PENGARUH PENERAPAN SISTEM SELF ASSESSMENT
TERHADAP OPTIMALISASI PENERIMAAN PPh PASAL 25
WAJIB PAJAK BADAN
(Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Kramat Jati)
Oleh
Ilham Teruna Bakti
NIM: 103082029345
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGARUH PENERAPAN SISTEM SELF ASSESSMENT
TERHADAP OPTIMALISASI PENERIMAAN PPh PASAL 25
WAJIB PAJAK BADAN
(Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Kramat Jati)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
Ilham Teruna Bakti NIM: 103082029345
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.Dr.Abdul Hamid, MS Afif Sulfa, SE, MSi, Ak. NIP : 131.474.891
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Hari ini Senin Tanggal 03 Bulan Desember Tahun Dua Ribu tujuh telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama Ilham Teruna Bakti NIM: 103082029345 dengan judul skripsi “PENGARUH PENERAPAN SISTEM SELF ASSESSMENT TERHADAP OPTIMALISASI PENERIMAAN PPh PASAL 25 WAJIB PAJAK BADAN” (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Kramat Jati). Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Desember 2007
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak.,MBA. Yessi Fitri, SE, Ak., Msi Ketua Sekretaris
Hari ini Jum’at Tanggal 15 Bulan Agustus Tahun Dua Ribu Delapan telah dilakukan Ujian Skripsi atas nama Ilham Teruna Bakti NIM: 103082029345
dengan judul skripsi “PENGARUH PENERAPAN SISTEM SELF
ASSESSMENT TERHADAP OPTIMALISASI PENERIMAAN PPh PASAL 25 WAJIB PAJAK BADAN” (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Kramat Jati). Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Agustus 2008
Tim Penguji Ujian Skripsi
Prof.Dr.Abdul Hamid, MS. Afif Sulfa, SE, MSi, Ak. Ketua Sekretaris
Daftar Riwayat Hidup
I. Identitas Pribadi
1. Nama : Ilham Teruna Bakti 2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 04 Juli 1985
3. Alamat : Jl. Aster Raya Cs 12 No.11 Rt 011/011 Perumahan Kranggan Permai, Pondok Gede, Bekasi
4. Telepon : 0218511302
II. Pendidikan
1. SDN Kranggan Permai Bekasi. 2. SLTPN 230 Jakarta Timur. 3. SMUN 58 Jakarta Timur.
ABSTRACT
The goal of this research for knowing what of influence to applying of system done by Office of Tax Service to optimal of acceptance, analyzing compliance of Taxpayer in paying installment of the tax credit in applied system, that is system of self assessment.
Self assessment system is a tax imposition system which giving authority, trust and responsibility to Taxpayer to count, calculating, paying and reporting amount ot tax debt himself. Optimalization or optimum is the best and tax acceptance the most beneficial to the state.
Income tax section 25 that is income tax installment to be paid itself by Taxpayer each month in tax year walk. Income tax section 25 can be made as tax credit to tax, which is debt to the entire or all production of Taxpayer by the end of tax year, which is reported in Report Tax Of Income Tax.
Based on to result of research in Tax Office Service of Jakarta Kramat Jati, by using Chi-Square statistic analysis method, Chi-Square amount 13,48 > table Chi-Square amount 9,488 by significant 5%. That Execution of self assessment system have a very effect on to tax acceptance optimalization (income tax section 25 board).
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah ada pengaruh terhadap penerapan sistem yang dilakaukan oleh Kantor Pelayanan Pajak terhadap optimalisasi penerimaan. Menganalisis kepatuhan wajib pajak dalam membayar angsuran kredit pajak didalam sistem yang diterapkan, yaitu sistem self assessment.
Sistem self assessment adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Optimalisasi atau optimum adalah yang terbaik dan penerimaan pajak yang paling menguntungkan bagi Negara.
Pajak Penghasilan Pasal 25, yaitu angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Berdasarkan hasil penelitian di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kramat Jati, dengan menggunakan metode analisis statistik yaitu dengan Chi-Kuadrat. Didapat nilai Chi-Kuadrat sebesar 13,48 > dari nilai tabel Chi-Kuadrat sebesar 9,488 dengan taraf signifikan 5%. Dengan demikian bahwa penerapan ssitem self assessment sangat berpengaruh terhadap optimalisasi penerimaan pajak (PPh Pasal 25 badan).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan
Nabi besar Muhammad Saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Atas
jasanya yang telah membawa umat manusia dari jalan kegelapan dan
mengantarakannya menuju masyarakat yang beradab.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari betul sepenuhnya masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Hal tersebut terjadi karena
keterbatasan kemampuan dan wawasan yang dimiliki penulis. Ketika rasa
kecemasan dan rasa enggan datang menyelimuti penulis, bantuan dari berbagai
pihak penulis rasakan sangat begitu berarti. Karena itu penulis tak lupa ucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka yang telah memberikan
bantuannya baik secara moril maupun materiil dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga segala bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis akan
dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.
Penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
tulus kepada :
1. Kedua Orang tuaku, kakak dan adik-adikku yang telah memberikan
dorongan semangat, serta perhatiannya yang begitu besar dan tulus kapada
2. Bapak Prof.Dr.Abdul Hamid, MS selaku dosen pembimbing I yang
dengan ikhlas meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan
bimbingan selama penulisan skripsi ini.
3. Bapak Afif Sulfa, SE, MSi, Ak selaku dosen pembimbing II yang dengan
ikhlas dan sabar meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan
bimbingan selama penulisan skripsi ini.
4. Pimpinan dan Karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kramat
Jati, ibu Kamti, bapak Gunung, dan yang lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, terima kasih atas kesediannya membimbing dan
memberikan data-data yang dibutuhkan penulis selama penyusunan skripsi
ini.
5. Bapak Drs. Faisal Badroen, MBA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.
6. Bapak Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA Selaku Ketua Jurusan
Akuntansi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Bapak Amilin SE, Ak., Msi selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Bapak dan Ibu dosen yang banyak berjasa mengajarkan penulis dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan selama mengikuti perkuliahan, serta
9. Semua sahabatku, terima kasih atas semua saran dan bantuannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
10.Regina Ayuningrum, terima kasih atas semua bantuan selama ini,
jasa-jasamu tak akan terlupakan.
11.Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa kepada Allah SWT dan mohon maaf
yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekhilafan penulis dalam penyusunan
skripsi ini dan berharap sumbangan pemikiran melalui skripsi ini bisa bermanfaat.
Jakarta, oktober 2010
DAFTAR ISI
Daftar Riwayat Hidup………...…i
Abstract………ii
Abstrak………....iii
Kata Pengantar………iv
Daftar Isi……….……...…vii
Daftar Tabel………...x
Daftar Gambar………...…..…xi
Daftar Lampiran………...xii
BAB I : PENDAHULUAN………..1
A. Latar Belakang Penelitian………...1
B. Perumusan Masalah………...6
C. Tujuan dan Manfaat……….………...……6
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA………9
A. Dasar-dasar Perpajakan………...………9
1. Pengertian Pajak………..………..9
2. Subjek dan Objek Pajak……….……….12
3. Sistem Pemungutan Pajak………...………...…….13
4. Hambatan Pemungutan Pajak……….15
5. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak………...16
6. Kewajiban dan Wewenang Fiskus…….……….23
7. Surat Pemberitahuan (SPT)……….23
B. Pajak Penghasilan Pasal 25………...27
1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25………...27
2. Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25………29
3. Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25………...30
4. Perubahan Keadaan Usaha Wajib Pajak……….30
5. PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, BUMN dan BUMD………..……32
C. Sistem Self Assessment dalam Perpajakan di Indonesia……….…...35
D. Optimalisasi Penerimaan Pajak……… 38
E. Penelitian-penelitian Terdahulu...….………...39
F. Hipotesis...44
BAB III : METODELOGI PENELITIAN………46
A. Ruang Lingkup Penelitian………. 46
B. Metode Penentuan Sampel………...46
C. Metode Pengumpulan Data……….………...47
D. Metode Analisis………..………...47
E. Operasional Variabel Penelitian………..………...50
BAB IV : PENEMUAN DAN PEMBAHASAN……….………..51
A. Gambaran Umum Tentang Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kramat Jati...51
2. Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta
Kramat Jati dan Uraian Tugas...54
B. Penemuan dan Pembahsan………56
1. Penerapan Sistem Self Assessment………...57
2. Optimalisasi Penerimaan Pajak………...61
3. Penerapan Sistem Self Assessment dan Optimalisasi Penerimaan Pajak………67
C. PengujianHipotesis………...69
BAB V : KESIMPULAN DAN IMPLIKASI………72
A. Kesimpulan………...72
B. Implikasi………...74
Daftar Pustaka………76
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Untuk 26 Wajib Pajak Tarif Orang Pribadi
2.2 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Untuk Wajib 27 Pajak Tarif Badan
4.1 Jumlah Karyawan Berdasarkan Jenis Kelamin 52 4.2 Jumlah Karyawan Berdasarkan Urutan Jabatan 53 4.3 Nilai Skor Penerapan Sistem Self Assessment 58 4.9 Distribusi Frekuensi Optimalisasi Penerimaan 64
Pajak
4.10 Daftar Jumlah Sampel Untuk Optimalisasi 65 Penerimaan Pajak
4.11 Rencana dan Realisasi Penerimaan PPh Pasal 65 25 Untuk Wajib Pajak Badan KPP Pratama
Jakarta Kramat Jati
4.12 Frekuensi Observasi Antara Penerapan Sistem 66 Self Assessment Terhadap Optimalisasi
Penerimaan Pajak
4.13 Distribusi Frekuensi Yang Sebenarnya (f0) dan 68
Frekuensi Harapan (fh) Penerapan sistem
Self Assessment dan Optimalisasi Penerimaan Pajak
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
3.1 Bentuk Kurva Xh2 > Xα2 atau tolak Ho 49
3.2 Bentuk Kurva Xh2 < Xα2 atau terima Ho 49
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1 Struktur organisasi KPP Pratama Jakarta Kramat Jati 78 2 Rencana dan Realisasi Penerimaan PPh Pasal 25 79
untuk Wajib Pajak Badan pada KPP Pratama Jakarta
Kramat Jati
3 30 Sampel Wajib Pajak PPh Badan Dalam Penyampaian/ 80 Pelaporan
4 30 Sampel Wajib Pajak PPh Badan Dalam Penyetoran/ 82 Pembayaran PPh Pasal 25
5 Tabel Chi-Kuadrat 84
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Adanya pelaksanaan reformasi perpajakan nasional atau tax reform pada tahun 1983, penerimaan negara dari sektor pajak semakin meningkat. Oleh karena
itu akan menjadi hal yang sangat menarik sekali untuk dibahas tentang perpajakan
saat ini. Betapa tidak, pajak adalah sebagai salah satu unsur penerimaan negara
yang sangat besar untuk kepentingan pembangunan nasional disamping
penerimaan dalam negeri lainnya. Disamping itu penerimaan dari sektor pajak ini
merupakan sumber pendanaan yang sangat potensial karena pemerintah dapat
mengumpulkan dana-dana dari masyarakat secara cepat melalui pemungutan atau
pemotongan pajak berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia walaupun dari tahun ke tahun
terus mengalami peningkatan, namun dinilai masih sangat rendah. Hal ini
dikarenakan oleh adanya rasa keengganan dan ketidakinginan para Wajib Pajak
dalam melaporkan kewajiban pajaknya dengan konsekuensi secara benar masih
sangat tinggi. Kondisi ini makin diperparah dengan tingkat kesadaran wajib pajak
akan pengetahuan peraturan perpajakan yang juga masih sangat kurang. Hal ini
menjadi suatu kendala dan potensi besar yang harus disikapi oleh Direktorat
Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dan mencari
penanggulangannya dalam menangani perpajakan. Jika kesadaran Wajib Pajak
dengan pesat karena tingkat kepatuhan Wajib Pajak sangat memegang peranan
penting dalam menentukan tingkat realisasi penerimaan pajak.
Untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, Direktorat Jenderal
Pajak yang berada dibawah Departemen Keuangan telah melakukan usaha-usaha
baik yang bersifat preventif maupun represif. Usaha-usaha tersebut terutama
adalah penyuluhan pajak, pelayanan pajak, dan pemeriksaan pajak yang
merupakan alternatif tindakan terakhir. Namun dengan kondisi tingkat kesadaran
yang masih rendah itu, Indonesia dengan sengaja memakai sistem self assessment, karena sistem pemungutan self assessment ini sendiri memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Dengan cara ini maka kesadaran
yang rendah dalam membayar pajak bisa ditingkatkan sehingga tercapainya
penerimaan pajak optimal, yakni berimbangnya tingkat penerimaan pajak aktual
dengan penerimaan pajak potensial, dengan kata lain tidak ada selisih antara
penerimaan aktual dengan penerimaan pajak potensial, atau sering disebut sebagai
tax gap yang mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak atau tax compliance.
Penerimaan pajak meliputi penerimaan dari pajak-pajak langsung dan
penerimaan dari pajak-pajak tidak langsung, namun seringkali negara-negara yang
sedang berkembang terlalu tergantung pada penerimaan pajak-pajak tidak
langsung. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan yang masih rendah. Pada
hakekatnya pajak tidak langsung ini sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan pada
Oleh karena itu, di Indonesia diberlakukan sistem self assessment yang diharapkan dapat melaksanakan administrasi perpajakan dengan rapi, terkendali, sederhana
dan mudah untuk dipahami oleh masyarakat Wajib Pajak.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Antariksa Budileksana
yang berjudul Pemeriksaan Pajak Sebagai Upaya Untuk Mendorong Kepatuhan
Wajib Pajak berkesimpulan bahwa berdasarkan sistem self assessment Wajib Pajak menghitung, membayar dan melaporkan kewajibannya perpajakannya.
sebagai konsekuensi logis dari sistem tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
melakukan pemeriksaan dengan tujuan utama untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lea Endang
Wahyuningsih yang berjudul Keefektifan Pengawasan Pembayaran PPh Pasal 25
dan Pengaruhnya Terhadap Penerimaan Pajak (KPP Kebayoran Lama) yang
berkesimpulan bahwa penerimaan PPh Pasal 25 tahun 2000 untuk Wajib Pajak
mengalami peningkatan sebesar 2,28% dari 7,33% pada tahun 2000 menjadi
10,21% pada tahun 2001.
Dalam penelitian yang lain yang dilakukan oleh Sunarni yang berjudul
Pelaksanaan Pengawasan Pembayaran Pajak PPh Pasal 25 Badan dalam Upaya
Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak di KPP Kebayoran Lama berkesimpulan
bahwa tingkat kepatuhan pembayaran PPh Pasal 25 Badan masih sangat rendah,
hal ini dapat dilihat dari rata-rata tingkat kepatuhan pembayaran PPh Pasal 25
walaupun mengalami peningkatan, namun tingkat kepatuhan masih dikatakan
sangat rendah karena belum memenuhi target atau rencana yang ditetapkan.
John Hutagaol dalam jurnal berjudul Self Assessment: Implementasi dan Kendalanya, menjelaskan bahwa dalam sistem self assessment, peran serta masyarakat di dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sangat penting dan bahkan
menjadi faktor penentu di dalam keberhasilan pengumpulan pajak. Agar Wajib
Pajak membayar pajak sesuai ketentuan maka diperlukan alat monitoring yaitu
data.
Dalam penelitian yang sama juga dilakukan oleh Waluyo yang berjudul
Perhitungan PPh Pasal 25, yaitu menyebutkan bahwa:
1. Secara yuridis dasar hukum pembayaran pajak penghasilan Pasal 25
adalah undang-undang no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan yang
menyebutkan angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Aturan
pelaksanaannya sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No.
522/KMK.04/2002 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri
Keuangan No.84/KMK.04/2002.
2. Besarnya angsuran pajak tersebut yaitu sebesar pajak penghasilan yang
terutang menurut SPT tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu
dikurangi dengan:
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal
21 dan pasal 23 serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana
b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 dibagi 12 atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
3. Perlu diketahui bahwa dalam SPT Tahunan juga harus diisi butir pajak
penghasilan Pasal 25 yaitu : Angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam
hal-hal tertentu dapat diimplementasikan sebagai berikut:
a. Dalam hal tertentu seperti telah diatur pada Pasal 25 ayat (6) yang
memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk
menentukan perhitungan besarnya angsuran pajak tahun berjalan
dalam hal-hal tertentu. Salah satu hal tertentu tersebut antara lain
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
b. Besarnya PPh Pasal 25 dalam wajib pajak berhak atas kompensasi
kerugian yaitu sebesar pajak penghasilan yang dihitung dengan dasar
jumlah penghasilan neto menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang
lalu (setelah dikurangi kompensasi kerugian) dikurangi dengan PPh
yang dibayar atau terhutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
dibagi 12 atau banyak bulan dalam bagian tahun pajak.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka skripsi ini diberi judul
“Pengaruh Penerapan Sistem Self Assessment terhadap Optimalisasi
Penerimaan PPh Pasal 25 Wajib Pajak Badan (Studi Kasus pada KPP
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam latar belakang penelitian,
maka masalah yang akan dirumuskan di dalam skripsi ini adalah: Apakah ada
pengaruh yang signifikan antara penerapan sistem self assessment terhadap optimalisasi penerimaan PPh Pasal 25 Wajib Pajak Badan khususnya.
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Hasil utama dari suatu penelitian adalah berupa data yang berhasil
dikumpulkan, diolah dan kemudian dianalisa. Untuk memberikan arah
atau pedoman dalam kegiatan penelitian ini agar sesuai dengan rencana
yang telah ditentukan maka diperlukan adanya suatu tujuan penelitian.
Adapun kegiatan penelitian yang penulis lakukan ini mempunyai tujuan
yaitu untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara
pelaksanaan sistem self assessment terhadap optimalisasi penerimaan PPh Pasal 25 Wajib Pajak Badan.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
1) Untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana ekonomi
program studi akuntansi.
2) Sebagai langkah penerapan ilmu pengetahuan yang diperoleh di
bangku kuliah yang berupa teori-teori dengan kenyataan yang
dengan keadaan yang sesungguhnya, dengan demikian pemahaman
tentang teori akan lebih mendalam.
3) Untuk menambah pengetahuan peneliti jika terjun di masyarakat
dan dapat memperluas cakrawala berpikir, terutama yang
berhubungan dengan penerapan sistem self assessment dan pengaruhnya terhadap optimalisasi penerimaan pajak.
b. Bagi Pembaca
1) Dapat mengetahui tata cara dalam pelaksanaan sistem self assessment dari cara menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutangnya.
2) Memberikan gambaran pengetahuan dan sumbangan pemikiran
kepada masyarakat umum untuk lebih memahami perpajakan, agar
mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa pajak akibat
ketidaktahuan Wajib Pajak tentang hak dan kewajibannya di
bidang perpajakan.
c. Bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Kramat Jati
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi KPP
Pratama Jakarta Kramat Jati untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan
perpajakan dan sebagai bahan acuan untuk mengetahui sejauh mana
d. Bagi Lembaga Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi
perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam memberikan sumbangan pemikiran untuk bidang pendidikan
dan pengajaran agar dapat menambah cakrawala pengetahuan di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar-dasar Perpajakan
1. Pengertian Pajak
Pengertian pajak secara umum berbeda-beda. Dilihat dari tujuan
penggunaan penerimaan pajak bagi negara, pajak merupakan iuran dari
rakyat kepada negara untuk penyelenggaraan kegiatan pembangunan
bangsa. Menurut karangan (Waluyo dan Wirawan, 2003:4), terdapat
definisi-definisi pajak diantaranya:
Menurut Rochmat Soemitro, mendefinisikan pajak sebagai berikut:
Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut P. J. A. Andiani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso
Brotodiharjo,
Pajak adalah iuran kepada kas negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Soeparman Soemahamidjaja,
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak
memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri yang melekat pada pengertiannya.
Adapun unsur-unsur pengertian pajak diantaranya masyarakat,
undang-undang, pemungut pajak dan obyek pajak.
Sedangkan ciri-ciri pada pengertian pajak adalah:
a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
b. Tanpa jasa timbal (kontraprestasi) dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya
kontraprestasi individu oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
d. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai investasi masyarakat.
e. Pajak berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara (fungsi budgeter)
dan untuk tujuan mengatur dan meksanakan kebijakan pemerintah
dalam bidang sosial dan ekonomi (fungsi reguleren).
f. Pajak merupakan paralihan kekayaan dari seorang pribadi atau badan
ke pemerintah.
Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian
pajak, terlihat adanya dua fungsi pajak, yaitu:
a. Fungsi penerimaan yaitu pajak berfungsi sebagai sumber dana yang
diperuntukan bagi pembiayaan-pembiayaan pemerintah, seperti
dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
b. Fungsi mengatur yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi, seperti
dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras sehingga
konsumsi minuman keras dapat ditekan, demikian pula terhadap
barang mewah.
Mengacu pada Undang-Undang No.16 Pasal 1 Tahun 2000
pengertian-pengertian dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menurut (Waluyo dan Wirawan, 2003:26) antara lain, meliputi:
a. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
b. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan lainnya.
c. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim, kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan paling lama tiga bulan takwim.
d. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
e. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak. f. Pajak yang terhutang adalah pajak yang harus dibayar pada satu saat,
g. Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
h. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
i. Penanggung pajak adalah orang pribadi yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Subjek dan Obyek Pajak
Subjek pajak diartikan sebagai yang dituju oleh undang-undang
untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek
pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak.
Dalam UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (3) yang dimaksud
dengan subjek pajak adalah:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan atau perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu-kesatuan menggantikan yang berhak.
Adapun dalam Pasal 2 ayat (4) yang dimaksud subjek pajak luar
negeri terdiri atas:
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Objek pajak menurut (Gunadi dkk, 2000:50) adalah sasaran kena
pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Dengan demikian yang
menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasala dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Waib Pajak yang
bersangkutan dengan nama dan bentuk apapun.
3. Sistem Pemungutan Pajak
Didalam perpajakan menurut (Mardiasmo, 2002:7) dikenal tiga
macam sistem pemungutan pajak, yaitu:
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak. Seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Cir-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
Fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri.
2) Wajib Pajak diharuskan aktif, mulai dari menghitung, menyetor,
dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak
yang bersangkutan) untuk memotong dan memungut besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak. Contohnya : PPh Pasal 21, 22, 23, 26
dan PPN.
Dasar-dasar pemungutan pajak meliputi beberapa hal, yaitu:
a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan).
Hukum pajak harus berdasarkan pada keadilan, selanjutnya keadilan
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis).
Untuk menyatakan suatu keadaan, hukum pajak harus memberikan
jaminan hukum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu
pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang.
c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi).
Seperti pada uraian sebelumnya bahwa pajak mempunyai fungsi
reguler dan fungsi budgetair. Pada asas atau dasar ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar
kehidupan masyarakat terus meningkat. Untuk itu pemungutan pajak
harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi.
d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial).
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan itu diharapkan seminimum
mungkin, demikian pula beban yang dipikul oleh Wajib Pajak.
4. Hambatan Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa hambatan menurut (Mardiasmo, 2002:9) dalam
pemungutan pajak yang dapat dikelompakan menjadi:
a. Perlawanan Pasif.
Masyarakat enggan (pasif) menyampaikan atau melaporkan
pembayaran pajak, yang disebabkan antara lain:
1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan
baik.
b. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada Fiskus dengan tujuan untuk menghindari
pajak, antara lain:
1) Tax avoidance yaitu usaha untuk meringkankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
2) Tax evasion yaitu uasaha meringkan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
5. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
a. Hak Wajib Pajak
Mengenai hak-hak Wajib Pajak menurut (Mardiasmo, 2001:40)
adalah sebagai berikut:
1) Hak mengajukan keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktorat Jenderal Pajak atas waktu:
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
e) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah
pajak yang dipotong atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib
Pajak disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan
dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaannya.
2) Hak mengajukan banding.
Wajib Pajak dapat mengajukan banding hanya kepada
badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya
yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Permohonan
banding diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan
alasan waktu tiga bulan sejak keputusan keberatan diterima,
dengan dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut. apabila
pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian
atau seluruhnya maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
ditambah imbalan bunga 2% sebulan untuk selama-lamanaya 24
3) Hak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak (restitusi).
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian
dan meminta kembali pembayaran pajak dengan catatan Wajib
Pajak tersebut tidak mempunyai hutang pajak yang terlebih dahulu.
4) Hak penundaan pemasukan SPT Tahunan.
Penundaan pemasukan SPT Tahunan ini dilakukan oleh
Wajib Pajak baik Orang Pribadi maupun Badan apabila tidak dapat
menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca perusahaan
beserta daftar rugi laba dalam jangka waktu yang diperlukan
karena luasnya kegiatan usaha dan masalah teknis penyusunan
neraca dan penyusunan laporan keuangan.
5) Hak pembetulan atas SPT yang telah dimasukkan .
Wajib Pajak dapat membetulkan SPT atas kemauan sendiri
menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak, atau tahun pajak, dengan syarat Direktorat Jenderal
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
6) Hak mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk
mengangsur, mencicil, atau menunda pembayaran pajak yang
terutang sebagaimana yang tercantum pada Surat Ketetapan Pajak
(SKPKBT) atau pada Surat Tagihan Pajak (STP). Untuk
mendapatkan kelonggaran tersebut, Wajib Pajak harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan antara lain:
a) Wajib Pajak benar-benar sedang mengalami kesulitan
likuiditas.
b) Wajib Pajak harus memberikan jaminan atas utang perpajakan
yang berupa harta gerak maupun harta tak bergerak kepada
Direktorat Jenderal Pajak.
c) Wajib Pajak membayar bunga 2% perbulan atas tunggakan
pajaknya.
7) Hak mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan
atau pengurangan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang ternyata diadakan karena adanya kekhilafan dan
bukan kesalahan Wajib Pajak, kepada Direktorat Jenderal Pajak
permohonan harus disampaikan tertulis kepada Wajib Pajak dalam
jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan
menyebutkan alasan yang jelas.
b. Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban Wajib Pajak dalam ketentuan umum perpajakan no. 16
1) Kewajiban mendaftarkan diri
Setiap Wajib Pajak mendaftarkan diri pada Kantor
Direktorat Jenderal Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Setiap orang pribadi yang memperoleh
penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib
mendaftarkan diri pada KPP dimana Wajib Pajak berdomisili atau
berkedudukan dengan mengisi formulir pendaftaran, kemudian
KPP memberikan NPWP kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.
2) Kewajiban menyampaikan SPT
Setiap Wajib Pajak berkewajiban mengisi SPT,
menandatangani dan menyampaikan pengembalian SPT pada KPP
dimana Wajib Pajak berdomisili atau terdaftar. Batas pengembalian
kembali SPT:
(a) Untuk SPT Masa, selambat-lambatnya 20 hari setelah akhir
masa pajak.
(b) Untuk SPT Tahunan, selambat-lambatnya 3 bulan setelah akhir
tahun pajak.
3) Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak terutang.
(a) Wajib Pajak membayar atau menyetor pajak yang terutang di
kas negara atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk Menteri
(b) Tata cara pembayaran, penyetoran, dan pelaporan serta tata cara
untuk mengangsur dan menunda pembayaran diatur oleh
Menteri Keuangan.
Sarana yang diperlukan untuk menyetor pajak adalah
mengisi formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diperoleh
di kantor-kantor pelayanan pajak atau tempat yang telah
disediakan. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak terutang yang suatu saat atau
suatu masa pajak setelah terutangnya pajak atau masa pajak
berakhir. Untuk setoran akhir harus sudah dilunasi
selambat-lambatnya pada tanggal 25 maret sebelum SPT tahunan
disampaikan.
4) Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan.
(a) Orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas di Indonesia diwajibkan membuat
pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan
yang cukup untuk menghitung peredaran usaha, harga
perolehan, penyerahan barang dan jasa, penghasilan neto,
guan penghitungan jumlah pajak yang terutang.
(b) Bagi Wajib Pajak yang dibebaskan dari kewajiban pembukuan,
karena kemampuan belum memadai harus melakukan
pencatatan sebagai dasar pengenaan pajak yang terutang
perhitungan penghasilan neto pembukuan dan pencatatan
harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkan
keadaan yang sebenarnya dan harus memenuhi syarat-sayrat
minimal pembukuan.
(c) Syarat minimal pembukuan adalah catatan mengenai harta,
catatan mengenai kewajiban atau hutang, catatan mengenai
modal, catatan mengenai penjualan dan pembelian, dan
catatan mengenai penghasilan dan biaya.
5) Kewajiban pada waktu pemeriksaan
Direktorat Jenderal Pajak berwenang melakukan
pemeriksaan atau menguji keputusan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan perundang-undangan perpajakan. Kewajiban Wajib
Pajak dalam pemeriksaan adalah:
(a) Memperlihatkan atau meminjamkan buku catatan, dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha pekerjaan
bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
(b) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang
yang dipandang perlu.
(c) Memberikan bantuan guna melancarkan pemeriksaan.
6. Kewajiban dan Wewenang Fiskus.
Aparatur pajak atau Fiskus memiliki beberapa wewenang dalam
rangka menunjang pelaksanaan mekanisme dan peraturan
perundang-undangan perpajakan diantaranya wewenang untuk menerbitkan surat
ketetapan, melakukan penagihan pajak, mengadakan pemeriksaan dan
penyidikan. Aparat pajak mempunyai kewajiban utama yaitu melayani,
membina dan membimbing Wajib Pajak.
7. Surat Pemberitahuan (SPT).
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang
terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan.
a. Fungsi SPT
Fungsi SPT dapat dilihat dari Wajib Pajak, pengusaha kena pajak
atau pemotong/ pemungut pajak sebagai berikut:
1) Fungsi SPT bagi Wajib Pajak penghasilan
(a) Sarana melapor dan mempertangungjawabkan perhitungan pajak
yang sebenarnya terutang.
(b) Melaporkan pembayaran atau pelunasan yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain
(c) Melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemungutan atau pemotongan pajak orang pribadi atau badan lain
dalam satu masa pajak, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2) Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak.
(a) Sarana untuk melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan
jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan pajak penjualan atas barang
yang sebenarnya terutang.
(b) Melaporkan perkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.
(c) Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
b. SPT lampiran
Hal yang perlu dilampirkan dalam SPT:
1) Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, SPT harus dilampiri atau
di dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
2) Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan, dalam SPT
harus dilampiri atau dilengkapi peredaran yang terjadi dalam tahun
c. Jenis SPT
1) SPT Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang
dalam satu masa pajak.
2) SPT Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang
dalam satu tahun pajak.
d. Batas waktu penyampaian SPT
Sesuai Pasal 3 ayat (3) undang-undang nomor 16 Tahun 2000
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan bahwa batas waktu
penyampaian SPT diatur:
1) Untuk SPT Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak
berakhir.
2) Untuk SPT Tahunan selambat-lambatnya 3 bulan setelah masa pajak
berakhir.
8. Tarif Pajak
Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan sebab keadilan dapat
menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan
masyarakat. Dalam penetapan tarif pun harus berdasarkan pada keadilan.
a. Tarif pajak proporsional atau sebanding.
Tarif pajak proporsional yaitu tarif berupa presentase tetap
terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10% atas penyerahan barang kena
pajak.
b. Tarif pajak progresif
Tarif pajak yang presentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah
yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar, misalnya tarif pajak
penghasilan yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Tabel 2.1
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Untuk Wajib Pajak Tarif Orang Pribadi
Lapisan PKP Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000 5%
> Rp 25.000.000 – Rp 50.000.000 10%
> Rp 50.000.000 – Rp 100.000.000 15%
> Rp 100.000.000 – Rp 200.000.000 20%
Tabel 2.2
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Untuk Wajib Pajak Tarif Badan Lapisan PKP Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 10%
> Rp 50.000.000 – Rp 100.000.000 15%
Diatas Rp 100.000.000 30%
c. Tarif pajak degresif
Tarif pajak degresif yaitu presentase tariff pajak yang semakin
menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin
besar.
d. Tarif pajak tetap.
Tarif pajak tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama
besarnya) terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan
pajak. Oleh karena itu besarnya pajak yang terutang tetap.
B. Pajak Penghasilan Pasal 25
1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25
Menurut (Waluyo dan Wirawan, 2003:207) dijelaskan mengenai pajak
penghasilan Pasal 25, yaitu angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
Dari pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa angsuran pajak
yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak
yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak
penghasilan.
Ada beberapa ketentuan pelaksanaan PPh Pasal 25 menurut
Undang-undang No.17 Tahun 2000, antara lain:
a. Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
1) Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta pajak pengahasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan
2) Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
b. Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
c. Apabila tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan dipenerbitannya Surat Ketetapan Pajak.
d. Direktorat Jenderal Pajak berwenang menetapkan penghitunagn besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, yaitu : 1) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
2) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
3) Surat Pemberitahuan Tahunan pajak penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
4) Wajib Pajak diberikan perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
5) Wajib Pajak membetulkan sendiri surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak.
e. Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha diatur dengan keputusan Menteri Keuangan.
g. Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun pajak berjalan oleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final menurut undang-undang ini.
2. Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25
Besarnya angsuran pajak penghasilan Pasal 25 adalah sebesar pajak
penghasilan yang terutang menurut SPT tahunan pajak penghasilan tahun
pajak yang lalu dikurangi pajak penghasilan yang dipotong dan atau
dipungut serta pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, 22, 23, dan
Pasal 24 kemudian dibagi 12 bulan atau banyaknya bulan dalam tahun pajak
(Waluyo dan Wirawan,2000:196).
Contoh:
Pajak penghasilan yang terutang berdasarkan:
SPT Tahunan pajak penghasilan tahun 2001 Rp. 50.000.000
Dikurangi :
a. Pajak penghasilan yang dipotong
pemberi kerja (PPh Pasal 21) Rp. 15.000.000
b. Pajak penghasilan yang dipungut
oleh pihak lain (PPh Pasal 22) Rp. 10.000.000
c. Pajak penghasilan yang dipotong
d. Kredit pajak penghasilan luar negeri
(PPh Pasal 24) Rp. 7.500.000
Jumlah kredit pajak Rp. 35.000.000
Selisih Rp. 15.000.000
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri setiap
bulan untuk tahun 2002 sebesar Rp. 15.000.000 X 1/12 = Rp. 1.250.000.
3. Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25.
Wajib Pajak berkewajiban untuk selalu menyetorkan dan melaporkan
PPh Pasal 25 menurut ketentuan yang berlaku, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Waluyo dan Wirawan (2003:211), adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 25 harus dibayar atau disetorkan selambat-lambatnya tanggal
15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir.
b. Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa
selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir dalam bentuk Surat
Setoran Pajak (SSP) lembar ketiga.
4. Perubahan Keadaan Usaha Wajib Pajak
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi
karena penurunan peningkatan usaha. apabila sudah enam bulan atau lebih
berjalannya suatu tahun pajak Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa pajak
penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang 75% dari
pajak penghasilan Pasal 25, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengurangan besarnya PPh Pasal 25 tersebut.
Pengajuan permohonan pengurangan tersebut dilaksanakan dengan
cara:
a. Diajukan dengan cara tertulis kepada KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
b. Wajib Pajak harus menyampaikan perhitungan besarnya PPh Pasal 25
yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan
diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
c. Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
dengan lengkap surat permohonan pengurangan tersebut, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tidak memberikan keputusan maka permohonan
tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan
pembayaran PPh Pasal 25 sesuai perhitungannya.
Apabila dalam suatu tahun pajak Wajib Pajak mengalami
peningkatan usaha dan diperkirakan pajak penghasilan yang akan terutang
untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari pajak penghasilan yang
terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25, maka
besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa sampai dengan akhir
tahun pajak yang bersangkutan dihitung berdasarkan pajak penghasilan
Sebagai contoh, misalnya PT A yang bergerak di bidang produksi
makanan dalam tahun 2001 membayar angsuran bulanan sebesar Rp.
45.000.000, dalam bulan juli 2001 pabrik milik PT A terbakar, oleh karena
itu berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal pajak mulai bulan agustus
2001 angsuran PT A dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp
45.000.000 sebaliknya apabila PT A mengalami peningkatan usaha,
misalnya dikarenakan adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan
penghasilan kena pajaknya akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT A dapat
disesuaikan oleh Direktorat JENDERAL pajak.
5. PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan
Hak Opsi, BUMN dan BUMD
Sesuai dengan Pasal 25 ayat 1 undang-undang nomor 17 Tahun
2000, penghitungan PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak, bank, sewa guna usaha
dengan hak opsi, BUMN dan BUMD ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
a. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak baru.
Wajib Pajak baru adalah Wajib Pajak yang baru pertama kali
memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebasnya dalam
tahun pajak berjalan. Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan
atau melakukan kegiatannya dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur
mengenai besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan karena Wajib Pajak baru
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan pada kenyataan usaha
atau kegiatan Wajib Pajak. Besarnya angsuran pajak panghasilan
dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak baru dihitung berdasarkan jumlah pajak yang
diperoleh dari penetapan tarif 10% atas penghasilan neto sebulan yang
diserahkan, lalu dibagi 12. Besarnya PPh Pasal 25 dihitung untuk
setiap bulan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
b. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak
opsi.
Besarnya angsuran pajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan
untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak yang
bergerak dalam bidang perbankan atau sewa guna usaha dengan hak
opsi adalah jumlah pajak penghasilan terutang berdasarkan laporan
keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dibagi 12.
Contoh perhitungan, Bank X berdiri dan terdaftar sebagai Wajib
Pajak pada KPP Pratama Jakarta Kramat Jati sejak tanggal 1 April
2001, dalam perkiran laporan keuangan triwulan April-Juni 2001
menunjukan penghasilan neto sebesar Rp. 80.000.000. besarnya PPh
Pasal 25 masing-masing untuk bulan April, Mei, dan Juni 2001 sebagai
berikut :
1) Perkiraan penghasilan neto triwulan yang disetahunkan
2) PPh terutang berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh
10% x Rp. 50.000.000 = Rp. 7.500.000
15% x Rp. 50.000.000 = Rp. 7.500.000
30% x Rp. 140.000.000 = Rp. 42.000.000 +
Rp. 54.000.000
3) Besarnya PPh Pasal 25 masing-masing bulan April, Mei, dan Juni
2001 = Rp. 4.541.666 (Rp. 54.500.000 : 12).
c. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak BUMN dan BUMD.
1) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi BUMN dan
BUMD selain Bank dengan nama dan bentuk apapun, adalah
jumlah pajak penghasilan kena pajak berdasarkan Rencana Kerja
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RKAP) tahun
pajak yang bersangkutan telah disahkan, dikurangi dengan
pemotongan dan pemungutan pajak sebagai dimaksud dalam Pasal
22 dan Pasal 23 serta pajak penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri sebagai dimaksud dalam Pasal 24 tahun pajak.
2) Dalam hal RKAP belum disahkan maka besarnya angsuran pajak
penghasilan Pasal 25 adalah sama dengan angsuran pajak
penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
Setiap RKAP disahkan maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung
dengan cara sebagaimana dimaksud pada butir 1, mulai awal tahun
3) Apabila dalam tahun pajak yang bersangkutan terdapat sisa
kerugian yang dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan
pajak penghasilan Pasal 25 adalah pajak penghasilan yang terutang
atas penghasilan kena pajak yang dihitung dari penghasilan neto
menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian
yang belum dikompensasikan tersebut.
4) Dalam hal Wajib Pajak BUMN dan BUMD tersebut adalah Wajib
Pajak baru, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 tidak dapat
dihitung sebagaimana halnya Wajib Pajak baru, tetapi dihitung
berdasarkan RKAP sebagaimana dimaksud pada butir 1.
5) Dalam hal Wajib Pajak BUMN dan BUMD tersebut adalah Bank
atau Wajib Pajak sewa guna usaha dengan hak opsi, maka besarnya
angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan laporan triwulan
sebagaimana berlaku untuk Wajib Pajak Bank atau sewa guna
usaha dengan hak opsi.
C. Sistem Self Assessment dalam Perpajakan di Indonesia.
Kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara terus mengalami
peningkatan yang signifikan semenjak diberlakukannya undang-undang
perpajakan tahun 1984. Pada saat itu pemerintah melakukan reformasi perpajakan
dengan menerapkan sistem self assessment yang sebelumnya menggunakan sistem official assessment dalam pemungutan pajak.
Dari ketiga sistem pemungutan pajak, di Indonesia pelaksanaan sistem
Indonesia masih menggunakan sistem semi self assessment dan withholding. Barulah pada tahun 1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem pemungutan pajak Indonesia, yaitu dalam diberlakukannya
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
yang mulai berjalan pada 1 Januari 1984.
Perubahan ini dimaksudkan untuk lebih memberdayakan Wajib Pajak
dalam sistem perpajakan nasional. Implementasi dari perubahan sistem ini
dirasakan sangat berat karena pada saat itu:
1. Masyarakat belum siap untuk menjadi subjek dalam sistem perpajakan
nasional.
2. Sumber daya manusia yang dimiliki oleh aparat perpajakan sendiri
sebenarnya masih belum siap untuk melaksanakan sistem self assessment. 3. Prasarana, sarana, dan data base yang diperlukan untuk menggali
informasi dari Wajib Pajak masih belum memadai.
Reformasi perpajakan pertama, walaupun dilihat dari sisi peningkatan
penerimaan negara menunjukan peningkatan yang sangat berarti jika dilihat dari
strukturnya cenderung progresif, namun masih ada beberapa masalah yang perlu
diperhatikan, antara lain:
1. Reformasi perpajakan ternyata belum mampu memperkecil presaentase
bantuan luar negeri.
2. Masih belum banyak mengantisipasi aktivitas ekonomi yang semakin
global.
Sedangkan pada reformasi yang kedua diarahkan untuk mengatasi
permasalahan yang ada pada reformasi pertama. Karena telah melahirkan
ketentuan perpajakan yang lebih akomodatif terhadap perubahan eksternal seperti
semakin kuatnya keinginan untuk meningkatkan kemandirian dalam penerimaan
negara. Pada tahun 1991 telah ada UU. No. 7 Tahun 1991 tentang perubahan atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh. Kemudian diubah pada Tahun 1994 dengan
UU No. 10 Tahun 1994, dan terakhir diubah kembali dengan UU No. 17 Tahun
2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001.
Sistem self assessment mewajibkan Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan yang akan digunakan sebagai dasar untuk menghitung pajak
terutangnya. Wajib Pajak kemudian melaporkan pajak terutangnya tersebut,
beserta pembayaran-pembayaran yang dilakukan (seperti cicilan PPh, pajak
masukan, dan lain sebagainya) kepada pemerintah RI dalam hal ini Dirjen pajak
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan tahunan (SPT). Sistem self assessment memberikan hak dan kewajiban kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor,
dan melaporkan kewajiban pajaknya sendiri.
Penerapan sistem self assessment menyebabkan peranan fiskus hanya sebagai fasilitator dan pengawas atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakan oleh Wajib Pajak, sehingga penerimaan negara dari sektor pajak
menjadi sangat dipengaruhi oleh kepatuhan Wajib Pajak dan pengetahuan Wajib
D. Optimalisasi Penerimaan Pajak
1. Pengertian Optimalisasi Penerimaan Pajak
a. Optimalisasi atau optimum yaitu yang terbaik, yang paling
menguntungkan.
b. Optimalisai penerimaan pajak dapat diartikan bahwa penerimaan pajak
yang optimal (yang paling menguntunkan bagi negara).
2. Cara-Cara Untuk Mencapai Optimalisasi Penerimaan Pajak
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak.
Karena fungsi yang tidak memberikan jasa timbal balik
(kontraprestasi) secara langsung kepada Wajib Pajak membuat Wajib
Pajak enggan untuk membayar karena kegunaannya tidak dirasakan
langsung oleh Wajib Pajak. Maka dari itu tugas fiskus adalah
memberikan pengertian dan arahan kepada Wajib Pajak bahwa pajak itu
nantinya juga akan berguna bagi mereka dan pembangunan negaranya.
Jika kesadaran untuk membayar pajak sudah ada pada diri Wajib Pajak
maka jumlah obyek akan bertambah kalau Wajib Pajak sudah bertambah
maka secara otomatis akan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak.
b. Penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan wajib pajak.
Bimbingan dan penyuluhan dari aparat pajak diperlukan agar
E. PENELITIAN-PENELITIAN TERDAHULU
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Antariksa Budileksana
(2001) yang berjudul Pemeriksaan Pajak Sebagai Upaya Untuk Mendorong
Kepatuhan Wajib Pajak berkesimpulan bahwa berdasarkan sistem self assessment Wajib Pajak menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya.
sebagai konsekuensi logis dari sistem tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
melakukan pemeriksaan dengan tujuan utama untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak. Untuk itu pemeriksaan akan dilakukan terus dengan meningkatkan mutu
atau kualitas pemeriksaan maupun pemeriksa yang ada, disertai penyempurnaan
ketentuan yang berlaku. Dari pihak Wajib Pajak sendiri dituntut peran serta aktif,
agar pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan secara efektif. Dengan adanya
pemerikasaan pajak memungkinkan diperolehnya umpan balik guna
meningkatkan pamahamannya tentang penerapan peraturan perpajakan yang
benar, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesadaran untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya. Pemerikasaan tanpa dukungan dari Wajib Pajak akan
lebih bersifat pemborosan sumber daya di pihak administrasi pajak.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lea Endang
Wahyuningsih (2002) yang berjudul Keefektifan Pengawasan Pembayaran PPh
Pasal 25 dan Pengaruhnya Terhadap Penerimaan Pajak (KPP Kebayoran Lama)
yang berkesimpulan bahwa penerimaan PPh Pasal 25 tahun 2000 untuk Wajib
Pajak mengalami peningkatan sebesar 2,28% dari 7,33% pada tahun 2000 menjadi
pembayaran PPh Pasal 25 adalah masalah masalah kepatuhan WP, tingkat
kepatuhan mengalami peningkatan sebesar 0,32% dari 50,38% pada tahun 2000
menjadi sebesar 50,70% pada tahun 2001. Tingkat pembayaran PPh Pasal 25
secara keseluruhan pada tahun 2000 dari 2001 masing-masing adalah 25,56%, dan
12,285, sedangkan pengawasan pembayaran PPh Pasal 25 secara keseluruhan
pada tahun 2000 adalah 6,17% dan pada tahun 2001 sebesar 8,87% dari
perbandingan antara tingkat pengawasan terhadap Wajib Pajak Badan dan Wajib
Pajak Orang Pribadi, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh
seksi PPh Badan lebih tinggi daripada seksi perorangan. Pelaksanaan pengawasan
hanya dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan 500 besar secara keseluruhan pada
tahun 2000 menurun 4, 36% dari 77, 86% menjadi 73,50%. Sedangkan tingkat
pengawasan pembayaran PPh Pasal 25 Orang Pribadi mengalami peningkatan
sebesar 13,75% dari 65,55% menjadi 79,30% tahun 2001. Peranan penerimaan
PPh Pasal 25 dari WP 500 besar terhadap penerimaan PPh Pasal 25 Badan pada
tahun 2000 dan 2001 masing-masing adalah 97,27% dan 96,85%. Sedangkan
peranan penerimaan PPh Pasal 25 dari 500 besar Wajib Pajak Orang Pribadi pada
tahun 2000 dan 2001 adalah 91,84% dan 91,62%.
Dalam penelitian yang lain yang dilakukan oleh Sunarni (2004) yang
berjudul Pelaksanaan Pengawasan Pembayaran Pajak PPh Pasal 25 Badan dalam
Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak di KPP Kebayoran Lama adalah
mengingat pentingnya peranan pajak penghasilan PPh Pasal 25, maka diharapkan
Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakan yang berlaku. Tingkat
dilihat dari rata-rata tingkat kepatuhan pembayaran PPh Pasal 25 pada tahun 2001
yaitu sebesar 52,29% dan pada tahun 2002 sebesar 57,54%, walaupun mengalami
peningkatan, namun tingkat kepatuhan masih dikatakan sangat rendah karena
belum memenuhi target atau rencana yang ditetapkan. Dalam metodelogi
penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dalam bentuk keterangan-keterangan
yang sesuai dengan materi atau data-data dan dalam teknik pengumpulan data
yang dipakai ialah studi kepustakaan dan lapangan dimana dilakukan observasi
dan quesioner.
John Hutagaol (2004) dalam jurnal berjudul Self Assessment: Implementasi dan Kendalanya, menjelaskan bahwa dalam sistem self assessment, peran serta masyarakat di dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sangat penting
dan bahkan menjadi faktor penentu di dalam keberhasilan pengumpulan pajak.
Agar Wajib Pajak membayar pajak sesuai ketentuan maka diperlukan alat
monitoring yaitu data.
Dalam kenyataannya, data mengenai kegiatan usaha Wajib Pajak tersebar
di berbagai instansi/lembaga pemerintahan dan swasta dan tidak terintegrasi.
Selain itu, Wajib Pajak memiliki nomor identitas yang beragam dan belum
memiliki identitas tunggal.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah harus memiliki political will dengan mengeluarkan ketentuan yang mewajibkan instansi atau lembaga pemerintahan misalnya BI dan BAPEPAM agar melaporkan data mengenai Wajib
Pajak yang dimilikinya kepada DJP. Selain itu, pemerintah mengeluarkan
perbankan yang berhubungan dengan Wajib Pajak. Sebaliknya, DJP harus dapat
menjamin penyimpanan, pengolahan, dan pemanfaatan data tersebut secara aman.
Apabila hal-hal diatas dapat dipenuhi, maka diyakini bahwa kepatuhan
sukarela akan meningkat secara otomatis karena “tiada ruang lagi” bagi Wajib
Pajak untuk melakukan tax evasion. Sejalan dengan hal tersebut, tax coverage ratio akan meningkat dan berpengaruh langsung atas peningkatan penerimaan pajak. Apabila penerimaan pajak dapat membiayai seluruh atau sebagian besar
APBN maka penerimaan pajak sebagai soko guru.
Dalam penelitian yang sama juga dilakukan oleh Waluyo (2004) yang
berjudul Perhitungan PPh Pasal 25, yaitu menyebutkan bahwa :
1. Secara yuridis dasar hukum pembayaran pajak penghasilan Pasal 25
adalah undang-undang no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan yang
menyebutkan angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Aturan
pelaksanaannya sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No.
522/KMK.04/2002 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri
Keuangan No.84/KMK.04/2002.
2. Besarnya angsuran pajak tersebut yaitu sebesar pajak penghasilan yang
terutang menurut SPT tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu
dikurangi dengan :
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 dan Pasal 23 serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana