• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa keragaman genetik dan struktur populasi babi hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara dan Tenggara Pulau Sulawesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa keragaman genetik dan struktur populasi babi hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara dan Tenggara Pulau Sulawesi"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KERAGAMAN GENETIK DAN STRUKTUR

POPULASI BABI W T A N SULAWESI

(Sus

celebensis)

DI SEMENANJUNG UTARA DAN TENGGARA

PULAU SULAWESI

CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

P E R N Y A T M MENGENAI TESIS

DAN

SUMBER INFORMAS1

Dengan ini saya menyatakai bahwa tesis Analisa Keragaman Genetik dan

Struktur Populasi Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara

dan Tenggara Pulau Sulawesi adalah karya saya sendii dan belum diajukan dalam

bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2007

(3)

ABSTRAK

CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI. Analisa Keragaman Genetik dan

Struktur Populasi Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara

dan Tenggara Pulau ~ulawesi. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan MULADNO.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang keragaman

genetik dan struktur populasi babi hutan sulawesi (Sus celebensis) menggunakan

marker mikrosatelit. Sampel jaringan daging yang digunakan untuk isolasi DNA diperoleh dari 62 individu S. celebensis yang hidup di semenanjung utara dan tenggara pulau Sulawesi. Tigabelas marker mikrosatelit dipilih secara acak dan digunakan sebagai primer dalam proses amplifikasi alel menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction. Analisa ukuran alel mikrosatelit dilakukan dengan

teknik elekhaforesis kapiler di dalam alat ABI PRISM 310 Genetic Analyzer

menggunakan program GeneScan 3.2.1 dan Genotyper 3.7. Frekuensi alel,

observed heterozygosity, expected heterozygosity, znd Hardy-wei~berg exact test

diitung menggunakan program GENEPOP 3.4, nilai FST dihitung menggunakan

metode Nei, sedangkan struktur populasi dianalisa menggunakan program

STRUCTURE ver. 2. Kedua kelompok babi hutan Sulawesi di semenanjung utara

dan tenggara memperlihatkan keragaman genetik yang tinggi (HE = 0.787 dan

0.809). Terdapat perbedaan genetik yang sedang antara kelompok babi hutan ulawesi di semenanjung utara dan tenggara (Fs~0.08). Hasil analisa

menggunakan STRUCTURE ver. 2 menunjukkan ada empat subpopulasi babi

(4)

ABSTRACT

CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI. The Analysis of Genetic Variation and Population Structure of Sulawesi Warty Pig (Sus celebensis) in North and Southeast ~eninsul& of Sulawesi Island. Under the direction of ITA DJUWTA and MULADNO

The aim of this study was to determine the genetic variation and population structure of Sulawesi warty pig (Sus celebensis) using microsatellite markers. Tissue samples for DNA isolation were obtained from 62 individuals of S. celebensis living in north and southeast peninsulas of Sulawesi island. Thirteen microsatellite loci were mndornly chosen as markers and used on amplification process of microsatellite alleles using Polymerase Chain Reaction technique. The

size of microsatellite alleles were analyzed in ABI PRISM 310 Genetic Analyzer

instrument using GeneScan 3.2.1 and Genotyper 3.7. Thz aliele frequencies, observed heterozygosity, expected heterozygosity, and Hardy Wejnberg Equilibrium were analyzed using GENEPOP 3.4, FS= value was calculated using

Nei's methods, while population substructuring was analyzed using

(5)

O Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(6)

ANALISA KERAGAMAN GENETIK DAN STRUKTUR

POPULASI BABI HUTAN SULAWESI

(Sus celebensis)

DI SEMENANJUNG UTARA DAN TENGGARA

PULAU SULAWESI

CHANDRAMAYA SISKA DAMAYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelat

Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

(7)

Judul Tesis : Analisa Keragarnan Genetik dan Struktur Populasi Babi Hutan

Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara dan Tenggara

Pulau Sulawesi

Nama : Chandramaya Siska Damayanti

NIM : B151034011

Disetujui

Kornisi Pernbirnbing

zyh

-

L

A

.

Dr. drh. Ita Diuwita. MPhil Dr. Ir. Muladno, MSA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains

Tanggal Ujian : 17 Januari 2007 Tanggal Lulus :

2

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah yang be rjudul Analisa Keragaman Genetik dan

Struktur Populasi Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara

dan Tenggara Pulau Sulawesi ini berhasil diselesaikan.

Penelitian ini terlaksana atas dukungan dari The Stichting Dierentuin Helpen (Consortium of Dutch Zoo), The University of Edinburgh Development Trust, Royal Zoological Society of Scotland, Royal Zoological Society of Antwerp, Royal Zoological Society of the North of England, Yayasan Morowali, Katopasa, Yayasan Gunung Hijau, FK3GI Gorontalo, TNC Pdu, Steve dan Puji Oliver, serta

AH Mustari sebagaiproject counterpart.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Sains Veteriner, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB,

Dr. drh. Ita Djuwita, MPhil selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. 11. Muladno,

MSA sel3ku anggota kornisi pembimbing atas bimbiigannya selama penu!is melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini, Dr. Peter Galbusera dan Dr. James A. Burton yang telah banyak memberi masukan kepada penulis untuk

memecahkan masalah yang berkaitan dengan penelitian dan analisa (we have had

a very great communication in this two years! I really appreciate it!), Dr. Alastair

A. MacDonald (thanks for the attentions and supports), Sarah Gillemot dan

Muhamad Yasin Paada yang membantu penulis dalam teknis laboratorium dan pengurnpulan sarnpel. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Dr. drh. Retno D Soejoedono, MS yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan studi

ini. Dr. drh. I Wayan Batan, MS, I Wayan Wisaksanayasa, SKH, dan Muhammad

Angga Wijaya, SKH sebagai teman setia dikala susah dan senang, drh. I Ketut

Mudite Adnyane, MSi, drh. Waliono Esthi Praetymingtyas, MSi, drh. Hamny, MSi, drh. I G M Suartini, MSi, Dr. k. Takciir Saili, MSi, Ir. P e t r ~ s D Satsoeitoeboen, MSi, Dr. drh. I N y o m a Suartha, MS, drh. Christian Bernard Saragih, MSi teniau-teman di PS SVT, teman-tenian di Lab. Embriologi dan

Lab. Imunologi, teman-teniar, GENETIKA 21, penghuni Lab. Terpadu FKH IPB,

teman-teman WISMA RIZA (Mbak Jurn, Bang Rizal, Susan, Intan, Khalid, Bu

Ros, Bu Epi, Nisa, Mbak Arti dan Ben!).

Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orangtua,

Brigjen TNI (Pum) Drs. Subandriyo dan Ida Rosilawati, SPd, kakak Kapten Adm

Nurul Askar Jmjunan dan Cenderawasih Yulia Shanti, SPt, adii Ipda Douglas Mahendrajaya dan Pilar Wirotama, SSos, keponakan Dmda, Griezka dan Giezha, keluarga besar Cipto Putranto, serta suamiku tersayang Aditya Wardhana, STP, MENGPRAC atas kesabaran, dukungan, doa dan kasih sayangnya selama penulis menjalankan studi di PS SVT IPB ini.

Semoga karya ilmiah

ini

bermanfaat.

Bogor, Januari 2007

(9)

RIWAYAT HIDW

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 Maret 1979 dari ayah Brigjen TNI (Purn) Drs. Subandriyo dan ibu Ida Rosilawati, SPd. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA di kota

Bandung, yaitu di SDN Ciujung IV, SMPN 14, dan SMAN 1 Bandung. Pada

(10)

DAFTAR IS1

Halaman DAFTAR TABEL

...

viii

DAFTAR GAMBAR

...

ix

DAFTAR LAMPIRAN

...

x

PENDAHULUAN

...

Latar Belakano

.

.

Tujuan Penelihan

. .

...

...

Manfaat Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika Babi Hutan Asia Tenggara

...

Morfolcgi, Habitat, Biologi Reproduksi, d m Karakteristik Genetik

...

Babi Hutan Sulawesi (S. celebensis)

...

Peranan Studi Genetika dalam Kegiatan Konsemasi

Peranan Marker DNA dalam Konsemasi Genetik

...

BAHAN DAN METODE

. .

Waktu dan Tempat Penelltian

. .

...

...

Bahan dan Alat Penelitian

. .

Metode Penelltian

...

HASIL PENELITIAN

...

Hasil Isolasi DNA 37

...

Keragaman Genetik 37

...

Shuktur Populsi 50

SIMPULAN DAN SAR4N

...

58

DAFTAR. PUSTAKA

...

59
(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tigabelas marker mikrosatelit beserta keterangan tentang nomor

akses GenBank, tipe unit berulang. sekuens. lokasi. dan suhu

annealing optimum

...

32

Ukuran. jumlah alel per l o b . dan jumlah individu yang berhasil

...

diketahui genotipenya di kedua kelompok babi . hutan sulawesi 38

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO215

...

38

...

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW72 39

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW857

...

39

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik psda lokus SW632

...

40

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada l o b SW936

...

40

...

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW240 41

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO149

...

41

...

Frekuensi ale1 dan ale1 spesilik pada lokus SO386 42

...

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SW951 42

...

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifk pada lokus SW911 42

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO224

...

43

Frekuensi ale1 dan ale1 spesifik pada lokus SO228

...

43

Frekuensi ale1 d a ~ ale1 spesifik pada lokus SO026

...

44

Jumlah genotype homozigot dan heterozigot dari 13 lokus di

...

semenanjung utara dan tenggara 49

Nilai observed dan expected heterozygosity di dua kelompok babi

hutan sulawesi

...

49

Hardy-Weinberg exact test

...

50

...

Nilai I-IS dan HT di ketigabelas lokus mikrosatelit 51

Penentuan jumlah subpopulasi (K) babi hutan sulawesi di pulau

...

Sulawesi berdasarkan nilai Pr (K

I

x

)

51

21 Penentuan jumlah subpopulasi (K) babi hutan sulawesi di

...

semenanjung utara dan tenggara berdasarkan nilai Pr (K

I

X

)

52

22 Perbandingan kisaran ukuran alel pada S . celebensis dan spesies babi

lainnya

...

55

...

(12)

Halaman Babi hutan sulawesi hasil buruan penduduk untuk diionsumsi

dagingnya

...

3

Anak babi hutan sulawesi

...

7

Babi hutan sulawesi jantan dewasa

...

7

Wilayah penyebaran babi hutan sulawesi di kepulauan Sulawesi

...

8

Struktur kimia basa nitrogen

...

16

Struktur kirnia gula ribosa dan deoksiribosa dengan penomoran pada atom karbon (C)

...

17

Nukleotida tunggal (mononuk!eotida)

...

18

Pasangan basa A-T dan G-C

...

18

Struktur molekul DNA untai ganda

...

19

Lokasi rnikrosatelit di dalam kromosom

...

21

Proses slippage pada mikrosatelit

...

23

Lokasi pengambilan sarnpel babi hutan sulawesi di semenanjung utara dan tenggara pulau Sulawesi

...

26

Skema proses amplifiasi dengan t e r n PCK menggunakan

...

metode M13

Ale1 hoinozigot

...

Ale1 heterozigoi

...

Hasil elektrohresis

...

Sebaran ale1 pada lokus SO215 di semenanjung utara dan tenggara

....

Sebaran ale1 pada lokus SW72 di semenanjung utara dan tenggara

....

Sebaran ale1 pada lokus SW857 di semenanjung utara d m tenggara

..

Sebaran alel pada lokus SW632 di semenanjung utara dan tenggara

..

Sebaran ale1 pada lokus SW936 di semenanjung utara dan tenggara

..

Sebaran alel pada lokus SW240 di semenanjung utara dan tenggara

..

....

Sebaran alel pada lokus SO149 di semenanjung utara dan tenggara

....

Sebaran alel pada lokus SO386 di semenanjur.g utara d m tenggara

Sebaran alel pada lokus SW951 di semenanjung utara dan tenggara

..

(13)

27 Sebaran alcl pada lokus SO214 di semenanjung utara dan tenggara

....

48

28 Sebaran ale1 pada lokus SO228 di semenanjung utara dan tenggara

....

48

29 Sebaran ale1 pada lokus SO026

di

semenanjung utara dan tenggara

....

48

30

Bagan struktur populasi babi hutan sulawesi

di

pulau Sulawesi

...

52

3 1 Bagan struktur populasi babi hutan sulawesi di semenanjung utara

....

53

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Konsentrasi dan status kemumian sampel DNA babi hutan sulawesi

di senenanjug utara

...

65

2 Konsentrasi dan status kemumian sample DNA babi hutan sulawesi

di semenanjung tenggara

...

66
(14)

Latar belakang

Alam di seluruh permukaan bumi tersusun atas berbagai spesies makhluk

hidup liar yang tanpa disadari telah memberikan berbagai kemudahan dan

pelayanan pada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang bisa jadi

sangat mahal atau bahkan tidak mungkin diciptakan sendiri oleh manusia.

Berkurangnya jumlah spesies liar di dam dalarn jangka panjang dapat

memberikan dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu

sendiri.

Indonesia merupakan salah satu negara pang memiliki keragaman hayati

yang sangat tinggi. Menempati hanya 1.3 persen wilayah permukaan bumi,

Indonesia memiliki 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptil dan

amphibi, 17 persen spesies burung, dan 25 persen spesies ikan dari seluruh spesies

hewan yang ada di bumi ini. Hal ini berarti Indonesia memiliki sekitar 600

spesies mamalia (280 diantaranya merupakan spesies endemik), 41 1 spesies reptil

(150 diantaranya mempakan spesies endemik), 270 spesies amphibi (100

diantaranya add& spesies endernik), 1.531 spesies burung (26 persen

diantaranya adalah spesies endemik), dan 2.906 spesies vertebrata bnkan ikan

(927 dian'manya adalah spesies endemik). Indonesia memiliki 30.000 sarnpai

35.000 spesies tumbuh-tumbuhan, menempati urutan 5 tertinggi di dunia.

Indonesia juga kayz akan keragaman spesies terumbu karzng, terdapat sekitar 450

spesies terumbu karang (BAF'PENAS 1993).

Kondisi hutan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Saat ini, hutan

yang tersisa di wilayah Indonesia makin lama makin berkurang. Laju degradasi

hutan di Indonesia sudah mencapai 2.8 juta hektar are per tahun (Media Indonesia

2005). Aktifitas miillusia yang berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian

lingkungan demi untuk mendapatkan keuntungan finansial telah mengakibatkan

terjadiiya degradasi dan deforestasi hutan yang berujung pada terjadiiya

fragmentasi habitat. Kebakaan nutan sepanjang tahun 2006 semakin

memperburuk keadaan ini dan akan berdampak luas pada seluruh ekosistem yang

(15)

ini akan m e n d a n h - a n populasi (population size) spesies-spesies yang zda

di dalarnnya P e n m a n

ukuran

populasi ini akan menyebabkan suatu spesies

menjadi rawan terhadap stochastic processes (demographic, environmental and

genetic stochasficity) yang dapat meningkatkan resiko kepunahan spesies tersebut.

Spesies dengan

ukuran

populasi yang kecil akan lebii beresiko terhadap kejadian

genetic drift (Amos dan Harwood 1998), inbreeding (kawin antar saudara) dan

akhimya menyebabkan p e n m a n keragaman genetik (Reed et al. 2002). Generic

drzp menyebabkan hilangnya ale1 pada suatu populasi (Halliburton 2004),

sedangkan kejadian inbreeding akan menyebabkan p e n w a n kualitas reproduksi

(Reed et al. 2002) dan menyebabkan individu menjadi lebii sensitif terhadap

patogen (O'Brien 1994). Kedua faktor ini akan menyebabkan p e n m a n

keragaman genetik di dalam suatu populasi sedangkan keragaman genetik

m e ~ p a k a n salah satu bagian dari keragaman hayati yang sangat berperan dalam

proses seleksi alam. Keragaman genetik yang tinggi dalam suatu populasi akan

membantu spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap pembahan-pembahan

kondisi yang te jadi pada lingkungan di sekitarnya (Rhymer 1999).

Babi hutan sulawesi atau Sulawesi Warty Pig (Sus celebensis) mempakan

sal& satu spesies mamalia endemis di Sulawesi, salah satu pulau di wilayah

Indonesia tirCur yang dikenal sebagai Wallacea bioregion (CI 2001). Babi hutan

sulawesi termasuk ke ddam Filuni Chordata, Kelas Mammalian, Ordo

Artiodactyla, Famiii Suidae, Subfamili Suinae dan Genus Sus. Walaupun sampai

saat ini jumlah dan ukuran populasi babi hutan sulawesi masih cukup aman

(IUCN 2005), narnun keragaman genetik populasi spesies ini masih belum

diketahui. Selain terancam karena semakin tingginya tingkat kemsakan hutan,

babi hutan sulawesi juga sangat rawan terhadap perburuan, baik untuk keperluan

konsumsi penduduk setempat (Alvard 2000), maupun diburu karena dianggap sebagai hama pemsak lahan pertanian (Bailey 2000). Di bebempa wilayah di

Sulawesi, seperti Sulawesi Utara, banyak ditemukan daging babi hutan sulawesi,

dan juga babiisa yang dijual di pasar-pasar tradisional (Lee 2000; Meijaard

2002). Babi hutan sulawesi juga 'oanyak ditemukan dijual di sepaljang jalan di

(16)

Babi hutan sulawesi merupakan salah satu spesies babi, selain S. scrofa,

yang telah didomestikasi dan didistribusikan ke luar wilayah aslinya (MacDonald

1993). Babi hutan sulawesi di wilayah lain kemudian berhibridisasi dengan babi

lain keturunan S. scrofa yang menghasilkan babi-babi yang sampai saat ini

terdapat di pulau-pulau seperti Salawati, Kei Besar, Dobu, Seram, Ambon, Bacan,

Ternate, Morotai, New Guinea (Oliver et al. 1993), dan Halmahera (Larson et al.

2005).

Gambar 1 Babi hutan sulawesi hasil buruan penduduk untuk dikonsumsi dagingnya

Adanya degradasi dan deforestasi hutan, fiagmentasi habitat dan perburuan

yang terus-menerus terjadi serta adanya percampuran genetik dengan babi

domestik S. scrofa mengakibatkan munculnya ancaman potensial yang sangat

serius bagi spesies babi hutan sulawesi di masa mendatang (MacDonald 1993).

Selain itu masih terus berlangsungnya diskusi mengenai sistematika

pengelompokkan babi, baik berdasarkan morfologi maupun genetik,

memperlihatkan betapa perlunya dilakukan analisa genetik terhadap spesies ini

untuk menjawab hal-ha1 yang berkaitan dengan keragaman genetik dan struktur

populasi. Beberapa metode telah digunakan untuk mengetahui keragaman genetik

dan struktur populasi suatu spesies, salah satunya adalah dengan menggunakan

marker DNA mikrosatelit.

Mikrosatelit telah digunakan untuk mengetahui keragaman genetik populasi

beruang hitam (Paetkau dan Strobeck 1994), Turdzrs helleri (Galbusera et al.

2000), kucing liar (Felis silvestris) di Skotlandia (Beaumont et al., 2001), ras babi

(17)

babi Taihu, Jiangqhuai, clan Dongchuan (Tan et al., 2002), bada! hdia

(Rhinoceros unicornis) (Zschoke et al. 2003), dan keragaman genetik pada

spesies-spesies lainnya Miosatelit juga telah digunakan untuk mengetahui

struktur populasi ikan Triperygion delaisi (Carreras-Carbonell et al. 2006), rusa

Capreolus capreolus (Coulon et al. 2006), walabi (Petrogale penicillata) (Hazlitt

et al. 2006), burung robin (Pogonocichla stellata) (Galbusera et al. 2004), dan

struktur populasi pada spesies laimya.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keragarnan genetik

dan struktur populasi babi hutan sulawesi (S. celebensis) di dua semenanjung

pulau Sulawesi, yaitu semenanjung utara dan tenggara.

Manfaat penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam usaha pemeliharaan dan

konservasi babi hutan sulawesi (S. celebensis) secara in situ dan ex-situ. Dan

penelitian ini juga bermanfaat sebagai pelengkap data genetik spesies babi hutan

(18)

Sistematika Babi Hutan Asia Tenggara

Asia Tenggara memilii keanekaragaman babi hutan yang tertinggi di

dunia (Lucchini et al. 2005). Banyak studi telah dilakukan untuk menentukan

sistematika babi hutan asia tenggara ini walaupun jumlah spesiesnya masih belum

diketahui dengan jelas. Babi hutan sulawesi termasuk di dalam salah satu

kelompok babi hutan asia tenggara yang jumlahnya masih sangat banyak

ditemukan di Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitamya maupun di wilayah lain

di luar pulau Sulawesi (MacDonald 1993; Groves dan Grubb 1993; Oliver et al.

1993).

Groves (2001) membagi babi hutan asia tenggara ke dalam tiga kelompok,

yaitu kelompok S. scrofa, S. verrucosus, dan S. philippensis. Kelompok S. scrofa

umumnya memiliki indeks gigi taring kurang dari 100. Seluruh babi dalam

kelompok S. scrofa ini diasuklcan ke dalam satu spesies yang disebut Eurasian

Wild Pig (S. scrofa) kecuali Pigmy Hog (S. salvanius). Eurasian wild pig

ditemukan hampir di seluruh Eropa, Afrika Utara, dan Asia, termasuk di

Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa., Bali, I,ornbok, dan Sumbawa. Babi dari

semenanjung dan pulau, disebut Banded Pig, b e d u r a n kecil, berambut jarang,

dengan perbedaan tengkorak yang sangat nyata, &an biasanya diklasifikasikan

sebagai S. scrofa vittatus.

Kelompok S. verrucosus memiliki indeks gigi taring sekitm 106

-

160, lurus

dan permukaan bawahnya luas. Babi dewasa dari kelompok ini memiliki kutil

(warts) pada wajahnya. Kelompok S. verrucossus terdiri dari Warty Pig (S.

verrucossus) yang ditemukan di Jawa, Madura, dan Bawean, Indochinese Pig (S.

bucculentus) yang hanya ditemukan di Laos, Palawan Pig (S. ahoenobarbus) yang

ditemukan di Palawan dan Calamianes, Sulawesi Warty Pig (S. celebensis) dari

Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sektamya, Visayan Pig (S. ceb@ons) dari

Negros, Panay, Masbate, dan Cebu, Bearded Pig (S. barbatus) dari Borneo,

Sumatera, Bmgka, Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya. S. barbatus

memiliki dua subspecies, yaitu S. b. barbatus dari Borneo dan S b. oi dari

(19)

Kelompok S. philippensis memiliki indeks gigi taring yang tinggi, yaitu

sekitar 145-180, dan memiliki dua pasang kutil. Babi-babi kelompok ini terlihat

memiliki hubungan dengan kelompok S. scrofa. Kelompok S. philippensis terdiri

dari dua spesies, yaitu Philippines Pig (S. philippensis) yang berasal dari Luzon,

Mindanao, Balabac, Samar, Bohol, Catanduanes, dan Leyte, serta Mindoro Pig (S.

oliveri) yang berasal dari Mmdoro. Perbedm kedua spesies ini didasarkan pada

struktur tulang belulangnya.

Oliver (2001) mengungkapkan bahwa telah ditemukan populasi babi hutan

baru, termasuk spesies baru dari Pulau Tawi-Tawi dan pulau-pulau kecil di

sekitarnya. Lucchini et al. (2005) me~emukan adanya hubu~lgan intraspesifk di

antara babi-babi hutan asia tenggara berdasarkan teknik moleMer dan

morfometrik yang akhirnya dikelompokkan ke dalam 3 kelompok. Kelompok

pertama adalah babi-babi dari Filipina (S. cebzj?ons) dan Sulawesi (S. celebensis)

yang mempertahankan karakter-karakterplesiomorphic dan merupakan kelompok

babi-babi primitif yang memiliki relic distribution. Kelompok kedua adalah

subspesies S. barbatus dari wilayah bant (western), walaupun ditemukan sediit

perbedm morfologi, tetapi terbagi ke dalarn kelompok Sumatera dan

Malaysian/Bomeo berdasarkan sekuens DNAnya. Kelompok ketiga aaalah

kelompok yang terdiri

dui

S. scrofa, S. verrzrcossus, dan S. cJ. barbatus

choenobarbus, diiana dua spesies pertama terlihat m e m i l i kesamaan

morfometrik.

Morfologi, Habitat, Biologi Reproduksi, dan Karakteristik Genetik Babi

Hutan Sulawesi (S. celebensis)

Morfologi. Di dalam Huffman (1999) dijelaskan bahwa babi hutan

sulawesi merniliki panjang badan 80-130 cm, tinggi bahu 70 cm, dan berat 40-70

kg. Warna rambut umumnya hitam, sering disisipi dengan warna kuning atau

putih, atau coklat kemerahan, kaki-kaki relatif pendek, ekor panjang dan

berambut. Bagian ventral terlihat lebih terang hingga putih/kuning krem sesuai

usia dan terlihat garis lebih gelap di bagiaq dorsal. Ada jambul pada bagian dahi

dan garis kuning mencolok mengelilmgi moncong. Anak babi dilahirkan dengan

(20)

bulan. Jantan dewasa memiliki tiga bagian kutil di wajah dan yang terbesar

[image:20.532.122.416.110.330.2]

terletak di preorbital. Kutil ini terbentuk sempuma setelah umur 8 tahun.

Gambar 2 Anak babi hutan sulawesi, terlihat garis-garis kekuningan di sepanjang

tubuhnya

(21)

Habitat. Babi hutan sulawesi hidup di berbagai kondisi lingkungan yang

beragam di kepulauan Indonesia, yaitu di hutan hujan, rawa, padang rumput, dan

area pertanian. Babi hutan ini juga dapat ditemukan di hutan lumut dengan

ketinggian sampai 2.300 m di atas permukaan laut (Huffman 1999). Babi hutan

sulawesi berasal dari pulau Sulawesi termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya

yaitu Selayar, Buton, Muna, Peleng, Lembeh dan kepulauan Togian (MacDonald

1993), tetapi banyak penduduk yang membawa babi hutan ini keluar dari

kepulauan Sulawesi menuju Pulau Buru, Hdmahera, Seram, Flores, Timor, Pulau

Roti, Simeleu dan Nias (Groves dan Grubb 1993). Diduga babi hutan sulawesi

dahulu dibawa ke Mduku dan sepanjang Lesser Sunda Chain sebagai hewan

peliharaan yang kemudian dilepaskan untuk ditangkap jika diperlukan.

Gambar 4 Wilayah penyebaran babi hutan sulawesi di kepulauan Sulawesi

(ditunjukkan oleh warna hijau) (MacDonald 1993 diacu dalam

Huffman 1999)

Babi hutan sulawesi biasanya hidup berkelompok (McDonald 1993). Unit

terkecil kelompok tersebut merupakan kelompok keluarga, 2-3 kelompok

(22)
(23)

benunur 18 bulan. Babi hutan sulawesi diduga meiniliki sistexn reproduksi yang

mirip dengan anggota genus Sus lainnya (Nowak 1999 diacu dalam Noel 2004).

Karakteristik genetik. Karakteristik genetik babi hutan sulawesi belum

banyak diketahui. Bosrna ef al. (1991) melakukan studi tentang perbandingan

sitogenetik dari beberapa genus Sus, yaitu S. verrucosus, S. celebensis dan S.

scrofa vittatus. Dari studi ini diketahui bahwa S. verrucosus, S.. celebensis dan S.

scrofa vittatus memiliki 38 kromosom diploid. Morfologi dan ukuran pita C (C-

bands) pada kromosom 10 dari ketiga spesies tersebut saling berbeda. Pita C

merupakan metode pewarnaan kromosom untuk memvisualisasikan sentromer

(Lewin 2004). S. verrusosus dan S. celebensis memiliki kromosom Y yang lebih

besar dari kromosom Y S. scrofa. S. verrucosus, S. celebensis, dan S. scrofa

memilii pola pita G (G-bands) yang berbeda-beda pada bagian tangan kromosom

Y-nya. Pita G merupakan metode pewarnaan Giemsa untuk mengetahui

karakteristik kromosom, yang ditunjukkan dengan adanya pita-pita G pada

kromosom. Area pita G merupakan area kromosom yang mengandung sedikit

kandungan basa nitrogen G-C dibandingkan dengan area interbands. Perbedaan

kariotipe (kromosom 10 dan kromosom Y) pada ketiga spesies ini menunjukkan

bahwa mereka adalah spesies yang berbeda.

Beranan Studi Genetika dalam Kegiatan Konsewasi

Keanekaragaman hayati (biodiversity) dibagi menjadi tiga kategori dasar,

yaitu keragaman genetik, keragaman spesies, dan keragaman ekosistem

(Frankham et al. 2002). Keragaman genetik merupakan variasi genetik di dalam

setiap spesies yang mencakup aspek biokirnia, struktur, dan sifat organisme yang

ditumnkan secara fisik dari induknya dan dibentuk dari DNA. Keragaman spesies

merupakan variasi seluruh tumbuhan, hewan, fungi, dan mikroorganisme yang

masing-masing bertumbuh dan berkembangbiak sesuai dengan karakteristiknya.

Keragaman ekosistem merupakan variasi ekosistem, dimana ekosistem adalah

unit ekologis yang mempunyai komponen biotik dan abiotik yang saling

berinteraksi, dan antar komponen-komponen tersebut terjadi penyambilan dan

perpindahan energi. Kegiatan konservasi diperlukan untuk mempertahankan

(24)

ulah manusia tidak hanya ~llengurangi populasi spesies hewan dan tumbuhan,

tetapi juga menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah (Dhondt 1996).

Ilmu konservasi biologi mempelajari individu dan populasi yang sudah

terpengaruh oleh kemsakan habitat, eksploitasi, dan pembahan lingkungan.

Informasi ini digunakan untuk membuat suatu keputusan yang dapat

mempertahankan keberadaan suatu spesies di alam. Sudah lebih dari satu dekade

ini, studi genetik digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam

dalam pengambilan keputusan tersebut karena, dengan studi genetik, informasi

tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, temtama pada

spesies-spesies yang terancam punah, dapat diketahui (Hedrick 2001; Sunnuck

2000). Perkembangan teknik molekuler dewasa ini, seperti penemuan teknik

Po&rnerase Chain Reaction (PCR) yang mampu mengamplifikasi untai DNA

hingga mencapai konsentrasi tertentq penggunaan untai DNA lestari (conserved)

sebagai marker dalam proses PCR, penemuan lokus mikrosatelit yang

hipervariabel, dan penemuan metode sekuensing DNA, telah menyebabkan ilmu

genetik molekuler mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam studi biologi

suatu populasi (Sunnuck 2000). Terobosan-terobosan ini, bersanlaan dengan

berkembangnya teknik pemode:an matematika melalui program-program

komputer, telah mempermudah para peneliti untrlk mendapatkan data genetik

suatu populasi yang sangar berguna d a l m merancang program konsemasi suatu

spesies tertentu.

Penerapan studi genetik dalam permasalahan konsen~asi didasari oleh teori

genetika populasi. Genetika populasi mempakan salah satu cabang ilmu biologi

populasi yang mempelajari tentang faktor-faktor yang menentukan komposisi

genetik suatu populasi dan bagaimana faktor-faktor tersebut berperan dalam

proses evolusi (Halliburton 2004). Genetika populasi juga meliputi studi terhadap

berbagai faktor yang membentuk struktur genetik suatu populasi dan

menyebabkan pembahan-perubahan evolusioner suatu spesies sepanjang waktu

(Balloux dan Lougon-Mouli 2002).

Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam kejadian evolusi

pada suatu populasi, yaitu mutasi, rekombinasi, seleksi dam, genetic drift, gene

(25)

Faktor-faktor tersebut akan memunculkan keragaman genetik pada suatu populasi,

dan keragamm genetik merupakan informasi yang paling berguna untuk

memaharni informasi tentang kekuatan-kekuatan yang menyebabkan evolusi

(Cavalli-Sforza 1998). Memahami dan mempertahankan keragaman genetik

suatu populasi sangat penting dalam konsewasi karena keragaman genetik yang

tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-

pembahan yang terjadi di liigkungan sekitarnya (Rhymer 1999).

Mutasi didefinisikan sebagai segala pembahan di dalam material genetik

yang akan ditunmkan ke generasi selanjutnya Mutasi dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, di antarmya adalah kesalahan saat proses replikasi DNA,

unequal crossing over, chromosome breakage, atau meiotic disjunction. Mutasi

merupakan sumber utama dari semua keragaman genetik. Tanpa mutasi, tidak

akan ada keragaman genetik dan berarti tidak akan ada evolusi.

Rekombinasi mempakan penyebab kedua munculnya keragaman genetik.

Rekombiiasi menyebabkan kombiiasi baru suatu pasangan alel, tetapi tidak

memunculkan alel baru. Hal ini menjadi penting karena fenotip, yang merupakan

hasil dari interaksi berbagai gen, sangat berperan dalam proses seleksi dam.

Kombinasi b m suatu pasangan alel dapat memicu munculnya fenotip baru pada

suatu individu.

Seleksi darn merupakan i&e yang dilontarkan oleh Charles Darwin yang

menyatakan bahwa suatu individu yang memiliki keragaman yang

mengmtungkw. akan berthan hidup dan bereproduksi lebih baik dibandingkan

dengan individu lain di dalam populasi. Mereka akan memilki keturunan yang

lebih banyak, dan menunmkan keragaman yang d i l i k i n y a pada keturunannya

tersebut. Oleh karena it^^, keragaman ini akan semakin banyak pada generasi

berikutnya.

Genetic drift menyebabkan perubahan frekuensi alel sepanjang waktu

sebagai akibat dari pemilihan gamet dan gen-gennya secara acak pada saat proses

pembentukkan suatu generasi baru berlangsung. Karena sifatnya yang sangat

acak, generic drzj? dapat menyebabkan e l i i a s i keragaman yang

menguntungkan. Dalam jangka panjang, genetic drift memiliki efek yang

(26)

genetik di M a m populasi dan akan memunculksn perbed= genetik antar

populasi (Hart1 and Clark 1997).

Geneflow akan te jadi pada saat suatu individu berpindah dari satu area ke

area lain, bahkan antar populasi. Jika individu-individu tersebut dapat bertahan

hidup dan bereproduksi di tempat b m y a , maka mereka akan memasukkan gen-

gen mereka ke dalam lingkungan atau populasi harunya dan pada saat inilah gene

flow tejadi. Gene flow menyebabkan populasi-populasi memiliki genetik yang

semakin mirip satu sama lain dan dalam jangka panjang gene flow akan

menimbulkan efek yang bertolak belakang dengan genetic drifi.

Faktor lain yang mempengmhi keragaman genetik adalah kejadian

perkawinan yang tidak acak. Peristiwa ini tejadi jika individu-individu yang

melakukan perkawinan merupakan individu-individu yang secara genetik saling

berhubungan satu sama lain.

Dalam Halliburton (2004) disebutkan bahwa perhitungan dasar pada

genetika populasi meliputi frekuensi alel dan genotip. Dua komponen ini dapat

dihitung dari sarnpel individu-individu dalam suatu populasi, dan kedua

komponen ini akan memberikan informasi tentang seberapa banyak keragaman

gene& yang ada di dalam suatu populasi dan seberapa besar persamaan atau

perbedaan aiitar dua populasi. Kemgaman genetik dapzt terlihat dari nilai

heterozygosify. Heterozygosity didefinisikan sebagai proporsi individu dalam

suatu populasi yang membawa dua alel berbeda dalam satu lokus (Ellegren 2004).

Rataan observed heterozygosity didefinisikan sebagai proporsi ale1 beterozigot

pada seluruh lokus, sedangkan expected heterozygosify diinterpretasikan sebagai

probabilitas bergabungnya alel-ale1 yang berbeda sebagai akibat dari pemilihan

kopi-kopi gen secara acak (Halliburton 2004). Sedangkan untuk melihat seberapa

besar persamaan atau perbedaan antar populasi dapat diliiat dari nilai F-statistik.

Sedangkan prinsip dasar dalam genetik populasi adalah prinsip Hardy-

Weinberg. Prinsip Hardy-Weinberg menduga bahwa, dalam kondisi tertentu,

,

frekuensi alel dan genotipe akan tetap konstan dalam suatu populasi, dan

keduanya saling berhubungan satu sama lain. Kondisi-kondisi tertentu yang

dimaksud dalam prinsip Hardy-Weinberg meliputi reproduksi antar individu yang

(27)

diabaikan, tidak ada individu yang mas& atau keluar dari suatu populasi, dan

ukuran populasi yang cukup besar. Jika kondisi-kondisi ini terpenuhi oleh suatu populasi, maka populasi tersebut disebut sebagai populasi yang berada dalam

keseimbangan Hardy-Weinberg (Hardy-Weinberg Equilibrium).

Keseimbangan Hardy-Weinberg sangat penting di dalam konservasi dan

kejadian evolusi genetik, karena penyimpangan dari keseimbangan Hardy-

Weinberg ini mempakan dasar untuk mendeteksi kejadian inbreeding,

fiagmentasi populasi, rnigrasi, dan seleksi (Hart1 dan Clark 1997).

Peranan Marker DNA dalan Konservasi Genetik

Menganalisa keragaman genetik pada level DNA akan memberikan

keuntungan yang berlipat ganda d i b a n d i i a n dengan analisa yang dilakukan

pada level protein karena informasi yang terdapat pada sekuens DNA jauh lebih

banyak daripada informasi yang ada pada sekuens protein (Cavalli-Sforza 1998;

Hanotte dan Jianlin 2005). Beberapa marker DNA telah digunakan dalam analisa

genetik suatu populasi, yaitu DNA mitokondria, lokus Major Histocompatibili~

Complex (MHC), Single Nucleotide Polymorphism (SNP) d m mikrosatelit pada

kromosom Y ymg diperoleh secara paternal, d m !okus mikrosateiit autosomai

yang diperoleh secara bipaiental (Murray 1996; Hanotte dan Jianlin 2005).

Beberapa hal yang periu diperhatikan dalam memilih marker DNA dalam analisa

keragaman genetik suatu populasi di antaranya adalah bahwa polimorfisme yang

terdapai pada marker DNA bersifat netrai, dan keragaman geoomik suatu populasi

dapat diwakili hanya dengan penggunaan sejumlah lokus yang independen

(Hanotte dan Jianlin 2005).

Pemilihan marker DNA disesuaikan dengan tujuan analisa yang akan

dicapai. Untuk analisa keragaman genetik dan struktur populasi, marker DNA

yang umum digunakan lebih dari satu dekade terakhir ini adalah mikrosatelit,

karena sifatnya yang polimorfik dan kodominan (Jarne dan Lagoda 1996).

Milcrosatelit dapat digunakan untuk sejumlah analisa molekuler seperti pemetaan

genetik, linkage anclysis dalam kaiWya dengan gen penyebab penyakit tertentu,

dan sejumlah analisa genetik populasi. Dalam analisa genetik populasi,

(28)

hibridisasi antar spesies. Perbandmgan derajat keragaman mikrosatelit antar

spesies dan populasi juga berguna dalam penilaian keragaman genetik secara

keseluruhan. Miosatelit juga dapat digunakan untuk menduga ukuran populasi

(Spong dan Hellborg 2002), derajat substruktur populasi termasuk jumlah migrasi

antar subpopulasi, serta hubungan genetik di antara subpopulasi yang berbeda

(Murray 1996). Selain itu mikrosatelit juga telah digunakan dalam analisa silsilah

.

dan kekerabatan, serta sejarah populasi (Zhang dan Hewitt 2003). Data-data yang diperoleh dari analisa genetik populasi inilah yang kemudian digunakan

sebagai landasan untuk merancang program konservasi terhadap suatu spesies

tertentu, terutama bagi spesies-spesies yang terancam punah.

Asam deoksiribonukleat (DNA).

Ivfakhluk

hidup menggunakan

Deoxyribonucleic Acid (DNA) atau asam deoksiribonukleat untuk menyimpan

informasi genetik dan m e n d a n n y a pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu

DNA disebut juga sebagai material genetik suatu individu. DNA dapat ditemukan

di dalam inti sel, mitokondria, clan Moroplas. DNA inti adalah DNA linear yang

ditemukan di dalam inti sel yang membawa kode untuk fenotip, yaitu sifat

tarnpilan fisik suatu individu. DNA inti dikemas terpisah-pisah dalam kromosom-

kromosom yang kemudian d i t d a n ke generasi selanjutnya. Seiuruh DNA

yang ada di dalam satu set kromosom suatu organisme kemudian disebut dengan

genom.

DNA mitokondria (mtDNA) adalah DNA sirkuler yang ada di dalam

mitokondria, yaitu organel sel yang berperan dalam metabolisme sel. Uliwan

DNA mitokondria sangat pendek, biasanya kurang dari 17.000 pasang b a a , dan

tersusun atas gen yang mengontrol metabolisme selular. Jika setengah dari DNA

inti diperoleh dari garis maternal clan setengah lagi diperoleh dari garis paternal,

maka tidak demikian dengan mtDNA. Seluruh mtDNA diperoleh dari garis

maternal.

DNA Moroplas (cpDNA) adalah salah satu DNA yang d i i l i k i oleh

tumbuhan selain DNA inti dan mtDNA. DNA kloroplas terdapat di dalam

kloroplas, yaitu organel yang hanya ada pada tumbuhan dan berperan untuk

fotosintesis. DNA Moroplas berbentuk sirkuler berukuran antara 120.000-

(29)

proses fotosintesis. DNA kloroplas diperoleh secara maternal atau paternal, dan

cpDNA bersama dengan mtDNA, diturunkan ke generasi selanjut~ya di dalam

sitoplasma benih.

DNA me~p&aII makromolekul untai ganda yang tidak mudah msak

sehingga DNA dapat tersimpan dengan sangat baik pada es atau tulang-tulang

fosil hingga beribu-ribu tahun lamanya (Robinson 2005). Faktor yang

bertanggungjawab terhadap kemampuan DNA untuk tetap bertahan dalam kondisi

baik selama beribu-ribu tahun lamanya adalah struktur kimia penyusunnya yang

menyebabkan DNA tersusun kompak dan sangat kuat. Secara kimiawi, DNA

tersusun atas tiga komponen, yaitu basa yang kaya akan nitrogen, gula

deoksiribosa, dan fosfat. Ketiga komponen ini bergabung membentuk nukleotida,

dan ribuan nukleotida kemudian saling menyambung dan berpasang-pasangan

untuk membentuk untai DNA yang panjang.

Dalam Muladno (2002) disebutkan bahwa setiap molekul DNA merniliki

ratusan kopi keempat basa nitrogen berikut, Adenine (A), Guanine (G), Thymine

(T), dan Cytosine (C). Setiap basa tersusun atas atom karbon (C), hidrogen @I),

nitrogen (N), dan oksigen

(0).

Keempat basa nitrogen ini berasal dari dua

kelompk basa, yaitu purin dan pirimidii. Secarz hdah, pu6n berarti stnktur

yang tersusun atas dua cincin, sedangksn pifimidin adalah stnlktur cincin tunggal

dengan enam sisi. Basa purin yang ada dalam DNA adalah adenine (A) dan

guanine (G), sedangkan yang terrnaz.uk basa pirinidii adalah thymine (T) dan

cytosine (C).

Adenine Guanine Thymine Cytosine

(30)

Informasi dalam DNA dibawa oleh masing-masing bass. Untuk dapat

membuat nukleotida yang lengkap, basa-basa ini hams melekat pada molekul

deoksiribosa dan fosfat. Deoksiribosa mernpakan gula ribosa yang telah

kehilangan satu atom oksigen. Ketika tubuh memecah Adenosine TriPhosphate

(ATP), ribosa dibebaskan dan molekul fosfat masih melekat padanya. Ribosa

menghilangkan satu atom oksigen untuk menjadi deoksiribosa dan tetap berikatan

pada molekul fosfat yang diperlukan untuk mengubah basa tunggal menjadi

nukleotida. Ribosa juga merupakan unsur penyusun RNA di samping sebagai

prekursor untuk deoksiribosa. Kelompok hidroksil (-OH), yang terletak pada

posisi 3' struktur ribosa dan deoksiribosa mernpakan kelompok aktif, dimana

secara kimiawi atom oksigen pada kelompok ini bebas berikatan dengan molekd

lain, dalam hal ini molekul fosfat.

Ribosa Deoksiribosa

Gambar 6 Struktur kirnia gula ribosa dan deoksiribosa dengan penomoran pada

atom karbon (C) (modifikai dari Robinson (2005)).

Nukleotida hanya mampu saling berhubungan dengan menyambungkan

molekul fosfat pada gula. Molekul fosfat akan berikatan dengan molekul gula di

posisi 5', dan gugus hidroksil pada posisi 3' dari rnolekul gula juga akan berikatan

dengan molekul fosfat. Oleh karena itu, biasanya bagian ujung molekul fosfat

disebut 5' (5-prime) end, dan bagian ujung molekul gula disebut 3' (3-prime)

end Ikalan b a a nitrogen pada &a disebut ikatan glikosidik (Alberts et ai.

2004), sedangkan ikatan antara moleknl fosfat dan dua moleknl gula pada untai

(31)

(OH -

ILibole)

pento* [image:31.532.73.429.264.678.2]

( H-Dmrrribore)

Gambar 7 Nukleotida tunggal (mononukleotida)

Setelah selesai terbentuk, untai-untai DNA tidak akan berdiri sendiri tetapi

akan selalu mencari pasangannya masing-masing untuk membentuk

makromolekul DNA

un??

ganda. Adenine (A) akan szlalu berpasangan dengan

thymine (T), sedangkan guanine (G) akan selalu berpasangan dengan cytosine (C).

Masing-masing pasangan basa pada kedua untai DNA tersebut dihubungkan

dengan ikatan hidrogen yang jumlahnya berbeda. Pasangan A-T memiliki dua

ikatan hidrogen dan pasangan G-C memiliki tiga ikatan hidrogen.

Guanine Cytosine

Adenine Thymine

(32)

Sedangkan molekul gula dan fosfat yang saling terhubung pada masing-

masing untai akan membentuk backbone dari molekul DNA untai ganda. Karena

pengaturan untai nukleotida selalu dimulai dari 5' ke 3', maka kedua untai DNA

yang berpasangan akan berada dalam kondisi antiparalel atau berlawanan arah,

jika tidak maka posisi atom-atomnya akan salah dan kedua untai tidak akan

tergabung. Kondisi yang antipararel ini menyebabkan kedua untai DNA saling

melilit seperti spiral karena sisi molekul saling tertarik ke arah yang berlawanan,

seperti terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Struktur molekul DNA untai ganda (Wikipedia 2007)

Mikrosatelit. Mikrosatelit, dan juga minisatelit, dikenal sebagai Simple Sequence Repeats (SSRs), Short Tandem Repeats (STRs), dan Variable Number of Tandem Repeats (VNTRs), yang merupakan unit nukleotida DNA yang berulang secara tandem. Satu unit mikrosatelit memiliki panjang 1-6 pasang basa

[image:32.539.65.465.39.599.2]
(33)

unit minis~telii memiliki panjang DNA berulang identik sekitar 15-70 bp (Murray

1996).

Mikrosatelit banyak dimiliki oleh sel-sel eukariot dan relatif jarang pada

sel prokariot (Li et al. 2004). Mikrosatelit banyak ditemukan di dalam genom

(Selkoe dan Toonen 2006), termasuk di dalam genom-genom bakteri terkecil

(Field dan Wills 1996; Hancock 1996). Mikrosatelit ditemukan di dalam segmen

yang mengkode protein maupun yang tidak mengkode protein (T6th et al. 2000),

namun lebih sering ditemukan pada segmen DNA yang tidak mengkode protein

(Li et al. 2002). Analisa awal pada genom manusia memperlihatkan bahwa 3%

sus~man genom terdii atas mikrosatelit, dan genom manusia memiliki lebih dari

satu juta lokus mihosatelit (Ellegren 2004). Penyebaran mikrosatelit secara acak

di dalam genom kemungkinan disebabkan karena pengaruhnya dalam penyusunan

kromatin, replikasi DNA, siklus sel, Mismatch Repair System dan lain-lain (Li et

~1.2004).

Panjang lokus mikrosatelit biasanya beragam antara 5 sampai 40 unit

berulang, tetapi ulangan unit yang lebih panjang dari 40 unit juga masih mungkin

terjadi (Selkoe dan Toonen 2006). Unit yang t e r a dari 1 (mono-), dua (di-),

tiga

(ti-)

dan empat (tetra-) nukleotida merupakan ripe utama mikrosatelit, tetapi

unit y u ~ g terdiri dari lima (penta-) dan enam (hexa-) nukleotida juga masih dapat

dikategorikan sebagai mni.kosatelit (Ellegren 2004). Mikrosatelit dengan unit

nukleotida yang panjang jarang terdapat pada prokariot (Ellegren 2004). Unit

nukleotida mikrosatelit yang panjang pada prokariot biasanya berhubungm

dengan faktor virulen dan berperan sebagai translation and transcriptional

'witches' (Himmelreich et al. 1996). Trinukleotida dan hexanukleotida

merupakan unit mikrosatelit yang paling banyak ditemukan pada segmen DNA

yang mengkode protein karena kedua unit mikrosatelit tersebut tidak

menyebabkan terjadinya j?amesh$t mutation (T6th et al. 2000) yaitu mutasi

genetik akibat penambahan dan penghilangan sejurnlah nukleotida yang

menyebabkan kesalahan pada proses penyusunan kodon dan tmnslasi sehingga

niengakibatkan pembahan pada sekuens dan struktur protein yang dihasilkan

(34)

diketahui terlibat dalam kejadian penyakit neurogeneratif (Kashi dan King 2006),

seperti penyakit Huntington danfragile X (Schliitterer 2000).

Sekitar 48-67% mikrosatelit yang ditemukan pada berbagai spesies adalah

dinukleotida (Li et al. 2002), tetapi tipe mikrosatelit yang paling banyak

ditemukan pada primata adalah mononukleotida, terutarna unit A/T (T6th et al.

2000). Di antara mikrosatelit tipe dinukleotida, unit berulang yang paling sering

diternukan adalah (CA)n, diikuti dengan (AT)n, (GA)n, dan (GC)n (Ellegren

2004). Unit berulang (GC)n adalah yang paling jarang ditemukan. Ferlu diingat

bahwa hanya ada 4 tipe yang mungkin dimiliki oleh unit berulang dinukleotida,

karena CA=AC=GT=TG, GA=AG=CT=TC, AT=TA, dan GC=CG (Ellegren

2004).

Gambar 10 Lokasi mikrosatelit di dalam kromosom

Secara rnudah, lokasi rnikrosatelit di dalam genom inti sel eukariot dapat

diilustrasikan dalam Gambar 10. Inti sel di dalam sel terdiri atas kromosom-

kromosorn yang berpasangan. Dalam Alberts et al. (2003) disebutkan bahwa

kromosom bertugas untuk membawa gen-gen yang rne~pakan unit fungsional

(35)

informasi untuk memproduksi protein tertentu. Lokasi gen di dalan~ kromosom

disebut lokus, dan bentuk alternatif dari gen disebut alel. Selain tersusun atas

segmen DNA yang mengkode protein, kromosom pada berbagai eukariot juga

tersusun atas sejumlah besar segmen-segmen DNA yang tidak membawa

informasi untuk mengkode produk apapun. Segmen DNA ini diienal sebagai

'junk DNA' atau 'noncoding-protein region'. Walaupun segmen DNA yang tidak

mengkode produk ini tidaklah penting bagi sel, namun segmen DNA ini

kemungkinan berperan penting bagi proses evolusi jangka panjang suatu spesies

dan keberhasilan aktifitas suatu gen. Di dalam segmen-segmen DNA yang

mengkode dan tidak mengkode protein inilah unit-unit mikrosatelit dapat

ditemukan. Lokus mikrosatelit diapit oleh sekuens DNA yang urutan basanya

selalu identik pada setiap individu dalam satu spesies, atau terkadang pada

individu dengan spesies yang berbeda (Selkoe dan Toonen 2006), tetapi jarang

pada individu yang secara taksonomi saling berjauhan. Sekuens yang mengapit

rnikrosatelit ini disebut flanking sequence yang kemudian digunakan sebagai

penanda bagi lokus mikrosatelit tersebut.

Mikrosatelit sering digunakan sebagai marker genetik karena merniliki

kerceragaman yang sangat tinggi atau sangat polirnorfik. Penyebab utarna tingginya

keragaman mikrosatelit adalah karena terjadi~ya mutasi. Laju mutasi

~nikrosatelit berkisar antara 10" sampai lo-' per l o b s per generasi (Schlotterer

2000; Selkoe dan Toonen 2006), dengan laju rata-rata 5x10"' (Selkoe dan Toonen

2006). Laju mutasi berbeda antar lokus dan antar alel, dan kemungkinan juga

antar spesies (Ellegren 2000). Laju mutasi pada mikrosatelit lebih tinggi

dibandingkan laju penambahan basa (Schlotterer 2000). Laju mutasi mikrosatelit

dipengwhi oleh panjang unit berulang, komposisi basa, jurnlah ulangan, dan

kemumian pengulangan washi dan King 2006). Laju mutasi pada unit berulang

dinukleotida 1.5-2 kali lebih tinggi dibandingkan laju mutasi pada tetranukleotida,

sedangkan unit berulang trinukleotida yang tidak menyebabkan penyakit memiliki

laju mutasi rata-rata di antara laju mutasi di- dan tetranukleotida (Cbakraborty et

al. 1997). Laju mutasi pada mikrosatelit ATITA lebih rendah dari pada laju

(36)

yang panjang temyata sangat tidak stabil dan cenderung untuk bermutasi (Lai dan

Sun 2003).

Walaupun mekanisme mutasi pada mikrosatelit sampai saat ini masih

belum jelas (Selkoe dan Toonen 2006), namun mutasi pada mikrosatelit yang

menyebabkan perubahan panjang mikrosatelit diduga secara umum disebabkan

oleh DNA replication slippage (Blankenship et al. 2002; Ellegren 2004; Li et a1

2004). Sedikit data yang memperlibatkan bahwa rekombinasi ikut menyebabkan

mutasi pada mikrosatelit (Ellegren 2004). Rekombinasi, yang melibatkan

persilangan yang tidak sarna (unequal crossover) dan konversi gen, menyebabkan

mutasi pada sekuens minisatelit yang lebih panjang (Ellegren 2004).

DNA replication slippage adalah proses pemisahan sementara untai DNA hasil replikasi pada saat proses replikasi berlangsung yang diikuti dengan

kesalahan penyusunan pada saat penyatuannya kembali (Ellegren 2004).

Replication Slippage menyebabkan mikrosatelit mengalami kehilangan atau

peneunbahan unit berulang tunggal, tergantung pada untai DNA yang menjadi

tempat te jadinya slippage (Blankeship et al. 2002).

a

Increase in repeat length Decrease in repeat length

[T

1,2,3,4 - - - b

I

* I 2' '3'4 ' 5 ' 6 '7-

Gambar 1 1 Proses slippage pada mikrosatelit (Ellegren 2004)

Biasanya, kesalahan pada saat replikasi DNA ini dapat dikoreksi oleh

Mismatch Repair System (Ellegren 2004; Li et a1 2004), dan hanya sejumlah

(37)

mutasi pada rnikrosatelit (Ellegren 2004). Jika inutslsi terjadi pada gen, maka

akan menyebabkan terjadinya perubahan pada fenotip (Li et a1 2004). Tidak

seperti laju mutasi, proses mutasi yang terjadi pada mikrosatelit tidak berbeda

antar lokus (Bachtrog et al. 2000).

DNA slippage memerlukan pemutusan ikatan hidrogen di antara kedua

untai DNA (Bachtrog et al. 2000). Secara skematis proses replication slippage

dapat dilihat pada Gambar 1 1. Setelah proses replikasi mikrosatelit diinisiai, untai

DNA hasil replikasi (nascent strand) terpisah sesaat dari untai DNA asal yang

akan d i r e p l i i i (template strand) dan menyimpang dari jalur yang semestinya.

Oleh karena itu, proses replikasi selanjutnya akan menyebabkan perbedaan

panjang dengan untai DNA template. Proses penyimpangan ini &an

menyebabkan terbentuknya loop pada untai DNA. Jika penyimpangan ini

menyebabkan loop pada untai yang baru, maka hasil akhir replikasi

akan

bempa

penambahan panjang untai DNA. Sedangkan jika loop terbentuk pada untai

template, maka

akan

menyebabkan pengurangan ukuran panjang untai DNA (Ellegren 2004). Pada saat mutasi slippage terjadi, ekspansi akan terjadi lebih sering jika jumlah unit bemlang sediit, dan kontraksi akan lebih sering terjadi

jika jumlah unit berulang lebih banyak. Setingga pada saat mutasi terjadi,

mikrosatelit dengan ukuran ymg panjang cen&erung untuk - bermutasi menjadi

inikrosateiit pendek, sedangkarl mikrosatelit dengar,

ukuran

yang pendek

cendenmg bermutasi menjadi mikrosatelit yang lebih panjang (Lai dan Sun 2003).

Efisiensi Mismatch Repair System merupakan titik kritis bagi laju slippage

mikrosatelit karena kemampuan Mismatch Repair System untuk mendeteksi loop

yang diakibatkan oleh kejadian slippage pada saat replikasi berbeda pada tiap

spesies (Yamada et al. 2002). Sedangkan dalam evolusi molekuler, aktifitas

Mismatch Repair System mempakan faktor penting yang berpengaruh dalam

fluktuasi panjang mikrosatelit (Li et al. 2004). Dan dalam proses evolusi,

mikrosatelit sendii berperan sebagai evolutionary tuning knobs yang memberikan

keuntungan berupa kemampuan beradaptasi yang cepat terhadap lingkungan yang

(38)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2005 sampai dengan

September 2006 di Laboratoriurn P e n d i d i i dan Pelayanan Terpadu, Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan adalah daging babi hutan sulawesi, air

MilliQ, akuades, buffer lisis, proteinase K, RNAase, ammonium asetat, glikogen,

isopropanol, etanol, buffer Tris EDTA (TE), agarose biologi molekder

(BIORAD), buffer Tris Acetic Acid EDTA (TAE), NaCl, DMSO, loading dye,

etidium bromide, Eppendorf PCR kit, primer mikrosatelit forward dan reverse,

primer MI3 berlabel Qcarboxy-fluorescine (FAM), formamide terdeionisasi,

GS500 [TAMRA] labeled Size Standard, l x Genetic Analyzer Bufler dengan

EDTA, Per$ormance Optimized Polymer 4% (F'OP-4TM).

Peralatan yang digunakan adalah parafilm, mikropipet 0.5-10 p1: 10 - 100

p1, d m 100-1000 p1, mikrotip, kapiler, tabung PCR, tabung eppeiidorf 1.5 ml,

botol-botol ukum 20 ml, 50 ml, 100 ml, gela. ukur, tabung Erlenmeyer, gelas

piala, pH meter, ndwosentilfus, I.W transluminator, shaker water bath, fortex,

timbangan analitik, ABI prismffi 310 Genetic analyzer, G e n e h p PCR System

9700, BIORAD s u b - c e l l f f i ~ ~ , spektrofotometer HITACHI U-2001.

Metode Penelitian

Pengumpulan Sampel. Sampel daging dari 62 individu babi hutan

sulawesi diperoleh dari semenanjung utam dan tenggara Pulau Sulawesi dengan

media transpor bempa 25% DMSO dan 4.5 M NaCl (Seutin et al. 1991). Tiga

puluh tiga sampel yang berasal dari semenanjung utara diperoleh dari daerah di

antara kota Palu di Sulawesi Tengah sampai ke Kotamobagu di Sulawesi Utara.

Sedangkan 29 sampel yang berasal dari semenanjung tenggara diperoleh dari

daerah-daerah di semenanjung tenggara sampai ke sekitar daerah perbatasan

(39)

Garnbar 12 Lokasi pengambilan sampel di semenanjung utara dan tenggara pulau Sulawesi (angka pada peta menunjukkan jumlah sampel per lokasi)

Isolasi DNA. Sebanyak 100 mg sampel daging S. celebensis dihancurkan

di dalam tabung 1.5 ml dan ditambahkan 500 pl buffer lisis. Sampel kemudian

diinkubasi pada suhu 55 O C selama 1 jam dengan shaker waterbath pada

kecepatan 60 rpm. Sebanyak 3 p1 Proteinase K (20 mgtml) ditambahkan ke

dalam sampel dan diinkubasi pada suhu 55 OC selama 3 jam atau semalam.

Selanjutnya, larutan RNAse-A (20 mg/ml) sebanyak 3 pl ditambahkan ke dalam

(40)

selesai, tabung berisi sarnpel disimpan di dalarn es selama 30 meiut d m kemudim

disentrifus pada suhu 4 "C dengan kecepatan 9000 g selama 10 menit. Supematan

yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan

ammonium asetat 5M sebanyak 500 p1 untuk mengendapkan protein-protein yang

ada pada sampel. Sampel selanjutnya divortex selama 20 rnenit pada kecepatan

maksimurn dan didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang. Sampel kemudian

disentrifus pada suhu 4 "C dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan

kemudian supematan yang diperoleh dimasukkan lagi ke dalam tabung baru.

Proses sentrifus dapat dilakukan sebanyak dua kali sampai tidak ada lagi sisa-sisa

endapaii protein yang melekat pada dinding tabung. Supematan yang diperoleh

kemudian dipindahkan lagi ke dalam tabung baru yang sudah diisi 600 p1

isopropanol (2-propanol) absolut dan 0.5 p1 gliiogen (20 mglml) untuk

mengendapkan DNA. Larutan kemudian diiomogenkan dengan cara membolak-

balikkan tabung dan didiamkan semalam pada suhu mang. Sampel kemudian

disentrifus pada suhu 4 "C dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, DNA

akan terlihat sebagai pelet kecil berwarna putih. Supem.ztan kemudian dibuang,

dan pelet DNA kemudian dicuci dengan cara menambahkan 300-600 p1 etanol

70% dingin. Tabung kemudian dibolak-balik secara perlahan untuk rnembantu

pencucian DNA. Sampel kemudian disentrifus pada suhu 4 O C dengan keceparan

13.000-16.000 g seiama 1 menit. Etanol kemudian dibuang secara hati-hati agar

pelet DNA tidak ikut terbuang. Sisa-sisa etanol di dalam tabung kemudian

dihilangkan dengan cara memanaskan tabung pada suhu 75 "C selama 6 menit.

Setelah etanol hilang, pelet DNA kemudian direhidrasi dengan menambahkan TE

buffer pH 8 sebanyak 30-50 p1, disesuaikan dengan banyaknya pelet DNA yang

diperoleh. Sampel DNA kemudian didiamkan selama semalam atau diinkubasi

pada suhu 60 "C selama 3 menit untuk melarutkan DNA. Setelah DNA terlarut,

DNA kemudian disimpan di dalam freezer bersuhu -20 "C sampai saat akan

digunakan.

Elektroforesis. Elektroforesis dilakukan dengan melalukan DNA di

dalam agar dengan menggunakan m s list&. DNA yang bermuatan negatif akan

bergerak menuju muatan positif. DNA dengan ukuran basa yang kecil akan

(41)

Ekstrak DNA sanlpel (template) dilihat keberadaarlnya dengan teknik

elektroforesis menggunakan agarose biologi molekuler 1% @IO-RAD).

Sebanyak 1

gram

agarose dilmtkan dalam 100 buffer TAE l x dengan cara

dididihkan. Agarose kemudian dicetak dan dibiarkan membeku. Sampel DNA

yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 9 : 1 dimasukkan ke dalam

sumur-sumur yang tercetak pada agarose, kemudian dilalukan dengan tegangan

100 V selama 2 jam. Agarose kemudian direndam di dalam larutan etidhium

bromida (0.5 pglml) selama 15 menit dan hasilnya dilihat di atas W

transluminator. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya pendaran pita

fluorescent bermma jingga pada agarose.

Penentuan Konsentrasi dan Kemurnian DNA. Penentuan konsentrasi

dan kemumian DNA dilakukan berdasarkan Sambrook et al. (1989), dengan

meggunakan alat spektrofotometer HITACHI U-2001. Ekstrak DNA yang akan

diperiksa dipanaskan terlebii dahulu pada suhu 60 OC selama 3 menit agar DNA

terlarut sempuma dan kemudian disimpan di dalam es. Sebanyak 2 ml larutan

buffer TE pH 8 yang sudah difilter dimasukkan ke dalam kuvet kuarsa dan

digunakan untuk mengnolkan spektrofotometer. Setelah spektrofotometer

dinolkan maka kemudim sebanyak 10 p1 ekstrak DNA sampel dimasukkan ke

dalam kuvet kuarsa ke dua yarig sudah diisi dengan 1,9 mi buffer TE p1-I 8 yang

sudah difilter dan keinudian disimpan di dalam alat spektrofotometer. Pembacaan

kemudian dilakukan pada panjang gelombang 260 nm untuk mengetahui

konsentrasi DNA dan 280 nm untuk mengetahui konsentrasi protein di dalam

sampel.

Rasio dari hasil pembacaan pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm

digunakan untuk mengetahui tingkat kemumian DNA. DNA dianggap mumi jika

rasio pembacaan merniliki nilai 1.7-1.9. Jika nilai rasio yang diperoleh kurang

dari 1.7 maka ha1 ini menunjukkan bahwa sampel DNA terkontaminasi oleh

protein atau fenol, sedangkan jika nilai rasio lebih tinggi dari 1.9 maka ha1 ini

menunjukkan adanya kontaminasi dengan RNA. NiIai yang diperoleh pada

pembacaan dengan panjang gelombang 260 nm digunakan untuk menentukan

(42)

ganda sebesar 50 pg/ml. Selanjutnya penghihuigan konsentrasi DNA dilakukan

dengan rumus sebagai berikut :

Konsentrasi DNA ( ~ g l m l ) = A260 x 50 x faktor pengenceran

Keterangan : Az60 adalah ~ l a i yang diperoleh dari pembacaan pada panjang

gelombang 260 nrn. Nilai dalam (pg/ml) sama dengan Nlai dalarn

(ng/vl).

Proses amplifikasi DNA. Proses amplifikasi DNA dilakukan dengan

teknik Polvmerase Chain Reaction (FCR). Tigabelas marker mikrosatelit yang

diisolasi dari Sus scrofa telah dipilih secara acak untuk digunakan dalam analisa

keragaman genetik pada penelitian ini (Lowden et al. 2002). Ketigabelas marker

mikrosatelit yang digunakan terdiri dari 12 dinukleotida sempurna dan 1 marker

yang merupakan mikrosatelit dengan unit berulang d i i e o t i d a campuan.

Dinukleotida, trinukleotida, dan teh-anukleotida adalah unit mikrosatelit yang

paling urnum digunakan sebagai marker molekuler genetik, sedangkan

niononukleotida adalah unit mikrosatelit yang jarang digunakan sebagai marker

genetik karena sering menimbulkan masalah pada proses q l i f i k a s i (Selkoe dan

Toonen 2006). Unit mikrosatelit yang lebih panjang sangat tidak m u m

digunakan sebagai marker genetik dan sedikit data yang dapat menzrangkan

tentang kejadian evolusi pada unit mikrosaielit tersebut (Li et al. 2002). Duabelas

marker mikrosatelit diiukleotida yang digunrtkan dalarn penelitian ini adalah

50214, S0149, S0228, SW911, SW240, SW857, SW72, SW951, SW936, SW632,

S0386, dan S0026. Sedangkan satu marker mikrosatelit dengan unit berulang

gabungan yang digunakan ddam penelitian ini adalah SO215 (Yue ef al. 2002).

Informasi tentang sekuens masing-masing marker mikrosatelit dapat dilihat pada

Lampiran 3.

PCR dilakukan pada GeneAmp PCR System 9700 dengan menggunakan

metode MI3 (Schuelke 2000; Tomasdo-Seccomandi et al. 2003). Metode M13

merupakan pendekatan altematif yang digunakan -mtuk menekan biaya yang

diperlukan

untuk

melakukan genotyping dengan marker mikrosatelit, terutama
(43)

pewarna fluorescent diperlukm untuk mendeteksi ukuran h g m e n h a i l PCR

dengan elektroforesis ataupun deteksi laser, sehingga salah satu primer harus

berlabel fluorescent agar ukumn fragmen dapat terdeteksi. Ada empat macam

p e w m a fluorescent yang biasa digunakan untuk analisa fragmen rnikrosatelit,

yaitu 6-carboxy-fluorescine (FAM), hexachloro-6-carboxy-fluorescine (HEX), 6-

carboxy-X-rhodarnine (ROa, dan tetrachloro-6-carboxy-fluoreseine (TET).

Karena harga pewama-pewama fluorescent ini sangat mahal, Schuelke (2000)

menciptakan metode altematif yang lebih ekonomis, yaitu metode M13. Dengan

metode M13, peneliti tidak perlu melabel masing-masing primer mikrosatelit

pewmafluorescent, tetapi hanya primer MI3 saja yang dilabel dengan pewarna

fluorescent.

Tiga macam primer yang digunakan pada penelitian ini untuk proses

amplifikasi menggunakan metode MI3 adalah primer universal MI3 (5'-

CACGACGTTGTAAAACG

Gambar

Gambar 2 Anak babi hutan sulawesi, terlihat garis-garis kekuningan di sepanjang
Gambar 7 Nukleotida tunggal (mononukleotida)
Gambar 9 Struktur molekul DNA untai ganda (Wikipedia 2007)
Gambar 13 Skema proses amplifikasi dengan teknik PCR menggunakan metode
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini penting, sebab demokrasi ekonomi bagi Bung Hatta tidak hanya dipandang sebagai sebuah proses pengambilan keputusan sebagaimana terjadi dalam bidang

Gelanggang Permainan adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk permainan ketangkasan dan atau mesin permainan sebagai usaha pokok dan dapat

ME mengundang pasangan suami istri yang ingin menghangatkan kembali relasi suami istri dan belum pernah bergabung dalam ME untuk mengikuti Week-end yang akan diadakan

Iklan merupakan salah satu bentuk penyampaian informasi mengenai barang dan atau jasa dari pelaku usaha kepada konsumennya, maka dari itu iklan tersebut sangat penting

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat diidentifikasi masalah yang terjadi sebagai berikut: Motivasi belajar siswa belum meningkat; Minat

Cara yang digunakan dalam mempelajari suatu data teks, adalah dengan terlebih dahulu menentukan fitur-fitur yang mewakili setiap kata untuk setiap fitur yang ada pada

Beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk mengeksplorasi studi kasus adalah studi literatur, kajian literatur, pencarian data, survey kondisi fisik ruang berjalan kaki,

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW melakukan shalat bersama-sama dengan orang