• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerugian Ekonomi dan Kebutuhan Vegetasi untuk Menurunkan Emisi Karbon Kendaraan Bermotor di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerugian Ekonomi dan Kebutuhan Vegetasi untuk Menurunkan Emisi Karbon Kendaraan Bermotor di Kota Bogor"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

KERUGIAN EKONOMI DAN KEBUTUHAN VEGETASI

UNTUK MENURUNKAN EMISI KARBON KENDARAAN

BERMOTOR DI KOTA BOGOR

SETIA LESMANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASINYA SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kerugian Ekonomi dan Kebutuhan Vegetasi untuk Menurunkan Emisi Karbon Kendaraan Bermotor di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

(3)

iii

ABSTRACT

SETIA LESMANA. Economic Loss and Vegetation Needs to Reduce Vehicle Exaust Emission in Bogor City. Supervised by ACENG HIDAYAT and AHYAR ISMAIL.

The Objective of this study to determine vehicle exhaust emissions, carbon sequestration, value the health impact of air pollution, and the need of roadside trees as sink (sequestration) of CO2 (carbon dioxide) gas in Bogor City.

Difference in volume of CO2 absorbed by the tree (trunk and canopy) and

emissions does produce by KBM will show wether total emissions absorbed by the tree entirely successful or not. Economic loss values calculated both actual obtained by interviews with 72 respondents and potential according to the standard World Health Organization (WHO). The average of health costs amount Rp 492,500.00 per year and potential lost of revenue amount IDR 660 thousand per year/person – IDR 3,24 million per year/person. Meanwhile, the value of the potential economic losses, using benefit transfer methode, reach IDR 33,059,687.00 per household per year in health costs and lost revenue value amount IDR 1,422,624, - per day. Emission levels in Bogor city reached 7.73 tons of CO (carbon monoxide) per day equivalent of 2,823 tonnes of CO per year and 317.25 tons of carbon dioxide (CO2) per day or the equivalent of 115,481.40 tons

per year. Based on calculations carbon sequestration by tree, as much as 88,312.97 tons per year of CO2 absorbed by the roadside trees. This means that in

one year there were 27,168 tons of CO2 that is not absorbed by the roadside trees.

So that the number of existing roadside trees have not been sufficient to absorb carbon emissions entirely. It’s mean, Bogor need 0,92 million – 1,38 million trees to absorb CO2 emissions.

Key Words: Vehicle Exhaust, Emissions, CO2 Sequestration, Health Effect, ISPA,

(4)

iv

RINGKASAN

SETIA LESMANA. Kerugian Ekonomi dan Kebutuhan Vegetasi untuk Menurunkan Emisi Karbon Kendaraan Bermotor di Kota Bogor. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan AHYAR ISMAIL.

Penelitian ini bertujuan mengetahui berapa kerugian ekonomi dalam hal ini biaya kesehatan yang ditanggung warga, bagaimana neraca emisi karbon, dan apakah total emisi karbon bisa diserap vegetasi pohon (roadside) eksisting, serta berapa vegetasi pohon yang dibutuhkan untuk menyerap total emisi. Tingkat emisi karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2), serta daya rosot karbon

oleh pohon dihitung, baik pada batang maupun pada tajuk pohon. Selisih volume CO2 yang diserap batang dan tajuk dengan volume emisi KBM menghasilkan data

apakah emisi CO2 KBM berhasil diserap pohon seluruhnya atau tidak. Nilai

kerugian ekonomi dihitung baik yang bersifat aktual maupun potensial sesuai standar organisasi kesehatan dunia (WHO). Kerugian aktual diperoleh melalui wawancara terhadap 72 responden, sedangkan kerugian potensial menggunakan metode benefit transfer.

Biaya kesehatan yang dikeluarkan rata-rata sebesar Rp 492.500,00 per tahun. Sedangkan potensi pendapatan yang hilang karena tidak bekerja berkisar antara Rp 25 ribu hingga Rp 230 ribu per bulan. Total kerugian ekonomi (potensi pendapatan hilang + biaya pengobatan) mencapai kisaran Rp 0,66 juta per tahun/orang - Rp 3,24 juta per tahun/orang. Sementara itu nilai kerugian ekonomi potensial berdasarkan metode benefit transfer mencapai Rp 33.059.687,00 per rumah tangga per tahun untuk biaya kesehatan dan nilai pendapatan yang hilang sebesar Rp 1.422.624,- per hari. Tingkat emisi di kota Bogor mencapai 7,73 ton CO/hari setara 2.823 ton CO/tahun, sedangkan tingkat emisi CO2 mencapai

317,25 ton per hari atau setara 115.481,40 ton per tahun. Berdasarkan perhitungan daya rosot pohon, sebanyak 88.312,97 ton CO2 per tahun yang diserap oleh pohon roadside. Artinya dalam setahun terdapat 27.168 ton CO2 yang tidak

terserap oleh pohon roadside. Sehingga jumlah pohon roadside eksisting belum mencukupi untuk bisa menyerap emisi karbon seluruhnya. Jika merujuk pada daya rosot pohon Mahoni (Swettiana mahagoni) sebesar 295,73 kg/tahun (Dahlan, 2007) maka dibutuhkan vegetasi pohon sebanyak 918.700 pohon untuk menyerap emisi CO2 yang tidak terserap. Sedangkan untuk Kenari (Canarium asperum) dengan daya rosot 197,17 kg CO2 per tahun dibutuhkan 1.377.920 pohon kenari untuk menyerap 27.168 ton CO2 yang tidak terserap. Perlu dilakukan penanaman

pohon secara besar-besaran secara roadside untuk membalikkan neraca penyerapan emisi CO2 (daya rosot pohon) menjadi positif. Vegetasi roadside juga berfungsi sebagai green belt (sabuk hijau) kawasan permukiman dari pecemaran emisi. Sesuai dengan aturan penanaman pohon di pinggir jalan untuk kawasan perkotaan (Kementerian PU, 2012), maka dibutuhkan sekitar 115 km – 173 km jalan baru untuk menanam pohon sebanyak itu. Namun, membenahi fasilitas transportasi publik agar lebih nyaman, aman, tepat waktu dan terjangkau lebih mendesak agar masyarakat memilih transportasi umum.

(5)

v

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

vi

KERUGIAN EKONOMI DAN KEBUTUHAN VEGETASI

UNTUK MENURUNKAN EMISI KARBON KENDARAAN

BERMOTOR DI KOTA BOGOR

SETIA LESMANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

viii Judul Tesis : Kerugian Ekonomi dan Kebutuhan Vegetasi untuk

Menurunkan Emisi Karbon Kendaraan Bermotor di Kota Bogor Nama : Setia Lesmana

NIM : H351100034

Tanggal Ujian: 12 September 2014 Tanggal Lulus: Disetujui Oleh,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr.

Ketua Anggota

Diketahui Oleh,

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(9)

ix

PRAKATA

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunian-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam untuk Baginda Rasul, Muhammad SAW beserta keluarga dan pengikutnya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan Maret 2014 ini adalah Kerugian Ekonomi dan Kebutuhan Vegetasi untuk Menurunkan Emisi Karbon Kendaraan Bermotor di Kota Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Aceng Hidayat, MT dan Dr Ahyar Ismail, M.Agr selaku pembimbing, serta Ibu Dr Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc yang telah banyak memberikan saran. Penulis juga menyampaikan penghargaan atas dukungan dari Bapak Gubernur Jawa Barat, H Ahmad Heryawan, Lc. M.Si, Anggota DPR RI, Ir H. Yudi Widiana, MSi, dan Pemimpin Redaksi Majalah Sains Indonesia, Ir M Budiman, M.Si.

Penghargaan juga disampaikan Kepada jajaran Dinas Kesehatan Kota Bogor, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Jawa Barat. Ungkapan terimakasih kepada teman-teman di Program Studi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESL) IPB dan secara khusus untuk Istriku, Novi Yusnita, SE dan seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya.

Bogor, September 2014

(10)

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 1973 dari Ayah Caswin bin Nadi dan Ibu Ani Rizaeniah. Penulis merupakan putera ketiga dari tujuh bersaudara. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dengan mayor Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten mata kuliah Ekologi Perairan dan pernah menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa FPIK periode 1995/1996 dan Ketua Senat Mahasiswa IPB periode 1996/1997. Bersama teman-teman di MSP, penulis pernah menjadi finalis (juara III) pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional ke IX 1995 di ITS Surabaya.

Setelah sempat berkarir di bidang jasa konsultan lingkungan, sejak tahun 2000 penulis berkarir sebagai jurnalis di Harian Umum Suara Pembaruan, Harian Jabar Post (2010-2012) dan kini di Majalah Sains Indonesia. Selama menjadi jurnalis, penulis memperoleh sejumlah penghargaan antara lain MH Thamrin Award (2007), Hakteknas Award dari Kementerian Riset dan Teknologi, serta berbagai penghargaan dari Kementerian Pertanian, Badan Urusan Logistik, PT Unilever, Astra Honda Motor, dan General Motor Indonesia.

(11)

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Hipotesis ... 6

Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Transportasi dan Emisi Gas Buang Kendaraan ... 7

Definisi Pencemaran ... 7

Emisi Karbon ... 8

Efek Gas Rumah Kaca ... 9

Dampak Terhadap Kesehatan ... 9

Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor ... 11

Bahan-Bahan Pencemar yang Mengganggu Saluran Pernafasan ... 12

Bahan-Bahan Pencemar yang Menimbulkan Pengaruh Racun Sistemik ... 13

Ruang Terbuka Hijau ... 15

Fungsi Ruang Terbuka Hijau ... 16

Jenis Ruang Terbuka Hijau ... 18

Daya Serap Karbon ... 21

Kerugian Ekonomi ... 23

Benefit Transfer ... 25

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27

IV. METODE PENELITIAN ... 29

Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

Metode Pengambilan Sampel ... 29

Jenis dan Sumber Data ... 29

(12)

xii

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

Gambaran Kota Bogor ... 38

Volume dan Kecepatan Kendaraan ... 39

Faktor Emisi ... 40

Emisi Karbon Dioksida (CO2) ... 46

Volume CO2 Terserap ... 48

Emisi Karbon Dioksida (CO2) Tidak Terserap ... 51

Kebutuhan Vegetasi Pohon ... 52

Kerugian Ekonomi Akibat Emisi Karbon ... 53

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan Populasi Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Bogor dalam

Tujuh Tahun Terakhir 1

2 Cadangan Karbon dan Daya Serap Gas CO2 pada Berbagai Tipe Penutup

Vegetasi 22

3 Jenis dan Sumber Data dan Pendekatan Analisisnya 30

4 Konversi Jenis Kendaraan ke Satuan Masa Penumpang 32

5 Faktor Emisi (miligram/meter/kendaraan) untuk masing-masing jenis

kendaraan bermotor berdasarkan kelas kecepatan kendaraan 32

6 Faktor Emisi Peralatan Bergerak (Ton/GJ) untuk masing-masing jenis

kendaraan bermotor berdasarkan Jenis Bahan Bakar. 33

7 Volume Masing-Masing Jenis Kendaraan dan Kecepatan Rata-rata Kendaraan

di 18 Ruas Jalan Utama di Kota Bogor 40

8 Faktor Emisi Setiap Jenis Kendaraan di 18 Ruas Jalan Utama di Kota Bogor 41 9 Emisi Karbon Monoksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor di Kota Bogor 42 10 Hasil Pengukuran Kualitas Udara Kota Bogor untuk Parameter Kimia 43 11. Hasil Pengukuran Kualitas udara ambient dengan parameter Fisika 45 12. Jumlah Bayi Penderita ISPA di Kota Bogor dan Biaya Pengobatannya dalam

Lima Tahun Terakhir 46

13 Emisi Karbon Dioksida yang Dihasilkan Kendaraan Bermotor di 18 ruas Jalan

Utama Kota Bogor 47

14 Hasil Pengukuran Jumlah, Diamater, Tinggi, Rata-rata, dan Tinggi Pohon 48 15 Hasil Pengukuran Berat Pohon, Berat Kering, dan Berat Hijau Pohon . 49

16 Hasil Perhitungan CO2 Terserap Pohon Per tahun 50

17 Total CO2 Terserap Pohon dan Emisi CO2 yang tidak terserap Pohon 51

18 Rekapitulasi Pendapat Warga Seputar Dampak emisi terhadap kesehatan dan

lingkungan 56

19 Kisaran Pendapatan Per Bulan dan Biaya Kesehatan Per Tahun 57

20 Usia Responden dan Pengelompokkannya 58

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan Kerangka Berfikir Penelitian ... 28 2 Peta Wilayah Administrasi Kota Bogor ... 38

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Perhitungan Volume Kendaraan di 18 Ruas Utama Jalan di Kota Bogor

untuk Masing-masing Jenis Kendaraan 66

2 Hasil Perhitungan Emisi Karbon Monoksida CO (kg/jam) di 18 Ruas Jalan

Utama untuk Setiap Jenis Kendaraan 78

3. Hasil Perhitungan Emisi Karbon Monoksida CO (kg/jam) di 18 Ruas Jalan

Utama 79

4. Valuasi Kerugian Ekonomi dari efek Kesehatan 80

5. Pendapatan Perkapita Sejumlah Negara Periode 2005-2013 81

6. Perhitungan Kerugian Ekonomi Potensial dengan Metode Benefit Transfer 82

7. Hasil Perhitungan Emisi Karbon Dioksida (CO2) 83

8. Hasil Olah data dari CO2 Harian menjadi CO2 Tahunan (Ton/Tahun) 84 9. Hasil Sensus Pohon dan Daya Rosot Pohon di 18 Ruas Jalan 85 10. Total Emisi CO2, Total CO2 Terserap, dan CO2 tidak Terserap 90

11. Kuisioner penelitian 91

12. Baku Mutu Udara Ambient dan Indeks Standar Pencemar Udara 92

13. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama 93

14. Matriks Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan

Peraturan Daerah Yang Berkaitan dengan Penelitian 94

15 Kebutuhan Oksigen Kendaraan Bermotor 97

(15)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor cukup tinggi dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 2,79 persen per tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 mencatat tidak kurang dari 950 ribu jiwa penduduk yang mendiami kota dengan luas wilayah 118,50 km persegi tersebut. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Jawa Barat tahun 2012 mencatat, angka kepadatan penduduk Kota Bogor mencapai 8.017 jiwa per km persegi.

Konsekuensi dari pesatnya pertumbuhan kota modern salah satunya peningkatan mobilitas penduduk, baik di dalam kota maupun antar kota. Jika pemerintah kota gagal menyediakan transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau maka pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat tak bisa dihindari. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari peningkatan mobilitas penduduk. Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor (KBM) di Kota Bogor dalam tujuh tahun terakhir (2007-2013).

Tabel 1. Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Bermotor (KBM) di Kota Bogor dalam tujuh Tahun Terakhir (2007 – 2013)

Jenis TNKB JUMLAH PERKEMBANGAN KBM PER TAHUN

(PLAT) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, 2013

(16)

2

tujuh tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah KBM cukup pesat dengan pertumbuhan rata-rata 15,78% per tahun.

Sebagai kota tujuan wisata, Kota Bogor juga selalu dipenuhi kendaraan bermotor yang digunakan para wisatawan, terutama wisatawan domestik. Sebagai gambaran, data Jasa Marga (2011) menunjukkan, jumlah kendaraan bermotor yang memasuki kota Bogor melalui pintu tol Jagorawi dan Sentul Selatan rata-rata setiap tahun 772.529 kendaraan atau sekitar 2.117 kendaraan per hari. Data Januari - April 2011 menunjukkan, rata-rata 43.690 kendaraan per hari memasuki wilayah Bogor dari semua pintu masuk kota Bogor (tol dan non tol).

Tingginnya jumlah kendaraan bermotor memengaruhi rata-rata laju kendaraan di kota Bogor. Data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2012) menunjukkan rata-rata laju kendaraan di kota Bogor hanya 15,32 km/jam. Jauh lebih lambat dibandingkan rata-rata kecepatan kendaraan di kota Tangerang, Bekasi, dan Depok pada tahun yang sama yakni masing-masing 22 km/jam, 21,8 km/jam, dan 21,4 km/jam. Waktu tempuh di kota Bogor hanya lebih baik dibanding kota Bandung (14,3 km/jam) dan Jakarta (13,5 km/jam). Tanpa perbaikan yang radikal, Dirjen Perhubungan Darat memprediksi kecepatan laju kendaraan di kota Bogor pada tahun 2014 akan menurun hingga 9,58 km/jam.

Kemacetan bagi pengguna kendaraan menimbulkan kerugian ekonomi dengan hilangnya waktu produktif yang disertai hilangnya potensi pendapatan, dan terbuangnya bahan bakar minyak (BBM) secara percuma selama kendaraan terjebak dalam kemacetan. Hasil penelitian Sapta (2009) pada halaman 69 menyebutkan, “total hilangnya pendapatan seluruh pengguna jalan akibat kemacetan di kota Bogor sebesar Rp 7,38 miliar per hari”. Pada halaman 67, Sapta juga menyebutkan terjadinya peningkatan konsumsi BBM akibat kemacetan pada saat jam sibuk sebesar Rp 713, 12 juta per hari atau sekitar Rp 256,72 miliar per tahun.

(17)

3

berbahan solar maupun premium, sebanyak lima persen tidak lulus uji emisi. BPLHD Jabar juga mengukur jumlah polutan udara yang disemburkan angkutan kota. Hasilnya angka PM10 (benda-benda partikulat yang ukurannya kurang dari

10 mikron), NOx (nitrogen oksida) dan CO (karbon monoksida) per hari berturut-turut adalah 1,1 ton, 21,9 ton dan 309,05 ton. Sedangkan dari kendaraan yang memasuki Bogor melalui pintu tol per hari sebesar 125,83 ton, 2.411 ton dan 33.973 ton, berturut-turut untuk PM10, NOx dan CO.

Untuk itulah mengapa keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat penting, termasuk vegetasi pohon di pinggir jalan (roadside) sebagai sabuk hijau (green belt) yang menyerap emisi gas buang kendaraan termasuk partikel yang memiliki permukaan yang halus. Manfaat dari keberadaan pohon roadside dan RTH adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat. Sesuai UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, kota yang sehat adalah kota yang memiliki luas RTH minimal 30% dari luas seluruh wilayahnya.

Berdasarkan data dari Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) total RTH eksisting Kota Bogor pada tahun 2013 adalah sebesar 25,08% atau 2.927,27 hektar. Luas tersebut sudah termasuk luas Kebun Raya Bogor (87 hektar), serta pekarangan rumah-rumah penduduk, taman-taman di perumahan, kawasan sempadan sungai serta danau. Luasan tersebut sudah mendekati syarat minimal 30% sesuai UU No 26/2007.

(18)

4

Menurut kajian Dahlan (2011), konsumsi bensin per kapita di Kota Bogor per tahun sebesar 134,19 liter, solar 33,55 liter, minyak tanah 84,17 liter dan untuk LPG 5,14 kg. Hal ini berarti emisi CO2 antropogenik tahunan di Kota

Bogor sebesar 639,04 kg/kapita/tahun. Dari perhitungan ini, Dahlan menghitung emisi CO2 kumulatif tahun 2012 sebesar 548,553 ton dan prediksi pada tahun

2050 akan menjadi 780,702 ton. Rerata konsentrasi gas CO2 di beberapa ruas

jalan yang terukur di kota Bogor tahun 2006/2007 sebesar 389,89 ppmv.

Data inilah yang digunakan dalam simulasi. Konsentrasi gas ini akan terus meningkat, jika RTH dan jumlah vegetasi pohon dibiarkan terus menurun, sementara emisi gas ini terus meningkat. Oleh sebab itu, penambahan luasan area bervegetasi pohon dengan jenis tanaman berdaya rosot sangat tinggi sangat diperlukan. Berdasarkan simulasi Dahlan (2011), jika vegetasi hijau ditambah dengan luasan yang memadai, dengan jenis pohon yang memiliki daya serap karbon sangat tinggi, maka konsentrasi gas CO2 akan menurun menjadi 389,86

ppmv (part per million by volume) pada tahun 2050.

Rumusan Masalah

Tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor, berdampak pada meningkatnya kemacetan dan pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi warga Bogor. Dampak negatif tersebut muncul dalam dua bentuk. Pertama, kemacetan karena tidak sebandingnya pertumbuhan jumlah kendaraan dengan pertambahan ruas jalan. Kemacetan menyebabkan waktu tempuh lebih lama, terbuangnya waktu produktif, hilangnya potensi pendapatan, dan meningkatnya konsumsi BBM.

(19)

5

dalam darah bisa menurunkan tingkat kecerdasan (IQ), kanker bahkan menyebabkan kematian.

Berdasarkan kondisi diatas maka ada beberapa pertanyaan penelitian yang perlu dijawab, yaitu:

1. Berapa besar jumlah emisi gas buang kendaraan bermotor di Kota Bogor? 2. Berapa besar kapasitas pohon di pinggir jalan utama (roadside) mampu

menyerap emisi kendaraan bermotor dan apakah semua emisi tersebut mampu diserap oleh seluruh pohon yang ada?

3. Dari poin no 2 diatas penelitian ini juga ingin mengetahui berapa jumlah pohon roadside yang harus ditanam sebagai sabuk hijau (green belt) pengendali emisi kendaraan di Kota Bogor?

4. Berapa besar kerugian ekonomi, dalam hal ini biaya kesehatan yang harus dikeluarkan akibat pencemaran udara oleh emisi gas buang kendaraan?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkat emisi dari gas buang kendaraan bermotor di kota Bogor.

2. Untuk mengetahui kapasitas (daya rosot) pohon roadside di semua ruas jalan utama di kota Bogor dalam menyerap emisi gas buang kendaraan.

3. Untuk mengetahui berapa jumlah pohon roadside yang harus ditanam agar emisi gas buang kendaraan terserap dengan baik.

4. Untuk mengetahui kerugian ekonomi warga, dalam hal ini biaya kesehatan yang harus dikeluarkan maupun potensi pendapatan yang hilang jika warga sakit (tidak bekerja) yang diakibatkan oleh pencemaran udara dari emisi karbon kendaraan bermotor.

Dalam penelitian ini dibuat sejumlah batasan yaitu:

(20)

6

2. Penelitian ini hanya megukur daya rosot vegetasi pohon roadside. Sehingga daya rosot vegetasi roadside non pohon maupun vegetasi non roadside dalam perhitungan pada riset ini tidak dihitung. Usia Pohon didasarkan usia rata-rata pohon paling dominan di masing-masing ruas jalan misalnya Mahoni di Jl Pajajaran dan Kenari di Jl Abdullah Bin Nuh

3. Penelitian ini tidak mengukur satuan perjalanan mobil maupun seluruh jumlah mobil yang beredar di Kota Bogor, sehingga tidak membahas keterpaduan kebijakan antara pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor.

4. Kerugian Ekonomi didasarkan pada biaya pengobatan yang dikeluarkan warga. Jenis penyakit yang disurvei ISPA.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah tingginya tingkat emisi karbon dari kendaraan bermotor di kota Bogor dikarenakan tingginya jumlah kendaraan di kota Bogor. Emisi karbon yang tinggi membutuhkan jumlah vegetasi pohon yang cukup agar emisi terserap seluruhnya. Tingginya emisi karbon yang tidak terserap akan menurunkan kualitas udara sehingga berdampak pada kesehatan warga dan menimbulkan kerugian ekonomi yang diukur dari besaran biaya kesehatan dan potensi pendapatan yang hilang.

Manfaat Penelitian

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transportasi dan Emisi Gas Buang Kendaraan

Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk kota Bogor, diiringi peningkatan kebutuhan terhadap alat transportasi. Pertumbuhan kendaraan bermotor (KBM) yang tinggi meningkatkan eksternalitas berupa pencemaran udara dari hasil pembakaran bahan bakar minyak dengan partikel-partikel logam berat di dalamnya. Kualitas udara yang buruk berdampak langsung bagi warga berupa gangguan kesehatan. Meningkatnya gas CO2 hasil gas buang KBM berakibat

meningkatnya konsentrasi gas CO2 ambien. Mutu udara ambien adalah kadar zat,

energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas. Sedangkan udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang dibutuhkan dan memengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No.41, 1999). Terus meningkatnya tingkat pencemaran, sementara jumlah vegetasi pohon yang berfungsi sebagai rosot (sink) gas CO2 terus menurun

luasannya, maka akumulasi kandungan gas CO2 akan sulit diserap seluruhnya.

Tingginya emisi karbon yang tidak terserap oleh vegetasi yang ada berdampak pada kualitas udara yang buruk di kota Bogor. Hasil penelitian Dahlan (2011) menunjukkan pada tahun 2005 konsentrasi ambien CO2 di Kota Bogor

mencapai 389,89 part per million by volume (ppmv) dan emisi CO2 antropogenik

tahunan mencapai 639,04 kg/kapita/tahun. Dahlan juga menghitung emisi CO2

kumulatif tahun 2012 sebesar 548,553 ton dan diprediksi pada tahun 2050 akan menjadi 780,702 ton. Rerata konsentrasi gas CO2 di beberapa ruas jalan yang

terukur di kota Bogor tahun 2006/2007 sebesar 389,89 ppmv (part per million by volume).

Definisi Pencemaran

(22)

8

Pencemaran udara berpengaruh jelek terhadap organisme hidup dan jumlahnya cukup banyak sehingga tidak dapat diabsorpsi atau dihilangkan.

Menurut Gidding (1973), dalam kondisi normal udara merupakan campuran gas terdiri dari 78% nitrogen, 20% oksigen, 0,93% argon, 0,03% karbon dioksida, dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen. Udara dikatakan tercemar apabila berbedanya komposisi udara aktual dengan kondisi udara normal dan dapat mendukung kehidupan manusia.

Menurut Soedomo (2001), sumber pencemaran udara dapat terjadi

berdasarkan:

1. Kegiatan yang bersifat alami, contohnya: letusan gunung berapi, kebakaran

hutan, dekomposisi biotik, debu, dan spora tumbuhan.

2. Kegiatan antropogenik (akibat aktivitas manusia) terbagi dalam pencemaran

akibat aktivitas transportasi, industri, persampahan, baik akibat proses

dekomposisi ataupun pembajakan dan rumah tangga.

Emisi Karbon

Sementara itu emisi menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 pasal 1 ayat 9 adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Emisi karbon adalah salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Seperti diketahui, pemanasan global merupakan kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (gelombang panas) yang dipancarkan bumi oleh gas-gas rumah kaca. Dan efek rumah kaca merupakan istilah untuk panas yang terperangkap di atmosfer bumi dan tak bisa menyebar.

Menurut Soemarwoto (1994) gas-gas karbondioksida (CO2), metana

(CH4), nitrogen oksida (N2O) merupakan gas rumah kaca (GRK) yang

(23)

9 Menurut Dahlan (1992), manusia sebagai makhluk hidup juga menghasilkan gas CO2. Rata-rata manusia bernapas dalam keadaan sehat dan

tidak banyak bergerak sebanyak 12 – 18 kali per menit yang banyaknya berkisar 500 ml udara dalam semenit atau 360 – 540 liter dalam sejam. Jumlah gas CO2

yang dihasilkan dari pernapasan manusia dalam sejam sebanyak 39,6 gr CO2.

Efek Gas Rumah Kaca

Menurut Stavins dan Richard. (2005), atmosfer bumi mengandung karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya yang merupakan lapisan pelindung

sehingga bumi lebih hangat dibanding planet lainnya. Peningkatan kandungan CO2 menyebabkan suhu global juga naik karena radiasi sinar matahari akan

terperangkap dalam gas rumah kaca. Aktivitas manusia, khususnya ekstraksi dan pembakaran minyak bumi (fossil fuel) serta penggundulan hutan menyebabkan peningkatan jumlah CO2 dan gas rumah kaca lainnya.

Masih menurut Stavins dan Richard (2005), hasil pembakaran minyak bumi membuat jumlah karbon di atmosfer meningkat sekitar 5,5 gigaton (milyar metrik ton) per tahun dan alih fungsi lahan meningkatkan jumlah karbon 1,1 gigaton per tahun. Sementara itu lautan di seluruh dunia setiap tahun hanya bisa menyerap dua gigaton karbon lebih banyak dibanding yang dikeluarkan ke atmosfer per tahun dan ekosistem di bumi menyerap 1,2 gigaton per tahun. Setiap terjadi akumulasi jumlah karbon di atmosfer dengan akselerasi terus meningkat, diperkirakan dalam 25 tahun ke depan akan terjadi peningkatan jumlah karbon di atmosfer sekurang-kurangnya 25% dari saat ini.

Dampak Emisi Gas Buang KBM Terhadap Kesehatan

(24)

10

molekul yang besar yang dapat langsung terhirup melalui hidung dan mempengaruhi masyarakat di jalan raya dan sekitarnya.

Menurut Tugaswati (2000), senyawa-senyawa di dalam gas buang terbentuk selama energi diproduksi untuk menjalankan kendaraan bermotor. Bahan pencemar yang terutama terdapat didalam gas buang buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hidrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbel (PB). Beberapa senyawa yang dinyatakan dapat membahayakan kesehatan adalah berbagai oksida sulfur, oksida nitrogen, dan oksida karbon, hidrokarbon, logam berat tertentu dan partikulat. Pembentukan gas buang tersebut terjadi selama pembakaran bahan bakar fosil-bensin dan solar didalam mesin. Gas buang kendaraan bermotor juga menghasilkan bahan pencemar dengan kadar yang lebih tinggi, terutama berbagai senyawa organik dan oksida nitrogen, sulfur dan karbon. Gas buang kendaraan bermotor juga langsung masuk ke dalam lingkungan jalan raya yang sering dekat dengan masyarakat, dibandingkan dengan gas buang dari cerobong industri yang tinggi.

Dengan begitu masyarakat yang tinggal atau melakukan kegiatan lainnya di sekitar jalan yang padat lalu lintas kendaraan bermotor dan mereka yang berada di jalan raya seperti para pengendara bermotor, pejalan kaki, dan polisi lalu lintas, penjaja makanan sering kali terpapar oleh bahan pencemar yang kadarnya cukup tinggi. Estimasi dosis pemaparan sangat tergantung kepada tinggi rendahnya pencemar yang dikaitkan dengan kondisi lalu lintas pada saat tertentu (Tugaswati, 2000).

(25)

11 menurun, dan pertahanan imunitasnya melemah. Karena kapasitas paru-paru dari penderita penyakit jantung dan paru-paru juga rendah, kelompok ini sangat peka terhadap pencemaran udara. (Tugaswati, 2000).

Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor

Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor lain yang semuanya ini membuat pola emisi menjadi rumit. Jenis bahan bakar pencemar yang dikeluarkan oleh mesin dengan bahan bakar bensin maupun bahan bakar solar sebenarnya sama saja, hanya berbeda proporsinya karena perbedaan cara operasi mesin. Secara visual selalu terlihat asap dari knalpot kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar, yang umumnya tidak terlihat pada kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin (Tugaswati, 2000).

Walaupun gas buang kendaraan bermotor terutama terdiri dari senyawa yang tidak berbahaya seperti nitrogen, karbon dioksida dan upa air, tetapi didalamnya juga terkandung senyawa lain dengan jumlah cukup besar yang dapat membahayakan gas buang membahayakan kesehatan maupun lingkungan. Bahan pencemar yang terdapat didalam gas buang buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbal (PB). Bahan bakar tertentu seperti hidrokarbon dan timbal organik, dilepaskan ke udara karena adanya penguapan dari sistem bahan bakar. Lalu lintas kendaraan bermotor, juga dapat meningkatkan kadar partikular debu yang berasal dari permukaan jalan, komponen ban dan rem (Tugaswati, 2000).

(26)

12

udara yang mengubah nitrogen monoksida (NO) yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor menjadi nitrogen dioksida (NO2 ) yang lebih reaktif,

dan reaksi kimia antara berbagai oksida nitrogen dengan senyawa hidrokarbon yang menghasilkan ozon dan oksida lain, yang dapat menyebabkan asap awan fotokimia (photochemical smog). Pembentukan smog ini kadang tidak terjadi di tempat asal sumber (kota), tetapi dapat terbentuk di pinggiran kota. Jarak pembentukan smog ini tergantung pada kondisi reaksi dan kecepatan angin (Tugaswati, 2000).

Untuk bahan pencemar yang sifatnya lebih stabil seperti timbal (Pb), beberapa hidrokarbon-halogen dan hidrokarbon poliaromatik, dapat jatuh ke tanah bersama air hujan atau mengendap bersama debu, dan mengontaminasi tanah dan air. Senyawa tersebut selanjutnya juga dapat masuk ke dalam rantai makanan yang pada akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia melalui sayuran, susu ternak, dan produk lainnya dari ternak hewan. Karena banyak industri makanan saat ini akan dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan pada masyarakat kota maupun desa. Emisi gas buang kendaraan bermotor juga cenderung membuat kondisi tanah dan air menjadi asam. Pengalaman di negara maju membuktikan bahwa kondisi seperti ini dapat menyebabkan terlepasnya ikatan tanah atau sedimen dengan beberapa mineral/logam, sehingga logam tersebut dapat mencemari lingkungan (Tugaswati, 2000).

Bahan-Bahan Pencemar yang Mengganggu Saluran Pernafasan

(27)

13 a) Oksida sulfur dan partikulat

Sulfur dioksida (SO2) merupakan gas buang yang larut dalam air yang

langsung dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian besar saluran ke paru-paru. Karena partikulat di dalam gas buang kendaraan bermotor berukuran kecil, partikulat tersebut dapat masuk sampai ke dalam alveoli paru-paru dan bagian lain yang sempit. Partikulat gas buang kendaraan bermotor terutama terdiri jelaga (hidrokarbon yang tidak terbakar) dan senyawa anorganik (senyawa-senyawa logam, nitrat dan sulfat). Sulfur dioksida di atmosfer dapat berubah menjadi kabut asam sulfat (H2SO4) dan partikulat sulfat. Sifat iritasi terhadap saluran pernafasan,

menyebabkan SO2 dan partikulat dapat membengkaknya membran mukosa dan

pembentukan mukosa dapat meningkatnya hambatan aliran udara pada saluran pernafasan. Kondisi ini akan menjadi lebih parah bagi kelompok yang peka, seperti penderita penyakit jantung atau paru-paru dan para lanjut usia (Tugaswati, 2000).

b) Oksida Nitrogen

Diantara berbagai jenis oksida nitrogen yang ada di udara, nitrogen dioksida (NO2) merupakan gas yang paling beracun. Karena larutan NO2 dalam

air yang lebih rendah dibandingkan dengan SO2, maka NO2 akan dapat menembus

ke dalam saluran pernafasan lebih dalam. Bagian dari saluran yang pertama kali dipengaruhi adalah membran mukosa dan jaringan paru. Organ lain yang dapat dicapai oleh NO2 dari paru adalah melalui aliran darah. Karena data epidemiologi

tentang resiko pengaruh NO2 terhadap kesehatan manusia sampai saat ini belum

lengkap, maka evaluasinya banyak didasarkan pada hasil studi eksprimental. Berdasarkan studi menggunakan binatang percobaan, pengaruh yang membahayakan seperti misalnya meningkatnya kepekaan terhadap radang saluran

pernafasan, dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100 μg/m3 . Percobaan

pada manusia menyatakan bahwa kadar NO2 sebsar 250 μg/m3 dan 500 μg/m3

dapat mengganggu fungsi saluran pernafasan pada penderita asma dan orang sehat (Tugaswati, 2000).

(28)

14

diabsorbsi oleh paru, bahan pencemar tersebut dibawa oleh aliran darah atau cairan getah bening ke bagian tubuh lainnya, sehingga dapat membahayakan setiap organ di dalam tubuh. Senyawa-senyawa yang masuk ke dalam hidung dan ada dalam mukosa bronkial juga dapat terbawa oleh darah atau tertelan masuk tenggorokan dan diabsorbsi masuk ke saluran pencernaan. Selain itu ada pula pemaja nan yang tidak langsung, misalnya melalui makanan, seperti timah hitam. Diantara senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gas kendaraan bermotor yang dapat menimbulakan pengaruh sistemik, yang paling penting adalah karbon monoksida dan timbal.

a) Karbon Monoksida

Karbon monoksida dapat terikat dengan haemoglobin darah lebih kuat dibandingkan dari oksigen membentuk karboksihaemoglobin (COHb), sehingga menyebabkan terhambatnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh. Paparan CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung (sistem kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, juga janin, dan semua organ tubuh yang peka terhadap kekurangan oksigen. Pengaruh CO terhadap sistem kardiovaskuler cukup nyata teramati walaupun dalam kadar rendah. Penderita penyakit jantung dan penyakit paru merupakan kelompok yang paling peka terhadap pajanan CO. Studi eksperimen terhadap pasien jantung dan penyakit pasien paru, menemukan adanya hambatan pasokan oksigen ke jantung selama melakukan latihan gerak badan pada kadar COHb yang cukup rendah 2,7 %. Pengaruh pajanan CO kadar rendah pada sistem syaraf dipelajari dengan suatu uji psikologi. Walaupun diakui interpretasi dari hasil uji seperti ini sulit ditemukan bahwa kadar COHb 16% dianggap membahayakan kesehatan. Pengaruh bahaya ini tidak ditemukan pada kadar COHb sebesar 5%.

Pengaruh terhadap janin pada prinsipnya adalah karena pajanan CO pada kadar tinggi dapat menyebabkan kurangnya pasokan oksigen pada ibu hamil yang konsekuennya akan menurunkan tekanan oksigen di dalam plasenta dan juga pada janin dan darah. Hal ini dapat menyebabkan kelahiran prematur atau bayi lahir dengan berat badan rendah dibandingkan normal.

(29)

paru-15 paru) tidak boleh terpajan oleh CO dengan ka dar yang dapat membentuk COHb di atas 2,5%. Kondisi ini ekivalen dengan pajanan oleh CO dengan kadar sebesar 35 mg/m3 selama 1 jam, dan 20 mg/mg selama 8 jam. Oleh karena itu, untuk menghindari tercapainya kadar COHb 2,5-3,0 % WHO menyarankan pajanan CO tidak boleh melampaui 25 ppm (29 mg/m3) untuk waktu 1 jam dan 10 ppm (11,5 mg/mg3) untuk waktu 8 jam.

b) Karbon Dioksida (CO2)

Merujuk pada Canadian Center for Occupational and Health and Safety (CCOHS, 2005), jika terpapar CO2 dengan konsentrasi di udara melebihi 2.000 part per million (ppm) maka bisa berakibat sakit kepala, pusing, gelisah, kesemutan atau serasa ditusuk jarum, kesulitan bernapas, berkeringat, kelelahan, peningkatan denyut jantung, tekanan darah tinggi, koma, asfiksia, dan kejang-kejang. Dampak CO2 terhadap kesehatan, pada konsentrasi di atas nilai ambang batas yang dipersyaratkan, dapat menyebabkan mengantuk, sakit kepala, dan menurunkan aktivitas fisik. Selanjutnya pada konsentrasi 3% (30.000 ppm), bersifat narkotik ringan dan menyebabkan peningkatan tekanan darah serta gangguan pendengaran. Kemudian pada konsentrasi 5% (50.000 ppm), menyebabkan stimulasi pernapasan, pusing-pusing, dan kesulitan pernapasan yang diikuti oleh sakit kepala. Sedangkan pada konsentrasi >8% (80.000 ppm,) dapat menyebabkan sakit kepala, berkeringat terus menerus, tremor, dan kehilangan kesadaran setelah paparan selama 5-10 menit.

Ruang Terbuka Hijau

(30)

16

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Dalam Master Plan RTH Kota Bogor (Bappeda Kota Bogor, 2013), secara umum ruang terbuka publik (open space) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area genangan (retensi/ retention basin).

Menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2, ruang terbuka hijau yang ideal paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada.

Fungsi Ruang Terbuka Hijau

(31)

17 berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan. Konservasi hayati atau keanekaragaman hayati. RTH berfungsi sebagai penahan dan penyaring partikel padat dari udara. Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.

Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus (Dahlan, 1992). Manfaat dari adanya tajuk vegetasi hijau atau pepohonan ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari vegetasi hijau. RTH juga berfungsi sebagai penyerap dan penjebak partikel timbal. Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan (Dahlan, 1992) dan diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor.

(32)

18

serapannya terhadap timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemar udara. Sedangkan untuk tanaman daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba (Bixa orellana) mempunyai kemampuan yang sangat rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemar yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.

RTH juga berperan dalam ameliorasi iklim. Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan. RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan lain-lain. sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Dahlan, 1992).

Dahlan (1992) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh : panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) dalam Dahlan (2002) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa: 1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0° C dengan kelembaban

66-92%.

2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1° C dengan kelembaban 62-78%.

3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1° C dengan kelembaban 62-78%.

Jenis Ruang Terbuka Hijau

(33)

19 pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, HanKam, olah raga, alamiah.

Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki pemerintah (pusat, daerah), dan (b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat. Pemanfaatan RTH pada kawasan perkotaan (Departemen Pekerjaan Umum, 2008) antara lain:

1. RTH pekarangan terdiri dari:

 Pekarangan rumah besar dengan luasan lahan di atas 500 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.

 Pekarangan rumah sedang dengan luasan lahan antara 200 m2 – 500 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

 Pekarangan rumah kecil dengan luasan lahan di bawah 200 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat, dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

(34)

20

pohon kecil atau sedang, ditanam pada lahan atau pada pot berdiameter diatas 60 cm, dan persyaratan penanaman pohon pada kawasan ini dengan KDB dibawah 70%, berlaku seperti persyaratan pada RTH pekarangan rumah, ditanam pada area diluar KDB yang telah ditentukan.

 Taman atap bangunan dengan kategori: Kavling dengan KDB di atas 90% seperti pada kawasan pertokoan di pusat kota, atau pada kawasan-kawasan dengan kepadatan tinggi dengan lahan yang sangat terbatas dibuat taman atap bangunan.

2. Taman lingkungan dan taman kota yang terdiri dari taman RT, taman RW, taman kelurahan, taman kecamatan, taman kota.

3. Hutan kota dengan kategori :

 Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan.

 Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan luas minimal 2500 m2. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.

 Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya.

 Lebar minimal hutan kota berbentuk jalur adalah 30 meter.

4. RTH pada jalur hijau jalan antara lain: pada jalur tepi jalan, pada median jalan, pada jalur pejalan kaki, pada jalur dibawah jalan layang.

5. RTH sempadan jalur kereta api dengan kategori: jarak maksimal dari sumbu rel adalah 50 m dan pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam harus sesuai gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi pekerjaan.

6. RTH jaringan listrik tegangan tinggi dengan kategori:

 Jenis tanaman yang ditanam memiliki dahan yang kuat;

 Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang;

 Akarnya menghunjam masuk ke dalam tanah;

 Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%);

(35)

21 7. RTH sempadan sungai dengan kategori:

 Jalur hijau sungai meliputi sempadan sungai selebar 50 m pada kiri kanan sungai besar dan sungai kecil (anak sungai);

 Sampel jalur hijau sungai berupa petak-petak berukuran 20 m x 20 m diambil secara sistematis dengan intensitas sampling 10% dari panjang sungai;

 Sebelum di lapangan, penempatan petak sampel dilakukan secara awalan acak (random start) pada peta. Sampel jalur hijau sungai berupa jalur memanjang dari garis sungai ke arah darat dengan lebar 20 m sampai pohon terjauh;

 Sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman;

 Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 m.

Daya Serap Karbon

Komponen utama RTH adalah pohon, pohon memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon melalui proses fotosintesis sebagai berikut:

6 mol CO2 + 12 mol H2O + 675 Cal 1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O

264 gr 216 gr 180 gr 192 gr 108 gr

Dahlan (2007) menyebutkan kemampuan pohon dalam menyerap gas CO2

bervariasi dengan penyerapan sebesar 2,76 ton/ha/tahun. Sedangkan menurut Bernatzky (1978) dalam Dahlan (2007), satu pohon Beach cherry (Eugenia reinwardtiana) menyerap gas CO2 sebanyak 2,35 kg/jam dan menghasilkan gas

O2 sebanyak 1,71 kg/jam. Menurut Iverson et al. (1993) nilai rosot (daya serap)

gas CO2 untuk RTH 58,26 ton/ha, kebun 52,40 ton/ha, serta semak dan rumput

3,30 ton/ha. Pepohonan menghilangkan CO2 dari udara melalui daun mereka dan

menyimpan karbon di biomassanya, kira-kira setengah dari berat kering pohon adalah karbon. Menurut Bernatzky (1978) dalam Dahlan (2007), pohon dengan tinggi 25 m dan diameter tajuk 15 m, akan mempunyai luas tutupan tajuk 160 m2 dan luas permukaan luar daun sebesar 1600 m2, akan menghasilkan O2 (output)

(36)

22

CO2 untuk melakukan fotosintesis selama 12 jam, dan pada waktu yang sama

akan menghasilkan 600 kg O2. Data tersebut selanjutnya digunakan untuk

menduga ketersediaan oksigen yang dihasilkan oleh vegetasi.

Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Proses kimia pembentukan karbohidrat dan oksigen adalah:

6 CO2 + 6 H2O + Energi dan klorofil menjadi C6H12O6 + 6 O2.

Penyerapan karbon dioksida oleh ruang terbuka hijau dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun (Simpson dan McPherson, 1999). Penanaman pohon menghasilkan penyerapan karbon dioksida dari udara dan penyimpanan karbon, sampai karbon dilepaskan kembali akibat vegetasi tersebut busuk atau dibakar. Hal ini disebabkan karena pada RTH yang dikelola dan ditanam akan menyebabkan terjadinya penyerapan karbon dari atmosfir, kemudian sebagian kecil biomassanya dipanen dan atau masuk dalam kondisi masak tebang atau mengalami pembusukan (IPCC, 1995).

Kemampuan tanaman dalam menyerap gas karbon dioksida bermacam-macam. Menurut Haris (2006) hutan yang mempunyai berbagai macam tipe penutupan vegetasi memiliki kemampuan atau daya serap terhadap karbon dioksida yang berbeda. Tipe penutupan vegetasi tersebut berupa pohon, semak belukar, padang rumput, sawah. Daya serap berbagai macam tipe vegetasi terhadap karbon dioksida dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Cadangan Karbon dan Daya Serap Gas CO2 pada Berbagai Tipe Penutup Vegetasi

No Tipe Daya Serap gas CO2

(kg/ha/jam

Daya Serap gas CO2 (ton/ha/thn)

1 Pohon 129,92 569,07

2 Semak Belukar 12,56 55

3 Padang Rumput 2,74 12

4 Sawah 2,74 12

(37)

23 Kerugian Ekonomi

Biaya kesehatan yang diakibatkan oleh pencemaran udara terindikasi makin signifikan besarnya. Efek kesehatan yang ditimbulkan partikulat jauh melampaui biaya kesehatan dari pencemar lainnya. Diperkirakan 88% - 94% polusi udara dari gas buang kendaraan bermotor berbentuk PM10 (McCubbin and Delucchi, 1999) dalam Jalaludin et al (2009). Biaya kesehatan yang ditimbulkan partikulat 70% - 79% ditengarai sebagai kematian prematur. (US EPA, 1999) dalam Jalaludin et al (2009).

Valuasi kerugian ekonomi berupa dampak kesehatan akibat pencemaran udara sangat susah dilakukan dan sejauh ini ada dua metode yang digunakan, yaitu Cost of illness (COI) yaitu sebuah metodologi yang merujuk pada informasi mengenai biaya ekonomi yang timbul akibat pencemaran yang terbagi kedalam dua estimasi biaya yaitu:

(a) Biaya langsung (direct costs), adalah biaya-biaya yang ada pada sistem pelayanan kesehatan, masyarakat/pasien, dan keluarga yang langsung berhubungan dengan penyakit yang diderita.

(b) Indirect Cost (Biaya Tidak Langsung), adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pasien, masyarakat, maupun keluarga pasien yang tidak langsung sebagai penyakit yang diderita.

(c) Opportunity Cost (Biaya Peluang), adalah biaya-biaya untuk kesempatan yang hilang selama pasien menderita sakit, ini dilihat dari hari kerja produktif pasien dan keluarga yang menunggui yang hilang akibat penyakit yang diderita.

(d) Intangible Cost adalah biaya-biaya yang tidak dapat atau sulit dihitung/dikuantifikasi, yang biasanya terdiri dari rasa sakit, kesedihan/dukacita, atau penderitaan.

Menurut Dwight et al, (2004) dalam Dewi RA (2011) direct cost dan indirect cost dalam penelitian ini dianggap sebagai nilai dari biaya pengobatan untuk menyembuhkan penyakit diderita responden. Sedangkan opportunity cost adalah hilangnya pendapatan responden karena tidak dapat bekerja akibat sakit yang diderita. Nilai Cost of Illness dapat dilihat pada persamaan berikut ini.

(38)

24

Keterangan: C = biaya penyakit P = hilangnya pendapatan MC = biaya pengobatan

a) Nilai Pendapatan yang Hilang

Nilai pendapatan responden yang hilang karena sakit dihitung berdasarkan Cost of Time yaitu kerugian responden yang tidak masuk kerja pada saat terkena sakit. Perhitungan nilai Cost of Time dibedakan pada responden yang bekerja sebagai pegawai dan non-pegawai. Bagi responden yang bekerja sebagai pegawai, pendapatan tetap mereka saat ini tidak dipengaruhi oleh jumlah waktu tidak bekerja karena sakit. Namun, untuk mengetahui kehilangan pendapatan tersebut dapat diestimasi melalui pendekatan Value of Sick Leave sebagai proxy dari Cost of Time. Value of Sick Leave menjelaskan bagaimana mengestimasi nilai aktual dari cuti sakit yang dapat digunakan untuk mengurangi premi asuransi kesehatan pada masa pensiunan. Cost of Time pada responden non-pegawai sama dengan nilai hilangnya pendapatan per hari. Nilai ini diperoleh dari jumlah hari tidak bekerja responden non pegawai dikalikan dengan tingkat pendapatan responden per hari. Jadi, nilai pendapatan responden yang hilang dapat dihitung dengan persamaan berikut ini:

... (2) Keterangan:

P = nilai kerugian reponden tidak masuk kerja (Rp) JHTK = jumlah jam/hari tidak kerja responden ke-i

TPR = tingkat pendapatan responden ke-i per jam/hari (Rp) n = jumlah responden

i = responden ke-i (1, 2, 3,…, n)

b) Biaya Pengobatan

(39)

25 merupakan biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati sakit pada saat responden tersebut atau anggota keluarga responden yang menderita sakit yang menjadi tanggungan responden, karena dalam penelitian ini responden adalah kepala keluarga, bukan hanya terdiri dari satu individu saja. Biaya pengobatan yang dikeluarkan responden dapat dilihat pada persamaan berikut ini:

...(3)

Keterangan:

MC = biaya pengobatan per responden (Rp) BKD = biaya kunjungan ke dokter (Rp) BO = biaya pembelian obat (Rp) n = jumlah responden

i = responden ke-i (1, 2, 3, ..., n)

Nilai Cost of Illness dapat diestimasi melalui persamaan (2) dan (3), maka persamaan (1) dapat diubah menjadi berikut ini:

C = P + MC

... (4)

Benefit Transfer

Menurut Fauzi (2014), nilai kerugian ekonomi secara aktual (hasil wawancara dengan responden) tidak bisa dijadikan acuan karena kelompok kaum miskin cenderung enggan berobat atau kalaupun berobat mereka tidak secara tuntas karena keterbatasan biaya. Dengan demikian untuk mengukur kerugian ekonomi yang sesungguhnya dengan menggunakan kerugian ekonomi potensial yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia (WHO). Negara yang sudah memiliki standar nilai kerugian ekonomi potensial diantaranya Inggris yang disajikan dalam laporan Department Urusan Lingkungan, Pangan dan Pedesaan (DEFRA) Kerajaan Inggris tahun 2006 yang dikutip oleh Jalaludin et al (2009).

(40)

26

dua kategori yakni transfer nilai (value transfer) dan transfer fungsi (function transfer) loomis dan Richardson (2008) dalam Fauzi (2004). Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah transfer nilai. Menurut Fauzi (2014) pendekatan transfer nilai merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam valuasi ekonomi. Metode transfer nilai pada prinsipnya adalah menghitung nilai willingness to pay (WTP) dari study site (nilai yang sudah diketahui) dengan koefisien transfer. Koefisien transfer dapat berupa rasio antara pendapatan per kapita kedua lokasi tersebut yang dibobot dengan elastisitas permintaan atau faktor ekosistem dan ekonomi lainnya. Formula tranfser nilai dapat ditulis sebagai berikut,

WTPj = WTPi

... (5)

Dimana,

WTPj = WTP biaya kesehatan di Indonesia

WTPi = WTP biaya kesehatan standar WHO, dalam hal ini standar di Inggris (lihat lampiran 4)

Yj = Pendapatan per kapita Indonesia Yi = Pendapatan perkapita Inggris

(41)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Ruang terbuka hijau (RTH) maupun vegetasi pohon di sepanjang jalan umum yang menjadi objek kajian penelitian ini digolongkan sebagai common-pool resources (CPRs). Sebagai barang bebas, vegetasi pohon memiliki karakteristik penting yakni substractibility dan excludability. Salah satu karakteristik yang mencolok dari CPRs adalah jika digunakan akan menghalangi kemampuan akses orang lain terhadap sumberdayanya. Oleh karenanya, perlu pengendalian alih fungsi RTH maupun vegetasi pohon secara ketat oleh pihak ketiga (pemerintah dengan kelengkapan penegakkan hukumnya). Di samping itu, bisa juga dibatasi dengan pengaturan self-organization/self-governance yang menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) kepada partisipasi masyarakat dengan bertumpu pada aksi bersama pihak-pihak berkepentingan.

Pertumbuhan jumlah dan mobilisasi penduduk yang meningkat akan turut menambah jenis dan jumlah alat transportasi yang digunakan. Jika peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan pengelolaan lalu lintas dan infrastruktur yang baik akan mengakibatkan kemacetan. Kondisi tersebut akan membuat kualitas udara semakin buruk akibat meningkatnya emisi gas buang kendaraan yang terjebak di lapisan atmosfer. Kualitas udara yang buruk mengakibatkan gangguan kesehatan bagi penduduk karena emisi gas buang kendaraan bermotor mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan, mulai dari gangguan pernapasan hingga kematian sebagai dampak terbesarnya.

(42)

28

Untuk mengetahui hal itulah penelitian ini dilakukan dan juga mengukur seberapa besar kerugian ekonomi yang muncul akibat bertambahnya emisi gas kendaraan. Nilai kerugian ekonomi yang dimaksud adalah besaran biaya kesehatan yang dikeluarkan warga akibat terpapar zat-zat berbahaya yang terkandung dalam emisi gas buang kendaraan bermotor. Alur kerangka pemikiran pada penelitian ini secara ringkas bisa dilihat pada bagan dibawah ini:

Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir Penelitian

(43)

IV. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan dalam waktu empat bulan, yaitu Maret - Juni 2014. Lokasi penelitian laju emisi maupun luasan RTH atau area vegetasi pohon meliputi sejumlah jalan utama di enam kecamatan di Kota Bogor. Ada 18 ruas jalan utama yang dipilih karena dianggap mewakili dan merupakan ruas jalan utama di kota Bogor. Lokasi-lokasi tersebut adalah:

a. Kecamatan Bogor Barat di Jalan Ishak Juarsa (Gunung Batu dan Sindang Barang)

b. Kecamatan Tanah Sareal di Jalan Abdullah Bin Nuh (Yasmin) dan Jalan KH Sholeh Iskandar, Jalan Pemuda, dan Jalan Ahmad Yani

c. Kecamatan Bogor Utara di Jalan Raya Pajajaran dan Jl Raya Bogor (Kedung Halang).

d. Kecamatan Bogor Tengah di Jalan Ir H Juanda, Jalan Jalak Harupat, dan Jalan Jenderal Sudirman.

e. Kecamatan Bogor Timur di Jalan Siliwangi (Sukasari) dan Jalan Raya Tajur.

f. Kecamatan Bogor Selatan Jalan Pahlawan, Jalan Batutulis, Jalan Lawang Gintung dan Jalan Cibalagung.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling dan Proporsional Sampling. Purposive Sampling artinya bahwa penetuan sampel mempertimbangkan kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian dalam hal ini penelitian dilakukan pada 18 ruas jalan utama di Kota bogor. Sedangkan proporsional sampling penentuan responden dalam penelitian ini tidak dilakukan pada seluruh populasi, tapi terfokus pada target.

Jenis dan Sumber Data

(44)

30 terdiri dari volume kendaraan, rata-rata kecepatan, emisi karbon baik karbon monoksida (CO) maupun karbon dioksida (CO2), data pohon (jumlah, tinggi,

berat), kemudian daya rosot CO dan CO2.

Data Sekunder diperoleh dari Lembaga/Instansi Pemerintah. Data sekunder tersebut berupa data jumlah kendaraan dari Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jabar dan Dinas Lalu Lintas Angkuta Jalan Raya (DLLAJR) Kota Bogor, Tingkat Emisi Kota Bogor dari Badan Pengelola Dampak Lingkungan (BPLHD) Provinsi Jabar, Data penderita infeksi saluran penapasan atas (ISPA) dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, dan luas jalur dan kawasan vegetasi pohon dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. Berikut ini tabel berupa matriks jenis dan sumber data yang dikumpulkan dan pendekatan analisis data yang dilakukan. Tabel 3. Jenis dan Sumber Data Serta Pendekatan Analisisnya

(45)

31

Metode dan Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dengan mulai dari tahapan perumusan masalah dan tujuan kajian sampai dengan tahapan simpulan dan rekomendasi. Terdapat beberapa tahapan kegiatan dalam penelitian ini, baik dalam bentuk penelitian pustaka, pengumpulan dan pengolahan data maupun kegiatan analisis dari model matematika berdasarkan studi literatur dari penelitian sebelumnya. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Volume Kendaraan dan Emisi Karbon Kendaraan

Menghitung volume kendaraan dan kecepatan rata-rata kendaraan pada masing-masing ruas jalan (lokasi penelitian). Dari data tersebut diolah untuk mendapatkan data tingkat emisi karbon monoksida (CO) dengan menggunakan metode Pentury (2003) dan tingkat emisi karbon dioksida (CO2) dengan menggunakan metode yang terdapat dalam IPCC Guidences (2006). IPCC adalah panel antar pemerintah dalam urusan perubahan iklim atau Inter-goverment Panel On Climate Change (IPCC).

2. Faktor Konversi Kendaraan

Lalu lintas pada kenyataanya terdiri berbagai macam jenis kendaraan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan matematis untuk meminimalisir perbedaan dari masing-masing jenis kendaraan yang ada sehingga lebih mudah dalam perhitungan faktor emisi. Jumlah kendaraan yang akan dianalisis adalah total jumlah kendaraan kemudian dikonversi ke satuan massa penumpang (smp) dengan cara mengalikan jumlah kendaraan dengan faktor konversi. Perhitungan dilakukan dengan persamaan berikut.

N = M x FK ....………..…...(1) Dimana :

N = jumlah kendaraan setelah dikonversi (smp)

M = jumlah kendaraan sebelum dikonversi (kendaraan) FK = Faktor Konversi (smp/kendaraan)

(46)

32 Tabel 4. Konversi Jenis Kendaraan ke Satuan Mobil Penumpang

No Jenis Kendaraan smp

1 Kendaraan Ringan 1,00

2 Kendaraan Berat 1,20

3 Sepeda Motor 0,25

3. Faktor Emisi

Emisi karbon yang dikeluarkan bisa ditentukan dengan menggunakan faktor emisi yang merupakan nilai representatif yang menghubungkan kuantitas suatu polutan yang dilepaskan ke atmosfer dari suatu kegiatan yang terkait dengan sumber polutan. Faktor-faktor ini biasanya dinyatakan sebagai berat polutan dibagi dengan satuan berat, volume, jarak, lamanya aktivitas yang mengemisikan polutan atau durasi dari komponen kegiatan yang mengemisikan polutan tersebut. Kekuatan emisi (emission strength) menunjukkan volume emisi yang dikeluarkan per satuan waktu. Untuk menentukan kekuatan emisi (Q) diperoleh dengan persamaan

� = � × × × ………..…...(2) Dimana:

Q = kekuatan emisi (gram/detik) n= jumlah kendaraan (smp/detik)5 FE= faktor emisi (gram/liter)

K= konsumsi bahan bakar (liter/100km) L= panjang jalan (km)

Berikut ini tabel faktor emisi untuk masing-masing jenis kendaraan bermotor berdasarkan kecepatan kendaraan.

Tabel 5. Faktor Emisi (mg/meter/kendaraan) untuk Masing-Masing Jenis KBM berdasarkan Kelompok Kecepatan Kendaraan.

(47)

33

Sedangkan untuk mengukur emisi karbon dioksida (CO2) digunakan metode dari Inter-Goverment Panel for Climate Change (IPCC) untuk peralatan bergerak. Faktor emisinya disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 6. Faktor Emisi Peralatan Bergerak

Jenis Bahan Bakar Faktor Emisi (Ton/GJ)

CO2 N2O CH4

Gas Bumi 56.100 3 92

Bensin 69.300 3,2 33

Diesel 74.100 3,9 3,9

Marine Fuel Oil (MFO) 77.400 2 7 ± 50%

Sumber: IPCC Guidences, 2006

Perhitungan emisi CO2 menggunakan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi.

Emisi CO2 dihitung berdasarkan jumlah dan jenis bahan bakar dikalikan dengan

faktor emisi CO2. Secara matematis bisa dilihat pada persamaan berikut Fuela = jumlah bahan bakar x energy content ... (3) Emisi =

[Fuel

a x EFa

] ... (4)

Dimana:

Jumlah bahan bakar (liter)

Energy Content bensin = 34,66 MJ/l Energy Content solar = 38,68 MJ/l Fuela = jumlah bahan bakar (TJ)

EFa = factor emisi CO2 untuk tiap jenis bahan bakar (kg/TJ).

Emission = emisi CO2 total (kg)

a = jenis bahan bakar (bensin, solar, dll) (IPCC, 2006)

Selain mengukur tingkat emisi secara langsung beberapa parameter fisika dan kimia diambil dan diolah dari data sekunder hasil survei Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BPLHD) Jawa Barat dan Kota Bogor.

4. Mengukur Daya Serap Karbon.

Gambar

Tabel 2. Cadangan Karbon dan Daya Serap Gas CO2 pada Berbagai Tipe Penutup
Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir Penelitian
Tabel 3. Jenis dan Sumber Data Serta Pendekatan Analisisnya
Tabel 4. Konversi Jenis Kendaraan ke Satuan Mobil Penumpang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan dan/atau biaya atas Kendaraan Bermotor dan/atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang langsung maupun

meningkat menjadi Rp 53.110,58 per kendaraan roda empat atau lebih sehingga kerugian yang ditanggung yaitu sebesar Rp 12.751,92 untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih

Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan dan/atau biaya atas Kendaraan Bermotor dan/atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang langsung maupun

Untuk melihat efektivitas Pembelajaran Kooperatif model STAD terhadap hasil belajar siswa pada aspek kognitif dapat dilakukan dengan melihat pembelajaran di.. kelas yaitu

Artwork yang digunakan dalam perancangan ini adalah permainan kartu kuartet untuk anak. Ide perancangan kartu kuartet untuk anak ini adalah sebagai media bermain sambil

Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia menampilkan data penjualan motor matic pada tahun 2006 menunjukkan bahwa Yamaha khususnya di segmen motor matic Pabrikan Yamaha ini

Dari hasil wawancara dibeberapa informan diatas dapat disimpulkan bahwa sangat banyak konflik budaya yang terjadi pada tradisi-tradisi yang dilakukan oleh masyarakat

TATA CARA PERHITUNGAN : Dokumen dihitung tercapai apabila ditetapkan paling lambat sesuai dengan target yang telah ditetapkan.. : Bagian Program dan Pelaporan,