• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM SKEMA SISTER CITY ANTARA KOTA BANDUNG DAN KOTA BRAUNSCHWEIG JERMAN (2000 – 2016)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM SKEMA SISTER CITY ANTARA KOTA BANDUNG DAN KOTA BRAUNSCHWEIG JERMAN (2000 – 2016)"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM SKEMA

SISTER CITY ANTARA KOTA BANDUNG DAN

KOTA BRAUNSCHWEIG JERMAN (2000

2016)

Disusun Oleh Ardi Luthfi Kautsar

Emali: luthfie48@gmail.com

ABSTRACT

Bandungis the largest cityinWest Javaandthe third largest cityby populationinIndonesiaafter

Jakarta andSurabaya. It is located about 140 km from the state capital of Indonesia, Jakarta.

With the conditions of the population and the strategic place, the city of Bandung has a lot of potentials to be developed. One way that is done by Bandung to develop it’s potentials is by establishing a sister city partnership where in this case the city of Bandung chooses Braunschweig as a partner in the sister city partnership. The writer will try to examine the background of renewed agreement between the cities in 2000. In this study, the writer will use the complex interdependence theory as a tool to understand why Bandung chooses Braunschweig city as the partner in the sister city partnership. The writer uses methods of library research where the data are secondary source. All data are taken from books, journals, articles on the internet, and other data relevant to the research.

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Bandung adalah kota terbesar yang ada di Jawa Barat dan merupakan Ibu kota Provinsi Jawa Barat. Jika dilihat dari jumlah penduduk, Bandung merupakan kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya. Dimata dunia, kota Bandung sangat terkenal dengan tempat diadakannya konferensi Asia Afrika yang pertama pada tahun 1955.

Bandung sendiri diambil dari kata “Bendung” dalam Filosofi Sunda, Kata “Bendung”

berasal dari kalimat “Nga-Bendung-an Banda Indung” kalimat ini merupakan kalimat yang sangat sakral dan luhur, karena kalimat ini mengandung nilai ajaran Sunda. “Nga-Bendung-an” berarti bersaksi, memperhatikan, menyaksikan, “Banda” berarti Benda atau segala sesuatu yang ada di

bumi ini, dalam kalimat ini bumi diartikan Sebagai “Indung”. 1

Kota Bandung sebenarnya merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Bandung pada tahun 1810 oleh Bupati R. A. Wiranatakusumah II setelah berpindahnya pusat kota dari Krapyak ke tepi selatan Jalan Pos. Alasan pemindahan ini adalah karena Krapyak tidak strategis sebagai ibu kota, karena terletak di sisi selatan daerah bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan.2

Dari sektor pendidikan, Bandung juga menjadi salah satu tujuan pendidikan, hal ini dikarenakan banyaknya sarana-sarana pendidikan seperti universitas yang mana memiliki kredibilitas yang tidak diragukan, bahkan Bandung juga termasuk salah satu Kota Pelajar setelah Yogyakarta. Hal tersebutlah yang melatar belakangi kerjasama-kerjasama internasional yang dilakukan oleh Bandung, salah satunya adalah kerjasama sister city antara Kota Bandung dengan Kota Braunschweig yang memang cikal bakalnya berasal dari kerjasama pendidikan, kerjasama yang dilakukan antara Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Indonesia dengan (Padagogishe) di Kota Braunschweig Jerman, yang mana kerjasama ini dipelopori dan atas rekomendasi Prof. Dr. George Eckert. Maka lambat laun terbentuklah kerjasama sister city seperti sekarang ini.

1 Kota Bandung, tersedia dari (artikata.com/arti-14767-bandung.html) diakses pada 19 September 2016, 19.00

WIB.

2 Sejarah Kota Bandung, tersedia dari (http://bandung.go.id/rwd/index.php?fa=pemerintah.detail&id=326) diakses

(3)

Di mata Indonesia sendiri, Kota Bandung adalah Kota yang pertama yang menjalin kerjasama luar negri oleh pemerintah lokal. Hal ini disebabkan oleh adanya kerjasama intenasional yang dilakukan oleh Kota Bandung dengan Kota Braunschweig pada tahun 1960. Kerjasama ini pada awalnya merupakan kerjasama atas rekomendasi Prof. Dr. George Eckert yang pada waktu itu menjabat sebagai salah satu staff di UNESCO, hal ini berpijak bahwa di kedua kota ini terdapat perguruan tinggi keguruan (Padagogishe) di Braunschweig dan di Bandung terdapat perguruan tinggi pendidikan guru (PTPG) yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Kerjasama universitas ini, menghasilkan banyak dampak positif, seperti saling membantu memperbanyak literasi buku-buku yang dijadikan untuk melengkapi perpustakaan di masing-masing universitas. Pengembangan potensi dengan mengadakan penelitian bersama dan sebagainya. jadi awal terbantuknya hubungan kerjasama kedua kota ini merupakan hubungan kerjasama antar universitas.

Sampai pada tanggal 24 Juni 1959, pemerintah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Atase Kebudayaan Republik Indonesia, Bapak Marjoenani, mengemukakan keinginan untuk meresmikan persahabatan antar kedua kota (Bandung-Braunschweig) tersebut. Kemudian pada tanggal 24 Mei 1960 di museum Kota Braunschweig dilaksanakan upacara khusus mengenai peresmian persahabatan kedua kota tersebut, yang mana pada waktu itu Indonesia diwakili oleh Duta Besar Republik Indonesia Dr. Zairin Zain, dan dari pihak Jerman diwakili oleh Hans Gunther Weber (Walikota Braunschweig). Di Bandung sendiri piagam persahabatan ini di tandatangani langsung oleh Walikota Bandung, Bapak R. Priatnakusumah.3

Ikatan persahabatan yang telah berjalan kurang lebih selama 40 tahun telah menghasilkan banyak kemajuan. Hasil positif ini bisa dirasakan oleh warga kedua kota kembar ini, selain menjadi kota dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, Bandung juga memiliki keunggulan dalam bidang pariwisata, industry kuliner, dan fashion. Tetapi dalam perjalanannya, kerjasama sister city

antara Kota Bandung dengan Kota Braunschweig tidaklah berjalan Mulus. Ada bebrapa faktor penyebab atau hambatan dalam kerjasama sister city ini.

3 “Sister city Braunschweig”, tersedia di, http://bandung.go.id/rwd/index.php?fa=berita.detail&id=660 diakses pada

(4)

Krisis utang yang melanda eropa telah merubah wajah perekonomian negara-negera anggotanya, krisis ini memang pada perkembangannya melanda hampir seluruh Negera Eropa termasuk Jerman. Hal ini yang kemudian menyebabkan kemunduran terhadap kerjasama sister city

antara Kota Bandung dengan Kota Braunschweig. kerjasama ini pada kenyataanya sering mengalami kondisi yang stagnan atau jalan di tempat atau bisa dibilang vakum, dalam artian setiap program yang akan dijalankan selalu sebatas penjajakan, tidak pernah menghasilkan suatu perjanjian atau MoU yang baru.

Masalah lainya juga timbul di Kota Bandung itu sendiri seperti adanya tumpang tindih atau berbelit-belitnya birokrasi di Kota Bandung, seperti, ketika Kota Bandung kedatangan delegasi dari Kota Braunschweig pada Februari 2017 lalu, sebetulnya pihak Braunschweig akan memberikan bantuan untuk PDAM Tirtawening Kota Bandung, namun dalam hal ini PDAM Tirtawening ternyata tidak semerta-merta dapat langsung menyetujui bantuan tersebut, harus ada izin dari instansi-instansi lainnya dan itu tidak mungkin dilakukan dengan waktu yang singkat yang akhirnya hanya sebatas penjajakan. Pandangan sebagian orang Indonesia model seperti ini sangst lumrah dilakukan, namun berbeda halnya dengan pandangan pemerintah Kota Braunschweig yang memandang bahwa hal seperti ini merupakan gambaran ketidak seriusan pemerintah Bandung atas bantuan kerjasama yang diberikan Kota Braunschweig.

Masalah lainnya adalah adanya pengurangan anggaran sister city di Kota Bandung. Dalam wawancara awal yang dilakukan penulis dengan Bidang Kerjasama Kota Bandung, penulis menemukan fakta bahwa adanya pengurangan anggaran kerjasama yang sangat signifikan anggaran yang sebelumnya mencapai 10 milyar di potong menjadi hanya 100 juta. Hal ini sangat berdampak terhadap kerjasama Kota Bandung dengan Kota Braunschweig Jerman. Fakta lain yang penulis temukan juga menyebutkan bahwa ternyata masyarakat Kota Bandung kurang atau sangat sedikit yang mengetahui kerjasama sister city ini.

Kurangnya sosialisasi mungkin menjadi faktor yang paling di soroti dalam kerjasama Bandung-Braunschweig ini, bagaimana tidak, kerjasama sister city yang pertama dan terlama di Indonesia ini ternyata masih banyak yang belum mengetahuinya, masyarakat Kota Bandung khususnya, masih sangat sedikit yang mengetahui kerjasama ini. Dibandingkan dengan sister city

(5)

tersebut lebih dikenal oleh masyarakat Kota Bandung dibanding sister city Kota Bandung dengan Kota Braunschweig.

Masalah yang lain yang terjadi di Kota Bandung adalah adanya political will yang berbeda-beda setiap walikota, dalam wawancara penulis dengan salahsatu narasumber di Kota Bandung menyebutkan bahwa keinginan politik yang berbeda-beda yang membuat setiap kerjasama sister city di kota Bandung menjadi tidak kondusif, ketika pergantian kepemimpinan, maka berganti pula program kerja meraka, hal ini bisa dilihat ketika ada beberapa kunjungan dari Braunschweig ke Bandung, yang menyambut bukanlah dari pimpinan teras walikota, seperti Walikota atau wakilnya, padahal menurut narasumber sebelumnya telah ada pemberitahuan dan kesepakatan bahwa yang akan menyambut adalah walikota, hal ini yang kemudian menimbulkan asumsi bahwa memang pada walikota saat ini Braunschweig bukanlah prioritas utama dalam kerjasama sister city di Kota Bandung.

Tidak adanya landasan kerjasama yang baru dan yang lebih menarik juga menjadi salah satu faktor penyebab seringnya kerjasama ini mengalami stagnansi, dalam wawancaranya Deutch Club bersama Elke Gerlach pengurus bagian kerjasama International Kota Braunschweig menyebutkan bahwa memang dahulu banyak sekali kerjasma yang dilakukan baik itu pertukaran pemuda maupun kedinasan, pada awalnya pertukaran dinas dilakukan selama satu tahun namun kemudian dikurangi menjadi 3 (tiga) bulan dan menjadi satu bulan. Begitu juga dengan pertukaran pemuda, pernah juga berjalan beberapa kali namun akhirnya terhenti, hal ini disebabkan oleh karena kurangnya ketertarikan pemuda dari pihak Braunschweig, hal ini karena kurangnya promosi dari Kota Bandung sendiri,

“banyak warga Braunschweig yang memiliki ketertarikan terhadap indoneisa dan

mereka menginginkan adanya kerjasama dengan Indonesia, namun untuk Bandung pemuda kami masih sedikit yang mengetahui, jadi yang terpenting dalam suatu kerjasama adalah harus adanya kertertarikan awal terhadap suatu negara, agar hal

ini lebih menarik untuk direalisasikan”.

(6)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas mengenai kerjasama internasional antara kota Bandung dengan Kota Braunschweig, maka dapat diambil sebuah research question sebagai berikut :

“Mengapa Kota Bandung melanjutkan kerjasama sister city dengan Kota Braunschweig, walaupun banyak hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya?”

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perkembangan kerjasama antara kota Bandung dan kota Braunschweig

b. Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan kerjasama sister city yang dilakukan oleh pemerintah Bandung dan Braunschweig.

c. Untuk mengetahui apa saja yang telah dilakukan oleh kedua kota ini sebagai prospek dari kerjasama sister city ini.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara praktis : diharapkan bagi Kota Bandung dan Kota Braunschweig, sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk memaksimalkan kerjasama sister city kedua belah pihak.

b. Secara akademk, tesis ini diharapkan akan menjadi bahan telaah dan kajian terhadap kerjasama sister city dimasa yang akan datang.

D.Studi Pustaka

(7)

Adapun studi pustaka yang digunakan dalam menjawab Mengapa Bandung mempertahankan kerjasama sister city dengan Braunschweig antara lain, Stivani Ismawira Sinambela (2014) dalam tesisnya di S2 Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan tema KebijakanPemerintah Daerah Dalam Penataan Kerjasama Internasional (Studi Kasus: Kerjasama Sister City Pemerintah Kota Medan dengan Penang).

Kajian ini lebih memfokuskan pada pengambilan kebijakan oleh pemerintah Kota Medan dalam pengelolaan kerjasama Internasional dalam skema kerjasama sister city dan tidak membahas tentang peran kerjasama sister city antara Kota Bandung dan Braunschweig. Tulisan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan publik tentang peran dari kerjasama sister city. Khususnya dalam kerjasama sister city antara Kota Bandung dan Braunschweig.

Sidik Jatmika, dalam buku berjudul Otonomi Daerah Perspektif Hubungan Internasional, mengatakan bahwa gelombang demokratisasi berhembus seperti angin yang bergerak menyebar ke penjuru dunia menebarkan gelombang perubahan dalam bentuk transisi politik dari sistem politik non demokratis berubah ke sistem politik demokratis. Dalam politik demokratis penulis melihat adanya pergeseran model diplomasi, dari tradisional diplomasi, menjadi diplomasi yang lebih modern di mana hal ini memudahkan bagi pemda untuk mengelola langsung kebijakan derahnya dalam ranah dunia Internasional.

Didukung dengan adanya kebijakan disentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang kemudian menghasilkan otonomi daerah. Dimana kemudian otonomi daerah ini membawa peluang yang sangat besar bagi pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama dengan dunia Internasional untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan kawasan. Jatmika mengatakan salah satu konsekuensi diberlakukannya otonomi daerah seluas-luasnya adalah keinginan agar daerah diberi keleluasaan untuk melakukan hubungan internasional.4 walaupun dibebaskan dalam mengelola kerjasama Internasional, namun dalam perakteknya ada pengawasan dan pertimbangan dari DPRD seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 42 yang menyebutkan tentang tugas dan wewenang DPRD untuk mengawasi, memberikan pendapat dan pertimbangan serta menyetujui rencana kerjasama internasional yang diajukan oleh pemerintah daerah.

Penelitian dari Joseph Nye Jr dkk, yang meneliti dampak kerjasama sister city ini. Ketika Peer Schouten mengajukan pertanyaan kepada Joseph Nye Jr. tentang,

’Dalam dunia internasional seperti apa, kita hidup saat ini?’. Nye menyatakan

(8)

bahwa dewasa ini kita hidup di jaman hibrid. Sebagian dari dunia kita yang positif-normatif, serta berbasis pada ’kedaulatan negara’ adalah ’doktrin’ Westphalian, sedangkan di bagian lain adalah model post-Westphalia, yang di dalamnya aktor-aktor transnasional dan norma-norma hukum humaniter internasional menerabas melintasi batas-batas kedaulatan negara. Kedua bagian ini tampaknya masih akan terjadi untuk beberapa dekade ke depan, sehingga analisis positive dan normatif yang baik akan mencakup keduanya.5

Perjanjian Westphalia atau The Peace of Westphalia atau The Westphalia Treaty, tahun 1648, German, yang mengakhiri Perang Eropa selama 30 tahun, berhasil memancangkan tonggak sejarah bernegara secara modern dalam konsep ’nation-state’, dan menjadi permulaan bagi terjadinya sistem hubungan internasional secara modern, yang disebut sebagai ’Westphalian

System’.6 Doktrin Westphalian hasil dari perjanjian ini meliputi prinsip penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan hak untuk menentukan nasib sendiri suatu bangsa, kemudian prinsip kesamaan di depan hukum bagi setiap negara, dan prinsip non-intervensi atas urusan internal negara lain. Sebagaimana dikatakan oleh Watson bahwa Perjanjian Westphalia melegitimasi persemakmuran negara-negara berdaulat, yang menandai kemenangan negara dalam mengendalikan masalah-masalah internalnya, dan menjaga kemerdekaannya secara eksternal. Perjanjian ini banyak melahirkan aturan dan prinsip politik bagi negara-negara baru.7 Fakta historis tentang prinsip bernegara secara modern dalam ’The Westphalia Treaty’ ini bagi para pembelajar Ilmu Hubungan Internasional, terutama kalangan teoritisi realist-tradisional, dianggap merupakan titik awal terjadinya studi Ilmu Hubungan Internasional modern.

Gugatan terhadap pendekatan para realist-tradisionalis takterbendung lagi seiring dengan semakin menyatunya sistem ekonomi dunia yang ditunjang dengan penyatuan sistem teknologi informasi dalam jaringan yang bersifat ’world wide’. Demikian pula dengan perilaku masyarakat

5Peer Schouten, Theory Talks is an initiative dalam Beberapa wawancara Theory Talks yang telah diterbitkan dalam

Bahasa Indonesia dengan judul “Theory Talks, Perbincangan Pakar Sedunia Tentang Teori Hubungan Internasional Abad Ke-21”, Editor: Bambang Wahyu Nugroho dan Hanafi Rais, PPSK dan LP3M UMY, Yogyakarta, 2012

6 Osiander, Andreas, ‘Sovereignty, International Relations and Westphalian Myth’, International Organization 55, hal.

251, The IO Foundation and Massachusetts Institute of Technology, USA, Spring 2001

7 Watson, sebagaimana dikutip oleh Robert Jackson dan Georg Sorenson dalam, ‘Introduction to

(9)

internasional yang semakin fleksibel, baik secara institusional maupun individual, untuk melakukan interaksi yang bersifat transnasional, dimana aktor-aktor pemerintahan lokal pun secara langsung ikut berinteraksi dengan pihak asing dalam kapasitasnya selaku ’sub-state actors’, atau

apa yang lebih dikenal sebagai ’paradiplomacy’. Pertanyaannya adalah, bagaimana gambaran riil konstruksi hubungan antarbangsa saat ini, dan bagaimana aktor-aktor lokal dalam merespon interaksi transnasional itu?

Takdir Ali Mukti, dalam Buku Paradiplomacy, kerjasama Luar Negri Oleh Pemda Di Indonesia, mengatakan bahwa hubungan internasional yang mewarnai system interaksi masyarakat dunia pasca regim Westphalia memiliki karakter yang lebih partisipatif bagi semua aktor internasional, baik pada tingkat negara maupun lokal, individu maupun kelompok. Hubungan transnasional tidak serta merta menghapuskan sendi utama kedaulatan suatu negara, namun melahirkan sebuah tuntunan untuk pengaturan lebih lanjut tentang komitmen negara untuk melakukan pembagian kedaulatan dalam batas konstitusinya.8

Selain dari buku tersebut penulis juga me-review penelitian yang telah ada, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Jojo Juhaeni dengan judul penelitian “Perbandingan Tata Kelola Pemerintahan Antar Kota Lintas Negara (sister city) di Pemerintahan Kota Bandung”. Jojo membahas lebih banyak tentang tata kelola sister city Kota Bandung dengan berbagai kota kembarnya. Dalam akhir pembahasan, Jojo menjelaskan apa saja tentang kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah menyebutkan bahwa dalam kerjasama dengan model seperti ini masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah terhadap masyarakat, baik dari segi program kerjasama, manfaat, dan pelaksanaannya bagi warga Kota Bandung. Sehingga hanya sedikit warga yang mengetahuinya, bahkan peneliti mengatakan bahwa sebagian besar warga Kota Bandung tidak mengetahui adanya program kerjasama Kota Bandung dengan kota di luar negeri maupun dalam negeri.

Dalam hal ini, penulis dengan peneliti memiliki persamaan perspektif tentang kerjasama ini. Namun ada juga perbedaannya. Untuk lebih mudah difahami, penulis menyederhanakan beberapa aspek dari para peneliti diatas.

(10)

Table 1.1 Studi Pustaka

Review/Aspek Tempat Waktu Fokus Kajian

Penelitian ini dilakukan di Kota Bandung atau tepatnya di Bidang Kerjasama Balai Kota Bandung

Waktu penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dengan jangkauan penelitian dari tahun 2010

Kajian ini difokuskan kepada alasan-alasan Kota Bandung dalam mempertahankan kerjasama sister city dengan Kota Braunschweig

Jojo Juhaeni Penelitian yang dilaukan Jojo ini Bertempat di bagian umum kota Bandung

Penelitian ini dilakukan dalam kunjungan ilmiah pada tahun 2009

Kajian ini difokuskan pada perbandingan pelaksanaan tata kelola sister city kota Bandung

Stivani Ismawira

Sinambela

Penelitian dalam tesis Stivani ini mengambil tampat di Kota Medan dan Komisaris Jendral Malayasia di Medan

Penelitian ini dilakakukan pada tahun 2014 dengan jangkauan penelitian dari tahun 2010

Kajian ini lebih difokuskan kepada proses pengambilan kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam kerjasama Internasional, dan lebih kepada kerjasama antara Kota Medan dan Pulau Penang. Ika Ariani Kartini Penelitian ini dilakukan di

Kota Bandung

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi S2 di Universitas Gajah Mada pada tahun 2012

Kajian ini lebih memfokuskan pada penerapan public governance di pemerintah kota Bandung namun tidak membahas banyak tentang kerjasama Bandung dengan Braunschweig.

Sidik Jatmika Buku ini disusun di

Yogyakarta dan

mengambil studi kasus antara lain Jawa Timur dan Australia Barat, dan Bukit Tinggi dan Seremban

Buku ini di terbitkan pada tahun 2001

Fokus kajian dalam buku otonomi daerah ini adalah pembahasan no 22 tahun 1999 dan lebih difokuskan pada bagaimana penempatan daerah sebagai aktor baru dalam interaksi kerjasama internasional, ada beberapa studi kasus dalam buku ini, antara lain Bukit Tinggi-Seremban, dan Provinsi Jawa timur dan Australia Barat.

Takdir Ali Mukti Penulisan buku ini

bertempat di Yogyakarta dengan memfokuskan studi kasus di Provinsi Yogyakarta.

Buku Pradiplomasi ini di terbitkan pada tahun 2013

Kajian pada buku

Paradiplomasi ini difokuskan kepada pembahasan 4 aspek, aspek teoritis hubungan internasional, aspek diplomasi, dan dari aspek praktis pembuatan kerjasama internasional.

(11)

E.Kerangka Teori

Pada pembahasan dalam penelitian ini, tentunya penulis menggunakan satu teori dan satu konsep untuk membantu menjelaskan fenomena yang ada dalam memecahkan permasalahan. Sehingga teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: konsep paradiplomasi dan teori model pengambilan keputusan. Berikut penjelasan teori dan konsep tersebut.

1. Konsep Paradiplomasi

Diplomasi memiliki arti yang sangat luas dan mencakup beberapa kegiatan. Menurut Dictionary.com, diplomasi dapat diartikan sebagai suatu Keahlian, atau keterampilan dan kehati-hatian yang mana semua ini perlu dimiliki oleh setiap pelaku diplomasi untuk menangani masalah-masalah yang terjadi di luar negeri.9

Menurut Takdir Ali Mukti dalam bukunya Paradiplomasi Kerjasama Internasional oleh Pemda di Indonesia menyebutkan bahwa paradiplomasi adalah desentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administratif dalam proses yang terjadi pada sub nasional, atau lembaga-lembaga politik, atau kebijakan publik, dalam otoritas yang berbeda di bawah kendali pemerintah pusat10 namun hal ini berbeda dengan kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh negara. Paradiplomasi tidak berusaha untuk mewakili kepentingan nasional yang lebih umum dan luas, terlebih untuk menunjukan masalah yang lebih spesifik dengan tanpa melanggar aturan tentang negara yang berdaulat tetapi kerjasama ini untuk membebaskan pemerintah daerah untuk menentukan masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Namun masih dibawah kendali pemerintah pusat dan mengikuti system internasional yang berlaku. Hal ini lah yang kemudian disebut pradiplomasi.

John Revenhill dalam bukunya Paradiplomacy in Action, the Foreign Relations of Sub National Governments Paradiplomacy menjelaskan bahwa paradiplomasi adalah alat untuk memahami hubungan luar negeri yang dilakukan langsung oleh pemerintah daerah (sub nasional) yang memiliki tujuan tertentu dalam berbagai bidang atau di khususkan

9 Arti kata Diplomasi, tersedia di (http://dictionary.reference.com/browse/diplomacy) diakses pada 20 November

2016, 07 .00 WIB.

10Mukti, Takdir Ali, ‘Paradiplomasi Kerjasama internasional oleh Pemda di Indonesia’. The Phinisi Press

(12)

untuk meningkatkan kesejahteraan daeranya namun masih dalam pengawasan pemerinah pusat dalam rangka mengahadapi globalisasi.11

Steffan Wolf dalam Jurnal yang dikeluarkan oleh Bologna Center of International

Affair. Mengungkapkan bahwa paradiplomasi mengacu pada Kebijakan Luar negeri yang

dilakukan oleh sub negara di kancah internasional yang bertujuan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri bukan untuk kepentingan nasional.12

Menurut Ivo Duchacek dalam Bukunya "Perforated Sovereignties: Towards a Typology of New Actors in International Relations" yang dikutif dari Hans Michael Mann

federalism and International Relations The Role of Sub-national Units, Hans

Michelmann paradiplomacy sister city Bandung and Braunschweig” is:

Global Paradiplomacy is Diplomacy that performed by sub-national governments in

a country with sub-national governments in other countries, either both nationally

and second sub region countries not bordering.

Sementara itu Panayotis Soldatos di sebuah penjelasan kerangka Studi Negara Federal sebagai actor kebijakan luar negeri: Peran Unit sub-national, Hans Michalemann, menjelaskan Faktor-faktor paradiplomasi ini meliputi13:

1. Usaha kedua belah pihak untuk mencapai tujuan berdasarkan perbedaan geografi, budaya, agama, bahasa, politik, dan faktor-faktor lain yang berbeda dengan daerah lain di negara mana sub aktor itu berada. Serta pada dasarnya bahwa meskipun

11 Ed. Keating, Francisco Aldecoa and Michael. ‘Paradiplomacy in Action. New York: Frank Cass and Co. Ltd.,

2013.

12 Journal of International Affairs, Bologna Center, accessed on 15 Desember 2016 05.00 WIB available from:

(http://bcjournal.org/volume-10/paradiplomacy.html)

13 Soldatos, Panayotis, “An Explanatory Framework for the Study of Federated States as Foreign-policy Actors:

(13)

persepsi ini tekait dengan segmentasi objek tetapi lebih di dorong oleh faktor politik juga.

2. Adanya ketidakseimbangan dan representatif unit sub nasional dan unit nasional di hubungan internasional.

3. Perkembangan ekonomi dan kelembagaan secara alami di unit sub nasional dari pemerintah derah mampu mendorong untuk mengembangkan perannya.

4. Kegiatan diplomasi bisa termotivasi oleh fenomena internasional yang dapat dengan mudah ditafsirkan untuk mengikuti peringkat pada hal-hal yang membuat sub unit nasional lainnya.

5. Adanya kesenjangan dalam perumusan kebijakaan luar negeri dan inefisiensi dalam pelaksanaan hubungan luar negeri di pemerintah pusat.

6. Masalah yang terkait degan pembangunan bangsa dan konstitusional juga dapat mendorong pemerintah daerah untuk melakukan paradiplomasi.

7. Domestikasi kebijakan luar negeri sebagai akibat dari isu-isu politik yang siusulkan telah memotivasi pemerintah daerah untuk memiliki kemampuan melakukan paradiplomasi.

Paradiplomasi dapat dikatakan kerjasama langsung antar daerah di negara dengan wilayah di negara-negara lain, tidak langsung di sini berarti dalam hal pelaku, disebut tidak langsung karena aktor yang melakukan hubungan ini adalah sub nasional (pemerintah daerah), bukan Pemerintah Pusat, sebagai hasil dalam skema berikut:

Gambar 1.1

Skema Hubungan Paradiplomasi14

14Sidik Jatmika, , Otonomi Daerah: Perspektif Hubungan Internasional (seri kajian Otonomi Daerah).

Yogyakarta, BIGRAF. 2001.

Pemerintah A Pemerintah B

Sub- Nasional

A

Sub-Nasional

(14)

2. Teori Pengambilan Keputusan (Deccision Making)

Pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk perbuatan berfikir dan hasil dari suatu perbuatan itu disebut keputusan. Keputusan itu sendiri merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang dihadapi dengan tegas. Pengambilan keputusan adalah pengambilan kebijakan yang didasarkan atas kriteria tertentu. Proses ini meliputi dua laternatif atau lebih, karena jika hanya ada satu alternatif tidak akan ada satu keputusan yang diambil.

Menurut Suhernan, pengambilan keputusan adalah proses memilih dan atau menentukan berbagai kemungkinan diantaranya situasi-situasi yang tidak pasti. Pembuatan keputusan terjadi di dalam situasi-situasi yang meminta seeorang harus membuat prediksi kedepan, meilih salah satu diantara dua pilihan atau lebih15. Senada dengan Suherman, Graham T Allison dalam bukunya

Essence of Deccision: Eplaining the Cuban Missile Crisis”, mengajukan tiga model pengambilan

keputusan, yaitu Model Aktor Rasional, Model Proses Organisasi, dan Model Politik Birokratik, berikut ini uraiannya:

1. Model Aktor Rasional

Model ini menekankan bahwa suatu proses pengambilan keputusan akan melewati tahapan penentuan tujuan, alternatif/opsi, konsekuensi dan pilihan keputusan. Model ini meyatakan bahwa keputusan yang dibuat merupakan suatu pilihan rasional yang telah didasarkan pada pertimbangan rasional/intelektual dan kalkulasi untung rugi sehingga diyakini menghasilkan keputusan yang matang, tepat, dan prudent. Analisis model pembuatan keputusan ini adalah pilihan-pilihan yang di ambil oleh pemerintah. Dengan demikian, analis politik luar negeri harus memusatkan perhatian pada penelaah kepentingan nasional dan tujuan dari suatu bangsa,

(15)

alternatif haluan kebijaksanaan yang bisa diambil oleh pemerintahnya, dan perhitungan untung rugi atas masing-masing alternatif itu.

Dalam model ini para pembuat keputusan itu dianggap rasional dan kita umumnya memang cenderung berpikir bahwa keputusan secara rasional, kelemahannya asumsi ini mengbaikan fakta bahwa para pembuat keputusan itu adalah manusia yang bisa membuat kesalahan dan yang selalu menghadapi berbagai kendala eksternal dari birokratnya sendiri, dari berbagai kelompok kepentingan, opini publik dan sebagainya. Terutama dalam sistem demokrasi. Allison sadar kelemahan itu

sehingga beliau mengajukan model lainnya, yaitu model “proses organisasi” dan “politik birokratik”.

2. Model Proses Organisasi

Model ini menekankan bahwa suatu proses pengambilan keputusan merupakan suatu proses mekanistis yang melewati tahapan, prosedur dan mekanisme organisai dengan prosedur kerja baku yang telah berlaku selama ini. Keputusan yang ditetapkan dipandang sebagai output organisasi yang telah mempertimbangkan tujuan, sasaran, dan skala prioritas organisasi. Dalam model ini menggambarkan politik luar negeri sebagai hasil kerja suatu organisasi besar yang berfungsi menurut suatu pola perilaku. Pembuatan keputusan bukan semata-mata proses intelektual, lebih merupakan proses mekanik, keputusan merujuk kepada keputusan-keputusan yang telah dibuat dimasa lalu, prosedur rutin yang berlaku, atau pada peran yang ditetapkan bagi unit birokrasi itu (standard operating procedure).

Organisasi ini pada dasarnya bersifat konservatif dan jarang yang mau mencoba sesuatu yang baru, umumnya cukup senang dengan perubahan-perubahan kecil. Salah satu cara untuk mengatasi kompleksitas dan ketidakpastian masalah adalah dengan melakukan tindakan seperti sebelumnya, organisasi cendrung memiliki pedoman, buku petunjuk yang berisi bagaimana caranya organisasi mengatasi masalah, apa yang akan terjadi pada suatu waktu bisa diramalkan dengan melihat apa yang telah terjadi sebelumnaya.

(16)

Dalam model ini PLN (Politik Luar Negeri) dipandang bukan sebagai hasil dari proses intelektual yang menghubungkan tujuan dan sarana secara rasional. PLN adalah hasil dari proses interaksi, penyesuaian diri dan perpolitikan di antara berbagai aktor dan organisasi, bargaining game antar bangsa, dengan kata lain pembuatan keputusan PLN adalah proses sosial, bukan intelektual. Jadi dalam Model III ini digambarkan suatu proses dimana masin-masing pemain berusaha bertindak secara rasional, setiap aktor negara berusaha menetapkan tujuannya, menilai berbagai alternlehatif sarana dan menetapkan pilihan secara intelektual, tidak ada pemain yang bisa memperoleh apa yang diinginkan dalam bergaining ini (bisa dianalogikan permainan catur).

Karena dalam Model III ini menekankan bergaining games sebagai penentu PLN, maka dalam mempelajarinya kita harus memperoleh informasi tentang persepsi, motivasi, posisi, kekuasaan dan manuver dari pemain-pemain yang terlibat didalamnya. Jadi kita harus tahu (a) Siapa yang ikut bermain? atau kepentingan atau perilaku siapa yang punya pengaruh terhadap keputusan. (b) Apa yang menentukan sikap masing-masing pemain itu. (c) Bagaimana sikap-sikap para pemain itu diagregasikan sehingga menghasilkan keputusan?.

Tabel 1.2

Outline Model Pembuatan Keputusan Graham T. Allison Model

Aktor Rasional Proses Organisasi Politik Birokratik Paradigma  Didasari oleh tujuan dan

sasaran (fungsi Tujuan)

 Tersedia Alternatif

 Konsekuensi dari tiap alternative

 Memilih alternative yang dianggap paling baik

 Organisasi yang memutuskan

 Tujuan sasaran keputusan

 Prosedur Oprasi Standar (SOP)

 Para pemain dalam posisi masing masing

 Tujuan, kepentingan, taruhan, masing masing actor

 Kekuasaan

 Saluran aksi

Dasar Unit analisis keputusan

 Aksi pemerintah sebagai pilihan terbaik

 Aksi pemerintah sebagai output organisasi

 Aksi pemerintah sebagai resultan dari proses politik

Konsep yang mengatur

 Actor rasional

 Permasalahan

 Aksi sebagai pilihan rasional

 Tujuan dan sasaran

 Pilihan-pilihan

 Konsekuensi

 Alternative yang dipilih

 Actor-aktor organisasi sebagai konstelasi pemerintah

 Unsur permasalahan dan pemilihan kakuasaan prioritas dan persepsi yang sempit

 Aksi sebagai output organisasi

 Para pemain dalam posisi masing-masing

 Prioritas dan persepsi yang sempit

 Tujuan dan kepentingan

 Taruhan dan tempat berdiri

 Kekuasaan

 Saluran aksi

 Aturan pemain

(17)

 Koordinasi dan pengendalian terpusat

 Keputusan dari pimpinan pemerintah

Pola kesimpulan dominan

 Aksi pemerintah yang dipilih sesuai dengan sasaran/tujuana

 Aksi pemerintah dalam jangka pendek merupakan output yang lebih luas, ditentukan oleh POS dan Program-Program

 Aksi pemerintah merupakan resultan dari tawar menawar

Proporsi Umum

 Efek Substansi

 Dipilih sesuai dengan peningkatan atau penurunan cost.

 Diimplementasikan oleh organisasi.

 Pilihan-pilihan organisasi.

 Resultan politik, aksi dan Hubungan hubungan.

Sumber: https://pusdiklatbkt.wordpress.com/2013/01/18/analisis-konflik-dan-resolusi-konflik-di-aceh

F. Hipotesa

Dengan melihat kompleksitas masalah tentang Kota Bandung mempertahankan kerjasama

sister city dengan Kota Braunschweig walaupun banyak hambatan, karena:

1. Ada kesamaan karakteristik antara Bandung dan Braunschweig. a) Pendidikan

b) Wisata c) Budaya

2. Adanya manfaat-manfaat yang didapat Kota Bandung a) Kerjasana Universitas

b) Pengolahan Limbah G.Metodologi Penelitian

Metode penelitian digunakan sebagai salah satu metode bagi penulis dalam memperoleh data yang diperuntukan untuk menulis tesis ini. Metodologi penelitian mencakup beberapa aspek yang dijelaskan dibawah ini:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif, metode ini bertujuan menggambarkan fakta-fakta yang dilakukan pemerintah Bandung dan Braunschweig terhadap program sister city

(18)

Untuk menghindari pelebaran dalam pembahasan mengenai prospek kerjasama Kota Bandung dengan Braunschweig terhadap perkembangan kota, peneliti mencoba mencari tahu langkah dan kebijakan apa saja yang telah dilakukan setelah dilakukan pembaharuan perjanjian pada tahun 2010.

3. Metode pengumpulan Data

Metode pengumpulan data di lakukan secara langsung dan tak langsung. Secara langsung pengumpulan data berasal dari observasi dan wawancara tokoh yang memiliki kemampuan pada bidang atau salah satu bidang yang di pandang penting dalam riset ini. Pengumpulan data secara tidak langsung di lakukan secara library research yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang relevan dan menyangkut dengan penelitian yang sedang di lakukan. Library research dalam penelitian ini berupa buku-buku, jurnal penelitian, laporan instansi terkait, berita media cetak dan elektronik, webside resmi pemerintah yang bertanggungjawab dan berbagai sumber lain yang dipandang perlu dalam penelitin ini. Berhubung penelitian ini adalah deskripsi dan ekspalanasi maka validitas harus sangat jelas dalam menampilkan permasalahan yang terjadi baik dari hulu hingga ke hilir.

a. Dokumen

Dokumen dalam artian segala sesuatu data tertulis dan gambar yang menyangkut permasalahan yang sedang di teliti. Dokumen melibatkan referensi-referensi yang relevan dengan topik permasalahan yang sedang di teliti.

b. Observasi

Observasi lapangan bertujuan untuk mendapatkan data-data primer secara langsung dan objektif dalam penelitian ini.

c. Wawancara

(19)

4. Teknik Analisi Data

Penulisan analisis data dilakukan secara kualitatif. Sehingga dalam hal ini didapatkan hasil yang lebih akurat dan bisa saling melengkapi satu sama lain untuk menarik sebuah kesimpulan akhir.

H.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:

BAB I menjelaskan tentang, latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori, tinjauan pustaka, hipotesa, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan

BAB II penulis tentang kerjasama sister city Kota Bandung dengan Braunschweig, dan menjelaskan bagaimana dinamika politik pemerintahan di Kota Braunschweig dan Kota Bandung.

BAB III penulis menjelaskan tentang dasar hukum pembentukan kerjasama sister city di Kota Bandung, dan bagai mana proses mekanisme pembuatnnya sehingga bisa menghasilkan perjanjian MoU dan menjelaskan tentang Hambatan-hambatan dalam kerjasama sister city

Bandung-Braunschweig ini.

BAB IV pada bab ini penulis membahas secara umum dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tentang alasan-alasan mengapa Bandung mempertahankan sister city

dengan Braunschweig.

(20)

BAB II

DINAMIKA

SISTER CITY

KOTA BANDUNG DAN

BRAUNSCHWEIG

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang kerjasama sister city Kota Bandung dengan Braunschweig, dan menjelaskan bagaimana dinamika politik pemerintahan di Kota Braunschweig dan Kota Bandung.

A. Dinamika Sistem Politik Kota Bandung

1. Dinamika Pemerintahan Kota Bandung

Bandung adalah kota terbesar yang ada di Jawa Barat dan merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Jika dilihat dari jumlah penduduk, Bandung merupakan kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya. Dimata dunia, Kota Bandung sangat terkenal dengan tempat diadakannya Konferensi Asia Afrika yang pertama pada tahun 1955.

Bandung sendiri diambil dari kata “Bendung” dalam Filosofi Sunda, Kata “Bendung” berasal dari kalimat “Nga-Bendung-an Banda Indung” kalimat ini merupakan kalimat yang sangat sakral dan luhur, karena kalimat ini mengandung nilai ajaran Sunda.

“Nga-Bendung-an” berarti bersaksi, memperhatikan, menyaksikan, “Banda” berarti Benda atau segala sesuatu yang ada di bumi ini, dalam kalimat ini bumi diartikan Sebagai “Indung”. 1

Kota Bandung sebenarnya merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Bandung pada tahun 1810 oleh Bupati R. A. Wiranatakusumah II setelah berpindahnya pusat kota dari Krapyak ke tepi selatan Jalan Pos. Alasan pemindahan ini karena Krapyak tidak strategis sebagai ibu kota, sebab terletak di sisi selatan daerah Bandung dan sering dilanda banjir ketika musim hujan.2

Dari aspek pemerintahan, Kota Bandung dipimpin oleh walikota dan wakil walikota serta dibantu sekretaris daerah, yang membawahi 3 asisten sekretaris daerah, 17

1 Kota Bandung, tersedia dari (artikata.com/arti-14767-bandung.html) diakses pada 19 September 2016, 19.00

WIB.

2 Sejarah Kota Bandung, tersedia dari (http://bandung.go.id/rwd/index.php?fa=pemerintah.detail&id=326) diakses

(21)

kepala dinas, 6 kepala badan, 8 kepala bagian, 1 kepala kantor, 4 perusahaan daerah, 1 inspektorat, 1 kepala satuan polisi pamong praja3.

Sebagai Ibu Kota Provinsi dan selalu menjadi tujuan wisata oleh masyarakat kota-kota di sekitarnya, Kota Bandung memiliki visi dan misi sebagai acuan dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakatnya, adapun visi dan misi Kota Bandung adalah sebagai berikut

1)Visi Kota Bandung4 :

“Terwujudnya Kota Bandung Yang Unggul, Nyaman, Dan Sejahtera.”

Penjabaran dari visi tersebut adalah sebagai berikut: Bandung:

Meliputi wilayah dan seluruh isinya. Artinya Kota Bandung dan semua warganya yang berada dalam suatu kawasan dengan batasan-batasan tertentu yang berkembang sejak tahu 1811 hingga sekarang.

Unggul:

Menjadi yang tetbaik dan terdepan dengan mempertahankan pencapaian sebelumnya serta menjadi contoh bagi daerah lain dalam upaya terobosan perubahan bagi kenyamanan dan kesejahteraan warga Kota Bandung.

Nyaman:

Terciptanya suatu kondisi dimana kualitas lingkungan terpelihara dengan baik memalui sinergitas lintas sektor sehingga dapat memberikan kesegaran dan kesejukan bagi penghuninya. Kota yang nyaman adalah suatu kondisi dimana berbagai kebutuhan dasar menusia seperti tanah, air dan udara terpenuhi dengan baik sehingga nyaman untuk ditinggali serta ruang-ruang kota dan infrastruktur pendukungnya responsif terhadap berbagai aktifitas dan prilaku penghuninya.

Sejahtera:

Lahir dan batin melui peningaktan partisipasi dan kerjasama sekutuh lapisan masyarakat, agar dapat memfungsikan disi sebagai hamba dan wakil tuhan di bumi.

3 Profil Kota Bandung, tersedia di (https://ppid.bandung.go.id/profil-kota-bandung/), di akses pada, 1 januari 2017. 4 Visi dan Misi Kota Bandung, Tersedia di (https://portal.bandung.go.id/posts/2005/08/01/QRl7/visi-dan-misi)

(22)

Kesejahteraan tidak hanya dalam konteks lahiriyah dan materi saja, melainkan juga sejahtera jiwa dan batiniah. Kesejahteraan dalam artinya yang sejati adalah keseimbangan hidup yang merupakan buah dari kemampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan dasar seluruh dimensi dirinya, meliputi ruhani, akal, dan jasad. Kesatuan elemen ini diharapkan mampu saling berinteraksi dalam melahirkan masa depan yang cerah, adil dan makmur. Keterpaduan antara sejahtera lahiriah dan batiniah adalah menifestasi dari sejahtera yang paripurna. Kesejahteraan yang seperti inilah yang akan membentuk kepercayaan diri tinggi pada masyarakat Kota Bandung untuk mencapai kualitas kehidupan yang semakin baik, sehingga menjadi teladan bagi kota lainnya.

2)Misi Kota Bandung5

1) Mewujudkan Bandung nyaman melalui perencanaan tata ruang, pembangunan infrastruktur serta pengendalian pemanfaatan ruang yang berkualitas dan berwawasan lingkungan.

2) Mengahadirkan tata kelola pemerintahan yang akuntabel, bersih, dan melayani 3) Membangun masyarakat yang mandiri berkualitas dan berdaya saing

4) Membangun perekonomian yang kokoh, maju dan berkeadilan.

Misi yang pertama:

Mewujudkan Bandung nyaman melalui perencanaan tata ruang, pembangunan infrastruktur serta pengendalian pemanfaatan ruang yang berkualitas dan berwawasan lingkungan. Misi ini dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan bagi seluruh warga Kota Bandung melalui pembangunan infrastruktur yang berkualitas dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

Misi yang kedua:

Mengahdirkan tata kelola pemerintahan yang akuntabel, bersih, dan melayani, dimaksudkan untuk mewujudkan pelayanan birokrasi pemerintah Kota Bandung yang prima, menjalankan fungsi birokrasi sebagai pelayan masyarakat yang didukung

5 Visi dan Misi Kota Bandung, tersedia di (https://portal.bandung.go.id/posts/2005/08/01/QRl7/visi-dan-misi)

(23)

dengan kompetensi aparat yang profesional dan sistem modern berbasis IPTEK menuju tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) dan pemerintahan yang bersih (clean Government).

Misi ketiga:

Membangun masyarakat yang mandiri, berkualitas dan berdaya saing, dimaksudkan untuk mewujudkan warga Kota Bandung yang sehat, cerdas, dan berbudaya yang mencirikan menigkatnya ketahanan keluarga, menurunnya jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), tingginya peran pemuda dalam membangun, menigkatkan prestasi olahraga tingkat nasional dan internasional, terpeliharanya seni dan warisan budaya.

Misi keempat:

Membangun perekonomian yang kokoh, maju dan berkeadilan. Misi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja, menciptakan iklim usaha yang kondusif, mengambangkan koperasi dan UMKM, mewujudkan pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan, mengingkatkan ketahanan pangan. Mengambangkan sistem pembiayaan kota terpadu.

2. Geografis Kota Bandung

Secara geografis, Kota Bandung terletak di tengah-tengah Provinsi Jawa Barat, serta berada pada ketinggian kurang lebih 768 meter di atas permukaan laut. Kota Bandung terletak tepat di jantung Pulau Jawa bagian barat. Lokasinya berada di sebuah

cekungan (plateau), di sebuah dataran tinggi yang memanjang secara horizontal dan dikenal

dengan nama Priangan atau Parahyangan (gabungan antara bahasa Sunda dan Jawa Kuno,

Para = RUMAH, Hyang = dewa, atau Rumah Dewa). Di sekeliling cekungan Bandung,

berjejal perbukitan dan pegunungan bertanah vulkanik yang subur serta memiliki panorama

alam yang spektakuler, dengan ketinggian antara 986 mdpl. (Gunung Lalakon) hingga 2.665

mdpl. (Gunung Papandayan).

(24)

Bandung tahun 2012 tercatat 2.655.160 jiwa, terdiri dari 1.358.623 laki-laki, dan 1.296.537 perempuan.

Bandung berada di koordinat 06°54’ Lintang Selatan dan 107°36’ Bujur Timur. Ketinggian

pada umumnya 768 meter di atas permukaan laut, dengan titik tertinggi di bagian utara kota,

1.055 mdpl, dan titik terendah di bagian selatan kota, 675 mdpl. Dengan kondisi geografis itu,

Bandung mengalami iklim tropis yang dipengaruhi iklim pegunungan yang sejuk dan lembab.

Sebagian besar hujan turun antara bulan Oktober hingga Maret, sedangkan musim kemarau

berlangsung anatara bulan April dan September walaupun dalam beberapa tahun terakhir

kondisi ini sudah tidak sesuai lagi. Suhu udara rata-rata adalah 23,5°C (dengan kisaran suhu

pada umumnya anatara 18°C hingga 29°C) dan kelembaban rata 76%. Curah hujan

rata-rata adalah 1.182,6 mm per tahun dengan hari hujan rata-rata-rata-rata 21,3 hari per bulan.

Adapun batas-batas administratif Kota Bandung adalah sebagai berikut: 1) Sebelah Utara berbatasan langsung dengan Lembang Kabupaten Bandung

2) Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung,

3) Sebelah Barat Berbatasan Langsung dengan Jalan Terusan Pasteur Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Selatan, dan Kota Cimahi

4) Sebelah Selatan berbatasan Dengan Kecamatan Dayeuh Kolot, Bojongsoang, Kabupaten Bandung

(25)

Sumber: http://bandung.go.id/rwd/index.php?fa=infokota.detail&id accessed on 1/1/2017, 10.00 WIB.

Sebagai ibu Kota Provinsi Jawa Barat, Bandung memiliki peran penting di bidang

pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya. Pada awal abad ke-21 ini, pamor Bandung dalam

skala nasional bertambah dengan berkembangnya industri kreatif di kota ini, menambah

sejumlah predikat yang telah melekat selama beberapa dekade sebelumnya sebagai kota

industri (utamanya tekstil dan pengolah makanan), pendidikan, dan jasa. Selain itu, dengan

lokasi yang tidak terlalu jauh dari Jakarta (132 km via Tol Cipularang), Bandung selalu

menjadi tujuan Favorit bagi pengunjung asal ibu kota dan sekitarnya.6

Sejak berdiri hingga pertengahan tahun 1864, Kota Bandung hanya berfungsi

sebagai ibu kota kabupaten. Kota ini sepenuhnya diperintah oleh R.A Wiranatakusumah II,

dilanjutkan Oleh Wiranata kusumah III (1829-1846), dan Bupati Wiranata IV (1846-1874).

Pada saat pemerintahan Wiratanakusumah IV ini Kota Bandung berubah menjadi Kota

Keresidenan Priangan, menggantikan Kota Cianjur yang rusak akibat meletusnya Gunung

Gede.

Gambar 2.2

Peta Wilayah Indonesia

(26)

Sumber: https://www.google.com.tr/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fjayamapan.files.wordpress.com

Sejak saat itu ada semacam dualisme pemerintahan di Kota Bandung yaitu

pemerintahan kabupaten, dan pemerintahan keresidenan, hal ini terjadi sampai Kota

Bandung menjadi kota dengan Pemerintahan Otonom yang pada waktu itu disebut gemeente,

pada tahun 1906.7

Gemeente Bandung dibentuk pada waktu Kabupaten Bandung diperintah oleh

Bupati ke 10 R.A.A Martanegara (1893-1918), dengan berdirinya pemerintahan dengan

sistem gemeente maka di Wilayah Bandung ada tiga bentuk pemerintahan, Kabupaten,

Keresidenan, dan Gemeente.

Dalam hal ini gemeente sebagai pemerintahan kota yang bersifat otonom, lebih

dominan daripada kedua pemerintahan lain di Kota Bandung. Pengelolaan Kota sepnuhnya

menjadi tugas dan keajiban pemerintah gemeente namn dalam prakteknya bupati tetap

berperan dalam kapasitas sebagai anggota dewan Kota. Sejak 1 oktober 1926, sebutan

gemeente diubah menjadi stadsgemeente yang berlangsung hingga akhir pemerintahan

Hindia Belanda.8

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Kota Bandung disebut Bandung shi.

Pada masa kemerdekaan, sebutan pemerintah Kota Bandung berubah-ubah sebagai berikut:

1) Haminte Bandung, dari 24 April 1946 – 11 Maret 1948 (Masa Negara Pasundan

dibawah Ris)

2) Kota Besar Bandung, sejak 15 Agustus 1950

3) Kotapraja Bandung, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang pemerintah daerah

4) Kotamadya Bandung, sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 dan surat edaran Walikota Kepala Daerah Bandung Nomor 637 Tanggal 19 Maret 1966.9

7 Pemerintah daerah kota Bandung , Sejarah Kota Bandung, dan Pemerintahannya. Hal 11. 8 ibid

(27)

5) Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1947 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah Hingga Tahun 1998 6) Pemerintah Kota Bandung, sejak tahun 1999 sampai sekarang, sesuai dengan UU

No 22 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Dari tahun 1906 hingga sekarang Kota Bandung telah mengalami beberapa pergantian Wlikota dalam masa Pemerintahannya, Berikut adalah nama Para walikota Bandung beserta Masa jabatannya.

Tabel 2.1

Daftar Walikota Bandung

No Nama Walikota Masa Jabatan

1 E.A Maurenbrecher 1906-1907

2 R.E Krijbroom 1907-1908

3 J.A Van Der Ent 1908-1910

4 J.J Verwijk 1910-1912

5 C.C.B Van Vleiner dan Van Bijveld 1912-1913

6 B.Coops 1913-1920

7 S,A Raitsma 1920-1921

8 B.Coops 1921-1928

9 Ir. J.E.A Van Wolsogen Kuhr 1928-1934

10 Wesselink 1934-1936

11 N. Beets 1936-1942

12 R.A Atmadinata 1942-1945

13 R. Sjamsurizal 1945-1946

14 Ir. Bratakusumah 1946-1949

15 R. Enoch 1949-1956

16 R. Prianatakusumah 1956-1966

17 R. Didi Jukardi 1966-1968

18 Hidayat Sukarmadijaya 1969-1971

19 R. Otje Djundjunan 1971-1976

20 H. Ucu Djunaedi 1976-1978

21 R. Husein Wangsaatmadja 1978-1983

(28)

23 H. Wahyu Hamijaya 1993-1998

24 AA Tarmana 1998-2003

25 H. Dada Rosada 2003-2013

26 Mochamad Ridwan Kamil 2013-sekarang

Pada Tahun 1960 Kota Bandung yang pada saat itu dipimpin oleh R. Prianatakusumah melakukan sebuah kebijakan baru, yakni sebuah kebijakan kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah Kota Bandung.

B. Dinamika politik Kota Braunschweig

Kota Braunschweig merupakan salah satu Kota terbesar ke tiga di Jerman, setelah Hanover dan Berlin. Luas Kota Braunschweig sendiri memiliki luas wilayah sebesar 192.09 Km² dengan titik tertinggi 111 meter di atas permukaan laut. Jumlah penduduk Kota Braunschweig sebanyak 252.768 jiwa dengan 36.3% penduduknya memeluk Agama Protestan, 13.7% Roman Katolik, 50% tanpa agama. Kota Braunschweig berada di garis lintang 52.2692, garis bujur

10.5211 52°16’9” utara, 10°31’16” timur. Jarak dari Kota Braunschweig ke Berlin adalah 198

km. Di Kota Braunschweig terdapat beberapa pendatang dari negara lain, diantaranya Turki sebanyak 5.272, Polandia 3.370, Itali 1.342, Tiongkok 1.078, Spanyol 720, Rusia 691, Yunani 519, Serbia 421. 10

The German Weekly Business News Magazine Wirtschaftswoche menobatkan Kota Braunschweig sebagai kota dengan perekonomian yang dinamis di Jerman. Kota Braunschweig merupakan pusat industri di Jerman Utara. Pada awalnya tepatnya pada abad ke 19 sampai abad ke 20 perekonomian Kota Braunschweig di dominasi oleh industri kereta api dan industri gula, namun seiring perkembangan Kota Braunschweig, perekonomian pun beralih ke industri otomotif, setelah berakhirnya perang dunia ke dua industri pengalengan pun juga ikut menghilang. Terdapat kantor pusat dan pabrik untuk produk seperti Volkswagen, Siemens, Bombardier Trasportation, dan Bosch terdapat di Kota Braunschweig 12 bernama The defunct truck and bus manufacturer Büssing, tidak hanya itu saja terdapat berbagai pabrik industri lainnya seperti label fashion NewYorker, Rumah penerbitan Westermann Verlag, Nordzucker,

10 About Braunschweig, available from: (http://www.braunschweig.de/english/city/about_braunschweig.html)

(29)

Volkswagen Financial Services dan Volkswagen Bank mempunyai kantor pusat di Kota Braunschweig sama halnya dengan the Volkswagen utility vehicle, terdapat pula kantor pusat dua perusahaan optik terbesar yaitu Voigtländer dan Rollei. Pada tahun 1980 sampai awal tahun 1990 perusahaan komputer Atari dan International Commodore juga memiliki cabang untuk hal pengembangan produksinya di Kota Braunschweig. Tidak hanya industri otomotif dan komputer saja, namun di Kota Braunschweig juga terdapat perusahaan piano yang terkenal dengan kualitas yang bagus di seluruh dunia, yaitu Schimmel dan Grotrian-Steinweg, perusahaan itu dibangun pada abad ke 19 dan berbasis di Kota Braunschweig.

Gambar 2.3

Map of City of Braunschweig

Sumber: http://www.braunschweig.de/english/city/townmap/bustravel.html. accessed on 1/4/2017, 05.00 WIB.

(30)

dan salah satu festival musik paling menonjol di Lower Saxony. Terdapat pula pasar natal tahunan yang dinamakan Weihnachtsmarkt yang dilaksanakan setiap bulan November akhir sampai dengan Desember di pusat Kota Braunschweig, pada tahun 2008 pengunjung dari pasar natal ini mencapai angka 900.000 pengunjung.11

Seperti halnya Kota Bandung, Kota Braunschweig memiliki bangunan peninggalan sejarah abad ke-19. Bangunan-bangunan itu pada awalnya digunakan sebagai perkantoran dan kini digunakan sebagai tujuan wisata.

The recently rebuilt Residential Palace with its elaborately reconstructed

facade documents Braunschweig’s role as the residence of the Guelph. This building was restored using many of the original parts of the historical Guelph Palace that was initially constructed between 1833 and 1841.The refurbished quadriga on the roof of the palace is known as one of the largest of its kind in Europe. The Residential Palace serves also as the newly combined

headquarters for several of the city’s cultural departments and reflects Braunschweig’s appreciation of its lively and varied art- and cultural scene12.

[image:30.612.76.535.493.747.2]

Selain itu, sejarah tentang Braunschweig tidak bisa dilepaskan dari lahirnya para ilmuan dunia, tercatat ada beberapa ilmuan yang terlahir dari kota ini, salah satunya adalah Carl Friedrich Gauss. Sejarah ini tercipta tidak bukan karena memang Braunschweig ini merupakan salah satu kota pelajar yang ada di Jerman, dan juga terdapatnya universitas-universitas yang mempunyai reputasi yang bagus di bidangnya.

Gambar 2.4 Peta Negara Jerman

11 Braunschweig, Die Lowenstadt, Royal Heritage. Available from:

(http://www.braunschweig.de/english/city/welfen/startseite_welfenresidenz.html) accessed on 1/4/2017. 07.00 WIB

12Braunschweig, Die Lowenstadt, Royal Heritage. Available from:

(31)

Sumber: http://www.braunschweig.de/english/city/townmap/bustravel.html.

C.Kerjasama Sister City Bandung dan Braunschweig

Sister city merupakan salah satu bentuk kerjasama internasional yang mempunyai peranan bagi perkembangan masyarakat di daerah dimana jalinan hubungan kerjasama yang tertuang dalam sister city atau dapat disebut juga Mitra Kota dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah dan masyarakat di Indonesia. Menurut Sidik Jatmika, kota kembar atau sister city

adalah hubungan kerjasama “Kota Bersaudara” yang dilaksanakan antara pemerintah daerah tingkat II, pemerintah kota administratif dengan pemerintah setingkat di luar negeri.13

Dalam dunia internasional memang ada dua Istilah untuk kerjasama model ini, sister city dan twining city. Sister city adalah suatu bentuk kerjasama yang melibatkan kota di suatu negara dengan kota di negara lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan rasa persaudaraan yang erat dan saling menguntungkan. Berdasarkan pendapat di atas, sister city dapat meningkatkan volume kerjasama dengan perkembangan di berbagai bidang kerjasama yang dianggap perlu bagi kesejahteraan masyarakat di suatu Kota

Konsep sister city, yang pertama kali dilakukan dalam sejarah dilakukan di Benua Eropa antara Kota Keighley, Yorkshire Barat, Inggris dengan Kota Poix Du Nord, Perancis pada tahun 1920 menyusul berakhirnya perang dunia pertama, akan tetapi kerjasama tersebut belum resmi karena belum mengadakan penandatanganan perjanjian hingga tahun 1986. Pada awal perkembangannya di tahun 1956, Presiden Amerika Serikat, Dwight Eisenhower, melaksanakan American Sister City Program dimana program tersebut bertujuan untuk

(32)

meningkatkan hubungan kerjasama antar negara bagian di Amerika Serikat, untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.14

Dalam perkembangannya ada istilah sister city dan twining city, istilah sister city/province sendiri dikenal sebagai kerjasama antar Kota yang bersifat luas, dan disepakati secara resmi dan bersifat jangka panjang. Pengertian seperti itu lebih disukai oleh kelompok kota-kota di Amerika Serikat yang tergabung dalam Sister Cities International yang berpusat di Kota Washington. Oleh karena itu, istilah sister city lebih banyak digunakan di Amerika Serikat dan kota-kota mitranya dalam Dunia internasional. Sister City International didirikan pada 1956 sebagai bagian dari The National League of Cities yang kemudian memisahkan diri menjadi korporasi non-profit pada 1967.

Sedangkan Twining City lebih banyak digunakan oleh negara-negara Eropa yang tergabung dalam Council of European Municipalities and Regions di bawah Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai mitra internasionalnya, Council of European Municipalities and Regions tersebut didirikan pada tahun 1951 untuk mempromosikan kerjasama antar kota dan komunitas Eropa sebagai driving force untuk pertumbuhan dan pembangunan, kerjasama sister city/province sendiri terbentuk karena adanya persamaan kedudukan dan status administrasi, persamaan ukuran luas wilayah dan fungsi, persamaan karakteristik sosio-kultural dan

topografi kewilayahan, persamaan permasalahan yang dihadapi, Komplementaritas antara kedua pihak dengan tujuan untuk membangun hubungan kerjasama dalam pertukaran kunjungan pejabat atau pengusaha yang nantinya akan menimbulkan kerjasama dalam hubungan barang dan jasa.

Sementara di Indonesia istilah ini digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri adalah sister city, dengan keluarnya surat edaran Menteri Dalam Negeri No.193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (sister city) dan Antar Provinsi (sister province) dalam dan luar negeri. Di Indonesia sendiri konsep sister city lebih ditujukan untuk pembangunan ekonomi, akan tetapi bidang-bidang seperti pendidikan dan budaya termasuk salah satu isu yang penting dalam skema sister city. Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2010, saat ini setidaknya

14 Sister City, History, available from (http://www.sister-cities.org/mission-and-history) accessed on 1/5/2017, 05.00

(33)

47 pemerintah kota dari 33 provinsi di Indonesia telah melakukan hubungan kemitraan sister city, salah satunya Kota Bandung, yang merupakan pelopor sister city di Indonesia. 15

Sister city di Kota Bandung sendiri, diawali pada tanggal 2 Juni 1960 yang ditandai dengan ditandatanganinya Piagam Persahabatan Bandung-Braunschweig, oleh Walikota Bandung pada saat itu yakni, R.Priatnakusumah serta Prof. Dr. George Eckert yakni utusan Kota Braunschweig di Bandung. Dengan adanya kerjasama antar kedua kota tersebut, dihasilkan beberapa kesepakatan kerjasama

15 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara Pembentukan

(34)

BAB III

DASAR HUKUM PEMBENTUKAN KERJASAMA SISTER CITY

KOTA BANDUNG DENGAN BRAUNSCHWEIG

Bab ini penulis menjelaskan tentang dasar hukum pembentukan kerjasama sister city di Kota Bandung, dan bagai mana proses mekanisme pembuatnnya sehingga bisa menghasilkan perjanjian MoU dan menjelaskan tentang Hambatan-hambatan dalam kerjasama sister city

Bandung-Braunschweig ini.

A. Dasar Hukum Pembentukan Kerjasama Sister City di Kota Bandung

Pada dasarnya MoU adalah tipe perjanjian/kontrak yang diadopsi dari kebiasaan internasional yang menginginkan kepraktisan. Terhadap suatu MoU, selain istilah MoU yang sering dipakai sebagai singkatan dari Memorandum of Understanding, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya nota kesepahaman atau nota kesepakatan. Tetapi, walaupun begitu istilah MoU tetap merupakan istilah yang paling populer dan lebih bersifat internasional.1

Pengertian MoU secara umum merupakan suatu pernyataan dimana masing-masing pihak melakukan penandatanganan saling pengertian dan saling menyetujui sebagai suatu panduan awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara mereka. MoU sengaja dibuat ringkas karena yang menandatangani MoU tersebut merupakan pihak-pihak masih dalam negosiasi awal, akan tetapi daripada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah MoU. Oleh karena itu, MoU sering kali disebut sebagai perjanjian tahap awal untuk menempuh level perjanjian yang lebih tinggi lagi tingkatannya.2

Kewenangan Kota Bandung dalam menyelenggarakan sebuah Memorandum of Understanding dengan pemerintah Braunschweig tidak terlepas dari adanya kewenangan otonomi daerah dan aturan perundang-undangan dari pemerintah pusat. Otonomi daerah memberi kewenangan tersendiri bagi pemerintah ditiap-tiap daerah daerah terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Mou antara Kota Bandung dengan Kota Braunschweig, merupakan kewenangan dari perundang-undangan negara Indonesia yang termuat dalam pasal

1 The definition of MoU, tersedia di: ( http://www.businessdictionary.com/definition/memorandum-of-understanding-MOU.html) diakses pada 1/5/2017, 09.00 WIB

(35)

UU. Nomer 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional.3 Selain perangkat hukum tersebut, menyangkut hubungan kerjasama luar negri oleh pemerintah daerah telah pula berlaku Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang “Pemerintah Daerah”. Dimana salah satu ketentuannya telah menimbulkan pandangan bahwa kerjasama luar negri oleh pemerintah daerah merupakan bagian dari otonomi daerah.

Mou merupakan salah satu bentuk dari perjanjian internasional dalam menjalin kerjasama dengan pihak asing yang terbilang praktis. Perjanjian internasional menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum intenasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dengan menimbulkan hak dan kewajiban dalam bentuk hukum publik, serta tidak langsung, hal ini memerlukan keterlibatan public atau masyarakat.

Diawali dengan saran dari Prof. Dr. George Eckert, untuk mengadakan kerjasama antara UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), yang waktu itu masih bernama P.T.P.G Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) dengan Padogogishe hochsule atau sekolah keguruan di Kota Braunschweig. Ini adalah menjadi langkah awal walikota Bandung saat itu R.Priatnakusuma untuk menjalin kerjasama sister city. Dimana pemerintah Braunschweig sendiri melihat hal ini sebagai moment yang menarik, sehingga pada tahun 2000 diadakan pembaharuan Memorandum of Understanding dalam bentuk letter of intent dengan lebih memperluas cakupan dalam kerjasama sister city, dimana perluasan ini mencakup kerjasama, ekonomi, budaya, dan pendidikan.4

Kerjasama antara Bandung denga Braunschweig ini adalah bertujuan untuk meningkatkan potensi-potensi yang ada di Kota Bandung. Sehingga dalam hal ini Kota Bandung mengadakan kerjasama dengan Braunschweig dalam skema Sister City.Jadi dalam hal ini, pada tahun 2000 Kota Bandung bersama-sama dengan Kota Braunschweig memperbaharui perjanjian pengganti dalam bentuk MoU (Memorendum Of undertanding). MoU ini adalah alat hukum dalam perjanjian. Dalam MoU, ada 3 (tiga) sektor yang menjadi subjek dari kemitraan antara Bandung dan Braunschweig. Sektor adalah:

1. Ekonomi, Industri, Perdagangan, dan Wisata

3 Article Act. Number 24 of 2000 on the international treaty, SETNEG, 2001 4 Bandung, Sistercity Bandung and Braunschweig, tersedia di:

(36)

2. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan administrasi

3. Kesejahteraan Sosial, Budaya, Pemuda, dan Olahraga.

MoU ini ditandatangani pada tanggal 18 Juni 2000, ini merupakan pembaharuan MoU yang yang pertama yaitu pada tahun 1960 yang mana pada saat itu bidang yang dikerjasamakan masih terbatas dan hanya mencakup bidang pendidikan saja.

Kerjasama sister city pada umumnya dimotivasi oleh keinginan Kota Bandung untuk meningkatkan potensi yang dimiliki oleh Bandung. Terkait dengan keinginan, memang untuk mengadakan kemitraan sister city ada banyak pertimbangan lain di kota-kota asing yang memiliki kualitas unggul tidak kalah dengan Kota Braunschweig. Namun dalam kenyataannya, Bandung lebih memilih untuk melakukan kemitraan dengan Braunschweig sebagai partner

sister city pertama. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan umum dan karakteristik keuntungan yang sama-sama ada di Kota Bandung dan Braunschweig.

Selain itu, kemitraan yang dilakukan di Bandung merupakan upaya untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Peraturan Kota Bandung, kerjasama daerah merupakan upaya untuk menyelaraskan pembangunan daerah, kerjasama daerah adalah untuk mensinergikan potensi antar daerah dan atau badan hukum, dan untuk meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi, dan kapasitas fiskal.5

Implementasi kerjasama harus mematuhi prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam peraturan itu sendiri. Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 Tahun 2010 tentang organisasi Kerjasama Regional disebutkan bahwa prinsip-prinsip kerjasama harus efisien, efektif, sinergi, dan transparan.

Efisien, yang berarti kerjasama dibangun untuk dapat mengurangi biaya tetapi mendapatkan hasil yang maksimal. Efektivitas, yang berarti kerjasama harus dapat memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal dan bertanggung jawab, sehingga hasilnya adalah kesejahteraan rakyat. Sinergi, berarti kerjasama merupakan upaya untuk mencapai harmonisasi antara pemerintah daerah, masyarakat. Memiliki itikad baik, bahwa kesediaan

(37)

para pihak untuk serius melaksanakan kerjasama, dan kerja sama ini harus mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal pelaksanaan kerjasama harus memberikan sebuah dampak positif pada upaya untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan, dan memperkuat kesatuan Republik Indonesia.

Transparansi, di dalam kerjasama kepercayaan adalah nomor satu, meskipun demikian adanya rasa ketidakpercayaan dalam suatu kerjasama adalah hal normal, ketika masalah terjadi, adalah mungkin bahwa potensi konflik terjadi, sehingga transparansi yang merupakan salah satu cara untuk mengurangi potensi konflik, dalam artian, kerjasama harus terbuka satu sama lain, ini akan menciptakan keadilan dalam kerjasama, yaitu persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan pihak dalam melaksanakan kerjasama dan aturan hukum, itu semua yang bisa dilakukan mengikat secara hukum bagi para pihak untuk bekerja sama, yang paling penting dalam bidang kerjasama, saling m

Gambar

Table 1.1
Tabel 1.2
Gambar 2.1 Peta Kota Bandung
Gambar 2.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Supriyanto, 2003, Departemen Luar Negeri dan Pemerintah Daerah dalam Menyelenggarakan Kerjasama Internasional Sister City , dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol.