• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERNASIONALISASI KASUS PELANGGARAN HAM DI ACEH PADA ERA 1990-2004 OLEH ORGANISASI INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERNASIONALISASI KASUS PELANGGARAN HAM DI ACEH PADA ERA 1990-2004 OLEH ORGANISASI INTERNASIONAL"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Internationalization of Human Right Abuse in Aceh during 1990-2004 by International Organization

Disusun Oleh : RIZKY DIAN AYU

20120510358

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

Internationalization of Human Right Abuse in Aceh during 1990-2004 by International Organization

Disusun Oleh : RIZKY DIAN AYU

20120510358

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

i

by International Organization

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : RIZKY DIAN AYU

20120510358

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(4)

ii

PADA ERA 1990-2004 OLEH ORGANISASI INTERNASIONAL Internationalization of Human Right Abuse in Aceh during 1990-2004

by International Organization

Disusun Oleh : RIZKY DIAN AYU

20120510358

Telah di pertahankan, diinyatakan lulus dan disahkan dihadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Univiersitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada : Hari/tanggal : Selasa, 30 Agustus 2016

Pukul : 13.00 Tempat : Ruang HI.B

TIM PENGUJI Ketua Penguji

Adde Marup Wirasenjaya, S.IP,M.A

Penguji I Penguji II

(5)

iii

pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain-kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 05 September 2016 Yang Membuat Pernyataan

(6)

iv

baru yakin setelah kita bisa menyelesaikan nya dengan baik”

“Saat menghadapi kesulitan, beberapa orang akan tumbuh sayap, sedangkan beberapa yang lainnya mencari tongkat penyangga

-Harold W. Ruoff

“Mungkin siapapun bisa membatasi kebebasan ku, tapi mereka tidak bisa membatasi kebahagian ku”

(7)

v

sebagai pihak yang telah bersusah payah dan berusaha sekuat tenaga melawaan rasa malas ketika menyelesaikanya 9 bulan yang lalu. Terimakasih kepada diri saya sendiri karena walaupun kadang suka menyepelekan hal-hal kecil nan penting, tetapi tetap berusaha menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan lapang dada.

 Kemudian, skripsi ini saya persembahkan untuk my Mommy, and Boss Papi, yang secara ikhlas dan penuh dengan kerelaan hati, telah menjadi donatur dan sponsor segala bentuk kegiatan perkuliahan, dan non perkuliahan yang kadang mungkin tak masuk akal laporan pertanggungjawaban dananya. Terimakasih Mom, Pap, untuk kasih sayang dan belas kasih nya dengan memberikan saya kehidupan yang layak dan berkecukupan, tidak hanya menempatkan saya sebagai anak, tetapi menjadikan saya seorang sahabat dan partner. Terimakasih karena terus menjadi penguat ketika saya benar-benar lemah, dan dan menjadi rumah tempat saya kembali dan berlindung.

 Untuk adik-adik ku, si cantik Chyntia Via Dora, si penurut Okvita Ade Rachmi, dan cinta keduaku Mahadi Reza Pahlevi, I Love You, deep... deep... and deep... kakak Ayu cuma mau berpesan sama kalian untuk mendengarkan pesan-pesan kakak dikemudian hari yaaa... untuk kakak ku yang bijaksana Rindhy Artika Rani, Rin... aku lulus sudah. Hahhahhahaha... lulus juga akhirnya adekmu ini. Terimakasih Rin, sudah menjadi sosok kakak yang menyemangati dengan cara yang kadang agak menyebalkan.  Dan terakhir, skripsi ini saya persembahkan untuk para tetanggaku, dan

saudara-saudara jauhku yang selalu nyinyir dengan pertanyaan “kapan lulus

(8)

vi

maupun rohani, melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya yang begitu berlimpah kepada saya sampai pada hari ini. Memberikan kemudahan pada setiap urusan saya, membuka jalan pada setiap permasalahan yang saya hadapi.

 Kepada orang yang mencetuskan adanya halaman persembahan, dan halaman ucapan terimakasih ini. Terimakasih karena telah mencetuskan adanya halaman khusus agar saya bisa mengucapkan rasa syukur dan terimakasih tanpa harus menggunakan kalimat formal yang kaku dan membosankan. Setidaknya saya dapat mengungkapkan kata-kata yang tak terucap ini dengan tulisan yang ekspresif.

 Kepada pembimbingku, Bapak Adde Marup Wirasenjaya yang telah membimbing, memberi pengarahan, dan memberikan dukungan diam-diam yang ditunjukkan dengan penekanan secara mental (bukan dalam artian yang negatif tentunya) dari awal penulisan skripsi ini. Terimakasih bapak pembimbingku yang sangat budiman namun kadang agak sedikit jahat, karena sudah meluangkan waktunya (yang bahkan ketika sudah mau pulang masih sudi untuk setidaknya melirik tumpukan kertas yang semua isinya masih berupa sampah itu), terimakasih untuk segala masukan-masukan nya, terimakasih untuk sederet kalimat (yang kalau dikumpulkan dalam bentuk tulisan, mungkin sudah menjadi novel best seller) yang bagi orang lain mungkin murkaan, tetapi bagi saya merupakan motivasi yang membangun, dan pengajaran untuk saya berlatih mempertahankan diri. Sekali lagi terima kasih bapak. Sarangheeee...

(9)

vii

nya kemaren) dan kekasih tercinta nya Asep Saputra, yang banyak memberikan dukungan sekaligus tekanan batin dengan pamer-pamer

kemesraan pada saya yang dimata kalian sebagai “Tuna Asmara” ini.

Kalian jahat!!! Aku benci kalian. Enyahlah. Kepada Tia Junita, teman sebangku di SMA dulu, dan masih jadi teman sebangku di abang-abang bakso langganan kita.

 Kepada sahabat sekaligus musuhku. Utari Dina Sari (kau bilang aku patner in crime mu? Mana sudi), Annisa yang galau tiada henti prihal skripsinya, semoga hubungan percintaan mu tak seribet permasalahan skipsi mu ya nduk. Untuk Corinna, Dwi Aulia yang sering banget minjemin laptopnya buat segala urusanku yang berhubungan dengan kampus, adik-adik angkatku yang ku sayang, terimakasih untuk semua ke khawatiran kalian ya. Terimakasih untuk sahabat gak jelas ku Galih Herwin, dan si songong Gregorius Hanung. Gimanapun Kalian adalah bagian dari perjalanan hidupku diperantauan, kalian juga bukan Cuma sekedar teman, sahabat, dan juga musuh. Kalian itu unbiologic brothers and sisters.

 Kepada teman-teman sekos-kosan ku, Aulia Rachman, Annisah Nurdiasa, Wening, Syasah, Shinta, dan Nur Khasana. Terimakasih karna kalian sering kerepotan mendadak jadi perawat yang ngurusin aku waktu aku sakit. Makasih wankawan.

(10)

viii

selesai kita tetep gak bisa balikan. Maap yaaaa...

(11)

ix

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan Hidayah-Nya yang senantiasa diberikan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi junjungan kita, Muhammad Rasulullah SAW yang telah membawa umat Islam menuju jalan-Nya.

Skripsi yang berjudul Internasionalisasi Kasus Pelanggaran Ham di Aceh pada Era 1990-2004 oleh Organisasi Internasional merupakan karya tulis ilmiah penulis sebagai syarat kelengkapan dalam mencapai gelar Sarjana (S-1) pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari banyak dukungan berbagai pihak, sehingga dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Penulis Percaya masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu, diharapkan koreksi dan saran dari pembaca untuk menghasilkan karya yang lebih baik dikemudian hari. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat. Terima Kasih

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Yogyakarta, 05 September 2016

(12)

x

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Kerangka Pemikiran ... 9

1. Perspektif Philip Eldridge ... 9

2. International Channeling ... 12

D. Hipotesis ... 13

E. Tujuan Penelitian... 13

F. Metode Penelitian ... 14

G. Jangkauan Pembahasan ... 15

H. Rencana Sistematika Penulisan ... 15

BAB II BENTUK - BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI ACEH PADA PERISTIWA DAERAH OPERASI MILITER A. Kasus Pelanggaran HAM Yang Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia Terhadap Masyarakat Aceh. ... 18

B. Jenis-Jenis Pelanggaran HAM yang Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ... 25

C. Terhambatnya Kegiatan Penyaluran Bantuan oleh LSM Lokal Maupun LSM Internasional dan Keterbatasan Media Massa dalam Melakukan Peliputan ... 29

BAB III POSISI INDONESIA DI MATA DUNIA INTERNASIONAL DALAM KASUS PELANGGARAN HAM DI ACEH A. Dampak dan Pengaruh Pelanggaran HAM di Aceh Terhadap Posisi Indonesia Dimata Dunia Internasional. ... 40

B. Pandangan PBB Terhadap Tindakan Pemerintah Indonesia ... 43

C. Peran Amnesty Internasional Sebagai NGO yang Bersifat Advokatif dan Sebagai Mediator Perdamaian GAM-RI ... 46

1. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ... 48

(13)

xi

Kasus Pelanggaran HAM di Aceh ... 57

1. Keterlibatan Henry Dunant Centre (HDC) dan Kesepakatan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan) dan peran Human Right Watch (HRW) ... 58

2. Crisis Management Initiative (CMI) dan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinky ... 74

B. Keterlibatan NGO‟s Domestik ... 76

1. Kontras ... 76

2. Aliansi Masyarakat Sipil Nusantara ... 78

(14)

xii LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa GAM : Gerakan Aceh Mardeka DOM : Daerah Operrasi Militer RI : Republik Indonesia

TNI : Tentara Nasional Indonesia HRW : Human Right Watch HDC : Henry Dunant Centre

(15)

xiii

di Aceh. Sebagai mediator yang membahas isu-isu kemanusiaan, NGO‟s Internasional, dan LSM lokal menyadari bahwa tindakan pengabaian yang dilakukan oleh pemeintah RI terhadap masyarakat sipil aceh semestinya mendapat sorotan tajam. Terlebih lagi karena pemerintah RI berupaya untuk menutupi isu pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak militer terhadap masyarakat sipil, yang semestinya justru mendapat perlindungan sebagai warga Negara. Meskipun

NGO‟s dan LSM lokal berupaya untuk menjadi mediator dan memediasi kedua belah pihak, antara GAM-RI, namun kesepakatan damai selalu berujung pada tindakan profokasi yang mengakibatkan konflik terus kembali terjadi. Meskipun

demikian, NGO‟s Internasional dan LSM lokal tetap terus mengupayakan agar

(16)

xiv

a mediator to discuss humanitarian issues, NGO's International and local NGOs realize that the act of negligence committed by Indonesian Government against the civilian population of Aceh should be under the spotlight. Moreover, because the Indonesian government sought to cover up the issue of rights violations committed by the military against civilians, who should instead receive protection as citizens. Although the NGO's and local NGO working to become a mediator and mediates both sides, between GAM and TNI, but a peace deal always result in action provocations that lead to conflicts continue to re-occur. Nonetheless, NGO's International and local NGOs continue to strive for the establishment of peace between GAM and TNI, so that civilians who become the victims of these conflicts can return to their lives as before.

(17)
(18)

xiii

di Aceh. Sebagai mediator yang membahas isu-isu kemanusiaan, NGO‟s Internasional, dan LSM lokal menyadari bahwa tindakan pengabaian yang dilakukan oleh pemeintah RI terhadap masyarakat sipil aceh semestinya mendapat sorotan tajam. Terlebih lagi karena pemerintah RI berupaya untuk menutupi isu pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak militer terhadap masyarakat sipil, yang semestinya justru mendapat perlindungan sebagai warga Negara. Meskipun

NGO‟s dan LSM lokal berupaya untuk menjadi mediator dan memediasi kedua belah pihak, antara GAM-RI, namun kesepakatan damai selalu berujung pada tindakan profokasi yang mengakibatkan konflik terus kembali terjadi. Meskipun

demikian, NGO‟s Internasional dan LSM lokal tetap terus mengupayakan agar

(19)

xiv

a mediator to discuss humanitarian issues, NGO's International and local NGOs realize that the act of negligence committed by Indonesian Government against the civilian population of Aceh should be under the spotlight. Moreover, because the Indonesian government sought to cover up the issue of rights violations committed by the military against civilians, who should instead receive protection as citizens. Although the NGO's and local NGO working to become a mediator and mediates both sides, between GAM and TNI, but a peace deal always result in action provocations that lead to conflicts continue to re-occur. Nonetheless, NGO's International and local NGOs continue to strive for the establishment of peace between GAM and TNI, so that civilians who become the victims of these conflicts can return to their lives as before.

(20)

1 A. Latar Belakang Masalah

(21)

Operasi militer Indonesia di Aceh yang terjadi pada rentang waktu 1990-1998 dan berlanjut pada tahun 2003-2004, disebut Operasi Jaring Merah yang merupakan operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus1998. Operasi ini diturunkan oleh pemerintah untuk melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), dimana Tentara Nasional Indonesia (TNI) diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM hingga rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa.Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM. Tindakan semena-mena ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejak tahin 1990-2004.

(22)

Perempuan juga menjadi sasaran pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan secara tidak sah, penahanan secara sewenang-wenang dan penyiksaan saat berlangsungnya keadaan darurat militer. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami pemerkosaan.Tidak hanya itu, tindak kekerasan fisik hanya merupakan satu aspek dari penderitaan yang dialami kaum perempuan di Aceh. Konflik yang berlangsung bertahun-tahun telah pula mendatangkan kesulitan ekonomi dan keterasingan. Ribuan wanita menjadi janda dalam tahun-tahun ini

sebagai akibat pembunuhan secara tidak sah dan “menghilangnya” suami

-suami mereka. Antara tahun 1989 dan 1998, Komnas HAM memperkirakan bahwa 3,000 perempuan menjadi janda sebagai akibat langsung konflik ini. Mengingat besarnya jumlah orang yang terbunuh saat darurat militer dan sesudahnya, maka angka ini bisa dianggap telah pula meningkat secara signifikan sejak Mei 2003. Sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.

(23)

Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975).

Sekalipun darurat militer telah dihentikan, operasi-operasi militer terus dilakukan oleh TNI. Diperkirakan 2.000 orang terbunuh sejak Mei 2003. TNI mengatakan kebanyakan korban adalah tentara GAM, namun kelompok-kelompok HAM internasional dan kelompok lsm lokal, termasuk komisi HAM, menemukan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil. Bahkan wanita, lansia dan anak-anak. Bukti menunjukkan bahwa TNI tidak lagi membedakan antara anggota GAM dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan GAM turut bersalah atas kebrutalan yang terjadi di Aceh.

Sementara itu, para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran HAM yang luas di Aceh, yang ditutupi pada publik dan pengamat selama operasi militer ini. Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia juga dianggap sulit dilakukan dan pengadilan yang terjadi hanyalah melibatkan prajurit berpangkat rendah yang mengklaim hanya menjalankan perintah dari atasan mereka untuk melancarkan serangan militer tersebut.

(24)

hidup, hak kebebasan dan hak milik1, bahkan telah ada deklarasi manusia sedunia yang menjamin hal tersebut2. Tetapi, militer Indonesia dianggap telah melanggar hak-hak tersebut.

Indonesia dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena mengabaikan para korban yang merupakan warga sipil. GAM tumbuh dan berkembang di Aceh, tetapi bukan berarti seluruh warga Aceh merupakan anggota GAM. Banyak dari warga Aceh yang tidak memiliki keinginan untuk memardekakan diri dan tetap mengingin kan menjadi kesatuan NKRI. Sayangnya, pemerintah mengabaikan hal tersebut dan justru malah mengabaikan perlindungan yang semestinya diberikan pada warga sipil Aceh.

Kekacauan ini mengundang beberapa NGO/LSM yang bergerak dibidang kemanusiaan (termasuk Amnesty Internasional) untuk turut menghentikan kekejaman dan menuntut pemerintah untuk memberikan keadilan pada para korban. Militer Indonesia maupun GAM sudah melakukan pelanggaran HAM berupa pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa yang dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Konflik Aceh yang terjadi pada 1989 hingga 2004 sudah menelan korban jiwa hingga 30 ribu jiwa. Dalam laporan bertajuk Time to Face the Past‘, Amnesti Internasional mendokumentasikan kegagalan otoritas nasional dan lokal untuk menghadirkan kebenaran. Meski pihak

1

Miriam Budiardjo,”Pengantar Ilmu Politik”,(Gramedia Pustaka Utama,2008), hlm212 2

(25)

Indonesia sudah memberikan bantuan finansial namun korban masih membutuhkan pemulihan penuh dan menuntut permintaan maaf dari pemerintah Indonesia (Isabelle Arradon-2013).

Kegagalan negara dalam mengontrol dan mengatasi konflik telah menciptakan ruang tersendiri bagi LSM di tingkat lokal, nasional dan regional, maupun internasional untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh negara itu. Kegagalan negara juga mendorong LSM internasional untuk masuk kekawasan ini guna membantu LSM lokal maupun nasional dalam mengatasi konflik. Meski boleh dikatakan bahwa dampak intervensi mereka masih sangat terbatas, LSM semakin lama semakin menjadi alteratif penting untuk menjadi agen resolusi konflik yang sangat peting. Berada ditengah-tengah antara negara dan masyarakat, LSM memiliki peran untuk melayani kebutuhan masyarakat menjadi alternatif pencegahan konflik kekerasan dan mendorong perdamaian jangka panjang.

(26)

Amnesty International sendiri adalah sebuah organisasi non-pemerintah berskala internasional yang bergerak dibidang kemanusian. Amnesty Internasional bertujuan untuk mempromosikan dan mengkampanyekan isu-isu pelanggaran HAM, yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights dan dalam standar internasional lainnya.

Amnesty Internasional didirikan pada tahun 1961 oleh seorang pengacara Inggris bernama Peter Benenson. Amnesty Internasional juga mengkampanyekan pembelaan terhadap hak-hak manusia yang diabaikan, memastikan keadilan dan mengadakan persidangan untuk tawanan politik, berupaya untuk menghapuskan hukuman mati, penyiksaan dan berbagai macam tindakan kekerasan yang kejam terhadap tahanan. Menentang segala bentuk pembunuhan, penculikan, kekerasan terhadap etnis atau agama minioritas dan dari pelecehan seluruh hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh kelompok-kelompok tertentu.

(27)

Amnesty Internasional membantu setiap orang, baik individu, maupun kelompok yang tertindas untuk memberi dukungan dan mengklaim hak-hak mereka melalui pendidikan, pelatihan, kampanye, bahkan melobi pemerintah dan kelompok-kelompok kuat (seperti perusahaan besar) untuk memberikan/mengeluarkan kebijakan atas hak asasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Amnesty Internasional beranggapan bahwa pihak-pihak yang dianggap mempengaruhi terjadinya pelanggaran hak asasi semestinya harus menghormati hukum internasional.

Berdirinya Amnesty Internasional sendiri terjadi ketika seorang pengacara Inggris yang bernama Peter Benenson marah ketika dua siswa Portugis dipenjara karena bersulang untuk merayakan kebebasan. Peter Benenson menulis sebuah artikel di surat kabar The Observer dan meluncurkan kampanye profokatif yang kemudian mendapatkan respon yang luar biasa dari masyarakat. Artikel tersebut kemudian dicetak ulang di surat kabar di seluruh dunia. Tindakan tersebut adalah awal mencetuskan ide bahwa setiap orang di manapun keberadaan nya, bisa bersatu dalam solidaritas untuk keadilan dan kebebasan.

Only when the last prisoner of conscience has been freed, when the

last torture chamber has been closed, when the United Nations Universal Declaration of Human Rights is a reality for the world’s people, will our

(28)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah skripsi sebagai berikut :

“Bagaimana upaya Organisasi Internasional dalam

menginternasionalisasikan isu pelanggaran HAM yang terjadi pada Daerah Operasi Militer di Aceh sejak 1990-2004?”

C. Kerangka Pemikiran

Penulis menggunakan beberapa teori sebagai penunjang dalam pembahasan makalah proposal skripsi dan sebagai jawaban atas rumusan masalah dari judul yang diambil. Studi ilmu hubungan internasional sendiri memiliki banyak teori-teori dan konsep yang nantinya akan mendukung penyelesaian dari masalah/studi kasus yang diangkat, tergantung dari sudut pandang siapa permasalahan tersebut dapat dijelaskan. Berikut kerangka pemikirannya.

1. Perspektif Philip Eldridge

Philip Eldridge (dalam corrothers and Suryatna, 1995) mengajukan tiga model hubungan antara NGO dengan negara, dilihat dari dimensi orientasi NGO dalam melakukan kegiatannya.

(29)

hal-hal yang bersifat politis. Namun mereka mempunyai perhatian yang sangat besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. NGO seperti ini, pada umumnya tidak begitu besar dan bersifat lokal. Namun demikian, tidak jarang mereka terlibat dalam kegiatan yang besar dan selalu memelihara dukungan pada tingkat grassroots.

b. Model yang kedua disebut high level politics: grassroots mobilization. NGO yang termasuk dalam kategori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik. Kegiatan-kegiatan mereka tidak jarang berhubungan dengan usaha untuk

mendukung “peningkatan kesadaran politik” masyarakat. Mereka

pada umumnya tidak begitu saja dapat bekerjasama dengan pemerintah, sekalipun ada diantaranya yang telah mendapat proyek-proyek penelitian dari pemerintah. NGO dalam kategori ini bersifat advokatif, terutama dalam memobilisasi masyarakat guna mendapat tempat dalam kehidupan politik.

(30)

akibat dari meningkatnya kapasitas masyarakat, bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah. Mereka juga tidak mau terlibat dalam kegiatan yang berskala besar.

Dari uraian yang dikemukakan diatas, kita dapat melihat bahwa hubungan antara NGO/LSM dengan pemerintah bersifat kompleks. Dalam negara yang demokrasinya berfungsi dengan baik, NGO tidak dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan. Bahkan NGO dapat menjadi mitra bagi pemerintah, karena dapat mengisi ruang publik dalam rangka pembentukan agenda publik. Tetapi dalam sebuah negara yang disitu proses politiknya tidak memperlihatkan warna demokrasi sebagaimana umumnya dikenal oleh kalangan pengkaji demokrasi, maka hubungan antara negara dengan NGO tidaklah dapat dikatakan memiliki hubungan yang baik. Hal ini karena negara seringkali menganggap bahwa keberadaan NGO merupakan ancaman terhadap kekuasaan. Apalagi kalau kalangan NGO sendiri sudah mengambil sikap sebagai lembaga yang memonitor dan tidak berakomodasi dengan negara. Namun demikian persoalannya juga terletak pada bagaimana masing-masing pihak mengartikulasikan kepentingan mereka3.

Oleh karena itu, masing-masing pihak tentu memiliki strategi tertentu dalam memposisikan dirinya. Ryker (dalam Heyzer, Ryker, and Quizon, 1995: 28), misalnya, mengamati empat dimensi orientasi yang

3Philip Eldridge, NGOs in Indonesia: Popular Movement or Arm of Government,

(31)

menentukan pola hubungan politik antara NGO dengan negara dan bagaimana strategi masing-masing dalam dimensi tersebut, serta bagaimana pula posisi negara ketika berhadapan dengan NGO. Keempat dimensi tersebut adalah orientasi issue, keuangan, organisasi, dan kebijaksanaan4.

2. International Channeling

International channeling dapat dimaknai sebagai penyaluran secara internasonal oleh NGO pada sebuah kasus yang tadinya merupakan sebuah isu yang hanya diketahui oleh jangkauan domestik suatu negara saja, namun isu tersebut dapat menjadi high politik yang kemudian menjadi bahasan secara internasional. Dalam penyaluran isu tersebut hingga menjadi isu internasional, NGO memanfaatkan media dan organisasi internasional lainnya seperti PBB, melalui dewan keamanan dan organisasi-organisasi baik organisasi pemerintah maupun non pemerintah secara internasional yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, pelanggaran HAM dan hukum humaniter internasional. NGO juga memiliki peran penting dalam memobilisasi dan mengakomodasi masyarakat dengan pemerintah. Peran NGO dalam politik global adalah seperti berikut;

a. Mekanisme legitimasi pengambilan keputusan berskala global b. Memantau dan penilaian

c. Penyediaan layanan

4

(32)

d. Memobilisasi opini publik

e. Kompetisi Intelektual kepada pemerintah f. Memberi saran dan masukan serta analisis D. Hipotesis

Upaya Organisasi Internasional dalam Internasionalisasi pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dilakukan melalui dua pola:

Pertama,organisasi internasional sebagai NGO yang bersifat advokatif, melakukan advokasi dan mediasi terhadap korban pelanggaran HAM di Aceh dan organisasi internasional berupaya membangun perdamaian untuk dikembangkan menuju cara terbaik dalam penyelesaian, pencegahan konflik, dan pengembangan perdamaian.

Kedua, organisasi internasional mengangkat problem pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh melalui Global Chaneling dalam berbagai forum internasional.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah

1. Menerapkan ilmu dan teori yang telah diperoleh selama dibangku perkuliahan dengan metodelogi yang sesuai dengan ranah ilmu hubungan internasional.

(33)

terjadi karena negara tersebut menutup diri dari intervensi, baik dari NGOs maupun IGOs.

3. Mengetahui bagaimana NGO bekerjasama dengan aktor internasional lainnya dalam memobilisasi dan mengakomodasi kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh hingga menjadi isu internasional

4. Mengetahui apa saja, dan siapa saja yang menjadi aktor negara, dan aktor internasional dalam ilmu hubungan internasional.

5. Sebagai persyaratan untuk meraih gelar sarjana strata 1 (S1) pada program studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhsmmadiyah Yogyakarta.

F. Metode Penelitian

(34)

G. Jangkauan Pembahasan

Dalam penulisan proposal skripsi ini, penulis membahas tentang upaya Amnesty Internasional dalam menginternasionalisasikan isu pelanggaran HAM yang terjadi pada Daerah Operasi Militer di Aceh sejak 1990-2004. Jangkauan pembahasannya analisis dimulainya keinginan aceh untuk mardeka (gerakan separatis GAM), yang kemudian beberapa peristiwa berjangka hingga kurang lebih selama tiga puluh tahun, yang terjadi diaceh ketika pemerintah Indonesia menurunkan Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk mempertahankan agar Aceh tidak membentuk negara kedaulatan sendiri sejak 1990 hingga 2004. Peristiwa tersebut melibatkan banyak pihak, seperti negara, NGO, IGO, militer, pelaku separatis, bahkan rakyat sipil dan menghasilkan banyak keputusan-keputusan dan perjanjian damai.

H. Rencana Sistematika Penulisan

1. BAB I: Pada bab 1 ini akan berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kerangka Teori, Hipotesa, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan jangkauan pembahasan

(35)

3. BAB III: Pada bab ini, akan membahasPengaruh kasus pelanggaran HAM di Aceh bagi Indonesia, dan dampaknya terhadap posisi Indonesia di dunia Internasional.

4. BAB IV: Pada bab ini akan membahas bagaimana Internasionalisasi kasus pelanggaran HAM di Aceh oleh Amnesty Internasional melalui upaya Amnesty Internasional dalam mengadvokasi pemerintah dan masyarakat yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konlik melalui Global Channeling yang dilakukan oleh Amnesty Internasional.

(36)

17

BAB ini akan membahas permasalahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Aceh seperti: Kasus pembantaian, pembunuhan, penculikan dan keterbatasan akses kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat Aceh, keterbatasan media massa dalam melakukan peliputan, terhambatnya kegiatan penyaluran bantuan oleh LSM lokal maupun internasional dan segala bentuk hal yang menghambat penyebaran informasi mengenai status darurat militer di Aceh.

Setelah Aceh dinyatakan sebagai “Daerah Operasi Militer” (DOM), dimana Tentara Negara Indonesia (TNI) dicurigai melakukan pelanggaran HAM dalam skala besar dan tersistematis terhadap anggota gerakan separatis hingga warga sipil, tidak terkecuali terhadap wanita dan anak-anak dibawah umur. Tindakan pelaggaran berupa penculikan, penyiksaan, bahkan pembunuhan tentu saja mengundang simpatisme dari beberapa kalangan yang menginginkan hal tersebut terhenti agar warga sipil tidak menjadi korban. Tetapi, para simpatisme justru mendapatkan perlakuan serupa, karena diduga dan dicurigai memiliki hubungan dan akses informasi bagi para pemberontak.

(37)

Adapun bentuk pelanggaran tersebut berupa;

A. Kasus Pelanggaran HAM Yang Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia Terhadap Masyarakat Aceh.

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”5

Tetapi sayangnya, keberadaan HAM dan hukum Internasional masih tidak diberlakukan secara tepat di beberapa Negara, misalnya seperti konflik yang terjadi di propinsi Aceh yang berawal pada pertengahan tahun 1970an. Ketika pada tanggal 4 Desember 1976 Aceh/Sumatra National Liberation Front (ASNLF), yang banyak dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaan. Dukungan bagi kemerdekaan NAD memang sudah berakar panjang dari tradisi menentang dominasi luar, termasuk terhadap kekuasaan mantan kolonial Belanda.

Bukan tanpa alasan Aceh ingin melakukan pemisahan terhadap kesatuan NKRI, pembangunan ekonomi yang tidak merata, kurangnya penghormatan pada tradisi-tradisi agama dan budaya serta catatan pelanggaran HAM yang sangat menyeramkan yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia telah menyulut kebencian banyak orang Aceh terhadap pemerintah Indonesia. Warga Aceh menginginkan agar pemerintah menarik

5

(38)

militernya dari Aceh, agar segala bentuk kekerasan bahkan pembunuhan dapat dihentikan.

Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1976 dengan segera ditebas oleh pasukan keamanan Indonesia. NAD menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) dimana militer memiliki pengontrolan secara efektif atas propinsi itu. Status DOM akhirnya dicabut pada bulan Agustus 1998, segera setelah mantan Presiden Suharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun, dipaksa untuk mengundurkan diri karena menghadapi penentangan besar-besaran dari rakyat atas pemerintahannya yang otoriter dan dicurigai sebagai pemerintahan yang korup.

Pencabutan DOM hanya memberikan ketenangan sebentar. Pada bulan Januari 1999, operasi pertama dari serangkaian operasi militer baru, dilancarkan kembali menyusul adanya serangan pada pasukan keamanan yang dituduh dilakukan oleh GAM. Kemudian dilanjutkan pada bulan April 2003, militer telah mulai mengerahkan pasukan-pasukan tambahan ke Aceh sebagai persiapan bagi kampanye baru melawan GAM.Pada tanggal 18 Mei 2003 keadaan darurat militer diberlakukan selama enam bulan di Aceh6.

Bertentangan dengan DOM, yang memang semata-mata merupakan cara militer menanggapi, pemerintah menggambarkan kampanye baru

melawan GAM ini sebagai „operasi terintegrasi‟ dengan komponen

-komponen militer, kemanusiaan, penegak hukum dan pemerintah lokal. Akan tetapi dalam kenyataannya, pemusatan kampanye yang terakhir ini

6

(39)

juga ditekankan pada operasi militer, seperti dilaporkan bahwa 48,000 orang pasukan dikerahkan melawan GAM yang menurut pihak berwenang Indonesia memiliki sekitar 5,000 pasukan siap tempur7.

Berdasarkan beberapa sumber dan informasi, Militer telah mengakui mengenai adanya korban-korban warga sipil. Pertengahan bulan Agustus 2004, menurut laporan media massa, militer mengatakan bahwa 147 warga sipil terbunuh dalam 10 bulan terakhir. Akan tetapi menurut angka dari pusat penerangan TNI yang diumumkan bulan September 2004 jumlah korban warga sipil jauh lebih tinggi8.

Berdasarkan angka-angka dari mereka, 662 warga sipil terbunuh, 579 tewas pada saat masa darurat militer dan 83 warga menjadi korban sejak permulaan darurat sipil9. Militer belum mengatakan siapa yang bertanggung jawab atas mereka yang meninggal ini, meskipun di masa lalu mereka menyalahkan GAM yang menyebabkan adanya korban rakyat sipil. Namun, pada saat yang bersamaan, militer juga mengakui mereka menghadapi kesulitan membedakan antara anggota GAM dan warga sipil (Assault on Aceh targets students”, The Guardian, 26 Mei 2003).

Komnas HAM yang telah diijinkan melangsungkan investigasi di Aceh, telah mengkonfirmasi bahwa pembunuhan secara tidak sah dilakukan oleh kedua belah pihak, namun mereka tidak menerbitkan hasil investigasi

7

Keputusan Presiden (Kepres) no.28/2003 mengenai Deklarasi Keadaan Berbahaya dan Pemberlakuan Darurat Militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

8Indonesian military says it killed over 230 rebels in two months”

Agence France-Presse, 20 Juli 2004

9Versi TNI: 662 Warga Sipil Tewas Sejak Darurat Militer”,

(40)

tersebut. LSM lokal sangat meyakini bahwa ratusan rakyat sipil dibunuh oleh pasukan keamanan pada saat itu

Amnesty International memiliki sejumlah kesaksian dari orang-orang yang menjadi saksi mata pembunuhan di luar jalur hukum terhadap rakyat sipil yang dilakukan oleh militer. Nama-nama mereka yang diwawancarai dan desa asal mereka dirahasiakan guna melindungi mereka atau keluarga mereka dari kemungkinan adanya pembalasan. Sebagian besar mereka yang dibunuh kelihatannya adalah kaum pria, terutama lelaki muda yang lebih mungkin dicurigai sebagai anggota GAM dan dijadikan sasaran dalam operasi-operasi militer tersebut. Tetapi buakn berarti wanita dan anak-anak terlepas dari tindakan kekerasan. Pasalnya, anak-anak dan wanitapun mendapatkan perlakuan kekerasan tersebut.

Namun, dari media massa juga dilaporkan adanya pembunuhan secara tidak sah terhadap perempuan dan anak-anak. Di antara kesaksian yang diterima oleh Amnesty International ada pula keterangan mengenai para pemuda yang ditembak mati ketika sedang bekerja di sawah atau di pertambakan udang. Yang lainnya, termasuk anak-anak, dibunuh atau terluka akibat tembak menembak yang tidak pandang bulu.Juga ada bukti-bukti bahwa mereka yang dicurigai sebagai anggota GAM secara tak sah dibunuh setelah ditahan di penjara. Dalam sejumlah kasus, terlihat adanya luka bekas-bekas penyiksaan yang terdapat dalam beberapa bagian tubuh mayat mereka ketika ditemukan atau dipulangkan kepada keluarga mereka10.

10

(41)

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer tak hanya berlaku oleh para pria saja. Wanita dan anak-anak pun turut menjadi sasaran ketidakadilan tersebut. Menurut kesaksian dari sejumlah korban dan laporan dari berbagai media massa diketahui bahwa para wanita dan anak-anak perempuan mendapatkan perlakuan yang sangat buruk, dari pelecehan seksual, pemerkosaan hingga pembunuhan yang tidak disengaja dengan kekerasan. Militer pun diduga melakukan penculikan terhadap orang-orang yang diduga sebagai anggota pemberontak. Menjatuhi hukuman penjara, bahkan hukuman mati sepihak tanpa peradilan dijalur hukum terlebih dahulu. Hak-hak pada saat persidangan berlangsung juga sama diabaikannya. Meskipun adanya usaha-usaha untuk melakukan reformasi pengadilan oleh penguasa Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini, termasuk usaha untuk menguatkan keindependenan dan memperbaiki profesionalisme peradilan serta lembaga-lembaga terkait, sidang-sidang pemeriksaan di Aceh menunjukkan potensi besar bagi adanya campur tangan politik dan jangkauan bagi adanya bentuk-bentuk pengaruh lain yang tidak tepat.

(42)

bisa menangani sebagian kecil saja dari jumlah total perkara yang ada. Sebagian besar tersangka dibela oleh para pengacara yang ditunjuk negara yang menurut para pegiat HAM tidak terlalu gigih dalam membela klien mereka. Juga ada laporan-laporan bahwa sejumlah dari para pengacara tersebut tidak menemani klien mereka saat dilakukan interogasi, walaupun mereka muncul di pengadilan, tidak benar-benar menyusun pembelaan untuk mewakili tersangka. Artinya, pengecara yang ditunjuk negara hanya sebagai formalitas semata.

Sejumlah sidang pengadilan dilangsungkan dalam cara yang biasa

dijuluki para pengacara HAM sebagai “pengadilan instan”. Seperti dalam

satu perkara, ketika seorang perempuan dari Kabupaten Pidie yang dituduh memberikan bantuan logistik kepada GAM, pengadilannya selesai dalam satu hari saja. Ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Seorang guru yang dituduh mengumpulkan beras dari para penduduk desa guna mendapatkan uang bagi GAM, dikutip oleh media massa

mengatakan; “Saya berkedip dan hakim memukul palu menandakan

berakhirnya pengadilan” (Suspected Indonesian rebels tell of jailhouse

terror”, The Taipei Times, 7 Desember 2003).

(43)

Di antara pelanggaran-pelanggaran ekstensif dan serius terhadap standar-standar internasional yang berkaitan dan penahanan yang berhasil didokumentasikan Amnesty International adalah: kegagalan untuk menunjukkan surat perintah penangkapan pada saat melakukan penangkapan ((Pasal 32 (4)); ketidakmampuan memberitahu tahanan mengenai alasan penangkapan atau penahanan dan menginformasikan mereka secara cepat mengenai semua tuduhan yang dikenakan kepada mereka; kegagalan untuk dengan segera memberitahu keluarga orang yang ditahan mengenai penangkapan mereka serta dimana keberadaan mereka (Pasal 59-60); penolakan akses terhadap penasehat hukum, terutama pada hari-hari pertama penahanan, kegagalan untuk menyediakan penasehat hukum yang kompeten dan efektif dalam kasus-kasus dimana pengacara disediakan oleh Negara (Pasal 55); tidak diberikannya waktu yang cukup serta fasilitas untuk menyiapkan pembelaan dan tidak diberikannya hak untuk melakukan komunikasi secara pribadi (confidential) dengan penasehat hukum; tidak diberikannya bantuan medis yang memadai; tidak adanya pengawasan peradilan mengenai penahanan dan tidak adanya kesempatan untuk mempertanyakan keabsahan suatu penangkapan; tidak adanya jaminan perlindungan dalam interogasi, termasuk kehadiran pembela; dan penggunaan secara ekstensif penyiksaan serta bentuk-bentuk perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat guna mendapatkan pengakuan11.

11

(44)

Hingga bulan November 2003, keadaan darurat militer diperpanjang enam bulan lagi. Hingga bulan Mei 2004, status keadaan darurat militer diturunkan menjadi darurat sipil dan pemerintahan dipulangkan kembali kepada pemerintah sipil propinsi di bawah Gubernur Propinsi.

B. Jenis-Jenis Pelanggaran HAM yang Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah indonesia tidak hanya aksi kekerasan melalui pembantaian atau pembunuhan semata, dan pelanggaran HAM tersebut tidak hanya menimpa warga Aceh saja. Pemerintah memberikan batasan-batasan pada setiap gerakan yang dilakukan oleh setiap individu, kelompok atau bahkan badan organisasi Internasional yang berupaya untuk andil pada kasus DOM di Aceh. Jenis-jenis pelanggaran HAM tersebut berupa;

1. Penekanan mental, hal ini dirasakan oleh semua warga yang bermukim di Aceh. Terutama warga yang tinggal dizona-zona yang mendapat garis merah Daerah Operasional Militer. Warga sipil Aceh dilanda rasa kekhawatiran terjadinya bentrok senjata antara pasukan miiter dan kelompok pergerakan yang memungkin kan akan berimbas pada warga sipil.

(45)

2. Keterbatasan akses media massa dan pemutusan sarana komunikasi, ini dilakukan pemerintah Indonesia guna untuk menutupi keadaan mencekam yang dilalui oleh warga Aceh. Tindakan ini tentu saja bentuk pelanggaran HAM terhadap pers, media massa, dan masyarakat umum yang menginginkan informasi akurat mengenai situasi dan kondisi Aceh. Sementara penutupan sarana komunikasi juga menyebabkan warga Aceh tidak mendapatkan bantuan, baik berupa bantuan logistik, maupun kesehatan. Di bawah keadaan darurat militer, pihak yang berwenang justru tidakmemberikan toleransi pada para pegiat pro-independen dan para anggota ornop yang pekerjaannya melibatkan pengumpulan serta penyebaran data, dan mengkampanyekan untuk menolak dan melawan pelanggaran HAM atau memberikan bantuan kepada penduduk sipil. Satu lokakarya yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Banda Aceh pada bulan Oktober 2003 dibubarkan oleh pasukan keamanan; dan sejumlah organisasi politik atau hak asasi manusia yang bermarkas di NAD secara terbuka dituduh militer mempunyai kaitan dengan GAM dan para anggotanya diancam akan diinvestigasi dan ditangkap.12

3. Eksploitasi, yang dimaksud adalah berupa pemerasan tenaga untuk bekerja atas perintah militer yang tidak dibayar. Selain itu, bentuk

12dikutip di Detik.com tanggal 25 Mei 2003 mengatakan: “

Kami akan menyidik mereka satu persatu. Mereka tidak boleh hanya berkaok-kaok saja soal HAM. Kita semua mendukung HAM, namun HAM yang seperti apa”. Pada tanggal 8 Desember 2003, Kepala Staff TNI AD Jendral

(46)

eksploitasi lain adalah rampasan hasil-hasil pertanian warga Aceh, pemerasan terhadap warga yang memiliki usaha menengah kebawah. 4. Diskriminasi melalui jalur hukum, siapa saja yang tertangkap dan

dicurigai sebagai bagian dari kelompok pergerakan akan dijatuhi hukuman tanpa mendapatkan pembelaan yang maksimal dari negara. Bahkan pemerintah Indonesia menyatakan akan menembak mati ditempat bagi siapa saja yang di curigai dan yang tidak teridentifikasi.13 Tindakan penjatuhan hukuman tanpa peradilan ini terjadi tidak hanya pada warga Aceh saja. Para aktivis, wartawan, mahasiswa relawan pun menjadi sasaran penangkapan dan dicurigai sebagai informan, lalu kemudian dijatuhi hukuman (Perang melawan TNI”, Tempo, 30 Juni 2003).

5. Pelecehan seksual dan pemerkosaan, yang dilakukan terhadap wanita dan anak-anak dibawah umur pun turut menjadi momok menakutkan. Militer melakukan tindakan kekerasan dan pemerkosaan terhadap wanita yang diduga memiliki hubungan dengan kelompok gerakan separatis14. Tindakan ini merupakan pelanggaran hak, dSan menyalahi hukum (Perang melawan TNI”, Tempo, 30 Juni 2003). Tetapi sayangnya, pemerintah Indonesia cenderung mengabaikan dan tidak memberi perlindungan terhadap korban-korban pemerkosaan15.

13

Foreigners still not allowed to enter Aceh despite lifting of martial law”, The Jakarta Post, 10 Juni 2004

14Casualties of the War in Aceh”,

World Press Review, 9 Februari 2004 15

(47)

6. Penculikan, tindak kekerasan, hingga pembunuhan (Jakarta bombs

rebels,” Reuters, 20 Mei 2003), lavel dimana pelanggaran HAM yang

terjadi di Aceh menjadi sangat tragis. Militer akan melakukan penangkapan pada para laki-laki muda atau siapa saja yang dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok gerakan separatis (aktivis, relawan, wartawan). Sebagian mendapatkan peradilan dan dijatuhi hukuman, sebagian yang lain dinyatakan hilang dan sebagian ditemukan dalam keadaan tewas dengan mengenaskan16.

7. Kekerasan dalam penyelidikan, hal ini dilakukan ketika para militer melakukan penyelidikan dapa orang-orang yang terduga sebagai anggota HAM. Adapun orang-orang tersebut sebenarnya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan para pemberontak, misalnya seorang warga sipil, akademisi yang tergabung dalam pergerakan masyarakat yang bergerak di bidang HAM dan kemasyarakatan.

8. Pemaksaan dan pengambil alihan harta milik warga sipil. Hal ini terjadi ketika para militer sedang melakukan penyelusuran di setiap daerah yang diduga tempat persembunyian para terduga anggota GAM. Sayangnya, penyelusuran tersebut disalahgunakan. Sebagian pihak militer justru melakukan penganiayaan, pemaksaan, dan pengambilalihan harta para penduduk sipil.

(48)

C. Terhambatnya Kegiatan Penyaluran Bantuan oleh LSM Lokal Maupun LSM Internasional dan Keterbatasan Media Massa dalam Melakukan Peliputan

Penduduk sipil di NAD hampir secara penuh selama lebih dari satu tahun tidak menerima bantuan dan perlindungan yang biasanya bisa didapat dari para pengamat hak asasi manusia independen dan para pekerja kemanusiaan. Pemerintah Indonesia menutup saluran-saluran lain informasi independen mengenai situasi di NAD, termasuk dengan membatasi akses masuk bagi wartawan ke propinsi tersebut.

Pernyataan yang dikeluarkan para pejabat militer, dimana oraganisasi-organisasi HAM secara terbuka dituduh dan dicurigai mempunyai hubungan dengan GAM, hal ini memaksa para pembela HAM untuk bersembunyi atau bahkan melarikan diri dari propinsi itu, dan dalam sejumlah kasus, para aktivis penggiat tersebut juga keluar dari Indonesia.

(49)

Hal seperti ini tentu saja menghambat proses penyelesaian konflik melalui mediasi yang biasanya dilakukan oleh para aktivis-aktivis penggerak dibidang kemanusiaan. Sehingga merugikan rakyat Aceh secara menyeluruh. Baik secara moril maupun materil. Pemerintah Indonesa tidak hanya membatasi, atau bahkan menutup akses bagi para aktivis dan LSM, tetapi juga memperketat segala bentuk bantuan yang disalurkan ke Aceh, baik berupa kebutuhan logistik atau sarana kesehatan yang memadai bagi masyarakat Aceh.Tindakan ini menimbulkan masalah baru bagi masyarakat Aceh, dimana bukan hanya militer Indonesia yang mengancam kehidupan mereka, tetapi juga penyakit dan kekurangan bahan pangan turut menjadi sebuah ancaman baru.

Akses media massa untuk masuk ke NAD pada minggu pertama masa darurat militer secara relatif cukup terbuka, hingga mencuat serangkaian laporan mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer, termasuk pembunuhan anak-anak secara tak sah.hal membuat diberlakukannya pembatasan-pembatasan17. Sejak saat itu para wartawan Indonesia berada di bawah tekanan berat dan hanya boleh melaporkan peristiwa sesuai dengan versi pemerintah saja, tanpa menguak secara benar hal-hal buruk yang terjadi di Aceh selama operasi militer dilancarkan. Sementara para wartawan internasional menghadapi kesulitan dalam mendapatkan ijin untuk melakukan perjalanan ke Aceh.

17

(50)

Mulanya militer tidak mengijinkan para anggota badan-badan PBB

yang memiliki “buku biru” untuk melakukan perjalanan ke luar Banda

Aceh.Meskipun pembatasan ini kelihatannya sudah sedikit diperlunak, garis panduan keamanan PBB tidak membolehkan perwakilannya meninggalkan akses kepada bantuan-bantuan kemanusiaan18. Selain itu, hal ini juga sangat terganggu dengan dikenakannya pembatasan pada pekerjaan-pekerjaan organisasi kemanusiaan internasional.

Di bawah dekrit yang dikeluarkan pada akhir bulan Juni 2003, pemerintah Indonesia menerapkan satu sistem, dimana para staff internasional diharuskan meminta ijin kepada pemerintah (atau biasa disebut

sebagai „buku biru‟) guna melakukan perjalanan ke ibukota propinsi, di

Banda Aceh. Ijin tambahan kemudian diperlukan pula dari pemerintah propinsi (sebelumnya yang memegang kekuasaan adalah militer, kini pemerintahan sipil lagi) untuk mendapatkan ijin melakukan perjalanan keluar Banda Aceh. Sejak diterapkannya darurat militer, sangat jarang

“buku biru” dikeluarkan. Proses untuk mendapatkannya digambarkan oleh

mereka yang telah menjalaninya sebagai “birokratis dan benar-benar mimpi

buruk”.

Sekalipun mendapat ijin, akses bagi para pekerja kemanusiaan internasional tetap dibatasi baik dalam hal waktu, seberapa lama mereka bisa berada di propinsi itu (biasanya hanya beberapa minggu saja) maupun

18

(51)

tempat-tempat dan daerah mana saja yang bisa dikunjungi. Walau memang sejumlah perbaikan dalam hal akses yang diberikan oleh pemerintah Indonesia pada permulaan keadaan darurat militer telah dilaporkan pada badan-badan PBB, tetapi hal yang sama tidak didapatkan oleh organisasi-organisasi kemanusiaan untuk bisa menerapkan program mereka. Dilaporkan juga bahwa akses masuk terutama sangat sulit ke daerah-daerah yang dipandang sebagai daerah kedudukan GAM atau daerah yang ditentukan sebagai “daerah-daerah hitam” oleh penguasa militer. Dari sejumlah daerah-daerah ini diyakini tidak ada akses masuk sama sekali bagi para pegiat kemanusiaan independen sejak bulan Mei 2003.

(52)

mengeluh bahwa pada saat mereka kembali ke sawah, ladang atau kebun mereka, mereka mendapatkan tanaman mereka sudah dirusak atau dicuri.

Pasukan kemanan juga dicurigai melakukan pemerasan, meskipun tidak hanya terjadi dalam operasi militer sekarang ini, tetapi memberikan beban tambahan bagi perseorangan dan usaha-usaha. Kebanyakan pemerasan dilaporkan hanya berskala kecil, biasanya dalam bentuk

permintaan untuk “uang rokok” atau bon restoran yang tidak dibayar.

Namun, pemilik usaha yang lebih besar telah melaporkan dipaksa untuk membuat perjanjian perlindungan dengan militer. GAM juga bertanggung jawab karena melakukan pemerasan, meskipun kapasitas mereka dalam melakukan praktek-praktek semacam itu sangat mungkin telah berkurang di bawah kampanye darurat militer.

(53)

Sebenarnya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya mengenai penutupan akses semata. Pemerintah juga diketahui melakukan penangkapan, pemenjaraan, dan peradilan pada beberapa aktivis kemanusiaan yang sering di disebut sebagai tahanan hati nurani yang bekerja atas dasar semata-mata untuk kedamaian dan meluruskan peradilan yang tidak adil. Penangkapan pun dilakukan pada para wartawan. Penangkapan yang berakhir dengan dijatuhi hukuman pada para tahanan tersebut tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelidikan. Pemerintah Indonesia dengan alibi mencurigai setiap orang sebagai pemberontak dengan leluasa menangkap para aktivis kemanusian dan para wartawan tersebut yang kemudian dijatuhi hukuman tanpa memfasilitasi peradilan yang selayaknya.

Penderitaan para tahanan yang dijatuhkan hukuman sepihak tersebut tidak hanya berakhir sampai dipenjara saja. Sebagian dari para tahanan tersebut juga mendapat perlakuan buruk selama masa tahanan di penjara.mereka mendapatkan penyiksaan secara fisik dan mental. Penyiksaan tersebut dilakukan guna menyelidiki kegiatan para pemberontak yang mungkin dapat dilakukan.Hanya saja penyiksaan yang tidak berperikemanusian tersebut tidak dapat membedakan antara warga sipil, aktivis, wartawan, dan para pemberontak.

(54)

bahwa klinik-klinik kesehatan primer di desa mereka telah ditutup sejak permulaan masa darurat militer. Menurut sebuah laporan yang belum bisa diverifikasi dari Peureulak, di Kabupaten Aceh Timur, pada bulan Januari 2004 para perawat dan bidan dilarang bekerja di puskesmas-puskesmas di daerah pedesaan di kabupaten itu sebab mereka dicurigai memberikan bantuan kesehatan kepada GAM.

Selain itu, sekitar 600 sekolah dibakar dalam minggu-minggu pertama darurat militer. Penangkapan seorang guru yang kemudian dipenjara atas tuduhan menerima dana dari GAM19. Hal ini tentu saja mempersulit anak-anak Aceh untuk mendapatkan pendidikan dengan layak. Menurut beberapa informasi dan beberapa orang yang diwawancara menyatakan bahwa kesulitan ekonomi yang diakibatkan keadaan darurat militer membuat uang sekolah terasa sangat mahal bagi sejumlah keluarga. Hal ini membuat banyak anak-anak di Aceh yang kesulitan dalam mengakses pendidikan mereka. Hingga banyak dari anak-anak di Aceh yang menunda masa sekolahnya.

19Suspected Indonesian rebels tell of jailhouse terror”,

(55)

36

BAB ini akan membahas bagaimanaPengaruh kasus pelanggaran HAM di Aceh yang dilakukan oleh militer Indonesia, terhadap hampir sebagian warga sipil di aceh bagi Indonesia di ranah internasional, baik dalam pemikiran

Negara-negara tetangga, organisasi internasional, PBB, dan NGO‟lsm yang bergerak

dalam bidang kemanusiaan, serta dampaknya terhadap posisi Indonesia di dunia Internasional.

Sejak pemerintah Indonesia melancarkan agresi militernya ke beberapa wilayah di Aceh yang dianggap sebagai markas dan tempat perkumpulan kelompok gerakan separatisme Gerakan Aceh Mardeka (GAM), dan menjadikan wilayah tersebut sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), pemerintah Indonesia sedikit demi sedikit mulai membatasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok organisasi apapun, baik pada tingkat lokal maupun pada lavel internasional di wilayah tersebut. Pemerintah Indonesia juga mulai menutup segala bentuk akses yang bersifat informatif dan mulai memperketat segala bentuk kepentingan apapun yang berhubungan dengan Aceh.

(56)

nya oleh negara tersebut20. Kecurigaan tersebut samakin meningkat setela pemerintah bener-benar menutup akses pada segala kepentingan yang akan dilakukan di Aceh.

Meski pemerintah Indonesia telah memperketat keamanan di Aceh, dan menangkap orang-orang atau kelompok yang dicurigai sebagai anggota pergerakan, kekejaman yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat Aceh mulai terkuak dan diketahui secara Internasional. Informasi yang berhasil dikumpulkan oleh para aktivis yang bergerak dibidang kemanusiaan, para reporter, wartawan dari pers lokal maupun pers internasional, dan dari para pengungsi yang berhasil menyelamatkan diri dengan meninggalkan Aceh dan mengungisi keberbagai daerah lain, bahkan hingga ke Malaysia, menyatakan bahwa Aceh berada pada situasi yang sangat memprihatinkan.

Hal tersebut karena tindakan kesewenang wenangan para militer yang membantai habis warga Aceh tanpa membedakan terlebih dahulu antara kelompok pemberontak dan warga sipil21. Bahkan wanita dan anak-anak pun menjadi korban penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota militer22. Segala fasilitas umum dirusak dengan sengaja dengan amukan yang membabi buta yang dilakukan oleh militer RI.

Pemerintah Indonesia juga dianggap melindungi tindakan militernya yang sewenang-wenang terhadap warga Aceh tersebut dan dianggap sebagai tindakan yang tentu saja melanggar Hak Asasi Manusia, serta melanggar hukum

20

Bacalah dokumen Amnesty International: Indonesia: Shock Therapy”, Restoring Order in Aceh, 1989-1993, (AI Index: ASA 21/07/93), Juli 1993

21

Indonesia: Penangkapan dan Perlakuan terhadap para Aktifis di Aceh”, 5 Maret 2004, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

22

(57)

internasional. Hal tersebut memancing respon dari dunia internasional untuk turut andil dalam upaya menghentikan tindakan pemerintah Indonesia dari segala segala bentuk pelanggaran HAM di Aceh, dan mengembalikan hak mereka serta memberi perlindungan kepada seluruh warga Aceh dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Sayangnya, pemerintah menyambut negatif segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh kelompok-kelompok aktivis yang meminta agar pemerintah Indonesia menghentikan aksi anarkis militer di Aceh. Pemerintah indonesia justru memperketat segala bentuk bantuan yang masuk ke Aceh melalui para aktivis-aktivis tersebut, dan menutup segala bentuk informasi mengenai kondisi Aceh dari dunia Internasional.

Instrumen HAM Internasional Tercantum di dalam The Universal Declaration of Human Rights ( Piagam HAM PBB ) Piagam tersebut dihasilkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada sidangnya tanggal 10 Desember 1948.

Kalimat utama mukadimah deklarasi menyatakan : “ Pengakuan terhadap

martabat yang melekat dan terhadap hak-hak yang sepadan, dan tidak dapat diganggu gugat dari semua masalah adalah dasar untuk kebebasan, keadilan dan

kedamaian dunia. “ Pasal-pasal deklarasi itu menyatakan bahwa semua orang

sederajat dihadapan Undang-Undang.

(58)

dokumen tersebut secara normative kedudukan individu manusia dengan segala hak-haknya telah memperoleh pengakuan masyarakat internasional.

Pada tanggal 10 Desember 1984 Majelis Umum PBB secara consensus menyetujui rancangan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Konvensi ini berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987.Pemerintah Indonesia merespon konvensi ini dengan menandatanganinya pada tanggal 23 Oktober 1985 dan kemudian disahkan menjadi UU RI No. 5 Tahun 1988. Masalah Hak Asasi Manusia mempunyai dimensi internasional sejalan dengan pengertian bahwa nilai-nilai HAM mempunyai sifat universal secara menyeluruh diseluruh belahan dunia. HAM adalah milik dan kebutuhan semua manusia tanpa pandang bulu.

Ini berarti penyelewengan dan pelanggaran HAM merupakan kepedulian semua orang dari Negara manapun.Norma semacam inilah yang berlaku di Negara-negara maju. Itulah sebabnya mereka secara terbuka melakukan kritik tajam terhadap tiap Negara yang dinilai melakukan pelanggaran HAM.

Sementara itu, Indonesia dianggap melakukan kejahatan internasional karena melakukan pelanggaran hukum internasional mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia pada lavel terberat dan tidak memberikan perlindungan hak yang semestinya diberikan oleh negara kepada setiap warga negaranya23. Anggapan ini tentu saja memberikan dampak buruk bagi Indonesia dan mempengaruhi bentuk politik dalam negeri, maupun politik luar negeri pemerintahan Indonesia.

23

(59)

A. Dampak dan Pengaruh Pelanggaran HAM di Aceh Terhadap Posisi Indonesia Dimata Dunia Internasional.

Kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap warga Aceh memancing simpati dari bayak kalangan, seperti

NGO‟s, kaum akademisi, dan bebarapa negara-negara tetangga. Aktor-aktor

internasional tersebut menekan pemerintah Indonesia agar menghentikan aksi militer yang diturunkan oleh pemerintah pada wilayah-wilayah yang menjadi target Operasi Jaring Merah. Berbagai upaya dilakukan oleh para aktivis kemanusiaan, seperti Amnesty Internasional untuk mengorek informasi segala tindakan yang dilakukan oleh militer terhadap warga Aceh.Informasi inilah yang akandijadikan sebagai alat untuk mengumpulkan simpatisan dari dunia Internasional agar turut memberikan tekan pada pemerintah Indonesia untuk menghetikan aksi kekerasan di wilayah Daerah Operasi Militer (DOM). Adapun dampak dari upaya-upaya tersebut berupa;

1. Indonesia Mendapatkan Tekanan dari Negara-Negara Tetangga Melalui Pemerintahan Kedua

(60)

tahanan militer maupun kepolisian, serta mengamati sidang-sidang pemeriksaan terhadap para tersangka yang dicurigai dan dituduh sebagai anggota GAM. Para pemerintahan kedua juga melarang pengiriman senjata ke Indonesia saat militer dan polisi Indonesia masih terus melakukan pelanggaran HAM berat.

Melihat adanya pelanggaran secara ekstensif dan terus menerus terhadap hak-hak mendasar oleh pasukan-pasukan militer Indonesia, pelatihan internasional atau bantuan teknis mana pun yang diberikan kepada pasukan keamanan Indonesia tidak boleh menyertakan pelatihan operasional sampai pertanggung-gugatan secara serius atas tidak adanya sistem yang memadai (Amnesty International Oktober 2004 AI Index: ASA 21/033/2004).

2. Peranan Komunitas Internasional yang Turut Melakukan Penekanan Terhadap Pemerintahan Indonesia

Upaya untuk menemukan jalan keluar melalui perundingan di Aceh mendapat dukungan masyarakat internasional. Kesepakatan CoHA mendapatkan dukungan politik dan finansial dari berbagai pemerintahan kedua dan lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama pemerintah Amerika Serikat dan Jepang, Uni Eropa serta Bank

Dunia. Mereka dikenal sebagai “kelompok Tokyo” karena ikut

(61)

(http://news.liputan6.com/read/54316/teuku-kamaruzzaman-gam-tetap-pada-komitmen-coha). „kelompok Tokyo‟ dan donor lainnya yang hadir mengatur prioritas bagi rekonstruksi pasca-konflik yang melingkup pula dukungan bagi proses perdamaian selain dari bantuan kemanusiaan, rekonstruksi atas prasarana fisik dan dukungan bagi perencanaan komunitas, pemerintahan dan umum.

Sayangnya pada bulan April 2003, CoHA ditutup karena perundingan yang telah dirancang tersebut mengalamijalan buntu, dan kegagalan24. Kelompok Tokyo ini menyerukan agar kedua pihak menahan diri dari bentuk kekerasan bersenjata atau bentuk lainnya yang

dinyatakan kelompok itu sebagai “bukan wahana yang efektif untuk

memberikan jalan keluar atas konflik yang ada”25

. Sejak saat itu hanya terkadang-kadang ada beberapa protes dari Kelompok Tokyo atau para anggotanya secara perseorangan. Bulan November 2003 misalnya, Kelompok ini mengemukakan keprihatinan mereka atas diperpanjangnya keadaan darurat militer. Mereka juga menyatakan

harapan mereka “…bahwa penderitaan manusia seminimal mungkin

dan bahwa ketransparanan atas situasi di Aceh membaik. Dalam hal ini, kami terus menyerukan diberinya akses ke Aceh bagi badan-badan internasional serta ornop-ornop relevan yang beroperasi untuk tujuan-tujuan kemanusiaan26.”

24

http://news.liputan6.com/read/99512/perundingan-ri-gam-di-finlandia-belum-menghasilkan-kesepakatan

25

Pernyataan Bersama oleh Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan Bank Dunia mengenai

keadaan dewasa ini di Aceh”, 9 April 2003.

26

(62)

B. Pandangan PBB Terhadap Tindakan Pemerintah Indonesia

Menurut hukum internasional, pemerkosaan serta kejahatan seksual lainnya merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional, serta diakui sebagai bentuk-bentuk kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini sudah disahkan dalam Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional27. Pemerkosaan serta bentuk pelecehan seksual lainnya yang dilakukan para petugas negara merupakan penyiksaan atau perlakuan buruk, dan negara memiliki kewajiban untuk melarang, mencegah serta menghukum tindakan-tindakan semacam itu.

Indonesia sebagai negara anggota Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) mempunyai kewajiban umum untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi para wanita. Tindak kekerasan yang berbasiskan gender seperti pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya terhadap kaum wanita merupakan satu bentuk diskriminasi. Komite Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dalam Rekomendasi Umumnya No. 19

membenarkan bahwa; “Tindak kekerasan berbasiskan gender merupakan

satu bentuk diskriminasi yang secara serius telah membuat wanita tidak bisa menikmati hak-hak serta kebebasan dengan dasar persamaan derajat dengan kaum pria”.

27

(63)

Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB tahun 2000 mengenai Wanita, Perdamaian dan Keamanan mensyaratkan semua pihak untuk memberlakukan secara penuh hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional yang melindungi hak-hak wanita dan para anak gadis pada saat dan setelah konflik. Di antara standar-standar yang bisa diterapkan adalah CEDAW dan Konvensi mengenai Hak Anak-anak (CRC) yang keduanya sudah diratifikasi Indonesia28. Selain itu, Pasal 3 Bersama dari empat Konvensi Jenewa yang berhubungan dengan konflik-konflik yang tidak bersifat internasional, melarang adanya kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya pembunuhan dalam segala jenis, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan, penyanderaan dan gangguan kemarahan yang menjadikan martabat pribadi orang sebagai sasaran.

Tahun 1998 Komite Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita mengemukakan keprihatinan bahwa informasi yang diberikan Indonesia dalam laporannya ke Komite itu mengenai situasi konflik bersenjata mencerminkan pengertian yang terbatas atas persoalan

ini.Komite ini mencatat bahwa komentar pemerintah Indonesia “terbatas

pada partisipasi wanita dalam angkatan bersenjata dan tidak membahas mengenai kerawanan wanita terhadap eksploitasi seksual dalam situasi-situasi konflik, begitu juga bermacam-macam pelanggaran HAM lainnya yang mengenai wanita dalam konflik semacam itu”29.

28

Indonesia meratifikasi CEDAW tahun 1984 dan CRC tahun 1990. 29

(64)

Pada tahun yang sama, Pelapor Khusus PBB mengenai kekerasan terhadap wanita, penyebab dan akibat-akibatnya mengunjungi Indonesia dan Timor-Leste. Dalam laporannya kemudian, Pelapor Khusus PBB tersebut menyatakan bahwa pemerkosaan telah digunakan “sebagai alat penyiksaan oleh unsur-unsur tertentu dari angkatan bersenjata Indonesia di Aceh [NAD], Irian Jaya [Papua] dan Timor Timur [Timor-Leste]”. Ia mengimbau pemerintah Indonesia untuk mengakui bahwa pelanggaran HAM memang

terjadi di Indonesia dan “sudah menjadi bagian dari budaya

penyangkalan”30.

Indonesia telah gagal untuk menangani secara memadai pemerkosaan dan kekerasan seksual yang dilakukan terhada

Referensi

Dokumen terkait

Dapat menambah pemahaman bagi guru dan sekolah mengenai informasi pengaruh prestasi belajar, motivasi belajar dan kondisi ekonomi orangtua terhadap minat siswa

Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini dengan membuat rencana produksi menggunakan Newsboy Problem karena produk susu termasuk Perishable Product

Pandangan Ahmad Hassan yang tergambar dalam pandangan Persatuan Islam, tentang negara Islam adalah mirip dengan pandangan Muhammadiyyah, karena Ahmad Hassan dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Sebaran fungsi kawasan hutan Di Kabupaten Agam tahun 2011 dan 2015 dan 2) Perubahan fungsi kawasan hutan di

Pada saat inject pressure 55 Mpa, inject timer 4,2s dan temperatur 224 o C menghasilkan kondisi yang optimal sehingga tingkat kecacatan turun sebesar 7.3 %.. Kata kunci:

Semua itu nantinya akan disalurkan dalam pesawat tersebut untuk nantinya akan digunakan sebagai seumber menghidupkan berbagai hiburan yang berguna untuk penumpang,

(7) PPID Utama dan PPID Pembantu dapat dibantu oleh pejabat fungsional atau petugas administrasi yang melekat dalam satuan kerjanya untuk melaksanakan tugas-tugas

Ketika mayoritas ulama Nahwu berkeyakinan bahwa perubahan tanda i‟rab yang terdapat dalam bahasa Arab berfungsi untuk menentukan makna dan jabatan sebuah kata,