• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERUGIAN SOSIAL DAN EKONOMI PENGGUNA KENDARAAN BERMOTOR AKIBAT ADANYA KEMACETAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERUGIAN SOSIAL DAN EKONOMI PENGGUNA KENDARAAN BERMOTOR AKIBAT ADANYA KEMACETAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

VI. KERUGIAN SOSIAL DAN EKONOMI PENGGUNA KENDARAAN BERMOTOR AKIBAT ADANYA KEMACETAN

Kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda sudah menjadi suatu kebiasaan umum bagi pengguna kendaraan bermotor. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain banyaknya pabrik yang terdapat di sepanjang jalan tersebut, bertambahnya jumlah kendaraan, serta pertambahan jumlah penduduk.

Adanya arus globalisasi membuat kawasan Cicurug dan Parungkuda menjadi suatu kawasan yang dicari oleh investor untuk menanamkan modalnya di kawasan tersebut mengingat biaya produksi yang lebih murah dibanding dengan tempat lain. Hal ini dapat mendatangkan banyak keuntungan bagi pemerintah daerah karena dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keadaan ini yang menyebabkan banyak berdirinya pabrik-pabrik yang menyerap banyak tenaga kerja. Mobilitas tenaga kerja tersebut menjadi salah satu faktor spesifik terjadinya kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.

6.1. Kerugian Sosial terhadap Pengguna Kendaraan Bermotor

(2)

Tabel 10. Persepsi Pengguna Kendaraan Bermotor Mengenai Kerugian Sosial Kemacetan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Dampak Jenis Pekerjaan Total PS % PM % PNS % S % W % Telambat 36 66,67 8 14,81 10 18,52 0 0,00 0 0.00 54 Tidak Disiplin 30 18,40 7 4,29 11 6,75 90 55,21 25 15,34 163 Menguras Waktu 65 27,08 13 5,42 15 6,25 116 48,33 31 12,92 240 Mengurangi jam Kerja atau Belajar 61 63,54 13 13,54 15 15,63 0 0 7 7,29 96 Lelah 57 29,38 3 1,55 10 5,15 100 51,55 24 12,37 194 Stress 53 32,12 3 1,84 5 3,07 76 46,63 26 15,95 163

Sumber : Data Primer, 2011 Keterangan :

PS = Pegawai Swasta S = Supir

PM = Pelajar atau Mahasiswa W = Wiraswasta PNS = Pegawai Negeri Sipil

Tabel 10 memperlihatkan bahwa seluruh responden menyatakan setuju bahwa kemacetan dapat menguras waktu pengguna kendaraan bermotor. Tidak hanya menguras waktu, pengguna kendaraan bermotor juga sering merasakan lelah dan stress. Hilangnya waktu merupakan opportunity cost yang harus ditanggung oleh para pengguna kendaraan bermotor dimana waktu tersebut bisa digunakan untuk suatu aktivitas yang mendatangkan keuntungan secara sosial budaya maupun ekonomi.

(3)

merupakan jalur trayek yang harus mereka lewati setiap saat dimana jalan tersebut memiliki intensitas kemacetan tinggi sepanjang waktu.

Rasa lelah yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan tingkat emosional menjadi lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan stress. Sebanyak 163 responden merasakan adanya stress saat mereka terjebak dalam kemacetan. Sebanyak 76 orang supir merasakan stress saat terjebak kemacetan (46,63 persen dari jumlah responden yang merasakan stress). Kelelahan yang berkepanjangan serta adanya pengaruh terhadap penghasilan yang diterima merupakan penyebab stress yang dirasakan oleh supir. Selain supir, pegawai swasta juga merasakan hal yang sama. Sebanyak 53 orang pegawai swasta merasakan stress saat terjebak dalam kemacetan (31,12 persen dari jumlah responden yang merasakan stress). Pegawai swasta di sekitar jalan Cicurug-Parungkuda sebagian besar merupakan buruh pabrik sehingga mereka harus memiliki energi yang cukup besar untuk bekerja. Adanya kemacetan menyebabkan rasa lelah serta terkurasnya energi, sehingga saat mereka tiba di tempat kerja kondisi fisik dan mental tidak sebanding dengan tuntutan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan energi yang besar. Hal tersebut merupakan penyebab stress yang dirasakan oleh pegawai swasta.

(4)

tempat kerja sehingga mereka kehilangan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk bekerja.

Adanya kemacetan juga membawa pengaruh negatif terhadap pengguna kendaraan bermotor. Sebanyak 90 supir (55,21 persen dari jumlah responden yang tidak disiplin) dan 30 orang pegawai swasta (18,40 persen dari jumlah responden yang tidak disiplin) berperilaku tidak disiplin saat mereka terjebak dalam kemacetan. Mereka sering menerobos bahu jalan bahkan jalanan khusus pejalan kaki agar mereka bisa mengefisienkan waktu. Hal tersebut sudah menyalahi aturan yang berlaku dimana bahu jalan tidak diperkenankan untuk pengguna kendaraan bermotor kecuali dalam keadaan darurat. Selain itu, supir angkutan umum selalu berhenti di tempat yang terlarang. Perilaku yang tidak disiplin ini menjadi salah satu penyebab adanya kemacetan.

Pengaruh negatif lainnya yang terjadi akibat adanya kemacetan yaitu terlambat. Terlambat juga sudah menjadi kebiasaan yang sering dirasakan oleh para pengguna kendaraan bermotor karena seringnya terjebak dalam kemacetan. Sebanyak 36 pegawai swasta (66,67 persen dari jumlah responden yang terlambat) sering terlambat untuk bekerja atau belajar. Keterlambatan itu sudah menjadi dampak yang negatif karena mereka sudah menyalahi aturan yang berlaku dimana pegawai dan pelajar atau mahasiswa harus datang tepat pada waktunya untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.

6.2. Kerugian Ekonomi terhadap Pengguna Kendaraan Bermotor

(5)

menurunkan manfaat ekonomi yang seharusnya didapat oleh masyarakat. Kerugian ekonomi terhadap pengguna kendaraan bermotor dilihat dari jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Kerugian Ekonomi Kemacetan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Dampak Jenis Pekerjaan Total PS % PM % PNS % S % W % Boros Bensin 65 27,08 13 5,42 15 6,25 116 48,33 31 12,92 240 Mengurangi Penghasilan 0 0,00 0 0,00 0 0,00 116 100 0 0 116

Sumber : Data Primer, 2011 Keterangan :

PS = Pegawai Swasta S = Supir

PM = Pelajar atau Mahasiswa W = Wiraswasta PNS = Pegawai Negeri Sipil

Responden menggunakan kendaraan sebagai alat transportasinya untuk memobilisasi ke tempat tujuan mereka masing-masing sehingga saat mereka terjebak kemacetan, kerugian yang paling berpengaruh yaitu boros bensin. Seluruh responden setuju bahwa kemacetan membuat boros bensin karena sebagian besar kendaraan berada pada posisi menyala saat terjebak macet sehingga konsumsi bensin pun bertambah.

Seluruh supir angkutan umum menyatakan bahwa penghasilan mereka berkurang karena sering terjebak kemacetan. Supir angkutan umum menyatakan mereka harus menambah uang bensin agar mereka bisa beroperasi seperti biasa atau harus mengurangi operasional rit kendaraan dari yang biasanya rata-rata 12 kali trip menjadi delapan trip.

6.2.1. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Kendaraan

Bermotor

(6)

saat macet. Meningkatnya pengeluaran biaya BBM ini merupakan kerugian yang harus ditanggung oleh setiap pengguna kendaran bermotor.

Hasil penelitian terhadap 240 responden terdapat 130 responden yang mengendarai kendaraan roda empat atau lebih, dan 110 responden yang mengendarai kendaraan roda dua. Seluruh responden dihitung pengeluaran BBM mereka dengan menggunakan rumus rata-rata contoh sehingga didapat pengeluaran rata-rata kerugian individu pengguna kendaraan bermotor tersebut dengan asumsi pengeluaran biaya untuk pembelian BBM digunakan untuk semua titik kemacetan yang ada di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda (Tabel 12).

Tabel 12. Perhitungan Rata-Rata Pengeluaran Responden untuk Pembelian BBM untuk satu kali trip

Pengeluaran Rata-Rata Kendaraan roda empat atau lebih (n=130 unit)

Kendaraan roda dua (n= 110 unit)

Pengeluaran rata-rata normal per

kendaraan (Rp) (per trip) 40.358,65 5.259,09

Pengeluaran rata-rata macet per kendaraan (Rp) (per trip)

53.110,58 7.740,91 Rata-rata kerugian per kendaraan

(Rp) (per trip) 12.751,93 2.481,82

Jumlah kendaraan pada Peak

hours (unit per jam)

616* 1.923* Jumlah kerugian BBM per hari

(Rp) (per peak hour) 7.855.188,88 4.772.539,86

Total kerugian pembelian BBM

per bulan (Rp) 235.655.666,40 143.176.195,80

Total kerugian per tahun (Rp) 2.867.143.941,20 1.741.977.048,90 Total kerugian kendaraan

bermotor per tahun (Rp) 4.609.120.990,10

Sumber : Data Primer, 2011 Keterangan :

* = Jumlah kendaraan pada pukul 06.00-07.00 WIB menurut data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Kab.Sukabumi, 2011.

(7)

meningkat menjadi Rp 53.110,58 per kendaraan roda empat atau lebih sehingga kerugian yang ditanggung yaitu sebesar Rp 12.751,92 untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih dengan asumsi pengeluaran BBM tersebut digunakan untuk melewati semua titik kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda.

Kendaraan roda dua seperti motor, penggunaan bahan bakarnya lebih efisien dibanding dengan kendaraan roda empat atau lebih. Pengeluaran responden untuk pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 5.259,09 per motor. Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya untuk pembelian BBM pun meningkat menjadi Rp 7.740,91 sehingga kerugian yang ditanggung yaitu sebesar Rp 2.481,82 untuk setiap kendaraan roda dua.

Data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi (2011) bahwa jumlah kendaraan bermotor yang melewati jalan Cicurug-Parungkuda pada

peak hour yaitu pukul 06.00-07.00 WIB berjumlah 616 unit untuk kendaraan roda

empat atau lebih dan 1.923 unit untuk kendaraan roda dua. Apabila jumlah tersebut dikalikan dengan rata-rata kerugian untuk kendaraan roda empat atau lebih yaitu sebesar Rp 12.751,92, maka total kerugian BBM untuk kendaraan roda empat atau lebih yaitu sebesar Rp 7.855.188,88 per hari dan Rp 4.772.539,86 per hari untuk kendaraan roda dua.

(8)

4.609.120.990,10 per tahun. Potensi nilai ekonomi yang hilang ini merupakan nilai yang sangat besar untuk wilayah yang termasuk daerah sub-urban.

Pengeluaran dalam penelitian ini lebih besar dibanding dengan penelitian

sebelumnya untuk kendaraan roda empat atau lebih yaitu sebesar Rp 12.751,93 karena jumlah kendaraan roda empat dan kendaraan besar seperti

kendaraan barang yang banyak tidak sebanding dengan kapasitas jalan sehingga terjadi banyak penumpukan kendaraan. Jalan Cicurug-Parungkuda hanya memiliki satu jalan utama untuk menghubungkan Bogor dengan Kabupaten Sukabumi sehingga jalan tersebut sudah pasti memiliki kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kemacetan sepanjang waktu.

Pertambahan pembelian BBM di Kecamatan Bogor Barat dalam Marwan (2011) hampir sama dengan pertambahan pembelian BBM di Cicurug-Parungkuda yaitu sebesar Rp 11.659,00. Hal ini terjadi karena jarak tempuh di Kecamatan Bogor Barat yang sangat jauh dan hanya memiliki satu jalan utama walaupun volume kendaraan roda empat di daerah ini tidak sebanyak di Cicurug-Parungkuda. Oleh sebab itu, pertambahan pembelian BBM di Kecamatan Bogor Barat cukup besar walaupun kemacetan yang terjadi tidak separah di daerah Cicurug-Parungkuda.

(9)

kemacetan di daerah Cicurug-Parungkuda. Hal inilah yang menyebabkan pertambahan untuk pembelian BBM di daerah Cicurug-Parungkuda lebih besar dibanding dengan Kota Bogor dan Kecamatan Bogor Barat.

Pertambahan pembelian BBM untuk kendaraan roda dua dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian Sapta (2009) di Kota Bogor yaitu sebesar Rp 2.481,82. Berbeda dengan Cicurug dan Kota Bogor, Marwan (2011) dalam penelitiannya di Kecamatan Bogor Barat mengalami pertambahan pembelian BBM tertinggi untuk roda dua. Hal ini karena jarak tempuh Kecamatan Bogor Barat yang lebih jauh dan titik rawan kemacetan yang lebih banyak dibanding dengan Cicurug-Parungkuda dan Kota Bogor sehingga pertambahan pembelian BBM di Kecamatan Bogor Barat ini paling tinggi dibanding dengan kedua daerah tersebut.

Potensi yang hilang dalam penelitian ini relatif kecil bila dibandingkan dengan Kota Surabaya. Potensi ekonomi yang hilang akibat penambahan pembelian BBM yaitu sebesar kurang lebih Rp 102 Triliun per tahun. Nilai yang sangat besar bila dibandingkan dengan potensi ekonomi yang hilang di jalan Cicurug-Parungkuda yaitu sebesar Rp 4 Milyar. Nilai yang sangat besar di Surabaya karena Surabaya merupakan daerah urbanisasi, selain itu Surabaya merupakan Ibukota Propinsi Jawa Timur sehingga nilai penambahan BBM yang didapat sangat besar.

(10)

melebihi batas. Keadaan ini bertolak belakang dengan konsep ekonomi sumberdaya dan lingkungan itu sendiri yaitu pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengatasi kemacetan yang terjadi di setiap tempat agar pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.

6.2.2. Perhitungan Besarnya Penghasilan yang Hilang Akibat Kemacetan

Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lepas dari peranan sektor transportasi. Transportasi membuat distribusi barang dan jasa serta mobilitas pelaku ekonomi menjadi lebih cepat, mudah, dan efisien. Apabila terjadi kemacetan lalu lintas, maka arus transportasi pun terhambat sehingga dampaknya akan berpengaruh besar pada aktivitas ekonomi dan produktivitas masyarakat.

Supir yang terjebak kemacetan merasakan kerugian ekonomi yang paling besar dibanding dengan jenis pekerjaan lainnya. Pengeluaran yang semakin meningkat untuk operasional kendaraan mengurangi penghasilan para supir. Para supir mengalami penurunan penghasilan karena mereka harus membeli BBM lebih banyak dibanding saat lalu lintas berjalan normal. Misalnya untuk dua kali trip operasi biasanya menghabiskan Rp 20.000,00. Namun karena sering terkena macet, konsumsi pembelian BBM pun bertambah menjadi Rp 30.000,00. Supir angkutan umum biasanya dalam sehari dapat beroperasi sebanyak 12 kali trip, menjadi 8 kali trip karena sering terjebak macet. Karena itu, kemacetan dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya penghasilan masyarakat khususnya supir.

(11)

dengan asumsi PNS, pekerja swasta, wiraswasta dan pelajar atau mahasiswa tidak masuk dalam perhitungan walau terjebak kemacetan karena berdasarkan hasil survei, keterlambatan tidak akan mempengaruhi penghasilan mereka. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Perhitungan Penghasilan Supir yang Hilang

Supir Kendaraan Umum

Total Durasi Kemacetan (menit) (per trip) 3.870

Jumlah Responden 116

Rata-rata durasi kemacetan (menit) (per trip) 33,36

Rata-rata pendapatan per bulan (Rp) 1.900.431,03

Rata-rata jumlah jam kerja per hari (jam) 11

Rata-rata jumlah hari kerja per minggu (hari) 7

Rata-rata jumlah jam kerja per bulan (30 hari x

rata-rata jam kerja per hari) (jam) 330

Rata-rata penghasilan (Rata-rata penghasilan per

bulan : jam kerja) (Rp) 5.758,88* 95,98**

Rata-rata penghasilan yang hilang satu kali

jalan (Rp) 3.202,14

Jumlah perjalanan per hari (trip) 12***

Rata-rata penghasilan per hari (Rp) 38,425,68

Jumlah supir kendaraan umum 970

Total penghasilan yang hilang per hari (Rp) 37.272.909,60

Total penghasilan yang hilang per bulan (Rp) 1.118.187.288,00

Total penghasilan yang hilang per tahun (Rp) 13.418.247.456,00

Sumber : Data Primer, 2011 Keterangan :

* = per jam ** = per menit

*** = jumlah perjalanan supir untuk enam rit

(12)

Seorang supir dalam sehari beroperasi sebanyak 12 kali trip maka jumlah penghasilan seorang supir yang hilang dalam sehari yaitu sebesar Rp 38.425,68. Bila masyarakat yang berprofesi sebagai supir berjumlah 970 orang dengan rincian 400 supir angkutan umum, 400 orang supir angkutan Bogor-Sukabumi, dan 170 supir merupakan supir bis dengan asumsi satu kendaraan umum dikemudikan oleh satu orang supir dan jumlah operasional untuk semua kendaraan umum sama yaitu 12 kali trip, maka total penghasilan supir yang hilang dalam sehari yaitu sebesar Rp 37.272.909,60, sehingga penghasilan supir yang hilang dalam satu bulan yaitu sebesar Rp 1.118.187.288,00. Total penghasilan supir yang hilang per tahun yaitu sebesar Rp 13.418.247.456,00.

Jumlah penghasilan supir yang hilang karena adanya kemacetan dalam penelitian ini yaitu sebesar Rp 13.418.247.456,00. Nilai ini lebih kecil dibanding dengan penghasilan supir yang hilang di Kota Bogor dalam Sapta (2009) yaitu sebesar Rp 27.598.380.000,00. Hal ini karena penghasilan untuk supir per jam di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda lebih kecil dibanding dengan supir yang berada di Kota Bogor sehingga jumlah penghasilan supir yang hilang untuk satu tahun di Cicurug-Parungkuda lebih kecil dibanding dengan penghasilan supir di Kota Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

As’at mengaku sudah berupaya menertibkan tambang yang ada di Lumajang. As’at melemparkan kesalahan kepada mantan Bupati Lumajang Almarhum Sjahrazad Masdar.. Polda memproses

Hasil penelitian menggunakan analisis ragam menunjukkan, meskipun penggunaan binder bakterin tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap sintasan dan produksi udang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel ukuran dewan komisaris, profitabilitas dan kinerja lingkungan berpengaruh positif terha- dap pengungkapan ISR

Pelaksanaan pengabdian dengan peserta berjumlah 42 dilaksanakan pada tanggal 14-21 November 2020 yang berlokasi di aula dayah dengan rangkaian materi meliputi:

Karakteristik personal adalah kondisi potensi, kapasitas kemampuan dan kemauan seorang sesuai kebutuhan dunia kerja. Perusahaan mencari calon karyawan dengan potensi,

Secara parsial bahwa variabel harga beli pedagang tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah penawaran jeruk manis, sedangkan biaya penjualan dan keuntungan

Hasil penelitian berupa bahan ajar berbasis multiple intellegences yang dikembangkan diharapkan dapat membantu guru dalam menyampaikan dan memperjelas konsep-konsep

Umum akan memberikan daftar stok barang dan daftar departemen perusahaan kepada staf umum untuk dicatat dalam buku barang dan buku departemen perusahaan. Setiap Awal