• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Diskriminan untuk Evaluasi Status Ketertinggalan Kabupaten.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Diskriminan untuk Evaluasi Status Ketertinggalan Kabupaten."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintah pusat dan daerah telah melaksanakan berbagai program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan yang berlangsung selama ini ternyata menimbulkan dampak kesenjangan yang lebar antar daerah, seperti antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota – desa. Kesenjangan antara desa dan kota disebabkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal (KNPDT, 2004)

Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) telah mengklasifikasikan 434 kabupaten di Indonesia menjadi daerah maju dan daerah tertinggal. Sebanyak 226 kabupaten (52.07%) diklasifikasikan menjadi daerah maju dan 208 kabupaten (47.93%) diklasifikasikan sebagai daerah tertinggal. KNPDT menyatakan bahwa pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana dari pemerintah untuk mengubah daerah dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik menjadi daerah yang maju dengan kualitas hidup yang sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah Indonesia yang lain.

Pada tahun 2004, KNPDT dibentuk sebagai komitmen pemerintah dalam menanggulangi permasalahan daerah tertinggal di Indonesia. Pembangunan daerah tertinggal berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi pembangunan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan. Di samping itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah (KNPDT, 2004).

KNPDT telah menetapkan 33 indikator yang digunakan untuk menghitung indeks ketertinggalan daerah untuk menentukan status ketertinggalan suatu daerah. Dari hasil penentuan status ketertinggalan daerah diperlukan sebuah model yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan suatu objek ke dalam salah satu status ketertinggalan daerah. Penyusunan model

klasifikasi tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh indikator yang paling berperan dalam penentuan status ketertinggalan daerah dan mendapatkan fungsi diskriminan untuk membedakan status ketertinggalan daerah.

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal adalah suatu daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan wilayah, serta berpenduduk yang relatif tertinggal. Dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ruang lingkup daerah tertinggal adalah wilayah Daerah Otonom Kabupaten. Hal ini disesuaikan dengan UU Nomor 32 tahun 2004, dimana kewenangan otonomi daerah secara luas berada di Kabupaten (KNPDT, 2004).

Perhitungan indeks ketertinggalan daerah didasarkan pada 6 kriteria utama yaitu : (1) ekonomi, (2) sumber daya manusia, (3) infrastruktur, (4) kemampuan keuangan lokal, (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah. Enam kriteria utama tersebut masing-masing terdiri dari indikator-indikator yang akan digunakan untuk menghitung indeks ketertinggalan daerah.

Pada masing-masing indikator dilakukan pembakuan dan data yang telah dibakukan kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing indikator.

=

33

=1

dengan :

Y : indeks ketertinggalan daerah sebelum Dibakukan

∶ 1 : Xi menurunkan kualitas kabupaten -1: selainnya : bobot indikator ke-i

(2)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintah pusat dan daerah telah melaksanakan berbagai program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan yang berlangsung selama ini ternyata menimbulkan dampak kesenjangan yang lebar antar daerah, seperti antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota – desa. Kesenjangan antara desa dan kota disebabkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal (KNPDT, 2004)

Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) telah mengklasifikasikan 434 kabupaten di Indonesia menjadi daerah maju dan daerah tertinggal. Sebanyak 226 kabupaten (52.07%) diklasifikasikan menjadi daerah maju dan 208 kabupaten (47.93%) diklasifikasikan sebagai daerah tertinggal. KNPDT menyatakan bahwa pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana dari pemerintah untuk mengubah daerah dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik menjadi daerah yang maju dengan kualitas hidup yang sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah Indonesia yang lain.

Pada tahun 2004, KNPDT dibentuk sebagai komitmen pemerintah dalam menanggulangi permasalahan daerah tertinggal di Indonesia. Pembangunan daerah tertinggal berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi pembangunan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan. Di samping itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah (KNPDT, 2004).

KNPDT telah menetapkan 33 indikator yang digunakan untuk menghitung indeks ketertinggalan daerah untuk menentukan status ketertinggalan suatu daerah. Dari hasil penentuan status ketertinggalan daerah diperlukan sebuah model yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan suatu objek ke dalam salah satu status ketertinggalan daerah. Penyusunan model

klasifikasi tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh indikator yang paling berperan dalam penentuan status ketertinggalan daerah dan mendapatkan fungsi diskriminan untuk membedakan status ketertinggalan daerah.

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal adalah suatu daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan wilayah, serta berpenduduk yang relatif tertinggal. Dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ruang lingkup daerah tertinggal adalah wilayah Daerah Otonom Kabupaten. Hal ini disesuaikan dengan UU Nomor 32 tahun 2004, dimana kewenangan otonomi daerah secara luas berada di Kabupaten (KNPDT, 2004).

Perhitungan indeks ketertinggalan daerah didasarkan pada 6 kriteria utama yaitu : (1) ekonomi, (2) sumber daya manusia, (3) infrastruktur, (4) kemampuan keuangan lokal, (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah. Enam kriteria utama tersebut masing-masing terdiri dari indikator-indikator yang akan digunakan untuk menghitung indeks ketertinggalan daerah.

Pada masing-masing indikator dilakukan pembakuan dan data yang telah dibakukan kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing indikator.

=

33

=1

dengan :

Y : indeks ketertinggalan daerah sebelum Dibakukan

∶ 1 : Xi menurunkan kualitas kabupaten -1: selainnya : bobot indikator ke-i

(3)

2

sebaliknya. Pada indeks ketertinggalan daerah yang didapat dilakukan pembakuan dan hasil pembakuan tersebut digunakan untuk menentukan status ketertinggalan daerah.

Hasil perhitungan indeks ketertinggalan daerah setelah dibakukan memberikan empat kategori daerah tertinggal dan satu kategori daerah maju. Jika indeks ketertinggalan yang dihasilkan bernilai negatif maka daerah tersebut diklasifikasikan sebagai daerah maju. Daerah dengan indeks ketertinggalan 0-0.5 diklasifikasikan sebagai daerah agak tertinggal. Daerah tertinggal dan sangat tertinggal masing-masing memiliki kisaran indeks ketertinggalan antara 0.5-1.0 dan 1.0-2.0. Daerah dengan indeks ketertinggalan lebih besar dari 2 diklasifikasikan dalam daerah tertinggal sangat parah.

Analisis Diskriminan

Analisis diskriminan merupakan suatu teknik statistika yang dipergunakan untuk mengelompokkan individu atau objek ke dalam suatu kelompok berdasarkan sekumpulan peubah bebas (Dillon dan Goldstein, 1984). Kelompok-kelompok yang terbentuk bersifat saling lepas artinya setiap amatan hanya dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok saja.

Penyusunan fungsi diskriminan dilakukan dengan membentuk kombinasi linier dari peubah bebas yang diamati yang akan memberikan nilai keragaman sekecil mungkin bagi objek-objek dalam kelompok yang sama dan sebesar mungkin bagi objek-objek antar kelompok (Salwa, 2007). Penggunaan satu fungsi diskriminan dalam pengklasifikasian lebih dari dua kelompok kurang efektif, sehingga diperlukan dua atau lebih kombinasi linier yang dapat menerangkan perbedaan antar kelompok dengan efektif (Dillon dan Goldstein, 1984).

Misalkan X‟ = (X1 X2 … Xp) merupakan matriks data berukuran ��� sebagai hasil pengamatan terhadap K kelompok individu dengan p peubah. Pada setiap kelompok ada ni individu sehingga �= k ni

=1 . Jika T adalah

matriks keragaman total, W adalah matriks keragaman dalam kelompok dan B adalah matriks keragaman antar kelompok, maka ketiga matriks tersebut memenuhi hubungan �=�+ .

Misalkan peubah respon dinyatakan sebagai kombinasi linier dari peubah bebas dalam bentuk Y= ′ , maka berdasarkan kriteria Fisher yang terbaik diperoleh dengan memaksimumkan:

λ = ′� ′

atau identik dengan solusi dari : � − λ = 0

atau :

−1� − λ � = 0

Hal ini berarti nilai maksimal dari λ merupakan akar ciri terbesar dari −1� dan merupakan vektor ciri yang sepadan.

Karena rang matriks W sama dengan p, dan rang matriks B sama dengan minimum dari p dan K-1, maka rang matriks −1� sama dengan minimum ((K-1),p). Sehingga fungsi diskriminan yang terbentuk ada sebanyak r = min ((K-1),p) (Dillon dan Goldstein, 1984).

Uji Fungsi Diskriminan

Menurut Dillon dan Goldstein (1984), statistik uji V-Bartlett digunakan untuk menentukan banyaknya fungsi diskriminan yang diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok. Statistik ini digunakan untuk menguji bahwa sedikitnya satu dari r fungsi diskriminan yang dihasilkan diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok. Statistik uji V-Bartlett dihitung melalui pendekatan khi-kuadrat sebagai berikut :

V = n-1- p+K

2 ln 1+λj

r

j=1

dengan :

: statistik V-Bartlett � : banyaknya amatan � : banyaknya peubah � : banyaknya kelompok

� : banyaknya fungsi diskriminan � : akar ciri ke-j; j= 1, 2, ..., r

Hipotesis untuk pengujian fungsi diskriminan yaitu :

H0 [j]: λ

[j]= λ[j+1]= ... = λ[r] = 0 H1[j]: λ[j]≠ 0

(4)

3

fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan k buah kelompok.

Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak saling berkorelasi, maka komponen aditif dari V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat dengan

Vj =

p+K

2 ln 1+λj dengan :

: statistik V-Bartlett untuk fungsi diskriminan ke-j

Pengujian secara berturut-turut dilakukan dengan mengurangi kumulatif V1, V2, ..., dari V. Berikut ringkasan statistik uji V-Bartlett : Tabel 1. Statistik V-Bartlett

Jumlah Fungsi Statistik Uji db

Satu Fungsi V p(K-1)

Dua Fungsi V-V1 (p-1)(K-2) Tiga Fungsi V-V1-V2 (p-2)(K-3)

dst Dst dst

Analisis Diskriminan Bertatar

Analisis diskriminan bertatar dilakukan dengan melibatkan peubah bebas satu persatu ke dalam model, dimulai dari peubah bebas yang paling dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik, kemudian peubah bebas berikutnya yang bila dikombinasikan dengan peubah bebas awal dapat meningkatkan kemampuan diskriminasi model. Prosedur ini berlanjut sampai seluruh peubah bebas telah dipertimbangkan kombinasinya dengan kriteria perbaikan kemampuan diskriminasi model. Ada kemungkinan pada tahapan berikutnya, sebuah peubah bebas yang telah dimasukkan ke dalam model pada tahapan sebelumnya menjadi peubah yang harus dikeluarkan pada tahapan ini. (Hair et. al., 1995).

Tingkat Akurasi Fungsi

Untuk mengukur akurasi fungsi melalui ketepatan prediksi anggota kelompok ke dalam kelompok awalnya digunakan Correct Classification Rate (CCR). CCR merupakan persentase kebenaran (kesesuaian) nilai amatan dan dugaannya.

CCR = jumlah klasifikasi benar x 100% jumlah amatan

Semakin besar persentase CCR yang dihasilkan, maka tingkat akurasi yang dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari 208 kabupaten yang bersumber dari Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) tahun 2008. Data terdiri dari satu peubah respon dengan 33 peubah penjelas yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu SPSS 13.0 for Windows, Minitab® Release 14, dan Microsoft Office Excel 2007.

Metode

Metode penelitian ini yaitu : 1. Deskripsi peubah respon

2. Penyusunan fungsi diskriminan dengan menggunakan 80% amatan (166 kabupaten) yang diambil secara acak dan proporsional pada setiap kelompok status ketertinggalan. Pada tahapan ini dibentuk dua model yaitu :

a. Model 1. Menggunakan seluruh peubah penjelas untuk membentuk fungsi diskriminan.

b. Model 2. Melakukan analisis diskriminan bertatar dan menggunakan peubah terpilih sebagai dasar pembentukkan fungsi diskriminan. 3. Validasi model dilakukan dengan

menggunakan 42 kabupaten yang tidak dipergunakan pada langkah kedua untuk menguji tingkat keberhasilan penempatan amatan ke dalam kelompok tertentu. Tingkat keakuratan pendugaan model dapat dilihat dari jumlah pengamatan yang telah berhasil diklasifikasikan kedalam kelompok yang sebenarnya.

4. Memilih model yang terbaik dari langkah kedua berdasarkan ketepatan klasifikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Data

(5)

3

fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan k buah kelompok.

Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak saling berkorelasi, maka komponen aditif dari V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat dengan

Vj =

p+K

2 ln 1+λj dengan :

: statistik V-Bartlett untuk fungsi diskriminan ke-j

Pengujian secara berturut-turut dilakukan dengan mengurangi kumulatif V1, V2, ..., dari V. Berikut ringkasan statistik uji V-Bartlett : Tabel 1. Statistik V-Bartlett

Jumlah Fungsi Statistik Uji db

Satu Fungsi V p(K-1)

Dua Fungsi V-V1 (p-1)(K-2) Tiga Fungsi V-V1-V2 (p-2)(K-3)

dst Dst dst

Analisis Diskriminan Bertatar

Analisis diskriminan bertatar dilakukan dengan melibatkan peubah bebas satu persatu ke dalam model, dimulai dari peubah bebas yang paling dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik, kemudian peubah bebas berikutnya yang bila dikombinasikan dengan peubah bebas awal dapat meningkatkan kemampuan diskriminasi model. Prosedur ini berlanjut sampai seluruh peubah bebas telah dipertimbangkan kombinasinya dengan kriteria perbaikan kemampuan diskriminasi model. Ada kemungkinan pada tahapan berikutnya, sebuah peubah bebas yang telah dimasukkan ke dalam model pada tahapan sebelumnya menjadi peubah yang harus dikeluarkan pada tahapan ini. (Hair et. al., 1995).

Tingkat Akurasi Fungsi

Untuk mengukur akurasi fungsi melalui ketepatan prediksi anggota kelompok ke dalam kelompok awalnya digunakan Correct Classification Rate (CCR). CCR merupakan persentase kebenaran (kesesuaian) nilai amatan dan dugaannya.

CCR = jumlah klasifikasi benar x 100% jumlah amatan

Semakin besar persentase CCR yang dihasilkan, maka tingkat akurasi yang dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari 208 kabupaten yang bersumber dari Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) tahun 2008. Data terdiri dari satu peubah respon dengan 33 peubah penjelas yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu SPSS 13.0 for Windows, Minitab® Release 14, dan Microsoft Office Excel 2007.

Metode

Metode penelitian ini yaitu : 1. Deskripsi peubah respon

2. Penyusunan fungsi diskriminan dengan menggunakan 80% amatan (166 kabupaten) yang diambil secara acak dan proporsional pada setiap kelompok status ketertinggalan. Pada tahapan ini dibentuk dua model yaitu :

a. Model 1. Menggunakan seluruh peubah penjelas untuk membentuk fungsi diskriminan.

b. Model 2. Melakukan analisis diskriminan bertatar dan menggunakan peubah terpilih sebagai dasar pembentukkan fungsi diskriminan. 3. Validasi model dilakukan dengan

menggunakan 42 kabupaten yang tidak dipergunakan pada langkah kedua untuk menguji tingkat keberhasilan penempatan amatan ke dalam kelompok tertentu. Tingkat keakuratan pendugaan model dapat dilihat dari jumlah pengamatan yang telah berhasil diklasifikasikan kedalam kelompok yang sebenarnya.

4. Memilih model yang terbaik dari langkah kedua berdasarkan ketepatan klasifikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Data

(6)

3

fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan k buah kelompok.

Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak saling berkorelasi, maka komponen aditif dari V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat dengan

Vj =

p+K

2 ln 1+λj dengan :

: statistik V-Bartlett untuk fungsi diskriminan ke-j

Pengujian secara berturut-turut dilakukan dengan mengurangi kumulatif V1, V2, ..., dari V. Berikut ringkasan statistik uji V-Bartlett : Tabel 1. Statistik V-Bartlett

Jumlah Fungsi Statistik Uji db

Satu Fungsi V p(K-1)

Dua Fungsi V-V1 (p-1)(K-2) Tiga Fungsi V-V1-V2 (p-2)(K-3)

dst Dst dst

Analisis Diskriminan Bertatar

Analisis diskriminan bertatar dilakukan dengan melibatkan peubah bebas satu persatu ke dalam model, dimulai dari peubah bebas yang paling dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik, kemudian peubah bebas berikutnya yang bila dikombinasikan dengan peubah bebas awal dapat meningkatkan kemampuan diskriminasi model. Prosedur ini berlanjut sampai seluruh peubah bebas telah dipertimbangkan kombinasinya dengan kriteria perbaikan kemampuan diskriminasi model. Ada kemungkinan pada tahapan berikutnya, sebuah peubah bebas yang telah dimasukkan ke dalam model pada tahapan sebelumnya menjadi peubah yang harus dikeluarkan pada tahapan ini. (Hair et. al., 1995).

Tingkat Akurasi Fungsi

Untuk mengukur akurasi fungsi melalui ketepatan prediksi anggota kelompok ke dalam kelompok awalnya digunakan Correct Classification Rate (CCR). CCR merupakan persentase kebenaran (kesesuaian) nilai amatan dan dugaannya.

CCR = jumlah klasifikasi benar x 100% jumlah amatan

Semakin besar persentase CCR yang dihasilkan, maka tingkat akurasi yang dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari 208 kabupaten yang bersumber dari Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) tahun 2008. Data terdiri dari satu peubah respon dengan 33 peubah penjelas yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu SPSS 13.0 for Windows, Minitab® Release 14, dan Microsoft Office Excel 2007.

Metode

Metode penelitian ini yaitu : 1. Deskripsi peubah respon

2. Penyusunan fungsi diskriminan dengan menggunakan 80% amatan (166 kabupaten) yang diambil secara acak dan proporsional pada setiap kelompok status ketertinggalan. Pada tahapan ini dibentuk dua model yaitu :

a. Model 1. Menggunakan seluruh peubah penjelas untuk membentuk fungsi diskriminan.

b. Model 2. Melakukan analisis diskriminan bertatar dan menggunakan peubah terpilih sebagai dasar pembentukkan fungsi diskriminan. 3. Validasi model dilakukan dengan

menggunakan 42 kabupaten yang tidak dipergunakan pada langkah kedua untuk menguji tingkat keberhasilan penempatan amatan ke dalam kelompok tertentu. Tingkat keakuratan pendugaan model dapat dilihat dari jumlah pengamatan yang telah berhasil diklasifikasikan kedalam kelompok yang sebenarnya.

4. Memilih model yang terbaik dari langkah kedua berdasarkan ketepatan klasifikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Data

(7)

4

infrastruktur, 4) keuangan daerah, 5) aksesibilitas dan 6) karakteristik daerah. Setiap kriteria memiliki indikator-indikator yang relevan untuk menggambarkan kriteria tersebut. Dari 208 kabupaten, 11 kabupaten (5.29%) dikategorikan sebagai daerah dengan status ketertinggalan yang sangat parah, 48 kabupaten (23.08%) termasuk dalam kategori daerah sangat tertinggal, 60 kabupaten (28.85%) termasuk dalam kategori daerah tertinggal, dan 89 kabupaten (42.79%) termasuk dalam kategori daerah agak tertinggal (Tabel 2).

Berdasarkan Gambar 1 dan Tabel 2, indeks ketertinggalan daerah tertinggal berkisar antara 0.0059-3.1650. Kedua indeks tersebut dimiliki oleh kabupaten di luar Pulau Jawa. Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar Pulau Jawa, dengan rincian sebanyak 35.58%, 27.88%, 23.08% dan 5.29% masing-masing tergolong sebagai daerah agak

D

a

ta

Tertinggal Sangat Parah Sangat Tertinggal Tertinggal Agak Tertinggal 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

Boxplot of Agak Terting, Tertinggal, Sangat Terti, Tertinggal S

Gambar 1. Boxplot Status Ketertinggalan Daerah

tertinggal, tertinggal, sangat tertinggal dan tertinggal sangat parah. Daerah di Pulau Jawa hanya ada dalam golongan status daerah agak tertinggal (15 kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten). Oleh karena itu, pembangunan harus lebih diutamakan untuk daerah di luar Pulau Jawa agar kesenjangan yang ada dapat diminimalisir.

Keragaman dalam setiap kelompok status ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah dalam satu kelompok menjadi lebih homogen. Dengan demikian alokasi anggaran pembangunan daerah di dalam setiap kelompok harus disesuaikan dengan indeks ketertinggalan daerahnya, khususnya untuk daerah tertinggal sangat parah.

Analisis Diskriminan

Penyusunan dua model fungsi diskriminan dilakukan untuk memilih model yang paling baik dan sederhana dalam mengklasifikasikan status ketertinggalan suatu kabupaten.

• Model 1 (Menggunakan seluruh peubah) Hasil analisis diskriminan pada model 1 yang menggunakan 33 peubah penjelas menghasilkan 3 fungsi diskriminan. Koefisien-koefisien 3 fungsi diskriminan yang terbentuk dapat dilihat pada Lampiran 2. Akar ciri dan statistik uji V-Bartlett pada ketiga fungsi diskriminan yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Deskripsi Indeks Ketertinggalan Daerah

Status Kabupaten

Frekuensi

Daerah Frekuensi Indeks

(%) (%) Minimun Maksimum Rataan Simpangan Baku

Agak Tertinggal

89 (42.79)

Jawa 15

0.0128 0.4873 0.1820 0.1272

(7.21)

Luar Jawa 74

0.0059 0.4957 0.2411 0.1392

(35.58)

Tertinggal 60

(28.85)

Jawa 2

0.5167 0.5918 0.5542 0.0531

(0.96)

Luar Jawa 58

0.5093 0.9943 0.7410 0.1413

(27.88)

Sangat Tertinggal

48 (23.08)

Jawa 0

- - - -

(0.00)

Luar Jawa 48

1.0015 1.9625 1.3452 0.2695

(23.08) Tertinggal Sangat Parah 11 (5.29)

Jawa 0

- - - -

(0.00)

Luar Jawa 11 2.0822 3.1650 2.5355 0.4102

(8)

5

Akar ciri pertama, kedua dan ketiga menerangkan keragaman data masing-masing sebesar 93.25%, 4.90%, dan 1.85%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keragaman antar kelompok terletak pada fungsi diskriminan pertama. Tabel 3. Akar Ciri Fungsi Diskriminan dan

Statistik Uji V-Bartlett model 1 Akar

Ciri

Keragaman

Statistik uji db Proporsi Kumulatif

15.6773 93.25 93.25 464.9687 99

0.8242 4.90 98.15 82.02108 64

0.3104 1.85 100.00 16.26366 31

Hipotesis nol yang menyatakan bahwa fungsi diskriminan pertama tidak diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah ditolak pada taraf α=0.05, demikian juga dengan yang menyatakan bahwa fungsi diskriminan kedua tidak diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah. Hipotesis nol dalam pengujian fungsi diskriminan ketiga diterima pada taraf α=0.05, artinya fungsi diskriminan ketiga kurang mampu untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah. Sehingga dari tiga fungsi yang dihasilkan hanya dua fungsi yang akan digunakan untuk mengklasifikasikan amatan. Dua fungsi yang digunakan dapat menjelaskan 98.15% keragaman antar kelompok.

 Model 2 (Menggunakan analisis diskriminan bertatar)

Penyusunan model kedua dilakukan dengan melakukan analisis diskriminan bertatar untuk melihat peubah penjelas mana yang paling dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik. Hasil analisis diskriminan bertatar menunjukkan dari 26 langkah terdapat 16 peubah yang terpilih untuk dimasukkan ke dalam model. Peubah- peubah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Peubah pertama yang masuk ke dalam model adalah X35 (persentase rumah tangga pengguna listrik). Akan tetapi pada langkah ke 10 peubah tersebut dikeluarkan dari model, artinya peubah tersebut masih belum dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik. Pada langkah selanjutnya peubah X12 masuk ke dalam model, artinya indeks kemiskinan paling menentukan status ketertinggalan suatu daerah.

Tabel 4. Hasil Analisis Diskriminan Bertatar

Langkah Peubah

Masuk Keluar

1 X35

2 X12

3 X39

4 X41

5 X64

6 X25

7 X11

8 X28

9 X62

10 X35

11 X211

12 X31

13 X39

14 X63

15 X51

16 X39

17 X21

18 X65

19 X66

20 X33

21 X39

22 X213

23 X28

24 X23

25 X62

26 X61

Peubah selanjutnya yang masuk ke dalam model adalah X25 angka harapan hidup. Peubah-peubah berikutnya yang masuk dalam model adalah peubah yang dapat menambah kemampuan fungsi dalam mendiskriminasi kelompok yang ada. Peubah X39 (jumlah desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan permanen), X28 (rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan) dan X62 (persentase jumlah desa yang rawan tanah longsor) yang masuk pada langkah ke 3, 8 dan 9 kemudian dikeluarkan kembali pada langkah ke 13, 23 dan 25, artinya ketiga peubah ini masih belum dapat meningkatkan kemampuan model untuk mendiskriminasi kelompok. Hingga langkah ke-26 peubah terakhir yang akan digunakan untuk membentuk fungsi diskriminan yaitu X61 (persentase jumlah desa yang rawan gempa bumi).

(9)

6

dan kriteria ekonomi yang terdiri dari indikator persentase kemiskinan dan indeks kemiskinan yang memiliki bobot terbesar menjadi salah satu peubah yang berperan dalam penyusunan fungsi diskriminan.

Sebanyak 16 peubah terpilih dalam analisis diskriminan bertatar digunakan sebagai dasar pembentukan fungsi diskriminan untuk model kedua. Hasil analisis diskriminan pada model 2 menghasilkan 3 fungsi diskriminan. Koefisien-koefisien 3 fungsi diskriminan yang terbentuk dapat dilihat pada Lampiran 3.

Akar ciri dan statistik uji V-Bartlett dari ketiga fungsi diskriminan yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 5. Akar ciri pertama, kedua dan ketiga menerangkan keragaman data masing-masing sebesar 94.87%, 4.25%, dan 0.88%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keragaman antar kelompok terletak pada fungsi pertama.

Tabel 5. Akar Ciri Fungsi Diskriminan dan Statistik Uji V-Bartlett model 2. Akar

Ciri

Keragaman

Statistik uji db Proporsi Kumulatif

12.6532 94.87 94.87 491.9464 48

0.5665 4.25 99.12 86.7799 30

0.1174 0.88 100.00 17.2073 14

Statistik uji V-Bartlett pada taraf α=0.05 menunjukkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa fungsi diskriminan pertama tidak diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah ditolak, demikian juga dengan yang menyatakan bahwa fungsi diskriminan kedua tidak diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah. Hal ini berarti kedua fungsi diskriminan yang terbentuk

dapat digunakan untuk menerangkan keragaman antar kelompok.

Hipotesis nol dalam pengujian fungsi diskriminan ketiga diterima pada taraf α=0.05, artinya fungsi diskriminan ketiga kurang mampu untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah. Sehingga dari tiga fungsi yang dihasilkan hanya dua fungsi yang akan digunakan untuk mengklasifikasikan amatan. Dua fungsi yang digunakan dapat menjelaskan 99.12% keragaman antar kelompok. Ketepatan Klasifikasi

Dari model yang terbentuk, dengan menggunakan Correct Classification Rate (CCR), dilakukan evaluasi terhadap pengelompokan 80% data (166 kabupaten) terhadap model tersebut.

• Model 1

Dari 166 kabupaten, 97.0 % amatan (161 kabupaten) dapat diklasifikasikan dengan tepat sesuai dengan status ketertinggalan awalnya. Sisanya 3.0 % amatan (5 kabupaten) salah diklasifikasikan. Kesalahan klasifikasi terbesar terdapat pada kelompok daerah sangat tertinggal, yaitu sebesar 5.3 % amatan (2 dari 38 kabupaten) salah diklasifikasikan. Hasil klasifikasi dapat dilihat pada tabel 6.

• Model 2

Dari 166 kabupaten, 94.0 % amatan (156 kabupaten) dapat diklasifikasikan dengan tepat sesuai dengan status ketertinggalan awalnya. Sisanya 6.0 % amatan (10 kabupaten) salah diklasifikasikan. Kesalahan klasifikasi terbesar terdapat pada kelompok daerah sangat tertinggal, yaitu sebesar 8.5 % amatan (6 dari 71 kabupaten) salah diklasifikasikan. Hasil klasifikasi dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 6. Hasil Klasifikasi Daerah Tertinggal Model 1

Status KNPDT Status berdasarkan fungsi diskriminan

Total % benar

Kode Nama 1 2 3 4

1 Agak tertinggal 69 2 0 0 71 97.2

2 Tertinggal 1 47 0 0 48 97.9

3 Sangat Tertinggal 0 2 36 0 38 94.7

4 Tertinggal Sangat Parah 0 0 0 9 9 100.0

(10)

7

Tabel 7. Hasil Klasifikasi Daerah Tertinggal Model 2

Status KNPDT Status berdasarkan fungsi diskriminan

Total % benar

Kode Nama 1 2 3 4

1 Agak tertinggal 65 6 0 0 71 91.5

2 Tertinggal 2 46 0 0 48 95.8

3 Sangat Tertinggal 0 2 36 0 38 94.7

4 Tertinggal Sangat Parah 0 0 0 9 9 100.0

Total 67 54 36 9 166 94.0

Validasi Model

Untuk melihat kemampuan fungsi diskriminan yang dibentuk dalam mengklasifikasikan suatu amatan ke dalam kelompok yang tepat dapat dilihat dari tingkat keberhasilan fungsi diskriminan tersebut dalam mengklasifikasikan amatan. Evaluasi terhadap pengelompokan yang didapatkan dengan menggunakan fungsi diskriminan dilakukan dengan menggunakan Correct Classification Rate (CCR).

 Model 1

Berdasarkan fungsi diskriminan yang terbentuk diketahui bahwa dari 42 kabupaten yang digunakan sebagai gugus data uji, sebanyak 34 kabupaten (81.0% amatan) berhasil diklasifikasikan dengan tepat, yaitu sesuai dengan status ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak 8 kabupaten (19.0% amatan) salah diklasifikasikan. Hasil validasi untuk model 1 dapat dilihat pada Tabel 6. Dari hasil klasifikasi tersebut dapat diketahui bahwa kategori dengan tingkat kesalahan klasifikasi terkecil yaitu kategori daerah agak tertinggal, sebanyak 16 dari 18 kabupaten yang memiliki status

agak tertinggal dapat dikelompokkan dengan tepat.

Hasil pengelompokan tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok dengan status daerah tertinggal sangat parah adalah kelompok yang mengalami paling banyak kesalahan klasifikasi. Tingkat kesalahan klasifikasi pada kelompok daerah tertinggal sangat parah yaitu 50% (1 dari 2 amatan salah diklasifikasikan). Hal ini juga dapat disebabkan oleh sedikitnya amatan yang ada pada kelompok status daerah tertinggal sangat parah.

 Model 2

Dari hasil validasi pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa kategori dengan tingkat kesalahan klasifikasi terkecil adalah kategori daerah agak tertinggal karena seluruh amatan dikelompokkan dengan tepat. Hasil pengelompokan tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok dengan status daerah tertinggal sangat parah adalah kelompok yang mengalami paling banyak kesalahan klasifikasi. Tingkat kesalahan klasifikasi pada kelompok daerah tertinggal sangat parah yaitu 50.0% (1 dari 2 amatan salah diklasifikasikan). Tabel 8. Hasil Validasi Model 1

Status KNPDT Status berdasarkan fungsi diskriminan

Total % benar

Kode Nama 1 2 3 4

1 Agak tertinggal 16 2 0 0 18 88.9

2 Tertinggal 1 10 1 0 12 83.3

3 Sangat Tertinggal 0 3 7 0 10 70.0

4 Tertinggal Sangat Parah 0 0 1 1 2 50.0

Total 17 15 8 1 42 81.0

Tabel 9. Hasil Validasi Model 2

Status KNPDT Status berdasarkan fungsi diskriminan

Total % benar

Kode Nama 1 2 3 4

1 Agak tertinggal 18 0 0 0 18 100.0

2 Tertinggal 2 9 1 0 12 75.0

3 Sangat Tertinggal 0 1 9 0 10 90.0

4 Tertinggal Sangat Parah 0 0 1 1 2 50.0

(11)

8

Berdasarkan fungsi diskriminan yang terbentuk diketahui bahwa dari 42 kabupaten, sebanyak 37 kabupaten (88.1% amatan) berhasil diklasifikasikan dengan tepat, yaitu sesuai dengan status ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak 5 kabupaten (11.9% amatan) salah diklasifikasikan.

Untuk masing-masing model, kabupaten yang mengalami kesalahan klasifikasi untuk tiap-tiap status ketertinggalan dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan indeks ketertinggalan yang dimiliki kabupaten-kabupaten tersebut, dapat diketahui bahwa umumnya kesalahan klasifikasi terjadi pada kabupaten-kabupaten yang indeks ketertinggalannya berada di sekitar batas kelas. Daerah dengan indeks ketertinggalan yang berada di sekitar batas bawah kelas akan diklasifikasikan ke dalam kelompok sebelumnya, sedangkan daerah dengan indeks ketertinggalan yang berada di sekitar batas atas kelas akan diklasifikasikan ke dalam kelompok sesudahnya.

Pemilihan model terbaik dilakukan dengan melihat sejauh mana fungsi yang dihasilkan oleh kedua model dapat mengklasifikasikan amatan dengan tepat. Berdasarkan hasil perhitungan kesalahan klasifikasi yang didapatkan diketahui bahwa kemampuan model 2 dalam menempatkan pengamatan ke dalam kelompok yang benar lebih baik dibandingkan dengan model 1. Pada model 2, dengan menggunakan 16 peubah penjelas ketepatan klasifikasinya mencapai 88.1%. Dengan demikian model 2 merupakan model terbaik untuk menentukan status ketertinggalan daerah, karena dengan menggunakan peubah penjelas yang lebih sedikit, ketepatan klasifikasinya lebih tinggi dibandingkan dengan model yang menggunakan seluruh peubah penjelas. Penggunaan peubah penjelas yang lebih sedikit akan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan seluruh peubah penjelas yang ada. Dua fungsi diskriminan yang menjelaskan 99.12% keragaman data dapat digunakan untuk menentukan status ketertinggalan kabupaten dengan menggunakan teritorial map yang dapat dilihat pada Lampiran 5.

SIMPULAN

Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar Pulau Jawa sedangkan 8.17% kabupaten yang

berlokasi di Pulau Jawa hanya ada dalam golongan status daerah agak tertinggal (15 kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten). Keragaman dalam setiap kelompok status ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah dalam satu kelompok menjadi lebih homogen, khususnya untuk daerah yang tertinggal sangat parah.

Dengan menggunakan 80% data (166 kabupaten), didapatkan model 2 sebagai model terbaik. Fungsi diskriminan dibentuk dengan menggunakan 16 peubah penjelas dan menghasilkan dua fungsi yang dapat menjelaskan 99.12% keragaman data. Setiap kriteria yang ditentukan oleh Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal terepresentasikan dalam model tersebut. Kriteria Sumber Daya Manusia (SDM) hanya terwakili oleh 5 indikator (38.5%), kriteria infrastruktur terwakili oleh 2 indikator (22.2%), dan kriteria karakteristik daerah terwakili oleh 5 indikator (75.4%), sedangkan semua indikator pada kriteria ekonomi, keuangan daerah dan aksesibilitas ada dalam model. Penggunaan model tersebut terhadap 20% (42 kabupaten) yang berperan sebagai contoh uji menghasilkan ketepatan klasifikasi sebesar 88.1%.

SARAN

Deskripsi data menunjukkan bahwa terdapat karakteristik yang berbeda untuk kabupaten di daerah Jawa dan Luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria untuk daerah bukan maju di Jawa dan luar Jawa perlu dibedakan dengan cara menyusun ulang indikator dan bobot untuk perhitungan indeks ketertinggalan daerah dan pemodelan yang lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Dillon WR. & Goldstein M. 1984. Multivariate Analysis Methods and Applications. Canada : John Willey and Sons.

Hair JF et. al. 1995. Multivariate Data Analysis with Readings. New Jersey : Prentice Hall

Johnson RA. & Wichern D.W. 1988. Applied Multivariate Statistical Analysis. New Jersey : Prentice Hall.

(12)

8

Berdasarkan fungsi diskriminan yang terbentuk diketahui bahwa dari 42 kabupaten, sebanyak 37 kabupaten (88.1% amatan) berhasil diklasifikasikan dengan tepat, yaitu sesuai dengan status ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak 5 kabupaten (11.9% amatan) salah diklasifikasikan.

Untuk masing-masing model, kabupaten yang mengalami kesalahan klasifikasi untuk tiap-tiap status ketertinggalan dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan indeks ketertinggalan yang dimiliki kabupaten-kabupaten tersebut, dapat diketahui bahwa umumnya kesalahan klasifikasi terjadi pada kabupaten-kabupaten yang indeks ketertinggalannya berada di sekitar batas kelas. Daerah dengan indeks ketertinggalan yang berada di sekitar batas bawah kelas akan diklasifikasikan ke dalam kelompok sebelumnya, sedangkan daerah dengan indeks ketertinggalan yang berada di sekitar batas atas kelas akan diklasifikasikan ke dalam kelompok sesudahnya.

Pemilihan model terbaik dilakukan dengan melihat sejauh mana fungsi yang dihasilkan oleh kedua model dapat mengklasifikasikan amatan dengan tepat. Berdasarkan hasil perhitungan kesalahan klasifikasi yang didapatkan diketahui bahwa kemampuan model 2 dalam menempatkan pengamatan ke dalam kelompok yang benar lebih baik dibandingkan dengan model 1. Pada model 2, dengan menggunakan 16 peubah penjelas ketepatan klasifikasinya mencapai 88.1%. Dengan demikian model 2 merupakan model terbaik untuk menentukan status ketertinggalan daerah, karena dengan menggunakan peubah penjelas yang lebih sedikit, ketepatan klasifikasinya lebih tinggi dibandingkan dengan model yang menggunakan seluruh peubah penjelas. Penggunaan peubah penjelas yang lebih sedikit akan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan seluruh peubah penjelas yang ada. Dua fungsi diskriminan yang menjelaskan 99.12% keragaman data dapat digunakan untuk menentukan status ketertinggalan kabupaten dengan menggunakan teritorial map yang dapat dilihat pada Lampiran 5.

SIMPULAN

Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar Pulau Jawa sedangkan 8.17% kabupaten yang

berlokasi di Pulau Jawa hanya ada dalam golongan status daerah agak tertinggal (15 kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten). Keragaman dalam setiap kelompok status ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah dalam satu kelompok menjadi lebih homogen, khususnya untuk daerah yang tertinggal sangat parah.

Dengan menggunakan 80% data (166 kabupaten), didapatkan model 2 sebagai model terbaik. Fungsi diskriminan dibentuk dengan menggunakan 16 peubah penjelas dan menghasilkan dua fungsi yang dapat menjelaskan 99.12% keragaman data. Setiap kriteria yang ditentukan oleh Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal terepresentasikan dalam model tersebut. Kriteria Sumber Daya Manusia (SDM) hanya terwakili oleh 5 indikator (38.5%), kriteria infrastruktur terwakili oleh 2 indikator (22.2%), dan kriteria karakteristik daerah terwakili oleh 5 indikator (75.4%), sedangkan semua indikator pada kriteria ekonomi, keuangan daerah dan aksesibilitas ada dalam model. Penggunaan model tersebut terhadap 20% (42 kabupaten) yang berperan sebagai contoh uji menghasilkan ketepatan klasifikasi sebesar 88.1%.

SARAN

Deskripsi data menunjukkan bahwa terdapat karakteristik yang berbeda untuk kabupaten di daerah Jawa dan Luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria untuk daerah bukan maju di Jawa dan luar Jawa perlu dibedakan dengan cara menyusun ulang indikator dan bobot untuk perhitungan indeks ketertinggalan daerah dan pemodelan yang lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Dillon WR. & Goldstein M. 1984. Multivariate Analysis Methods and Applications. Canada : John Willey and Sons.

Hair JF et. al. 1995. Multivariate Data Analysis with Readings. New Jersey : Prentice Hall

Johnson RA. & Wichern D.W. 1988. Applied Multivariate Statistical Analysis. New Jersey : Prentice Hall.

(13)

ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI STATUS

KETERTINGGALAN KABUPATEN

NADYA NURUL HASANAH

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

8

Berdasarkan fungsi diskriminan yang terbentuk diketahui bahwa dari 42 kabupaten, sebanyak 37 kabupaten (88.1% amatan) berhasil diklasifikasikan dengan tepat, yaitu sesuai dengan status ketertinggalan awalnya. Sisanya, sebanyak 5 kabupaten (11.9% amatan) salah diklasifikasikan.

Untuk masing-masing model, kabupaten yang mengalami kesalahan klasifikasi untuk tiap-tiap status ketertinggalan dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan indeks ketertinggalan yang dimiliki kabupaten-kabupaten tersebut, dapat diketahui bahwa umumnya kesalahan klasifikasi terjadi pada kabupaten-kabupaten yang indeks ketertinggalannya berada di sekitar batas kelas. Daerah dengan indeks ketertinggalan yang berada di sekitar batas bawah kelas akan diklasifikasikan ke dalam kelompok sebelumnya, sedangkan daerah dengan indeks ketertinggalan yang berada di sekitar batas atas kelas akan diklasifikasikan ke dalam kelompok sesudahnya.

Pemilihan model terbaik dilakukan dengan melihat sejauh mana fungsi yang dihasilkan oleh kedua model dapat mengklasifikasikan amatan dengan tepat. Berdasarkan hasil perhitungan kesalahan klasifikasi yang didapatkan diketahui bahwa kemampuan model 2 dalam menempatkan pengamatan ke dalam kelompok yang benar lebih baik dibandingkan dengan model 1. Pada model 2, dengan menggunakan 16 peubah penjelas ketepatan klasifikasinya mencapai 88.1%. Dengan demikian model 2 merupakan model terbaik untuk menentukan status ketertinggalan daerah, karena dengan menggunakan peubah penjelas yang lebih sedikit, ketepatan klasifikasinya lebih tinggi dibandingkan dengan model yang menggunakan seluruh peubah penjelas. Penggunaan peubah penjelas yang lebih sedikit akan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan seluruh peubah penjelas yang ada. Dua fungsi diskriminan yang menjelaskan 99.12% keragaman data dapat digunakan untuk menentukan status ketertinggalan kabupaten dengan menggunakan teritorial map yang dapat dilihat pada Lampiran 5.

SIMPULAN

Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar Pulau Jawa sedangkan 8.17% kabupaten yang

berlokasi di Pulau Jawa hanya ada dalam golongan status daerah agak tertinggal (15 kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten). Keragaman dalam setiap kelompok status ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah dalam satu kelompok menjadi lebih homogen, khususnya untuk daerah yang tertinggal sangat parah.

Dengan menggunakan 80% data (166 kabupaten), didapatkan model 2 sebagai model terbaik. Fungsi diskriminan dibentuk dengan menggunakan 16 peubah penjelas dan menghasilkan dua fungsi yang dapat menjelaskan 99.12% keragaman data. Setiap kriteria yang ditentukan oleh Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal terepresentasikan dalam model tersebut. Kriteria Sumber Daya Manusia (SDM) hanya terwakili oleh 5 indikator (38.5%), kriteria infrastruktur terwakili oleh 2 indikator (22.2%), dan kriteria karakteristik daerah terwakili oleh 5 indikator (75.4%), sedangkan semua indikator pada kriteria ekonomi, keuangan daerah dan aksesibilitas ada dalam model. Penggunaan model tersebut terhadap 20% (42 kabupaten) yang berperan sebagai contoh uji menghasilkan ketepatan klasifikasi sebesar 88.1%.

SARAN

Deskripsi data menunjukkan bahwa terdapat karakteristik yang berbeda untuk kabupaten di daerah Jawa dan Luar Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria untuk daerah bukan maju di Jawa dan luar Jawa perlu dibedakan dengan cara menyusun ulang indikator dan bobot untuk perhitungan indeks ketertinggalan daerah dan pemodelan yang lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Dillon WR. & Goldstein M. 1984. Multivariate Analysis Methods and Applications. Canada : John Willey and Sons.

Hair JF et. al. 1995. Multivariate Data Analysis with Readings. New Jersey : Prentice Hall

Johnson RA. & Wichern D.W. 1988. Applied Multivariate Statistical Analysis. New Jersey : Prentice Hall.

(15)

9

Mahasiswa Fakultas MIPA UNSYIAH. Tesis. Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.

Salwa, N. 2007. Analisis Regresi Ordinal dan Analisis Diskriminan untuk Klasifikasi Keberhasilan Anggota LPP-UMKM Kabupaten Tangerang. Tesis. Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.

Sartono B et al. 2003. Modul Teori Analisis Peubah Ganda. Jurusan statistika FMIPA IPB, Bogor.

(16)

ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI STATUS

KETERTINGGALAN KABUPATEN

NADYA NURUL HASANAH

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

RINGKASAN

NADYA NURUL HASANAH. Analisis Diskriminan untuk Evaluasi Status Ketertinggalan Kabupaten. Dibimbing oleh TOTONG MARTONO dan ANIK DJURAIDAH.

Pemerintah melalui Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal telah menetapkan status ketertinggalan daerah berdasarkan enam kriteria utama, yaitu : (1) ekonomi, (2) sumber daya manusia, (3) infrastruktur, (4) kemampuan keuangan lokal, (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah. Keenam kriteria utama tersebut diwakili oleh 33 indikator dengan bobot yang berbeda. Penentuan status ketertinggalan daerah bertujuan untuk mengetahui jenis pembangunan yang tepat untuk diterapkan pada daerah tertinggal tersebut. Di antara 434 kabupaten di Indonesia ada sebanyak 208 kabupaten yang diklasifikasikan dalam daerah tertinggal dengan empat satus ketertinggalan, yaitu agak tertinggal, tertinggal, sangat tertinggal, dan tertinggal sangat parah. Sebanyak 91.83% (191 kabupaten) berlokasi di luar Pulau Jawa dan sisanya (8.17%) berlokasi di Pulau Jawa dengan golongan status daerah agak tertinggal dan tertinggal. Analisis diskriminan bertatar terhadap 80% data kabupaten menghasilkan model terbaik dengan 16 peubah penjelas dan dua fungsi diskriminan yang dapat menjelaskan 99.12% keragaman data dengan ketepatan klasifikasi sebesar 88.1%. Hasil analisis menunjukkan bahwa setiap kriteria yang ditentukan oleh Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal terwakili dalam model tersebut.

(18)

ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI STATUS

KETERTINGGALAN KABUPATEN

NADYA NURUL HASANAH

G14052014

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Statistika

Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(19)

Judul

: ANALISIS DISKRIMINAN UNTUK EVALUASI

STATUS KETERTINGGALAN KABUPATEN

Nama

: Nadya Nurul Hasanah

NIM

: G14052014

Menyetujui,

Pembimbing I,

Dr. Totong Martono

NIP. 19530428 197802 1 001

Pembimbing II,

Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS

NIP.131 663 019

Mengetahui:

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS

NIP. 196504211990021001

(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 09 Februari 1987, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ambiar Lani dan Hamdani Hamzah. Penulis memulai pendidikan formalnya di SD Bani Saleh V Bekasi dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 5 Bekasi hingga tahun 2002. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 89 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Satu tahun pertama, penulis melewati masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) sebelum akhirnya diterima pada mayor statistika dan minor sistem informasi Departemen Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(21)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi Rabbal „Aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir jaman.

Karya ilmiah ini berjudul “Analisis Diskriminan untuk Evaluasi Status Ketertinggalan Kabupaten”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Totong Martono dan Ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan saran yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada :

1. Papa dan Mama tercinta serta kakak dan adikku untuk segala doa, kasih sayang, dukungan, dan pengertian yang telah diberikan kepada penulis.

2. Seluruh dosen Departemen Statistika FMIPA IPB atas ilmu dan nasihat yang bermanfaat sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, serta kepada seluruh staf Departemen Statistika yang telah membantu penulis selama belajar di Statistika IPB.

3. Ibu Ir. Indahwati, M.Si selaku penguji luar sidang akhir statistika.

4. Pondok Indah Crew (Ichul, Upichul, Eno, Lie, Atus, Qqcul, Lia, Yuni, Teteh dan Aa sekeluarga), terimakasih untuk kebersamaan & kekeluargaannya selama hampir 4 tahun ini. 5. Indah, Mel, Arie, Wi2ed, Fira, Poppy, Mba Nur, Ramdon, Ankis, Trizar, Anto, Angga, Andri,

dan teman-teman statistika 42 lainnya untuk kebersamaan, semangat, dan dukungan yang diberikan pada penulis.

6. Kakak-kakak dan teman-teman statistika STK 40, 41, 43 (khususnya Yanne dan Imam, pembahas seminarku) dan 44.

7. Teman-teman seperjuangan di DPM-G 2006/2007.

8. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis selama ini. Terima kasih untuk semuanya.

Penulis menyadari kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan informasi dari karya ilmiah ini.

Bogor, Desember 2009

(22)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... vii DAFTAR GAMBAR ... vii DAFTAR LAMPIRAN ... vii PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 1 TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Tertinggal ... 1 Analisis Diskriminan ... 2 Uji Fungsi Diskriminan ... 2 Analisis Diskriminan Bertatar ... 3 Tingkat Akurasi Fungsi ... 3 BAHAN DAN METODE

Bahan ... 3 Metode ... 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

(23)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Statistik V-Bartlett ... 3 2. Deskripsi Indeks Ketertinggalan Daerah ... 4 3. Akar Ciri Fungsi Diskriminan dan Statistik Uji V-Bartlett Model 1 ... 5 4. Hasil Analisis Diskriminan Bertatar ... 5 5. Akar Ciri Fungsi Diskriminan dan Statistik Uji V-Bartlett Model 2 ... 6 6. Hasil Klasifikasi Daerah Tertinggal Model 1 ... 6 7. Hasil Klasifikasi Daerah Tertinggal Model 2 ... 7 8. Hasil Validasi Model 1 ... 7 9. Hasil Validasi Model 2 ... 7

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Boxplot Status Ketertinggalan Daerah... 4

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(24)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintah pusat dan daerah telah melaksanakan berbagai program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan yang berlangsung selama ini ternyata menimbulkan dampak kesenjangan yang lebar antar daerah, seperti antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota – desa. Kesenjangan antara desa dan kota disebabkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal (KNPDT, 2004)

Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) telah mengklasifikasikan 434 kabupaten di Indonesia menjadi daerah maju dan daerah tertinggal. Sebanyak 226 kabupaten (52.07%) diklasifikasikan menjadi daerah maju dan 208 kabupaten (47.93%) diklasifikasikan sebagai daerah tertinggal. KNPDT menyatakan bahwa pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana dari pemerintah untuk mengubah daerah dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik menjadi daerah yang maju dengan kualitas hidup yang sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah Indonesia yang lain.

Pada tahun 2004, KNPDT dibentuk sebagai komitmen pemerintah dalam menanggulangi permasalahan daerah tertinggal di Indonesia. Pembangunan daerah tertinggal berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi pembangunan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan. Di samping itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah (KNPDT, 2004).

KNPDT telah menetapkan 33 indikator yang digunakan untuk menghitung indeks ketertinggalan daerah untuk menentukan status ketertinggalan suatu daerah. Dari hasil penentuan status ketertinggalan daerah diperlukan sebuah model yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan suatu objek ke dalam salah satu status ketertinggalan daerah. Penyusunan model

klasifikasi tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh indikator yang paling berperan dalam penentuan status ketertinggalan daerah dan mendapatkan fungsi diskriminan untuk membedakan status ketertinggalan daerah.

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal adalah suatu daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan wilayah, serta berpenduduk yang relatif tertinggal. Dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ruang lingkup daerah tertinggal adalah wilayah Daerah Otonom Kabupaten. Hal ini disesuaikan dengan UU Nomor 32 tahun 2004, dimana kewenangan otonomi daerah secara luas berada di Kabupaten (KNPDT, 2004).

Perhitungan indeks ketertinggalan daerah didasarkan pada 6 kriteria utama yaitu : (1) ekonomi, (2) sumber daya manusia, (3) infrastruktur, (4) kemampuan keuangan lokal, (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah. Enam kriteria utama tersebut masing-masing terdiri dari indikator-indikator yang akan digunakan untuk menghitung indeks ketertinggalan daerah.

Pada masing-masing indikator dilakukan pembakuan dan data yang telah dibakukan kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing indikator.

=

33

=1

dengan :

Y : indeks ketertinggalan daerah sebelum Dibakukan

∶ 1 : Xi menurunkan kualitas kabupaten -1: selainnya : bobot indikator ke-i

(25)

2

sebaliknya. Pada indeks ketertinggalan daerah yang didapat dilakukan pembakuan dan hasil pembakuan tersebut digunakan untuk menentukan status ketertinggalan daerah.

Hasil perhitungan indeks ketertinggalan daerah setelah dibakukan memberikan empat kategori daerah tertinggal dan satu kategori daerah maju. Jika indeks ketertinggalan yang dihasilkan bernilai negatif maka daerah tersebut diklasifikasikan sebagai daerah maju. Daerah dengan indeks ketertinggalan 0-0.5 diklasifikasikan sebagai daerah agak tertinggal. Daerah tertinggal dan sangat tertinggal masing-masing memiliki kisaran indeks ketertinggalan antara 0.5-1.0 dan 1.0-2.0. Daerah dengan indeks ketertinggalan lebih besar dari 2 diklasifikasikan dalam daerah tertinggal sangat parah.

Analisis Diskriminan

Analisis diskriminan merupakan suatu teknik statistika yang dipergunakan untuk mengelompokkan individu atau objek ke dalam suatu kelompok berdasarkan sekumpulan peubah bebas (Dillon dan Goldstein, 1984). Kelompok-kelompok yang terbentuk bersifat saling lepas artinya setiap amatan hanya dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok saja.

Penyusunan fungsi diskriminan dilakukan dengan membentuk kombinasi linier dari peubah bebas yang diamati yang akan memberikan nilai keragaman sekecil mungkin bagi objek-objek dalam kelompok yang sama dan sebesar mungkin bagi objek-objek antar kelompok (Salwa, 2007). Penggunaan satu fungsi diskriminan dalam pengklasifikasian lebih dari dua kelompok kurang efektif, sehingga diperlukan dua atau lebih kombinasi linier yang dapat menerangkan perbedaan antar kelompok dengan efektif (Dillon dan Goldstein, 1984).

Misalkan X‟ = (X1 X2 … Xp) merupakan matriks data berukuran ��� sebagai hasil pengamatan terhadap K kelompok individu dengan p peubah. Pada setiap kelompok ada ni individu sehingga �= k ni

=1 . Jika T adalah

matriks keragaman total, W adalah matriks keragaman dalam kelompok dan B adalah matriks keragaman antar kelompok, maka ketiga matriks tersebut memenuhi hubungan �=�+ .

Misalkan peubah respon dinyatakan sebagai kombinasi linier dari peubah bebas dalam bentuk Y= ′ , maka berdasarkan kriteria Fisher yang terbaik diperoleh dengan memaksimumkan:

λ = ′� ′

atau identik dengan solusi dari : � − λ = 0

atau :

−1� − λ � = 0

Hal ini berarti nilai maksimal dari λ merupakan akar ciri terbesar dari −1� dan merupakan vektor ciri yang sepadan.

Karena rang matriks W sama dengan p, dan rang matriks B sama dengan minimum dari p dan K-1, maka rang matriks −1� sama dengan minimum ((K-1),p). Sehingga fungsi diskriminan yang terbentuk ada sebanyak r = min ((K-1),p) (Dillon dan Goldstein, 1984).

Uji Fungsi Diskriminan

Menurut Dillon dan Goldstein (1984), statistik uji V-Bartlett digunakan untuk menentukan banyaknya fungsi diskriminan yang diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok. Statistik ini digunakan untuk menguji bahwa sedikitnya satu dari r fungsi diskriminan yang dihasilkan diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok. Statistik uji V-Bartlett dihitung melalui pendekatan khi-kuadrat sebagai berikut :

V = n-1- p+K

2 ln 1+λj

r

j=1

dengan :

: statistik V-Bartlett � : banyaknya amatan � : banyaknya peubah � : banyaknya kelompok

� : banyaknya fungsi diskriminan � : akar ciri ke-j; j= 1, 2, ..., r

Hipotesis untuk pengujian fungsi diskriminan yaitu :

H0 [j]: λ

[j]= λ[j+1]= ... = λ[r] = 0 H1[j]: λ[j]≠ 0

(26)

3

fungsi diskriminan cukup untuk memisahkan k buah kelompok.

Karena fungsi-fungsi diskriminan tidak saling berkorelasi, maka komponen aditif dari V masing-masing didekati dengan khi-kuadrat dengan

Vj =

p+K

2 ln 1+λj dengan :

: statistik V-Bartlett untuk fungsi diskriminan ke-j

Pengujian secara berturut-turut dilakukan dengan mengurangi kumulatif V1, V2, ..., dari V. Berikut ringkasan statistik uji V-Bartlett : Tabel 1. Statistik V-Bartlett

Jumlah Fungsi Statistik Uji db

Satu Fungsi V p(K-1)

Dua Fungsi V-V1 (p-1)(K-2) Tiga Fungsi V-V1-V2 (p-2)(K-3)

dst Dst dst

Analisis Diskriminan Bertatar

Analisis diskriminan bertatar dilakukan dengan melibatkan peubah bebas satu persatu ke dalam model, dimulai dari peubah bebas yang paling dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik, kemudian peubah bebas berikutnya yang bila dikombinasikan dengan peubah bebas awal dapat meningkatkan kemampuan diskriminasi model. Prosedur ini berlanjut sampai seluruh peubah bebas telah dipertimbangkan kombinasinya dengan kriteria perbaikan kemampuan diskriminasi model. Ada kemungkinan pada tahapan berikutnya, sebuah peubah bebas yang telah dimasukkan ke dalam model pada tahapan sebelumnya menjadi peubah yang harus dikeluarkan pada tahapan ini. (Hair et. al., 1995).

Tingkat Akurasi Fungsi

Untuk mengukur akurasi fungsi melalui ketepatan prediksi anggota kelompok ke dalam kelompok awalnya digunakan Correct Classification Rate (CCR). CCR merupakan persentase kebenaran (kesesuaian) nilai amatan dan dugaannya.

CCR = jumlah klasifikasi benar x 100% jumlah amatan

Semakin besar persentase CCR yang dihasilkan, maka tingkat akurasi yang dihasilkan semakin tinggi (Hair et. al., 1995).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari 208 kabupaten yang bersumber dari Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) tahun 2008. Data terdiri dari satu peubah respon dengan 33 peubah penjelas yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu SPSS 13.0 for Windows, Minitab® Release 14, dan Microsoft Office Excel 2007.

Metode

Metode penelitian ini yaitu : 1. Deskripsi peubah respon

2. Penyusunan fungsi diskriminan dengan menggunakan 80% amatan (166 kabupaten) yang diambil secara acak dan proporsional pada setiap kelompok status ketertinggalan. Pada tahapan ini dibentuk dua model yaitu :

a. Model 1. Menggunakan seluruh peubah penjelas untuk membentuk fungsi diskriminan.

b. Model 2. Melakukan analisis diskriminan bertatar dan menggunakan peubah terpilih sebagai dasar pembentukkan fungsi diskriminan. 3. Validasi model dilakukan dengan

menggunakan 42 kabupaten yang tidak dipergunakan pada langkah kedua untuk menguji tingkat keberhasilan penempatan amatan ke dalam kelompok tertentu. Tingkat keakuratan pendugaan model dapat dilihat dari jumlah pengamatan yang telah berhasil diklasifikasikan kedalam kelompok yang sebenarnya.

4. Memilih model yang terbaik dari langkah kedua berdasarkan ketepatan klasifikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Data

(27)

4

infrastruktur, 4) keuangan daerah, 5) aksesibilitas dan 6) karakteristik daerah. Setiap kriteria memiliki indikator-indikator yang relevan untuk menggambarkan kriteria tersebut. Dari 208 kabupaten, 11 kabupaten (5.29%) dikategorikan sebagai daerah dengan status ketertinggalan yang sangat parah, 48 kabupaten (23.08%) termasuk dalam kategori daerah sangat tertinggal, 60 kabupaten (28.85%) termasuk dalam kategori daerah tertinggal, dan 89 kabupaten (42.79%) termasuk dalam kategori daerah agak tertinggal (Tabel 2).

Berdasarkan Gambar 1 dan Tabel 2, indeks ketertinggalan daerah tertinggal berkisar antara 0.0059-3.1650. Kedua indeks tersebut dimiliki oleh kabupaten di luar Pulau Jawa. Sebanyak 91.83% daerah tertinggal yang setara dengan 191 kabupaten berlokasi di luar Pulau Jawa, dengan rincian sebanyak 35.58%, 27.88%, 23.08% dan 5.29% masing-masing tergolong sebagai daerah agak

D

a

ta

Tertinggal Sangat Parah Sangat Tertinggal Tertinggal Agak Tertinggal 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

Boxplot of Agak Terting, Tertinggal, Sangat Terti, Tertinggal S

Gambar 1. Boxplot Status Ketertinggalan Daerah

tertinggal, tertinggal, sangat tertinggal dan tertinggal sangat parah. Daerah di Pulau Jawa hanya ada dalam golongan status daerah agak tertinggal (15 kabupaten) dan tertinggal (2 kabupaten). Oleh karena itu, pembangunan harus lebih diutamakan untuk daerah di luar Pulau Jawa agar kesenjangan yang ada dapat diminimalisir.

Keragaman dalam setiap kelompok status ketertinggalan daerah mengindikasikan perlu ada upaya yang berbeda agar kondisi daerah dalam satu kelompok menjadi lebih homogen. Dengan demikian alokasi anggaran pembangunan daerah di dalam setiap kelompok harus disesuaikan dengan indeks ketertinggalan daerahnya, khususnya untuk daerah tertinggal sangat parah.

Analisis Diskriminan

Penyusunan dua model fungsi diskriminan dilakukan untuk memilih model yang paling baik dan sederhana dalam mengklasifikasikan status ketertinggalan suatu kabupaten.

• Model 1 (Menggunakan seluruh peubah) Hasil analisis diskriminan pada model 1 yang menggunakan 33 peubah penjelas menghasilkan 3 fungsi diskriminan. Koefisien-koefisien 3 fungsi diskriminan yang terbentuk dapat dilihat pada Lampiran 2. Akar ciri dan statistik uji V-Bartlett pada ketiga fungsi diskriminan yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Deskripsi Indeks Ketertinggalan Daerah

Status Kabupaten

Frekuensi

Daerah Frekuensi Indeks

(%) (%) Minimun Maksimum Rataan Simpangan Baku

Agak Tertinggal

89 (42.79)

Jawa 15

0.0128 0.4873 0.1820 0.1272

(7.21)

Luar Jawa 74

0.0059 0.4957 0.2411 0.1392

(35.58)

Tertinggal 60

(28.85)

Jawa 2

0.5167 0.5918 0.5542 0.0531

(0.96)

Luar Jawa 58

0.5093 0.9943 0.7410 0.1413

(27.88)

Sangat Tertinggal

48 (23.08)

Jawa 0

- - - -

(0.00)

Luar Jawa 48

1.0015 1.9625 1.3452 0.2695

(23.08) Tertinggal Sangat Parah 11 (5.29)

Jawa 0

- - - -

(0.00)

Luar Jawa 11 2.0822 3.1650 2.5355 0.4102

(28)

5

Akar ciri pertama, kedua dan ketiga menerangkan keragaman data masing-masing sebesar 93.25%, 4.90%, dan 1.85%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keragaman antar kelompok terletak pada fungsi diskriminan pertama. Tabel 3. Akar Ciri Fungsi Diskriminan dan

Statistik Uji V-Bartlett model 1 Akar

Ciri

Keragaman

Statistik uji db Proporsi Kumulatif

15.6773 93.25 93.25 464.9687 99

0.8242 4.90 98.15 82.02108 64

0.3104 1.85 100.00 16.26366 31

Hipotesis nol yang menyatakan bahwa fungsi diskriminan pertama tidak diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah ditolak pada taraf α=0.05, demikian juga dengan yang menyatakan bahwa fungsi diskriminan kedua tidak diperlukan untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah. Hipotesis nol dalam pengujian fungsi diskriminan ketiga diterima pada taraf α=0.05, artinya fungsi diskriminan ketiga kurang mampu untuk membedakan keragaman antar kelompok status ketertinggalan daerah. Sehingga dari tiga fungsi yang dihasilkan hanya dua fungsi yang akan digunakan untuk mengklasifikasikan amatan. Dua fungsi yang digunakan dapat menjelaskan 98.15% keragaman antar kelompok.

 Model 2 (Menggunakan analisis diskriminan bertatar)

Penyusunan model kedua dilakukan dengan melakukan analisis diskriminan bertatar untuk melihat peubah penjelas mana yang paling dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik. Hasil analisis diskriminan bertatar menunjukkan dari 26 langkah terdapat 16 peubah yang terpilih untuk dimasukkan ke dalam model. Peubah- peubah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Peubah pertama yang masuk ke dalam model adalah X35 (persentase rumah tangga pengguna listrik). Akan tetapi pada langkah ke 10 peubah tersebut dikeluarkan dari model, artinya peubah tersebut masih belum dapat mendiskriminasi kelompok dengan baik. Pada langkah selanjutnya peubah X12 masuk ke dalam model, artinya indeks kemiskinan paling menentukan status ketertinggalan suatu daerah.

Tabel 4. Hasil Analisis Diskriminan

Gambar

Tabel 2. Deskripsi Indeks Ketertinggalan Daerah
Tabel 4. Hasil Analisis Diskriminan
Tabel 9. Hasil Validasi Model 2
Tabel 2. Deskripsi Indeks Ketertinggalan Daerah
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pelayanan kesehatan yang harus dilakukan oleh Dokter Keluarga berdasarkan fungsi pokok fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai Gate-Keeper yaitu

Menyadari hal tersebut seharusnya sistem pelayanan rumah sakit disamping mengutamakan aspek fisik, juga memperhatikan aspek lain khususnya aspek psikologis-religius.

Surat izin penebangan disampaikan kepada pemohon setelah ditandatangani oleh Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta dengan tembusan juga disampaikan kepada

(5) Djikalau permintaan sebagai jang dimaksud dalam ajat (4) diatas menimbulkan selisih pendapat antara Kepala Djawatan Agraria dan Kepala Inspeksi Agraria, maka

(2) Para Deputy Ketua, Sekretaris dan Koordinator Daerah dan para kepala Biro diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Kesedjahteraan Rakjat atas usul Ketua

Secara teoritas telah diuraikan, bahwa perencanaan merupakan fungsi managemet yang memegang peranan yang sangat penting untuk tercapainya efektifitas kerja dan salah

bisnis reparasi mesin jahit 25 jan 2006.doc intro pedangan batu mulia kaki lima 9 jan 2006.doc wawan. cdma