• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI EPISTEMOLOGI ILMU-ILMU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTEGRASI EPISTEMOLOGI ILMU-ILMU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI EPISTEMOLOGI ILMU-ILMU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Oleh Muhbib Abdul Wahab

ثحبلا صخلم

.ةيويندلاو ةينيدلا مولعلا ىلإ مولعلا قاقشنا يماسإا يراضحلا فلختلا بابسأ نم نإ

.ميلعلا ها ،قحلا اهردصم مولعلا نأ قحلاو

لعجت ةيماسإا ةيبرتلا تناكو

ةدحو مولعلا

يف مولعلا ةيجولوميتسبإ ديحوت نإف مث نمو .ةياغلاو ليصحتلا قرطو ردصملا ثيح نم ةلماكتم

جهانم ةغايص ليبس يف ةيدج تاواحم ةيوبرتلا تاسسؤملا بجوتسي يرورض ماسإا ءوض

خيرات ربع مولعلا ميسقت نأ نم مغرلا ىلعو .ةلماكتمو ةلماش ةغايص يملعلا ثحبلاو ليصحتلا

يف ةسوردملا مولعلا نأ اإ ،اهيلإ رظنلا تاهجو بسحب نيابتمو روطتم ةيماسإا ةيبرتلا

لاخ نم اهريوطت ىلإ ةسام ةجاحب ةيماسإا ةيميلعتلا تاسسؤملا

ةيمنت

ةيملعلا ثوحبلا

لا

ةيدج

خيسرتو ،

ةديقعلا

اهتيلجتو ةيماسإا ميقلا ةرولب نم مهنكمي اخيسرت باطلا سوفن يف

ةسراممب

.ةيلمعلاو ةيملعلا ةايحلا طاسوأ يف ةلضافلا قاخأا

Kata Kunci: Integrasi epistemologi, klasifikasi ilmu, komitmen spiritual dalam penelitian, pengembangan pendidikan Islam.

―Kita tak perlu malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber

manapun datangnya, bahkan kalaupun kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi-generasi terdahulu dan bangsa-bangsa asing. Sebab bagi pencari kebenaran tak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran tak

pernah menghindar dari orang-orang yang mau menerimanya. Kebenaran tak pernah menghinakan orang yang menerimanya, melainkan selalu membuatnya

mulia.‖ [al-Kindi]1

A. Pendahuluan

Pernyataan al-Kindi (801-868 M) tersebut merupakan sebuah ekspresi yang tulus dari seorang pencari kebenaran yang sejati. Orang yang paling mulia adalah orang yang selalu berusaha mencari kebenaran, termasuk kebenaran ilmu, karena memang kebenaran itu dapat mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang

al-Haqq (Yang Maha Benar), pengetahuan tentang Kebenaran sejati.

Penulis adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

1

(2)

Dalam konteks itu, Islam merupakan agama yang sangat mendorong dan mendukung tegaknya kebenaran, rasionalitas, dan ilmu pengetahuan (al-‘ilm), karena

Nabi Saw. sendiri menyatakan bahwa ―Agama (Islam) adalah akal (rasionalitas), maka tidak dikatakan beragama orang yang tidak mendayagunakan akalnya.‖ (HR.

Ibn Hibbân). Beberapa ayat al-Qur‘an juga menunjukkan pentingnya ilmu pengetahuan dan kedudukan ulama. Di antaranya adalah firman Allah: ―… Allah

akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu di antara kamu beberapa derajat...” (QS. al-Mujâdilah [58]:11) ―Hanya para ulama-lah di antara

hamba-hamba-Nya yang mampu mencapai derajat taqwa (takut dan dekat) kepada Allah” (QS. Fâthir [35]:28).2

Perkembangan ilmu bermula dari sikap kuriositas (rasa ingin tahu) manusia dan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Karena memiliki potensi akal, rasa, karsa, dan mata hati (bashîrah), termasuk spiritualitas (God Spot, noktah Ilahiyyah) yang ada dalam dirinya, manusia selalu terdorong untuk mengetahui sesuatu, memahami berbagai obyek yang ada di sekitarnya, mencari jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang mengusiknya, baik mengenai alam sekitarnya (makro kosmos) maupun mengenai alam dirinya sendiri (mikro kosmos)3. Dua pilar utama pengembangan ilmu pengetahuan adalah penalaran (rasionalitas) dan pengamatan (empirisme). Keduanya terjalin sangat erat, dan menjadi dasar metode ilmiah. Keingintahuan manusia dapat muncul dari renungan, refleksi, pemikiran dan kontemplasi yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengamatan, pencatatan, analisis dan konseptualisasi. Bisa jadi, rasa ingin tahu juga muncul berdasarkan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan renungan, seperti pengalaman Nabi Ibrâhîm As. dalam menemukan kebenaran akan keesaan Allah yang Maha Kuasa4.

Akan tetapi, sumber ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada pengamatan, pengalaman empiris, penalaran logis dan hasil bacaan, sebab semua itu cenderung

2 Dalam konteks itu, Nabi Saw. bersabda: ―Carilah ilmu walaupun sampai negeri Cina,

sebab mencari ilmu itu wajib bagi Muslim”. (HR. al-Baihaqi, al-Khathib, Ibn `Abd al-Barr, dan lainnya).

3

Farid Ruskanda, Pemanfaatan dan Penyebarluasan IPTEK Dalam Sudut Pandang Syari'at

Islam, (Jakarta: UMJ Press, 1995), h. 1. Baca pula sumber untuk memperoleh pengetahuan, Masri el-Mahsyar Bidin, dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format Islamisasi Ilmu

Pengetahuan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 4-6.

4 Ruskanda, Pemanfaatan…., h. 2. Berkaitan dengan permenungan dan temuan Nabi Ibrâhîm

(3)

bersifat relatif dan temporer, bahkan subyektif. Oleh karena hakekat kebenaran itu bersumber al-Haqqal-Ahad (Sang Maha Benar yang Maha Esa), maka sumber ilmu pengetahuan lainnya yang tidak dapat diabaikan adalah wahyu (kitab suci), karena sumber yang terakhir ini bersifat mutlak dan trasendental, sedangkan sumber-sumber yang lain (akal, indera, pengalaman, dan sebagainya) bersifat nisbi, relatif dan subyektif. Dalam perspektif mistik, intuisi dan suara hati nurani (dhamîr) juga merupakan sumber kebenaran, karena memang hati nurani itu, menurut al-Qur‘an tidak berdusta (selalu menyuarakan kebenaran) (QS. al-Najm [53]:11). Dengan kata lain, Kitab suci dan tradisi Nabi Saw. (Sunnah) tidak hanya sebagai sumber hukum, melainkan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban. Manusia dalam hal ini dituntut mampu mengaktualisasikan dirinya dengan memberikan kontribusi besar dalam menerjemahkan, menafsirkan dan membumikan pesan-pesan ilahi tersebut, berikut merumuskannya dengan bahasa ilmu: konseptualisasi dan teoritisasi.

B. Posisi Ilmu dalam Islam

Al-Qur‘an dan al-Sunnah juga sangat mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan perintah pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya, yaitu perintah membaca, melakukan pembacaan dengan mengatasnamakan Allah (iqra’ bismi rabbik) (QS. al-‗Alaq [96]:1-6). Dalam al-Qur‘an sendiri dijumpai penggunaan kata "’ilm" sebanyak 854 kali5. Kata ―’ilm‖6, antara lain, digunakan sebagai "proses pencapaian pengetahuan

5

Kata-kata lain yang terkait dengan ilmu yang juga digunakan al-Qur‘an adalah ra’yu (melihat, berpendapat, mengamati, menyelidiki) disebut sebanyak 332 kali, bashar (melihat, memahami, memperhatikan) digunakan sebanyak 149 kali, nazhar (nalar, memperhatikan, memikirkan) sebanyak 99 kali, dan kata `arafa (mengetahui, memahami) sebanyak 24 kali. Sementara itu, kata aql dalam bentuk verba dijumpai setidaknya 48 kali, fikr sebanyak 19 kali, kata

lubb yang berarti akal atau nalar sebanyak 6 kali, dan kata hikmah (kebijaksanaan, filsafat, kearifan) disebut ulang 16 kali. Periksa Muhammad Fu‘âd al-Bâqî, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân

al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992).

6 Kata ―‘ilm” secara linguistik berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim

yang diambil dari perkataan ‘alâmah, yaitu ―tanda, penunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi, label; ciri-ciri; indikasi; dan tanda-tanda‖. Dengan demikian, ma’lam (jamak:

ma’âlim) berarti ―rambu-rambu jalan‖ atau ―sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya

atau sesuatu yang membimbing seseorang‖. ―Alam” juga berarti penunjuk jalan. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah ayat yang secara literal berati ―tanda‖ merujuk pada ayat-ayat

al-Qur‘an dan fenomena alam. Oleh karena itu, sejak dulu umat Islam menganggal ilmu berarti al

(4)

dan obyek pengetahuan" (QS. al-Baqarah [2]:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada sumber-sumber ilmu, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya7. Ayat-ayat al-Qur‘an (teks) dan ayat-ayat Allah yang ada di alam raya,

keduanya secara terpadu, tidak hanya menarik ―dibaca‖ dan dikaji, melainkan juga dapat menjadi sumber dan obyek penelitian dan pengembangan yang tidak pernah lapuk ditelan zaman.8 Beberapa Sunnah Nabi Saw juga memerintahkan kita untuk menuntut ilmu semenjak buaian ibu hingga masuk liang lahad (mati). Tinta ulama itu

lebih utama daripada darah syuhada‘ (HR. al-Bukhârî). Bertafakkur sekali itu lebih baik daripada beribadah seribu kali. Menuntut ilmu juga merupakan salah satu jalan yang mengantarkan seseorang masuk surga. ―Berperang‖ dalam rangka mencari ilmu

itu lebih disukai Allah daripada mengikuti seratus kali perang‖ (HR. al-Bukhârî).9 Dalam konteks tersebut, semua manusia mencipta dan diciptakan oleh sistem kebudayaannya melalui proses pendidikan. Sejarah kebudayaan manusia berkembang dari tahap mitis (penuh mitos), ontologis, dan fungsional. Secara keseluruhan, al-Qur‘an menekankan pada kebudayaan yang fungsional di mana ilmu dan teknologi mengambil peran sentral. Al-Qur‘an mengajarkan agar manusia berpengetahuan, tidak sekedar mencari tahu, melainkan juga dengan tujuan tertentu yang bersifat fungsional.10

Oleh karena itu, sifat dasar ilmu pengetahuan dalam Islam adalah adanya wawasan terhadap Yang Kudus. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islami dari cara berpikir Barat adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir yang pertama bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk ilmu pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber, yang tidak lain adalah Allah (al-Haqq). Oleh karena sumber pengetahuan adalah Yang Kudus,

ibn Abu ‗Amr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1998), Cet. II, h. 689. Lihat juga Wan Mohd. Nor Wan Daud,

Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), Cet. I, h. 144.

7

M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-12, h. 62.

8Dalam hal ini, Allah antara lain berfirman: ―Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)

kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).‖ (QS. al-Kahfi [18]: 109).

9

Lihat Tâj al-Sirr Ahmad Harrân, al-‘Ulûm wa al-Funûn fi al-Hadhârah al-Islâmiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2002), Cet. I, h. 55.

10

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep

(5)

maka tujuan ilmu tidak adalah proses menuju kesadaran mengenai Yang Kudus11. Dengan demikian, Allah adalah Sumber dan Muara ilmu (al-`Alîm, al-`Allâm).

Ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, dengan demikian, bukan tujuan itu sendiri, melainkan sarana, media atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur dan mulia, yakni mencapai kesadasaran tentang Yang Kudus, Yang Mahasuci, Yang Maha Mengetahui, sehingga pemiliknya sadar bahwa dengan ilmunya ia harus mengelola alam, menjalin hubungan baik dengan sesama, dan lebih-lebih beribadah dengan-Nya secara konsisten (istiqâmah) dan bertanggung jawab.12 Dengan ilmu, manusia diharapkan tidak saja lebih dekat dengan Tuhannya, melainkan juga lebih merakyat dengan sesama, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan, serta berperan dalam mendayagukan fasilitas dan sumber daya alama yang tersedia di alam raya (ayat-ayat

kawniyyah). Jadi, ilmu dalam Islam merupakan jalan yang dapat mengantarkan seseorang kepada ma`rifat Allah (mengenal dan memahami Allah)13, sehingga ia menjadi ‘abd (hamba) sekaligus khalifah-Nya yang bertanggung jawab dalam membangun peradaban dunia yang berkeadilan dan menyejahterakan.

C. Metode Pemerolehan Ilmu

Pada umumnya ilmu itu diperoleh melalui pencarian, pembacaan, penelitian, permenungan, kontemplasi, ilham, dan pengalaman. Dari segi pemerolehannya, ilmu dapat dikategorikan menjadi: al-ilm al-hushûlî atau ‘ilm al-kasb dan al-‘ilm

al-hudhûrî, `ilm al-wahb atau ilm ladunnî. Yang pertama diperoleh melalui usaha dan kerja akal-rasioanal, seperti: belajar, membaca, meneliti, mengamati, melakukan ujicoba (eksperimen), permenungan, dan kontemplasi. Sedangkan yang kedua diperoleh melalui intuisi, ma’rifah (gnostik) dan pendekatan diri kepada Allah. Para Nabi, aulia’ (wali), dan sufi pada umumnya –diyakini— dapat (dan pernah) mendapat ilmu jenis ini; sedangkan masyarakat pada umumnya cenderung

11

C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terjemahan dari Philosophy and

Science is the Islamic World, oleh Hasan Basri, (Jakarta: Yayasan Obor, 1988), h.5.

12Menurut ‗Abd al

-Rahmân al-Nahlâwî, tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia

sebagai ahli ibadah dan ahli khilafah dalam mewujudkan syari‘at Allah dan kemakmuran di alam raya ini. Ibadah dan khilafah –yang menjadi amanah yang harus dipikul oleh manusia— hanya dapat

dilaksanakan dan direalisasikan manusia, jika ia mau belajar dan mengembangkan ilmu. Lihat ‗Abd

al-Rahmân al-Nahlâwi, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlîbuhâ fi al-Bait wa al-Madrasah wa

al-Mujtama’, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2003), Cet. II, h. 107-109.

13

(6)

memperoleh ilmu melalui jalur pendidikan, baik informal, formal maupun non-formal atau otodidak. Khusus para Nabi, oleh Allah, diberi hikmah dan wahyu.

Hal tersebut, antara lain, ditegaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur‘an: ―Dan

tiadalah yang diucapkannya (Muhammad Saw.) itu menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang yang disampaikan kepadanya.” (QS. al-Najm [53]:3-4). Pada ayat lain Allah menyatakan: ―Allah

menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang al-Qur‘an dan al -Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang dianugerahi Allah hikmah

itu, berarti ia benar-benar dianugerahi kanuria yang banyak…(QS. al-Baqarah [2]: 269). Jadi, ilmu Allah itu ada yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk wahyu dan hikmah, seperti yang dianugerahkan kepada para Nabi, dan ada pula yang diberikan kepada manusia pada umumnya melalui belajar, mencari ilmu, berguru, membaca, meneliti dan seterusnya.14

Kedua jenis ilmu tersebut pada dasarnya bermuara sama, yaitu bahwa kebenaran ilmu itu bersumber dari Allah Swt. Bedanya adalah bahwa ilmu para Nabi yang berupa wahyu mempunyai nilai kebenaran yang lebih tinggi, dibandingkan dengan ilmu yang diperoleh manusia pada umumnya. Dalam pemerolehannya, keduanya memang melibatkan fungsi akal, namun pencapaian melalui akal mustafâd (melalui Jibril) jelas lebih unggul dan steril dari hawa al-nafs (kepentingan dan kecenderungan pribadi manusia). Wahyu itu diberikan, dalam arti, Allah berkehendak menurunkan langsung ilmu-Nya kepada para Nabi; sedangkan dalam

ilm hushûlî, manusia yang berkeingingan untuk memperolehnya.

Dalam perspektif pendidikan Islam, pemerolehan ilmu tidak hanya terkait dengan metode pemerolehannya, melainkan juga tidak dapat dipisahkan dengan etika yang dipedomani si pembelajar. Metode pemerolehan ilmu melalui belajar (ta’allum,

dirâsah, iktisâb, talaqqi, musyâfahah), menurut para pakar pendidikan Islam, antara lain seperti al-Khathîb al-Baghdâdi (392-463 H), dapat ditempuh dengan imlâ’ (dikte dari guru kepada murid), samâ` (mendengar, mengaji), qira’ah (membaca), `ardh (presentasi), mudzâkarah wa tikrâr (pengulangan), su’âl (penanyaan), munâzharah

14

Shâlih Ahmad al-‗Ali, al-‘Ulûm ‘inda al-‘Arab: Dirâsah fî Kutubihâ wa Makânatihâ fi al

(7)

(debat), rihlah fi thalab al-`ilm (studi tour), ijâzah (pemberian pengakuan, ijazah),

mukâtabah (penyalinan), i`lâm (transfer informasi), washiyyah (pemberian wasiat),

munâwalah (penyampaian riwayat, berita, informasi), dan wijâdah (penyampaian riwayat berdasarkan temuan tulisan dari seseorang). 15

A. Yusuf Ali cenderung meringkas sumber pengetahuan itu menjadi tiga saja, yaitu: wahyu, rasio dan indera. Menurut pola al-Qur‘an, pengetahuan tersebut diperoleh melalui wahyu dan penobatan secara ketuhanan pengetahuan yang absolut (haqq al-yaqîn), rasionalisme atau kesimpulan yang didasari pada keputusan atau penilaian/pengharapan fakta-fakta (al-‘ilm al-yaqîn), dan melalui empirisme dan persepsi, yaitu dengan menggunakan observasi, eksperimen, laporan sejarah, deskripsi pengalaman-pengalaman kehidupan dan semacamnya (‗ain al-yaqîn).16

Ketiga sumber tersebut memiliki bobot kebenaran yang berbeda secara bertingkat. Ilmu yang diperoleh melalui indera yang disebut ‘ain al-yaqîn itu dalam batas-batas pengamatan indera bisa dibenarkan. Namun ternyata yang dinyatakan indera secara kolektif tidak selalu benar, jika realitasnya dilihat secara ilmiah. Karena itu, rasio tidak puas dengan kebenaran inderawi, dan sebagai konsekuensinya rasio melakukan perenungan-perenungan untuk mendapatkan ilmu yang kebenarannya bisa dipercaya, yang disebut ‘ilm al-yaqîn. Betapapun rasio berusaha keras mencapai pengetahuan yang bisa dipercaya kebenarannya, tetapi kemampuan rasio manusia sangat terbatas, sehingga tidak jarang rasio mengalami kesulitan, bahkan tidak

mampu menembus ―wilayah gelap‖ (misteri). Dalam kondisi demikian, rasio

memerlukan bantuan spiritual dengan mengikuti wahyu untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut haqq al-yaqîn. Jadi, haqq al-yaqîn lebih tinggi daripada

15

Sâlik Ahmad Ma‘lûm, al-Fikr al-Tarbawi ‘inda al-Khathîb al-Baghdâdi, (Medina: Mathba‘ah al-Mahmûdiyyah, 1992), Cet. I, h. 232-242 dan 294-299. Hal senada juga pernah

dinyatakan ‗Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H) dalam syairnya (yang berbahar thawil) berikut:

نايبب اهعومجم نع كيبنأس # ةتــسب اإ ملعلا لانت نل اأ ةـغلبو رابطصاو صرحو ءاكذ نامز لوطو ذاتسأ داشرإو #

Artinya: Ingatlah, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali memenuhi enam faktor. Keenam faktor itu semuanya akan kujelaskan dengan rinci, sebagai berikut:

Kecerdasan, kesabaran, kemauan kuat, kecukupan dana, bimbingan tenaga pendidik, dan kecukupan alokasi waktu.

16 A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation, Commentatory, (Leicester: The Islamic

(8)

‘ilm al-yaqîn, sedangkan ‘ilm al-yaqîn lebih tinggi daripada ‘ain al-yaqîn.17

Sementara itu, etika belajar yang mengantarkan seorang pembelajar memperoleh ilmu juga penting diperhatikan, seperti: (1) niat yang tulus dalam menuntut ilmu, (2) mengkonsentrasikan diri dalam studi, (3) sabar, (4) rendah hati, (5) tekun, (6) menghormati guru, ulama, (7) berusaha secara halal, dan (8) bersegera dan disiplin dalam belajar.18 Dengan demikian, pemerolehan ilmu dalam pendidikan Islam sangat bergantung pada niat (komitmen) dari pelakunya, tata-cara/prosedur, proses, tujuan hingga etika yang dipedomaninya.

Namun demikian, dari sekian metode pemerolehan ilmu, studi dan penelitian ilmiah di dunia Islam tampaknya sejauh ini masih sangat ketinggalan atau belum berkembang dinamis. Hal ini, antara lain disebabkan oleh rendahnya sikap ilmiah dan tradisi intelektualisme di kalangan umat Islam serta minimnya apreasiasi terhadap pemikiran dan karya-karya konstruktif; umat Islam selama ini masih cenderung menjadi "konsumen" ilmu, daripada menjadi produsen dan pengembang ilmu. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam dituntut mampu menanamkan rasa cinta terhadap ilmu, menumbuhkembangkan etos akademik dan tradisi penelitian, karya dan kreativitas ilmiah yang dapat memberikan sumbangan berarti bagi umat Islam dan peradaban dunia.

D. Klasifikasi Ilmu dan Pengokohan Bingkai Epistemologi

Pada masa Nabi Saw. ilmu belum berkembang seperti pada masa keemasan Islam atau seperti sekarang ini, dan karena itu, belum ada klasifikasi dan pembidangan tertentu. Abad ke-8 hingga 12 merupakan zaman keemasan Islam, di mana umat Islam mengembangkan suatu kehausan yang amat besar terhadap ilmu,

17

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), Cet. I, h. 110-111.

18

Sâlik Ahmad Ma`lûm, al-Fikr al-Tarbawi.., h. 294-299. Hal senada juga pernah

dinyatakan ‗Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H) dalam syairnya:

نايبب اهعومجم نع كيبنأس # ةتــسب اإ ملعلا لانت نل اأ ةـغلبو رابطصاو صرحو ءاكذ نامز لوطو ذاتسأ داشرإو #

Artinya: Ingatlah, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali memenuhi enam faktor. Keenam faktor itu semuanya akan kujelaskan dengan rinci, sebagai berikut:

(9)

suatu kerinduan terhadap ilmu yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah. Peradaban Islam ketika itu mencapai puncaknya, dan kaum Muslim menjadi para pemimpin pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan19.

Namun demikian, menarik dicatat bahwa instruksi Nabi kepada para sahabatnya, terutama kepada juru tulisnya, untuk menulis (menyalin) al-Qur‘an yang diterima dari Allah melalui malaikat Jibril, diperkuat dengan ayat pertama yang

turun, yaitu: ―Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!” (QS. al-‗Alaq [96]:1) merupakan faktor pemicu dan pemacu lahir dan berkembangnya tradisi baca-tulis, sebagai ganti dari tradisi lisan (dengar-hafal, musyâfahah) yang saat itu memang sangat berkembang. Tradisi baca dan tulis-menulis merupakan cikal-bakal dinamika keilmuan dan tradisi intelektualisme dalam sejarah pendidikan Islam.

Sepeninggal Nabi Saw., ‗Umar ibn al-Khaththâb (584-644 M.) merupakan figur shahabat yang sangat menaruh perhatian terhadap pembukuan al-Qur‘an. Atas prakarsa dan berbagai pertimbangannya yang memang rasional –seperti banyak sahabat yang gugur di medan perang melawan kaum murtad—sahabat Abu Bakar (w. 12 H) setuju untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur‘an dalam satu mushhaf.

Ketika wilayah kekuasaan Islam meluas, melampaui Jazirah Arab, dan menyebar hingga Suriah, Bashrah dan Kufah (Iraq), Mesir dan Afrika Utara, kebutuhan terhadap mushhaf al-Qur‘an sebagai pedoman umat Islam pun meningkat, sehingga pada masa Utsmân ibn `Affân kodifikasi dan standarisasi mushhaf dilakukan. Mushhaf kemudian disalin dan dibagikan ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, seperti Damaskus, Mesir, Yaman, Mekkah, Syam (Suriah–sekarang) dan sebagainya.

Namun demikian, karena sebagian orang yang baru masuk Islam bukan orang Arab, dan dengan demikian tidak bisa secara langsung membaca dan memahami

al-Qur‘an yang berbahasa Arab, maka kebutuhan akan pemberian harakat (tanda baca) al-Qur‘an pun menjadi mendesak. Adalah ‗Ali ibn Abi Thâlib –karramallahu

wajhah—(600-661 M), sahabat yang menginstruksikan perlunya dilakukan pemberian tanda baca pada ayat-ayat al-Qur‘an agar tidak dibaca salah, yang dapat

19

(10)

berimplikasi terhadap pemaknaan dan pengamalan ajaran Islam secara salah pula.

‗Ali juga termasuk pencetus atau inspirator ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) dengan memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali (16-69 H) untuk menyusunnya.20

Dari uraian tersebut, menarik digarisbawahi bahwa al-Qur‘anlah yang menjadi faktor utama pemicu dan pemacu lahirnya ilmu-ilmu tradisional dalam Islam, seperti ilmu bahasa, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu fiqh dan lain sebagainya. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam berjalan seiring dengan kemajuan sosial-ekonomi dan politik umat Islam. Ketika hadis-hadis banyak dipalsukan dan dimanipulasi untuk berbagai kepentingan, terutama politik, maka timbullah hasrat untuk menghimpun dan menuliskan hadis, seperti yang diprakarsai oleh khalifah Umayyah, Umar Ibn ‗Abd al-Aziz (681-720 M). Dari kodifikasi, lalu berkembang ilmu hadis, kemudian untuk menyeleksi hadis yang shahih dari yang dha`if, muncullah ilm al-jarh wa al-ta’dil, semacam metode kritik hadis. Dan dari ilmu kemudian berkembang ilmu sejarah, terutama penulisan sîrah (biografi), sejarah para Nabi Saw. dan sejarah sosial politik.

Ketika bertemu dan berdialog dengan tradisi Hellenistik di Suriah, umat

Islam seolah mendapatkan ―darah segar‖ untuk lebih memanintesifkan dan

mengekstensifkan tradisi keilmuannya. Filsafat, ilmu-ilmu alam dan sebagainya

kemudian ditransfer dan dikembangkan dengan ―sentuhan dan nuansa Islami‖ oleh

umat Islam. Puncaknya adalah pada masa Abbasiyah, utamanya pada masa Hârûn al-Rasyîd dan al-Ma‘mûn. Lebih dari itu, tradisi keilmuan di Timur seperti Persia dan Hindia, juga memberi kontribusi yang tidak kecil bagi pengembangan berbagai disiplin ilmu, seperti administrasi, kedokteran, matematika, dan kimia.

Menurut CA. Qadir, para pemikir Islam yang pertama –dengan mengikuti pendapat Aristoteles—mengklasifikasikan ilmu ke dalam 3 bagian, yakni: ilmu teoretis, praktis dan produktif. al-Kindi merupakan filosof Muslim pertama yang menyajikan klasifikasi seperti itu, yang kemudian difganti oleh al-Farabi (870-901 M) dalam bukunya Ihshâ’ al-‘Ulûm (Daftar Klasifikasi Ilmu)21.

20

Lihat Rihâb Khudhar ‗Akkâwî, Mawsû’ah Abâqirat al-Islâm, (Beirût: Dâr Fikr

al-‗Arabî, 1993), Cet. I, h. 9.

(11)

Klasifikasi yang dibuat oleh al-Fârabi dapat ditabulasikan sebagai berikut22:

No. Klasifikasi Ilmu Cabang-cabang Ilmu

1 Ilmu Bahasa 1. Sintaksis

2. Gramatika (Tata Bahasa) 3. Lafal dan Penuturan 4. Puisi

2 Logika 1. Definisi dan Penyusunan Ide-ide 2. Silogisme dan Bukti-bukti Dialektis

3. Validitas Penalaran

4. Silogisme Pidato dan Diskusi

3 Ilmu-ilmu Pendahuluan/ Dasar 1. Ilmu Hitung 2. Ilmu Ukur praktis dan teoretis –praktis dan teoretis

3. Ilmu Optika 4. Ilmu tentang langit 5. Musik

6. Ilmu Mebeler

4 Fisika (Ilmu Alam) 1. Ilmu Mineral 2. Ilmu Hewan

3. Ilmu Tumbuhan

5 Metafisika 1. Ilmu Wujud 2. Ilmu-ilmu yang menggunakan

pengamatan 3. Ilmu Masyarakat 4. Ilmu Hukum 5. Retorika

Sesudah al-Farabi, Ibn Sina (980-1037 M), Ikhwân al-Shafâ dan al-Razi (865-925 M) juga membuat klasifikasi ilmu, namun tidak jauh berbeda dengan al-Farabi. Adalah Ibn Khaldûn (1332-1406 M), yang memprakarsai penyusunan klasifikasi ilmu ke dalam: 1) Ilmu-ilmu rasional (al-‘ulûm al-‘aqliyyah) dan 2) ilmu-ilmu yang diturunkan/diwariskan (al-‘ulûm al-Naqliyyah). Klasifikasi yang lebih sederhana –dan tampaknya berdasarkan sumbernya— ini dapat diringkaskan sebagai berikut23.

No. Klasifikasi Ilmu Cabang-cabang Ilmu

1 Ilmu-ilmu Rasional 1. Logika

2. Fisika (ilmu-ilmu alam) 3. Ilmu Kedokteran 4. Ilmu Pertanian

5. Metafisika (ilmu-ilmu tentang di luar alam) 6. Ilmu Sihir

7. Ilmu Ghaib

22

Lihat al-Fârabî, Ihshâ’ al-‘Ulûm, Ditahqiq oleh Utsmân Amîn, (Kairo: Dâr Fikr

al-‗Arabî, tt.), 43-44.

(12)

8. Kimia

9. Ilmu-ilmu tentang kuantitas: ilmu ukur, bidang, ruang 10. Musik

6. Ilmu-ilmu bahasa: tata bahasa, perkamusan dan sastra

Lebih lanjut, dalam konfrensi Internasional II mengenai pendidikan Islam di Islamabad, Maret 1980, telah disepakati klasifikasi ilmu sebagai berikut. Landasan epistemologinya adalah pandangan bahwa pengetahuan itu menyangkut hal-hal yang kekal abadi atau yang diperoleh kemudian24.

No. Klasifikasi Ilmu Cabang-cabang Ilmu

1 Ilmu-ilmu tentang yang kekal-abadi

1. al-Qur‘an: studi dan penafsirannya 2. Hadis/Sunnah Nabi

3. Sirah (biografi) Nabi, para sahabat dan tabi‘in 4. Keesaan Allah (tauhid)

5. Prinsip-prinsip ilmu hukum 6. Bahasa Arab al-Qur‘an

7. Ilmu-ilmu tambahan/penunjang –metafisika Islam, perbandingan agama dan kebudayaan Islam

2

Ilmu-ilmu Perolehan 1. Seni imajinatif –seni arsitektur dan seni-seni Islam lainnya; bahasa dan sastra

2. Ilmu-ilmu intelektual –ilmu-ilmu sosial (teoretis), filsafat, pendidikan, ekonomi, politik, sejarah, kebudayaan Muslim, teori-teori Islam tentang politik, ekonomi, sosial, ilmu bumi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi

3. Ilmu-ilmu fisika (teoretis) –filsafat ilmu pengetahuan, fisika, matematika, statistik, kimia, ilmu biologi, astronomi, ilmu-ilmu tentang angkasa luar;

4. Ilmu-ilmu terapan –rekayasa dan teknologi (sipil dan mesin), ilmu kedokteran, ilmu pertanian, dan kehutanan

5. Ilmu-ilmu praktis –perdagangan, ilmu administrasi, administrasi bisnis, administrasi negara, ilmu-ilmu perpustakaan, ekonomi rumah tangga, ilmu-ilmu komunikasi.

Selain itu, ada juga klasifikasi yang murni didasarkan atas sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur‘an. Menurut Mahmûd ‗Abd al-Wahhâb Fâyid, klasifikasi

(13)

berikut ini dibangun atas asumsi bahwa ayat-ayat al-Qur‘an mengakomodasi (mewadahi) dan menginspirasi bagi pengembangan berbagai ilmu berikut.

1. Ilmu-ilmu bahasa Arab (QS. al-Zukhruf [43]: 3).

2. Ilmu-ilmu hewan, bedah, kedokteran dan jiwa (QS. al-Dzâriyât [51]: 21 dan al-Mu‘minûn [23]: 12-14)

3. Ilmu-ilmu geologi, geografi, falak (astronomi) dan matematika (QS. al-Nahl [16]: 10-11, 66; al-Anbiya‘ [21]: 30-33; Yunus [10]: 5).

4. Ilmu tumbuh-tumbuhan (QS. al-Ra`d [13]: 4)

5. Ilmu sejarah dan arkeologi (QS. al-Rûm [30]: 9; dan Fâthir [35]: 44) 6. Ilmu-ilmu kemiliteran dan keprajuritan (QS. al-Anfâl [8]: 60).25

Klasifikasi tersebut juga tidak begitu jelas kerangka epistemologisnya, sehingga ilmu hewan dan ilmu jiwa misalnya, diparalelkan dalam satu pembidangan, padahal obyek material dari keduanya jelas berbeda, yaitu hewan dan manusia. Selain itu, klasifikasi tersebut juga tidak mengakomodasi realitas ilmu dalam perspektif sejarah dan pendidikan Islam, sehingga berbagai ilmu-ilmu tradisional Islam seperti: ilmu kalam, ilmu fiqh, filsafat dan tasawuf Islam, tidak dimunculkan dalam klasifikasi tersebut. Dengan kalimat lain, klasifikasi tersebut cenderung menjustifikasi ilmu yang ada dengan mencocokkannya dengan ayat-ayat yang dinilai relevan dengan ilmu-ilmu dimaksud.

Di Indonesia, pembidangan ilmu juga pernah dilakukan oleh Departemen Agama, bahkan pernah di-SK-kan oleh Menteri Agama RI Alamsjah Ratuperwiranegara, dengan Keputusan Menteri No. 110 Tahun 1982 sebagai berikut:

No. Bidang Disiplin Subdisiplin

1 Qur‘an dan Hadis 1. `Ulum al-Qur‘an

2. Ulum al-Hadis

1. Tarikh al-Qur‘an

2. Ilmu Qira‘at al-Qur‘an 3. Balaghat al-Qur‘an 4. Muqaranat al-Tafsir

1.Hadis Dirayah 2.Hadis Riwayah

3.Tarikh al-Hadis wa al-Muhaddisin

25

Mahmûd ‗Abd al-Wahhâb Fâyid, al-Tarbiyah fi Kitâb Allah, (Tunis: Dâr Busalâmah,

(14)

2 Pemikiran dalam Islam 1. Ilmu Kalam/ Tauhid/

(15)

7 Dakwah Islam 1. Dakwah

2. Perbandingan Agama

1. Ilmu Dakwah 2. Sejarah Penyiaran dan

Pengembangan Islam 3. Filsafat Dakwah

4. Bimbingan Sosial Keagamaan 5. Psikologi Dakwah

1. Sejarah Agama 2. Filsafat Agama 3. Sosiologi Agama 4. Ilmu Jiwa Agama

8

Pemikiran Modern di Dunia Islam

1. Politik 2. Hukum 3. Ekonomi 4. Budaya

-

Pembidangan ilmu versi Depag tersebut tampaknya masih belum jelas dasar pijakan dan perspektif yang digunakan, bahkan dalam beberapa sub disiplin ilmu terlihat masih tumpang tindih. Bidang Dakwah, misalnya, membawahi perbandingan agama, lalu subdisiplinya meliputi: sejarah agama, filsafat agama, sosiologi agama dan ilmu jiwa agama. Pengelompokan ini jelas kurang relevan karena secara epistemologis dakwah tidak berkaitan langsung dengan perbandingan agama. Ilmu perbandingan agama lebih dekat dengan ushûluddin (teologi dan filsafat). Pemikiran Modern di Dunia Islam juga bukan merupakan suatu bidang keilmuan tersendiri mengingat substansinya lebih dekat kepada sejarah pemikiran pada masa modern, lagi pula disiplin yang terkait dengannya tidak hanya politik, hukum, ekonomi, budaya, melainkan dapat juga berhubungan dengan sosial, pendidikan, dakwah, lingkungan dan sebagainya.

(16)

Dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum memang harus segera diakhiri, karena hanya akan membuat umat Islam semakin tertinggal jauh dari negara-negara maju, mengingat ilmu-ilmu yang selama ini –oleh sebagian yang berpendapat bahwa ilmu agama fardhu 'ain dipelajari, sementara ilmu non-agama hukumnya fardhu

kifâyah— ―harus diprioritaskan‖ untuk dipelajari adalah ilmu agama (ilmu-ilmu tradisioal Islam tersebut), sementara ilmu-ilmu non-agama (untuk tidak menyebut ilmu umum) dipinggirkan, atau setidak-tidaknya, kurang mendapat perhatian, sehingga umat Islam yang ahli di bidang ilmu-ilmu kealaman tidak banyak.

Komisi Disiplin Ilmu Agama (KDIA) Dewan Pendidikan Tinggi direktorar Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional telah menyepakati pengelompokan disiplin ilmu ke dalam 3 rumpun, yaitu: ilmu kealaman, ilmu sosial

dan ilmu humaniora. KDIA juga sepakat bahwa studi agama (termasuk Islam) termasuk dalam rumpun ilmu humaniora26. Pengelompokan ini tampaknya didasarkan atas sifat dasar atau karakteristik masing-masing ilmu. Sebagai termasuk rumpun humaniora, studi agama diposisikan sebagai wilayah ilmu yang berkaitan dengan persoalan kemanusiaan dan sekaligus ketuhanan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Mastuhu juga pernah menawarkan pembidangan ilmu dalam Islam ke dalam 3 bidang: ilmu-ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu sosial-budaya-humaniora dan sains. Pengelompokan ini didasarkan atas paradigma keilmuan yang ada dalam Islam, yang menurutnya ada tiga. Pertama, ilmu itu secara esensial terkandung dalam ajaran Islam. Pertumbuhan dan perkembangan suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Kedua, Islam tidak mengenal dikhotomi antara ilmu dan agama. Keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap posisi dan perannya. Kebenaran ilmu bersifat empirik dan relatif, namun dalam pandangan Islam antara bobot kebenaran ilmu, etika dan estetika merupakan satu kesatuan yang utuh. Ketiga, ilmu merupakan ciptaan manusia. Hanya saja sejak awal penciptaan, pengembangan dan pengamalan ilmu dalam Islam dilihat dari dua dimensi, yakni materi dan pelakunnya. Dimensi pertama

26

(17)

mengindikasikan bahwa ilmu itu netral dalam penggunaannya, sedangkan dalam dimensi kedua, pengamalan dan pengembangan ilmu harus dilandasi keikhlasan27.

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa klasifikasi dan pembidangan ilmu dalam dunia Islam mengalami perkembangan yang dinamis, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pembidangan ilmu pada dasarnya tidak akan

―final‖ seratus persen, karena watak dasar ilmu itu sendiri yang cenderung dinamis, terus-menerus mengalami koreksi, revisi dan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Oleh karena kebenaran itu bersifat empirik dan relatif, maka klasifikasi ilmu yang dibuat siapapun atau lembaga manapun pada akhirnya harus diperlakukan sebagai sebuah kebenaran sementara yang pada saatnya nanti pasti akan ditinjau kembali.

Dalam konteks integrasi epistemologi ilmu, penting ditegaskan bahwa ilmu dalam perspektif pendidikan Islam itu bersifat universal, karena sesuai dengan visi dan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn.28 Artinya, ilmu-ilmu yang dipelajari dan dikembangkan dalam lembaga pendidikan Islam itu harus dapat menyejahterakan tidak hanya manusia, melainkan juga harus melindungi kelestarian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Artinya, ilmu harus bervisi teologis (iqra’ bismi

rabbik), bewatak humanis, dan berwawasan lingkungan (ramah lingkungan hidup).

E. Reintegrasi Epistemologi atau Islamisasi Pengetahuan?

Sejalan dengan upaya peninjaun kembali klasifikasi dan pembidangan ilmu, tampaknya diperlukan adanya pengkajian secara kritis dan komprehensif mengenai sejarah perkembangan ilmu dalam Islam. Dari pengkajian ini, diharapkan terrekam dan terungkap peta dunia ilmu dalam Islam: dalam konteks apa sebuah ilmu itu muncul dan berdiri sendiri; apa yang menjadi landasan epistemologi sebuah ilmu; dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kelahiran dan perkembangan sebuah ilmu. Dengan kalimat lain, ide untuk rekonstruksi sejarah ilmu dalam perspektif Islam menjadi sangat penting, tidak saja dalam rangka memperjelas dunia Islam dalam Islam di masa lalu, melainkan juga penting untuk merumuskan dan menata kembali pengembangan ilmu-ilmu yang islami ke depan. Lebih-lebih, studi-studi keilmuan dewasa ini cenderung mengambil atau menggunakan pendekatan lintas-disiplin

27

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 219-30.

28

(18)

keilmuan, sehingga multi-diciplinary research itu dapat menghasilkan format baru dalam pengembangan ilmu.29

Berubahnya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN-IAIN lain (Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, Alauddin Makassar, dan Sunan Gunung Jati Bandung) menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) tampaknya merupakan momentum sejarah yang tepat30 untuk melakukan rekonstruksi epistemologi ilmu-ilmu dalam Islam. Konstruksi teoritis substansi, orientasi, dan metodologi ilmu-ilmu-ilmu-ilmu dimaksud perlu diperkuat dan diperluas, sehingga berbagai disiplin ilmu yang ditawarakan dan dikembangkan UIN tidak saja memiliki basis teoritis yang jelas dan dapat diuji kebenarannya, melainkan juga mempunyai keunggulan praktis-pragmatis dalam aplikasi dan pendayagunaannya bagi masyarakat luas.

Jika filsafat diposisikan sebagai mother of sciences (induk segala ilmu), sementara tema dan narasi besar filsafat adalah Tuhan, Alam dan Manusia, maka menurut penulis, ilmu-ilmu yang ada dan berkembang hingga dewasa ini dapat direklasifikasi menjadi tiga kelompok, yaitu ilmu-ilmu ketuhanan (al-‘ulûm

al-Ulûhiyyah), ilmu-ilmu kealaman (`al-ulûm al-thabî’iyyah) dan ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial (al-‘ulûm al-insâniyyah wa al-Ijtimâ’iyyah).31

Menurut penulis, pembidangan ilmu dapat diklasifikasi ulang berdasarkan kerangka epistemologi yang menempatkan ilmu dalam bingkai substansi, sumber, metodologi, dan obyek studinya. Penglasifikasian ke dalam tiga bangunan ilmu pada

29

Sebagai contoh, ilmu al-badî' (ilmu yang mempelajari mengenai pembagusan dan pemerindahan ungkapan, kalimat, dan gaya bahasa Arab sesuai dengan konteks sosial) dalam kajian balâghah semula tercampur-baur dalam kajian ilmu Bayan dan ilmu Ma'ani. Akan tetapi, setelah khalifah Ibn al-Mu'tazz (249-296 H) melakukan resistematisasi pokok bahasan yang terkait dengannya, ilmu al-badî' itu dapat berdiri sendiri, terpisah dari kajian kedua ilmu tersebut. Lihat 'Abd al-Rahmân Habannakah al-Maidanî, al-Balâghah al-'Arabiyyah: Ususuhâ, wa Ulûmuhâ wa

Funûnuhâ, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996).

30

Dengan mengutip pernyataan Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra dalam berbagai

kesempatan menegaskan bahwa konversi IAIN menjadi UIN Jakarta merupakan ―kemenangan politik‖ umat Islam. Kemenangan ini tidak hanya perlu disyukuri, melainkan juga perlu diisi dan dikembangkan. Untuk mengisi dan mengembangkan, menurut penulis, kesadaran dan komitmen spiritual semua pihak, terutama sivitas akademika UIN, perlu ditumbuhkan dan diarahkan kepada pengokohan tradisi belajar yang membuahkan kualitas moral dan amal yang baik (termasuk kualitas karya akademik yang inspiratif dan memberi pencerahan).

31

(19)

gilirannya dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, saja psikologi dan dakwah dapat "dikawin-silangkan" atau "psikologi belajar dan bahasa Arab" sehingga menjadi sinergi baru: psikologi dakwah dan psikologi belajar bahasa Arab. Teologi –yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu ketuhanan dapat dipadukan dan dimatangkan dengan pengembangan masyarakat, sehingga melahirkan: teologi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Teologi tidak hanya berkutat pada aliran dan pemikiran para mutakallim klasik yang hanya bermuara pada dua kutub

ekstrem: Jabariyyah dan Qadariyyah/Mu‘tazilah, tetapi yang lebih fungsional adalah

bagaimana nilai-nilai positif dari masing-masing pemikiran teologis itu dapat diinternasilisasikan dalam proses pembentukan karakter peserta didik. Tentu saja, proses sinergi dan pengembangannya harus melalui kajian yang intens dan dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis dan substantifnya.

Secara teoritis, Islam dan sains modern tidak ada masalah. Sebagai agama universal, Islam merupakan penyempurna dan pemerindah dengan nilai-nilai moral dan etiknya ilmu-ilmu modern yang sejauh ini belum dikembangkan di dunia Islam.32 Ilmu-ilmu yang akan dikembangkan di UIN dan lembaga pendidikan Islam lainnya tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketuhanan dan kodrat manusia serta relativitas ilmu itu sendiri. Karena itu, yang terpenting adalah penumbuhan kesadaran ilmiah, yaitu kesadaran untuk mau dan terus mengembangkan ilmu yang sudah ada, dan merespon ilmu-ilmu baru, sambil memberikan apreasiasi dan mengadaptasi dengan tetap memahami bahwa tujuan utama ilmu yang dipelajari dalam proses pendidikan Islam tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt., tidak sekedar untuk memahami, menjelaskan, mengontrol dan memprediksi realitas yang ada (realitas ketuhanan, realitas alam, dan realitas kemanusiaan).33

Di kalangan ilmuwan Muslim sendiri ada yang menolak dan mendukung upaya islamisasi ilmu. Bagi yang menolak, yang merupakan mayoritas, ilmu pengetahuan itu bersifat obyektif, sehingga perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu. Bagi mereka, ilmu itu bersifat universal, sehingga

32

Lihat Muhbib Abdul Wahab, "Reintegralisasi Sains dan Islam" dalam Koran Tempo, Jakarta: 27 Pebruari 2005, h. 12.

33

(20)

bisa berlaku sama di mana saja, di Barat maupun di Timur. Sedangkan bagi kelompok kedua, yang membenarkan adanya perbedaan mendasar antara epistemologi modern dan Islami, ilmu pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subyektivitas sang ilmuwan, dan karena itu ilmu tidak bisa dikatakan obyektif, bebas nilai dan universal.

Salah seorang yang menolak islamisasi adalah Parvez Hoodbhoy, seorang fisikawan muda yang cukup dikenal di Universitas Quad-i-azam, di Pakistan. Dalam bukunya Islam and Science, ia menyatakan bahwa ―tidak ada yang disebut ilmu

Islami, dan semua upaya untuk mengislamkan ilmu akan mengalami kegagalan.‖

Alasannya tentu saja universalitas dan obyektivitas ilmu. Untuk memperkuat argumen ia mengemukakan kasus Abdus Salâm dan Stevenweinberg, dua fisikawan yang berbagi hadiah Nobel tahun l976 dalam bidang fisika karena keduanya telah berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan lemah elektro-magnetik yang ada pada alam, padahal yang satu beragama Islam, dan yang lain terus terang mengaku ateis.34

Dalam konteks ini, menarik digarisbawahi pendapat Mâjid Irsân al-Kailânî bahwa ilmu dalam pendidikan Islam itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Bingkai epistemologi ilmu dalam pendidikan Islam membentuk satu kesatuan, yaitu kesatuan sumber ilmu (al-Khâliq), kesatuan wilayah dan obyek keilmuan (al-Khâliq dan segala yang ada al-wujûd al-qâim), dan kesatuan tujuan pengetahuan (ma’rifatullah).35 Dengan kata lain, ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan Islam, termasuk UIN, harus mampu memadukan atau mengintergrasikan ketiga hal tersebut dalam satu bingkai epistemologi yang utuh. Sebagai contoh, ketika belajar thahârah (bersuci), mahasiswa tidak hanya memiliki kompetensi mengenai tata cara bersuci yang sesuai dengan ketentuan fiqh, tetapi juga perlu ditumbuhkan kesadarannya bahwa air itu berasal dari Allah yang perlu disyukuri; air berfungsi menyucikan diri, sehingga berwudhu pada dasarnya harus menembus anggota yang harus dibasahi dengan air hingga menyucikan hati, agar hati yang suci itu dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah Swt.

34

Parvez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality (London: Zedf Books Ltd., l99l), h. 78.

35

Mâjid Irsân al-Kailânî, Falsafat al-Tarbiyah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqâranah Baina

(21)

Apakah ilmu itu bisa benar-benar obyektif, sehingga tidak mungkin terjadi perbedaan fundamental antara satu sistem epistemologi dengan yang lainnya? Ternyata tidak semua ilmuwan dan filosof ilmu sependapat dengan kelompok yang pertama. Holmes Rolston III, seorang profesor filsafat di Colorado State University misalnya, menyatakan dalam bukunya Science and Religion: A Critical Survey,

bahwa ―seorang peneliti akan terwarnai oleh apa yang mereka teliti atau paling tidak

menyumbang skema konseptual yang menyaring apa yang mereka ketahui.‖36 Memang diakuinya bahwa dalam pengetahuan kita tentang dunia material (alam) subyektivitas dapat terus ditekan atau dieliminasi. Namun, dengan kecanggihan ilmiah, kita terjerembab dalam kondisi yang paradoks. Semakin jauh kita mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin kita tidak bisa melepaskan diri dari subyektivitas. Begitu kita bergeser dari lingkup (dunia) kita yang sehari-hari, dan mencoba menelaah partikel-partikel sub-atomik yang sangat kecil atau ―black holes‖ yang sangat luas, atau akibat-akibat relativistik konter-intuitif, observasi kita menjadi semakin sarat dengan teori. Akhirnya Rolston menyimpulkan bahwa fisika, kimia dan astronomi, tiga bidang ilmu yang dipandang paling obyektif, tidak bisa lari dari subyektivitas;37 sebaliknya mereka bahkan semakin subyektif saja.

Jika subyektivitas sangat sulit untuk dilucuti, maka obyektivitas ilmu dan nilai universalnya tentu agak sulit untuk dipertahankan, karena ternyata teori-teori ilmu sangat dipengaruhi oleh subyek yang menelitinya. Dan jika subyektivitas merupakan bagian integral dari sebuah teori ilmiah, maka boleh jadi terjadi perbedaan teori ilmu, seperti antara epistemologi Barat dan Islam merupakan sesuatu yang mungkin, bahkan barangkali sesuatu yang niscaya.

Sementara itu, yang mendukung islamisasi, berpendapat bahwa ilmu yang selama ini dikembangkan oleh Barat cenderung mengarah kepada sekularisme dan materialisme, bebas nilai. Pada tataran ontologi dan epistemologi, boleh jadi tidak ada perbedaan substansial antara ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu Islami. Akan tetapi, pada tataran aksiologis (penyikapan, operasionalisasi dan implementasi), peneliti dan pengembang ilmu di dunia Barat dan Islam barangkali berbeda. Karena

36

Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey (Philadelphia: Temple University Press, 1987), h. 33.

37

(22)

itulah, jika memang diperlukan islamisasi, yang "diislamkan" adalah cara pandang terhadap ilmu dan muatan moral yang harus dijadikan landasan dalam mengembangkan dan mendayagunakan ilmu. Seperti halnya senjata: nama, jenis, komponen dan bentuknya boleh jadi sama, tetapi untuk apa dan siapa yang menggunakannya menjadi berbeda. Dalam konteks inilah "penginjeksian" nilai-nilai Islam diperlukan, di samping penelaahan ulang terhadap akar-akar historis keilmuan Islam yang mempunyai relevansi dengan ilmu-imu modern yang sedang dikembangkan.

Menurut al-Attas, ilmu dalam pendidikan Islam itu sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai karena ilmu adalah sifat manusia. Segala sesuatu yang berada di luar akal pikiran bukanlah ilmu pengatahuan, melainkan fakta dan informasi yang kesemuanya adalah obyek ilmu pengetahuan.38 Karena ilmu tidak netral atau tidak bebas nilai, maka landasan epistemologi ilmu dalam pendidikan Islam perlu dikokohkan dengan mengintegrasikan sumber, proses dan metode pemerolehan, dan etika (aksiologi) pengamalan atau penggunaan dalam aktivtas kehidupan sehari-hari.

F. Epilog

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan cermin dari kemajuan peradaban umat manusia. Pengembangan ilmu sangat bergantung kepada komitmen teologis dan spiritual berikut nilai-nilai moral yang dianut oleh pengembangnya, termasuk komitmen lembaga pendidikan Islam dalam membelajarkan, mengembangkan ilmu dan mengokohkan bangunan epistemologinya. Islam sebagai agama universal cukup kompatibel untuk kembali berperan penting dalam pemajuan ilmu-ilmu dengan berbasis kepada komitmen spiritual, dan nilai-nilai religius dan moral, sehingga ilmu yang dikaji dan dikembangkan dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia.

(23)

Islamisasi ilmu dalam arti "injeksi" nilai-nilai moral Islam dalam bangunan epistemologi ilmu-ilmu itu juga menjadi relevan dan sangat penting agar orientasi pengembangan ilmu "terkawal" dengan baik. Institusi pendidikan Islam dalam hal ini mempunyai peran utama dalam mengintegrasikan kembali "elan vital" keilmuan dan tradisi intelektualisme dalam reklasifikasi ilmu yang kini sedang dikembangkan.

Keberadaan UIN yang didesain untuk menjadi universitas riset di masa depan, tidak hanya dituntut mampu mengembangkan kompetensi metodologis di kalangan para sivitas akademikanya, terutama para dosen, melainkan juga diharapkan mampu menjadi ―jembatan penghubung‖ (jisr al-tawshîl) antara pengembangan ilmu-ilmu modern (sains) dengan ilmu-ilmu tradisional dalam Islam. Reklasifikasi dan reintegrasi ilmu-ilmu –yang selama ini dianggap "lepas" dari induknya (Islam)— tidak hanya perlu disikapi dengan semangat "islamisasi" (aslamah al-‘ilm), melainkan juga ditindaklanjuti dalam pengembangan fakultas dan program studi yang berbasis pada akar dan tradisi keilmuan Islam, sekaligus berbasis pada relevansi sosial-budaya yang melingkupinya. Muara pengokohan integrasi epistemologi dimaksud adalah terwujudnya sistem pendidikan Islam yang mampu memadukan iman-Islam-ihsan; iman-ilmu-amal; dzikir-fikir-taghyîr (aksi perubahan); dakwah

amar ma’ruf nahi munkar, sehingga baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur menjadi kenyataan. Wallahu a'lam bi al-shawâb.

Daftar Pustaka

A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation, Commentatory, Leicester: The Islamic Foundation, 1975.

Abdul Wahab, Muhbib, "Reintegralisasi Sains dan Islam" dalam Koran Tempo, Jakarta: 27 Pebruari 2005.

Akkâwî, Rihâb Khudhar, Mawsû’ah Abâqirat al-Islâm, Beirût: Dâr al-Fikr al-‗Arabî, Cet. I, 1993.

al-‗Alî, Shâlih Ahmad, al-‘Ulûm ‘inda al-‘Arab: Dirâsah fî Kutubihâ wa

Makânatihâ fi al-Harakah al-Fikriyyah fi al-Islâm, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989.

al-Bâqî, Muhammad Fu‘âd, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.

Bidin, Masri el-Mahsyar, dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format

Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.

Daud, Wan Mohd. Nor Wan, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib

(24)

al-Fârabî, Ihshâ’ al-‘Ulûm, Ditahqiq oleh Utsmân Amîn, Kairo: Dâr Fikr

al-‗Arabî, tt.

Fâyid, Mahmûd ‗Abd al-Wahhâb, al-Tarbiyah fi Kitâb Allah, Tunis: Dâr Busalâmah, 1985.

Harrân, Tâj al-Sirr Ahmad, al-‘Ulûm wa al-Funûn fi al-Hadhârah al-Islâmiyyah, Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, Cet. I, 2002.

Hoodbhoy, Parvez, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for

Rationality, London: Zedf Books Ltd., l99l.

ibn Fâris, Ahmad, Mu’jam al-Maqâyîs fi al-Lughah, Tahqîq Syihâb al-Dîn ibn Abu

‗Amr, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. II, 1998.

Kailânî, Mâjid Irsân, Falsafat al-Tarbiyah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqâranah Baina

Falsafat Tarbiyah Islâmiyyah wa Falsafah Tarbawiyyah al-Mu’âshirah, Makkah: Maktabah al-Manârah, Cet. I, 1987.

KDIA, Pengelompokan Disiplin Ilmu Agama, Hasil Perumusan Lakakarya Mencari Paradigma Baru Pengelompokan Disiplin Ilmu Agama, Jakarta: Dirjen Dikti Diknas, 2000.

al-Maidanî, 'Abd al-Rahmân Habannakah, al-Balâghah al-'Arabiyyah: Ususuhâ, wa

Ulûmuhâ wa Funûnuhâ, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996.

Malham, Sâmi Muhammad, Manâhij al-Bahts fi al-Tarbiyah wa 'Ilm al-Nafs, 'Amman: Dâr al-Masîrah, Cet. II, 2002.

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.

Muhammad Jalâl Abu al-Futûh Syaraf, Allah wa 'Âlam wa Insân fi Fikr

al-Islâmî, Kairo: Dâr al-Ma'ârif, 1969.

al-Nahlâwi, ‗Abd al-Rahmân, Ushûl Tarbiyah Islâmiyyah wa Asâlîbuhâ fi

al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. II, 2003. Nashr, Seyyed Hossein, Three Muslim Scholars, Cambridge: Harvard University

Press, 1964.

Nasywân, Ya‘qûb Husain, al-Manhaj al-Tarbawi min Manzhûr Islâmi, Ammân: Dâr al-Furqân, Cet. I, 1992.

Qadir, C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terjemahan dari

Philosophy and Science is the Islamic World, oleh Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor, 1988.

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga

Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, Cet. I, 2005.

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1996.

Rolston, Holmes III, Science and Religion: A Critical Survey, Philadelphia: Temple University Press, 1987.

Ruskanda, Farid, Pemanfaatan dan Penyebarluasan IPTEK Dalam Sudut Pandang

Syari'at Islam, Jakarta: UMJ Press, 1995.

Sâlik Ahmad Ma‘lûm, al-Fikr al-Tarbawi ‘inda al-Khathîb al-Baghdâdi, Medina:

Mathba‘ah al-Mahmûdiyyah, Cet. I, 1992.

Shihab, M. Quraisy, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XII, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengembangan sains dalam diskursus sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari peranan para ilmuwan yang berkiprah di beberapa lembaga pendidikan

Sejarah pemikiran adalah mata kuliah yang membahas berbagai konsep dan perkembangan pemikiran yang berkembang baik di dunia Islam maupun Barat.. Materi Sejarah

Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna- makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang hingga ke furu’ atau

Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang khusus filsafat yang ingin memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan, lama ataupun baru, baik dalam bentuk penyerapan

Ilmu politik sebagai ilmu wasilah untuk merealisasikan rencana-rencana besar Tuhan dalam menciptakan manusia dan alam raya, jika ia ditekuni secara dikotomis, tidak akan

Kajian psikologi, yang masuk dalam wilayah keilmuan sosial, seharusnya bisa memberikan pandangan yang lebih arif tentang persoalan yang dihadapi manusia modern, bukan

Sebagaimana konsep integrasi-interkoneksi sains dan Agama pemikiran Agus Purwanto di atas membawa pada pemahaman akan pentingnya berbagai bidang keilmuan (Matematika, Fisika,

Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi,