• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

i

TAMPILAN ANAK TIKUS BETINA DARI INDUK BUNTING

YANG DIBERI EKSTRAK AKAR PURWOCENG (

Pimpinella

alpina

KDS) SELAMA 1-13 HARI

DIRWAN RAHMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

v

ABSTRAK

DIRWAN RAHMAN. Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.

Purwoceng merupakan tanaman obat asli Indonesia yang dilaporkan berkhasiat sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat peran ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada induk bunting selama 1 sampai 13 hari terhadap bobot badan dan pertumbuhan tulang anak tikus betina. Penelitian ini menggunakan 18 ekor anak tikus betina yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok purwoceng. Anak-anak yang lahir selanjutnya diamati dan diukur pertumbuhan bobot badan dan perkembangan tulang kepala, tulang punggung, tulang kaki depan, dan tulang kaki belakang. Data kelompok dianalisi dengan pola Rancangan Acak Lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan kelompok tikus yang diberikan ekstrak akar purwoceng dengan dosis 25 mg/300 g BB meningkat pada umur 21 hari dan 49 hari dibandingkan kontrol. Purwoceng juga menyebabkan peningkatan pertumbuhan tulang yang lebih panjang pada tulang kepala, tulang punggung, tulang kaki depan, dan kaki belakang pada umur 1 hari dibandingkan terhadap kontrol. Pertumbuhan dan perkembangan tulang-tulang yang lebih panjang ini berlangsung sampai umur 70 hari pada kelompok purwoceng.

Kata kunci: Bobot badan, panjang tulang, Pimpinela alpina KDS

ABSTRACT

DIRWAN RAHMAN. The Performance of Female Pups from Pregnant Rat Given Root Extract Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) during 1st to 13th Days. Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.

Purwoceng is an Indonesian medicinal native plant which reported to efficacious as aphrodisiac, diuretic, and tonic. The purpose of this study is to observe the role of root extract purwoceng which were given to pregnant rats for 13 days to measure weight development and bone growth of female pups. This research used 18 female rats pups which divided into two groups: control group and purwoceng group. The born pups were observed for 70 days to measure the growth weight and development of head bone, beck bone, front legs bone, and hind legs. The data were analyzed using completely randomized design. The results showed that weight of rats that was given the roots extract purwoceng with a dose 25 mg / 300 g BB increased at 21 days and 49 days compared to controls. Purwoceng also caused a longer growth of head bone, back bone, front legs bone, and hind legs starting at the first day of age compared to controls. Growing and developing of those bones continued until 70 days of age with longer bone growth from the purwoceng group.

(6)

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

vii

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

TAMPILAN ANAK TIKUS BETINA DARI INDUK BUNTING

YANG DIBERI EKSTRAK AKAR PURWOCENG (

Pimpinella

alpina

KDS) SELAMA 1-13 HARI

(8)
(9)
(10)
(11)

xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subĥanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini, berjudul Tampilan Anak Tikus Betina dari Induk Bunting yang Diberi Ekstrak Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan dengan rasa tulus dan hormat ucapan terima kasih kepada Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas MSc dan Drs Pudji Achmadi MSi atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pemikiran, pengertian dan kesabaran selama proses penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Penulis ucapan terima kasih juga kepada Prof Dr Drh Retno Damayanti Soejoedono MS MVS atas kasih sayang, doa, motivasi, dan dorongan yang luar biasa kepada penulis. Selain itu, penulis juga manyampaikan ucapan terima kasih kepada staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB yaitu Ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dengan tulus dan hormat kepada Syamsyia Jumat (Ibunda), Ir Kamil Jumat MP (Paman), Rohana Moh. Ali (Bibi), dan kakak-kakak (Ahlis, Saprina, Jidi, dan Dahlia) yang turut memberi doa dan dukungan baik moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Halmaherah Tengah, Gelatin Plus, dan IKA IPB atas bantuan materi sehingga penulis dapat berkuliah dan menyelesaikannya serta terima kasih juga pada teman satu tim M. Zhaahir dan Moh. Alwi Amnur atas kerja sama dan dukungan selama penelitian.

Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademik Fakultas Kedokteran IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

(12)
(13)

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Hipotesis 2

Manfaat 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODOLOGI 4

Waktu dan Tempat 4

Alat dan Bahan 4

Metode Penelitian 5

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Pengaruh Ekstrak Akar Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak Tikus

Betina 7

Pengaruh Ekstrak Akar Purwoceng terhadap Perkembangan Anak Tikus

Betina Berdasarkan Ukuran Tulang 9

SIMPULAN DAN SARAN 10

Simpulan 10

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 11

LAMPIRAN 14

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

1 Biologi tikus putih 3

2 Hasil analisis akar purwoceng 4

3 Rataan bobot badan anak tikus betina 8

4 Rataan panjang tulang anak tikus betina 9

DAFTAR GAMBAR

1 Tikus putih (Rattus norvegicus) 2

2 Bagan rangkaian tahapan penelitian 6

3 Perbedaan jarak anogenital pada (a) tikus betina dan (b) tikus jantan 6 4 Ilustrasi cara pengukuran tulang pada tikus betina dengan X = hidung; Y

= os occipital; Q = os atlas; Z = os sacrum; a1 = bagian proksimal os scapula; a2 bagian distal jari kaki depan; b1 = bagian proksimal os

femur; b2 = bagian distal jari kaki belakang 7

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis bobot badan ATB pada hari ke-1, 21, 49, dan 70

pengukuran 14

2 Hasil analisis tulang kepala ATB pada hari ke-1 dan hari ke 14

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman obat merupakan tanaman yang biasa dijadikan bahan obat untuk berbagai jenis penyakit. Penggunaan tanaman obat sebagai ramuan obat di Indonesia telah dikenal sejak dahulu. Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai salah satu obat alternatif semakin meningkat karena dapat menyembuhkan penyakit atau dapat menjaga kesehatan tubuh. Hal ini disebabkan tanaman obat berkhasiat yang mudah di dapat, harga relatif murah, cara pembiakan mudah dan hampir tidak ada efek samping yang ditimbulkan. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai macam tanaman obat yang memiliki khasiat tersendiri. Masyarakat Indonesia di daerah pelosok pada umumnya masih mempercayakan perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakitnya dengan menggunakan tanaman obat (Agoes 2010).

Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang dilaporkan berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina tubuh). Tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur (Rahardjo et al. 2006). Rahardjo (2003) melaporkan bahwa tanaman ini memiliki kandungan dari kelompok atsiri dan kelompok steroid yang berkhasiat bagi tubuh, sedangkan Ajijah et al. (2010) mengungkapkan bahwa purwoceng dapat digunakan sebagai obat diuretik (melancarkan saluran air seni) dan tonik (meningkatkan stamina tubuh). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik melaporkan uji fitokimia dari tanaman purwoceng yaitu alkaloid, tanin, flavanoid, triterpenoid, sterol, dan glukosa (Balittro 2011).

Nasihun (2009) melaporkan bahwa ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina KDS) dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus jantan karena mampu meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron. Satyaningtijas et al. (2014) melaporkan bahwa tikus bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (EAP) selama 1-13 hari cenderung meningkatkan pada bobot badan, bobot ovarium, dan bobot uterus. Purwoceng juga menyebabkan jumlah titik implantasi pada tikus bunting hampir mendekati jumlah korpus luteum yang sudah terbentuk dan ini menunjukkan bahwa keberhasilan implantasi lebih baik (Satyaningtijas et al. 2014). Berdasarkan penelitian sebelumnya maka EAP disimpulkan dapat meningkatkan kinerja reproduksi pada betina bunting dengan cara memperbaiki lingkungan mikrouterusnya. Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan EAP yang diberikan pada induk bunting sampai umur 13 hari untuk melihat pengaruhnya terhadap anak betina yang dilahirkan.

Tujuan

(16)

2

Hipotesis

Ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) yang diberikan pada induk bunting secara oral selama 1 sampai 13 hari dapat meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan anak tikus putih (Rattus norvegicus) betina yang dilahirkan.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi tentang khasiat ekstrak akar purwoceng terhadap perkembangan anak tikus betina yang dilahirkan dari induk yang diberikan ekstrak akar purwoceng. Ekstrak akar tersebut juga dapat dijadikan suplemen untuk meningkatkan produktivitas hewan ternak, yang secara tidak langsung memenuhi kesejahteraan manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus putih (Rattus norvegicus)

Sprague-Dawley adalah galur dari Rattus sp yang merupakan hewan mamalia dan sering digunakan sebagai hewan model. Berikut klasifikasi Rattus norvegicus menurut Janis (1984):

Hewan ini memiliki kelebihan dalam berkembang biak yaitu siklus reproduksinya cepat dan pertumbuhannya cepat, temperamennya baik dan kemampuan laktasinya tinggi (Baker et al. 1980). Masa kebuntingan tikus berkisar antara 21-23 hari dengan jumlah rata-rata anak yang dilahirkan sekitar 6-12 ekor. Kondisi lahirnya anak tikus yaitu tidak berambut, tidak mempunyai gigi, tubuh berwarna kemerah merahan, mata dan telinga tertutup dengan bobot badannya yang dilahirkan berkisar 5-6 g, dan tikus sangat aktif. Tikus ketika berumur empat hari rambut mulai tumbuh dan setelah berumur 10 hari tubuh sudah tertutup rambut. Mata dan telinga baru akan terbuka ketika anak tikus berumur 13 hari dan di usia 21 hari anak tikus baru lepas sapih (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus yang sering digunakan dalam penelitian adalah tikus dari galur Wistar, Long-Evans, dan Sparague-Dawley (Weihe 1989). Berikut data biologi tikus dapat

(17)

3

Tabel 1 Biologi tikus putih

Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo (1988)

Siklus Reproduksi Tikus Putih

Siklus reproduksi tikus dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Baker et al. 1980). Fase-fase siklus ini dapat diamati pada gambaran jenis sel epitel vagina yang berubah di tiap stadiumnya dengan membuat preparat ulas vagina. Perubahan stadium tersebut dapat terjadi pada tikus betina yang telah berumur 35 dan 90 hari (Malole dan Pramono 1989). Tikus betina yang telah berumur tersebut maka diperkirakan telah dewasa kelamin dan siap untuk dikawinkan. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) umur tikus betina saat dikawinkan adalah 56 sampai 63 hari dan umur kebuntingannya selama 20-22 hari sedangkan jumlah anak per kelahiran adalah 6-12 ekor anak. Secara fisiologi tikus betina yang siap menerima pejantan untuk melakukan perkawinan terjadi pada fase estrus karena pada fase tersebut hormon estrogen meningkat dan menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku (birahi). Peningkatan estrogen tersebut sebagai kontrol positif umpan balik terhadap hipotalamus dan hipofisia sehingga menstimulasi Luteinizing Hormone (LH) yang menyebabkan ovulasi. Kebuntingan sangat mungkin terjadi apabila seekor tikus betina dikawini oleh seekor tikus jantan pada kondisi tersebut (Malole dan Pramono 1989).

Khasiat dan Kandungan Bahan-Bahan pada Tanaman Purwoceng

Pimpinella alpina KDS (purwoceng) termasuk dalam famili Umbelliferae. Famili Umbelliferae umumnya merupakan tanaman berbatang lunak. Taksonomi dari tanaman purwoceng menurut Rahardjo et al. (2006) :

(18)

4

famili : Apiaceae/ umbelliflorae suku : Umbelliferae

genus : Pimpinella

jenis : Pimpinella pruatjan Molk. sinonim Pimpinella alpina KDS

Purwoceng mengandung sterol, furanokumarin bergapten, isobergapten, dan sphondin. Senyawa-senyawa aktif itu banyak terdapat pada batang dan akar. Senyawa sterol akan dikonversi menjadi testosteron di dalam tubuh (Ajijah et al. 2010). Ekstrak purwoceng dapat merangsang susunan saraf pusat untuk meningkatkan kadar hormon testosteron, Luteinizing Hormone (LH), dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Hormon testosteron dan LH merupakan rangsangan utama untuk sekresi testosteron oleh testis, dan FSH terutama merangsang spermatogenesis (Juniarto 2004). Banyak orang sudah membuktikan khasiat purwoceng sebagai obat penghilang sakit, penurun panas, anti fungi, dan anti bakteri (Ajijah et al. 2010). Efek anabolik ekstrak akar purwoceng tampak pada peningkatan bobot badan anak ayam jantan. Ekstrak akar purwoceng dengan konsentrasi 30% yang diberikan pada anak ayam jantan mempunyai efek androgenik yaitu terjadinya pertambahan rata-rata ukuran jengger sebesar 0,385 cm dan pertambahan bobot badan tertinggi sebesar 53,15 gram (Usmiati dan Yuliani 2010).

Kandung zat aktif kualitatif dalam purwoceng yang digunakan dalam penelitian ini telah dianalisis melalui uji fitokimia purwoceng oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Tabel 2).

Keterangan : + (Positif lemah), ++ (Positif), +++ (Positif kuat)

Sumber : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 sampai September 2013 di Unit Pengelolan Hewan Kecil dan Laboratorium (UPHL) dan Laboratorium Fisiologi Departemen AFF-IPB (Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB-Darmaga).

Alat dan Bahan

(19)

5

binokuler, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tissue, kapas, kain saring, kertas nama, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, Rotary Vacuum Evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pakan tikus, sekam, ekstrak akar purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol, methanol, dan akuades. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor tikus putih betina bunting dari galur Sprague-Dawley.

Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

Tanaman akar purwoceng dikeringkan terlebih dahulu di bawah panas sinar matahari dengan suhu kurang dari 50 ºC. Tanaman yang telah kering selanjutnya di potong-potong sampai berukuran kecil-kecil kemudian menggunakan blender untuk dihaluskan sehingga menjadi serbuk. Serbuk yang dihasilkan sebanyak 350 gram kemudian direndam ke dalam 3.5 liter etanol 70% zat pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen, kemudian disaring dengan menggunakan kain saring untuk mendapatkan filtratnya. Hasil filtrat di simpan ke dalam erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar homogen. Setelah itu, larutan disaring dan filtratnya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama ke dalam erlenmeyer ukuran 5 liter. Filtrat tersebut kemudian diuapkan pelarut etanol 70% dengan menggunakan Rotari Evaporator (Rotavapor) Buchi pada suhu 48 ºC dengan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm dan selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pengering lebih kurang pada suhu 45 °C selama 48 jam untuk menguapkan kadar airnya. Hasil dari pengeringan dalam oven adalah ekstrak murninya. Ekstrak kental bisa di simpan dalam botol kaca steril dan dapat diencerkan kembali dengan akuades jika ingin digunakan pada hewan coba sesuai dosis perlakuan.

Tahap Persiapan Hewan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) dari galur Sprague-Dawley. Tikus di pelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm. Kandang tersebut dilengkapi dengan jaring kawat sebagai penutup bagian atas dan lantai diberikan sekam sebagai alas, serta selalu tersedia botol berisi air minum yang dijepitkan pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut diberikan pakan pelet sehari dua kali yaitu pagi dan sore hari. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan 2 kali dalam seminggu. Tahap persiapan terdiri dari adaptasi dan perkawinan. Adaptasi adalah tahap penyesuaian hewan coba sebelum masuk tahap perkawinan. Tahap tersebut berlangsung selama tujuh hari dan kemudian masuk ke tahap perkawinan.

(20)

6

pengambilan sampel ulas vagina untuk deteksi kebuntingan. Deteksi kebuntingan dilakukan dengan cara melihat ada tidaknya spermatozoa yang mengelilingi sel kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan menggunakan mikroskop. Keberadaan spermatozoa yang mengelilingi sel kornifikasi merupakan tanda tikus betina telah dikawini dan pada hari itu tikus dikatakan bunting (Baker et al. 1979). Tikus yang bunting harus dipisahkan dari tikus jantan dan ditempatkan ke dalam kandang yang lain dan selanjutnya masuk ke tahap perlakuan.

Tahap Perlakuan Hewan

Penelitian ini menggunakan 8 ekor tikus betina bunting yang di bagi menjadi dua kelompok. Sebanyak 4 ekor tikus betina bunting untuk kontrol diberikan air minum sedangkan 4 ekor tikus betina bunting lainnya diberikan ekstrak akar purwoceng. Kedua kelompok tersebut pemberiannya melalui oral dengan menggunakan sonde lambung setiap hari selama 1 sampai 13 hari kebuntingan. Penentuan dosis ekstrak etanol purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu Nasihun (2009), yaitu sebesar 25 mg untuk berat badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg BB. Dalam penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml, sehingga jumlah yang dicekok adalah sebesar 0.5 ml untuk 300 gram berat badan. Selanjutnya tikus-tikus tersebut dipelihara hingga melahirkan. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 seperti di bawah ini.

7 hari 60 hari 13 hari 8 hari Lahir 70 hari Gambar 2 Bagan tahapan penelitian (ATB: anak tikus betina)

Tahap Pengamatan

Anak-anak tikus yang dilahirkan selanjutnya hanya di ambil anak betina saja. Cara membedakan jenis kelaminnya yaitu dengan melihat jarak antara celah anogenital yaitu lubang anus dan lubang kelamin. Menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998) melaporkan bahwa tikus betina memiliki jarak antara celah anogenital yang berdekatan sedangkan tikus jantan memiliki jarak antara celah anogenital yang berjauhan. Berikut Gambar 3 adalah cara untuk menentukan jenis kelamin.

Gambar 3 Perbedaan jarak anogenital* pada tikus betina (a) dan tikus jantan (b)

*

Persiapan Pemeliharaan Perlakuan Pemeliharaan Pengamatan

(21)

7

Tahap pengamatan adalah tahap saat anak-anak tikus betina yang dilahirkan dari dua kelompok induk mulai diamati sejak lahir hingga berumur 70 hari. Parameter penelitian ini meliputi pengamatan bobot badan dan pertumbuhan anak. Pengamatan bobot badan yang diukur saat anak tikus betina berumur 1, 21, 49, dan 70 hari sedangkan parameter pengamatan pertumbuhan anak tersebut berdasarkan ukuran panjang tulang seperti kepala, punggung, kaki depan (kiri dan kanan), dan kaki belakang (kiri dan kanan) saat berumur 1, 14, 28, 42, 56, dan 70 hari dengan cara yang tersaji pada Gambar 4 seperti di bawah ini.

Gambar 4 Ilustrasi cara pengukuran tulang pada anak tikus betina dengan X = hidung; Y = os occipital; Q = os atlas; Z = os sacrum; a1 = bagian proksimal os scapula; a2 bagian distal jari kaki depan; b1 = bagian proksimal os femur; b2 = bagian distal jari kaki belakang

Analisis Statistik

Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan di uji secara statistika dengan analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ekstrak Akar Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak Tikus Betina

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik melaporkan bahwa tanaman purwoceng mengandung banyak alkaloid dan flavanoid (Balittro 2011). Flavonoid menurut Glover and Assinder (2006) termasuk dalam golongan fitoestrogen dan merupakan substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi seperti estrogen endogen karena reseptor estrogen endogen dapat berpasangan dengan flavonoid. Pemberian EAP pada tikus di awal kebuntingan memberi kelimpahan senyawa fitoestrogen yang dapat memperbaiki lingkungan mikrouterus induk menjadi lebih baik. Fitoestrogen yang melimpah dapat membantu dan atau menggantikan fungsi estrogen endogen.

(22)

8

ATB kelompok purwoceng umur 21 hari dan 49 hari lebih berat dibandingkan dengan kontrol. EAP yang diberikan pada induk bunting selama 1-13 hari diduga mempengaruhi bobot badan ATB dengan cara memperbaiki lingkungan mikrouterus induk. Pertumbuhan anak tikus yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan dan pubertas (Eisen 1976). Bobot badan ATB kelompok purwoceng dan kontrol umur 70 hari menunjukkan secara statistik tidak berbeda. Perubahan ukuran pertambahan bobot badan per unit waktu dapat turun sampai pertambahan bobot badan tersebut menjadi nol dan dalam keadaan ini bobot badan dewasa telah tercapai (Eisen 1976). Penelitian ini menunjukkan bahwa bobot badan dewasa ATB telah tercapai pada umur 70 hari. Nilai rataan bobot badan ATB tersedia pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Rataan bobot badan anak tikus betina

Perlakuan Rataan bobot badan pada hari ke-

1 21 49 70

Bobot Badan (gram)

Kontrol 6.43 ± 0.38 18.60±1.40a 62.40±9.66a 111.90±15.31 Purwoceng 6.45±0.44 29.40±2.19b 76.90±9.70b 112.30±29.04 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) berdasarkan uji SAS.

Pada Tabel 3 persentase pertambahan bobot badan (BB) pada anak tikus betina (ATB) umur 21 hari sebanyak 189.27% untuk kontrol dan sebanyak 355.81% untuk purwoceng sedangkan pada umur 49 hari sebanyak 235.48% untuk kontrol dan sebanyak 161.56% untuk purwoceng. Persentase pertambahan BB pada umur 21 hari menunjukkan bahwa ATB untuk purwoceng lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tingginya persentase ATB untuk purwoceng umur 21 hari di duga ada peran EAP yang sudah terjadi saat embrio terbentuk. EAP yang diberikan setiap hari selama 13 hari dapat menciptakan lingkungan endometrium yang sesuai untuk perkembangan embrio lebih lanjut yaitu, dengan meningkatkan efektivitas kelenjar dan sekresi susu uterus untuk memberi nutrisi pada embrio. Selain itu, ketika lahir ATB selama 21 hari sumber nutrisi masih bergantung pada induk sehingga keadaan ini yang menjadi dugaan bahwa dalam perkembangan anak tikus masih dipengaruhi oleh EAP yang diberikan pada masa praplasentasi (1-13 hari kebuntingan). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) melaporkan bahwa umur sapih pada anak tikus lamanya 21 hari maka sesaat sebelum ATB berumur 21 hari sumber nutrisinya masih berasal dari induk melalui air susu. Ketergantungan sumber nutrisi inilah yang merupakan faktor penting sehingga pertambahan BB ATB untuk purwoceng lebih tinggi dibandingkan kontrol.

(23)

9

sudah tinggi yaitu 29.40 gram. Kondisi tersebut juga terlihat pada ATB saat berumur 70 hari. Tikus betina umur 70 hari antara kelompok kontrol dan purwoceng pada penelitian ini menunjukkan umur bobot dewasa tubuh telah tercapai. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) umur tikus betina yang baik dikawini oleh pejantan adalah umur 9-10 mingggu pada saat dewasa tubuh telah tercapai.

Pengaruh Ekstrak Akar Purwoceng terhadap Perkembangan Anak Tikus Betina Berdasarkan Ukuran Tulang

Tulang merupakan organ penting yang berfungsi untuk memberi bentuk tubuh, melindungi alat tubuh yang vital, menahan dan menegakkan tubuh, tempat perlekatan otot, menyimpan mineral terutama kalsium dan posfor, pembentukan sel darah, dan penyimpan energi, yaitu berupa lemak yang ada di sumsum kuning (Sridianti 2014). Proses pembentukan tulang disebut dengan osifikasi. Osifikasi dapat terjadi pada masa perkembangan fetus (prenatal) dan setelah individu lahir (postnatal). Laju pembentukan tulang dilakukan oleh sel osteoblas. Sel osteoblas dipengaruhi oleh faktor ketersediaan kalsium, posfor, kalsitriol (1,25-(OH)2D3), BMP (bone morphogenic protein) dan hormon estrogen (Kawiyana 2009). Estrogen berperan penting dalam proses remodeling tulang (Compston 2001; Manogalas et al. 2002; Ott 2002). Rataan perkembangan panjang tulang anak tikus betina dari induk yang diberikan perlakuan selama 1 sampai 13 hari kebuntingan dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Rataan panjang tulang anak tikus betina

(24)

10

Ukuran tulang merupakan parameter yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat peran EAP terhadap anak tikus betina. Parameter tulang yang digunakan adalah kepala, punggung, kaki depan, dan kaki belakang. Pemberian EAP pada induk bunting setiap hari selama 1 sampai 13 hari diduga dapat memperbaiki lingkungan mikrouterus sehingga mempengaruhi perkembangaan embrio sejak terbentuk dan setelah lahir. Menurut Nuryadi (2007) melaporkan bahwa lingkungan mikrouterus yang baik dapat menunjang perkembangan fetus selama dalam uterus.

Pertumbuhan panjang tulang ATB setelah lahir mengalami peningkatan sejalan dengan aktivitasnya yang meningkat seperti mencari makan, exercise, kawin, bunting, dan lain-lain (Sridianti 2014). Tabel 4 menunjukkan bahwa ATB setelah lahir (hari ke-1) pada kelompok puwoceng memiliki ukuran tulang yang lebih panjang dibandingkan kontrol disemua parameter pengamatan tulang. Hasil pengukuran rataan panjang tulang kepala, tulang punggung dan tulang kaki belakang (kanan dan kiri) secara linear selama 70 hari pengamatan juga menunjukkan bahwa ukuran panjang tulang ATB untuk purwoceng lebih panjang dibandingkan kontrol sedangkan tulang kaki depan hanya terjadi pada hari ke-1 dan hari ke-56 pengukuran. Pertumbuhan kaki belakang pada anak tikus betina lebih panjang dibandingkan kaki depannya disebabkan oleh stimulasi mekanik seperti latihan fisik selama masa pertumbuhan. Stimulus mekanis seperti latihan fisik yaitu melompat, berdiri, berjalan dan lain-lain (Mahmudati 2009). Fenomena tersebut yang menyebabkan ukuran panjang tulang kaki belakang ATB lebih panjang debandingkan kaki depannya. EAP yang diberikan selama 13 hari kebuntingan berpotensi memberi stimulus terhadap perkembangan tulang anak sejak pembentukan embrio (Genari et al. 2004).

Menurut Tuti (2000) melaporkan bahwa penyuntikan estrogen strandar pada masa praplasentasi dapat meningkatkan panjang tulang anak tikus setelah lahir. Penelitian ini menggunakan EAP yang mengandung senyawa flavonoid golongan fitoestrogen. Senyawa tersebut dapat berikatan dengan reseptor estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006). Menurut Rachman et al. (1996); Bhagath Kumar et al. (2007) senyawa fitoestrogen berperan dalam meningkatkan osifikasi, menstimulasi proliferasi, dan diferensiasi kondrosit dengan cara memroduksi insulin-like growth factor (IGF-1) yang berkorelasi positif terhadap pembentukan massa tulang. IGF-1 merupakan protein yang menyerupai hormon insulin endogen yang berperan penting dalam pertumbuhan dan metabolisme sel serta berperan dalam proliferasi sel dan menghambat kematian sel (Hill et al. 1997).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(25)

11

punggung, dan tulang kaki belakang ATB kelompok purwoceng selama 70 hari pengukuran lebih panjang dibandingkan kontrol.

Saran

Perlu dilakukan penelitian dengan melihat tampilan anak tikus betina dari induk yang diberi ekstrak akar purwoceng pada masa laktasi.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes A. 2010. Tanaman Obat Indonesia Buku 1. Jakarta Salemba Selatan (ID). ISBN: 978-602-8570-38-1.

Ajijah N, Darwati I, Yudiwanti, Roostika I. 2010. Pengaruh suhu inkubasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). J Litri 16:56-63.

Baker HJ, Lindsey J, Russell, Weisbroth SH. 1979. The Laboratory Rat. Biology and Disease : USA Academic Pr 1:9-78

Baker HJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The laboratory rat: Research Application Vol 2. London: Academic Pr Inc.

[Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng. Bogor (ID): Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Bhagath Kumar P, Muddanna SRao, Narayana Swamy VB, Gopalan Kutty N. 2007. Cissus quadrangularis plant extract enhances the ossification of fetal bones. J International (Pharmacologyonline). 1:63–70.

Compston JE. 2001. Sex steroids and bone. J Physiol. Rev. 81:419-447.

Eisen EJ. 1976. Results of growth curve analyses in mice and rats. J. Anim. Sci. 42: 1008-1023.

Gennari L, Nuti R, Bilezikian JP. 2004. Aromatase activity and bone homeostasis in men. J. Clin Endocrinol Metab 89:5898-5907

Glover A and Assinder SJ. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormon receptor expression J Endocrinol. 189:565-573.

Hill PA, Tumbler A, and Meikle MC. 1997. Multiple extracellular signals promote osteoblast survival and apoptosis. J Endocrinol. 138:3849-3858. Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Cinical Laboratory Animal Medicine: An

Introduction. Iowa State University Pr: State Avenue.

Janis M. 1984. Sistematika Hewan Avertebrata dan Vertebrata. Surabaya (ID): Sinar Wijaya.

Juniarto AZ. 2004. Perbedaan pengaruh pemberian ekstrak Eurycoma longifolia dan Pimpinella alpina pada spermatogenesis tikus Sprague-Dawley [Tesis]. Semarang (ID): Pasca-sarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro.

Kawiyana IKS. 2009. Osteoporosis patogenesis diagnosis dan penanganan terkini. J of internal medicine. 10 (2):157-170.

(26)

12

female young rat after exercise training. [Disertasi]. Surabaya (ID). Universitas Airlangga

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Coba di Laboratorium. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Manogalas SC, Kousteni S, Jilka RL. 2002. Sex steroids and bone. Recent Prog Horm. Res. 57:385-409.

Nasihun T. 2009. Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk) terhadap peningkatan indikator vitalitas pria studi eksperimental pada tikus jantan Sprague Dawley. J Sains Medika. 1(1):53-62.

Nuryadi. 2007. Reproduksi Ternak. Malang (ID): Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Ott SM. 2002. Osteoporosis and bone physiology. J Am. Medic. 228:334-341. PudyaniPS. 2005. Reversibility of bone calcification on pre and post natal protein

deficiency. Maj. Ked. Gigi. Dent J Unair. 38(3): 115-119

Rachman IA, Baziad A, Jacoeb TZ, and Isbagio H. 1996. Pengobatan estrogen dan progesteron pada osteoporosis pascamenopause. Majalah Osbtetri dan Ginekologi Indonesia. 20(2):121-127.

Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2006. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Di dalam: Supriadi, M. Januwati, R. Balfas, N. Bermawie, M. Rahardjo, Editor. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat IndonesiaXXVIII: Bogor (ID). 15-16 September 2005. Bogor: Balittro-POKJANASTOI-Dir. Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. hlm 62-71.

Rahardjo M. 2003. Purwoceng tanaman obat afrodisiak yang langka. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 9 (2):4-7.

Satyaningtijas AS, Maheshwari H, Achmadi P, Pribadi WA, Hapsari S, Jondrianto D, Bustaman I, dan Kiranadi B. 2014. Reproduction performance of rat administered ethanolic extract of purwoceng (Pimpinella alpina). J Kedokteran Hewan Unsia. 8(1):1-3

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan hewan percobaan di daerah tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Pr. Sridianti. 2014. Fungsi tulang manusia secara umum. Berkala ilmiah

[http://www.sridianti.com/fungsi-tulang-manusia-secara-umum.html]. 4 May 2014; waktu di unduh [2014 Agustus 8]; Vol (edisi):lokasi. Tulang. Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B,

penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.

Tuti Indah W. 2000. Pengaruh penyuntikan estrogen dan progesteron selama masa praplasentasi pada bobot lahir dan pertumbuhan tulang anak tikus putih (Rattus sp) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

(27)

13

Peternakan dan Veteriner 2010. 2010 Agustus 3-4. Bogor (ID): putlitbangnak. 1:744-755.

(28)

14

(29)
(30)

16

(31)

17

The SAS System 11 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for respon

(32)

18

(33)

19

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(34)

20

The GLM Procedure Dependent Variable: respon Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 1 9.53388889 9.53388889 38.43 <.0001 Error 16 3.96888889 0.24805556

Corrected Total 17 13.50277778

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.706069 10.46083 0.498052 4.761111

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 1 9.53388889 9.53388889 38.43 <.0001 hari 0 0.00000000 . . .

perlakuan*hari 0 0.00000000 . . .

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 1 9.53388889 9.53388889 38.43 <.0001 hari 0 0.00000000 . . .

(35)

21

RIWAYAT HIDUP

Gambar

gambaran jenis sel epitel vagina yang berubah di tiap stadiumnya dengan
Tabel  2  Hasil analisis akar purwoceng
Gambar  2  Bagan tahapan penelitian (ATB: anak tikus betina)
Tabel 4  Rataan panjang tulang anak tikus betina

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian di atas, penulis selaku kepala sekolah melakukan terobosan untuk menyikapi sekaligus memperbaiki pola-pola pemikiran yang salah dengan memberikan

Sasaran lain dari penelitian ini adalah menguji pengaruh antara privasi kepercayaan, keamanan, serta pengalaman.Kepercayaan dan resiko menjadi konsep dalam penelitian

Keabsahan Data siswa kelas V SD Negeri Soneyan 03 mengenai motivasi belajar sangat rendah dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan triangulasi sumber dari peneliti yaitu

PERAN MOTIVASI KERJA DALAM MEMEDIASI PENGARUH PRAKTIK KERJA INDUSTRI DAN PRESTASI AKADEMIK TERHADAP KESIAPAN KERJA STUDI KASUS PADA SISWA KELAS XI AKUNTANSI DI SMK PALEBON

Maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah (1) Guru seni musik dapat menggunakan media iringan MIDI dalam proses pembelajaran vokal untuk meningkatkan

Untuk saat ini yang menjadi masalah utama pada keluarga Bapak I Dewa Nyoman Kerug pada masalah pendapatan yang tidak mencukupi karena Bapak I Dewa Nyoman Kerug

Karsinoma serviks terbanyak ditemukan pada pasien yang berusia 45 – 49 tahun, paritas &gt; 2, ibu rumah tangga, bersuami petani, domisili di Padang, jenis

Operator mesin yang merasa puas dengan gaji atau upahnya (pay), dimana operator menilai bahwa jumlah gaji atau upah yang diberikan perusahaan sesuai dengan kinerja yang ia