disebut hutan rendah. Dan kekuasaan tanah ulayat nagari adalah penghulu dari masing-masing suku dan tiap kepala suku untuk ulayat kaum.
Dapat kita ambil garis besarnya, bahwa hak ulayat merupakan serangkai wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat.Berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dan merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
Objek hak ulayat ini adalah tanah dan juga perairan, seperti sungai dan perairan pantai laut, dan juga atas tanaman yang tumbuh sendiri, seperti pohon-pohon, buah-buahan, dan batang kayu, begitu juga dengan binatang-binatang liar yang hidup dilingkungan tanah ulayat tersebut.Lebih lanjut kita dapat melihat cici-ciri tanah ulayat tersebut:
-Hanya persekutuan hukum adat tersebut dan para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah yang terletak dalam lingkungan kekuasaan atau wilayah pertuanannya.
-Selain masyarakat hukum adat didaerah tersebut boleh menggunakan tanah tersebut dengan izin kepala adat di daerah itu. Tanpa izin dari kepala/pemuka adat penggunaan tanah ulayat dianggap melanggar.
-Tanah ulayat tidak dapat dipindah-pindahkan kepada pihak lain.
-Hak ulayat juga meliputi tanah yang sudah digarap, yang telah diliputi hak perorangan.
Penggunan tanah adat selain masyarakat adat didaerah tersebut biasanya harus membayar upeti kepada adat atas manfaat yang telah diambilnya.
Salah satu contoh di masyarakat Minagkabau, setelah mendapat izin dari penguasa adat, maka syarat yang harus dilunaskan meliputi :
• Wajib menyelesaikan pekerjaan membuka ulayat itu menurut jangka waktu yang telah disepakati, bila tidak terselesaikan kesepakatan batal.
• Pemegang izin tidak boleh memindahkan haknya pada orang lain tanpa persetujuan pemberi izin. Pemindahan hak, tingkat pertama prioritasnya diberikan kepada warga suku pemilik ulayat, tingkat kedua kepada warga nagari tanah ulayat, tingkat selanjutnya pada siapa saja yang sanggup.
• Pemegang izin wajib mengembalikan hak izinnya kepada penghulu yang memberikan izin, apabila tidak berniat untuk melanjutkannya atau tidak ada orang lain yang akan menggantikannya.
• Apabila pemegang izin meninggal tanpa ahli waris, tanah garapan itu menjadi harta gantung untuk jangka waktu tertentu. Bila kemudian pemegang izin mempunyai ahli waris, maka hak izin dapat diteruskan.
Masyarakat Hukum atas Tanah dan Hak Ulayat.
Selaras dengan tanah ulayat dan hak ulayat, kita juga dapat menyinggung masyarakat hukum adat itu sendiri yang merupakan pemilik tanah ulayat tersebut. Masyarakat Hukum adat adalah subyek Hak ulayat dan mempunyai wewenang untuk mengatur dan bertanggung jawab atas tanah ulayat tersebut.
Masyarakat hukum adat ini bisa berbentuk masyarakat hukum adat teritorial meliputi desa, marga, nagari atau huta. Dan bisa juga merupakan masyarakiat hukum adat genealogik atau keluarga, seperti suku dan kaum di Minangkabau.
Masyarakat hukum adat teritorial adalah persekutuan hukum yang didasarkan pada hubungan bersama pada daerah tertentu. Mereka tinggal bersama-sama dan mendapatkan penghidupan dari daerah itu. Masyarakat adat teritorial ini dapat dibagi atas dua golongan:
Persekutuan desa (drop) adalah sekelompok orang yang terikat pada satu tempat kediaman. Termasuk didalamnya teratak-teratak atau dukuh yang terpencil. Sedang para pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal didalam pusat kediaman itu.
Persekutuan daerah (streek) adalah apabila dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa (drop) yang masing-masing mempunyai tata sususunan penguasaan yang sejenis, masing- masing boleh dikatakan hidup berdiri sendiri. Tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah.
Sedangkan masyarakat hukum adat berdasarkan genealogi adalah persekutuan hukum yang berdasarkan atas pertalian suatu keturunan bersama. Persekutuan hukum ini dibedakan tiga tipe:
• Patrilineal adalah pertalian darah menurut garis bapak, seperti di masyarakat adat Batak, Nias dan Sumba.
• Matrilineal adalah pertalian darah menurut garis ibu, seperti keluarga di Minangkabau.
• Parental adalah pertalian darah menurut garis ibu dan bapak, seperti di Jawan, Sunda, Aceh, Bali dan Kalimantan.
Hubungan Tanah Ulayat dengan Perorangan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwasanya Tanah ulayat dimiliki secara komunal dan dimanfaatkan untuk keperluaan kekerabatan dan komunal pula. Hak-hak yang berlaku dalam tanah ulayat secara garis besar diberlakukan kedalam dan keluar dan secara langsung akan melahirkan hak dan kewajiban bagi masyarakat adat. Hak berlaku kedalam meliputi :
Masyarakat adat berkewajiban menyediakan serta menempatkan tanah untuk keperluan masyarakat hukum adat untuk keperluan bersama, misalnya tanah kuburan, rumah ibadah, jalan dan sebagainya.
Secara adat, ada kemungkinan masyarakat adat memberikan haknya kepada pihak lain diluar hubungan kekerabatannya untuk menikmati dan memanfaatkan tanah ulayat, seperti mendirikan rumah, mengambil hasil hutan atau sungai dan keperluan pencari hidup lainnya.
Berdasarkan hak ulayat pula, suatu masyarakat hukum adat menetapkan serta mengatur hubungan antara anggota/warga masyarakat hukum dengan tanah yang telah dibuka atau diolahnya.
Hak berlaku keluar meliputi :
• Berdasarkan hak ulayat ini warga masyarakt hukum adat bertanggung jawab terhadap perilaku penyelewengan dan pelanggaran yang terjadi pada tanah ulayat mereka.
• Orang luar dan bukan masyarakat adat, yang pada dasarnya tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menarik hasil dari tanah ulayat, yang bersangkutan kecuali dengan izin masyarakat hukum adat tersebut dengan menyerahkan upeti atau syarat lainnya, sebagai bentuk pengakuan atas kekuasaan dari masyarakat hukum adat terhadap tanahnya.
Hak-hak yang diperoleh orang luar tidak sama dan tidak sekuat hak para warga masyarakat hukum adat itu sendiri, karena orang luar tidak diperkenankan untuk mewariskan hak-hak yang telah diperolehnya itu, tidak boleh membeli atau menerima gadai tanah-tanah pertanian dan sebagainya.
Dan ketika hubungan salah seorang masyarakat adat dengan tanahnya bersifat tetap dan berlangsung terus menerus, maka hak memanfaatkan tanah ulayat tersebut dapat menjadi Hak Milik, Namun walaupun dapat menjadi hak milik, hak tersebut tidaklah dilepas begitu saja. Hak milik yang ditingkatkan dari hak ulayat tersebut tetap dibatasi oleh hak ulayat. Jika orang yang terus-menerus memanfaatkan tanah ulayat tertentu, kemudian dengan adanya izin dari pemuka adat untuk menggarapnya sendiri (seperti Hak milik) ketika menelantarkan atau menyia- nyiakan tanah ulayat tersebut, tanah tersebut menjadi tanah ulayat kembali.
Hak-hak individu/perorangan atas tanah ulayat:
-Hak milik (het inlands bezitsrecht), ketika anggota masyarakat memiliki hubungan perorangan atas tanah yang ia ikut mendukungnya, maka haknya tersebut disebut hak milik. Namun hak milik ini terbatas atas perlakuan kedalam.
-Hak menikmati (genotrecht), hak ini diperoleh bagi mereka yang diluar masyarakat adat tanah tersebut, namun mereka telah meminta dan diizinkan untuk memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Namun hak menikmati ini sesuai dengan kesepatakatan dengan pemuka adat.
-Hak terdahulu (voorkeursrecht), yaitu hak yang dimiliki seseorang atas suatu tanah lebih utama dibanding masyarakat hukum adat yang lain. Hal ini sebelumnya haruslah mendapatkan izin dari pemuka adat. Biasanya hak ini dapat dilihat dari tanah yang telah tersia-sia dan pemuka adat memintanya untuk menggarap tanah tersebut.
-Hak terdahulu membeli (nooastingsrecht), hak ini dapat dilihat dari beberapa bentuk. Seperti lebih mengutamakan anggota keluarga dan kerabat dekat untuk terlebih dahulu memmbeli tanahnya dari pada yang lain, atau lebih mendahulukan masyarakat seadat membelinya dari masyarakat ada lain
-Hak pungut hasil (ambtelijk profijtrecht) , hak ini dimiliki oleh pemuka-pemuka adat untuk mendapatkan hasil dari tanah adat.
Dan juga ada hasil tanah adat tersebut diberikan masyarakat adat kepada pemuka adat untuk nafkah pemuka adat sebagai jabatannya.
-Hak pakai (gebruiksrecht), yaitu hak yang miliki seseorang untuk memakai tanah ulayat keluarganya yang seadat.
-Hak gadai dan sewa (pand en huurrecht), yaitu hak bagi pemegang gadai untuk memanfaatkan suatu tanah sesuai dengan perjanjian dengan pemilik tanah, setelah memberikan pinjaman terlebih dahulu.
Perlu diingat disini bahwasanya hak-hak diatas tidaklah sama disetiap daerah adat di Indonesia. Bisa jadi ada satu daerah tidak memberikan suatu hak yang telah disebutkan diatas untuk perorangan. Begitu juga ketika hak perorang ini didapat oleh seseorang, hak perorangan ini tidak berdiri secara penuh, karena hak ulayat tetaplah diutamakan. Ketika itu dilihat bahwa hak ini akan didapat ketika telah ada izin dari masyarakat hukum adat atau pemuka adat.
Tanah Ulayat dalam Undang- Undang Pokok Agraria
Dalam mewujudkan sebuah undang-undang pertanahan nasional, Hukum adat tentang tanah dijadikan sebagai salah satu aspek Materiilnya. Hukum adat dimasukkan kedalam UUPA karena dilihat bahwasanya hukum adat dianut oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Sehingga hukum adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istemewa dalam pembentukan hukum agraria nasional. Kita dapat melihat posisi hukum adat hak menguasai atas tanah diposisi setelah negara.
• Hak bangsa Indonesia atas tanah
• Hak menguasai dari negara atas tanah
• Hak ulayat masyarakat hukum adat
• Hak-hak perorangan, meliputi:
• Hak-hak atas tanah
• Wakaf tanah hak milik
• Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
• Hak milik atas satuan rumah susun
• POSISI HUKUM ADAT YANG PENTING TERSEBUT MEMPUNYAI TERCERMIN DIBANYAK PASAL SEPERTI ASAS KEMASYARAKATAN DI PASAL 6, ASAS GONTONG-ROYONG DI PASAL 12 AYAT (1). DAN TERKAIT HAK TANAH ULAYAT SECARA GAMBLANG DI JELASKAN PADA PASAL 3 UUPA, YAITU :
• Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat –masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
• Namun walaupun begitu, ketika kita melirik lebih jauh ternyata pengakuan atas tanah ulayat dalam UUPA tidak serta-merta tanpa syarat. Hal dilihat dalam pasal bahwasanya pelaksanaan hukum adat dengan syarat ;
• Sepanjang menurut kenyataan masih ada,
• Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
• Tidak boleh bertentangan dengan uu yang lebih tinggi
• Hal ini tentu membuat kondisi tanah ulayat itu masih belum jelas. Karena ketika ditemui bentrokan antara kepentingan pemerintah disatu sisi, sebagai perwakilan negara dan masyarakat adat disisi lain maka secara otomatis hak masyarakat adat atas tanah ulayat akan terkalahkan. Tentu masih jelas dimata ketika banyaknya kasus-kasus yang terjadi belakangan ini, dimana pemerintah menggunakan kekuasaannya menggusur masyarakat adat.
•
Adapun alasan dari kalahnya masyarakat adalah adanya asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan atau golongan. Urip santoso menjelaskan dalam bukunya terkait hal ini bahwasanya : Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem hukum agraria nasional akan tetapi dalam pelaksanaannya berdasaskan azaz ini, maka kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika masyarakat hukum adat menolak dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian baru, transmigras, dan sebagainya.
Pengalaman menunjukkan seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat.
• Ketika ini terjadi tentu masyarakat hukum adat harus rela menyerahkan tanah adatnya digunakan. Tidak hanya itu, dalam hal ini keberadaan adat pun dipertanyakan. Karena sebagaimana yang dijelaskan tadi bahwasanya keberadaan tanah ulayat sebagai penyokong dan memberikan manfaat, baik itu manfaat ekonomi maupun spritual.
• Begitu juga ketika dilihat syarat yang disampaikan dalam pasal 3 UUPA tersebut, dijelaskan bahwa masyarakat adat itu harus ada. Dikondisi zaman yang tidak terlalu jelas membedakan apakah ini masyarakat adat didaerah tersebut ataukan masyarakat asing/urban pun tidak jelas. Tentu hal ini akan mempermudah pemerintah untuk mengalahkan keberadaan masyarakat adat ketika terjadi konflik kepentingan tersebut.
• Hal ini dapat kita lihat dalam bagian penjelasan umum II (2) bahwa :
• ……… berhubungan dengan disebutnya hak ulayat didalam undang- undang pokok agraria, yang pada hakikatnya pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpanya hak guna bangunan) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat tersebut. Tetapi sebaliknya tidak dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak itu untuk kepentingan yang lebih luas…………
• Tidak adanya penjelasan lebih jelas tentang eksistensi keberadaan masyarakat adat tentu akan membuat sukar ketika suatu masyarakat adat dalam masalah. Menurut Maria S.W, bahwa kriteria penentu ada atau tidaknya hak ulayat berdasar pengertiannya yang fundamental, dapat dilihat dari tiga hal, yaitu :
• Adanya masyarakat adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu, sebagai subyek hak ulayat.
• Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu yang merupakan objek hak ulayat
• Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
• Begitu juga dengan syarat tunduk kepada negara dan sesuai dengan undang-undang, keberadaan tanah adat untuk masa kedepan semakin tidak menentu. Beberapa saat terakhir kita melihat permasalah ini sebenarnya bermula dari tidak adanya tawar-menawar pemerintah kepada masyarakat adat. Seolah- olah pemerintah adalah pihak yang benar dan masyarakat adat adalah pihak yang menghambat. Ini dapat lihat dalam penjelasan umum II (2) bahwa :
• pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah- daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua daripada ketentuan pasal 3 tersebut diatas.
Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.