• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan Di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan Di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

MANGROVE BERKELANJUTAN DI BATU AMPAR,

KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT

ENDANG KARLINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Endang Karlina

(4)

RINGKASAN

ENDANG KARLINA. Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, MARIMIN dan M. BISMARK.

Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimatan Barat memiliki potensi hutan lindung mangrove yang mengalami tekanan terhadap fungsinya karena meningkatnya kebutuhan ekonomi masyarakat. Hutan lindung mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan yang terjadi akan mempengaruhi ekosistem lainnya sehingga perlu perencanaan pengelolaan yang seimbang antara kebutuhan ekonomi dan jasa lingkungan. Pertambahan penduduk dan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, terutama di wilayah pesisir, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan hutan lindung mangrove secara berlebihan serta tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini.

Tujuan umum penelitian ini adalah menyusun model perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimatan Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan kajian terhadap: (i) implementasi peraturan perundangan terkait pengelolaan hutan lindung mangrove; (ii) nilai manfaat ekonomi hutan lindung mangrove; (iii) status keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada implementasi peraturan perundangan dalam pengelolaan hutan lindung mangrove, persepsi dan pemahaman para pemangku kewenangan di Kabupaten Kubu Raya terhadap PP 6/2007 jo PP 3/2008 dan PP 38/2007 mempunyai tingkat persepsi yang sama, yaitu peraturan mudah dipahami, namun terdapat kekakuan dalam mengimplementasikannnya. Kondisi tersebut berdampak dan tercermin di lapangan. Pada pemanfaatan hutan lindung mangrove yang selama ini dilakukan masyarakat ataupun pengguna lainnya, masih banyak ditemukan pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah. Nilai manfaat ekonomi hutan lindung mangrove yang paling tinggi adalah nilai manfaat keberadaan (77.75%), diikuti nilai manfaat tidak langsung (10.98%), nilai manfaat langsung (8.32%) dan nilai manfaat pilihan (2.95%).

Status keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar adalah cukup berkelanjutan (54.59%) pada kriteria ekologi; dan kurang berkelanjutan pada kriteria ekonomi (34.06%) dan kriteria sosial (42.03%). Berdasarkan hasil analisis, strategi alternatif prioritas yang paling sesuai untuk perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar adalah pertama, penataan kawasan hutan lindung mangrove; kedua,

pemanfaatan hutan lindung mangrove berbasis zonasi; ketiga, peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove;

keempat, peningkatan nilai manfaat hutan lindung mangrove; dan kelima,

penyelesaian konflik hutan lindung mangrove.

(5)

yang berada dalam kuadran autonomous. Hal ini berarti bahwa kelima elemen dengan masing-masing 10 sub elemen yang disertakan tersebut merupakan elemen yang dekat dan saling terkait dalam program penataan kawasan hutan lindung mangrove. Untuk menjamin perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove yang berkelanjutan tersebut diperlukan model kelembagaan yang menggambarkan posisi dan peran para stakeholders. Dari 10 stakeholders yang terdapat dalam elemen kelembagaan tersebut terdapat stakeholders kunci, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Kalimatan Barat.

(6)

SUMMARY

ENDANG KARLINA. Model of Sustainable Protected Mangrove Forest Management Planning in Batu Ampar, Kubu Raya District, West Kalimantan. Supervised by CECEP KUSMANA, MARIMIN and M. BISMARK.

Sub District of Batu Ampar, Kubu Raya, West Kalimantan Province has the potential of mangrove protected forests where function is under pressure because of community growing economic needs. Mangrove protected forest is one of the particularly vulnerable coastal natural resources facing environmental changes. The changes that occur will affect other ecosystems so it needs balance management planning between economic needs and environmental services. Population growth and economic needs are increasing, especially in coastal areas, causing changes on land use and excessive utilization of protected mangrove forest, and also inappropriate applied regulations.

The objective of this study was to develop a model of sustainable protected mangrove forest management planning in the district of Batu Ampar, Kubu Raya, West Kalimantan Province. To achieve this objective then a study was conducted about: (i) the implementation of legislation related to the protected mangrove forest management; (ii) the value of economic benefits of protected mangrove forest; (iii) the sustainability status of protected mangrove forest management.

The research result indicates that legislation implemented on Kubu Raya

mangrove protected forest, stakeholders’ perception and understanding about PP

No. 6/2007, PP No. 3/2008 and PP No 38/2007 have the same score level. Those legislations are easy to understand, yet there is still an inflexible implementation. This condition affects and generates damages on mangrove protected forest. There are still a lot of inappropriate utilization to the government regulations in utilization of protected mangrove forests conducted by community or other users. The economic benefits value of protected mangrove forest are: the existence value is the highest value (77.75%), followed by the indirect benefits value (10.98% ), the direct benefits value (8:32%) and the benefit options value (2.95%).

Sustainability status of protected mangrove forest in the district of Batu Ampar is Moderatelly Sustainable (54.59%) on ecological criteria; Marginally Sustainable on economic criteria (34.06%) and social criteria (42.03%). Based on the analysis, the most appropriate priority alternative strategies for the management planning of protected mangrove forest in district of Batu Ampar are: first, the arrangement of protected mangrove forest; second, zoning based protected mangrove forest utilization; third, increasing community participation in protected mangrove forest management planning; fourth, increasing the benefits value of protected mangrove forest; and fifth, conflict resolution in protected mangrove forest.

(7)

and role of necessary stakeholders. From ten stakeholders of this institutional element, the key stakeholder is West Kalimantan Provincial Forestry Office.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

MODEL PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

MANGROVE BERKELANJUTAN DI BATU AMPAR,

KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian:

Tertutup : 1. Prof (R). Dr. Ir. Nina Mindawati, Msi

(Peneliti Utama, Pusat Litbang Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

2. Dr.Ir. Iwan Hilwan, MS

(Departemen Silvikultur, Institut Pertanian Bogor)

Promosi Terbuka : 1. Prof (R). Dr.Ir. Nina Mindawati, Msi

(Peneliti Utama, Pusat Litbang Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

2. Dr. Ir. Iwan Hilwan, MS

(11)

3

Judul Disertasi : Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

Nama : Endang Karlina

NIM : P062110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS Ketua

Prof Dr Ir Marimin MSc Anggota

Prof (R) Dr H M Bismark MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup : 22 Juli 2016 Tanggal Ujian Promosi : 18 Agustus 2016

(12)

4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Sebagai aparat pemerintah pusat, penulis mempunyai minat yang tinggi di bidang manajemen kawasan konservasi berkelanjutan, sehingga tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan September tahun 2015 ini berjudul Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan di Batu Ampar, Kalimantan Barat.

Selanjutnya, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1 Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof Dr Ir Marimin MSc dan Bapak Prof (R) Dr H M Bismark MS selaku Aanggota Komisi Pembimbing, yang telah penuh kesabaran membimbing penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini.

2 Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS dan Dr Ir Widiatmaka DEA, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

3 Bapak Kepala Badan Litbang dan Inovasi serta Bapak Kepala Pusat Litbang Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah memberi kesempatan kepada penulis melanjutkan pendidikan Program Strata-3.

4 Rekan-rekan pada Pusat Litbang Hutan yang telah membantu dan memberi semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan ini.

5 Bapak Kepala Dinas Kehutanan beserta Staf Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kubu Raya, Kepala BAPPEDA Kabupaten Kubu Raya, Bapak Camat Batu Ampar serta para Kepala Desa beserta Staf, yang telah membantu selama pengumpulan data dan informasi, juga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian disertasi ini.

6 Seluruh keluarga, sahabat dan yang terkasih atas segala doa, kasih sayang, pengorbanan yang tulus, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(13)

5

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

Kerangka Penelitian ... 5

Kebaruan atau Novelty 8 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi, dan Ruang Lingkup Sumberdaya Mangrove 10 Penyebaran dan Permasalahan Mangrove di Indonesia 11 Pemanfaatan Hutan Lindung Mangrove 12

Pembangunan Berkelanjutan 14 Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan 17

Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove 19

Rapid Appraisal Analysis (RAP) 20

Multi Dimensional Scalling (MDS) 21

Analytical Hierarchy Process (AHP) 24

Interpretative Structural Modeling (ISM) 25

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Umum Kawasan Hutan Mangrove Batu Ampar 27

Kondisi Fisik 29

Komponen Biologi 29

Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya 31

4 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian 33

Rancangan Penelitian 34

Jenis dan Sumber Data 34

Teknik Pengambilan Sampel 35

Tahapan Penelitian 36

Metode Analisis 38

5 IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH TENTANG

PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MANGROVE DI

KABUPATEN KUBU RAYA

(14)

6

Metode Penelitian 49

Hasil 50

Pembahasan 57

Simpulan 59

6 PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MANGROVE BERBASIS NILAI MANFAAT DI KECAMATAN BATU AMPAR

Pendahuluan 61

Metode Penelitian 62

Analisis Data 64

Hasil 66

Pembahasan 70

Simpulan 74

7 STATUS KEBERLANJUTAN PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MANGROVE DI KECAMATAN BATU AMPAR

Pendahuluan 75

Metode Penelitian 76

Hasil 78

Pembahasan 85

Simpulan 89

8 MODEL PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MANGROVE BERKELANJUTAN DI KECAMATAN BATU AMPAR

Pendahuluan 90

Metode Penelitian 91

Hasil 94

Pembahasan 109

Simpulan 113

9 PEMBAHASAN UMUM ... Implementasi Peraturan Pemerintah Tentang Pengelolaan Hutan

Lindung Mangrove di Kabupaten Kubu Raya 115

Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berbasis Nilai Manfaat di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya 118 Status Keberlanjutan Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya 121 Strategi Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove di

Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya 122

Struktural Sistem Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya 124 Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya 124

Keterbatasan Penelitian 126

(15)

7

10 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 128

Saran 130

DAFTAR PUSTAKA 131

LAMPIRAN 140

(16)

8

DAFTAR TABEL

1 Penelitian yang relevan 8

2 Matriks Pembangunan Berkelanjutan 15

3 Potensi mangrove pada beberapa kawasan hutan lindung di

Kecamatan Batu Ampar 27

4 Kondisi tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya 30 5 Jenis vegetasi mangrove di sekitar lokasi penelitian 30

6 Desa-desa di Kecamatan Batu Ampar 31

7 Jenis pemanfaatan lahan di Kecamatan Batu Ampar 32

8 Jenis dan sumber data 35

9 Rancangan dan tahapan penelitian 36

10 Atribut keberlanjutan perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten

Kubu Raya, Kalimatan Barat 38

11 Kategori status keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-MPforest 43

12 Nilai dan definisi pendapat kualitatif 43

13 Pelaksanaan PP 6/2007 jo PP 3/2008 khususnya pasal-pasal terkait

pengelolaan hutan lindung 52

14 Pelaksanaan PP 38/2007 di Kabupaten Kubu Raya Provinsi

Kalimatan Barat 55

15 Pengumpulan data 62

16 Pendekatan untuk menentukan nilai manfaat ekonomi hutan lindung

mangrove 63

17 Nilai manfaat langsung ekosistem hutan lindung mangrove di

Kecamatan Batu Ampar 66

18 Total nilai manfaat ekosistem mangrove Kecamatan Batu Ampar,

Kabupaten Kubu Raya 68

19 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan lindung mangrove 68

20 Kategori indeks dan status keberlanjutan 78

21 Nilai stress 78

22 Indikator keberlanjutan perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten

Kubu Raya, Kalimatan Barat 79

23 Nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing kriteria 84 24 Hasil analisis Rap-MPforest untuk beberapa parameter statistik 85 25 Indikator kunci pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan 86 26 Hubungan kontekstual antar elemen-elemen model 94 27 Para aktor yang berperan dalam perencanaan pengelolaan hutan

lindung mangrove 95

28 Hasil agregasi bobot pengolahan unsur dimensi terhadap aktor dalam

perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove 96 29 Hasil agregasi bobot pengolahan unsur faktor terhadap dimensi dalam

perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove 96 30 Hasil agregasi bobot pengolahan alternatif strategi terhadap faktor

(17)

9

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian model perencanaan pengelolaan hutan

lindung mangrove 7

2 Segitiga konsep Pembangunan Berkelanjutan 16

3 Peta kawasan hutan dan konservasi perairan Kecamatan Batu Ampar

berdasarkan SK 733/Kpts-II/2014 28

4 Lokasi penelitian 33

5 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS dengan aplikasi

Rap-MPforest 41

6 Ilustrasi indeks keberlanjutan perencanaan pengelolaan sumberdaya

hutan sebesar 60 persen 42

7 Tahapan analisis model struktur program perencanaan pengelolaan hutan mangrove menggunakan Interpretative Structural Modelling 46

8 Tahapan penelitian 47

9 Persepsi masing-masing instansi terhadap PP 6/2007 jo PP 3/2008 56 10 Persepsi masing-masing instansi terhadap PP 38/2007 57 11 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS dengan aplikasi

Rapfish 77

12 Status keberlanjutan pada kriteria ekologi 80

13 Nilai sensitivitas masing-masing indikator pada kriteria ekologi 80

14 Status keberlanjutan pada kriteria ekonomi 81

15 Nilai sensitivitas masing-masing indikator pada kriteria ekonomi 81

16 Status keberlanjutan pada kriteria sosial 82

17 Nilai sensitivitas masing-masing indikator pada kriteria sosial 82 18 Status keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove di Batu

Ampar 83

19 Diagram layang-layang status keberlanjutan pengelolaan hutan

lindung mangrove di Batu Ampar 84

20 Tahapan penelitian 92

21 Struktur hirarki perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove

secara berkelanjutan 93

22 Alternatif strategi perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove

di Kecamatan Batu Ampar 97

23 Struktur elemen tujuan dalam perencanaan pengelolaan hutan lindung

mangrove 99

24 Struktur elemen perubahan yang dimungkinkan dalam perencanaan

pengelolaan hutan lindung mangrove 100

25 Struktur elemen indikator untuk menilai perencanaan pengelolaan

hutan lindung mangrove 102

26 Hubungan driver powerdependence pada elemen kendala utama program penataan kawasan hutan lindung mangrove 104 27 Struktur elemen lembaga yang terlibat perencanaan pengelolaan hutan

lindung mangrove 106

28 Model perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di

(18)

10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai manfaat langsung hutan lindung mangrove 140 2 Nilai manfaat tidak langsung hutan lindung mangrove 143 3 Nilai manfaat pilihan hutan lindung mangrove 144 4 Nilai manfaat keberadaan hutan lindung mangrove 145 5 Atribut keberlanjutan perencanaan pengelolaan hutan lindung

mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten

Kubu Raya, Kalimatan Barat 146

6 Indikator dan skor keberlanjutan perencanaan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten

Kubu Raya, Kalimatan Barat 147

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Paradigma pembangunan wilayah pesisir diantaranya adalah kawasan hutan mangrove sejak tahun 1990 sampai sekarang berfokus pada pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan mempunyai empat efek utama dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Efek umumnya adalah pengaruh terhadap keseluruhan konteks pengambilan keputusan dengan mengintegrasikan konsep keadilan, lingkungan dan ekonomi. Tiga efek khusus terdapat pada dimensi ekonomi, pengelolaan sumberdaya lingkungan dan pembangunan sosial budaya (Kay dan Alder 2003). Bengen (2003) menyatakan bahwa pencapaian tujuan dari pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove), ekonomi dan kepentingan sosial. Pencapaian tujuan suatu kebijakan yang telah ditetapkan memerlukan keterpaduan yang efektif dari para praktisi, peneliti dan berbagai

stakeholders untuk berbagai pandangan, pengetahuan dan pengalaman (Yaffee 1999).

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) lahir dan telah disepakati secara luas sejak diselenggarakannya United Nation Conference on the Human Environment di Stockholm tahun 1972 (WCED 1987). Konsep pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial telah diadopsi oleh setiap negara untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga tahap evaluasi. Kebijakan pembangunan dunia saat ini dan ke depan mengarah kepada pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana yang berazaskan konservasi tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan (Alikodra 2002).

Luas total mangrove di dunia adalah sekitar 181 000 km2 (Spalding et al.

1997). Sekitar 23% dari luasan ini terdapat di Indonesia. Luas kawasan mangrove di Indonesia berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial tahun 2009 adalah 3 244 018.46 ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Timur serta Papua (Bakosurtanal 2009). Kerusakan hutan mangrove di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh pembangunan tambak dan aktivitas pengambilan kayu (logging). Konversi lahan mangrove menjadi areal tambak terutama terjadi di Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Pemanfaatan produk mangrove secara lokal di antaranya untuk kayu konstruksi, kayu bakar, gula nipah untuk produksi gula dan daun nipah untuk atap. Pemanfaatan secara komersil meliputi produksi arang dan lahan yang lebih luas untuk areal konsesi pengambilan kayu (Spalding et al. 1997).

(20)

2

±12 406 ha areal penggunaan lain (APL) (Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Kubu Raya 2012).

Pemanfaatan hutan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya yang dilakukan oleh masyarakat terjadi sejak puluhan tahun yang lalu dengan pola turun temurun. Jenis pemanfaatan hutan lindung mangrove selama ini, selain pengambilan jenis-jenis ikan dan kepiting, juga pemanfaatan kawasan hutan berupa pengambilan bahan baku arang mangrove dan tambak. Kegiatan pemanfaatan ini mendapat legalitas dari Dewan Pemerintah Daerah Pontianak dalam bentuk Ijin Pemilikan Dapur Arang dan Pengelolaan Hutan sejak tahun 1949. Lokasi hutan yang diberikan ijin tersebut berada di sekitar Batu Ampar (Sungai Limau sampai Sukamaju dan Pulau Panjang) (LPP Mangrove 2002). Pada perkembangan berikutnya, fungsi hutan mangrove sebagai tempat pengambilan kayu bakau untuk bahan baku arang tersebut diubah menjadi Hutan Lindung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) melalui Keputusan Menteri Pertanian No.757/Kpts/UM/10/1982, diperkuat dengan Peraturan Daerah No.1 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Barat dan paduserasi RTRWP dan TGHK pada tahun 1999.

Berdasarkan perubahan fungsi kawasan tersebut, seluruh kegiatan atau aktivitas terkait dalam pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat dalam pengambilan bahan baku arang dan tambak, khususnya di wilayah Kecamatan Batu Ampar dinilai ilegal karena kawasan mangrove tersebut saat ini berstatus hutan lindung (LPP Mangrove 2002). Pasca diterbitkannya SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan 259/Kpts-II/2000 (SK Menhutbun 259/Kpts-II/2000) tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat seluas 9 178 760 Hektar, aktivitas pengambilan kayu mangrove di hutan lindung masih terus berlangsung sampai sekarang. Hal ini berdasarkan jumlah dapur arang yang semakin bertambah, dari 90 unit pada tahun 2000 (LPP Mangrove 2000) menjadi 264 unit pada tahun 2012 (Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Kubu Raya 2012).

Peraturan perundangan yang mengatur atau terkait dengan pengelolaan hutan lindung sudah banyak yang diterbitkan oleh pemerintah, mulai dari peraturan yang tertinggi, yakni UUD 1945 hingga peraturan daerah. Dalam penelitian ini terdapat dua peraturan perundangan yang dikhususkan untuk dikaji, yaitu PP 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di bidang Kehutanan.

Pemanfaatan hutan termasuk hutan lindung sendiri diatur dalam beberapa peraturan perundangan seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

Pemanfaatan Hutan. Pada pasal 17 (ayat 1) disebutkan bahwa “pemanfaatan hutan

(21)

3 Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan bahwa “dalam blok perlindungan dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan seperti pada ayat 1. Dengan kondisi tersebut, terlihat bahwa pemanfaatan areal hutan lindung di Kabupaten Kubu Raya masih ada yang tidak sesuai dengan peruntukannya seperti pembukaan tambak, pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang, tiang pancang, dan areal pemukiman khususnya di Kecamatan Batu Ampar.

Penunjukan kawasan lindung mangrove di Kabupaten Kubu Raya saat ini masih dipermasalahkan oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat di wilayah Kecamatan Batu Ampar yang merasa tidak dilibatkan dalam proses penunjukan kawasan. Sementara masyarakat merasa telah lebih dahulu berada dalam kawasan hutan lindung mangrove tersebut. Selain itu, keluarnya kebijakan yang mengindikasi adanya ketidak adilan pemerintah dalam memberi peluang usaha pemanfaatan hutan antara perusahaan dan masyarakat, akhirnya memicu persepsi yang berbeda khususnya dalam pemanfaatan hutan lindung mangrove. Hal tersebut menyebabkan timbulnya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan dalam pengelolaan hutan lindung mangrove. Konflik pemanfaatan terjadi akibat tumpang tindihnya berbagai pihak yang berkepentingan, baik masyarakat maupun instansi dalam mengeksploitasi sumberdaya hutan lindung mangrove. Adapun konflik kewenangan terjadi akibat tumpang tindih fungsi dan kewenangan antar lembaga yang terlibat.

Pengelolaan hutan lindung mangrove yang baik adalah didasarkan pada perencanaan pengelolaan yang disesuaikan dengan nilai dan fungsi sumberdaya ekosistem hutan mangrove tersebut. Perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Keberhasilan tujuan pembangunan berkelanjutan, memerlukan strategi perencanaan pengelolaan mangrove berdasarkan kerangka kerja perencanaan secara menyeluruh. Hal ini penting dalam implementasi prioritas program yang berpengaruh secara keseluruhan dan diperlukan pula penaksiran hasil berdasarkan

outcome sistem.

Strategi perencanaan ditujukan sebagai tindakan proteksi mangrove dari kerusakan lebih lanjut. Disamping itu diperlukan partisipasi masyarakat untuk menjamin kepemilikan lokal serta monitoring implementasi program. Harty (2004) menyatakan untuk membatasi kerusakan mangrove dan rawa diperlukan kebijakan dalam perencanaan dan pemantauan untuk kepastian perlindungan terhadap mangrove dan rawa dari berbagai aktivitas penggunaan lahan dan aktivitas pembangunan lainnya melalui pembuatan zonasi (zoning).

(22)

4

dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, sosial ekonomi, sosial politik serta hukum dan kelembagaan. Menurut Susilo (2003), bukan pengelompokan dimensi tersebut yang penting, tetapi indikator atau kriteria pada setiap dimensi tersebut lebih penting, sehingga akan mencakup seluas mungkin indikator yang dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan dalam perencanaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove.

Berdasarkan uraian di atas, maka hal tersebut merupakan dasar pemikiran pentingnya penelitian ini dilakukan untuk merumuskan kembali perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove yang berkelanjutan khususnya di wilayah pesisir Kecamatan Batu Ampat, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.

Perumusan Masalah

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk serta kebutuhan lahan sebagai sumber pendapatan masyarakat menyebabkan konversi hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat menjadi lahan pertambakan, pemukiman, pertanian serta pemanfaatan tegakan mangrove untuk dijadikan bahan baku arang, terus menerus terjadi sampai saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan hilangnya fungsi ekologis dan jasa lingkungan dari hutan lindung mangrove yang dapat menimbulkan tingginya abrasi dan mengancam kelangsungan hidup berbagai macam biota perairan serta fauna dalam ekosistem mangrove.

Pengelolaan serta pemanfaatan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar selama ini tidak sesuai dengan fungsi serta peraturan perundangan terkait dengan perencanaan, pengelolaan serta pemanfaatan hutan lindung yang terkandung dalam PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 khususnya pasal-pasal yang tekait dengan hutan lindung serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Selanjutnya, koordinasi antar instansi yang terkait dalam perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove masih belum tercermin secara sinergi dalam program perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove.

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan dari pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan dan mendapatkan solusi dari permasalahan pengelolaan hutan lindung mangrove yang sangat komplek di Kabupaten Kubu Raya, khususnya di Kecamatan Batu Ampar, maka diperlukan suatu model perencanaan pengelolaan sebagai pedoman pengelolaan hutan lindung mangrove.

Model perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten kubu Raya perlu dilakukan dengan pendekatan yang bersifat multi dimensi yakni; dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial sehingga konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor kehutanan khususnya pengelolaan hutan lindung mangrove dapat diwujudkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku saat ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut:

(23)

5 2. Berapa besar nilai manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat dari hutan

lindung mangrove?

3. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar?

4. Bagaimana model perencanan pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan di Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimatan Barat. Untuk mencapai tujuan umum penelitian, maka tujuan khususnya adalah:

1. Mengkaji implementasi peraturan perundangan terkait pengelolaan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar.

2. Mengestimasi nilai manfaat ekonomi hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar.

3. Menganalisis nilai keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian model perencanaan pengelolaan sumberdaya hutan lindung mangrove berkelanjutan di Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimatan Barat diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menentuan arah dan prioritas kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan lindung mangrove, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi:

- Ilmu pengetahuan; sebagai bahan referensi dalam pengkajian lebih lanjut terutama dalam bidang pengelolaan sumberdaya hutan lindung mangrove. - Stakeholders; sebagai informasi dan referensi bagi stakholders dan masyarakat

dalam pengelolaan sumberdaya hutan lindung mangrove di wilayah Kabupaten Kubu Raya.

- Pemerintah; sebagai acuan pemerintah daerah dalam menyusun prencanaan pengelolaan sumberdaya hutan lindung mangrove di wilayah Kabupaten Kubu Raya sebagai dasar penentuan prioritas program aksi yang diperlukan.

Kerangka Pemikiran

(24)

6

Pengelolaan hutan lindung mangrove yang baik dan bijaksana perlu didukung dengan perencanaan pengelolaan, sebagai dokumen atau pedoman acuan aksi untuk tercapainya tujuan dan sasaran dalam pengelolaan suatu kawasan berdasarkan fungsinya secara berkelanjutan.

Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimatan Barat memiliki hutan mangrove seluas 61.001.60 hektar atau 65.29% dari luas keseluruhan hutan mangrove yang berada di Kabupaten Kubu Raya, dengan hutan lindung mangrove seluas 33 731.66 hektar.

Pemanfaatan potensi hutan lindung mangrove dari tahun ketahun di Kecamatan Batu Ampar mengalami perubahan yang sangat intens, hal tersebut berkaitan dengan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan hutan lindung mangrove secara berlebihan serta tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini bahkan menimbulkan konfilk sosial antara masyarakat dan pengelola kawasan. Hal tersebut sangat berdampak terhadap fungsinya. Berdasarkan sifatnya, hutan lindung mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan yang terjadi akan mempengaruhi ekosistem lainnya.

Dalam mencapai tujuan dari pengelolaan yang baik, diperlukan suatu perencanaan pengelolaan yang seimbang antara ekologi serta kebutuhan ekonomi dan sosial. Hal tersebut berkaitan dengan konsep pembangunan berkelanjutan di wilyah pesisir serta mencegah lebih luas lagi kerusakan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Untuk itu, perlu dikaji implementasi peraturan perundangan yang berlaku saat ini yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung mangrove, yaitu: PP 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di bidang Kehutanan terkait pengelolaan hutan lindung mangrove. Adapun kajian tersebut menggunakan analisis isi serta persepsi dari para stakeholder yang terkait. Adapun, untuk mengetahui seberapa besar nilai manfaat hutan lindung mangrove baik secara ekonomi maupun manfaat lingkungan yang diterima dan dirasakan oleh masyarakat Kecamatan Batu Ampar menggunakan analisis Total Economi Value (TEV).

Selanjutnya, untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove berdasarkan multidimensi, meliputi: dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, dilakukan analisis dengan Multidimensional Scalling (MDS) menggunakan metode RapMPforest. Keterkaitan antara sub sistem ekologi, ekonomi dan sosial perlu dilihat untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove.

Penentuan alternatif strategi menggunakan Analytical Hierarchy Process

(AHP) menghasilkan strategi prioritas perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove secara berkelanjutan. Analisis tehadap program berdasarkan elemen dan sub-sub elemen yang terbangun dilakukan dengan analisis Interpretative Structural Modeling (ISM) untuk menentukan model perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya.

(25)

7 sosial bagi kelestarian hutan lindung mangrove dan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih jelas kerangka pemikiran penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove

Elemen dan Sub elemen Kunci Program Prioritas

Dimensi Sosial Dimensi Ekonomi

Status Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove

Model Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove di Kecamatan Batu Ampar

Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Kec. Batu Ampar

Permasalahan:

1. Pemanfaatan hutan lindung mangrove yang tinggi terhadap hutan lindung mangrove tidak sesuai dengan fungsinya.

2. Konversi hutan lindung mangrove untuk pemukiman, pertanian dan tambak

3. Terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaan hutan lindung mangrove

Strategi Prioritas Dimensi Ekologi

Implementasi Peraturan Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove

(26)

8

Kebaruan

Penelitian terkait perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove secara berkelanjutan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, sebelumnya belum pernah dilakukan. Hal tersebut berdasarkan dari hasil penelusuran beberapa hasil penelitian sebelumnya yang telah diidentifikasi dan dirangkum, yang terkait dengan hutan mangrove di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat masih sebatas nilai manfaat dan kebijakan dalam suatu pemanfaatan optimasi lahan, sebagaimana diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Penelitian yang relevan

No Nama Peneliti dan Judul Penelitian

Tahun Temuan Penting

1 Aprilwati

Analisis Ekonomi

Pemanfaatan Ekosistem

mangrove di Batu Ampar, Pontianak.

2001 Nilai manfaat ekonomi total dari ekosistem hutan mangrove sebesar 14 575 400/ha/thn. Nilai Keberadaan mempunyai nilai tertinggi sebesar 39.86%, manfaat tidak langsung sebesar 33.24%, nilai manfaat; langsung sebesar 26.07% dan manfaat pilihan sebesar 0.83%. Metode yang digunakan adalah TEV.

2 Nugroho

Kajian Pengelolaan

Ekosistem Mangrove di

Desa Dabong Kabupaten Kubu Raya.

2009 Kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove

adalah dengan memperkuat struktur

kelembagaan melalui cara revisi tapal batas sehingga tidak ada lahan masyarakat masuk di dalam kawasan konservasi dan kontak sosial diharuskan dengan kesepakatan konservasi. Metode yang digunakan adalah AHP.

3 Siregar

Valuasi Ekonomi dan

Analisi Strategis Konservasi

Hutan Mangrove di

Kabupaten Kubu Raya.

2012 Penelitian ini hanya mengkaji nilai manfaat hutan mangrove secara ekonomi di Kabupaten Kubu Raya. Bahwa Nilai Ekonomi Total Mangrove sebesar Rp 400 018 397 288,- per tahun. Dengan menggunakan metode TEV daan AHP.

4 Shilman

Kajian Penerapan

Silvofishery Untuk

Rehabilitasi Ekosistem

Mangrove di Desa Dabong, Kabupaten Kubu Raya.

2012 Revitalisasi tambak dengan penerapan sistem

silvofishery sangat tepat dengan model empang parit tradisional, karena telah sesuai dengan kondisi bioteknik tambak existing. Dengan penerapan model ini dapat dihasilkan perbandingan luasan antara mangrove dan parit tambak (caren) sebesar 80% : 20% sehingga akan tercapai rehabilitasi mangrove seluas 444.28 hektar.

5 Aldila

Model Simulasi Pengelolaan Multi Tujuan Pada Hutan

Produksi Mangrove PT.

Bina Ovivipari Semesta

(27)

9 Berdasarkan uraian di atas, maka kebaruan dalam penelitian ini mencakup metodologi dan substansi sebagai berikut:

1. Pada lingkup metodologi adalah pengembangan metode Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) yang digunakan untuk mengukur status keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove dan diberi nama Rapid Appraisal of Mangrove Protected Forest (RapMPforest).

2. Pada lingkup substansi, secara umum penelitian ini mengembangkan tentang model kelembagaan perencanaan pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan dan secara khusus adalah pengembangan:

a. Kriteria dan indikator untuk pengelolaan hutan lindung mangrove berkelanjutan.

(28)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Definisi, dan Ruang Lingkup Sumberdaya Mangrove

Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken 1993). Mangrove adalah salah satu di antara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum 1993). Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob (Snedaker 1978). Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Kata mangrove mempunyai dua arti; pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas (pasang surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies (Magne 1968 dalam Supriharyono 2000); Magne kemudian menggunakan istilah “mangal” yang merujuk pada komunitas hutan dan

“mangrove” untuk individu tumbuhan. Mangrove sering diterjemahkan sebagai komunitas hutan bakau, sedangkan tumbuhan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut. Jenis-jenis pohon mangrove yang tumbuh di wilayah tersebut seperti Avicennia sp, Sonneratia sp,

Rhizophora sp., Bruguiera sp. dan Ceriops sp.

Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon (seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa) yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2004). Karakteristik habitat mangrove yakni: (1) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, atau berpasir; (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang

purnama, frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove; (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; dan (4) terlindung dari

gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.

(29)

11 yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dangan laut. Menurut Bengen (2001), kawasan mangrove diklasifikasikan sebagai berikut: a) kawasan air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10 - 30 ppt, terdiri dari: (1) kawasan yang terendam 1 atau 2 kali sehari selama 20 hari dalam sebulan, hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh, (2) kawasan yang terendam l0–19 kali per bulan; ditemukan

Avicennia (A. alba, A. lauta), Sonneratia griffithii dan dominan Rhizophora sp., (3) kawasan yang terendam kurang dari 9 kali setiap bulan, ditemukan Rhizophora

sp/ Bruguiera sp., dan (4) kawasan yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun, dominan Bruguiera gymnorrhiza, dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup; b) kawasan air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0–9 ppt, meliputi: (1) kawasan yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang-surut, tumbuh Nypa, dan (2) kawasan yang terendam secara bermusim, dominan

Hibiscus.

Ruang lingkup sumberdaya mangrove secara keseluruhan terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau.

Penyebaran dan Permasalahan Mangrove di Indonesia

(30)

12

kerusakan mangrove terjadi karena adanya sedimentasi maupun kenaikan permukaan air laut. Sedangkan faktor manusia seperti eksploitasi mangrove yang tidak terkendali, konversi lahan untuk peruntukan lainnya serta pencemaran di perairan estuaria dan lokasi tumbuhnya mangrove. Selain itu, Dahuri et al. (2001) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mengancam kelestarian mangrove yaitu tanah timbul dan tenggelam, masalah sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat.

Kerusakan hutan mangrove di Indonesia umumnya disebabkan oleh reklamasi, penebangan kayu, penambangan dan pencemaran. Hal ini memerlukan langkah rehabilitasi agar mangrove dapat memberikan jasa lingkungan kepada masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi adalah suatu langkah strategi manajemen untuk mencegah degradasi suatu lanskap sehingga bermanfaat bagi lingkungan (Setiawan 2003).

Kementerian Kehutanan RI (2013) mengungkap bahwa lebih dari 50% hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan rusak dan ini menyebabkan menurunnya biodiversitas dan jasa lingkungan ekosistem mangrove akibat perubahan fungsi lahan sehingga meningkatkan resiko bencana. Pengelolaan mangrove berkelanjutan menjadi sulit pada aspek sosial ekonomi karena: (a) perbedaan pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove dan pentingnya upaya rehabilitasi; (b) partisipasi masyarakat lokal belum optimal; (c) sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem mangrove tergolong miskin; (d) pemanfaatan ekosistem mangrove ramah lingkungan belum berkembangan dan (e) pertumbuhan penduduk tinggi dan aktivitas ekonomi memicu alih fungsi lahan. Sedangkan menyangkut kelembagaan, pada pengelolaan hutan mangrove masih terdapat permasalahan, antara lain: (1) belum efektifnya koordinasi di antara lembaga terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove; (b) kebijakan antar sektor dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih belum sinergis; (c) kelembagaan pemerintah dan masyarakat belum berkembang dan berfungsi secara optimal; (d) kurangnya kapasitas pemerintah pusat dan daerah serta stakeholders

terkait dalam menginterpretasikan dan mengimplementasikan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove; dan (e) data ekosistem mangrove belum terintegrasi secara nasional. Pada bidang perundang-undangan, Indonesia masih menghadapi masalah lemahnya penegakan hukum serta kurang terintegrasi dan terimplementasikannya regulasi tentang pengelolaan mangrove.

Pemanfaatan Hutan Lindung Mangrove

(31)

13 potensi yang terkandung didalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.

Hutan mangrove yang terletak dalam kawasan lindung adalah hutan mangrove yang tumbuh di sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan pantai berhutan bakau. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Kriteria sempadan sungai adalah sekurang-kurangnya 100 m di kanan kiri sungai besar dan 50 m di kanan kiri anak sungai yang berada di luar permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman berupa jalan inspeksi selebar 10-15 m. Kriteria kawasan pantai bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

Di dalam kawasan hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi pokoknya. Kegiatan budidaya yang sudah ada harus mematuhi ketentuan-ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya dan fungsi kawasan dikembalikan secara bertahap. Kegiatan yang diperbolehkan di kawasan ini adalah penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam. Selain hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata, hutan mangrove juga tumbuh di kawasan budidaya non kehutanan.

Berdasarkan PP No.6 Tahun 2007, kegiatan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu. Seluruh kegiatan pemanfaatan tidak dapat dilaksanakan pada blok perlindungan.

1) Pemanfaatan kawasan pada Hutan Lindung

Kegiatan pemanfaatan kawasan adalah dapat meliputi: a. budidaya tanaman obat;

b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur;

d. budidaya lebah;

e. penangkaran satwa liar; atau f. budidaya hijauan makanan ternak.

Kegiatan pemanfaatan di kawasan hutan lindung dilakukan dengan tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak untuk menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.

2) Pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan Lindung

Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung antara lain: a. pemanfaatan jasa aliran air;

b. pemanfaatan air; c. wisata alam;

d. perlindungan keanekaragaman hayati;

e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon

3) Pemungutan hasil hutan pada Hutan Lindung

(32)

14

a. rotan; b. madu; c. getah; d. buah; e. jamur; atau

f. sarang burung walet.

Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi orientasi pembangunan negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia sejak diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia)yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP),

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN),

dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada dasarnya,

pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi tiga pilar, yakni: ekonomi, lingkungan dan sosial. Pembangunan berkelanjutan memiliki arti yang berkaitan dengan ekonomi dan ekologi sekaligus, dimana pertumbuhan ekonomi selaras ditopang oleh kelestarian fungsi ekologis dari alam sekitar, sehingga ekonomi dapat terus-menerus tumbuh tanpa batas. Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang.

Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic

et al. (1997), bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Menurut World Commision on Environment and Development (WCED 1987) Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua negara di dunia termasuk Indonesia untuk digunakan sebagai panduan. Program Aksi Dunia hasil konferensi Rio tersebut dikenal sebagai Agenda 21. Menurut agenda tersebut, kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahan yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan.

(33)

15 konteks ekonomi tumbuh jika tergantung pada keterbatasan kapasitas sumberdaya alam yang ada. Salim (2004) menyatakan bahwa prasyarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah bahwa setiap proses pembangunan mencakup tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Tiga aspek tersebut dalam pembangunan harus berada dalam sebuah keseimbangan tanpa saling mendominasi. Salim (2004) membuat matriks pembangunan berkelanjutan seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Matriks Pembangunan Berkelanjutan

DIMENSI EKONOMI SOSIAL LINGKUNGAN

EKONOMI Equitable

growth

Ekonomi Input Sosial

Ekonomi Input Lingkungan

SOSIAL Sosial Input

Ekonomi

Berantas Kemiskinan

Sosial Input Lingkungan

LINGKUNGAN Lingkungan

Input Ekonomi

Lingkungan Input Sosial

Lestarikan ekosistem Sumber: Salim (2004)

Paradigma pembangunan berkelanjutan telah menjadi paradigma kebijakan yang dominan sejak akhir abad 20 sampai dengan sekarang. Dengan demikian pengembangan kebijakan yang mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri yaitu: (1) visioner menuju ruang dan waktu masa depan (jangka menengah/jangka panjang) yang lebih baik (non declining dan pemerataan antar waktu), (2) keterpaduan sistem sosial, ekonomi, ekologi dan sistem politik, (3) membangun partisipasi dan kebersamaan semua stakeholder

dalam rencana dan tindakan yang menjamin keberlanjutan (Nijkamp 2001). Goodland dan Ledoc (1987) mengemukakan definisi konsep pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan datang.

Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya berkelanjutan mengandung keempat aspek berikut:

1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability). Artinya bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal utama.

2) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability). Artinya bahwa pembangunan kehutanan perlu memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya hutan pada level individu.

3) Kelestarian komunitas (community sustainability). Artinya bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian dalam pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. 4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability). Keberlanjutan

kelembagaan yang dimaksud menyangkut aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat dari ketiga aspek sebelumnya.

Konsep keberlanjutan menurut Comhar (2007) adalah upaya implementasi keberlanjutan pembangunan dengan memperhatikan tujuh tema, yaitu:

(34)

16

2) keadilan antar generasi;

3) menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati; 4) keadilan antar negara dan daerah;

5) keadilan sosial;

6) menghormati warisan dan keanekaragaman budaya; dan 7) pengambilan keputusan yang baik.

Target capaian pembangunan sektor kehutanan dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 adalah pembangunan kehutanan berkelanjutan (sustainable forest development). Pembangunan kehutanan berkelanjutan dikonstruksikan berlandaskan pada sinergitas basis ekologi, basis ekonomi, dan basis sosial pembangunan sektor kehutanan. Basis ekologi pembangunan kehutanan berkelanjutan dalam RKTN 2011-2030 adalah meningkatkan produktifitas kawasan konservasi dan biodiversity kawasan dan fungsi hutan. Basis ekonomi pembangunan kehutanan berkelanjutan dalam RKTN 2011-2030 adalah menciptakan pertumbuhan dan pemerataan dalam pemanfaatan kawasan dan fungsi hutan. Sedangkan basis sosial pembangunan kehutanan berkelanjutan dalam RKTN 2011-2030 adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dan menciptakan kelembagaan berkelanjutan dalam pemanfaatan kawasan dan fungsi hutan. Berdasarkan hasil analisis spasial pemanfaatan kawasan hutan, luas arahan kawasan konservasi ialah 26.819.385 ha dimana 61% diantaranya merupakan areal taman nasional. Secara umum orientasi pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk pemanfaatan secara lestari.

Konsep pembangunan berkelanjutan terus mendapat sambutan yang luas dari para pemerhati pembangunan dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan dilihat dalam 3 dimensi yaitu keberlanjutan secara ekonomi, sosial

dan ekologi sebagai “a triangular framework” (Munasinghe 1993; Serageldin

1996) seperti yang terlihat pada Gambar 2.

EKONOMI

SOSIAL EKOLOGI

 Pertumbuhan pendapatan

 Efisiensi produksi

 Stabilitas suplai bahan baku

Kesempatan kerja

Distribusi pendapatan

Solusi konflik

 Assesmen lingkungan

 Valuasi lingkungan

 Penanggulangan kemiskinan

 Pemerataan

 Kelestarian

Sumberdaya alam  Keadilan

 Pemerataan pendapatan

 Nilai-nilai /budaya

 Partisipasi

Gambar 2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993) Gambar 2 Segitiga konsep Pembangunan Berkelanjutan

(35)

17

Dari berbagai definisi tersebut, secara umum pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Konsep pembangunan berkelanjutan tidak sekedar sebuah terobosan baru yang dihasilkan para ahli pada dekade tahun 1970-an. Pembangunan berkelanjutan tersebut telah menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu keniscayaan dan kebutuhan dalam pembangunan ekonomi (Arief 2004). Dengan kata lain, kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satuvariabel tetap (fixed variable) dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan mudah dicerna. Bermula dari kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan bahwa perekonomian yang terlalu mengandalkan pada hasil ekstraksi sumberdaya alam tidak akan bertahan lama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan (Arief 2004).

Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Berkelanjutan

Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia saat ini diarahkan kepada rehabilitasi karena banyaknya kawasan yang rusak sehingga jika kegiatan tersebut berhasil, diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekologisnya untuk menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat sekitarnya dan bagi masyarakat yang berada di luar kawasan tersebut. Namun kegiatan rehabilitasi tersebut tidak bisa mengabaikan isu-isu ekonomi dan sosial terkait kehadiran masyarakat di sekitarnya.

(36)

18

masyarakat perlu dihidupkan kembali guna melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Kusmana (2010) menganjurkan pentingnya pengelolaan mangrove yang rasional, Mangrove harus dimanfaatkan berdasarkan prinsip keberlanjutan dan untuk tujuan beragam (multipurpose) sesuai dengan diversitas dan potensi sumberdaya dan jasa lingkungan yang dapat disediakan. Pengelolaan mangrove harus dapat dipanen secara berkelanjutan dan dipertahankan secara alami seperti semula. Preservasi sebagian areal mangrove yang betul-betul tidak terganggu (pristine mangrove forest) seharusnya diperjuangkan atau dialokasikan sehingga jika suatu pengelolaan mengalami kegagalan yang menyebabkan kerusakan bahkan hilangnya mangrove tersebut, bagian pristine mangrove forest dapat menjadi penyelamat kondisi tersebut. Ekosistem mangrove harus dikelola berdasarkan pada paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS.

Prinsip dasar pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk meningkatkan manfaat kawasan lindung secara lestari. Tiga pilar pengelolaan kawasan lindung lestari yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, sebagai bentuk pengelolaan dalam meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dapat menunjang kehidupan manusia. Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup yang lebih kecil. Saenger

et al. (1983) menyatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan. Pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi.

Hal ini sebagai langkah awal dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 tentang perubahan atas PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan untuk mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan mangrove, dalam hal pengelolaan hutan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan mangacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan seperti yang termuat dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi kedalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Terlihat bahwa intinya berada pada integrasi 3 pilar konsep pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi, ekologi dan sosialsehingga memberikan jaminan akan keberadaan mangrove untuk dinikmati bagisemua generasi di bumi.

(37)

19 (e)antara ekosistem darat dan ekosistem laut; dan (f) antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Faktor lain yang penting diperhatikan dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat dan kearifan lokal yang dimilikinya. Menurut UU Nomor 32 tahun 2009, nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat perlu dihidupkan kembali guna melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang kabupaten yang berinduk terhadap tata ruang nasional yaitu Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyarakat perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra 1999).

Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Valuasi terhadap suatu sumberdaya alam dapat membantu memberikan informasi data potensi nilai ekonomi suatu sumberdaya. Dalam konsep dasar penilaian ekonomi sumberdaya alam, nilai sumberdaya mangrove ditentukan oleh fungsi dari sumberdaya itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai stabilitas garis pantai, menahan sedimen, perlindungan habitat dan keanekaragaman, produktivitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi dan wisata, memancing, serta produk-produk hutan lainnya. Nilai ekonomi atau Total Nilai Ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) nilai penggunaan (use value) dan (2) nilai intrinsik (non-use value), selanjutnya nilai penggunaan dapat diuraikan menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value) dan nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value). Sedangkan nilai intrinsik (non use value) diuraikan menjadi nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan (existence value). Nilai penggunaan secara ekonomi berhubungan dengan nilai, dimana masyarakat memanfaatkan di masa yang akan datang. Nilai penggunaan langsung berhubungan dengan output langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat, misalnya makanan, biomas, kesehatan, rekreasi. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung diperoleh dari manfaat jasa-jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya hutan mangrove sebagai pelindung dari badai, gelombang dan abrasi.

(38)

20

Pendekatan dengan total ekonomi dapat juga dibedakan menjadi analisa dampak (impact analysis) dan penilaian parsial (partial valuation). Menurut Barton (1994), analisa dampak merupakan sebuah penilaian terhadap kerusakan pada sistem pesisir dari dampak lingkungan yang khas, penilaian parsial merupakan sebuah alternatif penilaian alokasi sumberdaya alam.

Analisa manfaat dan biaya sebagian besar digunakan di dalam penilaian secara parsial. Hanya pengaruh-pengaruh mendasar dari kebijakan ekonomi dan ekosistem yang dipertimbangkan karena sifat pendekatannya yang parsial. Ruitenbeek (1994) menyarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk analisa ekonomi yang terpenting mampu menyatukan hubungan ekologis dari berbagai komponennya. Hal ini penting di dalam memberikan informasi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan seluruh sumberdaya secara optimal.

Rapid Appraisal Analysis (RAP)

Rapid Appraisal analysis adalah teknik yang dikembangkan oleh University of British Columbia Canada untuk sumberdaya perikanan, untuk mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya perikanan secara multidisipliner. Metode ini adalah metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreatifitas dalam pendekatannya terhadap suatu masalah. Metode ini memasukkan pertimbangan-pertimbangan melalui penentuan atribut yang akhirnya menghasilkan skala prioritas (Fauzi dan Anna 2005). Dalam Rapid Appraisal Analysis, sumberdaya dapat saja didefinisikan sebagai suatu entitas dalam lingkup yang luas, atau dalam lingkup sempit, misalnya dalam suatu yurisdiksi. Sejumlah atribut sumberdaya dapat dibandingkan, atribut dari setiap aspek/dimensi yang akan dievaluasi dapat dipilih untuk merefleksikan keberlanjutan serta dapat dapat diperbaiki atau diganti ketika informasi terbaru diperoleh (Fauzi dan Anna 2005). Penggunaaan Rapid Appraisal yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi sumberdaya hutan mangrove di lokasi penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

Mendoza dan Macoun (1999) mendefinisikan indikator adalah variabel atau komponen dari ekosistem hutan atau sistem pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status suatu kriteria. Penentuan indikator di sektor kehutanan haruslah menyampaikan suatu pesan tunggal yan

Gambar

Gambar  3   Peta kawasan hutan dan konservasi perairan Kecamatan Batu Ampar Berdasarkan SK
Tabel 5   Jenis vegetasi mangrove di sekitar lokasi penelitian (lanjutan)
Tabel 6  Desa-desa di Kecamatan Batu Ampar (lanjutan)
Gambar 4  Lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

i. &azimnya, istilah sol digunakan untuk menyatakan sistem koloid yang terbentuk dari fase terdispersi berupa zat padat di dalam medium pendispersi berupa zat 'air

Distribusi Responden Berdasarkan Stres Kerja Pada gambar diatas menunjukkan bahwa responden yang mengalami stres kerja ringan sebanyak 7 responden atau 43,8%,

Komoditas unggulan yang disarankan pada masing-masing desa secara berurutan bawang merah, sapi Madura, teri paron, jagung hibrida, cabe jamu, mangrove, singkong, jahe,

54 tahun 2010 Pasal 2Pengadaan Barang/Jasa yang dananya baik sebagian atau seluruhnya berasal dari Pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) berpedoman pada

LCB Bandung Kopi - Ready To Drink White Coffe Kopi Susu 1 Liter - Gula Aren/ Vanilla/ Hazelnut/ Caramel/ Rhum 0 Legit Layercake Cemilan Nusantara - Kue & Oleh2 Nusantara (contoh

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak lamun yang berasal dari Pulau Bonebatang dan Pulau Laeae memiliki daya hambat terhadap jamur uji Candida albicans dan

Beberapa hal yang dapat menjelaskan jumlah komponen SM tidak ada hubungan dengan derajat perlemakan hati secara USG kemungkinan disebabkan antara lain: 1) SM adalah suatu

Pengujian dilakukan dengan cara menggunakan kuisioner yang dapat mengolah data yang berhubungan dengan learnability, flexibility, effectiveness, dan attitude dalam penggunaan