• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN BERTAHAN PEDAGANG WARUNG HIK DI KOTA PONOROGO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEMAMPUAN BERTAHAN PEDAGANG WARUNG HIK DI KOTA PONOROGO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEM AM PUAN BERTAHAN PEDAGANG W ARUNG HI K

DI KOTA PONOROGO

THE SURVI VAL OF HI K VENDORS I N PONOROGO

Slamet Santoso

Fakultas Ekonomi

Universitas Muhammadiyah Ponorogo Jalan Budi Utomo No. 10 Ponorogo Telp. (0352) 481124, Fax (0352) 461796

ABSTRACT

This research deals with the survival of hik vendors in Ponorogo. This reseach is aimed at investigating how they can survive in facing the business competition in Ponorogo. The subjects of the research are the vendors and their consumers. The subject-selecting technique snowball. The data-collect-ing technique is in-depth interview and the data-analyzdata-collect-ing technique is inter-active analysis model. The conclusion of this research is as follows: (a) the vendors can develop and survive well in business competition in Ponorogo because they have good survival ability supported by skill and work spirit comprising the good social capital; (b) the consumers that visit these vending stalls are not only for drinking and eating, but also for relaxing, chatting, and other joyful social activities.

Kata Kunci : warung hik (angkringan), kemampuan bertahan

PENDAHULUAN

(2)

Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi daerah yang mengarah kepada pember-dayaan masyarakat harus mendapatkan perhatian yang serius, termasuk sektor informal.

Menurut Hidayat(1983), definisi secara umum dari sektor informal adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau sudah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari. Dari definisi tersebut dapat dibedakan antara sektor informal yang berada di daerah pedesaan yang seringkali disebut sektor informal tradisional yang bergerak di bidang pertanian, dengan sektor informal yang berada di daerah perkotaan yang sebagian besar bergerak dalam kegiatan pedagang kaki lima.

Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut.

Hasil penelitian Soeratno(2000), menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang angkringan di kota Yogyakarta berusia produktif. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa sektor pedagang kaki lima adalah pekerjaan yang dapat diakses. Menurut Aris Marfai (2005), dengan modal yang tidak terlalu besar, tampaknya kegiatan angkringan menjadi usaha yang dapat dijangkau oleh masyarakat kecil. Dengan harga gerobak berkisar Rp 750.000,00 sampai dengan Rp 1.000.000,00 dan ditam-bah modal peralatan lainnya yang bisa mencapai Rp. 100.000,00 sampai dengan Rp 200.000,00 serta modal awal untuk kulakan makanan sebesar Rp 250.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00 seseorang sudah bisa mendirikan warung angkringan. Data-data tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa pedagang angkringan, termasuk golongan pedagang kaki lima, merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan modal yang besar tetapi mampu berkembang dengan baik, sehingga masyarakat kelas bawah dapat membuka usaha angkringan tersebut.

(3)

kulak dan lain-lain. Dalam taraf ini pedagang angkringan telah mampu memberikan simbol bahwa modal sosial sebagai salah satu faktor penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat.

Sebagaimana kegiatan berdagang pada umumnya, jalinan hubungan antara pedagang angkringan dengan pembeli merupakan jalinan yang cukup menentukan kelancaran perolehan penghasilan. Pembeli yang merasa puas dan merasa dekat dengan pedagang angkringan bukan hanya dapat menjadi pelanggan tetap, namun sekaligus dapat membawa dampak yang menguntungkan bagi pedagang angkringan itu sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Aloysius Gunadi Brata (2004), bahwa dari hubungan dengan pelanggan ini tidak jarang pedagang angkringan juga memperoleh informasi-informasi baru. Walaupun informasi-informasi tersebut umumnya tidak berkaitan langsung dengan aktivitas usaha angkringan, namun pedagang angkringan secara bertahap dapat menambah akumulasi informasi yang dalam bidang atau kesempatan lain mungkin akan berguna, serta dapat bernilai ekonomis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa modal sosial yang mereka miliki, memiliki nilai ekonomis karena dengan begitu mereka memperoleh informasi peluang usaha atau merintis usaha warung angkringan.

Perilaku seseorang dalam aktifitas ekonomi tidak hanya merupakan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi semata, tetapi terdapat motif lain yang menyebabkan adanya jalinan hubungan yang erat antara penjual dengan pembeli. Menurut Max Weber (dalam Damsar, 1997) perilaku ekonomi seseorang bisa jadi merupakan suatu tindakan sosial, bila tindakan tersebut memperhitungkan perilaku orang lain. Jaringan hubungan ekonomi antara pembeli dengan penjual, dapat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan nonekonomi. Hal tersebut terjadi pada suatu masyarakat yang mempunyai ikatan emosional yang kuat baik ras, etnik, maupun agama. Keadaan tersebut oleh Durkheim (dalam Kinlock, 1997) disebut sebagai solidaritas mekanik dan banyak dijumpai pada masyarakat tertentu yang lebih menyukai kegiatan untuk melakukan transaksi usaha dengan didasari pertimbangan-pertimbangan nonekonomi, walaupun sebenarnya transaksi tersebut dapat dilakukan dengan kelompok masyarakat tertentu lainnya dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi semata.

(4)

jenis jajanan dan nasi bungkus. Mereka berjualan di trotoar jalan atau di depan pertokoan, khusus untuk malam hari, setelah toko tutup. Mereka kebanyakan berasal dari kota-kota di Jawa Tengah, seperti kota Sukoharjo, Solo, Klaten, Wonogiri dan Gunung Kidul Yogyakarta. Istilah pedagang warung hik di kota Solo dan Yogyakarta biasa disebut dengan pedagang warung angkringan. Sekitar tahun 1999-an (pasca krisis ekonomi), jumlah pedag1999-ang wurung hik y1999-ang ada di kota Ponorogo sekitar 5 (lima) pedagang. Sampai dengan tahun 2006, jumlah pedagang warung hik tersebut mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 20 (dua puluh) pedagang yang telah tersebar di kota Ponorogo. Kehadiran pedagang warung hik tersebut juga mendorong beberapa masyarakat Ponorogo untuk membuka usaha sejenis, dan sering disebut warung kopi lesehan. Dengan demikian, pedagang warung hik di samping harus mampu bersaing dengan sesama pedagang warung hik (sesama pedagang pendatang) juga harus mampu bersaingan dengan warung kopi lesehan (pedagang asli Ponorogo).

Berkaitan dengan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) agar mampu bertahan dalam menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Ponorogo (Kecamatan Kota) Kabupaten Ponorogo. Pengambilan lokasi tersebut berdasarkan kondisi bahwa pedagang warung hik banyak berjualan di wilayah Kecamatan Kota. Subjek penelitian (informan) adalah pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) yang berjualan di kota Ponorogo. Subjek penelitian ini perlu dipertegas karena di samping pedagang warung hik tersebut, masih banyak pedagang warung lesehan yang pedagangnya asli dari kota Ponorogo. Penelitian ini juga membutuhkan data yang dikumpulkan dari para pembeli (konsumen) di warung hik, sebagai data pendukung.

(5)

Metode pengumpulan data lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam(indepth interview). Dalam wawancara dengan informan, beberapa informasi yang dipertanyakan antara lain: (a) alasan membuka usaha di kota Ponorogo,( b) pengadaan jajanan dan minuman yang disajikan, (c) waktu aktifitas usaha, dan (d) upaya untuk mempertahankan pelanggan dan kemampuan menghadapi persaingan. Triangulasi data menggunakan triangulasi sumber data.

Berdasarkan azas penelitian kualitatif, analisis data dilakukan di la-pangan dan bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Reduksi data dan sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data. Penarikan kesimpulan dilakukan jika pengumpulan data dianggap cukup memadai dan dianggap selesai. Jika terjadi kesimpulan yang dianggap kurang memadai, diperlukan aktifitas verifikasi dengan sasaran yang lebih terfokus. Ketiga komponen aktifitas tersebut saling berinteraksi sampai diperoleh kesimpulan yang mantap. Menurut Sutopo (2002), proses analisis data tersebut dinamakan Model Analisis Interaktif .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masyarakat kota Ponorogo yang sering ke warung hik merasa tidak asing dengan keberadaan pedagang warung hik. Tetapi, masyarakat yang belum pernah ke warung hik, akan sedikit kesulitan untuk membedakan dengan warung kopi lesehan, yang juga sudah menjamur di kota Ponorogo. Dalam menjalankan usahanya, pedagang warung hik mengunakan sebuah gerobak dari kayu dan diterangi dengan lampu kecil dengan bahan bakar minyak tanah (thinthir atau teplok). Mereka menjajakan makanannya mulai sekitar pukul 5 sore sampai menjelang dini hari (sekitar pukul 01.00-02.00). Biasanya pedagang warung hik memarkir gerobaknya kemu-dian menutupi bagian depan dengan terpal mulai dari atap gerobak sampai ke tanah, mirip sebuah tenda. Kemudian mereka memasang bangku tempat duduk di dalam tenda tersebut pada setiap sisi gerobak dan menyediakan tikar plastik bagi pembeli yang suka duduk di bawah sebelah kiri dan kanan gerobak.

Di dalam gerobak pada bagian kanan terdapat kompor arang untuk memanaskan air dan di atasnya terdapat tiga teko besar. Tiga teko besar tersebut satu berisi air putih yang dididihkan, satu berisi wedang jahe, dan satunya lagi berisi wedang teh. Meja di bagian kiri ketiga teko besar tersebut biasanya diisi dengan bungkusan nasi, lauk seperti ceker (kaki ayam), tempe, dan tahu bacem serta beberapa jenis sate, seperti sate usus dan sate telur puyuh. Nasi bungkus yang disediakan biasanya disebut sego kucing, karena memang isinya relatif sedikit, seperti makanan kucing, berupa nasi dengan sambal teri atau nasi dengan racikan tempe goreng.

(6)

gula dan kopi, cadangan rokok, dan bahan minum lainnya biasanya disimpan di dalam laci bagian atas gerobak. Sementara laci kecil di bawah tumpukan makanan digunakan untuk menyimpan uang. Bagian belakang dari tempat duduk pedagang disediakan dua sampai dengan empat ember berisi air yang digunakan untuk persediaan air bersih yang akan dimasak dan untuk mencuci gelas yang kotor.

Berdasarkan hasil pengamatan awal di lapangan, diketahui bahwa sampai dengan tahun 2006 jumlah pedagang warung hik di kota Ponorogo lebih dari 20 (dua puluh) pedagang. Lokasi usaha mereka cukup menyebar pada trotoar jalan atau emper

pertokoan di pusat kota Ponorogo. Pada beberapa jalan, misalnya jalan Gajah Mada, Sultan Agung, Diponegoro, Jenderal Sudirman, dan Batoro Katong, di samping pedagang warung hik, juga banyak pedagang warung kopi lesehan dan warung kopi permanen (pedagang asli Ponorogo). Dengan demikian, walaupun lokasi usaha pedagang warung hik mampu menyebar di seluruh jalan protokol di kota Ponorogo, untuk dapat bertahan dalam usahanya mereka harus mampu bersaing dengan pedagang warung kopi lesehan dan warung kopi permanen.

Keberadaan Pedagang Warung Hik

Pedagang warung hik di kota Ponorogo merupakan salah satu pedagang sektor informal yang mampu bertahan menghadapi dampak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Di samping mampu memberikan pendapatan untuk keluarga yang relatif cukup, mereka juga mampu membuka lapangan pekerjaan dan sekaligus mengurangi angka pengangguran. Bagi kota Ponorogo, keberadaan pedagang warung hik mampu menghidupkan kota Ponorogo pada malam hari. Dengan adanya aktifitas ekonomi di malam hari suasana kota Ponorogo menjadi tidak sepi. Dengan adanya warung hik, berarti tersedia tempat bagi masyarakat Ponorogo yang membutuhkan tempat untuk santai, ngobrol, dan berdiskusi pada malam hari.

Terkait dengan pembeli atau pelanggan di warung hik, Winarno menyatakan,

“Pelanggan saya kebanyakan anak sekolah, pedagang dan makelar. Mungkin penyebabnya karena lokasi dagang saya dekat dengan perempatan dan tempat pemberhentian bis”. Menurut Suroto, “Yang beli macam-macam. Ada pegawai, tukang becak dan pedagang. Pelajar atau mahasiswa yang datang juga banyak”. Sedangkan Tarto menyatakan, “Yang banyak anak muda dan pegawai swasta”. Pernyataan informan tersebut dapat memberikan gambaran bahwa masyarakat yang datang di warung hik cukup bervariasi, antara lain pelajar, mahasiswa, pegawai negeri/swasta, pedagang, tukang becak, buruh kasar, makelar sepeda motor/mobil, dan lain-lain.

(7)

atau minuman dan langsung pulang, ada yang bersama teman-temannya mencari tempat yang santai untuk ngobrol sambil menikmati minuman atau jajanan, dan ada yang sengaja menjadikan warung hik sebagai tempat diskusi untuk membahas sesuatu. Tema yang menjadi bahan untuk ngobrol atau diskusi sangat beragam, mulai masalah sekolah, pergaulan remaja, permasalahan pekerjaan, kondisi perekonomian, pelayanan publik, olah raga sampai dengan masalah perkembangan politik di daerah atau negara.

Penggolongan Pedagang Warung Hik

Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan)nya, pedagang warung hik terhadap gerobak untuk berjualan, penyediaan makanan, dan jajanan yang akan disajikan, pedagang warung hik di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu pedagang warung hik yang mandiri, semimandiri, dan nonmandiri. Seorang pedagang warung hik dikatakan sebagai pedagang yang mandiri, jika mereka memiliki gerobak sendiri, sekaligus menyiapkan makanan dan jajanan sendiri, kendati tetap dan selalu bersedia menerima makanan titipan. Pedagang warung hik yang termasuk dalam golongan semimandiri adalah mereka yang memiliki gerobak sendiri, tetapi makanan dan jajanan dipasok oleh orang lain, biasanya oleh ketua kelompok. Adapun pedagang warung hik yang termasuk dalam golongan

nonmandiri adalah mereka yang menyewa gerobak dan sekaligus mengambil makanan dan minuman dari ketua kelompok, sehingga sifatnya hanya menjualkan saja.

Winarno (seorang responden yang diwawancarai) adalah salah satu pedagang warung hik yang termasuk golongan mandiri. Menurut penuturannya,

“Jajanan dan bahan minuman saya membuat sendiri, yang membuat istri saya. Sekarang ini saya mengontrak rumah di Jalan Astrokoro Ponorogo. Yang tinggal di rumah kontrakan tidak hanya saya dan keluarga saya, tetapi juga pedagang warung hik lain, sebanyak empat orang. Mereka tidak saya tarik iuran kontrak rumah tetapi kalau berjualan mereka mengambil jajanan dari istri saya. Saya juga mempunyai gerobak yang dijalankan oleh orang lain dan dia juga mengambil jajanan dari istri saya”.

(8)

Tarto (salah satu responden) termasuk golongan pedagang warung hik semimandiri. Hal tersebut diketahui dari penuturannya,

“Kalau gerobak saya membuat sendiri, kira-kira menghabiskan Rp. 1.000.000,- lebih. Sedangkan jajanannya saya tidak membuat sendiri, tetapi mengambil ke Bapak Sandiyo (Ketua Kelompok). Saya tinggal di rumah Bapak Sandiyo di Jalan Aru (Sukarno Hatta Gang I) Ponorogo. Di sana saya tidak ditarik iuran untuk mengontrak rumah. Selain saya, di rumah kontrakan tersebut juga tinggal empat orang sebagai anggota kelompok Bapak Sandiyo”.

Penuturan di atas menunjukkan bahwa responden termasuk golongan semimandiri karena tidak semua keperluan berdagang warung hik dapat dipenuhi sendiri. Meskipun informan mempunyai gerobag sendiri, makanan yang disajikan masih mengambil dari orang lain/pedagang lain.

Responden lainnya, yakni Suroto termasuk golongan nonmandiri. Dia menuturkan,

“Untuk jajanan, saya mengambil ke ketua kelompok saya, Bapak Slamet Widodo, dan yang membuat jajanan adalah istrinya. Modal awal pada waktu mulai usaha warung hik sekitar Rp. 100.000,00 untuk kebutuhan bahan minuman dan rokok yang akan saya jual, dan untuk gerobak saya menyewa dari Pak Slamet. Sehari uang sewa gerobak sebesar Rp. 2.000,00”.

Responden tersebut termasuk golongan nonmandiri karena semua keperluan berdagang hiknya tidak dapat dipenuhi sendiri. Selain gerobak yang dipakai menyewa dari orang lain, makanan yang disajikan juga diambil dari orang lain.

Modal Sosial Pedagang Warung Hik

Usaha warung hik merupakan salah satu bentuk kegiatan perekonomian kecil yang mampu bertahan di tengah sulitnya kondisi perekonomian. Kemampuan bertahan (survivalitas) tersebut menandakan bahwa modal sosial (social capital) telah berperan baik pada para pedagang warung hik. Disebut modal sosial, karena para pedagang tersebut saling memberikan informasi dan saling membantu, baik menyangkut peluang usaha, tempat usaha, tempat tinggal, modal, kelompok usaha, dan lain-lain. Dengan adanya modal sosial tersebut, mereka menjadi mampu bertahan (survive) di tengah persaingan usaha di kota Ponorogo.

(9)

dari teman atau kerabatnya yang sudah membuka warung hik di kota Ponorogo, akhirnya mereka pindah usaha di kota Ponorogo. Berikut adalah penuturan Winarno,

“Saya mulai usaha warung hik di kota Ponorogo pada tahun 2002. Sebelumnya juga usaha yang sama tetapi di Kota Solo (Surakarta). Di kota Solo usaha warung hik sudah sangat banyak dan sudah sulit untuk dikembangkan. Saya mendapatkan informasi dari adik ipar saya, yang sudah membuka usaha warung hik di kota Ponorogo di Jalan Urip Sumoharjo depan DKT, bahwa di kota Ponorogo masih belum banyak yang membuka usaha warung hik. Setelah bermusyawarah dengan istri, maka mulai tahun 2002 saya pindah usaha di kota Ponorogo”.

Penuturan Winarno tersebut menunjukkan bahwa untuk menjalankan usaha warung hik, di samping modal usaha juga diperlukan modal sosial yaitu informasi berupa peluang usaha.

Tarto juga menuturkan,

“Sebelumnya saya juga membuka usaha warung hik di kota Yogyakarta. Usaha warung hik di kota Yogyakarta sudah banyak saingannya. Ketika pulang ke Bayat Klaten, saya ditawari oleh Bapak Sandiyo untuk ikut usaha warung hik ke kota Ponorogo. Akhirnya sekitar tahun 2001 saya ikut Bapak Sandiyo ke kota Ponorogo. Pertama kali saya masih ikut dan membantu Bapak Sandiyo, yang sudah membuka usaha warung hik di Jalan Gajah Mada, Timur Toko Elektonik Gatotkoco Ponorogo. Setelah beberapa bulan dan sudah mengenal kondisi di kota Ponorogo, saya berkeinginan untuk membuka usaha warung hik sendiri dan keinginan tersebut didukung oleh Bapak Sandiyo, bahkan saya dicarikan tempat dan sekaligus ijin kepada orang yang mempunyai halaman yang akan saya tempati”.

Seperti penuturan Winarno, penuturan Tarto juga menunjukkan bahwa dalam membuka warung hik diperlukan modal sosial berupa bantuan orang lain seperti peluang usaha, tempat usaha, dan tempat tinggal.

Adapun penuturan Suroto,

(10)

mengembangkan usaha warung hik. Akhirnya pada pertengahan tahun 2004, saya mulai usaha warung hik di kota Ponorogo. Di kota Ponorogo, yang mencarikan tempat usaha warung hik saya adalah Pak Slamet (ketua kelompok). Saya sudah mencoba mencari lokasi sendiri tetapi kesulitan karena selain belum mengenal daerah di Ponorogo juga belum banyak mengenal orang yang halaman tokonya bersedia ditempati untuk usaha”. Penuturan Suroto di atas menunjukkan bahwa usaha berdagang warung hik sulit berkembang apabila tidak mempunyai modal sosial yang cukup, seperti informasi mengenai situasi dan kondisi tempat usaha, peluang usaha, dan lain-lain.

Berdasarkan penuturan ketiga informan tersebut, dapat diketahui bahwa modal sosial telah berperan dengan baik di antara para pedagang warung hik tersebut. Adapun peran yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) informasi peluang usaha, (2) informasi tempat usaha, (3) tempat tinggal dan modal usaha.

Pedagang warung hik yang sudah lama membuka usaha di kota Ponorogo memberikan informasi kepada saudara maupun teman di kota asalnya, bahwa di kota Ponorogo masih terbuka luas dan mempunyai prospek yang bagus untuk membuka usaha warung hik. Kebanyakan yang diberi informasi adalah mereka yang sudah mempunyai usaha sejenis di kota lain, tetapi menghadapi kesulitan mengembangkan usahanya dan akhirnya mereka tertarik untuk masuk ke kota Ponorogo. Informasi peluang usaha ini diberikan oleh teman atau saudara.

Kebanyakan pedagang warung hik yang baru masuk ke kota Ponorogo kesulitan memilih tempat yang strategis untuk usahanya. Mereka biasanya meminta bantuan kepada pedagang warung hik yang sudah lama dan sudah mengenal daerah di kota Ponorogo, untuk memilihkan tempat yang strategis dan sekaligus memintakan ijin kepada orang yang mempunyai halaman untuk ditempati usaha warung hik. Inilah peran informasi tempat usaha.

(11)

Kemampuan Bertahan Pedagang Warung Hik

Kemampuan para pedagang warung hik untuk dapat berkembang dan bertahan (survive) menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo, di samping faktor ketrampilan dan semangat kerja yang mereka miliki, juga didukung oleh berperannya

modal sosial dengan baik di antara mereka. Sebelum masuk ke kota Ponorogo, para pedagang warung hik telah mempunyai pengalaman menjadi pedagang warung hik di kota lain (di Jawa Tengah) dan mereka mempunyai semangat kerja yang cukup tinggi. Menghadapi persaingan usaha yang semakin besar di kota-kota Jawa Tengah, mereka tidak putus asa dan tetap berusaha untuk mencari kota-kota lain untuk mengembangkan usaha warung hiknya. Dalam hal ini, peran modal sosial

menjadi sangat penting bagi para pedagang warung hik, karena dengan saling memberikan informasi dan bantuan, baik informasi peluang usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha, maupun tempat tinggal, menjadikan para pedagang warung hik mampu berkembang dengan baik dan mampu untuk bertahan menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.

Terkait dengan semangat kerja dan kemampuan mengembangkan usaha warung hik tersebut, dapat disimak penuturan Winarno berikut,

“Saya berjualan tiap hari mulai jam 16.30 sampai dengan jam 01.00 dan kadang-kadang sampi 02.00 WIB. Saya tidak mengenal hari pantangan untuk libur berjualan, kalau kelompok lain ada yang libur berjualan tiap Jum’at Legi. Kalau masalah rezeki saya sudah sangat percaya kepada Allah SWT. Yang penting saya terus berusaha dan berdoa. Setiap berjualan saya selalu mencoba ramah dan mengenal pembeli. Sampai sekarang banyak pembeli yang menjadi pelanggan hafal dengan nama saya dan selalu mengajak ngobrol. Mungkin yang membuat warung hik sampai saat ini tetap jalan adalah, selain jajanan yang disediakan komplet, juga melayani mbakar jajanan. Jajanan yang dibakar banyak disukai pelanggan dan itu tidak ada di warung kopi lesehan”.

Penuturan di atas menunjukkan bahwa dalam mengembangan usaha berdagang warung hik diperlukan kemampuan pendukung dan strategi tertentu seperti menjaga komunikasi sosial dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan.

Hal yang sama dikemukakan oleh Suroto. Dia menyatakan,

(12)

oleh pembeli dan paling laris. Supaya langganan saya banyak, saya berusaha mengajak ngobrol pembeli dan sampai saat ini banyak yang sudah kenal dan akrab dengan saya”.

Senada dengan penuturan Winarno, penuturan Suroto juga menunjukkan bahwa di samping waktu buka warung hik yang harus konsisten, pelayanan dan komunikasi sosial juga diperlukan agar usaha warung hik dapat berkembang.

Penuturan Tarto pada dasarnya tidak jauh berbeda. Katanya,

“Di kelompok Bapak Sandiyo tidak mengenal hari pantangan. Jadi, tiap hari selalu jualan mulai jam 17.00 sampai dengan pukul 02.00 WIB. Supaya pembelinya banyak, yang penting ramah dan memberi pelayanan yang baik. Di warung hik melayani mbakar jajanan sedangkan di warung kopi lesehan atau warung kopi permanen biasanya hanya mbakar jadah. Jadi saya tidak perlu khawatir untuk kalah saingan, biar masyarakat yang memilih sendiri”.

Penuturan Tarto tersebut mengarisbawahi penuturan kedua informan lainnya, bahwa untuk mempertahankan keberlangsungan usaha warung hik dan mengem-bangkannya dapat dilakukan dengan menjaga konsistensi waktu buka dan tutup, memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, dan menjaga komunikasi sosial dengan pelanggan.

Dari sisi konsumen atau pembeli, keberadaan warung hik di kota Ponorogo telah mampu memberikan tempat untuk bersantai, mengobrol dan berdiskusi bagi masyarakat Ponorogo pada malam hari. Pembeli yang datang ke warung hik tidak hanya semata-mata untuk membeli makanan dan minuman saja (motif ekonomi), tetapi makanan dan minuman tersebut sebagai pelengkap bagi mereka untuk bersantai, mengobrol dan berdiskusi. Dengan tempat yang sederhana, minuman dan jajanan yang bervariasi, dan tersedia tikar untuk lesehan, warung hik mampu menarik pembeli untuk berlama-lama bersantai, mengobrol dan berdiskusi. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pembeli di warung hik, mayoritas mereka menyatakan bahwa di samping makanan dan minuman yang disajikan mempunyai ciri khas, misalnya tempe dan tahu bacem bakar, sego kucing, minuman jahe dan lain-lain, lokasi di trotoar jalan membuat pembeli semakin santai dan nyaman untuk berlama-lama di warung hik.

(13)
[image:13.612.126.478.116.284.2]

Gambar : Survivalitas Pedagang Warung Hik di Kota Ponorogo

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pedagang warung hik di kota Ponorogo telah mampu berkembang dengan baik dan mampu bertahan menghadapi persaingan usaha. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah pedagang warung hik yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun.

Kemampuan berkembang dan bertahan menghadapi persaingan usaha tersebut, di samping didorong faktor ketrampilan dan semangat kerja yang tinggi, juga didorong oleh berperannya modal sosial di antara pedagang warung hik. Modal sosial yang telah berperan pada para pedagang warung hik adalah saling memberikan informasi dan bantuan, baik terkait dengan informasi peluang usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha, maupun tempat tinggal.

Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) pedagang warung hik terhadap gerobak untuk berjualan dan penyediaan makanan dan jajanan yang akan disajikan, pedagang warung hik di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan. Ketiga golongan itu ialah pedagang warung hik yang mandiri, semi mandiri, dan

nonmandiri.

Dari sisi konsumen, pembeli yang datang ke warung hik tidak hanya semata-ma-ta didorong oleh motif ekonomi (hanya membeli makanan dan minuman), tetapi dido-rong juga oleh motif yang lain, yaitu membutuhkan tempat yang nyaman untuk bersantai, mengobrol, dan berdiskusi. Kebanyakan pembeli merasa nyaman untuk

Faktor pendukung: ketrampilan dan semangat kerja

Modal sosial : memberikan informasi dan memberi bantuan

Keberadaan pedagang warung hik di kota ponorogo

Konsumen : Motif Ekonomi

dan Motif Lain

(14)

singgah berlama-lama di warung hik. Hal tersebut disebabkan, di samping minuman dan jajanan yang disajikan cukup bervariasi dan dapat memesan jajanan yang dibakar, mereka juga dapat memilih tempat duduk yang disukai untuk bersantai, baik di kursi yang telah disediakan ataupun tempat duduk lesehan di trotoar dengan beralaskan tikar.

DAFTAR PUSTAKA

Aloysius Gunadi Brata. 2004. Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor Infor-mal Perkotaan. email : aloy.gb@mail.uajy.ac.id, Agustus 2004. Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya.

Aris Marfai. 2005. Angkringan, Sebuah Simbol Perlawanan. URL artikel: http:/ /www.penulislepas.com 13 Agustus 2005.

Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo.

Hidayat. 1983. Pengembangan Sektor Informal dalam Pembangunan Nasional: Masalah dan Prospek. Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi. Bandung: Universitas Pedjajaran.

Kinlock, Graham C. 1997. Sociological Theory, It’s Development and Major Pardigma. Florida State University: Mc Graw Hill Book Company.

Slamet Santoso. 2006. Modal Sosial pada Pedagang Warung Angkringan. Artikel di koran Ponorogo Pos, No. 254 Tahun V, 01 – 07 Juni 2006.

Soeratno. 2000. Analisa Sektor Informal : Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta. Dalam Jurnal OPTIMUM. Volume 1 Nomor 1 September 2000, Yogyakarta.

Gambar

Gambar : Survivalitas Pedagang Warung Hik di Kota Ponorogo

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan masalah di lapangan yang telah dijelaskan di atas dan research gap pada tabel 1.2 maka dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai “ Analisis Pengaruh Kualitas

muslim, mu’min, muttaqi dan muhsin merupakan persoalan pada skala kecil. Kedua-duanya saling berhubungan dan berkaitan. Teras dan fundamental mengenai kekuatan

server di dalam jaringan internet dengan cara menghabiskan sumber (resource) yang dimiliki oleh komputer tersebut sampai komputer tersebut tidak dapat menjalankan

Sedangkan kepatuhan pasien ditemukan pada tingkat sedang (30,4%) dan tinggi ( 69,6%) dan dari analisis korelasi product moment ditemukan korelasi antara skor kepatuhan

menggabungkan model matematika yang telah dibuat untuk menemukan solusi masalah pada tinggi tower yang paling pendek. Selanjutnya, subjek memberikan alasan dan

penelitian ini adalah tinjauan yuridis tentang tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dibentuk dalam dua rumusan maslah, yaitu: 1) Peraturan

Gibson, dkk (2000 : 179) dalam Wibowo (2007:149) menyatakan tujuan utama program penghargaan (reward) adalah untuk menarik orang yang cakap untuk bergabung dalam

dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kelompok