• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur Dan Bcs (Body Condition Score).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur Dan Bcs (Body Condition Score)."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL METABOLIK SAPI PEJANTAN BIBIT

BERDASARKAN BANGSA, UMUR DAN BCS

(

BODY CONDITION SCORE

)

IDA ZAHIDAH IRFAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur dan BCS(Body Condition Score) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)
(4)

RINGKASAN

IDA ZAHIDAH IRFAN. Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur dan BCS (Body Condition Score). Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan CHUSNUL CHOLIQ.

Sapi pejantan memegang peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan inseminasi buatan di Indonesia. Sapi pejantan jugamerupakan aset negara yang tidak murah dan tidak mudah diperoleh. Status kesehatan dan kualitas semen sapi pejantan dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan dan manajemen pakan, dan kedua hal tersebut dapat mempengaruhi performa fisik, fisiologis dan reproduksi sapi pejantan. Uji profil metabolik (Metabolic Profile Test/MPT) dapat digunakan untuk memeriksa status nutrisi dan metabolik ternak secara individu maupun kelompok. Pemeriksaan biokimia darah dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyimpangan, memberikan gambaran kondisi kesehatan, status metabolik dan membantu menegakkan diagnosa, sehingga dapat diberikan penanganan yang sesuai. Variasi komposisi biokimia darah dipengaruhi diantaranya oleh spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, dan tahap perkembangan. Referensi standar parameter kimia darah sangat diperlukan sebagai acuan pemeriksaan biokimia darah. Namun demikian, hingga saat ini informasi tentang referensi standar khusus sapi pejantan bibit masih sangat terbatas.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mempelajari profil metabolik sapi pejantan bibit melalui pengukuran beberapa parameter kimia darah berdasarkan bangsa, umur dan BCS; dan (2) menentukan data dasar parameter kimia darah, yang meliputi Aspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin, protein total, albumin, globulin, rasio albumin globulin (rasio A/G), kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg). Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar parameter kimia darah sapi pejantan bibit di Indonesia.

Sebanyak 160 ekor sapi pejantan bibit terdiri dari bangsa Friesian Holstein/FH (16 ekor), Limousin (62 ekor), Simmental (63 ekor), Brahman (12 ekor) dan Ongole (7 ekor) yang sehat secara klinis, umur 3-8 tahun dan BCS 3-5 digunakan dalam penelitian ini. Sapi dikelompokkan berdasarkan bangsa, umur dan BCS.

Sampel darah diambil dari vena coccygea,dandianalisis terhadap parameter kimia darah yang meliputi aktivitas Aspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), konsentrasi Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin, protein total, albumin, kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg). Analisis dilakukandengan prinsip fotometer (Photometer 5010®

Data diuji secara statistik menggunakan metode analisis model linier untuk mengetahui pengaruh bangsa, umur dan BCS terhadap parameter

(5)

kimia darah, dilanjutkan dengan Uji Duncan’s. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excell dan software Minitab® versi 16.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bangsa sapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi BUN, kreatinin, protein total, albumin, globulin, rasio A/G dan Mg. Umur sapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi protein total, albumin, globulin, rasio A/G dan kalsium. Body Condition Scoresapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi albumin. Bangsa, umur dan BCS sapi tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas AST, GGT, konsentrasi kreatinin dan fosfor. Diperlukan pemeriksaan profil metabolik pada sapi pejantan bibit yang berada di UPT Perbibitan lain untuk standardisasi data.

(6)

SUMMARY

IDA ZAHIDAH IRFAN. The Metabolic Profil of Breeding Bulls Based on Breed, Age and Body Condition Score. Supervised by ANITA ESFANDIARI and CHUSNUL CHOLIQ.

Bullshas an important rolein the artificial inseminationinIndonesia. Its also an expensiveand difficult to obtain asset of the state. Healthstatusandsemen quality were influencedby maintenanceandfeed

management, both of theseaspect can affectthe

physical, physiologicalandreproductiveperformance ofthe bulls. MetabolicProfile Test(MPT) canbe usedtoevaluate

thenutritionalandmetabolicstatus

ofindividualanimalsorgroups. Bloodbiochemical examinationcanbe usedtoexplainthe mechanism ofthe occurrence of irregularities,gives an overview ofhealth status, metabolicstatusandsupportthe diagnosis, so the appropriate treatmentcan be given. Variation ofbiochemicalcomposition ofthe bloodcan be affectedby many thingssuch asspecies, breed, gender, age, stage of developmentetc. Standard

referenceofbloodchemistryparameterswere important inbloodbiochemicalexamination, but there is very little data about the

biochemical composition of bulls blood serum.It has been the intention of this study to come up with base line information on the bulls metabolic profile and to highlight the effects of breed, ageand body condition scores on bulls metabolic profile.

The purposeofthis studywere: (1) tostudy themetabolic profilesof bullsbymeasuringof

bloodchemistryparametersbasedon breed, ageandBCS; and(2) todetermineba selinebloodchemistryparameters, including Aspartate Aminotransferase(AST), Gamma-Glutamyl Transpeptidase(GGT), Blood

UreaNitrogen(BUN), creatinine,total

protein, albumin, globulin, albuminglobulinratio(A/G ratio), and themineralscalcium(Ca), phosphorus(P) andmagnesium(Mg). The results ofthis research canbe usedasa baselinebloodchemistryparametersof the bullsinIndonesia.

The study was conductedfrom May2013 toMarch2014. Samples were

collectedat theLembang Artificial Insemination Center, andserum examinationswere conductedat the Primate Research

Center, Bogor Agricultural University. Blood samples from 160 bulls were collected, consistsof5 breeds; FriesianHolstein(FH) 16heads, Limousin 62 heads, Simmental63heads, Brahman 12headsandOngole7 heads.Bullswereclinicallyhealthy, 3-8 years of ageand3-5of BCS.Bulls grouped bybreed, ageandBCS. Datawere analyzedusing MicrosoftExcelandMinitab® version 16 software,datawere statistically evaluated by linear model method analysistodetermine the effect ofthe breed,ageand BCSto Aspartate Aminotransferase(AST),

(7)

UreaNitrogen(BUN ), creatinine, total protein, albumin, globulin, albuminglobulinratio(A/G ratio), and calcium(Ca), phosphorus(P) andmagnesium(Mg), followed byDuncan's test. The datapresentedin its meanandstandarddeviation.

The breed showed significantly variation onBUN, creatinine, total protein, albumin, globulin, A/G ratioandMg. Significant age differences ontotal protein, albumin, globulin, A/G ratioandCa. Amongs groups of BCS,significant difference was verified only in the albumin concentration. Breed, ageandBCSdid not significantly affectthe concentration ofAST, GGT, creatinineandP.Its necessaryto evaluate themetabolicprofile ofthebullsinotherBreedingUnitfordata standardization.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Biomedis hewan

PROFIL METABOLIK SAPI PEJANTAN BIBIT

BERDASARKAN BANGSA, UMUR DANBCS

(

BODY CONDITION SCORE

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah kimia darah, dengan judul Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa, Umur dan BCS (Body Condition Score).

Terima kasih penulis ucapkan kepada IbuDr Drh Anita Esfandiari, Msi dan Bapak Dr Drh Chusnul Choliq, MS, MM selaku pembimbing, Drh. Retno Wulansari, M.Si, Ph.D selaku penguji luar, dan Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.Dselaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan pula kepada Badan SDM Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa tugas belajar S2, Kepala Balai Inseminasi Buatan Lembang serta rekan-rekan di Balai Inseminasi Buatan Lembang, yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibu, anak-anak, seluruh keluarga, rekan-rekan dan staf KRP atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Sapi Pejantan 3

Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT) 4

Aspartate Aminotransferase (AST) 5

Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) 5

Blood Urea Nitrogen (BUN) 6

Kreatinin 7

Protein Total 8

Albumin 9

Globulin 9

Rasio Albumin Globulin (Rasio A/G) 10

Kalsium (Ca) 10

Fosfor (P) 10

Magnesium (Mg) 11

3 MATERI DAN METODE 12

Waktu dan Tempat Penelitian 12

Materi 12

Metode 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Profil Enzim Aspartate Aminotransferase (AST) dan

Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT) 14

Profil Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Kreatinin 17 Profil Protein Total, Albumin, Globulin dan Rasio A/G 20 Profil Mineral Kalsium (Ca), Forsfor (P) dan Magnesium (Mg) 25 Implikasi Medis Profil Metabolik Sapi Sapi Pejantan Bibit 29

5 SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 41

(14)

DAFTAR TABEL

1 Referensi standar parameter kimia darah pada sapi 4 2 Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan bangsa 14

3 Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan umur 15

4 Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan BCS 16

5 Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan bangsa 17 6 Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan umur 18 7 Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan BCS 19 8 Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio

A/Gberdasarkan bangsa 20

9 Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio

A/Gberdasarkan umur 23

10 Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio

A/Gberdasarkan BCS 24

11 Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan bangsa 25 12 Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan umur 27 13 Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan BCS 28

DAFTAR GAMBAR

1 Metabolisme protein pada sapi 6

2 Hubungan antara BUN/MUN dengan reproduksi pada sapi

perah 7

3 Metabolisme kreatinin 7

Penentuan BCS pada sapi 12

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manfaat inseminasi buatan (IB) dalam upaya meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak telah diketahui secara luas. Berdasarkan data tahun 2012 kebutuhan semen beku sapi nasional untuk pelaksanaan kegiatan IB mencapai 4,2 juta dosis pertahun., sedangkan produksi semen beku pada tahun yang sama mencapai 4,96 juta dosis per tahun. Sekitar 94% semen beku berasal dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) nasional di Lembang dan Singosari, dan sebanyak 6% berasal dari BIB Daerah. Populasi sapi pejantan unggul penghasil semen beku mencapai 531 ekor, sebagian besar berada di BIB nasional (KEMENTAN 2012).

Sapi pejantan unggul adalah pejantan sapi yang sudah diseleksi berdasarkan standar bibit yang berlaku yaitu garis keturunan (pedigree/silsilah), dan kemampuan produksi dan reproduksi keturunannya (progeny) (BSN 2005). Tahun 2011, Indonesia masih mendatangkan sapi pejantan unggul dari Australia, karena jarak yang dekat dan Australia merupakan negara bebas Penyakit Mulut dan Kuku. Tahun 2012, populasi sapi pejantan unggul yang ada telah dapat mencukupi kebutuhan semen beku nasional, sehingga pemerintah menghentikan impor sapi pejantan unggul dan mencanangkan program swasembada sapi pejantan unggul pada tahun 2013. Kebutuhan sapi pejantan unggul selanjutnya dipenuhi dari enam Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) (KEMENTAN 2012).

Sapi pejantan sebagai sumber semen beku harus memenuhi berbagai standar bibit yang berlaku (BSN 2005) yaitu standar umum, standar khusus, standar reproduksi dan standar kesehatan (DEPTAN 2008). Selain itu, sapi pejantan harus berada dalam kondisi prima dan layak tampung (BIBL 2010). Status kesehatan dan kualitas semen dipengaruhi manajemen pemeliharaan dan manajemen pakan, dimana kedua hal tersebut dapat mempengaruhi performa fisik, fisiologis dan reproduksi sapi pejantan (Cumming 2007).

Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT) adalah serangkaian uji analisa darah spesifik, yang sangat berguna sebagai indikator bahwa mekanisme homeostase tubuh berfungsi menjaga parameter darah tetap berada dalam range fisiologis (Gross et al. 2011). Uji tersebut dapat digunakan untuk memeriksa status nutrisi dan metabolik ternak secara individu maupun kelompok. Metabolic Profile Test pertama kali dilakukan di Compton, Inggris pada dekade 70-an. Sejak saat itu berbagai peralatan uji otomatis dan kit enzim untuk pemeriksaan kandungan serum maupun darah di produksi dan digunakan secara luas di berbagai tempat (Payne dan Payne 1987; Nozad et al. 2012). Pemeriksaan serum mempunyai nilai lebih apabila digunakan secara tepat dalam proses membantu menegakkan diagnosa atau menjadi bagian dalam program monitoring penyakit metabolik (Lager dan Jordan 2012).

(16)

2

terjadinya penyimpangan, memberikan gambaran kondisi kesehatan, status metabolik dan membantu menegakkan diagnosa, sehingga dapat diberikan penanganan yang sesuai (Stojevic et al. 2008).

Mohamed et al. (2004) dan Oetzel (2004) menyatakan bahwa analisis metabolit darah apabila dihubungkan dengan monitoring kesehatan dan nutrisi dapat mengungkap adanya gangguan yang bersifat subklinis dan dapat membantu menemukan kausanya. Uji ini dalam perkembangannya menunjukkan adanya variasi komposisi kimia darah yang signifikan antar spesies, bangsa, jenis kelamin dalam satu bangsa ternak (Stojevic et al. 2008; Balicki et al. 2007), umur (Addas et al. 2012; Balicki et al. 2007), status reproduksi, stres, transportasi (Balicki et al. 2007), dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti asal hewan, manajemen, geografis, tahap perkembangan hewan (Ali 2008) dan iklim (Ali 2008; Lager dan Jordan 2012).

Sapi pejantan merupakan aset berharga dengan biaya pengadaan dan pemeliharaan yang tidak sedikit, sehingga pemeriksaan biokimia darah pada sapi pejantan menjadi penting dilakukan untuk evaluasi status nutrisi dan metabolik. Apabila ditemukan adanya penyimpangan terhadap nilai parameter kimia darah dapat dilakukan perbaikan dan tindakan preventif agar tidak muncul gangguan lebih lanjut, sehingga kerugian materiil akibat tidak tertampungnya semen pejantan dapat dihindari. Referensi standar parameter kimia darah sangat diperlukan sebagai acuan pemeriksaan biokimia darah. Namun demikian, hingga saat ini informasi tentang referensi standar khusus untuk sapi pejantan bibit masih sangat terbatas.

Kerangka Pemikiran

Sapi pejantan yang mampu menghasilkan semen berkualitas adalah sapi yang berada dalan kondisi prima. Setelah lolos persyaratan seleksi awal, manajemen pemeliharaan memegang peranan penting dalam menjaga kondisi sapi pejantan agar tetap fit dan layak tampung. Kekurangan atau kelebihan dalam manajemen pakan dapat memberikan dampak buruk pada vitalitas sapi pejantan. Pakan harus diberikan dalam kualitas dan kuantitas yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan aktivitas sapi pejantan. Pemberian pakan yang berlebihan dapat mengakibatkan obesitas yang mengurangi vitalitas dan libido. Selain itu dapat mengakibatkan munculnya gangguan metabolik.

(17)

3 dideteksi lebih awal dengan analisis darah. Analisis darah dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosa.

Kajian profil metabolik pada sapi perah, sapi potong, kambing dan domba telah banyak dilakukan. Kajian tersebut pada sapi pejantan bibit yang digunakan sebagai bibit penghasil semen beku di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari profil metabolik sapi pejantan bibit melalui pengukuran beberapa parameter kimia darah berdasarkan bangsa, umur dan Body Condition Score (BCS) dan menentukan data dasar beberapa parameter kimia darah, yang meliputi Aspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin protein total, albumin, globulin, rasio albumin globulin (rasio A/G), mineral kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mempelajari profil metabolik sapi pejantan bibit melalui pengukuran beberapa parameter kimia darah berdasarkan bangsa, umur dan BCS.

2. Menentukan data dasar beberapa parameter kimia darah, yang meliputi Aspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin protein total, albumin, globulin, rasio albumin globulin (rasio A/G), dan mineral kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar parameter kimia darah sapi pejantan bibit di Indonesia.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi pejantan

(18)

4

Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT)

Uji Profil Metabolik (Metabolic Profile Tests/MPT) adalah serangkaian uji analisa darah spesifik, yang sangat berguna sebagai indikator bahwa mekanisme homeostase tubuh berfungsi menjaga parameter darah tetap berada dalam range fisiologis pada kondisi pakan dan pemeliharaan yang berbeda (Gross et al. 2011). Pengukuran parameter metabolik, bersama dengan monitoring nutrisi dan status kesehatan dalam satu kelompok ternak, dapat mengidentifikasi adanya gangguan sub klinis dan mengindikasikan penyebabnya. Bila aplikasi profil metabolik direncanakan dengan benar dan dilakukan bersamaan dengan pengukuran BCS (Body Condition Score), dan kontrol manajemen pemeliharaan dan pakan, dapat digunakan sebagai alat diagnosa yang valid untuk pengujian kesehatan kelompok ternak (Reist et al. 2002; Kida 2002).

Uji profil metabolik juga memiliki manfaat besar untuk identifikasi dini terhadap adanya gangguan metabolisme energi pada sapi (Prodanovic et al. 2012). Penggunaan profil metabolik untuk menilai gizi dan status kesehatan sapi telah digunakan secara luas (Doornenbal et al. 1988 dan Grunwaldt et al. 2005). Konsentrasi metabolit dalam darah menggambarkan indeks kecukupan pasokan gizi yang terkait dengan pemanfaatan nutrisi pada ternak (Chester-Jones et al. 1990) dan memberikan indikasi langsung status nutrisi ternak pada waktu tertentu (Pambu-Gollah et al. 2000).

Fertilitas pejantan merupakan fitur yang kompleks, terdiri dari berbagai proses fisiologis pada tahap pertumbuhan dan perkembangan sistem reproduksi dari lahir hingga dewasa, spermatogenesis, ejakulasi dan perilaku kawin (termasuk libido dan koitus) (Cupps 1991). Menurut Marzec-Wroblewska et al. (2012), kualitas semen bervariasi secara kualitatif dan kuantitatif antar umur, status kesehatan, aktifitas seksual dan pakan.

Tabel 1. Referensi standar parameter kimia darah pada sapi

Parameter Satuan Nilai normal

AST * Unit/L 78-132

GGT* Unit/L 6,1-17,4

BUN* mg/dL 6,0-27,0

Kreatinin* mg/dL 1,0-2,0

Total Protein* g/dL 5,7-8,1

Albumin* g/dL 2,1-3,6

Globulin* g/dL 2,9-4,9

Rasio A/G** - 0,84-0,94

Ca* mg/dL 9,7-12,4

P* mg/dL 5,6-6,5

Mg* mg/dL 1,8-2,3

*) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al. 2007) **) Referensi standar pada sapi perah (Latimer et al. 2011)

(19)

5 Nitrogen (BUN), kreatinin, protein total, albumin, globulin dan mineral umum digunakan untuk menilai status nutrisi dan kesehatan ternak (Grunwaldt et al. 2005 dan Ndlovu et al. 2007). Referensi standar masing-masing parameter kimia darah untuk sapi potong dan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.

Aspartate Aminotransferase (AST)

Aspartate aminotransferase (AST) merupakan enzim yang terdapat di berbagai jaringan, terutama hati, otot lurik dan otot jantung. Peningkatan aktivitas AST dapat menjadi penanda yang baik adanya kerusakan jaringan lunak (Otto et al. 2000). Berbagai kondisi yang mengakibatkan peningkatan aktifitas creatine kinase (CK) juga akan mengakibatkan peningkatan aktivitas AST (Abutarbush dan Radostits 2003). Aspartate aminotransferasedalam darah dapat dipengaruhi musim dan variasi fisiologis (Yokus dan Cakir 2006) dan (Ndlovu et al. 2007), dimana pada sapi yang sehat, aktivitas enzim ini dalam serum rendah atau tidak ada (Ndlovu et al. 2007).

Aspartate aminotransferase, Alanine aminotransferase (ALT) dan Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) sering digunakan sebagai indikator bila dicurigai adanya penyakit hati akut atau kronis (Stojevic et al. 2005). Namun demikian, tidak seperti AST, sel hati pada ruminansia tidak menunjukkan aktivitas ALT yang tinggi, dan peningkatan aktivitas enzim ini pada kerusakan hati atau nekrosis hati tidak signifikan (Stojevic et al. 2005). Dokovic et al. (2013) melaporkan adanya korelasi positif antara aktivitas AST dan mobilisasi lemak (yang ditandai dengan tingginya konsentrasi Non Esterified Fatty Acid/NEFA dalam darah) pada awal masa laktasi pada sapi perah. Menurut Lupi et al. (2005) dan Mori (2007), pemberian pakan yang didominasi konsentrat pada penggemukan intensif menginduksi terjadinya asidosis ringan dan mengakibatkan kerusakan ringan sel parenkhim hati (gangguan integritas fisiologis dan morfologis). Kerusakan sel hati yang diinduksi oleh keadaan asidosis dapat meningkatkan aktivitas AST dan GGT (Mori 2007).

Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT)

Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) adalah enzim yang ditemukan terutama di hati dan ginjal, dan dalam jumlah yang rendah ditemukan dalam limpa, kelenjar prostat dan otot jantung (Kataria et al. 2012). Nilai normal GGT dalam serum bervariasi antar jenis kelamin, umur (Kataria et al. 2012) dan bangsa (Davoudi 2013).

Aktivitas GGT sering digunakan sebagai indikator adanya proliferasi epitel saluran empedu, gangguan kolestasis (Stojevic et al. 2005; Davoudi 2013), sirosis hati, hepatopati kronis dan toksik (Krammer dan Hoffmann 1997), fascioliasis (Molina et al. 2006), gangguan metabolik dan ketosis (Rico et al. 1977). Aktifitasnya relatif tinggi pada hati sapi, kuda, domba dan kambing (Stojevic et al.2005). Kebanyakan penyakit hepatoseluler dan hepatobilier akan meningkatkan aktivitas GGT dalam serum dan aktivitasnya akan tetap meningkat selama kerusakan sel berlangsung (Davoudi 2013)

(20)

6

digunakan sebagai deteksi awal keracunan tembaga (Cu) sebelum muncul gejala klinis (Minervino et al. 2008). Aktivitas GGT merupakan salah satu parameter penting untuk pemantauan kesehatan (Payne dan Payne 1987; Stojevic et al. 2002 dan Kida 2003). Kataria et al. (2012) melaporkan bahwa aktivitas GGT pada kambing Marwari yang terinfeksi parasit gastrointestinal meningkat 388.99% lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas GGT pada kambing Marwari yang sehat.

Blood Urea Nitrogen (BUN)

Urea diproduksi di hati dari ammonium dan bikarbonat. Memiliki berat molekul 60 dalton dan merupakan sarana utama ekskresi nitrogen pada hewan (Meuten 2012). Konsentrasi urea nitrogen dalam darah dipengaruhi oleh berbagai parameter yang saling terkait yaitu asupan protein, asupan karbohidrat, kemampuan degradasi rumen, komposisi diet asam amino, fungsi hati, fungsi ginjal, dan kerusakan jaringan otot (Van Saun 2000). Menurut Hammond (1998) dan Wattiaux (1998),ketikaenergiyang dibutuhkan untuk fermentasikurangatau ketikaprotein kasardalam dietberlebihan, tidak semuaamoniayang diproduksi didalam rumendapat dikonversi menjadiproteinmikroba

Gambar 1Metabolisme protein pada sapi (Wattiaux 1998)

. Amonia rumen yang tidak digunakan ini akan memasuki sirkulasi portal melalui dinding rumen dan dibawa menuju hati untuk didetoksikasi dengan diubah menjadi urea (Gambar 1) (Hammond 1998, Wattiaux 1998). Selanjutnya, melalui sirkulasi dalam darah, urea menuju ginjal untuk diekskresikan atau terdifusi dari darah ke dalam rumen, saliva, atau susu (pada hewan betina menyusui) (Wattiaux 1998; Hammond 1998; Fettman dan Rebar 2005).

(21)

7 hormon prostaglandin, mempengaruhi aksis hipofisis-pituitari-indung telur (National Research Council 2001; Roy et al. 2011), memiliki efek toksik pada sperma, sel telur dan embrio dan mengakibatkan penurunan fertilitas (Gambar 2) (National Research Council 2001; Roy et al. 2011 dan Bindari et al. 2013).

Gambar 2 Hubungan antara BUN/MUN (Milk Urea Nitrogen) dengan reproduksi pada sapi perah (Roy et al. 2011)

Kreatinin

Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin(Finco 1997). Kreatin sebagian besar dijumpai di otot rangka, tempat dimana kreatinin terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatinfosfat. Kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinasepada sintesis ATP dari ADP. Reaksi ini berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga dihasilkan kreatinfosfat (Gambar 3) (Wyss dan Kaddurah-Daouk 2000).

(22)

8

Banyaknya kreatinin yang diproduksi setiap hari relatif konstan dan tidak dipengaruhi oleh faktor ekstrarenal, seperti urea. Sekali kreatinin terbentuk, akan dibuang dari tubuh hampir seluruhnya oleh ekskresi ginjal melalui filtrasi glomerulus (Fettman dan Rebar 2005).

Konsentrasi BUN dan kreatinin merupakan parameter yang sangat sensitif untuk menggambarkan fungsi ginjal (Scholz 2005; Van Saun 2000). Urea dan kreatinin merupakan hasil metabolisme protein yang pembuangannya diatur oleh ginjal melalui filtrasi glomerulus. Adanya kerusakan pada sel glomerulus akan menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun sehingga urea dan kreatinin akan menumpuk dalam plasma (Kaneko 1997). Menurut Otto et al. (2000), Miller et al. (2004) dan Hammond (2006), konsentrasi kreatinin di dalam serum dipengaruhi oleh diet, bangsa, massa otot dan jenis kelamin. Individu dengan massa otot tinggi dapat memiliki konsentrasi kreatinin yang normal tinggi, demikian pula sebaliknya (Baxman et al. 2008).

Peningkatan konsentrasi kreatinin dalam sirkulasi darah dapat disebabkan oleh adanya kerusakan ginjal terutama akibat gangguan filtrasi glomerulus, nekrosis tubulus akut, dehidrasi, dan gagal ginjal, sedangkan penurunan konsentrasi kreatinin dapat diakibatkan oleh distrofi otot dan pada keadaan myastenia gravis (Scholz 2005).

Protein Total

Hati mensintesis dan melepaskan lebih dari 90% protein plasma (Martini et al. 1992). Menurut Kaneko (1997), terdapat tiga fraksi utama protein dalam darah, yaitu albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin, fibrinogen, dan globulin (50-80% globulin) disintesis di organ hati, sedangkan sisa globulin lainnya dibentuk di jaringan limfoid. Secara fisiologis, konsentrasi protein total serum dipengaruhi oleh umur, pertumbuhan, hormonal, jenis kelamin, kebuntingan, laktasi, nutrisi, stres dan kehilangan cairan (Kaneko 1997). Menurut Stojevic et al. (2008), massa tubuh dan anabolisme hormon testosteron memiliki peran yang cukup besar dalam metabolisme protein dan mempengaruhi konsentrasi protein total dalam darah pada pejantan.

Peningkatan atau penurunan konsentrasi protein total dianggap sebagai suatu abnormalitas secara laboratoris. Peningkatan atau penurunannya di dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh konsentrasi albumin, globulin atau keduanya (Lassen 2005). Menurut Kaneko (1997), penentuan konsentrasi protein total serum dapat digunakan sebagai alat bantu diagnostik yang penting dalam biokimia klinis. Proteinogram merupakan uji tambahan yang penting, membantu untuk biokimia klinis, dan merupakan salah satu metode yang paling dapat diandalkan untuk identifikasi protein darah (Franca et al. 2011). Bersama dengan albumin dan urea, penentuan konsentrasi protein total dianggap sebagai indikator langsung metabolisme protein pada mahluk hidup (Gowinska dan Oler 2013).

(23)

9 hati, diare kronis maupun akut, terbakar, ketidakseimbangan hormon, penyakit ginjal (proteinuria), rendahnya konsentrasi albumin, rendahnya konsentrasi globulin dan kebuntingan (Kaslow 2010).

Albumin

Albumin memiliki ukuran molekul terkecil, dan konsentrasi molekul albumin di dalam darah lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi molekul globulin (Kaneko 1997). Albumin disintesis oleh hati, memasuki darah, dan dikatabolisasi oleh sebagian besar jaringan (Allison 2012; Tennant dan Center 2008).

Faktor utama yang mempengaruhi sintesis albumin adalah asupan pakan yang mengandung protein, tekanan osmotik koloid, aksi hormon tertentu (misalnya; hormon tiroid dan hormon glukokortikoid), dan kejadian penyakit (Busher 1990). Peningkatan konsentrasi albumin di dalam darah umumnya disebabkan oleh naik-turunnya volume darah (Jackson 2007). Menurut Busher (1990) hati meningkatkan sintesis albumin sebagai respon terhadap adanya peningkatan ketersediaan asam amino dari pakan yang mengandung protein.

Penurunan konsentrasi albumin dalam darah tidah hanya disebabkan oleh penurunan sistesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ke ekstravaskuler dan asupan protein (Ballmer 2001). Menurut Kaslow (2010) konsentrasi albumin dapat mengalami penurunan pada dehidrasi kronis, penyakit hipotiroid, malnutrisi (defisiensi protein), polidipsi, gejala kerusakan ginjal, protein loosing enterophaty, terbakar, kegagalan fungsi hati dan ketidakcukupan hormon anabolik (hormon pertumbuhan).

Globulin

Globulin adalah kelompok protein dengan ukuran molekul yang besar tetapi bervariasi (Kaneko 1997). Sebagian besar globulin disintesis di hati, kecuali imunoglobulin yang diproduksi di jaringan limfoid (Allison 2012). Globulin meliputi berbagai jenis molekul antibodi dan protein lain yang aktif dalam sistem kekebalan tubuh (misalnya, komplemen), faktor pembekuan, berbagai jenis enzim, berbagai protein yang membawa lipid, vitamin, hormon, hemoglobin ekstraseluler, dan ion logam (misalnya, besi dan tembaga) (Kaneko 1997). Menurut Kaslow (2010), globulin juga berguna untuk sirkulasi ion, hormon dan asam lemak. Globulin diklasifikasikan sebagai α, β, dan γ, atas dasar mobilitas elektroforesisnya (Allison 2012). Fungsi globulin berdasarkan klasifikasi tersebut diantaranya adalah mengikat hemoglobin (haptoglobin), mengikat hormon thyroid, kolesterol dan zat besi (α dan β globulin), melawan infeksi (γ globulin), dan bertindak sebagai faktor koagulasi (β globulin) (Kaneko 1997).

(24)

10

Rasio Albumin Globulin (Rasio A/G)

Rasio A/G, salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui fungsi hati, merupakan perhitungan terhadap distribusi fraksi dua protein, yaitu albumin dan globulin (Busher 1990). Peningkatan rasio A/G dapat menjadi indikasi bahwa produksi imunoglobulin dibawah normal. Kondisi ini dapat terjadi akibat gangguan genetik, hipotiroidisme, diet tinggi protein atau karbohidrat, kelebihan hormon glukokortikoid, konsentrasi globulin yang rendah dan leukemia (Kaslow 2010). Penurunan rasio A/G dapat mengindikasikan adanya overproduksi globulin pada penyakit myeloma, beberapa penyakit autoimun, produksi albumin dibawah normal pada kasus sirosis hati dan sindrom nefrotik (Jackson 2007; Kaslow 2010).

Kalsium (Ca)

Kalsium (Ca) merupakan mineral penting dalam mempertahankan homeostasis dalam tubuh organisme, dan dibutuhkan pada berbagai proses fisiologis sebagai regulator sel, termasuk spermatozoa (Kaplan et al. 2002; Eghbali et al. 2010). Peranan kalsium meliputi kontraksi otot, pembekuan darah, beberapa aktivitas enzim, rangsangan saraf dan sekresi hormon. Kalsium, bersama fosfor anorganik, berbagi fungsi yang sangat penting dalam pertumbuhan organ, terutama tulang, dan sangat penting dalam produksi susu (Stojevic et al. 2002).

Kalsium banyak hilang selama periode menyusui. Selain dalam susu, kalsium juga hilang melalui proses urinasi terutama pada hewan monogastrik (Payne dan Payne 1987). Kalsium berperan penting pada sistem transpor ion pada membran plasma hingga terjadinya fertilisasi (Publicover et al. 2007; Yeung and Cooper 2008). Kalsium berperan pula dalam menginisiasi pembelahan rantai samping kolesterol pada proses steroidogenesis (Cupps 1991; Eghbali et al. 2010). Konsentrasi kalsium di dalam darah berada di bawah kendali hormon paratiroid dan kalsitonin (Kaneko 1997; Baker dan Worthley 2002). Perubahan konsentrasi mineral ini dalam darah dapat dikaitkan dengan adanya perubahan metabolisme dan nutrisi (Stojevic et al. 2002).

Peningkatan konsentrasi kalsium di dalam darah dapat terjadi akibat ketidakseimbangan pelepasan kalsium dari tulang, ekskresi kalsium oleh ginjal dan absorbsi kalsium dari saluran pencernaan (Kaneko 1997; Ziegler 2001). Menurut Kaneko (1997); Ziegler (2001) dan Assadi (2009) kondisi patologis yang dapat meningkatkan konsentrasi kalsium (hiperkalsemia) di dalam darah antara lain; sekresi hormon paratiroid yang berlebihan, absorpsi kalsium yang berlebihan akibat peningkatan vitamin D atau metabolitnya, resorbsi tulang yang berlebihan akibat lesi lokal pada tulang atau stimulasi abnormal resorbsi osteoklas tulang, dan penurunan ekskresi kalsium di ginjal. Penurunan konsentrasi kalsium dapat terjadi pada kondisi penuaan, defisiensi vitamin D, hipotiroidisme primer, hiperparatiroidisme renal sekunder, kebuntingan dan laktasi, dan exercise yang berlebihan (Hanif et al. 1990; Moissan 1994; Kaneko 1997)

Fosfor (P)

(25)

11 fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak dapat larut, selebihnya berada di cairan tubuh dan jaringan. Hidroksipatit memberi kekuatan dan kekakuan pada tulang, Fosfor memegang peranan metabolik yang penting dan memiliki fungsi fisiologis yang cukup besar dibandingkan dengan mineral lain (Marzec-Wroblewska et al. 2012). Secara umum, fosfor memiliki peran utama dalam pemeliharaan tekanan osmotik, kapasitas buffer dan keseimbangan asam-basa. Fosfor juga merupakan komponen dari sejumlah besar koenzim. Unsur ini merupakan bagian dari struktur asam nukleat, yang membawa informasi genetik, mengatur biosintesis protein dan imunitas (Marzec-Wroblewska et al. 2012).

Konsentrasi fosfor di dalam darah berada di bawah kendali hormon paratiroid dan kalsitonin (Kaneko 1997; Baker dan Worthley 2002; Fukumoto 2014). Menurut Kaneko (1997) penyebab utama peningkatan konsentrasi fosfor dalam darah (hiperfosfatemia) adalah lisisnya sel dalam jumlah besar sebagai akibat dari kemoterapi, rhabdomiolisis dan hemolisis, intoksikasi vitamin D, gagal ginjal kronis, hipoparatiroidisme, hipersomatotropisme dan hipertiroidisme. Penurunan konsentrasi fosfor dalam darah (hipofosfatemia) dapat disebabkan oleh alkalosis respiratorik, asidosis metabolik, pelepasan katekolamin, dan terapi insulin (Kaneko 1997). Menurut Kaneko (1997); Baker dan Worthley (2002); dan Fukumoto (2014) penurunan tersebut dapat juga disebabkan oleh penurunan kapasitas reabsorpsi ginjal dengan hiperparatiroidisme primer atau gangguan tubulus renalis, penurunan absorpsi di usus pada defisiensi vitamin D dan osteomalasia onkogenik.

Magnesium

Magnesium merupakan mineral penting yang terlibat dalam pemeliharaan potensi listrik pada ujung-ujung syaraf, menjaga fungsi otot, sebagai kofaktor enzim dan merupakan unsur penyusun tulang (Blair 2011). Magnesium diserap di saluran pencernaan dan diekskresikan oleh ginjal (Baker 2002). Ginjal memegang peranan penting dalam homeostasis magnesium dengan kontrol pada reabsorpsi di tubulus (Kaneko 1997). Kerr (2002) melaporkan bahwa hipermagnesemia merupakan kasus yang sangat jarang terjadi pada ruminansia. Namun demikian menurut Kaneko (1997), kejadian hipermagnesemia dapat terjadi secara sekunder sebagai akibat adanya penurunan filtrasi glomerulus atau pada gagal ginjal kronis, terutama apabila terdapat kelebihan asupan magnesium.

(26)

12

3

MATERI DAN METODE

Waktu dan tempat penelitian

Pengambilan sampel darah sapi pejantan bibit dilaksanakan di Balai Inseminasi Buatan Lembang. Pemeriksaan biokimia darah dilaksanakan di Laboratorium Patologi Klinik, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Institut Pertanian Bogor.

Materi

Sebanyak 160 ekor sapi pejantan bibit terdiri dari bangsa Friesian Holstein/ FH (16 ekor), Limousin (62 ekor), Simmental (63 ekor), Brahman (12 ekor) dan Ongole (7 ekor) yang sehat secara klinis, umur 3-8 tahun dan BCS 3-5 digunakan dalam penelitian ini. Sapi dikelompokkan berdasarkan bangsa, umur dan BCS.

Sapi pejantan di pelihara secara individual, dengan komposisi ransum perhari seragam berupa hay rumput Afrika ±1 kg, konsentrat ± 4 kg, Feedmix® 15 g, Se 7 g, dan rumput Gajah ± 50 kg (BIBL 2010). Air minum disediakan secara ad libitum.

Metode Pemeriksaan Kesehatan

Pemeriksaan klinis kesehatan sapi pejantan dilakukan oleh Dokter Hewan Balai Inseminasi Buatan Lembang. Sesuai Form Sistem Manajemen Mutu ISO 9008/2001 Bagian F-07/BIBL/01/Medik Veteriner Log Sheet Kondisi Perawatan Kesehatan Ternak Harian.

Penentuan Body Condition Score (BCS)

Gambar 4 Penentuan BCS pada sapi (Edmonson et al. 1989)

(27)

13 Gambar 1. Evaluasi dilakukan pada 8 titik pengamatan, yaitu (1) tonjolan tegak tulang belakang (processus spinosus), (2) antara tonjolan tegak dengan tonjolan datar tulang belakang (processus spinosus ke processus transversus), (3) tonjolan datar tulang belakang (processus transversus), (4) legok lapar (flank), (5) tonjolan tulang pinggul depan (tuber coxae) dan belakang (tuber ishcii), (6) daerah antara tonjolan tulang pinggul depan–belakang (tuber coxae-tuber ischii), (7) daerah antara tonjolan tulang pinggul depan kiri dengan depan kanan (tuber coxae kanan dan kiri), dan (8) daerah antara tulang ekor (vertebrae coccygea) dengan tonjolan tulang pinggul belakang (tuber ischii). Hasil pengamatan berupa skor 1-5 (skor 1 = sangat kurus, skor 3 = sedang, skor 5 = sangat gemuk).

Koleksi, Preparasi dan Analisis Sampel Darah

Sapi pejantan ditempatkan dalam kandang jepit atau bull crush. Sampel darah diambil dari vena coccygea menggunakan jarum nomor 18-G. Sampel darah yang diperoleh segera dimasukkan ke dalam tabung vacutainer tanpa antikoagulan yang sudah diberi label kode sampel. Sampel kemudian disimpan pada suhu ruang (25o C) selama 1-2 jam supaya membeku sempurna. Serum yang terbentuk dipisahkan dari clot (bekuan darah) dan disimpan dalam tabung mikro, ditutup rapat dan diberi identitas. Sampel dikemas sesuai standar dan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis.

Sampel darah dianalisis terhadap parameter kimia dasar yang meliputi aktivitasAspartate Aminotransferase (AST),Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT), konsentrasiBlood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin protein total, albumin, kalsium (Ca), fosfor (P) dan magnesium (Mg). Analisis dilakukandengan prinsip fotometer (Photometer 5010®

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

) menggunakan kit komersial. Konsentrasi globulin diperoleh dari pengurangan antara konsentrasi protein total dengan konsentrasi albumin. Setelah diperoleh konsentrasi globulin, dihitung pula rasio albumin terhadap globulin (rasio A/G).

Analisis Data

Data diuji secara statistik menggunakan metode analisis model linier untuk mengetahui pengaruh bangsa, umur dan BCS terhadap parameter kimia darah, dilanjutkan dengan uji Duncans. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excell dan software Minitab® versi 16.Data disajikan dalam bentuk rerata dan standar deviasinya.

Profil Enzim Aspartate Aminotransferase (AST) dan Gamma-GlutamylTranspeptidase (GGT)

Berdasarkan Bangsa

(28)

14

aminotransferase pada sapi lokal Nguni dan sapi persilangan lokal (local crossbreed) di Afrika. Sapi persilangan menunjukkan aktivitas AST yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi lokal Nguni.

Tabel 2 Aktivitas AST dan GGT berdasarkan bangsa

Bangsa Parameter

AST (U/L) GGT (U/L)

FH (n=16) 86.88±20.27a 18.87± 4.01a

Limousin (n=62) 88.34±21.79a 17.62± 4.19

Simmental (n=63) Referensi standar *)

a

78-132 6.1-17.4

Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05); *) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al. 2007)

Davoudi (2013) melaporkan adanya pengaruh umur, bangsa dan jenis kelamin terhadap aktivitas enzim hati pada kambing. Peningkatan aktivitas enzim hati merupakan indikasi adanya penurunan fungsi hati, gangguan, penyakit atau kegagalan fungsi hati oleh berbagai sebab (Davoudi 2013). Aktivitas enzim-enzim yang terkait dengan metabolisme energi merupakan parameter biokimia yang penting untuk memprediksi derajat kerusakan organ-organ parenkim (Dokovic et al. 2013). Menurut Dokovic et al.(2010) peningkatan aktivitas dan beban metabolik organ-organ pencernaan dan kejadian asidosis ringan pada sapi yang digemukkan, dapat mengakibatkan kerusakan ringan sel parenkhim hati. Kerusakan sel parenkhim hati akibat induksi asidosis yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas AST dan GGT pada serum sapi yang digemukkan (Mori 2007). Disisi lain, kejadian lipolisis/ketogenesis juga dapat meningkatkan konsentrasi AST akibat rusaknya hepatosit oleh hadirnya badan keton (Cincovic et al. 2012). Dokovic et al. (2013) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara aktivitas AST dengan mobilisasi lemak (konsentrasi NEFA/Non esterified fatty acid) pada sapi perah dimasa awal laktasi. Peningkatan aktivitas AST bersamaan dengan peningkatan konsentrasi NEFA dalam darah juga dilaporkan oleh Elitok et al. (2006) dan Cincovic et al.(2012) pada sapi perah periode partus.

Aktivitas GGT sering digunakan sebagai indikasi adanya proliferasi epitel saluran empedu, gangguan kolestasis (Stojevic et al. 2005; Davoudi 2013), sirosis hati, hepatopati kronis dan toksik (Krammer dan Hoffmann 1997), fascioliasis (Molina et al. 2006), gangguan metabolik dan ketosis (Rico et al. 1977). Aktivitasnya relatif tinggi pada hati sapi, kuda, domba dan kambing (Stojevic et al. 2005). Kebanyakan dari penyakit hepatoseluler dan hepatobilier akan meningkatkan aktivitas GGT dalam serum dan aktivitasnya akan tetap meningkat selama kerusakan sel berlangsung (Davoudi 2013). Stojevic et al. (2005) melaporkan bahwa aktivitas GGT mengalami penurunan, sedangkan aktivitas AST mengalami peningkatan pada masa akhir kebuntingan pada sapi perah.

(29)

15 potong(Tabel 2). Yokus dan Cakir (2006) dan Ndlovu et al. (2007) melaporkan bahwa aktivitas AST dapat dipengaruhi oleh musim dan variasi fisiologis. Aktivitas enzim pada sapi yang sehat rendah atau tidak ada (Ndlovu et al. 2007). Aktivitas GGT sapi pejantan pada penelitian ini rata-rata 58.94% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar yang digunakan (Tabel 2). Stojevic et al.(2008) melaporkan bahwa aktivitas AST pada sapi pejantan Simmental 103.68% lebih rendah dan aktivitas GGT 54.26% lebih tinggi bila dibandingkan dengan referensi standar pada sapi perah yang digunakan. Variasi tersebut diduga karena peruntukan ternak yang digunakan untuk breeding dan faktor nutrisi (Stojevic et al. 2008).

Berdasarkan Umur

Tabel 3 menunjukkan bahwa umur sapi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap aktivitas AST dan GGT. Hal ini sesuai dengan laporan Dokovic et al. (2010) dan Mamun et al. (2013) bahwa aktivitas AST dan GGT pada sapi potong tidak dipengaruhi oleh umur. Demikian pula pada kelinci New Zealand (Olayemi dan Nottidge 2007), dan pada unta (Elrayah 2012). Namun hasil ini bertolak belakang dengan laporan Ottesile et al. (1992) yang melaporkan bahwa umur mempengaruhi aktivitas AST pada domba, sapi Abeerdeen Angus (Pavlik 2009), pada sapi Bali (Kendran et al. 2012), kuda (Mikniene 2014), monyet ekor panjang (Xie et al. 2013), dan kalkun (Ibrahim et al. 2012).

Tabel 3 Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan umur

Umur Parameter

AST (U/L) GGT (U/L)

3 tahun (n=6) 72.97±12.00a 18.50±1.88a

4 tahun (n=60) 82.87±22.11a 17.97±4.31

5 tahun (n=33)

Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05); *) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al. 2007)

Rerata konsentrasi AST pada penelitian ini menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan pada umur sapi yang lebih tua. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian pada sapi potong (Doornenball et al. 1988; Mamun et al. 2012), domba (Ottesile et al. 1992), sapi Bali (Kendran et al. 2012) dan kalkun (Ibrahim et al. 2012). Apabila dibandingkan dengan referensi standar yang digunakan, rerata aktivitas AST berdasarkan umur sapi 19.92% lebih rendah. Stojevic et al.(2008) melaporkan bahwa aktivitas AST pada sapi pejantan Simmental 103.68% lebih rendah bila dibandingkan dengan referensi standar pada sapi perah yang digunakan.

(30)

16

Stojevic et al.(2008) melaporkan hasil penelitiannya pada sapi pejantan Simmental bahwa aktivitas GGT 54.26% lebih tinggi bila dibandingkan dengan referensi standar pada sapi perah yang digunakan.

Berdasarkan BCS

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa BCS sapi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap aktivitas AST dan GGT (Tabel 4). Rerata aktivitas AST pada penelitian ini menunjukkan kecenderungan adanya penurunan pada sapi dengan BCS yang lebih tinggi. Apabila dibandingkan dengan referensi standar yang digunakan, rerata aktivitas AST pada penelitian ini 19.60% lebih rendah sedangkan rerata aktivitas GGT 62.10% lebih tinggi. Rerata aktivitas GGT pada BCS 5, lebih tinggi 79% bila dibandingkan dengan rerata referensi standar yang digunakan (Tabel 4).

Tabel 4 Konsentrasi AST dan GGT berdasarkan BCS

BCS Parameter

AST (U/L) GGT (U/L)

3 (n=33) 89.92±22.87a 18.06±3.96a

4 (n=118) 82.82±18.62a 18.00±4.21

5 (n=9)

a

80.84±16.20a 21.00±3.92 Referensi standar *)

a

78-132 6.1-17.4

Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05); *) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al. 2007)

West (1997) melaporkan bahwa pemeriksaan aktivitas GGT memiliki spesifitas tinggi untuk diagnosis gangguan hati kronis pada sapi dan sensitif untuk mendiagnosa gangguan hati akut akibat fascioliasis. Pemeriksaan aktivitas GGT juga lebih sensitif untuk mendiagnosis fatty liver dibandingkan dengan ketosis pada sapi, karena degenerasi lemak pada ketosis memiliki intensitas lebih rendah (Steen 1997). Menurut Moreira et al. (2012), untuk mendeteksi lesi kronis pada hati sapi yang sehat secara klinis, AST memiliki spesifitas 78.8% dan sensitifitas 22.4% sedangkan GGT memiliki spesifitas 90.4% dan sensitifitas 22.4%.

(31)

17 Profil Blood Urea Nitrogen (BUN) dan Kreatinin

Berdasarkan Bangsa

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa bangsa sapi berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi BUN (P<0.05) dan Kreatinin (P<0.001). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Njidda et al. (2013) pada kambing, Boonprong et al. (2007) dan Madziga et al. (2013) pada sapi potong. Namun demikian, Al Busadah (2012) melaporkan bahwa pada unta konsentrasi BUN dan kreatinin tidak dipengaruhi oleh bangsa.

Tabel 5 Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan bangsa

Bangsa Parameter

BUN (mg/dL) Kreatinin (mg/dL)

FH (n=16) 15.70±1.56a 1.96±0.30a

Limousin (n=62) 17.97±3.78b 2.61±0.38

Simmental (n=63)

Referensi standar *)

a

6,0-27,0 1,0-2,0

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (BUN P<0.05dan kreatininP<0.001; *) Referensi standar pada sapi potong (Radostits et al. 2007)

Rerata konsentrasi BUN pada sapi FH (sapi perah) berbeda nyata (P<0.05) dan lebih rendah bila dibandingkan dengan rerata konsentrasi BUN pada empat bangsa lainnya. Namun demikian, rerata konsentrasi BUN pada semua bangsa berada di dalam range referensi standar yang digunakan. Rerata konsentrasi BUN pada sapi FH 4.85% lebih rendah, sedangkan pada sapi Limousin, Simmental, Brahman dan Ongole berturut-turut sebesar 8.91%, 10.18%, 14.18% dan 16.18% lebih tinggi bila dibandingkan dengan rerata referensi standar. Adanya perbedaan konsentrasi BUN pada sapi FH dengan bangsa lain (sapi potong) diduga karena faktor genetik, dimana sapi FH peruntukannya sebagai sapi perah (produksi susu). Rerata konsentrasi kreatinin pada sapi FH dan Ongole berbeda nyata (P<0.001) bila dibandingkan dengan rerata konsentrasi kreatinin pada bangsa Limousin, Simmental dan Brahman. Sapi FH memiliki rerata konsentrasi kreatinin paling rendah bila dibandingkan dengan empat bangsa sapi lainnya. Bila dibandingkan dengan rerata referensi standar yang digunakan, rerata konsentrasi kreatinin pada sapi FH, Limousin, Simmental, Brahman dan Ongole masing-masing sebesar 30.67%, 74%, 64%, 56.67% dan 40% lebih tinggi. Konsentrasi kreatinin yang lebih tinggi pada semua bangsa sapi pejantan yang digunakan diduga disebabkan oleh massa otot yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi potong pada umumnya. Selain itu, faktor nutrisi terutama konsentrat, dapat memberikan kontribusi terhadap tingginya konsentrasi kreatinin pada sapi pejantan tersebut (Baxman et al.2008)

(32)

18

saling terkait yaitu asupan protein, asupan karbohidrat, kemampuan degradasi rumen, komposisi diet asam amino, fungsi hati, fungsi ginjal, dan kerusakan jaringan otot (Van Saun 2000).

Dokovic et al. (2013) juga melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi urea dengan albumin, urea dengan glukosa, urea dengan trigliserida dan korelasi negatif antara urea dengan AST. Peningkatan konsentrasi BUN dalam darah menjadi indikasi ketidakmampuan ginjal untuk menyaring urea (Chimonyo et al. 2002). Menurut Van Saun (2000), Fettman dan Rebar (2005) dan Dokovic et al. (2013),selain menjadi indikasi adanya gangguan fungsi ginjal, nitrogen urea darah juga akan terbaca tinggi akibat diet tinggi protein, efek samping obat, dehidrasi, gagal jantung, perdarahan gastrointestinal, penyumbatan saluran kemih, penyakit Addisondan mobilisasi otot yang berlebihan. Konsentrasi BUN yang rendah pada ruminansia dihubungkan dengan asupan protein yang rendah, yang mengakibatkan terjadinya daur ulang urea dari darah menuju rumen (Ndlovu et al. 2007).

Pemeriksaan konsentrasi kreatinin sering digunakan sebagai indikator tidak langsung untuk fungsi ginjal dan efeknya pada konsentrasi BUN di dalam darah (Van Saun 2000). Variasi konsentrasi BUN dan kreatinin dalam serum dipengaruhi oleh pakan, bangsa, massa otot dan jenis kelamin (Otto et al. 2000; Hammond 2006). Sekali kreatinin terbentuk, akan dibuang dari tubuh hampir seluruhnya oleh ekskresi ginjal melalui filtrasi glomerulus (Fettman dan Rebar 2005). Peningkatan kadar kreatinin didalam darah dapat disebabkan oleh kerusakan ginjal terutama karena gangguan filtrasi glomerulus, nekrosis tubulus akut, dehidrasi dan gagal ginjal (Scholz 2005). Penurunan konsentrasi kreatinin dalam darah dapat disebabkan olah diet rendah protein, kebuntingan, penurunan massa otot, penyakit hati dan pada keadaan myastenia gravis (Scholz 2005; Baxmann et al. 2008). Berdasarkan Umur

Hasil analisis statistik pada Tabel 6 menunjukkan bahwa umur tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rerata konsentrasi BUN dan kreatinin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dokovic et al. (2010) pada sapi potong, Kendran et al. (2012) pada sapi Bali dan Njidda et al. (2013) pada kambing. Namun berbeda dengan laporan Madziga et al. (2013) pada sapi potong. Tabel 6 Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan umur

Umur Parameter

BUN (mg/dL) Kreatinin (mg/dL)

3 tahun (n=6) 18.69±1.36a 2.00±0.21a

4 tahun (n=60) 18.55±3.77a 2.50±0.43

5 tahun (n=33)

(33)

19 Menurut Olayemi dan Nottidge (2007) umur berpengaruh nyata terhadap konsentrasi kreatinin namun tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi BUN pada kelinci.

Konsentrasi BUN dan kreatinin menunjukkan perbedaan yang nyata seiring dengan bertambahnya umur (Madziga et al.2013). Konsentrasi BUN dan kreatinin dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Dooornenball et al. 1988; Otto et al. 2000). Konsentrasi BUN tidak berbeda nyata, sedangkan konsentrasi kreatinin semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur pada kelinci (Olayemi dan Nottidge 2007).

Rerata konsentrasi BUN pada semua umur sapi pejantan pada penelitian ini berada di dalam range referensi standar yang digunakan.Rerata konsentrasi BUN pada umur tiga hingga delapan tahun berturut-turut 13.27%, 12.42%, 4.18%, 7.21%, 2.97% dan 19.52% lebih tinggibila dibandingkan dengan rerata referensi standar yang digunakan. Menurut Madziga et al. (2013), penurunan atau peningkatan konsentrasi BUN pada sapi dengan umur yang lebih tua dapat dihubungkan dengan variasi Basal Metabolisme Rate masing-masing individu.

Apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar, rerata konsentrasi kreatinin pada umur tiga hingga delapan tahun berturut-turut 33.33%, 66.67%, 60.67%, 65.33%, 58.67% dan 65.33% lebih tinggi. Menurut Baxman et al. (2008) faktor penuaan dapat menurunkan konsentrasi kreatinin secara alami. Kurangnya penggunaan otot karena gerakan yang terbatas pada kondisi cacat fisik, dapat pula mengakibatkan penurunan massa otot dan penurunan konsentrasi kreatinin (Baxman et al. 2008). Rerata konsentrasi kreatinin yang lebih tinggi pada semua umur sapi pejantan yang digunakan pada penelitian ini diduga disebabkan oleh massa otot yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi potong pada umumnya. Massa otot yang dimaksud adalah massa otot tanpa lemak (lean) (Wyss 2000; Baxman et al. 2008)

Berdasarkan BCS

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa pada penelitian ini BCS sapi pejantan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rerata konsentrasi BUN dan kreatinin. Namun demikian, rerata konsentrasi BUN lebih rendah dan rerata konsentrasi kreatinin cenderung lebih tinggi pada sapi dengan BCS yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan laporan Mapiye et al. (2010b) bahwa BCS berkorelasi negatif terhadap konsentrasi BUN dan berkorelasi positif terhadap konsentrasi kreatinin.

Tabel 7 Konsentrasi BUN dan kreatinin berdasarkan BCS

BCS Parameter

BUN (mg/dL) Kreatinin (mg/dL)

3 (n=33) 18.46±3.23a 2.26±0.43a

4 (n=118) 17.91±3.01a 2.49±0.39

5 (n=9)

a

16.45±2.26a 2.47±0.31

Referensi standar *)

a

6,0-27,0 1,0-2,0

(34)

20

Rerata konsentrasi BUN pada semua BCS berada di dalam range referensi standar yang digunakan. Apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar, rerata konsentrasi BUN pada sapi dengan BCS 3-5 berturut-turut 11.88% dan 8.55% lebih tinggi, sedangkan pada sapi dengan BCS 5 memiliki rerata konsentrasi BUN sebesar 0.30% lebih rendah. Body Condition Score sapi pejantan pada penelitian ini berada pada skor 3 (sedang/optimal), 4 (gemuk) dan 5 (sangat gemuk).Caldeira et al. (2007) melaporkan bahwa domba dengan BCS 3 menunjukkan status metabolik yang lebih seimbang bila dibandingkan dengan domba dengan BCS yang lebih tinggi. Domba dengan BCS rendah (skor 1.25 – 2) memiliki konsentrasi BUN dan kreatinin yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan domba dengan skor BCS 3-4 (Caldeira et al. 2007). Konsentrasi BUN yang rendah pada ruminansia dihubungkan dengan asupan protein yang rendah, yang mengakibatkan terjadinya daur ulang urea dari darah menuju rumen (Ndlovu et al. 2007). Menurut Dokovic et al.(2013), konsentrasi protein total, albumin, glukosa dan urea di dalam darah merupakan indikator fungsi hati.Penurunan konsentrasi pada parameter tersebut dapat terjadi akibat adanya infiltrasi lemak di sel hati.

Rerata konsentrasi kreatinin pada semua BCS sapi pejantan lebih tinggi bila dibandingkan dengan referensi standar yang digunakan. Sapi dengan BCS 3-5 berturut-turut memiliki rerata konsentrasi kreatinin sebesar 50.67%, 66.00% dan 64.67% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rerata referensi standar.Menurut Baxman et al. (2008) massa otot berpengaruh penting terhadap konsentrasi kreatinin dalam serum. Konsentrasi kreatinin serum dapat meningkat palsu pada individu dengan massa otot yang tinggi dan fungsi ginjal normal (Baxmann et al. 2008)

Profil Protein Total, Albumin, Globulin dan Rasio A/G

Berdasarkan Bangsa

Tabel 8 Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio A/G berdasarkan bangsa FH (n=16) 9.36±1.08a 2.62±0.33a 6.74±1.07a 0.40±0.08a Limousin (n=62) 8.51±0.68b 2.78±0.27ab 5.70±0.99b 0.52±0.16 Simmental (n=63)

b

8.42±0.57b 2.85±0.29b 5.57±0.64b 0.52±0.10 Brahman (n=12)

b

8.13±0.43bc 3.16±0.32c 4.97±0.42c 0.63±0.11 Ongole (n=7)

c

7.84±0.82c 3.10±0.42c 4.74±0.42c 0.64±0.05 Referensi standar

c

5,7-8,1* 2,1-3,6* 2,9-4,9* 0,84-0,94** Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.001); *) Referensi standar pada sapi potong(Radostits et al. 2007); **) Referensi standar pada sapi perah (Latimer et al. 2011)

(35)

21 et al. 2013), pada kambing (Kasumu 2011), dan pada pedet Holstein dan Jersey (Villarroel et al. 2013).

Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa rerata konsentrasi protein total pada sapi FH (9.36±1.08 g/dL) tertinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya (P<0.05). Rerata konsentrasi protein total pada sapi Limousin (8.51±0.68 g/dL) tidak berbeda nyata dengan rerata konsentrasi protein total sapi Simmental (8.41±0.57 g/dL), sedangkan rerata konsentrasi protein total pada sapi Brahman (8.13±0.43 g/dL) tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan rerata protein total pada sapi Simmental dan Ongole (7.84±0.82 g/dL). Sapi Limousin dan Simmental merupakan sub spesies Bos taurus yaitu bangsa sapi potong yang berasal dari kawasan beriklim subtropis sedangkan sapi Brahman dan Ongole merupakan sub spesies Bos indicus yaitu bangsa sapi potong berpunuk dari daerah tropis di Asia (Sudarmono dan Sugeng 2008).

Konsentrasi protein total sapi pejantan pada penelitian ini rata-rata 22.49% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan referensi standar pada sapi potong (Tabel 8). Namun demikian, apabila didasarkan pada masing-masing bangsa sapi, bangsa sapi FH, Limousin, Simmental, Brahman dan Ongole memiliki konsentrasi protein berturut-turut 35.65%, 23%, 22.02%, 17.83% dan 13.62% lebih tinggi dari referensi standar pada sapi potong. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Stojevic et al. (2008) pada sapi pejantan Simmental, dimana rerata konsentrasi protein total pada sapi pejantan Simmental lebih tinggi 19.94% bila dibandingkan dengan referensi standar pada sapi perah.

Hati mensintesis dan melepaskan lebih dari 90% protein plasma (Martini et al. 1992). Menurut Kaneko et al. (1997) terdapat tiga fraksi utama protein dalam darah, yaitu albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin, fibrinogen, dan globulin (50-80% globulin) disintesis di organ hati, sedangkan sisa globulin lainnya dibentuk di jaringan limfoid. Secara fisiologis, konsentrasi protein serum dipengaruhi oleh umur, pertumbuhan, hormonal, jenis kelamin, kebuntingan, laktasi, nutrisi, stres dan kehilangan cairan (Kaneko 1997). Menurut Stojevic et al. (2008), massa tubuh dan anabolisme hormon testosteron memiliki peran yang cukup besar dalam metabolisme protein dan mempengaruhi konsentrasi protein total dalam darah pada pejantan.

Peningkatan konsentrasi protein total dalam darah dapat disebabkan oleh infeksi kronis, hipofungsi kelenjar adrenal, kegagalan fungsi hati, penyakit kolagen pada pembuluh darah, hipersensitif (alergi), dehidrasi, penyakit saluran pernafasan (sesak nafas), hemolisis dan leukemia (Kaslow 2010). Konsentrasi protein total dan nilai hematokrit meningkat pada kasus dehidrasi, diikuti dengan peningkatan konsentrasi albumin dan globulin (Jackson 2007).

Penurunan konsentrasi protein total disebabkan oleh malnutrisi dan malabsorbsi, penyakit hati, diare kronis maupun akut, terbakar, ketidak-seimbangan hormon, penyakit ginjal (proteinuria), rendahnya konsentrasi albumin, rendahnya konsentrasi globulin dan kebuntingan (Kaslow 2010).

(36)

22

Limousin 2.5% lebih rendah, Brahman 10.8% lebih tinggi, Ongole 8.8% lebih tinggi dan Simmental sama dengan referensi standar. Rerata konsentrasi albumin pada sub spesies Bos indicus berbeda nyata (P<0.001) bila dibandingkan dengan sub spesies Bos taurus maupun FH. Menurut Jackson (2007), secara fisiologis tidak ada faktor yang dapat meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan konsentrasi albumin umumnya disebabkan oleh naik-turunnya volume darah. Penurunan konsentrasi albumin dalam darah tidah hanya disebabkan oleh penurunan sistesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ke ekstravaskuler dan asupan protein (Ballmer 2001). Menurut Kaslow (2010) konsentrasi albumin dapat mengalami penurunan pada dehidrasi kronis, penyakit hipotiroid, malnutrisi (defisiensi protein), polidipsi, gejala kerusakan ginjal, protein loosing enterophaty, terbakar, kegagalan fungsi hati dan ketidakcukupan hormon anabolik (hormon pertumbuhan).

Konsentrasi globulin pada semua bangsa sapi pada penelitian ini rata-rata 42.15% lebih tinggi bila dibandingkan dengan referensi standar yang digunakan (Tabel 8). Berdasarkan masing-masing bangsa sapi, sapi Brahman lebih tinggi 72.82%, Limousin 46.15%, Simmental 42.82%, Brahman 27.43% dan Ongole 21.54%. Profil konsentrasi globulin pada masing-masing bangsa sapi pada penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan profil protein total dalam darah. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi globulin mempengaruhi konsentrasi protein total dalam darah. Sapi FH memiliki konsentrasi globulin tertinggi (6.74±1.07 g/dL) dan berbeda nyata (P<0.001) bila dibandingkan dengan rerata konsentrasi protein total pada bangsa sapi pejantan bibit lainnya. Rerata konsentrasi globulin pada sapi sub spesies Bos taurus (Limousin dan Simmental) berbeda nyata (P<0.001) bila dibandingkan dengan konsentrasi globulin pada sapi FH dan sapi sub spesies Bos indicus (Brahman dan Ongole).

Globulin merupakan salah satu fraksi utama protein dalam darah. Berguna untuk sirkulasi ion, hormon dan asam lemak. Beberapa jenis globulin mengikat hemoglobin, beberapa lainnya mengikat zat besi, berfungsi untuk melawan infeksi, dan bertindak sebagai faktor koagulasi (Kaslow 2010). Tingginya konsentrasi globulin mengakibatkan rendahnya rasio A/G pada semua bangsa sapi pejantan bibit yang diuji pada penelitian ini.

Rerata rasio A/G pada bangsa sapi yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan referensi standar yang digunakan (Tabel 8), dimana rasio A/G sapi FH lebih rendah 46%, Limousin 30%, Simmental 30%, Brahman 16% dan Ongole 14%. Rerata rasio A/G pada sapi FH berbeda nyata (P<0.001) bila dibandingkan dengan rerata rasio A/G pada sapi sub spesies Bos Taurus (Limousin dan Simmental) dan sub spesies Bos Indicus (Brahman dan Ongole). Rasio A/G dapat memberikan gambaran imbangan komposisi antara albumin dan globulin. Semakin tinggi konsentrasi globulin, maka rasio A/G akan semakin rendah (Jackson 2007).

Berdasarkan Umur

(37)

23 (Khan et al. 2009) dan anjing (Mundim et al. 2006). Namun demikian, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian pada ayam (Silva et al. 2007), kambing (Kasumu 2011), tikus (Sihombing et al. 2011) dan kalkun (Ibrahim et al. 2012).

Rerata konsentrasi protein total pada penelitian ini semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Menurut Kaneko et al. (1997) dan Ahmadi-Hamedani et al. (2014), secara umum konsentrasi protein total serum meningkat sesuai dengan pertambahan umur hewan. Peningkatan konsentrasi protein total tersebut disebabkan oleh penurunan konsentrasi albumin dan peningkatan konsentrasi globulin secara progresif (Kaneko et al. 1997). Peningkatan atau penurunan konsentrasi protein total dipengaruhi oleh konsentrasi albumin atau globulin atau keduanya dalam sirkulasi darah (Lassen 2005).

Tabel 9 Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio A/G berdasarkan umur 3 tahun (n=6) 7.65±0.78a 2.98±0.36a 4.67±0.44a 0.63±0.05a 4 tahun (n=60) 8.26±0,59b 2.93 ±0.30a 5.36±0.74b 0.56±0.10 5 tahun (n=33)

ab

8.55±0.73bc 2.89±0.21a 5.67±0.80bc 0.52±0.10 6 tahun (n=37)

b

8.76±0.74bc 2.78±0.30ab 5.98±0.81bcd 0.48±0.11 7 tahun (n=18)

b

8.91±0.87c 2.64 ±0.34b 6.04±1.46cd 0.50±0.27 8 tahun (n=6)

b

8.72±0.45bc 2.33±0.36c 6.38±0.71d 0.48±0.10 Referensi standar

c

5.7-8.1* 2.1-3.6* 2.9-4.9* 0,84-0,94** Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (protein total & globulin P<0.05, rasio A/G P<0.01, albumin P<0.001); *) Referensi standar pada sapi potong(Radostits et al. 2007); **) Referensi standar pada sapi perah (Latimer et al. 2011)

Rerata konsentrasi protein total pada semua umur sapi yang digunakan pada penelitian ini, lebih tinggi bila dibandingkan dengan referensi standar pada sapi (bukan bibit) yang digunakan. Persentase perbedaan dari sapi umur 3 tahun hingga 8 tahun (Tabel 9) berturut-turut sebesar 10.87%, 19.71%, 23.91%, 26.96%, 29.13% dan 26.38%.

Tabel 9 memperlihatkan bahwa rerata konsentrasi albumin pada masing-masing umur sapi berbeda nyata (P<0.001). Konsentrasi albumin semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur sapi. Hasil yang serupa dilaporkan oleh Franca et al. (2011) pada kerbau dan Sakha et al. (2008) pada kambing. Faktor utama yang mempengaruhi sintesis albumin adalah asupan pakan yang mengandung protein, tekanan osmotik koloid, aksi hormon tertentu (misalnya; hormon tiroid dan hormon glukokortikoid), dan kejadian penyakit (Busher 1990). Menurut Jackson (2007) peningkatan albumin umumnya disebabkan karena naik-turunnya volume darah.

(38)

24

Persentase perbedaan tersebut pada sapi umur 3 hingga 8 tahun (Tabel 12) berturut-turut adalah 19.74%, 37.43%, 45.38%, 53.33%, 54.87% dan 63.59% lebih tinggi dari referensi standar. Ahmadi-Hamedani et al. (2014) melaporkan bahwa peningkatan rerata konsentrasi globulin pada umur yang lebih tua diduga karena sistem imun yang semakin matang. Meningkatnya rerata konsentrasi globulin dan menurunnya rerata konsentrasi albumin sejalan dengan bertambahnya umur sapi, mengakibatkan menurunnya rerata rasio A/G seiring dengan pertambahan umur. Umur berpengaruh nyata (P<0.01) terhadap rerata rasio A/G.

Berdasarkan BCS

Tabel 10 menunjukkan bahwa BCS tidak berpengaruh nyata terhadap rerata konsentrasi protein total. Rerata konsentrasi protein total pada pada masing-masing BCS berada diatas referensi standar yang digunakan dan cenderung mengalami kenaikan pada sapi dengan BCS yang lebih tinggi. Bila dibandingkan dengan referensi standar yang digunakan, persentase perbedaan protein total pada sapi dengan BCS 3, BCS 4 dan BCS 5 berturut-turut sebesar 20.43%, 23.92% dan 24.78%. Villarroel et al. (2013) melaporkan bahwa berat badan tidak mempengaruhi konsentrasi protein total pada pedet FH dan Jersey.

Tabel 10 Konsentrasi protein total, albumin, globulin dan rasio A/G berdasarkan BCS 4 (n=118) 8,55±0,72a 2,86±0,31ab 5,66±0,92a 0,53±0,14 5 (n=9)

a

8,61±0,71a 2,96±0,13b 5,66±0,78a 0,52±0,11 Referensi standar

a

5,7-8,1* 2,1-3,6* 2,9-4,9* 0,84-0,94** Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05); *) Referensi standar pada sapi potong(Radostits et al. 2007); **) Referensi standar pada sapi perah (Latimer et al. 2011)

Tabel 10 memperlihatkan adanya kecenderungan kenaikan rerata konsentrasi albumin pada sapi dengan BCS yang lebih tinggi. Namun demikian, rerata konsentrasi albumin pada masing-masing BCS masih berada dalam range referensi standar yang digunakan. Konsentrasi albumin berbeda nyata (P<0.05) diantara sapi yang memiliki BCS 3 dan BCS 5, sedangkan sapi dengan BCS 3 dan 4 serta sapi dengan BCS 4 dan 5 tidak berbeda nyata. Menurut Busher (1990) hati meningkatkan sintesis albumin sebagai respon terhadap adanya peningkatan ketersediaan asam amino dari pakan yang mengandung protein. Dapat diduga bahwa kenaikan rerata konsentrasi protein total pada BCS yang lebih tinggi terjadi karena kenaikan rerata konsentrasi albumin.

(39)

25 pada sapi yang digemukkan secara intensif dapat meningkatkan konsentrasi protein total serum secara nyata.

Rerata konsentrasi globulin tidak berbeda nyata antar BCS. Namun demikian rerata konsentrasi globulin pada semua BCS yang diuji rata-rata 45% lebih tinggi bila dibandingkan dengan referensi standar (Tabel 10). Diduga bahwa tingginya rerata konsentrasi protein total pada semua BCS bila dibandingkan dengan referensi standar diakibatkan oleh tingginya rerata konsentrasi globulin. Lassen (2005) melaporkan bahwa peningkatan atau penurunan konsentrasi protein total dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh konsentrasi albumin atau globulin atau keduanya. Konsentrasi protein total dan nilai hematokrit meningkat pada kasus dehidrasi, disertai dengan konsentrasi albumin dan globulin yang meningkat pula (Jackson 2007). Selain itu konsentrasi globulin dapat meningkat akibat infeksi kronis (parasit, bakteri, atau virus), penyakit hati (sirosis, penyumbatan saluran empedu), sindrom karsinoid, radang sendi atau reumatik, ulkus pada kolon, myeloma dan leukemia, penyakit autoimun dan gagal ginjal (Kaslow 2010).

Profil Kalsium (Ca), Fosfor (P) dan Magnesium (Mg)

Berdasarkan Bangsa

Hasil analisis statistik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa bangsa sapi pejantan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rerata konsentrasi Ca dan P, namun berpengaruh nyata (P<0.001) terhadap rerata konsentrasi Mg dalam serum. Menurut Littledike et al. (1995), Patkowski et al. (2006), Soch et al. (2010) dan Hafid et al. (2013), konsentrasi mineral dalam serum dapat dipengaruhi oleh bangsa, umur, jenis kelamin, kelompok, manajemen, musim dan letak geografis. Tabel 11 Konsentrasi Ca, P dan Mg berdasarkan bangsa

Bangsa Parameter

Ca (mg/dL) P (mg/dL) Mg (mg/dL)

FH (n=16) 8.18±1.26a 5.43±1.20a 2.03±0.22a

Limousin (n=62) 8.36±1.74a 6.06±2.65a 1.80±0.37 Simmental (n=63)

b

8.37±1.33a 5.72±1.10a 1.59±0.19 Brahman (n=12)

c

9.48±2.25a 6.61±1.59a 1.95±0.19 Ongole (n=7)

ab

8.47±1.11a 6.06±2.65a 1.87±0.37 Referensi standar*)

ab

9.7-12.4 5.6-6.5 1.8-2.3

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.001); *) Referensi standar pada sapi potong(Radostits et al. 2007)

Gambar

Tabel 1. Referensi standar parameter kimia darah pada sapi
Gambar 1Metabolisme protein pada sapi (Wattiaux 1998)
Gambar 2 Hubungan antara BUN/MUN (Milk Urea Nitrogen) dengan reproduksi
Gambar 4 Penentuan BCS pada sapi (Edmonson et al. 1989)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh penggunaan tongkol jagung dalam complete feed dan suplementasi undegraded protein terhadap pertambahan bobot badan dan kualitas daging pada sapi

Oleh karenanya, paritas tidak dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penentuan performa reproduksi ternak sapi Bali meskipun secara numerik terdapat nilai

Pada bangsa Simmental uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa dari setiap BCS menunjukkan perbedaan yang nyata antara BCS sedang dan BCS optimum (P&gt;0,05),

Pada tabel 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan umur bibit 15 hss dan konsentrasi PGPR 15 ml/liter menghasilkan jumlah anakan terbanyak dibandingkan dengan perlakuan yang lainya, sehingga