• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove Sebagai Bahan Baku Arang Oleh Masyarakat Di Batu Ampar, Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove Sebagai Bahan Baku Arang Oleh Masyarakat Di Batu Ampar, Kalimantan Barat"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN MANGROVE

SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT

DI BATU AMPAR, KALIMANTAN BARAT

RITABULAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku Arang oleh Masyarakat di Batu Ampar, Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

(4)

RINGKASAN

RITABULAN. Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku Arang oleh Masyarakat di Batu Ampar, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, NYOTO SANTOSO dan M. BISMARK.

Pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang adalah salah satu mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Batu Ampar. Namun pemanfaatan ini tergolong ilegal karena hutan yang dimanfaatkan berstatus hutan lindung dan diindikasi telah menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove di Kecamatan Batu Ampar. Keberadaan hutan produksi di sekitar Kecamatan Batu Ampar beserta skema-skema pemanfaatan hasil hutan kayu bagi masyarakat yang telah disediakan oleh pemerintah pada kenyataannya belum juga menjadi solusi bagi permasalahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi dan menganalisis hambatan implementasi kebijakan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm); mengidentifikasi dan menganalisis hambatan implementasi kebijakan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat melalui kemitraan kehutanan; mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab masyarakat masih melakukan illegal access dalam pengambilan kayu untuk bahan baku arang; mengidentifikasi dan memetakan stakeholders dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang; dan mengidentifikasi dan menganalisis rule in use dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.

Penelitian ini dilaksanakan pada 3 desa di di Kecamatan Batu Ampar, yaitu Desa Batu Ampar, Desa Nipah Panjang dan Desa Teluk Nibung. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, mulai November 2014 sampai Desember 2015. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), telaah dokumen dan kajian literatur. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, analisis deskriptif kualitatif, analisis stakeholders, dan analisis deskriptif dengan pendekatan konsep Teori Akses dan Rule in Use. Sintesis data menggunakan pendekatan metode analisis perumusan masalah dan Teori Rasional-Komprehensif.

Penelitian menemukan hasil bahwa kegagalan implementasi HTR, Hutan Desa dan HKm disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat pengrajin terhadap isi peraturan, rendahnya kualitas SDM masyarakat pengrajin, dan tidak adanya sanksi tegas bagi pelaku pemanfaat hasil hutan tanpa ijin. Untuk Hutan Desa dan HKm juga disebabkan karena belum adanya pelaksanaan tugas dan fungsi dari aparat pemerintah sebagai pihak pelaksana kebijakan. Sementara kegagalan Kemitraan Kehutanan terutama disebabkan oleh isi peraturan belum mengatur kemitraan dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu. Penyebab lainnya adalah kurangnya pengetahuan pengrajin arang terhadap peraturan; rendahnya kualitas SDM pengrajin arang; dan minimnya pengetahuan dan skill pengrajin dalam memproduksi arang berkualitas.

(5)

stakeholders, pihak-pihak yang berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat yaitu: (1) stakeholders subject (masyarakat pengguna sumberdaya, pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan perusahaan swasta); dan (2) key players (Dinas Kehutanan Propinsi; BPPHP; BP DAS; Dinas Perkebunan Kehutanan dan Pertambangan; BPKH; BAPPEDA; LSM; polisi kehutanan; perguruan tinggi dan KKMD).

Aturan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat, terdiri dari: (1) aturan pada kelembagaan formal, yaitu: aturan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan turunannya yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu (UU 41/1999, PP 38/2007, Permenhut P.55/Menhut-II/2011, Permenhut P.89/Menhut-II/2014, Permenhut P.88/Menhut-II/2014, dan SE.5/MenLHK/2015); dan (2) aturan yang digunakan (rule in use) pada kelembagaan lokal. Masing-masing aturan pada rule in form dan rule in use tidak bersesuaian satu sama lain (incompatibility). Hal ini disebabkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya sebagai pihak pelaksana dinilai belum mampu merealisasikan program HTR, HD atau HKm pada kawasan hutan produksi yang telah disediakan. Penyebab lainnya adalah rumitnya aturan dalam mengurus ijin pemanfaatan HHK melalui skema tersebut bagi masyarakat.

Model kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat secara berkelanjutan merekomendasikan alternatif kebijakan peningkatan sistem kerja key player. Kebijakan ini dinilai sebagai alternatif kebijakan terbaik yang dapat dijalankan saat ini untuk menyelesaikan permasalahan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.

(6)

SUMMARY

RITABULAN. Policy Model of Mangrove Utilization as Raw Material for Charcoal in Batu Ampar, West Kalimantan. Supervised by SAMBAS BASUNI, NYOTO SANTOSO and M. BISMARK.

Utilization of mangrove as raw material for charcoal is one of the people livelihoods in Batu Ampar Sub District. On the other hand, this utilization is still categorized illegal action because the source of its raw material are exploited from protected forest (Hutan Lindung/HL). It indicates that people livelihoods causing the quality and quantity of mangrove forest in Batu Ampar Sub District decrease. In fact, the existence of production forests around Batu Ampar Sub District and the schemes of forest product utilization for community provided by the government were not a solution for these problems.

This study aimed to analyze the obstacles of policy implementation on forest product utilization for community through the Community Plantation Forest (HutanTanaman Rakyat/HTR), Village Forest (Hutan Desa/HD) and Community Forest (Hutan Kemasyarakatan/HKm); to analyze the obstacles of policy implementation on forest product utilization for community through a forestry partnership (Kemitraan Kehutanan/KK); to analyze the factors that cause people still do illegal access in timber harvesting for charcoal raw materials; to identify and make stakeholders mapping in mangrove charcoal utilization as a raw material; to analyze the rule in use in the utilization of mangrove as raw materials for charcoal by the community; and to construct a policy model of mangrove forest utilization as raw material for charcoal by community in the Batu Ampar Sub District.

The research was conducted in three villages, namely Batu Ampar, Nipah Panjang and Teluk Nibung, Batu Ampar Sub District, Kubu Raya District, West Kalimantan Province, from November 2014 to Desember 2015. The data were collected through field observation, in-depth interview, the document and the literature review. Data analysis used descriptive analysis, qualitative descriptive analysis, stakeholders analysis, and descriptive analysis with the concept of access theory and rule in use application. Data synthesis used approaches of problem formulation analytical methods and Theory of Rational-Comprehensive.

(7)

Illegal access to protected forest by community in mangrove utilization as raw material for charcoal caused by middlemen (cukong) who have roles in providing capitals and markets. In the stakeholders aspect, the parties who play an important role in the policy implementation of mangrove utilization as a raw material for charcoal by community, namely: (1) subject stakeholders (resource user community, the village government, the sub district government and private companies); and (2) key players (the Provincial Forestry Agency; BPPHP; BP DAS; the Plantation, Forestry and Mines Agency; BPKH; BAPPEDA; NGOs; the forestry police; universities and KKMD).

The rules in mangrove utilization as raw material for charcoal by community, consisting of: (1) the rules in formal institutions (rule in form), namely: the rules in the legislation and its derivatives about the utilization of timber forest products (UU 41/1999, PP 38/2007, Permenhut P.55/Menhut-II/2011, Permenhut P.89/Menhut-II/2014, Permenhut P.88/Menhut-II/2014, and SE.5/MenLHK/2015); and (2) the rules which are used in local institutional (rule in use). Each rule in rule in form and rule in use are incompatibility each other. This is caused by the Government of Kubu Raya District is not able yet to realize the program HTR in production forest provided by the government. Another reason is the complexity of the permit regulations in utilization of timber forest product by the community.

Policy model of sustainable mangrove utilization as raw material for charcoal by community recommends the alternative policy namely increasing of key players work system. This is considered as the best policy alternative at this time to resolve the problem of the mangrove utilization as raw material for charcoal by the community in the Batu Ampar Sub District.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN MANGROVE

SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT

DI BATU AMPAR, KALIMANTAN BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian:

Tertutup : 1. Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS

(Guru Besar Institut Pertanian Bogor) 2. Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS (Guru Besar Institut Pertanian Bogor)

Promosi : 1. Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Ir. Syaiful Ramadhan, MMAgr Prof (Pejabat Fungsional Perencana Utama pada

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia) Dr Ir Cecep

Kusmana MS

(11)

Judul Disertasi : Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku Arang oleh Masyarakat di Batu Ampar, Kalimantan Barat Nama : Ritabulan

NIM : P062110121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni MS Ketua

Dr Ir Nyoto Santoso MS Anggota

Prof (R) Dr Ir H M Bismark MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup : 27 Juni 2016 Tanggal Ujian Promosi: 1 Agustus 2016

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah kebijakan pemanfaatan hutan mangrove, dengan judul Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku Arang oleh masyarakat di Batu Ampar, Kalimantan Barat.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Sambas Basuni MS, Bapak Dr Ir Nyoto Santoso MS dan Bapak Prof Dr M Bismark MS selaku pembimbing; yang telah penuh kesabaran membimbing dan memberi motivasi kepada penulis dalam melaksanakan penelitian ini;

2. Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan penguji luar pada ujian tertutup yang telah banyak memberi saran;

3. Bapak Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS selaku penguji luar pada ujian tertutup dan sidang promosi yang telah banyak memberi saran;

4. Bapak Dr Ir Syaiful Ramadhan MMAgr selaku penguji luar pada sidang promosi yang juga telah banyak memberi saran;

5. Bapak Tommy AS SH beserta staf Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Kubu Raya dan Bapak Ir Fairuz Mulia yang telah membantu selama pengumpulan data;

6. Orang tua beserta seluruh keluarga dan sahabat tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya;

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas semua doa dan bantuan yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 1 Agustus 2016

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

Kerangka Pemikiran ... 5

Penelitian Terdahulu 8 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 9

2 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove ... 11

Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove ... 11

Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Arang Bakau ... 13

Pembangunan Berkelanjutan ... 14

Analisis Kebijakan ... 17

Kelembagaan ... 20

Analisis Stakeholder ... 22

Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ... 24

3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

Rancangan Penelitian ... 28

Bahan dan Alat ... 28

Jenis Data ... 28

Metode Pengumpulan Data ... 29

Analisis Data ... 30

Sintesis Data ... 33

4 DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Kawasan Hutan Mangrove Batu Ampar ... 37

Kondisi Fisik ... 39

Komponen Biologi 41

Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya 43

(14)

5 HAMBATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMANFAATAN MANGROVE SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT

Pendahuluan ... 53

Metode Penelitian 54

Hasil dan Pembahasan 55

Simpulan 72

6 PENYEBAB ILLEGAL ACCESS DALAM PEMANFAATAN MANGROVE SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT

Pendahuluan 75

Metode Penelitian 75

Hasil dan Pembahasan 76

Simpulan 79

7 STAKEHOLDERS DALAM PEMANFAATAN MANGROVE

SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT

Pendahuluan ... 81

Metode Penelitian 82

Hasil dan Pembahasan 82

Simpulan 88

8 RULE IN USE DALAM PEMANFAATAN MANGROVE SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT

Pendahuluan ... 89

Metode Penelitian 99

Hasil dan Pembahasan 90

Simpulan 101

9 REKAYASA MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN

MANGROVE SEBAGAI BAHAN BAKU ARANG OLEH MASYARAKAT

Pendahuluan ... 103 Metode Penelitian ... 103

Hasil dan Pembahasan 105

Simpulan 115

10 PEMBAHASAN UMUM 117

11 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 123

Saran 125

DAFTAR PUSTAKA 127

LAMPIRAN 137

(15)

DAFTAR TABEL

1 Perangkat hak berdasarkan strata hak kepemilikan ... 21

2 Informan kunci yang diwawancarai 29

3 Luas kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya berdasarkan hasil perhitungan data digital Sistem Informasi Geografis Tahun 2006 39

4 Luas desa-desa di wilayah penelitian 40

5 Jenis vegetasi mangrove di sekitar lokasi penelitian 41 6 Luas dan potensi hutan mangrove di sekitar lokasi penelitian 42 7 Potensi Rhizophora apiculata di kawasan hutan produksi 43 8 Kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya 43 9 Sebaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin per desa di lokasi

penelitian 44

10 Jumlah rumah tangga dan rata-rata penduduk rumah tangga per desa

di lokasi penelitian 44

11 Sarana dan prasarana pendidikan di lokasi penelitian 44 12 Fasilitas pendidikan pada desa-desa di lokasi penelitian 45 13 Jenis penggunaan lahan di Kecamatan Batu Ampar 45 14 Produk arang yang dihasilkan oleh pengrajin di Batu Ampar 50

15 Jumlah dapur arang di Desa Batu Ampar 51

16 Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap terhadap peraturan pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HTR 57 17 Tingkat pemahaman pengrajin arang terhadap peraturan pemanfaatan

hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HTR 57 18 Pelaksanaan tugas dan fungsi instansi terkait pemanfaatan hasil hutan

kayu untuk arang melalui skema HTR 59

19 Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap peraturan pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema Hutan Desa 61 20 Tingkat pemahaman pengrajin arang terhadap peraturan pemanfaatan

hasil hutan kayu untuk arang melalui skema Hutan Desa 62 21 Pelaksanaan tugas dan fungsi terkait pemanfaatan hasil hutan kayu

untuk arang melalui skema Hutan Desa 63

22 Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap peraturan pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HKm 65 23 Tingkat pemahaman pengrajin arang terhadap peraturan pemanfaatan

hasil hutan kayu untuk arang melalui skema HKm 65 24 Pelaksanaan tugas dan fungsi terkait pemanfaatan hasil hutan kayu

untuk arang melalui skema HKm 66

25 Tingkat pemahaman aparat pemerintah terhadap peraturan pemanfaatan hasil hutan kayu untuk arang melalui skema Kemitraan

Kehutanan 69

26 Tingkat pemahaman perusahaan dan pengrajin arang terhadap peraturan pemanfaatan hasil hutan kayu melalui skema Kemitraan

Kehutanan 70

(16)

28 Perilaku dan kinerja stakeholders dalam pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar 85 29 Aturan dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh

masyarakat di Kecamatan Batu Ampar 90

30 Estimasi kebutuhan bahan baku untuk pproduksi arang bakau 105 31 Sebaran hutan mangrove yang dialokasikan pada Skenario 2 108 32 Sebaran hutan mangrove yang dialokasikan pada Skenario 3 109

33 Perumusan masalah 111

34 Perumusan tujuan, alternatif, dampak dan ramalan masa depan

kebijakan 113

35 Penilaian alternatif kebijakan 114

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka penelitian ... 7 2 Konsep pembangunan berkelanjutan ... 16 3 Bentuk-bentuk analisis kebijakan ... 18 4 Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan tahap-tahap pembuatan

kebijakan ... 20 5 Contoh matriks klasifikasi stakeholders kunci dalam pengelolaan hutan 24 6 Lokasi penelitian ... 27 7 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders ... 32

8 Tahapan perumusan masalah kebijakan 33

9 Prioritas perumusan masalah dalam analisis kebijakan 34

10 Sebaran mangrove di Kabupaten Kubu Raya 38

11 Proporsi sebaran mangrove berdasarkan fungsi kawasan di

Kecamatan Batu Ampar 39

12 Penutupan lahan di Kecamatan Batu Ampar 41

13 Areal konsesi PT. Kandelia Alam dan PT. BIOS 47 14 Pembuatan dapur arang. (a) tahap awal (b) tahap pengeringan 48 15 (a) Pengambilan kayu mangroveuntuk bahan baku arang (b) batang

kayu mangrove setelah dipotong-potong 49

16 (a) Pengisian bahan baku ke dapur arang (b) bahan bakar solar

dikemas dan siap dijual ke pengrajin arang 49

17 Pengemasan. (a) pemotongan arang sesuai ukuran pemesanan

(b) arang yang sudah dikemas 50

18 Tata niaga arang bakau di Kecamatan Batu Ampar 51 19 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pemanfaatan

hutan mangrove sebagai bahan baku arang di Kecamatan Batu Ampar 83 20 Lokasi hutan mangrove yang dialokasikan untuk Skenario 2 107 21 Lokasi hutan mangrove yang dialokasikan untuk Skenario 3 109 22 Model kebijakan pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sebaran hutan di Kecamatan Batu Ampar berdasarkan SK

733/Menhut-II/2014 137

2 Skema pemanfaatan hasil hutan kayu melalui IUPHHK dan IPK berdasarkan Permenhut P.55/Menhut-II/2011; Permenhut P.89/Menhut-II/2014; Permenhut P.88/Menhut-II/2014; dan

Permenhut P.20/Menhut-II/2013 138

3 Perbandingan keempat skema pemanfaatan hasil hutan kayu melalui IUPHHK dan IPK berdasarkan Permenhut P.55/Menhut-II/2011; Permenhut P.89/Menhut-II/2014; Permenhut P.88/Menhut-II/2014;

dan Permenhut P.20/Menhut-II/2013 139

4 Matriks analisis peraturan pemanfaatan hutan mangrove sebagai

bahan baku arang oleh Masyarakat di Kecamatan Batu Ampar 141 5 Alur mekanisme pengajuan pencadangan areal HTR berdasarkan

Permenhut P.55/Menhut-II/2011 jo P.31/Menhut-II/2013 146 6 Stakeholders dan tugas pokoknya dalam pengelolan hutan mangrove

sebagai bahan baku arang di Kecamatan Batu Ampar 147 7 Kriteria alternatif kebijakan mengatasi illegal access dalam

pemanfaatan mangrove untuk arang oleh masyarakat di Kecamatan

Batu Ampar 150

8 Skenario IUPHHK-HTR berdasarkan Bentuk Pemegang Ijin

(Permenhut P.55/Menhut-II/2011) 151

9 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders 152 10 Areal pencadangan HTR-mangrove di Kecamatan Batu

Ampar yang diusulkan berdasarkan Surat Nomor

522/0829/Bunhuttam/2013 154

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove adalah ekosistem pesisir pantai yang memiliki berbagai fungsi, baik langsung maupun tidak langsung. Mangrove menyediakan kayu untuk konstruksi, kayu bakar dan arang, tambak, pulp dan tanin (Hamilton dan Snedaker 1984). Pemanfaatan secara komersil meliputi produksi arang dan lahan yang lebih luas untuk areal konsesi pengambilan kayu (Spalding et al. 1997). Mangrove juga menyediakan perlindungan dan berfungsi sebagai habitat yang baik bagi proses perkembangbiakan dan area pembesaran beberapa jenis organisme (Sasekumar dan Wilkinson 1994). Fungsi lainnya adalah mengurangi dampak abrasi dan banjir rob, menyumbang nutrisi dan memperlambat aliran permukaan (Lugo dan Snedaker 1974).

Luas total ekosistem mangrove di dunia adalah sekitar 181.000 km2 (Spalding et al. 1997). Sekitar 23% diantaranya tersebar di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2009, luas hutan mangrove di Indonesia adalah 3.244.018.46 ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Timur serta Papua (Bakosurtanal 2009). Di Provinsi Kalimantan Barat, sebaran hutan mangrove terluas berada di Kabupaten Kubu Raya dengan ±99.532.90 ha, tersebar di 4 kecamatan, yaitu: Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Kubu, Kecamatan Teluk Pakedai, dan Kecamatan Sungai Kakap. Hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya terdiri atas ±54 412 ha hutan lindung (HL), ±1.118.5 ha hutan produksi (HP), ±26.335 ha hutan produksi terbatas (HPT), ±5.260.5 ha hutan produksi konversi (HPK) dan ±12.406 ha areal penggunaan lain (APL) (Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Kubu Raya 2012).

Salah satu bentuk pemanfaatan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya adalah pemanfaatan kayu mangrove sebagai bahan baku arang. Bentuk pemanfaatan ini telah lama dilakukan, baik oleh perusahaan swasta maupun oleh masyarakat. Selain Kabupaten Kubu Raya, pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang di Indonesia juga dapat dijumpai di 4 wilayah kabupaten/kota lainnya, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kota Batam, dan Kabupaten Bengkalis. Produksi arang di masing-masing tempat ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan ekspor (Santoso 2013). Arang kayu yang dihasilkan dari jenis kayu mangrove memiliki kualitas yang sangat bagus sehingga cukup banyak diminati di luar negeri khususnya Jepang dan Taiwan. Harga arang bakau yang tinggi, dapat mencapai US$ 1 000/10 ton (Inoue et al. 1999), menyebabkan produksi arang bakau memiliki prospek yang bagus untuk menambah devisa.

(19)

2

sistem Tebang Tanam Jalur (HPHTI TTJ). Ijin ini berakhir pada tahun 2002 dengan dicabutnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang pemberian HPHTI. PT. (Persero) Inhutani II (eks HPH PT. Kalimantan sari) yang berlokasi di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Ketapang. Pemanfaatan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya kemudian dilanjutkan oleh PT. Kandelia Alam yang memperoleh IUPHHK pada areal seluas ±18 130 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 249/Menhut-II/2008 tanggal 24 Juni 2008 (PT. Kandelia Alam 2012).

Perusahaan lain yang memperoleh ijin usaha hutan mangrove di Kecamatan Batu Ampar adalah PT. Bina Ovivipari Semesta (PT. BIOS) dengan Surat Keputusan Bupati Pontianak No. 122 tanggal 2 Juli 2001. PT BIOS memperoleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) melalui SK No. 68/Menhut-II/2006 tanggal 27 Maret 2006 tentang Pembaharuan IUPHHK PT. BIOS seluas 10.000 ha di Provinsi Kalimantan Barat. Areal IUPHHK pada Hutan

Alam (IUPHHK-HA) PT. BIOS merupakan areal bekas tebangan perusahaan PT. Pelita Rimba Alam dan PT. Bumi Indonesia Jaya (Wiarta 2012).

Masyarakat Batu Ampar telah memanfaatkan hutan mangrove sejak sekitar tahun 1906. Kegiatan pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat ini memperoleh legalitas dari Dewan Pemerintah Daerah Pontianak dalam bentuk Ijin Pemilikan Dapur Arang dan Pengelolaan Hutan sejak tahun 1949. Lokasi hutan yang diberikan ijin tersebut berada di sekitar Batu Ampar (Sungai Limau sampai Sukamaju dan Pulau Panjang) (LPP Mangrove 2002).

Pada perkembangannya, fungsi hutan mangrove tempat pengambilan kayu bakau sebagai bahan baku arang tersebut diubah menjadi hutan lindung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) melalui Keputusan Menteri Pertanian No.757/Kpts/UM/10/1982, diperkuat dengan Peraturan Daerah No.1 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Barat tahun 1995 dan paduserasi RTRWP dengan TGHK pada tahun 1999. Hutan lindung ini termasuk Pulau Panjang yang menjadi sumber bahan baku arang masyarakat. Berdasarkan perubahan fungsi kawasan hutan tersebut, seluruh kegiatan terkait proses produksi arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar tergolong illegal karena bahan baku yang digunakan berasal dari kawasan hutan yang berstatus hutan lindung (LPP Mangrove 2002). Lebih daripada itu, bahkan setelah diterbitkannya SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat seluas 9 178 760 ha, aktivitas pengambilan kayu mangrove di hutan lindung masih terus berlangsung sampai sekarang, bahkan semakin intensif dan meluas. Hal ini dapat dilihat dari data jumlah dapur arang yang juga semakin bertambah, dari 90 unit pada tahun 2000 (LPP Mangrove 2000) menjadi 264 unit pada tahun 2012 (Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Kubu Raya 2012). Sejalan dengan potensi tegakan mangrove pada kawasan hutan lindung yang semakin berkurang, masyarakat pengrajin arang pun pada akhirnya melakukan pengambilan kayu mangrove di areal kerja PT. Kandelia Alam.

(20)

3 membentuk Koperasi Panter yang terkait langsung dengan pengelolaan hutan mangrove untuk bahan baku arang secara berkelanjutan dengan areal mangrove yang diuji coba seluas 6 000 ha. Koperasi yang beranggotakan para produsen arang dan nelayan ini bertujuan untuk meningkatkan saluran pasar dan harga serta memberi legalitas bagi areal penebangan mangrove dan aktivitas produksi arang bakau. Selama beroperasi, koperasi ini berhasil memutus ketergantungan para pengrajin arang terhadap cukong arang di Kecamatan Batu Ampar. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama terutama setelah kepemimpinan koperasi berganti ke pengurus yang baru. Beberapa faktor lain, seperti status kawasan, kredit macet, lemahnya aturan internal koperasi, hingga faktor politik, menyebabkan koperasi ini tidak cukup kuat untuk bertahan. Koperasi Panter mengalami kehilangan banyak anggota dan stagnan hingga sekarang.

Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat diindikasi telah menyebabkan kerusakan hutan mangrove dan berkurangnya potensi bahan baku arang bakau di Kecamatan Batu Ampar. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan mangrove di wilayah ini belum mendukung pengelolaan hutan secara lestari. Kelestarian sumberdaya hutan, meliputi hutan mangrove dan kayunya, merupakan prinsip dalam pengelolaan hutan lestari yang menjadi target pembangunan kehutanan berkelanjutan (Natural Resources Development Centre 2013).

PP 6 Tahun 2007 beserta beberapa aturan turunannya terkait kebijakan pemanfaatan hasil hutan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) hingga saat ini ternyata belum juga mengakomodir kepentingan masyarakat pengrajin arang di Kecamatan Batu Ampar. Hal ini melatarbelakangi pentingnya penelitian ini dilakukan untuk menemukan dan merumuskan kembali masalah kebijakan serta menentukan alternatif model kebijakan yang terbaik bagi pemerintah dan masyarakat pengrajin arang di Kecamatan Batu Ampar.

Perumusan Masalah

Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, menghadapi permasalahan karena tergolong illegal. Selain status hutan yang dimanfaatkan yaitu hutan lindung, kegiatan ini juga diindikasi telah mengakibatkan terjadinya penurunan sumberdaya hutan mangrove, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Berkurangnya potensi mangrove pada areal bekas pengambilan bahan baku arang menyebabkan aktivitas masyarakat ini kemudian meluas hingga ke areal perusahaan PT. Kandelia Alam yang beroperasi pada sebagian wilayah hutan produksi di Kecamatan Batu Ampar. Berbeda dengan PT. Kandelia Alam, areal konsesi PT Bios masih aman dari eksploitasi oleh masyarakat karena lokasinya yang jauh dari permukiman dan membutuhkan transportasi air yang tergolong mahal.

(21)

4

hutan produksi oleh masyarakat dapat diberikan dalam bentuk IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK pada HTR) (PP 6/2007 Pasal 67 ayat (5)). Selanjutnya PP 6/2007 pasal 84 juga mengatur pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat melalui tiga skema pemberdayaan masyarakat, yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Kemitraan. Pada kawasan hutan lindung, pemanfaatan hutan dapat dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, atau pemungutan hasil hutan bukan kayu (PP 6/2007 Pasal 23). Pemungutan hasil hutan bukan kayu di hutan lindung antara lain berupa pemanfaatan rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang burung walet, yang hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan (PP 6/2007 Pasal 26 ayat 1 dan 3).

Konsep akses menurut Ribot and Peluso (2003) adalah “kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu”, merupakan pengembangan dari definisi klasik tentang kepemilikan sebagai hak terhadap manfaat dari sesuatu. Berdasarkan definisi ini, akses lebih berhubungan dengan “bundle of powers” dibanding

bundle of rights”. Mengacu pada teori ini, untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku arang bakau, masyarakat pengrajin arang di Batu Ampar saat ini melakukan illegal access terhadap hutan mangrove, baik di kawasan hutan produksi maupun di kawasan hutan lindung.

Kebijakan Pemerintah melalui PP 6/2007 telah membuka peluang pemanfataan hasil hutan kayu pada hutan produksi mangrove oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar melalui skema HTR, HD, HKm, atau Kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan. Namun kenyataannya, masyarakat di kecamatan ini sulit memperoleh ijin pemanfataan atas keempat alternatif skema pemanfaatan tersebut. Proses produksi arang secara illegal terus berlangsung dan sulit dihentikan. Kondisi ini mengindikasikan gagalnya suatu produk kebijakan Pemerintah pada tataran implementasinya di lapangan. Dengan kata lain, kondisi ini juga dapat dikatakan sebagai model kebijakan pemanfaatan hutan mangrove saat ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa penyebab atau hambatan bagi masyarakat sehingga belum/tidak memanfaatkan peluang pemanfaatan hasil hutan kayu dalam bentuk HTR, Hutan Desa dan HKm.

2. Apa penyebab atau hambatan implementasi kebijakan sehingga tidak terjadi kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat.

3. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat masih tetap melakukan illegal access, baik di hutan lindung maupun di hutan konsesi, terkait pengambilan kayu mangrove untuk bahan baku arang.

4. Siapa saja yang terlibat dalam pengelolaan pemanfaatan hutan mangrove untuk bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.

(22)

5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah seperti tersebut di atas, tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuat rekayasa model kebijakan pengelolaan pemanfaatan hutan mangrove berkelanjutan sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menganalisis hambatan implementasi pemanfaatan mangrove sebagai bahan

baku arang oleh masyarakat melalui HTR, Hutan Desa, dan HKm.

2. Menganalisis hambatan implementasi kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat melalui kemitraan kehutanan. 3. Menganalisis faktor-faktor penyebab masyarakat masih melakukan illegal

access dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat .

4. Mengidentifikasi dan memetakan stakeholders dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat.

5. Menganalisis rule in use masyarakat pengrajin arang bakau dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, dalam merevisi kebijakan khususnya yang menyangkut masalah kelembagaan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti berikutnya, terutama mereka yang fokus pada kajian kebijakan atau kelembagaan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove oleh masyarakat serta topik-topik penelitian lainnya yang relevan.

Kerangka Pemikiran

Konsep pembangunan berkelanjutan yang diintegrasikan ke dalam pengelolaan hutan mangrove memberi pemahaman bahwa upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi tidak boleh mengabaikan aspek kelestarian sosial serta kelestarian sumberdaya hutannya. Demikian pula pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber bahan baku arang di Kecamatan Batu Ampar. Berdasarkan data Bappeda (2011), sebagian hutan mangrove di kawasan hutan lindung saat ini berada dalam kondisi rusak. Kondisi ini terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan kayu mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat. Di sisi lain, potensi hutan mangrove dalam kawasan hutan produksi masih relatif baik. Sebagian dari hutan produksi ini merupakan wilayah konsesi yang dikelola oleh perusahaan PT. Kandelia Alam sebagai sumber bahan baku chip ekspor. Sisanya merupakan hutan produksi mangrove milik negara yang belum dibebani hak pemanfaatannya.

(23)

6

penunjukan kawasan hutan dan perairan melalui SK Menhut 259/Kpts-II/2000 pada kenyataannya tidak mampu melindungi hutan lindung mangrove dari kerusakan terutama akibat aktivitas produksi arang bakau.

Keluarnya kebijakan Pemerintah melalui PP 6/2007 jo PP 3/2008 dan peraturan turunannya telah membuka peluang pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove oleh masyarakat di hutan produksi. Terdapat 4 skema pemanfaatan hasil hutan di kawasan hutan produksi yang disediakan oleh pemerintah untuk masyarakat yaitu HTR, HD, HKm, dan Kemitraan Kehutanan antara masyarakat dengan perusahaan. Namun keempat skema ini belum dimanfaatkan oleh masyarakat pengrajin arang bakau di Kecamatan Batu Ampar. Hal ini mengindikasikan adanya kegagalan implementasi kebijakan di tingkat lapangan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini diduga terkait dengan masalah kebijakan. Kebijakan yang telah disediakan oleh Pemerintah belum menjadi solusi bagi praktek illegal pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Batu Ampar. Masyarakat di wilayah kecamatan ini masih tetap melakukan illegal access berupa pengambilan kayu mangrove di kawasan hutan lindung. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan analisis kebijakan dan pengembangan kelembagaan formal terkait aturan-aturan yang berlaku (rule in use) di kalangan masyarakat pengrajin arang saat ini serta berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam melakukan aktivitas tersebut.

Kajian penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab atau hambatan bagi masyarakat dalam memanfaatkan peluang pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove untuk bahan baku arang melalui skema HTR, HD, HKm, maupun kemitraan. Identifikasi dan analisis juga dilakukan untuk menemukan faktor-faktor penyebab illegal access dan rule in use yang digunakan oleh pengrajin arang di Kecamatan Batu Ampar. Semua kajian ini terkait dengan aspek kelembagaan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar. Hubungan antar aktor serta hubungan antara aktor dengan sumberdaya alam dikaji secara mendalam. Keduanya dianalisis berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat.

(24)

7

Gambar 1 Kerangka pemikiran

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KEC. BATU

AMPAR

Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Baku Arang oleh Masyarakat

KEBIJAKAN:

- SK Menhutbun 259/Kpts-II/2000

- Pemanfaatan pada Hutan Produksi:

oPP 06/2007 jo PP 3/2008

oPermenhut P.55/2011 jo P.31/2013 (HTR) oPermenhut P.89/2014

(HD)

oPermenhut P.88/2014 (HKm)

oPermenhut P.39/2013 (Kemitraan Kehutanan)

TINGKAT KEPENTINGAN DAN PENGARUH STAKEHOLDERS

Penyebab/hambatan Kemitraan antara masyarakat dengan

perusahaan? Penyebab/hambatan

HTR, Hutan Desa, HKm?

Stakeholders - Penyebab illegal

access? - Rule in use

TEORI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Pemanfaatan hutan lindung mangrove sebagai bahan baku arang terus berlangsung sampai

saat ini

INDIKASI KEGAGALAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN:

Masyarakat belum/tidak memanfaatkan peluang PP

6/2007: HTR, Hutan Desa, HKm, Kemitraan.

Analisis dan Sintesis Data - Isi kebijakan

- Pengawal aturan - Respon Masyarakat

FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FAKTOR-FAKTOR ILLEGAL

ACCESS DAN RULE IN USE

FAKTA: Hutan rusak

Rasional Komprehensif

Perumusan Masalah Kebijakan

PEST Analysis

Analisis faktor penghambat Teori Akses;

Identifikasi aturan Analisis

(25)

8

Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu telah mengkaji berbagai aspek kelembagaan pengelolaan hutan mangrove, di antaranya diuraikan sebagai berikut.

1. Hasan (2004) mengkaji peran partisipasi kelembagaan partisipatif dan non-partisipatif dalam pelestarian ekosistem hutan mangrove, keterkaitan antar lembaga partisipatif, dan kondisi sosial, ekonomi dan pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan mangrove. Pengembangan kelembagaan partisipatif melalui konsep co-management dalam melestarikan ekosistem mangrove diarahkan terutama pada peningkatan partisipasi dan persepsi masyarakat, penguatan fungsi dan peranan lembaga formal dan informal, serta struktur organisasi.

2. Suhaeri (2005) mengkaji peran peraturan yang berpengaruh terhadap kerusakan hutan mangrove, peran kepastian hak kepemilikan dalam mengendalikan kerusakan hutan mangrove, serta merumuskan model penentuan skala ekonomi lahan garapan pada pemanfaatan hutan mangrove. Hasilnya menemukan bahwa institusi yang dapat mengendalikan kerusakan hutan mangrove adalah kontrak yang sistematika penciptaan hingga penghapusannya memberikan kepastian hak dan telah memperhitungkan biaya lingkungan serta pilihan masyarakat di dalam proses pengalokasian manfaatnya. Hak kepemilikan yang diterapkan dalam pengelolaan hutan mangrove tidak memberi kepastian hak penguasaan lahan garapan sehingga tidak mampu mengendalikan kerusakan, bahkan memberikan insentif terciptanya kebebasan akses. Alokasi lahan garapan yang melebihi skala ekonomi manfaat optimal akan mengurangi kesejahteraan masyarakat lainnya, sehingga merupakan kebijakan yang kurang berkeadilan serta tidak sesuai dengan asas konsep pemilikan sumberdaya alam milik negara.

(26)

9 4. Penelitian Pattimahu (2010) tentang keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Penelitian ini menilai ketiga dimensi keberlanjutan menggunakan analisis Rap-Mforest. Hasilnya menunjukkan status pengelolaan ekosistem hutan mangrove kawasan ini kurang berkelanjutan. Perbaikan terhadap 7 indikator, yaitu: (1) perubahan keragaman habitat, (2) struktur relung komunitas, (3) hasil inventarisasi pemanfaatan mangrove, (4) zonasi pemanfaatan lahan mangrove, (5) keterlibatan stakeholders, (6) kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat dan (7) akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove, perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Analisis prioritas kebijakan menggunakan AHP menghasilkan kebijakan konservasi sebagai prioritas utama dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Barat, Maluku.

5. Gumilar (2012) mengkaji persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir Indramayu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai persepsi bahwa mangrove tidak memiliki manfaat penting bagi kegiatan tambak; penegakan hukum lingkungan dinilai masih sangat kurang memadai; dan partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan cenderung mengalami penurunan.

6. Schaduw (2012) mengkaji pola pengelolaan ekosistem mangrove yang mengakomodir seluruh kepentingan dan permasalahan yang ada di PPK Taman Nasional Bunaken dalam bentuk pengelolaan kolaboratif yang melibatkan seluruh stakeholders sebagai pengelola dengan memperbaiki fungsi kontrol terhadap semua kegiatan pengelolaan yang ada. Penelitian ini merumuskan pengelolaan ekosistem terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan analisis stakeholders yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik antar stakeholders kawasan ini. Pendekatan penyelesaian masalah menggunakan Multi Criteria Decision Making Analysis (MCDMA).

Beberapa penelitian yang dikemukakan di atas mengkaji upaya pengendalian, pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove secara lestari dan berkelanjutan. Secara umum konteks pengendalian, pelestarian dan pengelolaan secara berkelanjutan masih berkaitan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Namun secara spesifik, telaah terhadap isi kajian dalam beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa data, metode penelitian serta kesimpulan yang dihasilkan belum dapat menjawab permasalahan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.

Kebaruan (Novelty) Penelitian

(27)

10

Penelitian ini telah menemukan masalah kebijakan dan model alternatif kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Kebaruan lainnya adalah

bahwa hasil tersebut diperoleh dengan pendekatan multimetode, yaitu analisis 4 faktor penghambat implementasi menurut Maarse – pendekatan Teori Akses

(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken 1992). Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso 2000). IUCN (1993) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. Mangrove adalah spesies tropis dan tidak toleran terhadap suhu dingin atau beku, batas garis lintang mereka berbeda-beda menurut suhu udara dan air (Tomlinson 1986). Jenis hutan ini tersebar pada wilayah pasang surut di daerah tropis, antara sekitar 30 lintang utara dan 30 lintang selatan (Giri et al. 2011).

Karakteristik mangrove yang unik secara biologis/ekologis dapat digunakan sebagai indikator perubahan bagi ekosistem pantai. Salah satu karakteristik ekosistem ini nampak dari pola zonasi vegetasinya. Pola zonasi ekosistem mangrove di belahan bumi bagian timur dan barat menunjukkan beberapa kesamaan. Formasi yang ditemukan di Amerika dan bagian barat Afrika, Rhizophora sebagai zona terluar, diikuti Avicennia, lalu Laguncularia, dan sebaran Canocarpus secara sporadic di bagian tepi. Di belahan bumi bagian timur, formasi Rhizophora sebagai zona terluar (meskipun dengan beberapa di antaranya merupakan jenis tanaman lokal), Sonneratia dan mungkin juga Avicennia. Avicennia secara umum membentuk tegakan monospesifik di belakang zona terluar ini, diikuti tegakan campuran Bruguiera, Heritiera dan Xylocarpus, dengan zona tepi ke arah darat terdiri dari campuran tegakan Ceriops dengan Lumnitzera dan Avicennia. Keseragaman zonasi ekosistem mangrove memungkinkan untuk digunakan dalam interpretasi perubahan kondisi pantai skala kecil. Seperti perubahan pola drainase serta penambahan atau pengikiran zona. Penggunaan penginderaan jauh terhadap ekosistem mangrove berpotensi sebagai sebuah tools untuk melakukan monitoring perubahan kawasan pantai (Blasco et al. 1996).

Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

(29)

12

seluruh area mangrove di Indonesia; baik masalah maupun solusi, keduanya sangatlah beragam (Ruitenbeek 1992).

Kebijakan nasional tentang otonomi daerah mengurangi suara masyarakat dan berkonstribusi pada degradasi sumberdaya hutan. Sektor swasta, komunitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi dan peneliti sepakat bahwa kesehatan komunitas bisnis telah meraih kesempatan untuk memperlemah otonomi sistem pembuatan kebijakan untuk manfaat mereka sendiri. Pemerintah daerah fokus pada ekstraksi yang cepat pada kayu untuk meningkatkan pendapatan lokal mereka.

Kegiatan pemanfaatan hutan secara umum sebagaimana diamanatkan dalam PP 6/2007 dapat berupa pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku arang bakau secara legal membutuhkan Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Izin pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat dilakukan dalam bentuk:

a. Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disebut IUPHHK-HTR; b. Hutan Desa yang selanjutnya disebut IUPHHK-HD;

c. Hutan Kemasyarakatan, selanjutnya disebut IUPHHK-HKm; dan

IUPHHK pada HTR (IUPHHK-HTR) dalam hutan tanaman dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi (pasal 67 ayat (5)), di mana alokasi dan penetapan areal HTR pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain (Permenhut P.55/Menhut-II/2011 jo P.31/Menhut-II/2013 pasal 2 ayat (1)). Selanjutnya pasal 4 mengatur bahwa tegakan mangrove yang masuk dalam areal pencadangan HTR, areal mangrove tersebut dapat dikembangkan sebagai usaha HTR.

HTR yang dapat dikembangkan ada 3 pola, yaitu: (1) HTR Pola Mandiri, berdasarkan inisiatif masyarakat setempat yang membentuk kelompok dan selanjutnya mengajukan IUPHHK-HTR; (2) HTR Pola Kemitraan, dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitra berdasarkan kesepakatan bersama; dan (3) HTR Pola Developer; dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR.

Hutan Desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa, selanjutnya di sebut Lembaga Desa, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa (Permenhut P.89/Menhut-II/2014 pasal 1 ayat (7) dan (8)).

Hutan kemasyarakatan yaitu hutan negara, baik kawasan hutan lindung maupun hutan produksi yang belum dibebani hak atau izin pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat, pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat (Permenhut P.88/Menhut-II/2014).

(30)

13 Kemitraan Kehutanan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan sumber daya hutan secara optimal dan adil dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) mendefinisikan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan sebagai upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari melalui proses terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan keseluruhan fungsi ekosistem mangrove bagi kesejahteraan masyarakat. SNPEM bertujuan mensinergikan kebijakan dan program pengelolaan ekosistem mangrove, meliputi bidang ekologi, sosial ekonomi, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin fungsi dan manfaat ekosistem mangrove secara berkelanjutan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaannya mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Kehutanan Tingkat Nasional, dan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Semua peraturan tersebut membuka peluang bagi masyarakat setempat yang bermukim di dalam maupun di sekitar hutan untuk memperoleh legalitas usaha dalam bentuk izin pengelolaan pemanfaatan hasil hutan kayu mangrove untuk bahan baku arang untuk peningkatan kesejahteraan mansyarakat, tetap mendukung konsep pembangunan berkelanjutan serta mempertahankan kelestarian fungsi kawasan.

Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Arang Bakau

Pemanfaatan kayu mangrove paling banyak adalah dalam bentuk bahan bakar dan konstruksi. Di wilayah Indo-West Pacific, family Rhizophoraceae menghasilkan kayu keras dan padat yang menyala hanya dengan nilai kalori yang tinggi. Jenis kayu ini sangat sesuai untuk kayu bakar atau untuk pembuatan arang. Masyarakat pesisir di beberapa negara tropis memanfaatkan kayu mangrove untuk konsumsi domestik serta mendirikan pasar komersil untuk kayu bakar dan arang bakau (Baba et al. 2013).

(31)

14

Matang ini diekspor ke Jepang sejak tahun 1930 (MTC 2009). Arang berkualitas high-grade dipaket untuk memenuhi kebutuhan ekspor, sedangkan kualitas arang menengah atau lebih rendah dipaket untuk kebutuhan pasar lokal (Baba et al. 2013).

Sebelum 1961 tujuan pengelolaan mangrove di Thailand adalah untuk kayu bulat mangrove untuk produksi arang. Rencana pengelolaan dibuat oleh the Royal Forest Department Thailand yang mengadopsi sistem shelterwood di bawah regulasi sederhana dari siklus tebang 10 tahun, dimana area hutan dibagi ke dalam 10 areal yang sama, setiap areal dikelola selama 1 tahun. Pedoman penebangan pohon berukuran diameter setinggi dada (diameter at breast height – dbh) 10 cm atau lebih , meninggalkan 190 sampai 250 pohon dewasa per hektar (FAO 1985).

Produksi arang bakau di Vietnam menggunakan dapur arang berbentuk dome dengan dinding vertikal. Setiap dapur berukuran diameter 6–7 m dan tinggi 2.8–3.0 m, terbuat dari batu bata, pasir dan tanah liat. Ada 4–5 lubang asap pada dinding vertical, satu pintu yang melengkung sebagai akses dan terowongan (tunnel) yang cukup luas untuk pembakaran. Setiap unit dapur dapat mengakomodasi 30–35 m3 kayu. Sebanyak 6 orang pekerja memerlukan dua hari sebelum pintu akses ditutup. Kayu mangrove dengan panjang 1.4–1.6 m ditata secara vertikal atau horizontal di dalam dapur. Setelah itu, pintu dapur ditutup. Proses carbonizing biasanya membutuhkan waktu 22–26 hari dengan pembakaran selama 12–14 hari dan pendinginan selama 10–12 hari (Baba et al. 2013).

Pembangunan Berkelanjutan

Konsep dasar pembangunan berkelanjutan dibangun dari tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketepatan defenisi pembangunan berkelanjutan meninggalkan sesuatu yang ideal, ilusif dan bahkan mungkin saja sulit untuk mencapai tujuan. Sedikit ambisi tapi lebih fokus dengan strategi yang

layak akan memperolah “make development more sustainable” (Munasinghe 2003).

WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kemampuan manusia yang memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.

Barbier (1987) mengemukakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih di arahkan secara langsung untuk peningkatan standar hidup penduduk miskin di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan suplai air bersih.

Goodland dan Ledoc (1987) mengemukakan definisi konsep pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan datang.

(32)

15 1) pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi penggunaan sumberdaya; 2) keadilan antar generasi;

3) menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati; 4) keadilan antar negara dan daerah;

5) keadilan sosial;

6) menghormati warisan dan keanekaragaman budaya; dan pengambilan keputusan yang baik.

Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya berkelanjutan mengandung keempat aspek berikut:

1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability). Artinya bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal utama.

2) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability). Artinya bahwa pembangunan kehutanan perlu memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya hutan pada level individu.

3) Kelestarian komunitas (community sustainability). Artinya bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian dalam pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability). Keberlanjutan kelembagaan yang dimaksud menyangkut aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat dari ketiga aspek sebelumnya.

(33)

16

dan jasa lingkungan seperti karbon, air dan energi panas bumi di kawasan konservasi khususnya di taman nasional harus menjadi prioritas dan perlu didukung oleh regulasi yang tepat dan efektif (Kementerian Kehutanan 2011).

World Bank menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (environmentally sustainable development triangle) (Gambar 2). Pendekatan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaya serta keterbatasan teknologi. Peningkatan output pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian aset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan memberikan jaminan kepada kebutuhan dasar manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan (Munasinghe 1993). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi artinya bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Adanya pandangan ekologis yang didasarkan pada pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di masa yang akan datang dan dipengaruhi oleh segala aktivitas manusia. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan (Serageldin 1996).

Sumber: Munasinghe (1993).

Gambar 2 Konsep pembangunan berkelanjutan

Konsep keberlanjutan dalam Comhar (2007) menekankan upaya implementasi keberlanjutan pembangunan dengan memperhatikan ketujuh tema, yaitu: (i) kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan

Ekonomi

Ekologi Sosial

 Pertumbuhan pendapatan

 Efisiensi produksi

 Stabilitas suplai bahan baku

 Kesempatan kerja

 Distribusi pendapatan

 Solusi konflik

 Penanggulangan kemiskinan

 Pemerataan

 Kelestarian

 Nilai-nilai budaya

 Partisipasi

 Sumberdaya Alam (termasuk lahan)

 Keadilan

 Pemerataan pendapatan

 Assesmen lingkungan

(34)

17 sumber daya; (ii) keadilan antar generasi; (iii) menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati; (iv) keadilan antar negara dan daerah; (v) keadilan sosial; (vi) menghormati warisan dan keanekaragaman budaya; dan (vii) pengambilan keputusan yang baik.

ITTO mendefinisikan Pengelolaan Hutan Lestari sebagai proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan yang secara jelas telah ditetapkan, menyangkut produksi hasil hutan dan jasa secara berkesinambungan, tanpa menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan maupun sosial, atau pengurangan nilai serta potensi di dalamnya pada masa yang akan datang (Natural Resources Development Centre 2013).

Analisis Kebijakan

Dunn (2013) mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan, yaitu: (1) apa hakekat permasalahan; (2) kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya; (3) seberapa bermakna hasil tersebut dalam menyelesaikan masalah, (4) kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab; dan hasil apa yang diharapkan.

Dunn (2013) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2013) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik (Gambar 3) berdasarkan hubungan antara komponen-komponen informasi kebijakan dan metode-metode analisis kebijakan, yaitu:

1. Analisis Kebijakan Prospektif

(35)

18

2. Analisis Kebijakan Retrospektif

Analisis kebijakan retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 kelompok analis berdasarkan tipe kegiatan yang dikembangkan meliputi: (i) analis yang berorientasi pada disiplin; (ii) analis yang berorientasi pada masalah dan (iii) analis yang berorientasi pada aplikasi.

3. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi

Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.

Sumber: Dunn (2013).

Gambar 3 Bentuk-bentuk analisis kebijakan

IDS (2006) mengemukakan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik meliputi: 1) bertahap, pembuatan kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; 2) selalu diwarnai dengan kepentingan yang overlap

Evaluasi

MASALAH KEBIJAKAN

Rekomendasi Pemantauan

Peramalan

Per

u

m

u

sa

n

Ma

sa

la

h

Per

u

m

u

sa

n

Ma

sa

la

h

Perumusan Masalah

Perumusan Masalah

PENEMUAN MASALAH: Masalah apa yang harus diatasi?

PEMECAHAN MASALAH: Apa solusi masalahnya?

RETROSPEKTIF (Ex Post): Apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat

PROSPEKTIF (Ex Ante):Apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan

KINERJA KEBIJAKAN

AKSI KEBIJAKAN

HASIL KEBIJAKAN

(36)

19 dan berkompetisi, ada pihak yang diakomodir dan ada pula yang diabaikan; 3) tidak hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta sangat berperan penting; 4) para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan. Berdasarkan karakteritstik tersebut, IDS (2006) mengembangkan kerangka sederhana terhadap tiga aspek penting dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait satu sama lain. Ketiga aspek tersebut meliputi:

a. pengetahuan dan diskursus (apa dan bagaimana narasi kebijakan dibentuk melalui ilmu pengetahuan, penelitian, dan sebagainya);

b. aktor dan jaringan (siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung); dan

c. politik dan kepentingan (apa dinamika kekuatan yang paling mendasar).

(37)

20

[image:37.595.52.450.76.637.2]

Sumber: Dunn (2013).

Gambar 4 Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan tahap-tahap pembuatan kebijakan

Kelembagaan

Kartodihardjo et al. (2004) mengemukakan bahwa institusi adalah inovasi manusia untuk mengatur atau mengendalikan sumber hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap sesuatu. Unsur-unsur institusi terdiri atas hak pemilikan, batas-batas wilayah kewenangan, dan aturan keterwakilan. Schmid (1988) menggambarkan hak kepemilikan sebagai hubungan individu dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu yang lainnya. Hak sebagai instrument masyarakat dalam mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Hak adalah sesuatu yang disepakati, tidak statis, berangsur-angsur berubah dan sebagian sejalan dengan kesepakatan politis.

Perumusan

Masalah

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

Penilaian

Penyusunan

Agenda

Formulasi

Kebijakan

Adopsi

Kebijakan

Implementasi

Kebijakan

Penilaian

Kebijakan

Analisis

Kebijakan

(38)

21 Pemilikan perorangan adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pihak lain atas sesuatu yang telah menjadi haknya (McKean 2000). Pemilikan swasta adalah pemilikan yang sangat bergantung pada keberadaan dan kemampuan untuk menegakkan peraturan dengan terlebih dahulu mendefinisikan siapa yang berhak mengelola sumberdaya alam (Gibson et al. 2000). Sedangkan hak pemilikan negara adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya yaitu pemerintah atau lembaga publik yang diberi kuasa oleh negara (Ellswort 2004).

Batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sumberdaya alam. Batas kewenangan berperan mengatur alokasi sumberdaya alam yang ditunjukkan melalui kinerja tertentu (Schmid 1988).

Hak kepemilikan dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan dapat dibedakan dalam beberapa strata hak, yaitu hak untuk memasuki hutan, hak untuk memanfaatkan hutan, hak untuk mengelola hutan, hak untuk mengecualikan orang lain yang tidak memiliki hak dan memperjualbelikan hak (Tabel 1). Sisi masyarakat dikelompokkan sebagai pemilik, pengelola, penyewa, pengguna, dan penikmat (Schlager dan Ostrom 1992; Ostrom dan Schlager 1996). Menurut Kartodihardjo (1998), rendahnya strata hak mengakibatkan pemegang hak tidak memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Dihubungkan dengan pemanfaatan hutan mangrove, rendahnya strata hak terhadap kawasan mengarahkan perilaku masyarakat untuk tidak memperlakukan hutan mangrove sebagai aset guna meningkatkan produktivitas usahanya. Masyarakat tidak berusaha untuk melindungi dan melestarikan hutan mangrove, karena dianggap menghambat upaya memaksimalkan keuntungan.

Tabel 1 Perangkat hak berdasarkan strata hak kepemilikan

Strata Hak Kelompok Masyarakat

Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Penikmat Memasuki

(access)

√ √ √ √ √

Memanfaatkan (withdrawal)

√ √ √ √

Mengelola (management)

√ √ √

Mengecualikan (exclusion)

√ √

Memindah-tangankan (alienation)

Sumber: Schlager dan Ostrom (1992); Ostrom dan Schlager (1996).

(39)

22

hukum atau konvensi. Mempunyai akses berarti mempunyai kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya tertentu yang dapat dilakukan karena adanya kekuasaan untuk itu. Kekuasaan yang dimaksud dapat terwujud melalui berbagai bentuk mekanisme, proses, maupun hubungan-hubungan sosial, sehingga akan terdapat kumpulan atau jaringan kekuasaan (bundle and web of power) yang memungkinkan seseorang atau lembaga mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi praktek-praktek implementasi kebijakan di lapangan. Berbeda dengan hak, yang mempunyai kejelasan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan, akses seringkali dapat terbebas dari adanya sanksi-sanksi tersebut.

Analisis Stakeholders

Stakeholders dapat didefinisikan sebagai beberapa individu, kelompok, atau intitusi yang memiliki keterkaitan sumberdaya alam dari suatu wilayah pembangunan dan/atau yang secara potensial dipengaruhi oleh aktivitas pembangunan dan memiliki sesuatu untuk bermanfaat atau tidak jika kondisi berubah atau tetap sama (Golder et al. 2005).

Tiga pendekatan yang umum digunakan dalam analisis stakeholders yaitu melalui workshops, focus group dan interviews. Apapun pendekatan yang

digunakan, ada tiga langkah penting dalam analisis stakeholders, yaitu: (1) mengidentifikasi stakeholders kunci dan keterkaitan mereka (positif atau

negatif); (2) menilai tingkat pengaruh, tingkat kepentingan, dan tingkat dampak diantara stakeholders; dan (3) mengidentifikasi bagaimana keterlibatan stakeholders yang terbaik (Golder et al. 2005).

Reed et al. (2009) mengemukakan pedoman atau tahapan identifikasi stakeholders yang terdiri dari:

a. Daftar stakeholders: sumber data yang dapat digunakan untuk membuat daftar adalah hasil pengamatan, informasi berbagai masyarakat dan hasil survey.

b. Kepentingan; kepentingan yang dapat

Gambar

Gambar 4   Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan tahap-tahap
Gambar 5   Contoh matriks klasifikasi stakeholders kunci dalam
Gambar 6   Lokasi penelitian
Tabel 2 Informan kunci yang diwawancarai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kawabe & Mano (1972) juga menyatakan bahwa bekantan memiliki kecenderungan bersifat terestrial. Luas wilayah jelajah bekantan di hutan mangrove Nipah Panjang

Pemanfaatan limbah sabut dan tempurung kelapa muda untuk bahan baku pembuatan briket arang belum memiliki kualitas yang baik atau belum sesuai dengan standar mutu

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan di Kampung Usili Distrik Aimas Kabupaten Sorong terdapat 5 (lima) jenis kayu mangrove dari 3 (tiga) famili yang dapat