SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD TAMYIZ RIDHO NIM: 107043103440
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD TAMYIZ RIDHO NIM: 107043103440
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
Skripsi yang berjudul “PERKAWINAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA (Menurut Undang-Undang Tahun 1974 dan Fatwa MUI DKI Tahun 2000)”
telah diujikan dalam sidang munaqayasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Agustus 2014.
Skripsi ini telah di terima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah
(S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 28 Agustus 2014
iv
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 28 Agustus 2014 M 02 Dzulqa’dah 1435 H
v
2000), Skripsi S1 Perbandingan Mazhab Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
Penelitian ini merupakan kualitatif, yaitu cara menganalisa data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka, melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk melengkapi data yang penyusun inginkan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan normatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi pustaka. Data yang menjadi objek penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana penjelasan fatwa MUI DKI Jakarta tentang hukum perkawinan wanita yang sedang hamil dari zina, bagaimana perbandingannya dengan Undang-undang perkawinan dan pendapat para Imam mazhab, serta bagaimana kedudukan waris anak yang lahir dari zina.
Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa hukum perkawinan wanita hamil dari zina menurut Fatwa MUI DKI Jakarta adalah sah dan boleh, baik oleh sesama pelaku atau dengan orang lain. Pendapat ulama sendiri ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Dan kedudukan waris anak yang lahir dari zina, adalah ikut kepada ibunya, tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya.
Kata kunci : Perkawinan, Wanita Hamil Akibat Zina, Undang-Undang 1974, Fatwa MUI DKI
Pembimbing : Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag
vi
Alhamdulillah, segala puji serta syukur terhaturkan kepada Allah Swt, yang
senantiasa memberikan petunjuk dan maghfirah-Nya kepada semua makhluk-Nya
dan dengan izin-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam
selalutercurahkan kepadaNabi Muhammad Saw, beserta keluargadanpara
sahabat-nyasekalian.
Penulis bersyukur setelah proses panjang dan melelahkan serta berbagai
hambatan, akhirnya dengan limpahan kasih sayang, penulis mampu menyelesaikan
skripsi dengan judul Perkawinan Wanita Hamil Akibat Zina (Menurut
Undang-UndangTahun 1974 dan Fatwa MUI DKI Tahun 2000).
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnyakepadasemuapihak yang telahmembantudanmendukung penulis
dalam menyelesaikan skripsi. Segala bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan,
penulismengucapkanterimakasihkepada:
1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, MA, selakuguru danDekan FakultasSyariah dan
Hukum UIN Jakarta.
2. BapakDr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag,selaku guru, pengujidanketuajurusan
vii
4. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag, selaku guru dan dosen pembimbing penulis,
terimakasih atas waktunya membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Ibu Prof. Dr. Huzaemah T.Yanggo M.Ag, selaku dosen penasihat akademik,
yang telah memberikan masukan terkait proposal skripsi.
6. Bapak Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin Lc, M.Ag, selaku guru dan dosen
penguji penulis yang telah mengoreksi kesalahan penulis.
7. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih
telah memberikan ilmu dan pendidikan selama penulis berada di bangku kuliah.
8. Seluruh Staf pegawai dan pihak lain Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
membantu penulis mengurus administrasi, terutama ibu Aini, terima kasih atas
bantuannya.
9. Terutama untuk kedua orang tuaku tercinta dan tersayang, Bapak Suyana dan Ibu
Siti Fatimah, yang selalu menanti dengan kesabaran, terima kasih untuk doa,
cinta dan kasih yang tak pernah putus sepanjang masa. Juga untuk adikku Ghias
Muhammad, terimakasih untuk semangatnya.
10. My best support, Anisa, terima kasih telah setia menemani penulis dalam
viii
12. Seluruh pihak yang tak dapat disebut namanya satu persatu, penulis
mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya, semoga Allah Swt
membalas kebaikan kalian dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.
Jakarta, 28 Agustus 2014 M
02 Dzulqa’dah 1435 H
ix
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Kajian Studi Terdahulu ... 6
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan Skripsi ... 11
BAB II : LANDASAN TEORI ... 14
A. Fatwa ... 14
B. Perkawinan ... 18
x
PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA ... 32
A. Dasar Perkawinan ... 32
B. Syarat-syarat Perkawinan ... 34
C. Kedudukan Anak ... 36
BAB IV : ANALISIS FATWA MUI DKI JAKARTA TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA ... 42
A. Deskripsi Masalah ... 42
B. Dasar Pertimbangan Fatwa ... 43
C. Pendapat Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil dan Implikasinya terhadap Anak yang dilahirkan ... 46
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 60
B. Saran-saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt menciptakan bumi dan segala isinya dengan beraneka-ragam
makhluk hidup di dalamnya serta mereka dijadikan berpasang-pasangan. Salah satu
penciptaan-Nya adalah diciptakannya laki-laki dan perempuan, diharapkan diantara
mereka terjalin rasa cinta dan kasih sayang. Perkawinan adalah jalan yang di pilih
Allah Swtuntuk melestarikan keturunan. Tujuan perkawinan menurut syariat islam
yaitu untuk membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat
dan saling meridhoi, memelihara keturunan dengan baik, serta menimbulkan
suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan sosial.1
Dalam kehidupan Islam mengajarkan bagaimana manusia dalam pergaulan,
agar tidak menjadi manusia yang berprilaku menyimpang dan bebas.Oleh karena itu, dipandang perlu dalam bertingkah laku saling menghormati satu sama lain, baik
dengan sesama jenis maupun lawan jenis.
Agar pergaulan bebas yang berakibat kehamilan dari perbuatan zina dapat
dicegah, tentunya juga harus ada aturan-aturan yang dapat melarangnya atau
mencegahnya. Dengan demikian, dalam kehidupan akan selaras yang kita
harapkan. Sebuah aturan ini sangat diperlukan dalam tatanan kehidupan yang
1
bermasyarakat dan bernegara, supaya dapat menata kehidupan yang lebih baik.
Aturan ini yang kerap sekali disebut dengan hukum.Dengan adanya hukum yang
mengatur tatanan kehidupan, sangat membantu pola fikir orang dewasa atau remaja
khususnya, untuk menjadi contoh bagi anak-anak atau generasi penerusnya menjadi
generasi yang baik, bukan menjadi racun atau wabah bagi mereka.
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa semua ini terjadi berawal dari
perkenalan antar mereka yaitu laki-laki dan perempuan. Ada yang sedemikian
mengatakan ingin merajut asmara atau disebut dengan pacaran. Keduanya
menginginkan pembuktian dari cintanya. Yaitu pembuktian dengan cara bersetubuh
meski belum menikah. Dan hasilnya, berdampak pada kehamilan.Bahkan wanita
hamil diluar nikah dianggap biasa karena dilakukan suka sama suka, namun hal
tersebut menentukan keabsahan seorang anak yang dikandungnya.2Untuk
menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat kita justru
sering menutupinya, ada yang lari ke dokter atau ke dukun kandungan, guna
menggugurkan kandungan nya, ada pula yang langsung menikahi pasangan zina
nya, atau dengan orang lain agar kehamilan nya diketahui masyarakat sebagai
kehamilan yang sah.3
Tentang hamil diluar nikah itu sendiri, sudah kita ketahui sebagai perbuatan
zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil.Dan itu
merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang
2
H. Abdullah Sidik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tirta Mas, 1983 ),h. 25
3
hamil karena zina akibat dirinya atau orang lain? Para ulama berbeda pendapat
dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula sebagian
ulama membolehkan menikahi lelaki yang telah menzinahi wanita tersebut.Namun
ulama berbeda pendapat mengenai lelaki yang tidak berzina menikahi wanita yang
berzina.4
Dalam ayat al-Qur’an surat al-Nur/24 ayat 3 disebutkan:
ۚ
.
َ
Artinya:“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. (QS. al-Nur/24: 3)
Adapun tentang pernikahan wanita hamil dengan lelaki yang menzinahinya
boleh dan sah dinikahi, telah disepakati oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan
sahabat seperti Ali ibn Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, maupun dari kalangan
ulama generasi sesudahnya seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan lain-lain.
Namun ada beberapa perbedaan pendapat mengenai jika wanita penzina tersebut
dinikahi oleh laki-laki yang tidak menzinahinya.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tidak diatur dalam Bab atau Pasal yang membolehkan atau melarang
perkawinan wanita hamil. Dalam pasal 6 dan 7 hanya dijelaskan syarat-syarat
4Asrorunni’am Soleh,
perkawinan, yaitu persetujuan dari kedua calon mempelai, mendapatkan izin dari
kedua orang tua, serta berusia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Adanya Kompilasi Hukum Islam bagi peradilan agama sudah lama menjadi
kebutuhan, terutama di kalangan departemen agama.5 Dalam Impres No. 1 Tahun
1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bab VIII Kawin
Hamil Pasal 53 ayat 1 dan 2, menyebutkan bahwa “Seorang wanita hamil di luar
nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.”
Adapun fatwa MUI DKI tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan
wanita hamil di luar nikah menyebutkan, bahwa wanita yang pernah melakukan
zina baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikahi oleh
pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinahinya.
Permasalahan nikah dengan perempuan hamil di luar nikah akibat zina
memerlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana. Apalagi sejak adanya fatwa
MUI DKI tentang hal tersebut, yang mana ada sebagian ulama fiqh yang berbeda
pendapat, terutama tentang pendapat yang memperbolehkan wanita penzina
menikahi pria yang tidak menzinahinya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin meneliti tentang bagaimana
pandangan fatwa MUI terhadap masalah tersebut dengan judul: “Perkawinan
5
Wanita Hamil Akibat Zina (Menurut Undang-Undang Tahun 1974 Dan Fatwa
MUI DKI Tahun 2000).”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari paparan dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka masalah
ini dibatasi hanya pada pandangan fatwa MUI DKI Jakarta yang meliputi hukum
nikah wanita hamil dari zina, serta perbandingannya dengan pendapat ulama fiqh
lainnya dan hak waris anak hasil zina.
Dari pembatasan tersebut, dapat dirumuskan pokok masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana Fatwa MUI DKI Jakarta tentang hukum perkawinan wanita hamil
akibat zina?
2. Bagaimana perbandingannya dengan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974
dan pendapat Imam mazhab?
3. Bagaimana kedudukan waris anak yang lahir dari zina?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan fatwa MUI DKI Jakarta tentang
2. Untuk mengetahui bagaimana perbandingannya dengan Undang-undang
perkawinan dan pendapat para ulama fiqh.
3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan waris anak yang lahir dari zina.
Dan adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk kepentingan studi ilmiah.
2. Dengan adanya penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai hukum
menikahi wanita hamil dari zina menurut fatwa MUI DKI Jakarta.
3. Diharapkan dari penelitian ini menjadi rangsangan bagi penulis dan peneliti
lainnya untuk meneliti secara lebih luas dan mendalam, guna mengembangkan
penelitian ini.
D. Kajian Studi Terdahulu
1. Maryam Mahdalina, Peradilan Agama UIN 2011, Tinjauan Hukum Islam Mengenai Kawin Hamil (Studi di KUA Jagakarsa). Skripsi ini membahas bagaimana pendapat ulama setempat mengenai kawin hamil du luar nikah dan
status sang anak. Metode penelitian yang digunakan mengunakan studi pustaka
dan studi lapangan. Kesimpulan yang didapat dari skripsi ini adalah
bahwasanya mayoritas ulama menyebutkan bahwa wanita hamil karena zina
boleh dinikahkan oleh siapa saja, baik oleh laki-laki yang menghamilinya
2. Ahmad Fauzi, Perbandingan Mazhab Hukum UIN 2010, Dinamika Proses Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina Skripsi ini membahas tentang bagaimana pandangan masyarakatpasar minggu terhadap proses pernikahan
wanita hamil akibat zina.Skripsi ini menggunakan metode penelitian dengan
pendekatan kualitatif sebagai pendekatan umum yang menghasilkan dan
mengolah data bersifat deskriptif. Kesimpulan yang didapat dari skripsi ini
adalah bahwasanya masyarakat berbeda pendapat mengenai perkawinan wanita
hamil dari zina, ada yang setuju dan sah-sah saja namun ada juga yang
beranggapan tidak sah.
3. Khoirudin, Perbandingan Mazhab Fiqh UIN 2007, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina, Skripsi ini membahas tentang bagaimana tinjauan hukum islam dan hukum positif
terhadap terhadap pernikahan wanita hamil akibat zina.
4. Siti Mutta’alimah, Perbandingan Mazhab Fiqh UIN 2004, Pernikahan Wanita Hamil dan Implikasinya Terhadap Kedudukan Anak dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Skripsi ini membahas tentang bagaimana implikasi pernikahan wanita hamil terhadap kedudukan sang anak dalam perspektif
hukum islam dan hukum positif. Anak tersebut dapat di nasabkan kepada
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan kualitatif, yaitu cara menganalisa data tanpa mempergunakan perhitungan angka-angka, melainkan mempergunakan sumber
informasi yang relevan untuk melengkapi data yang penyusun inginkan.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif.
Deskriptif berarti pendeskripsian mengenai gambaran, fakta, dan sifat serta
fenomena yang di selidiki secara sistematis.6
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan
normatif, yaitu mendekati masalah yang diteliti dengan cara merujuk pada asas-asas hukum.7
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode yaitu
studi pustaka. Kajian pustaka dilakukan untuk mencapai pemahaman yang
komprehensif tentang konsep-konsep yang akan dikaji. Bahan yang akan
digunakan untuk kajian pustaka ini adalah buku-buku, materi-materi
6
Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005 ), h. 54
7
perkuliahan, artikel-artikel yang berhubungan dengan materi proposal, seperti
buku fatwa-fatwa MUI dan yang lainnya.
Adapun sumber data yang menjadi objek penelitian ini dibagi menjadi
dua yaitu, sumber data primer dan sumber data sekunder, sebagai berikut:
a. Data primer, adalah sumber data yang penyusun jadikan sebagai rujukan
utama dalam membahas dan meneliti permasalahan ini, yaitu fatwa MUI
DKI Jakarta.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, melalui
dokumentasi, karya ilmiah, dan buku-buku yang menunjang penulisan
skripsi.
3. Teknik Pengolahan Data
Untuk teknik pengolahan datanya, dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Mengumpulkan data dan mengamatinya terutama dari aspek kelengkapanya
dan validitasnya serta relevansinya dengan tema bahasan.
b. Mengklasifikasikan dan mensistemasikan data, kemudian di presentasikan
dengan pokok masalah yang ada.
c. Melakukan analisis lanjutan terhadap data-data yang telah diklasifikasikan
dan disistemasikan dengan mengunakan kaedah-kaedah, teori-teori,
konsep-konsep pendekatan yang sesuai, sehingga memperoleh kesimpulan yang
Syukur Kholil mengemukakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
dalam proses pengumpulan data kualitatif, yaitu:8
a. Meringkaskan data hasil kontak dengan sumber,
b. Pengkodean dengan menggunakan simbol atau ringkasan,
c. Pembuatan catatan objektif, klasifikasi dan mengedit data,
d. Membuat catatan reflektif,
e. Membuat catatan marginal untuk komentar,
f. Penyimpanan data,
g. Membuat analisis dalam proses pengumpulan data.
Pengolahan data kualitatif dalam penelitian menurut Agus Salim yakni
sebagai berikut:9
a. Reduksi Data
Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan data,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan data, pengabstrakan data, dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan. Dalam kegiatan reduksi data dilakukan pemilahan-pemilahan
tentang: bagian data yang perlu diberi kode, bagian data yang harus
dibuang, danpola yang harus dilakukan peringkasan. Jadi dalam kegiatan
reduksi data dilakukan: penajaman data, penggolongan data, pengarahan
8
Syukur Kholil, Metodologi Penelitian Komunikasi, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 127
9
data, pembuangan data yang tidak perlu, pengorganisasian data untuk bahan
menarik kesimpulan. Kegiatan reduksi data ini dapat dilakukan melalui:
seleksi data yang ketat, pembuatan ringkasan, dan menggolongkan data
menjadi suatu pola yang lebih luas dan mudah dipahami.
b. Penyajian Data
Penyajian data dapat dijadikan sebagai kumpulan informasi yang
tersusun sehingga memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan. Penyajian yang sering digunakan adalah dalam
bentuk naratif, bentuk matriks, grafik, dan bagan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Sejak langkah awal dalam pengumpulan data, peneliti sudah mulai
mencari arti tentang segala hal yang telah dicatat atau disusun menjadi suatu
konfigurasi tertentu. Pengolahan data kualitatif tidak akan menarik
kesimpulan secara tergesa-gesa, tetapi secara bertahap dengan tetap
memperhatikan perkembangan perolehan data.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis akan memberikan gambaran berupa
keseluruhan isi skripsi. Untuk memudahkan pemahaman dan memperjelas arah
pembahasan maka penulisan skripsi ini disistematisasikan menjadi lima bab dengan
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Kajian Studi Terdahulu
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan Skripsi
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Fatwa
B. Perkawinan
C. Zina
D. Implikasi Zina
BAB III : KETENTUAN UU PERKAWINAN TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA
A. Dasar Perkawinan
B. Syarat-Syarat Perkawinan
C. Kedudukan Anak
BAB IV : ANALISIS FATWA MUI DKI JAKARTA TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA
B. Dasar Pertimbangan Fatwa
C. Pendapat Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil
dan Implikasinya terhadap Anak yang di Lahirkan
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
14 A. Fatwa
1. Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa arab ( تف) yang artinya nasihat, petuah,
jawaban atau pendapat. Dari segi bahasa fatwa adalah penjelasan atau
memberi jawaban mengenai sesuatu perkara yang musykil atau mempunyai
kesamaran tentang suatu hukum. Fatwa dari segi istilah adalah sebagai
jawaban yang dibuat oleh seorang mufti pada perkara yang berlaku apabila
diajukan persoalan kepadanya.1
Fatwa juga termasuk nasehat yang datangnya dari orang yang lebih
tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah dari padanya, baik
tingkatan umurnya, ilmunya, maupun tingkatan kewibawaannya.2
Menurut Muhammad Sai’d, pengarang kitab Mazaliq al-Fatwa, fatwa
dari segi istilah ialah penjelasan mujtahid berkenaan dengan hukum syara’ terhadap perlaksanaan atau masalah, guna menjawab setiap persoalan yang
diutarakan oleh seorang mustafti baik secara jelas atau tidak jelas, mustafti itu
tunggal maupun ramai atau berkelompok.3
Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Seseorang yang meminta fatwa bisa saja perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.
1
Usamah Umar al- Ashqar, Fauda al-Iftaq, (Jordan: Dar al-Nafais: 2009), h. 11 2
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 77
3
Muhammad Sa’id Muhammad al-Barawi, Mazaliq Fatwa, (Kaherah: Dar
Seorang mustafti akan meminta fatwa kepada seorang mufti manakala terdapat permasalahan-permasalahan baru yang memerlukan ketepatan
hukum, dan bertanya tentang hukum syara’. Selain itu, seorang mustafti tidak layak untuk mengeluarkan fatwa dan tidak mencapai taraf sebagai seorang
mufti.4
Tindakan memberi fatwa disebut al-futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Futya pada dasarnya adalah profesi
independen, namun dibanyak negara muslim menjadi terkait dengan otoritas
kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama
hingga ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama bermutu sebagai
al-mufti. Namun, pada masa-masa selanjutnya pos-pos resmi al-futya
diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun
tetap dalam fungsi keagamaan.
Dalam kehidupan beragama Islam di Indonesia, organisasi fatwa
pertama kali berdiri dan masih ada hingga kini adalah Muhammadiyah yang
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di kampung kauman Yogyakarta pada
tanggal 18 November1912 (8 Dzulhijjah 1330 H). Kemudian Nahdlatul Ulama
yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari1926 oleh, KH.
Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah di Surabaya.5 Dan Majelis Ulama
Indonesia yang berdiri pada tanggal, 17 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Saat ini MUI sebagai suatu lembaga yang
4
Al-Zuhailiy Wahbah, Ushul al-fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1986), h. 1159
5
membuat keputusan tentang persoalan ijtihadiyah di Indonesia, guna dijadikan
pegangan dan rujukan pelaksanaan ibadah umat islam di Indonesia.
2. Syarat-Syarat Fatwa
Untuk dapat melaksanakan profesi futya ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi. Pertama, beragama Islam. Kedua, memiliki integritas pribadi (adil). Ketiga, ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki kesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi. Berbeda dengan seorang
hakim, seorang mufti bisa saja wanita, orang buta, atau orang bisu, kecuali
untuk jabatan kenegaraan.
Imam al-Syafi’i berkata dalam salah satu riwayat yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam sebuah kitab al-faqih wa al-muttafaqah lahu, bahwa: “Seseorang tidak diperbolehkan memberikan fatwa dalam masalah agama,
kecuali bagi seseorang yang memiliki:”6
a. Pengetahuan tentang al-Qur’an, baik menyangkut ayat nasikh dan mansukhnya, ayat muhkamat dan mutasyabihatnya, ta’wil (tafsir) dan
tanzil (sebab turun-nya), ayat makiyah dan madaniyah, dan isi kandungannya.
b. Harus mengetahui hadis Rasulullah Saw, baik hadis nasikh dan
mansukhnya, dan dia harus mengetahui al-Hadis tersebut seperti dia
mengetahui al-Qur’an, serta dia harus menggunakan hal tersebut secara adil.
6
c. Kemudian dia harus mengetahui perbedaan pendapat orang yang berilmu
dari berbagai penjuru, lalu mendalaminya.
Apabila sudah terpenuhi syarat-syarat tersebut maka diperbolehkan
baginya untuk mengemukakan pendapat dan memberikan fatwa dalam
masalah halal dan haram. Seandainya tidak terpenuhi, maka tidak
diperbolehkan baginya untuk memberikan fatwa.
3. Dasar Hukum Fatwa
Fatwa sangat penting dalam melayani kehidupan umat islam saat ini
dan kewujudan fatwa memperbolehkan pelaksanaan hukum-hukum syara’ di- tegakkan berlandaskan kaidah-kaidah syariah. Begitu juga dalam
perkembangan undang-undang Islam atau hukum syara’. Dengan kedudukan itu, institusi fatwa diberikan perhatian yang utama oleh dunia Islam.7
Allah Swt berfirman:
.
Artinya:“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikankamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. al-Nisa/4: 65)
7
Hadis Nabi Saw mengenai fatwa:
Artinya:“Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu, kebaikan itu sesuatu yang menenangkan hatimu, dan tenang jiwamu kepadanya. Adapun dosa sesuatu yang menyempitkan hati serta penuh keraguan di dada, sekalipun manusia telah memfatwakannya dan mereka memfatwakannya buatmu.”8(HR. Imam Ahmad)
B. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan sering diartikan sebagai ikatan suami istri yang sah. Secara
bahasa kata nikah berarti bergabung ( ), hubungan kelamin ( ) dan
jugaberarti akad ( ).9
Adapun secara syar’i, perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak
berlaku dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari’at.
Menurut ensiklopedia Indonesia (Purwadarminta, 1976), perkawinan
diartikan sebagai perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri.
Adapun menurut hukum Perdata yang dimaksud dengan perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami
8
Hamzah Ahmad Zain, Musnad Ahmad, Darul Hadist, no. 17135
isteri.10 Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974,
yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 diatas
maka seluruh seluk-beluk tentang perkawinan di Indonesia diatur oleh
undang-undang tersebut.
2. Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan telah diatur dari Pasal 6 sampai Pasal 12 UU
No.I tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan
yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan
yang bersifat formil.Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat
disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang
tuanya telah meninggal dunia.
c. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada
10
penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
e. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu
itu adalah sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
hari, dihitung sejak kematian suami.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan harus ada: Calon suami, calon istri, wali nikah,
duasaksi, ijab dan qobul:11
Syarat calon suami: Islam, laki-laki, bukan lelaki muhrim dengan
calon istri, mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut, bukan
dalam ihram haji atau umroh, dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan,
tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu, mengetahui
bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri.
Syarat calon istri: Islam, perempuan yang tertentu, bukan perempuan
muhrim dengan calon suami, bukan seorang banci, akil baligh, bukan dalam
ihram haji atau umroh, tidak dalam iddah, bukan istri orang.
Syarat wali:12 Islam, baligh, berakal, merdeka, lali-laki, adil.
Sebaiknya seorang calon istri perlu memastikan syarat wajib menjadi
wali, karena jika syarat-syarat wali tersebut tidak terpenuhi seperti di atas,
maka sebuah pernikahan bisa dianggap tidak sah atau batal.
Jenis-jenis wali:
1) Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapak yang
mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu
11
UU RI No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara), h. 232
12
perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan
kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan.13
2) Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan
berhak menjadi wali.
3) Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi
wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan
tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
4) Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau
pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik
menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu. Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin
menghadiri, tidak diketahui tempat tinggal atau enggan menjadi wali. Dan
wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
pengadilan agama tentang wali tersebut.14
Syarat-syarat saksi: Sekurang-kurangnya dua orang, islam, berakal,
telah dewasa, laki-laki, memahami isi lafal ijab dan qobul, dapat mendengar,
melihat dan berbicara, adil (tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu
13
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: al-Maarif, 1994), h. 21-22 14
banyak melakukan dosa-dosa kecil), merdeka. Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.15
Syarat ijab: Pernikahan nikah ini hendaklah tepat, tidak boleh
menggunakan perkataan sindiran, diucapkan oleh wali atau wakilnya, tidak
diikatkan dengan tempo waktu seperti mut’ah (nikah kontrak atau pernikahan yang sah dalam tempo tertentu), tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab
dilafalkan.
Syarat qobul: Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab, tidak ada
perkataan sindiran, dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas
sebab-sebab tertentu), tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mut’ah (seperti nikah kontrak), tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan), menyebut nama calon istri, tidak ditambahkan dengan perkataan
lain.
3. Dasar Hukum Perkawinan
Dasar dan tujuan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan tercantum dalam pasal 1 dan 2:16
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir-bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
15
M. Daud Ali, dkk, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 147
16
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
Ayat 1: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam Islam, hukum nikah sunnah bagi orang yang bisa menahan
biologis dan tidak khawatir terjerumus kedalam zina jika dia tidak menikah,
dan dia telah mampu untuk memenuhi nafkah dan tanggung keluarga. Dan
orang yang takut akan dirinya terjerumus ke dalam zina, jika dia tidak nikah,
atau orang yang tidak mampu meninggalkan zina kecuali dengan nikah, maka
nikah itu wajib atasnya. Allah Swt berfirman:
أ
.
Artinya:“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS.al-Nur/24: 32)
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya,”(QS. An-Nisa/4: 3).
Hadis tentang nikah:
.
Artinya:“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, beliau pernah bersabda: Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan agamanya. Dapatkan kemujuran dengan menikahi perempuan yang beragama, maka engkau akan mendapatkan keuntungan yang tak terhingga.”17
(HR. Imam Bukhari)
Hukum pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut
situasi dan kondisi seseorang dan lingkungannya, diantaranya:18
a. Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada
kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera
melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki
keinginan yang kuat serta dikhawatirkan akan terjerumus kedalam
perzinahan apabila tidak segera menikah.
b. Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta
memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.
c. Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada unsur niat jahat,
seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya, serta niat-niat jahat lainnya.
17
Ahmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993), jilid 6, no. 4700
18
d. Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah dan memenuhi
kewajiban suami istri dengan baik.
e. Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum
dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang
mendorong terjadinya pernikahan menyebabkan adanya hukum nikah
tersebut.
Adapun Tujuan dari Perkawinan itu sendiri diantaranya:19
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumbuhkan kasih sayang.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh memperoleh harta yang halal.
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
f. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia
untuk menjaga keselamatan hidup.
g. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria
dan wanita.
h. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi
hukum bahwa antara pria dan wanita untuk saling membutuhkan.20
19
C. Zina
1. Pengertian Zina
Kata Zina berasal dari bahasa Arab (
انزلا
), dan dari bahasa Ibrani:zanah artinya perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan).
Menurut al-Jurjani zina adalah:
Artinya: “Memasukkan penis (zakar) kedalam vagina (farj) bukan miliknya
(bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan).”21
Zina secara mutlak diartikan dengan, menyetubuhi perempuan tanpa
melalui akad yang diatur dalam agama. Secara umum zina bukan hanya di saat
manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala aktivitas seksual yang
dapat merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina. Ada juga
yang mengartikan zina ialah seorang pria bercampur dengan seorang wanita
tanpa melalui akad yang sesuai dengan syar’i. 2. Syarat-Syarat Zina
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut:22
a. Adanya saksi. Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui
kebenarannya apabila telah terpenuhi syarat-syarat, diantaranya:23
20
R. Abdul Djamali, Hukum Islam: Berdasarkan ketentuan kurikulum konsorsium Ilmu Hukum,(Bandung, Mandar Maju, 1997), h. 79
21
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita selekta hukum Islam, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), h. 34
22
1) Saksi berjumlah empat orang atau lebih.
2) Saksi harus laki-laki.
3) Berakal sehat.
4) Merdeka.
5) Adil.
6) Muslim.
7) Melihat sendiri perbuatan zina dan dapat menjelaskannya.
8) Berada dalam satu majelis.
b. Adanya Pengakuan:
1) Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal
(tidak gila).
2) Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3) Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu
hukumannya.
4) Hubungan seksual terjadi pada kemaluan.
5) Tidak adanya syubhat.
6) Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan.
c. Adanya kehamilan:
1) Hamil tidak memiliki suami
2) Tidak memiliki tuan (apabila seorang budak)
3) Tidak adanya syubhat dalam kehamilan
23
3. Dasar Hukum Zina
Menurut syariat Islam bahwa perzinaan hukumnya adalah haram. Dan
termasuk perbuatan yang hina dan merupakan penyakit yang akan merusak
keutuhan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat selain itu zina juga
dikatakan sebagai perbuatan yang keji dan menjijikkan. Allah Swt berfirman:
.
Artinya:“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhmya zina itu
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. al-Isra/17: 32)
.
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu,
dalam keadaan terhina” (QS. al-Furqan/25: 68-69)
Rasulullah Saw bersabda mengenai zina:
berangan-angan, & kemaluanlah sebagai pembenar semuanya atau tidak.”24 (HR. Imam Bukhari)
D. Implikasi Zina
Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi dengan
berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku, telah disepakati oleh para ulama.
Tetapi, para ulama masih berselisih pendapat tentang hamil diluar nikah. Apakah
hal ini dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan
zina atau orang ini telah melakukan perbuatan zina sehingga berhak mendapatkan
sanksi.
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat:
1. Pendapat jumhur yaitu mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah (Hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
2. Pendapat mazhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat ditegakkan
dengan indikasi kehamilan.
Menurut ibnu al-Taimiyah ra yang lebih rajih dari dua pendapat diatas
adalah pendapat mazhab Malikiyah. Beliau telah menyatakan bahwa, seorang
wanita dihukum dengan hukuman zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan
tidak memiliki suami, tidak memiliki tuan (jika ia seorang budak) serta tidak
mengklaim adanya syubhat dalam kehamilannya.25
24
Ahmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993), jilid 7, no. 5774
25
Hadits Nabi Saw:
Artinya: “Dan bagi orang sudah menikah adalah hukuman cambuk seratus kali dan dirajam dengan batu.”26 (HR. Imam Muslim)
Hukuman untuk orang yang berzina adalah rajam, yaitu hukuman mati
dengan cara dilempari batu bagi orang yang mukhshan. Dan apabila dia ghaira
mukhshan adalah di cambuk 100 kali buat pezina, sesuai dengan Firman Allah
Swt:
.
Artinya:“Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS. al-Nur/24: 2)
.
Artinya: “Dan bagi orang yang belum menikah adalah dicambuk seratus kali lalu
diasingkan selama setahun.”27
(HR. Imam Muslim)
26
Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Darus Sunah Press, jilid 8), no. 3200
27
32
PERKAWINAN WANITA HAMIL DARI ZINA
A. Dasar Perkawinan
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.1 Di dalam hukum perdata pernikahan tidak jauh
berbeda dengan hukum Islam, didalam hukum perdata perkawinan adalah suatu hal
yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan istri.
Dengan perkawinan itu timbul ikatan yang berisi hak dan kewajiban misalnya;
kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, yang tidak kalah penting adalah
hukum yang terjadi antara anak yang lahir dari perkawinan.
Menurut kitab undang-undang hukum perdata, perkawinan adalah persatuan
seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama-sama,
maksudnya untuk hidup berlangsung selama lamanya sampai akhir hayat. hamil
karena zina itu sah selama mengikuti/memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah yang
telah ditentukan oleh undang-undang.2 Dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun
1974, dasar perkawinan dijelaskan pada pasal 1 dan 2, antara lain:
1
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1994), h. 23 2
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 2
(1)Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu
tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk
jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau untuk
selamanya. Dengan adanya perkawinan, maka suami istri dapat hidup bersama
dengan ikatan bathin, yang tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang
bersangkutan dalam membina keluarga bahagia.3
B. Syarat-Syarat Perkawinan
Dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang-orang yang telah kawin atau
berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dan kehendak masyarakat, serta
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang belum
kawin.4
Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat
melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan adalah
mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam
peraturan perundang-undangan, diantaranya:
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3)
dan (4), pasal ini atau salah seorang atau. di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal-berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1)Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2)Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
(3)Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang di maksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Mengenai kawin hamil dari zina, dalam pasal 32 hukum perdata dengan
keputusan hakim telah dinyatakan orang yang berzina dilarang kawin dengan teman
zina. Maksud pasal tersebut adalah berupa larangan, jangan terjadi
hubungan-hubungan yang asusila, contoh hubungan-hubungan diluar nikah antara laki-laki yang belum
beristri dengan perempuan yang sudah bersuami, atau hubungan antara perempuan
yang belum bersuami dengan laki-laki yang sudah beristri. Dengan demikian, kalau
terjadi hal-hal diatas apakah dia telah melakukan zina harus ada keputusan hakim,
sehingga diantara pihak-pihak yang telah melakukan zina tadi di larang untuk
melakukan perkawinan.
C. Kedudukan Anak
Dalam undang-undang perkawinan No I Tahun 1974, anak yang sah adalah
(1) anak yang lahir dalam perkawinan yang sah (2) anak yang lahir sebagai akibat
perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena
berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan
pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir itu adalah anak sah dari
Mengenai anak yang tidak ada berbapak ini yang dikenal sebagai anak diluar
kawin, dimana si anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan
keluarga ibunya,diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun
1974. bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam sekarang ini, kemungkinan bagi
seorang wanita yang hamil di luar nikah untuk kemungkinan dengan pria yang
menghamilinya (pasal 53) yang perlu dicatat adalah bahwa perkawinan ini dapat
segera dilaksanakan dan tidak usah menunggu sampai anak lahir.
Dalam usahanya untuk menghindari keadaan seorang anak tidak mempunyai
bapak. Maka seorang anak perempuan yang hamil diluar perkawinan, itu agak
dipaksakan untuk kawin, sedapat mungkin tentunya dengan seorang pria yang pernah
bersetubuh dengan si wanita itu juga dianggap penyebab hamilnya perempuan itu.5
Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang
sah antara ayah dan ibunya. Dalam Undang-Undang tidak membolehkan pengakuan
terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina atau yang dilahirkan dari
hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain.6 Seperti yang
dijelaskan pada Undang-Undang Tahun 1974:
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
5
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan no.1 / 1974. (Jakarta,Tinta Mas,1996), h. 125
6
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat
dari pada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan
pihak yang berkepentingan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak diatur secara
terperinci dalam bab atau pasal, yang membolehkan atau melarang perkawinan
wanita hamil. Namun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam bagi peradilan
agama dalam Impres No. 1 Tahun 1991, dalam Bab VIII Kawin Hamil:7
7
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 di atas mengenai wanita hamil
terdapat batasan-batasan sebagai berikut:8
1. Kawin dengan laki-laki yang menghamilinya.
2. Perkawinan langsung dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi.
3. Tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Status sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan merupakan suatu
masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan
hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara
hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban
ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar nikah tersebut. Konsekuensinya
adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan
hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut ayahnya untuk
8
memenuhi kewajibanya yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai
anak tidak sah. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan
keperdataan itu, biasanya bersifat material.
Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu
dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak di luar
nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. Pengakuan
terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum
diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan. Pengakuan
demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil,
dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu
harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan
anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan
berhak minta agar hal itu dicantumkan pada margin akta kelahirannya. Bagaimanapun
kelalaian mencatatkan pengakuan pada margin akta kelahiran itu tidak boleh
dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui
itu.
Adapun prosedur pengakuan anak diluar nikah, diatur dalam Pasal 49
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang
1. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh
ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.
2. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir
di luar hubungan pernikahan yang sah.
3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan
Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan
42
WANITA HAMIL DARI ZINA
A. Deskripsi Masalah
Sebagai bagian dari hukum Islam, perkawinan memiliki peran yang cukup
signifikan terhadap banyaknya persoalan dalam kehidupan sehari-hari umat muslim,
akan tetapi tidak jarang pula terdapat penyelewengan terhadap praktik hukum
tersebut. Seperti dalam masalah status pernikahan wanita hamil akibat zina dan status
nasab anaknya. Persoalan ini memang telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad
Saw, namun hingga saat ini tetap saja masih jadi perbincangan orang banyak.
Banyak aspek yang perlu dikaji untuk melihat dan memahami secara detail,
termasuk diantaranya adalah mengkaji pendapat Fatwa MUI DKI Jakarta dan
Pendapat para ulama lain dalam menyikapi adanya praktik tersebut.
Dan wali nikah bagi anak perempuan dari hasil nikah hamil adalah termasuk
juga problema tersendiri dari diperbolehkannya nikah hamil. Ketika wanita hamil
karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan,
maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika
anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang
kemudian menjadi masalah antara aturan fiqh dan undang-undang. Masalah ini
berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut, apakah
dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika
tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim.
B. Dasar Pertimbangan Fatwa
Fatwa MUI DKI tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita
hamil di luar nikah menyebutkan bahwa wanita yang pernah melakukan zina, baik
dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikah oleh pria yang
menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinainya.1 Adapun fatwa tersebut
dapat dijelaskan dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt:
.
Artinya:“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin.”(QS. al-Nur/24: 3)
Ayat diatas menjelaskan, tentang boleh dan sah nya menikahi wanita yang
sedang hamil atau tidak karena zina, dengan sesama pria yang menzinainya.
Dalam surat al-Nisa/4 ayat 24 dijelaskan:
1
.
Artinya:“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri -isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. al-Nisa/4: 24)
Dalil diatas menjadi dasar dibolehkannya menikahi wanita yang sedang
hamil karena zina dengan orang lain, yang bukan sesama pelaku pezina.
2. Hadis Nabi Saw:
Artinya:“Dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda: Seorang laki-laki pelaku zina yang dihukum jilid tidak akan menikah kecuali dengan yang serupa (wanita pelaku zina).”2 (HR. Abu Dawud)
Hadits diatas menjelaskan bahwa, pelaku pezina hanya akan menikah
dengan sesama pezina saja.
.
Artinya:“Dari Ibn Umar, Rasulullah Saw telah bersabda: Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal.”3 (HR. Imam Ibn Majah)
Hadits ini menerangkan bahwa, boleh dan sah wanita yang sedang hamil
karena zina dinikahi dengan laki-laki lain yang tidak menzinainya, serta sesudah
2
Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-2, h. 221 3
akad mereka boleh melakukan hubungan suami istri, dengan alasan perbuatan
yang sudah halal tidak bisa mempengaruhi perbuatan haram yang sebelumnya.
3. Qaidah Fiqh:
Artinya:“Asal hukum segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang
mengharamkannya.”4
Maksud dari qaidah diatas ialah, asalnya hukum menikah adalah boleh
tetapi apabila ada dalil yang menunjukan keharaman tersebut, maka hukum nikah
berubah menjadi haram.
Lembaga Komisi Fatwa MUI DKI menetapkan pada tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah menyebutkan, bahwa wanita
yang pernah melakukan zina,baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh
dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak
menzinahinya, dengan argumen atau alasan:
a. Dalam ilmu biologi, sperma yang masuk pada rahim wanita yang sedang hamil
tidak akan mempengaruhi janin yang sudah jadi. Dengan demikian, tidak perlu
dikhawatirkan akan terjadinya percampuran sperma laki-laki yang menzinai
dengan sperma laki-laki yang akan menikahinya secara sah.
4
b. Jika wanita yang sedang hamil dari zina tidak boleh dinikahi, baik bagi si-pelaku
maupun orang lain maka akan menimbulkan rasa malu dan membebani psikologis
wanita tersebut, manakala lelaki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab.
c. Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta lebih cenderung kepada pendapat Imam Syafi’i, karena dianggap lebih sesuai dengan kemaslahatan pada masa kini, dilihat dari
semakin meningkatnya hubungan pergaulan bebas yang mengakibatkan banyak
terjadi kehamilan diluar nikah.
C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil dan Implikasinya terhadap Anak yang di Lahirkan
1. Firman Allah Swt:
Artinya:“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.Yang demikian diharamkan atas orang-orang mu’min.” (QS. al-Nur/24: 3)
Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan al-Hakim meriwayatkan dari hadits `Amr bin Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang laki-laki
yang bernama Mazid, dia mempunyai seorang kawan wanita di Makkah yang
bernama Inaq (seorang pelacur). Dia meminta izin kepada Nabi Saw untuk
menikahi wanita tersebut, akan tetapi Nabi Saw sama sekali tidak menjawab,
Mazid, pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik. Karena itu
janganlah menikahinya.”5
.
Artinya:“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.”(QS. al-Nisa/4: 24)
Imam Muslim, Abu Dawud, al-Timidzi dan al-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Sa'id al-Khudriy berkata, “Kami mendapatkan para tawanan wanita dari Authas yang mempunyai suami. Dan kami merasa tidak enak untuk
5
menggauli mereka karena status merereka tersebut, kami pun bertanya kepada
Rasulullah Saw tentang hal itu, lalu turunlah ayat tersebut.”6
2. Hadis Nabi Saw:
.
Artinya:“Dari Ibn Umar, Rasulullah Saw telah bersabda: Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal.”7 (HR. Imam Ibn Majah)
Artinya: “Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya). Dan wanita yang sedang tidak hamil boleh digauli hingga ia mengeluarkan darah haidl satu kali.”9(HR. al-Hakim)
3. Ijma’ Sahabat
Jalaluddin al-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 158
7
Al-Hafiz Abi abdillah, Sunan Ibn Majah, (Makah: Dar at-Turas al-‘Arabi, tth.), juz ke -1, h. 639
8
Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-2, h. 248 9
Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak ‘ala al-Shahiani, (Beirut: Dar Kutub