• Tidak ada hasil yang ditemukan

Impact of Migration Policy on Income Disitribution in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Impact of Migration Policy on Income Disitribution in Indonesia"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN MIGRASI INTERNASIONAL

TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI INDONESIA

YUNI SULISTYORINI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Migrasi Internasional terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

YUNI SULISTYORINI. Dampak Kebijakan Migrasi terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan M. PARULIAN HUTAGAOL.

Migrasi telah menjadi strategi mata pencaharian penting bagi masyarakat Indonesia untuk mencari peluang ekonomi yang lebih baik. Tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri (TKI) melakukan migrasi untuk beberapa alasan termasuk kurangnya peluang kerja, kemiskinan dan perbedaan gaji antara Indonesia dengan negara tujuan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia semakin tinggi. Gini rasio sebagai ukuran ketimpangan pendapatan mengalami peningkatan yaitu dari 0.36 pada tahun 2007 menjadi 0.41 pada tahun 2012. Hal ini merupakan indikasi bahwa kemiskinan yang dicerminkan oleh ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi merupakan masalah pembangunan ekonomi di Indonesia, selain pengangguran.

Tingkat pengangguran di semua sektor ekonomi Indonesia tinggi, namun yang paling banyak bekerja di luar negeri adalah tenaga kerja yang memiliki ketrampilan rendah. Secara global, migrasi tenaga kerja Indonesia didorong oleh banyaknya peluang tenaga kerja sektor domestik di negara tujuan seperti pembantu rumah tangga, sektor pertanian, bangunan, industri pengolahan dan sektor jasa. Sektor domestik (informal) sering tidak dicakup oleh undang-undang ketenagakerjaan dan undang-undang hubungan industri di negara tujuan. Hal ini menyebabkan kelompok TKI utamanya Tenaga Kerja Wanita (TKW) berada dalam posisi rentan eksploitasi.

Pada Juni 2009, pemerintah memberlakukan moratorium (pembatasan) penempatan TKI sektor informal untuk negara tujuan Malaysia. Pembatasan penempatan TKI juga diberlakukan untuk negara tujuan Arab Saudi yang berlaku sejak 1 Agustus 2011. Penerapan kebijakan moratorium ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk melindungi dan menjamin keamanan TKI utamanya sektor informal. Pembatasan penempatan TKI informal tentu akan berdampak terhadap kesejahteraan tenaga kerja dan semakin meningkatkan ketimpangan pendapatan karena semakin sedikitnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik bagi tenaga kerja berketrampilan rendah.

Adanya pergeseran aturan di negara tujuan migrasi yang lebih menerima tenaga kerja terampil mengharuskan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penempatan TKI terampil. Selain itu, dalam kerangka Masyarakat Ekonomi Asean (AEC), mobilitas tenaga kerja yang diatur didalamnya hanyalah regulasi untuk mobilitas tenaga kerja terampil. Oleh karena itu, pada tahun 2013 pemerintah melalui BNP2TKI menetapkan target penempatan TKI sebesar 600 ribu orang atau meningkat 21% dibandingkan dengan tahun 2012 dengan tetap memberlakukan kebijakan moratorium dan lebih mengutamakan penempatan TKI di sektor formal. Pemerintah juga menetapkan target jangka panjang untuk menghentikan penempatan TKI sektor informal dan hanya melakukan penempatan TKI di sektor formal saja pada tahun 2017.

(5)

memengaruhi proses migrasi suatu negara. Proses migrasi itu sendiri pada gilirannya cenderung mempengaruhi atau bahkan mengubah pola-pola kegiatan ekonomi, baik secara sektoral maupun secara geografis serta mengubah pola distribusi pendapatan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan migrasi yang dilakukan pemerintah terhadap distribusi pendapatan dan mengidentifikasi kebijakan yang paling efektif memengaruhi distribusi pendapatan di Indonesia.

Analisis dalam penelitian ini menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia tahun 2008, analisis deskriptif dan analisis Indeks Theil. SNSE merupakan salah satu sistem pendataan dan alat analisa yang penting untuk memantau dan menganalisa berbagai masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan. Analisa deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai migrasi tenaga kerja ke luar negeri, remitansi dan ketimpangan pendapatan di Indonesia. Sementara itu analisis Indeks Theil digunakan untuk melihat dampak kebijakan migrasi terhadap ketimpangan pendapatan baik antar kelompok rumah tangga maupun ketimpangan dalam kelompok rumah tangga itu sendiri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan moratorium mengakibatkan menurunnya pendapatan rumah tangga dan meningkatkan ketimpangan. Kebijakan penempatan TKI sektor formal dan program pelatihan keterampilan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga, tetapi tidak berpengaruh terhadap ketimpangan. Sedangkan kebijakan pemberian kredit dan pelatihan ketrampilan bagi TKI purna, dan paket kebijakan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga sekaligus menurunkan ketimpangan.

Oleh karena itu rekomendasi kebijakan yang dapat disarankan adalah pemerintah diharapkan melakukan paket kebijakan yang terdiri dari kebijakan moratorium TKI informal dan meningkatkan penempatan TKI formal, memberikan pelatihan ketrampilan TKI bagi tenaga kerja berketrampilan rendah, serta pelatihan kewirausahaan dan pemberian kredit usaha bagi TKI purna. Program pelatihan sebaiknya disesuaikan dengan job order yang tersedia menurut negara tujuan, sehingga TKI dapat memeroleh pekerjaan di sektor formal dengan gaji yang lebih tinggi serta jaminan keamanan dan kesejahteraan yang lebih baik.

(6)

SUMMARY

YUNI SULISTYORINI. Impact of Migration Policy on Income Disitribution in Indonesia.Supervised by RINA OKTAVIANI and M. PARULIAN HUTAGAOL.

Migration has become an important livelihood strategy for the Indonesian people to seek better economic opportunities. Indonesian workers who work abroad ( TKI ) migrate with several reasons including the lack of employment opportunities, poverty and wage differentials between Indonesia and destination countries. Statistics Indonesia data show that income inequality in Indonesia is high. Gini ratio as a measure of income inequality has increased from 0.36 in 2007 to 0.41 in 2012. This is an indication that poverty which is reflected by the higher income inequality is one of economic development problem in Indonesia, besides unemployment.

The unemployment rate in all sectors of the Indonesian economy is high, but the most work abroad is low-skilled labor. Globally, Indonesian labor migration driven by the domestic sector employment opportunities in destination countries such as domestic, agriculture, construction, manufacturing and service sectors. Domestic sector (informal) often are not covered by labor law and industrial relations legislation in the destination country. This causes the low-skilled labor mainly female worker (TKW) is in a vulnerableposition to exploitation.

In June 2009, the government imposed a moratorium (restrictions) placement of informal sector workers for Malaysia. Restrictions also apply to Saudi Arabia which effect from August 1st, 2011. The moratorium aims to protect and ensure the safety of migrant workers mainly informal worker sector. Informal restrictions on the placement of migrant workers would have an impact on the welfare of labor and increase the inequality of income due to fewer opportunities to earn a better income for low-skilled labor.

Regulation changes in the destination country that more accepting skilled labor migrants, requires the Indonesian government to improve the placement of skilled labor migrants. In addition, within the framework of the ASEAN Economic Community (AEC), the mobility workers regulations only regulate skilled labor mobility. Therefore, in 2013 the government through BNP2TKI set a target of 600 thousand migrant workers placement, an increase of 21% compared to 2012 while imposing a moratorium and still prefer the placement of migrant workers in the formal sector. The government also set long-term targets to stop informal sector workers placement and just place the formal worker sector in 2017.

(7)

The analysis in this study using the National Social Accounting Matrix (SAM) of Indonesia in 2008 , the descriptive analysis and Theil Index analysis. SAM is one of the data collection systems and analysis tools that are important to monitor and analyze the various problems of poverty and income distribution . Descriptive analysis is used to provide a general overview of labor migration abroad, remittances and income inequality in Indonesia . Meanwhile, Theil index analysis is used to see the impact of migration policy on income inequality, both among groups of households or groups of households inequality in itself.

The results showed that the moratorium resulted in declining household income and increase inequality. Placement policy of formal sector workers and skills training programs can increase household income, but does not affect the inequality. Meanwhile, lending policy and skills training for retired workers, and a package of policy can increase household incomes while lowering inequality .

Therefore, policy recommendations can be suggested that the government is expected to impose a policy package consisting of an informal moratorium on migrant workers and improve the formal sector deployment, provide skills training for migrant low-skilled labor, as well as entrepreneurial training and business lending for retired workers. Training programs should be adjusted to the available job order indestination countries, so that migrant workers can obtain jobs in the formal sector with a higher salary as well as better security and welfare.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

DAMPAK KEBIJAKAN MIGRASI INTERNASIONAL

TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

2

(11)

3 Judul Tesis : Dampak Kebijakan Migrasi Internasional terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia

Nama : Yuni Sulistyorini NIM : H151114254

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Ketua

Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

5

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah remitansi, dengan judul Dampak Kebijakan Migrasi Internasional terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun material dalam penyelesaian tesis ini, terutama kepada Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS dan Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Wiwiek Rindayati, MS selaku penguji dan Dr Alla Asmara SPtMSi selaku wakil program studi atas saran dan kritik yang membangun dalam hal substansi materi maupun tata cara penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi Ilmu Ekonomi FEM Sekolah Pascasarjana IPB atas ilmu dan jasa yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap pimpinan Badan Pusat Statistik (BPS) RI, BPS Provinsi Jawa Timur dan BPS Kabupaten Tulungagung yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kerja di BPS Kabupaten Tulungagung, rekan-rekan seperjuangan di kelas BPS batch empat dan regular lima yang senantiasa saling memberikan dukungan dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Besar harapan penulis semoga tesis ini membawa manfaat utamanya bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya.

(14)
(15)

7

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan dan manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Tinjauan Teori 9

Tinjauan Empiris 16

Kerangka Pemikiran 18

3 METODE PENELITIAN 19

Jenis dan Sumber Data 19

Sistem Neraca Sosial Ekonomi Nasional (SNSE) Indonesia 19

Klasifikasi SNSE 22

Analisis Multiplier 23

Analisis Indeks Theil 24

4 GAMBARAN UMUM 26

Gambaran Perekonomian Indonesia Tahun 2008 26

Migrasi Tenaga Kerja Indonesia dan Remitansi 29

Ketimpangan Distribusi Pendapatan 32

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 34

Analisis Pengganda Neraca 34

Dampak Kebijakan Penempatan TKI

terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga 35

Dampak Kebijakan Penempatan TKI

terhadap Pendapatan Pemerintah 37

Dampak Kebijakan Penempatan TKI

terhadap Pendapatan per Kapita 39

Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga 41

6 SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 47

(16)

8

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan Angkatan Kerja Indonesia, 2009-2011 2 2 Penempatan TKI menurut Negara Tujuan (orang), 2006-2011 4

3 Struktur Perekonomian Indonesia Tahun 2008 26

4 Alokasi Pendapatan Institusi Tahun 2008 27

5 Dampak Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga terhadap Sektor

Produksi 35

6 Simulasi Dampak Kebijakan Penempatan TKI terhadap Dsitribusi

Pendapatan Rumah Tangga (Rp miliar) 36

7 Simulasi Dampak Kebijakan Penempatan TKI terhadap Pendapatan

Pemerintah (Rp miliar) 38

8 Simulasi Dampak Kebijakan Penempatan TKI terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB) per Kapita 40

9 Simulasi Dampak Kebijakan Penempatan TKI terhadap Ketimpangan

Pendapatan Rumah Tangga 42

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan Penerimaan Remitansi di Indonesia tahun 1985-2011 3 2 Perkembangan Pembangunan Perekonomian Indonesia, 2007-2012 6

3 Model Migrasi Todaro 11

4 Model Wage Narrowing and Efficiency Gains 12

5 Kerangka Pikir 18

6 Kerangka Dasar SNSE 2008 20

7 Transaksi Ekonomi antara Agen didalam Perekonomian 22

8 Alokasi Pendapatan Rumah Tangga tahun 2008 28

9 Perkembangan Penerimaan Remitansi tahun 2000-2008 29 10 Perkembangan Penempatan TKI tahun 2006-2012 30

11 Penempatan TKI menurut Negara Tujuan, 2012 31

12 Peneriamaan Remitansi di ASEAN, 1990-2011 31

13 Penerimaan Remitansi Indonesia menurut Negara Pengirim, 2006-2011 32 14 Ketimpangan Pendapatan di Indonesia tahun 2007-2012 33

DAFTAR LAMPIRAN

15 Rekap Jurnal 47

16 Matriks Koefisien Pengeluaran Rata-rata (Matriks A) 51

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Globalisasi ekonomi yang dicerminkan oleh perdagangan bebas dan keterbukaan ekonomi tidak hanya terbatas pada perdagangan barang saja, tetapi juga dicerminkan oleh semakin bebasnya arus jasa (services) antar negara. Salah satu wawasan kontroversial beberapa teori perdagangan adalah bahwa perubahan dalam eksposur negara terhadap perdagangan internasional dan pasar dunia yang lebih umum, mempengaruhi distribusi sumber daya dalam negeri dan dapat menimbulkan konflik distribusi yang lebih besar (Goldberg dan Pavenik, 2007).

Dalam dua dekade terakhir pasar tenaga kerja di seluruh dunia menjadi semakin terintegrasi. Perkembangan teknologi yang dikombinasikan dengan penghapusan restriksi pada perdagangan antar negara dan aliran modal memungkinkan proses produksi untuk tidak terikat pada lokasi dan lebih mendekati target pasar. Hal ini mendorong perkembangan barang dan jasa secara universal. Lokasi produksi menjadi lebih responsif relatif terhadap biaya tenaga kerja antar negara, sehingga mendorong peningkatan arus migrasi baik melalui jalur legal maupun illegal (IMF, World economic outlook).

Migrasi didefinisikan sebagai suatu bentuk perpindahan seseorang atau kelompok orang dari satu unit wilayah geografis menyeberangi wilayah perbatasan politik dan administrasi dengan keinginan untuk tinggal dalam waktu tak terbatas atau untuk sementara di suatu tempat yang bukan daerah asal. Migrasi dalam definisi ini termasuk juga perpindahan pengungsi, orang yang kehilangan tempat tinggal, migran ilegal dan juga migran ekonomi. Migran Ekonomi yaitu seseorang yang melakukan perpindahan karena alasan ekonomi (IOM, 2008).

Solimano (2001) juga mendefinisikan migrasi internasional sebagai proses perpindahan penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya orang melakukan migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. Suatu fakta memperlihatkan bahwa pengangguran, upah yang rendah, prospek karir yang kurang menjanjikan untuk orang-orang yang berpendidikan tinggi dan resiko untuk melakukan investasi di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi ke luar negeri.

Menurut Osaki (2003) migrasi penduduk terjadi karena adanya kebutuhan tenaga kerja yang bersifat hakiki (intrinsic labor demand) pada masyarakat industri modern. Hal ini sesuai dengan teori dual labor market. Menurut teori tersebut, migrasi terjadi karena adanya kepentingan tertentu dari tenaga kerja pada daerah atau negara maju. Oleh karena itu migrasi terjadi tidak hanya karena push factors yang ada pada daerah asal tetapi juga dapat terjadi karena pull factors pada daerah tujuan.

(18)

2

keluarga tetap berada di daerah asal, sementara anggota keluarga yang lain bekerja di daerah atau negara lain. Alokasi tersebut merupakan upaya untuk meminimalkan resiko kegagalan yang dapat terjadi akibat migrasi. Selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan anggota keluarga yang berada di daerah asal memperoleh penghasilan yang memadai, maka pengiriman uang (remittances) yang dikirim oleh anggota keluarga yang bekerja di luar daerah atau luar negeri dapat membantu ekonomi rumah tangga (Stark, 1991).

Todaro dan Smith (2006) dalam teori migrasinya menyatakan bahwa perbedaan upah antara sektor pertanian (rural) dan sektor industri (urban) menyebabkan terjadinya arus migrasi internal yang sering disebut dengan urbanisasi. Migrasi internal dianggap sebagai suatu proses alamiah yang menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah pedesaan ke sektor industri modern di perkotaan yang kesempatan kerjanya lebih tinggi. Proses ini dipandang positif secara sosial, karena memungkinkan berlangsungnya pergeseran sumber daya manusia dari lokasi yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi yang produk marjinal sosialnya terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi.

Berdasarkan teori-teori tersebut dapat dilihat bahwa tujuan utama migrasi adalah meningkatkan taraf hidup pekerja migran dan keluarganya, sehingga masalah migrasi masih dipandang sebagai suatu hal yang positif dalam pembangunan ekonomi. Namun fakta migrasi internal yang terjadi di negara berkembang berbeda dengan pandangan tersebut, arus migrasi tenaga kerja dari pedesaan yang umumnya bekerja di sektor pertanian jauh melampaui tingkat penciptaan lapangan pekerjaan sektor industri di perkotaan. Kesempatan kerja yang terbatas di sektor industri modern (urban) mengakibatkan tenaga kerja yang tidak terserap akan menganggur atau memasuki sektor informal yang berpendapatan rendah.

Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, dimana selain tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi, tingkat pekerja rentan (vulnerable employment) juga

1 169 328 208 172 070 339 171 756 077

2 113 833 280 116 527 546 117 370 485

67.23

67.72 68.34 104 870 663 108 207 767 109 670 399 73 300 729 74 938 429 75 082 312

Tabel 1. Perkembangan angkatan kerja Indonesia, 2009 - 2011

(19)

3 menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pekerja rentan adalah penduduk yang bekerja, tetapi mudah untuk keluar dari pekerjaannya jika terjadi guncangan atau ada kesempatan kerja yang lebih baik. Pekerja rentan biasanya ditandai dengan jumlah jam kerja kurang dari jam kerja normal, upah rendah dan kurangnya jaminan keselamatan kerja. Pada umumnya pekerja rentan ini bekerja di sektor informal. Tabel 1 menunjukkan perkembangan jumlah angkatan kerja dari tahun 2009 sampai dengan 2011. Tabel tersebut memperlihatkan meskipun jumlah penduduk yang bekerja meningkat dan tingkat pengangguran menurun, namun persentase pekerja rentan meningkat dari 30.1% pada tahun 2009 menjadi 31.5% pada tahun 2011. Perkembangan ini menunjukkan bahwa iklim ketenagakerjaan di Indonesia belum dapat mendorong penciptaan kesempatan kerja yang memadai, sehingga keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan tenaga kerja di dalam negeri belum tercapai.

Sebagai suatu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan tingkat pengangguran yang cukup tinggi, maka migrasi tenaga kerja ke luar negeri (migrasi internasional) merupakan salah satu cara untuk mengatasi kurangnya kesempatan kerja yang tersedia. Migrasi internasional merupakan fenomena menarik dalam mengatasi masalah tenaga kerja di Indonesia. Selain dapat membuka kesempatan kerja, pengiriman tenaga kerja juga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga migran dan menambah devisa negara. Devisa ini diperoleh dari kiriman uang (remittances) tenaga kerja migran kepada anggota keluarganya.

Gambar 1 menunjukkan perkembangan penerimaan remitansi Indonesia tahun 1985-2011. Peningkatan penerimaan remitansi yang signifikan terjadi pada tahun 2005 yaitu meningkat menjadi sebesar USD 5.4 miliar dari USD 1.8 miliar pada tahun 2004. Sedangkan penerimaan remitansi pada tahun 2011 mencapai USD 6.9 miliar. Secara nominal, Indonesia merupakan negara penerima remitansi duapuluh terbesar di dunia dan ketiga terbesar di ASEAN setelah Philipina dan Vietnam.

Secara global, migrasi tenaga kerja Indonesia didorong oleh banyaknya kekurangan tenaga kerja sektor domestik di negara tujuan dan upah yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sektor domestik tersebut antara lain pembantu

0

1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

U

(20)

4

rumah tangga, sektor pertanian, bangunan, industri pengolahan dan sektor jasa. Pekerjaan sektor domestik tidak diinginkan oleh tenaga kerja di negara tujuan karena gaji yang terlalu rendah bagi penduduk setempat. Negara-negara tujuan utama pekerja migran Indonesia adalah Malaysia, Timur Tengah, Hongkong dan Taiwan. Tabel 2 menunjukkan jumlah penempatan tenaga kerja Indonesia menurut negara tujuan periode tahun 2006-2011 masih didominasi oleh tenaga

kerja sektor informal. Hal ini juga disebabkan karena ketersediaan (supply) tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri pada umumnya merupakan tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah. Adanya gap antara kesempatan kerja dengan angkatan kerja yang tersedia membuat kelompok tenaga kerja miskin yang umumnya memiliki ketrampilan (skill) yang rendah akan berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya dan memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik dengan mencari kesempatan kerja di luar negeri. Pekerja migran melakukan migrasi ke luar negeri dengan harapan memperoleh gaji/upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan gaji/upah di dalam negeri. Adanya perbedaan upah dan kesempatan kerja antar negara dan antara pekerja yang memiliki ketrampilan dengan pekerja yang tidak memiliki ketrampilan merupakan salah satu faktor yang mendorong pekerja untuk melakukan migrasi.

Sektor domestik (informal) sering tidak dicakup oleh undang-undang ketenagakerjaan dan undang-undang hubungan industri di negara tujuan. Hal ini yang menyebabkan kelompok tenaga kerja Indonesia (TKI) utamanya Tenaga Kerja Wanita (TKW) dalam posisi rentan eksploitasi. Situasi ini diperparah dengan jenis pekerjaan domestik yang sifatnya pribadi/perorangan, karena berada dalam lingkup rumah tangga sehingga mempersulit pelaksanaan dan pengawasan undang-undang ketenagakerjaan. Pekerja sektor informal rentan terhadap kekerasan karena perlindungan hukum untuk pekerja sektor ini sangat rendah. Migrant care Indonesia mengungkapkan pada tahun 2007 kasus TKI meninggal sebanyak 206 orang. Kasus kematian tertinggi dialami TKI yang bekerja di

Tabel 2. Penempatan tenaga kerja menurut negara tujuan (orang), 2006-2011

F IF F IF F IF F IF F IF F IF

(21)

5 Malaysia yaitu 71 orang (35%), Taiwan 36 orang (19%) dan Saudi Arabia 31 orang (15%).

Proses reintegrasi sosio-ekonomi merupakan bagian penting dari perlindungan TKI dan upaya untuk memperbaikai kesejahteraan TKI dan keluarganya. Namun Undang-undang No.39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri belum dapat memberikan perlindungan terhadap TKI. Selain inisiatif akhir di tingkat nasional, umumnya reformasi pemerintah selama ini bersifat ad hoc dan tidak membentuk strategi yang koheren dan komprehensif dalam menangani banyak permasalahan mengenai manajemen migrasi di Indonesia, khususnya perlindungan hak TKI dan migrasi illegal. Indonesia menandatangani konvensi PBB atas perlindungan hak-hak semua tenaga kerja di luar negeri, namun undang-undang dan kebijakan migrasi tenaga kerja nasional masih ditujukan untuk mengurangi pengangguran dan cenderung berfokus pada fasilitasi arus TKI daripada menciptakan mekanisme perlindungan bagi mereka (IOM, 2010).

Perhatian publik yang besar terhadap kasus yang menimpa TKI yang tersangkut masalah hukum mendorong organisasi kemasyarakatan di Indonesia memberi tekanan kepada pemerintah untuk memperkuat perundang-undangan yang melindungi TKI. Oleh karena itu pada Juni 2009 pemerintah memberlakukan moratorium (pembatasan) penempatan TKI sektor informal untuk negara tujuan Malaysia. Pembatasan penempatan TKI juga diberlakukan untuk negara tujuan Arab Saudi yang berlaku sejak 1 Agustus 2011. Kebijakan pembatasan penempatan TKI informal ini dilakukan sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Hal ini dikarenakan pemerintah menunggu adanya nota kesepakatan (Memorandum Of Understanding) yang diajukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara tujuan agar TKI sektor informal diberikan waktu kerja yang jelas serta jaminan hukum yang lebih baik.

Perumusan Masalah

Migrasi telah menjadi strategi mata pencaharian penting bagi sebagian masyarakat Indonesia untuk mencari peluang ekonomi yang lebih baik. Tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada umumnya adalah tenaga kerja kurang terampil. Tenaga kerja tersebut melakukan migrasi untuk beberapa alasan termasuk kurangnya kesempatan kerja, kemiskinan dan perbedaan gaji antara Indonesia dengan negara tujuan.

(22)

6

perubahan distribusi pendapatan penduduk. Gini rasio juga digunakan untuk melihat apakah pemerataan pendapatan penduduk semakin baik atau semakin buruk. Pada tahun 2007 angka gini rasio sebesar 0.36, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 0.35 tetapi kemudian meningkat menjadi 0.41 pada tahun 2012. Peningkatan angka gini rasio menunjukkan bahwa distribusi pendapatan pada periode tersebut semakin memburuk. Hal ini merupakan indikasi bahwa kemiskinan yang dicerminakan oleh ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi merupakan masalah pembangunan ekonomi di Indonesia, selain pengangguran.

Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa masalah yang dapat ditimbulkan dari ketimpangan distribusi pendapatan adalah bahwa ketimpangan distribusi pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi. Kedua, ketimpangan distribusi pendapatan juga dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Ketiga, ketimpangan pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas. Dan keempat, ketimpangan distribusi pendapatan yang ekstrem pada umumnya dipandang sebagai ketidakadilan.

Hayami (2001), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pendapatan diantaranya adalah dualitas struktur ekonomi dan perbedaan pendapatan antara sektor pertanian dan non pertanian. Menurut Harahap (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia terutama di daerah pedesaan merupakan buruh tani tanpa atau dengan kepemilikan lahan dan akses terhadap modal yang sangat terbatas. Tingkat upah yang rendah serta akses terhadap modal yang terbatas akan meningkatkan kesenjangan pendapatan.

Setiap kebijakan ekonomi atau sosial yang mempengaruhi pendapatan riil masyarakat suatu negara secara langsung atau tidak langsung pada akhirnya akan mempengaruhi proses migrasi suatu negara. Proses migrasi itu sendiri pada gilirannya cenderung mempengaruhi atau bahkan mengubah pola-pola kegiatan ekonomi, baik secara sektoral maupun secara geografis dan mengubah pola distribusi pendapatan, bahkan besar kecilnya tingkat pertumbuhan penduduk (Todaro, 2006). Tujuan utama kebijakan migrasi internasional tenaga kerja

Sumber : BPS, diolah

(23)

7 Indonesia adalah membuka kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran. Dampak positif dari migrasi tenaga kerja ke luar negeri yaitu berkurangnya tekanan terhadap pasar kerja di dalam negeri. Dampak tersebut semakin dirasakan karena pekerja migran merupakan pengangguran atau mereka yang bekerja sebelum berangkat ke luar negeri tetapi pekerjaannya dengan mudah dapat digantikan oleh pengangguran atau setengah pengangguran yang ada pada pasar kerja dalam negeri.

Berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri antara lain Peraturan Pemerintah no.4 tahun 1970 tentang program antar kerja antar daerah (AKAD) dan program antar kerja antar negara (AKAN). Peraturan ini mengatur penempatan tenaga kerja baik penempatan di dalam negeri maupun penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Pemerintah kemudian menerbitkan Keputusan Presiden No.29 tahun 1999 tentang pembentukan Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI). BKPTKI dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas penempatan dan keamanan perlindungan TKI. Kebijakan tersebut disempurnakan pada tahun 2004 dengan ditetapkannya Undang-undang no.39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI. Pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden no.6 tahun 2006 tentang kebijakan reformasi sistem penempatan dan perlindungan TKI. Meskipun semua kebijakan tersebut ditujukan untuk mengatur penempatan sekaligus melindungi keamanan TKI yang berada di luar negeri, namun kasus kekerasan yang menimpa pekerja migran di luar negeri masih tinggi. Kasus kekerasan yang terjadi biasanya menimpa TKI yang bekerja di sektor informal, sehingga pemerintah pada 29 Juni 2009 menerapkan kebijakan pembatasan (moratorium) penempatan TKI utamanya TKI sektor informal. Pembatasan penempatan TKI ini diberlakukan untuk TKI dengan tujuan Malaysia. Kebijakan moratorium juga diberlakukan untuk TKI tujuan negara-negara Timur Tengah yang berlaku sejak Agustus 2011 (IOM,2010).

(24)

8

Pemerintah menyadari bahwa kebijakan moratorium yang ditetapkan akan menyebabkan pendapatan pekerja migran memburuk, oleh karena itu pemerintah menerapkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi tenaga kerja Indonesia utamanya bagi TKI purna. Program ini merupakan upaya pemerintah agar tenaga kerja Indonesia yang telah purna dan kembali ke tanah air memperoleh tambahan modal untuk membuka dan mengembangkan usaha. Fasilitasi KUR bagi TKI diberikan melalui Bank dengan mekanisme pengajuan kredit menggunakan agunan sebagai jaminan. KUR bagi TKI ini diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan memperbaiki kesejahteraan pekerja migran, sehingga tidak perlu lagi mencari peluang kesempatan kerja di luar negeri.

Pembatasan penempatan TKI ke luar negeri juga akan memberikan dampak terhadap menurunnya aliran penerimaan remitansi ke Indonesia. Menurut World Bank (2012) remitansi memainkan peran penting dalam pembangunan khususnya di negara-negara sedang berkembang. Remitansi juga merupakan sumber yang penting dalam dukungan keuangan yang secara langsung meningkatkan pendapatan rumah tangga pekerja migran. Remitansi mendukung investasi rumah tangga dalam kesehatan, pendidikan dan usaha kecil rumah tangga. Jadi kebijakan migrasi internasional akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan keluarga migran dan pembangunan di negara asal.

Upaya peningkatan remitansi ini dapat dilakukan dengan cara lebih meningkatkan penempatan TKI sektor formal. Adanya pergeseran aturan di negara penerima migrasi yang lebih menerima tenaga kerja terampil juga mengharuskan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penempatan TKI terampil. Selain itu, dalam kerangka Asean Economic Community (AEC) mobilitas tenaga kerja yang diatur didalamnya hanyalah regulasi untuk mobilitas tenaga kerja terampil. Hal ini mendorong pemerintah melalui BNP2TKI menetapkan target peningkatan penempatan TKI formal pada tahun 2013 sebesar 35.4% dengan tetap memberlakukan kebijakan moratorium. Pemerintah juga menetapkan target jangka panjang untuk menghentikan penempatan TKI sektor informal dan hanya melakukan penempatan TKI di sektor formal saja pada tahun 2017. Fakta bahwa karakteristik pekerja migran Indonesia adalah tenaga kerja yang memiliki ketrampilan dan pendidikan rendah membuat pemerintah menetapkan kebijakan program pelatihan dan kursus ketrampilan. Program pelatihan dan kursus diberikan kepada TKI melalui dinas Pendidikan.

Serangkaian program dan kebijakan tersebut diharapkan akan mampu meningkatkan penerimaan devisa negara melalui remitansi. Kebijakan tersebut juga diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi keluarga pekerja migran yang umumnya berasal dari kelompok rumah tangga golongan rendah, sehingga ketimpangan pendapatan antar kelompok rumah tangga semakin menurun.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah dampak kebijakan migrasi terhadap pendapatan pemerintah, pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan di Indonesia.

(25)

9 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari latar belakang dan permusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis dampak kebijakan penempatan TKI terhadap pendapatan pemerintah, pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan di Indonesia. 2. Merumuskan rekomendasi kebijakan yang paling efektif berpengaruh terhadap

distribusi pendapatan di Indonesia.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu rekomendasi kebijakan penempatan tenaga kerja Indonesia yang bukan hanya mampu meningkatkan penerimaan remitansi, namun juga dapat mengurangi kesenjangan pendapatan di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai dampak kebijakan migrasi internasional terhadap distribusi pendapatan di Indonesia. Analisis dampak kebijakan penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri dengan menggunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dilakukan untuk mengetahui dampaknya terhadap distribusi pendapatan kelompok rumah tangga di Indonesia. Data jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sulit diperoleh, sehingga dalam penelitian ini digunakan pendekatan nilai remitansi menurut sektor formal dan informal. Selanjutnya penghitungan menggunakan analisis indeks Theil dilakukan untuk mengidentifikasi dampak kebijakan tersebut terhadap kesenjangan pendapatan antara kelompok rumah tangga pertanian dan kelompok rumah tangga non pertanian.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Migrasi dan Remitansi

Keputusan seseorang untuk melakukan migrasi didorong oleh faktor ekonomi dan sosial. Faktor ekonomi yang menjadi pendorong migrasi adalah perbedaan tingkat upah, terbatasnya kesempatan kerja dan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah. Tingginya tingkat upah dan kesempatan kerja yang tersedia di daerah tujuan migrasi memunculkan harapan akan memperoleh peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan tingkat upah yang lebih tinggi untuk memperbaiki taraf hidup pekerja migran. Sedangkan faktor sosial yang mendorong dilakukannya migrasi adalah masalah lingkungan, demografi maupun desakan sosio-politik (Todaro & Smith, 2006).

(26)

10

yang tersedia bagi mereka di sektor tradisional (rural) dan modern (urban), serta kemudian memilih salah satu diantaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan (expected gain) dari migrasi. Pada dasarnya model Todaro tersebut beranggapan bahwa segenap angkatan kerja baik yang aktual maupun potensial, senantiasa membandingkan penghasilan yang diharapkan (expected wage) selama kurun waktu tertentu di sektor modern (urban) yaitu selisih antara penghasilan dan biaya migrasi dengan rata-rata tingkat penghasilan yang bisa mereka peroleh di sektor tradisional (rural). Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan migrasi, adapun kedua faktor tersebut adalah :

1. Faktor Pendorong Migrasi (Push Factor)

Beberapa hal yang bisa dikategorikan sebagai faktor pendorong migrasi adalah masalah lingkungan, ekonomi, demografi maupun desakan sosio-politik. Masalah ekonomi yang menjadi faktor pendorong adalah tingkat upah yang rendah, terbatasnya kesempatan kerja dan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah. Seluruh faktor tersebut secara umum memaksa seseorang untuk melakukan migrasi.

2. Faktor Penarik Migrasi (Pull Factor)

Bertolak belakang dengan faktor pendorong, faktor penarik cenderung memberikan insentif bagi individu untuk melakukan migrasi dari negara asal menuju negara tujuan. Dalam bidang ekonomi faktor penarik adalah adanya harapan akan memperoleh peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan tingkat upah yang lebih tinggi untuk memperbaiki taraf hidup.

Gambar 3 merupakan model migrasi Todaro yang menghubungkan antara migrasi dan pasar kerja. Model ini mengasumsikan perekonomian suatu negara hanya terdiri dari dua sektor saja, yaitu sektor pertanian di daerah pedesaan dan sektor industri di daerah perkotaan. Permintaan tenaga kerja yang digambarkan oleh kurva produk marjinal tenaga kerja pada sektor pertanian digambarkan oleh garis AA’. Sedangkan permintaan tenaga kerja sektor industri digambarkan oleh garis MM’. Total angkatan kerja yang tersedia disimbolkan dengan OAOM. Dalam

perekonomian pasar neoklasik (upah ditentukan oleh mekanisme pasar dan seluruh tenaga kerja akan terserap), upah ekuilibriumnya W*A=W*M dengan

pembagian tenaga kerja sebanyak OAL*A untuk sektor pertanian dan OML*M untuk

sektor industri. Sesuai dengan asumsi full employment, seluruh tenaga kerja yang tersedia terserap habis oleh kedua sektor ekonomi tersebut.

Jika upah ditetapkan oleh pemerintah sebesar ̅M, yang terletak diatas WA

dan diasumsikan tidak ada pengangguran maka tenaga kerja sebesar OMLM akan

bekerja pada sektor industri di perkotaan, sedangkan sisanya OALM akan berada

pada sektor pertanian di desa dengan tingkat upah sebanyak OAW**A, yang lebih

kecil dibandingkan dengan upah pasar yaitu OAW*A. Sehingga terjadi kesenjangan

upah antara desa dan kota sebanyak ̅M– W**A. Jika masyarakat pedesaan bebas

melakukan migrasi, maka meskipun di desa tersedia lapangan kerja sebanyak OALM, mereka akan melakukan migrasi ke kota untuk memperoleh upah yang

(27)

11

Sumber : Todaro & Smith (2006) Gambar 3. Model migrasi Todaro

Adanya selisih tingkat upah desa-kota tersebut mendorong terjadinya arus migrasi dari desa ke kota. Titik-titik peluang tersebut digambarkan oleh garis qq’ dan titik ekuilibrium yang baru adalah Z. Selisih antara pendapatan aktual di desa dan di kota adalah ̅M – WA. Jumlah tenaga kerja yang masih ada pada sektor

pertanian adalah OALA dan tenaga kerja di sektor industri sebanyak OMLM dengan tingkat upah ̅M. Sisanya yakni LUS = OMLA – OMLM, akan menganggur

atau memasuki sektor informal yang berpendapatan rendah.

Oleh karena itu migrasi internal menyebabkan pengangguran yang semakin tinggi di daerah perkotaan. Selanjutnya, migrasi internasional merupakan salah satu cara untuk mengatasai semakin meningkatnya pekerja sektor informal dan pengangguran. Migrasi internasional selain untuk mengatasi masalah pengangguran juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, karena umumnya upah pekerja di negara lain lebih tinggi daripada upah pekerja di Indonesia. Upah yang diterima oleh pekerja migran selanjutnya dikirimkan kepada keluarganya yang berada di daerah asal.

Migrasi internasional dapat juga meningkatkan devisa negara melalui pengiriman uang (remitansi). Remitansi tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi (basic need) atau investasi. Jika penghitungan pendapatan nasional ditinjau dari sisi pengeluaran, maka peningkatan konsumsi masyarakat dapat meningkatkan pendapat nasional. Demikian juga jika remitansi tersebut digunakan untuk investasi (menabung) dan diasumsikan bahwa masyarakat melakukakn investasi di dalam negeri pada lembaga-lembaga keuangan, maka tabungan masyarakat dapat digunakan untuk membiayai sektor riil. Selanjutnya peningkatan investasi secara langsung dapat meningkatkan permintaan tenaga kerja dan pada akhirnya juga meningkatkan pendapatan nasional.

Model Wage Narrowing and Efficiency Gains

(28)

12

perbedaan upah antara kedua negara tersebut menyebabkan terjadinya migrasi dari negara yang memiliki tingkat upah yang rendah ke negara yang memiliki tingkat upah yang lebih tinggi. Selanjutnya migrasi tersebut juga mendorong terjadinya efisiensi.

Misalkan ada dua pasar tenaga kerja bilateral dalam perekonomian, negara A dan negara B. Diasumsikan bahwa dua pasar mempekerjakan pekerja yang memiliki ketrampilan yang identik, sehingga pekerja yang bekerja di negara A adalah pengganti sempurna untuk pekerja yang bekerja di negara B. Gambar 4 mengilustrasikan kurva penawaran tenaga kerja dan kurva permintaan tenaga kerja di masing-masing pasar tenaga kerja yaitu pasar tenaga kerja di negara A dan pasar tenaga kerja di negara B (SA dan DA di negara A dan SB dan DB di negara B). Untuk mempermudah penawaran diwakili oleh garis vertikal, menyiratkan bahwa penawaran inelastis sempurna dalam masing-masing wilayah.Seperti digambarkan, upah ekuilibrium di negara A (WA) melebihi upah ekuilibrium di negara B (WB).

Selanjutnya dapatkah perbedaan upah antara dua wilayah dapat bertahan dan mewakili ekuilibrium kompetitif yang benar, jawabannya tidak, setelah semua pekerja di negara B melihat rekan-rekan mereka di negara A memiliki penghasilan yang lebih besar. Perbedaan upah ini mendorong pekerja di negara B untuk berkemas dan bergerak ke negara A, dimana mereka bisa mendapatkan upah yang lebih tinggi dan mungkin mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi. Pengusaha di negara A juga melihat perbedaan upah dan menyadari bahwa mereka dapat berbuat lebih baik dengan bergerak ke negara B. Setelah semua perpindahan terjadi, para pekerja akan memiliki ketrampilan yang sama dalam dua wilayah tersebut dan perusahaan dapat menghasilkan lebih banyak uang dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih murah.

Jika pekerja dapat bergerak bebas melintasi dua negara, arus migrasi akan menggeser kurva penawaran di kedua negara. Di negara B, kurva penawaran tenaga kerja akan bergeser ke kiri (ke SB) sebagai akibat dari pergerakan para pekerja negara B meninggalkan wilayah tersebut. Di negara A, kurva penawaran akan bergeser ke kanan (ke SA) sebagai akibat dari bertambahnya jumlah pekerja

(a) Pasar tenaga kerja negara A

Employment

(b) Pasar tenaga kerja negara B

DB

(29)

13 negara B yang tiba dan menekan tingkat upah di negara A. Kebebasan bergerak keluar dan masuk dalam pasar tenaga kerja antar negara akan menyebabkan perekonomian internasional akhirnya akan ditandai dengan upah tunggal (W*).

Tingkat upah di kedua pasar tenaga kerja juga akan menyamakan kedudukan jika perusahaan (bukan pekerja) dengan bebas bisa masuk dan keluar pasar tenaga kerja. Ketika perusahaan negara A menutup pabrik mereka dan pindah ke negara B, kurva permintaan tenaga kerja di negara A akan bergeser ke kiri dan menurunkan upah negara A, sedangkan kurva permintaan tenaga kerja di negara B akan bergeser ke kanan kemudian mendorong peningkatan upah negara B. Insentif bagi perusahaan untuk bergerak melintasi pasar akan hilang seiring dengan hilangnya perbedaan upah antar wilayah. Selama pekerja atau perusahaan bebas untuk masuk dan keluar pasar tenaga kerja, maka ekonomi yang kompetitif akan ditandai dengan upah tunggal.

Upah tunggal dalam keseimbangan kompetitif memiliki implikasi penting untuk efisiensi ekonomi. Ingat bahwa dalam ekuilibrium kompetitif, upah sama dengan nilai produk marjinal tenaga kerja. Ketika perusahaan dan pekerja pindah ke daerah yang memberikan peluang terbaik, mereka akan menghilangkan perbedaan upah regional. Oleh karena itu, pekerja dengan keahlian tertentu memiliki nilai marjinal produk yang sama di semua pasar tenaga kerja.

Alokasi pekerja untuk perusahaan yang dapat menyamakan nilai produk marjinal dipasar juga merupakan bentuk pemilihan yang mengarah ke alokasi efisien dari sumber daya tenaga kerja. Seperti diilustrasikan pada Gambar 4, di mana upah kompetitif di Negara A (WA) melebihi upah kompetitif di Negara B (WB). Kesenjangan upah ini menyiratkan bahwa nilai produk marjinal tenaga kerja lebih besar di Negara A daripada di Negara B. Hal ini juga mudah untuk melihat bagaimana migrasi mengarah ke alokasi sumber daya yang efisien dengan menghitung keuntungan dari perdagangan di pasar tenaga kerja. Karena kurva penawaran dalam Gambar 4 adalah inelastis sempurna (menyiratkan bahwa nilai waktu di luar pasar tenaga kerja adalah nol), total keuntungan dari perdagangan yang diberikan oleh daerah di bawah kurva permintaan hingga tingkat ekuilibrium ketenagakerjaan. Migrasi para pekerja dari Negara B mengurangi total keuntungan dari perdagangan di Negara B oleh daerah yang diarsir dari trapesium di pasar tenaga kerja negara B. Migrasi pekerja ke Negara A meningkatkan total keuntungan dari perdagangan di Negara A oleh daerah yang diarsir dari trapesium di pasar tenaga kerja negara A. Suatu perbandingan dari dua trapesium mengungkapkan bahwa daerah trapesium negara A melebihi daerah trapesium negara B dengan ukuran segitiga EFGH, menyiratkan bahwa total keuntungan dari perdagangan dalam peningkatan perekonomian nasional sebagai akibat dari migrasi pekerja.

Migrasi dan Pembangunan

(30)

14

kerja, yang kemudian akan mengarah pada produktivitas marginal tenaga kerja yang lebih tinggi dan meningkatkan tingkat upah di daerah pengirim tenaga kerja. Arus modal diharapkan untuk menuju kearah yang berlawanan, yaitu dari daerah/negara yang kekurangan tenaga kerja menuju ke daerah/negara yang memiliki tenaga kerja melimpah. Akhirnya, proses faktor pemerataan harga ini akan menyebabkan tingkat upah yang sama (upah tunggal) pada negara pengirim dan negara tujuan migran.

Menurut De Haas (2007) pendekatan neoklasik tidak memberikan wawasan yang realistis dan konkret tentang dampak migrasi pada masyarakat di negara pengirim migran. Namum para ilmuwan dan politisi menganjurkan migrasi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat di negara asal. Remitansi yang dikirimkan oleh pekerja migran memiliki peran yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi baik lokal, regional maupun nasional. Mereka juga berpendapat bahwa pekerja migran, khususnya yang kembali ke negara asal, dipandang sebagai pelaku penting dari perubahan dan inovasi. Pekerja migran tidak hanya membawa pulang uang, tetapi juga ide-ide baru, pengetahuan, dan sikap kewirausahaan yang telah mereka peroleh sebagai hasil dari migrasi. Dengan cara ini, para migran akan berkontribusi pada difusi spasial percepatan modernisasi daerah yang relatif kurang maju dan memainkan peran yang positif dalam pembangunan.

Pada tingkat makro, pengiriman uang (remittances) dianggap sebagai sumber penting bagi pembangunan. Pada tingkat mikro, migrasi mengarah pada peningkatan ekonomi pekerja migran dan kebebasan yang lebih besar dari hambatan sosial ekonomi. Remitansi akan meningkatkan distribusi pendapatan dan kualitas hidup melampaui pendekatan pembangunan lainnya (Keely dan Tran, 1989).

Kebijakan Migrasi Internasional

Kebijakan migrasi internasional telah dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri pertama kali dilakukan pemerintah Belanda melalui penempatan buruh kontrak ke negara Suriname pada periode 1890-1939. Tujuan utama dilakukannya penempatan TKI ke Suriname adalah karena rendahnya tingkat perekonomian dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di pulau Jawa. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan Indonesia hingga akhir tahun 1960, penempatan TKI ke luar negeri belum melibatkan pemerintah. Migrasi tenaga kerja ke luar negeri pada periode tersebut dilakukan secara perorangan, kekerabatan dan bersifat tradisional. Negara yang menjadi tujuan utama pada masa ini adalah Malaysia dan Arab Saudi.

(31)

15 Tujuan utama pembentukan Undang-undang no.39 tahun 2004 adalah melindungi pekerja migran Indonesia, namun keberadaan Undang-undang ini dinilai belum mampu memberikan perlindungan terhadap TKI dan lebih banyak mengatur secara detail bisnis penempatan TKI ke luar negeri sementara aspek perlindungan ditempatkan bukan sebagai hal yang utama. Perlindungan pekerja migran lebih banyak diserahkan kepada perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang merupakan lembaga bisnis dan lebih mengutamakan profit. Jika fokus utamanya adalah perlindungan, maka pembenahan sistem penempatan mulai dari perekrutan, pendidikan sampai dengan pemulangan TKI mutlak dilakukan dalam perspektif perlindungan (Palupi, 2007).

Kebijakan migrasi TKI disempurnakan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.6 tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Pada tahun 2006 upaya untuk memperluas kesempatan kerja juga dilakukan dengan melaksanakan penempatan TKI program Government to Government (G to G) antara pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan.

Ketimpangan Pendapatan

Konsep distribusi pendapatan memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan kemiskinan karena cakupannya tidak hanya menganalisa populasi penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Ketimpangan pendapatan dapat didefinisikan sebagai distribusi pendapatan yang tidak merata antar kelompok masyarakat. Ketimpangan pendapatan akan mengakibatkan adanya ketidakmerataan kemakmuran bagi masyarakat secara umum dan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu. Ketimpangan juga menunjukkan suatu kondisi disparitas mendasar dimana seseorang memiliki pilihan sedangkan orang lain tidak memiliki pilihan yang sama (Ray, 1998).

Menurut Hayami (2001) Faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pendapatan diantaranya adalah perubahan dalam factor shares, dualitas struktur ekonomi, perbedaan pendapatan antara sektor pertanian dan non pertanian, dan redistribusi pendapatan dan aset.

Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif. Dua ukuran tersebut adalah distribusi pendapatan perseorangan (personal income distribution) dan distribusi pendapatan fungsional (functional income distribution) atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi. Distribusi pendapatan perseorangan merupakan ukuran yang paling sering digunakan. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Distribusi pendapatan fungsional merupakan distribusi pendapatan terhadap faktor-faktor produksi yaitu upah tenaga kerja berdasarkan ketrampilan (skill) yang dimiliki, pembayaran sewa dan keuntungan bagi pemilik modal serta pemilik tanah. Pada akhirnya dalam distribusi pendapatan fungsional semua pendapatan yang dihasilkan dapat diklasifikasikan dalam pembayaran kepada tenaga kerja yang memiliki ketrampilan berbeda, sewa dan keuntungan.

(32)

16

1. Functional Income Distribution, yaitu distribusi pendapatan terhadap faktor-faktor produksi tenaga kerja, pemilik modal serta pemilik tanah. Karena berbagai hal, teori distribusi pendapatan fungsional ini tidak sepenuhnya dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan pembagian pendapatan di negara berkembang. Pertama, karena penggolongan penerima pendapatannya terlalu sederhana yaitu terbatas kepada tenaga kerja dan pemilik modal yang umumnya hanya meliputi mereka yang bekerja di sektor formal, sedangkan di negara berkembang sebagian besar golongan miskin bekerja di sektor informal. Kedua, karena teori ini tidak membahas konflik sosial politik, yaitu konflik yang menonjol terjadi dalam proses pembangunan yang biasanya berkaitan dengan strategi pembangunan yang dipilih.

2. Personal Income Distribution, merupakan distribusi pendapatan pada kelompok/unit ekonomi berdasarkan ukuran pendapatan yang diperoleh dan lazim dinyatakan sebagai pendapatan perorangan atau rumah tangga. Besarnya pendapatan perorangan atau rumah tangga tergantung dari besarnya faktor produksi (modal, sumberdaya manusia, teknologi dan tanah) yang dimilikinya. 3. Occupational Income Distribution, adalah distribusi pendapatan pafa kelompok industri atau occupational groups. Distribusi pendapatan ini sangat erat kaitannya dalam hubungannya dengan sektor pertanian.

4. Geographical atau Regional Income Distribution, yaitu distribusi pendapatan yang berkaitan dengan pembagian pendapatan terhadap wilayah atau daerah yang ada di suatu negara.

5. International Income Distribution, adalah distribusi pendapatan yang berkaitan dengan pembagian pendapatan antar negara-negara di dunia.

6. Racial Income Distribution, merupakan pembagian pendapatan pada negara-negara yang mempunyai masalah konflik sosial.

7. Sexual Income Distribution, yaitu pembagian pendapatan ke dalam jenis laki-laki dan wanita.

Tinjauan Empiris

(33)

17 kepada rumah tangga di daerah terpencil. Upaya ini dapat meningkatkan potensi penghasilan remitansi dan meningkatkan migrasi tenaga kerja terampil dalam jangka panjang.

Jawaid dan Raza (2012) melakukan investigasi hubungan antara remitansi dan pertumbuhan ekonomi menggunakan data time series dari 113 negara periode tahun 2003-2009. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara remitansi dan pertumbuhan ekonomi di semua negara yang digunakan sebagai sampel yaitu negara low income, middle income dan high income. Analisis konvergensi unconditional berdasarkan remitansi pekerja menunjukkan bahwa negara-negara low income dan middle income lebih cepat menuju konvergen. Sebaliknya untuk negara-negara high income menuju konvergensi dengan kecepatan yang lebih lambat dalam model konvergensi conditional dibandingkan dengan model konvergensi unconditional. Selanjutnya dapat ditentukan arah penelitian di masa yang akan datang untuk menemukan indikator yang berperan penting pada konvergensi, karena pada akhirnya aliran remitansi dari pekerja tidak menjamin pembentukan modal dan pertumbuhan ekonomi.

Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Ramirez dan Sharma (2009) dan Pradhan et al (2008). Ramirez dan Sharma (2009) meneliti dampak remitansi pada pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan data panel 23 negara Amerika Latin dan Karibia periode 1990-2005. Mereka mengelompokkan sampel berdasarkan negara low income dan high income. Hasil penelitian menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara remitansi pekerja dan pertumbuhan ekonomi di kedua kelompok negara tersebut. Pradhan et al (2008) juga meneliti hubungan antara remitansi pekerja dan pertumbuhan ekonomi menggunakan data panel 39 negara berkembang periode 1980-2004. Hasil regresi data panel menunjukkan ada hubungan positif dan signifikan antara remitansi pekerja dan pertumbuhan ekonomi.

Kesimpulan yang bertentangan ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Chami et al (2003) yang melakukan penelitian remitansi sebagai sumber modal pembangunan dengan menggunakan data panel 113 negara periode 1970-1998. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan pada dampak remitansi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Mereka menyimpulkan bahwa remitansi tidak bertindak sebagai modal untuk pembangunan ekonomi dan ada hambatan yang signifikan untuk mentransfernya sebagai sumber modal yang signifikan.

(34)

18

Beberapa penelitian juga dilakukan untuk menguji peran remitansi terhadap ketimpangan pendapatan. Ahlburg (1996) melakukan penelitian untuk menguji apakah penerimaan remitansi dapat menurunkan ketimpangan di negara Tonga. Pengukuran ketimpangan dilakukan dengan cara mengukur derajat ketimpangan distribusi pendapatan yang mencakup pengukuran Mean Logaritmic Deviation (MLD), indeks entropy dan koefisien gini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan remitansi dari para migran yang bekerja di luar negeri dapat menurunkan ketimpangan pendapatan. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi arus migrasi atau remitansi harus mempertimbangkan dampak terhadap distribusi pendapatan.

Acosta (2007) meneliti tentang dampak remitansi internasional pada kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Amerika Latin menggunakan data panel dari 10 negara. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa migrasi dan remitansi secara signifkan menurunkan kemiskinan terutama melalui peningkatan pendapatan per kapita di negara penerima. Regresi antar negara menunjukkan bahwa di Amerika Latin remitansi umumnya memiliki dampak mengurangi kesenjangan. Studi kasus mikro-ekonomterik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dampak remitansi dalam mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sangat bervariasi di antar negara-negara penerima, hal ini disebabkan biaya migrasi pada beberapa negara lebih rendah. Biaya migrasi yang rendah didorong oleh adanya jaringan pekerja migran yang telah mapan atau kedekatan relatif terhadap negara tujuan utama migrasi. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa remitansi memiliki peran yang penting pada peningkatan kesejahteraan keluarga pekerja migran.

Kerangka Pemikiran

Kurangnya kesempatan kerja yang layak dan produktif mendorong pekerja melakukan migrasi ke luar negeri dengan tujuan untuk memperoleh pekerjaan dan upah yang lebih baik. Pekerja migran menempati pekerjaan di sektor formal dan informal, rendahnya jaminan keamanan pekerja di sektor informal menimbulkan banyak kasus kekerasan yang terjadi pada tenaga kerja Indonesia.

Gambar 5. Kerangka Pikir

Kurangnya kesempatan kerja yang layak dan

produktif Formal

Kebijakan penempatan TKI

Migrasi Internasional

Analisis Dampak (multiplier) SNSE terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga

Informal

(35)

19

Remitansi yang dihasilkan oleh para pekerja migran berkontribusi terhadap devisa negara. Pemerintah dalam hal ini Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) berupaya untuk meningkatkan pengiriman TKI sekaligus memberikan perlindungan melalui berbagai kebijakan penempatan TKI. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah berimplikasi terhadap distribusi pendapatan dan perekonomian negara.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan migrasi internasional (kebijakan penempatan TKI) yang diambil oleh pemerintah terhadap perekonomian Indonesia, khususnya terhadap distribusi pendapatan. Selanjutnya juga dilakukan analisis untuk mengetahui kebijakan yang efektif berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan. Pada akhirnya diharapkan akan diperoleh suatu rekomendasi kebijakan penempatan TKI yang tepat, dimana kebijakan tersebut dapat meningkatkan jaminan keamanan TKI dan penerimaan remitansi sekaligus berperan terhadap penurunan ketimpangan pendapatan antara kelompok rumah tangga pertanian dan non pertanian.

3

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan migrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri terhadap distribusi pendapatan rumah tangga di Indonesia. Untuk menggambarkan transmisi kebijakan migrasi terhadap distribusi pendapatan digunakan pendekatan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2008. Data kebijakan migrasi TKI yang meliputi kebijakan moratorium (pembatasan) penempatan TKI, target penempatan TKI, program pelatihan dan kursus ketrampilan bagi TKI yang memiliki ketrampilan rendah, program pemberian kredit usaha dan pelatihan kewirausahaan bagi TKI purna diperoleh dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia

(36)

20

Model SNSE memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Beberapa kelebihan itu antara lain :

1. Dibanding dengan model persamaan simultan, SNSE lebih bersifat mikro dan dapat menjelaskan keterkaitan antar sektor ekonomi, distribusi pendapatan antar kelompok sosial-ekonomi. Sementara model ekonometrika bersifat agregat dan tidak dapat menangkap keterkaitan antar sektor.

2. Dibanding dengan model I-O, SNSE mampu menjelaskan distribusi pendapatan diantara kelompok faktor dan selanjutnya transmisi pendapatan dari masing-masing faktor ke institusi seperti rumah tangga, perusahaan dan pemerintah.

3. Dibanding dengan model I-O, SNSE dapat menghitung pengganda (multiplier) pendapatan menurut faktor dan institusi.

Beberapa kelemahan SNSE antara lain :

1. Model SNSE bersifat statis, artinya hubungan transaksi dalam model hanya berlaku pada suatu waktu tertentu dimana angka-angka transaksi diukur. 2. Data pada model SNSE dihitung berdasarkan harga yang berlaku pada tahun

transaksi, sehingga model SNSE tidak dapat menangkap pengaruh perubahan harga terhadap perekonomian.

Secara sederhana kerangka dasar SNSE dapat dilihat pada gambar 6. Kerangka dasar pembentukan SNSE ini adalah matriks berbentuk matriks partisi yang berukuran 4 x 4. Baris menunjukkan penerimaan, sedangkan kolom menunjukkan pengeluaran. Pada gambar 3, sub matriks Tij digunakan untuk

menunjukkan penerimaan neraca baris ke-i dari neraca kolom ke-j. Vektor Yi

menunjukkan total penerimaan neraca baris ke-i, sebaliknya vektor Y’j

(37)

21 menunjukkan total pengeluaran neraca kolom ke-j. Sesuai dengan ketentuan pada SNSE, vektor Yisama dengan Y’j, dengan kata lain Y’j merupakan transpose dari

Yi untuk setiap i = j.

Masing-masing neraca berisi berbagai transaksi yang menempati lajur baris dan lajur kolom.Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca lainnya memberikan indikasi adanya interaksi antar pelaku ekonomi beserta perilaku ekonominya, meskipun ada sel-sel yang terisi dan ada yang tidak terisi. Keterangan dalam gambar 6 diuraikan sebagai berikut:

T13 adalah penerimaan faktor produksi atas keikutsertaannya dalam kegiatan

produksi di dalam negeri. Penerimaan tersebut berupa alokasi nilai tambah yang tercipta pada sektor produksi ke faktor produksi sebagai balas jasa. Transaksi yang terjadi adalah penerimaan upah gaji serta surplus usaha yang meliputi penerimaan atas sewa, bunga dan keuntungan.

T14 merupakan penerimaan faktor produksi atas keikutsertaannya dalam

kegiatan produksi di luar negeri. Penerimaan ini dapat dikatakan sebagai pendapatan faktor produksi dari luar negeri. Transaksi yang terjadi adalah penerimaan upah gaji dan surplus usaha yang berasal dari luar negeri.

T21 adalah penerimaan institusi dari faktor produksi, atau juga disebut alokasi

pendapatan faktor produksi ke institusi.

T22 adalah penerimaan institusi dari institusi sendiri. Penerimaan ini disebut

juga sebagai transfer antar institusi. Transaksi yang terjadi diantaranya penerimaan pajak oleh pemerintah dari rumah tangga dan perusahaan atau penerimaan subsidi langsung ke rumah tangga dari pemerintah.

T24 adalah penerimaan institusi yang berasal dari luar negeri, disebut juga

sebagai pendapatan transfer dari luar negeri. Transaksi yang terjadi misalnya kiriman uang dari TKI.

T32 adalah pendapatan yang diterima oleh sektor produksi sebagai akibat

adanya aktivitas produksi dari permintaan akhir dalam bentuk konsumsi yang dilakukan oleh institusi.

T33 adalah pendapatan yang diterima sektor produksi karena adanya permintaan

antara dari sektor produksi lainnya, untuk digunakan dalam proses produksi kembali.

T34 adalah penerimaan sektor produksi dari luar negeri, berupa ekspor barang

dan jasa ke luar negeri.

T41 adalah alokasi pendapatan faktor produksi ke luar negeri.

T42 adalah penerimaan luar negeri dari institusi domestik.

T43 diantaranya berupa penerimaan luar negeri dari sektor produksi yaitu

pendapatan dari impor, bisa juga penerimaan pajak tak langsung dari sektor produksi.

T44 merupakan sel-sel dalam matriks yang menggambarkan transaksi antar

neraca eksogen

Y1 adalah total penerimaan faktor produksi baik yang berasal dari domestic

maupun luar negeri.

Y2 merupakan total penerimaan institusi baik dari domestik maupun luar

negeri.

Y3 adalah total penerimaan sektor produksi baik dari domestik maupun luar

negeri.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan angkatan kerja Indonesia, 2009 - 2011
Gambar 1. Perkembangan penerimaan remitansi di Indonesia
Tabel 2. Penempatan tenaga kerja menurut negara tujuan (orang), 2006-2011
Gambar 2. Perkembangan pembangunan perekonomian Indonesia tahun 2007-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan

1.0 Penghitungan PPN Departemen Akuntansi Sales Invoice, Delivery Note, Faktur Pajak, Bukti bayar Direktur SPT blm dittd 4.0 Pelaporan PPN KPP SPT sdh dittd SPT sdh dittd

bahwa variabel jumlah tenaga kerja, tingkat pendidikan pekerja dan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi

Penelitian komparatif juga perlu dilakukan untuk membandingkan efektivitas pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar modul berbasis PhET ini dan modul konvensional

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Bank atau

The quantitative data were taken from reading test, observation result of students’ activity, and also questionnaire. The qualitative data were taken from interview,

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat

Dengan potensi perdagangan dan investasi yang ada di APEC, dalam sepuluh tahun terakhir data ekonomi makro APEC telah menunjukkan peningkatan, antara lain (i) peningkatan ekspor