• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Body Condition Score (BCS) Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang (Studi Kasus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Body Condition Score (BCS) Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang (Studi Kasus)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL

BODY CONDITION SCORE

(BCS) SAPI PERAH

DI WILAYAH KOPERASI PETERNAKAN SAPI

BANDUNG UTARA (KPSBU) LEMBANG (STUDI KASUS)

ARIF SYAIFUDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Profil Body Condition Score (BCS) Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 27 Agustus 2013

(4)

ABSTRAK

ARIF SYAIFUDIN. Profil Body Condition Score (BCS) Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang. Dibimbing oleh AGUS WIJAYA dan AGUS LELANA.

Body conditon score (BCS) merupakan suatu metode untuk menentukan atau menafsirkan berat badan dan status fisiologis tubuh ternak. Penelitian ini dilakukan di desa Sukajaya yang termasuk dalam kawasan Koperasi Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU) Lembang. Sampel yang digunakan berjumlah seratus ekor sapi perah laktasi jenis Friesian Holstein (FH). Penilaian BCS melalui metode observasi (inspeksi) dan perabaan (palpasi) deposit lemak pada delapan bagian titik orientasi bagian tubuh Penentuan sapi menggunakan derajat nilai mulai dari 1 (sangat kurus) sampai 5 (sangat gemuk) dengan interval nilai 0.25. Pada peternakan masyarakat di desa Sukajaya nilai BCS sapi perah pada awal laktasi 3.106 +0.354. Fase puncak produksi nilai BCS 2.981+0.268. Body Condition Score secara berangsur-angsur akan mengalami kenaikan pada bulan-bulan berikutnya. Penurunan ini terjadi karena poduksi susu yang tinggi tidak diimbangi dengan pakan yang cukup. Akibatnya, cadangan lemak tubuh yang terdeposisi pada bagian-bagian yang diamati mengalami penurunan. Lemak tubuh ini digunakan untuk sumber energi lain selain dari pakan. Nilai BCS paling besar terjadi saat kering kandang yaitu 3.500+0.315.

Kata kunci: BCS , Body Condition Score, Sapi Perah FH

ABSTRACT

ARIF SYAIFUDIN. Profile Body Condition Score (BCS) Of Dairy Cattle In Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang Region.Under supervision of AGUS WIJAYA and AGUS LELANA.

Body Conditon Score (BCS) is a method to define or interpret the livestock’s weight and its physiological state. This case study was conducted in Sukajaya which belongs to the area of North Bandung Dairy Farmer Cooperation by observing the condition of dairy cattle types Friesian Holstein. A hundred lavtation of dairy cattle was used in this case study.The scoring was based on 1(emaciated) to 5(very fat) by the interval degree of 0.25. In Sukajaya farming society, the body condition score at the early fase of lactation was 3.106+0.354, then decrease at the peak milk fase 2.981+0.268. This score will increase gradually on the next months. The decreasing of BCS happened due to the high milk production which was not accompanied with enough feed, therefore the body fat reserves which were deposited on the observed parts decreased. This body fat was used for another energy sources except from feed. Generally The body condition score was 3.500+0.315 for dry off period in Sukajaya.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan

PROFIL BODY CONDITION SCORE (BCS) SAPI PERAH DI WILAYAH KOPERASI PETERNAKAN SAPI

BANDUNG UTARA (KPSBU) LEMBANG (STUDI KASUS)

ARIF SYAIFUDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi: Profil Body Condition Score (BCS) Sapi Perah di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang (Studi Kasus)

Nama : Arif Syaifudin NIM : B04080129

Disetujui oleh

Drh Agus Wijaya, M.Sc, Ph.D Pembimbing I

Dr Drh RP Agus Lelana, Sp. MPMSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan FKH IPB

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah sapi perah, dengan judul Profil Body Condition Score (BCS) di Wilayah Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh. Agus Wijaya MSc. Ph.D dan Dr.drh. R.P Agus Lelana Sp. MP. MSi selaku pembimbing. Kepada Bapak drh Pammusureng, Staf IB dan Keswan KPSBU Lembang, Staf BPPT Lembang, yang telah memberikan arahan, pelatihan dan penjelasan mengenai pengambilan data dan memberikan saran kepada kami. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, teman penelitian, keluarga balak enam, teman-teman FKH (Avenzoar 45) atas segala doa kasih sayang dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2 Karakteristik Sapi Perah Friesian Holstein(FH) 2

Mananjemen Pemeliharaan Sapi Perah 3

Pakan/ Ransum Sapi Perah 4

Body Condition Score (BCS) 5

METODE 6

Waktu dan Tempat Pengambilan Data 6

Alat dan Bahan 7

Rancangan Pengamatan Parameter 7

Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Keadaan Umum Lokasi 8

Body Condition Score (BCS) 9

Hubungan antara BCS dengan Resiko Terjadnya Penyakit 12

Hubungan BCS dengan Pakan 13

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi PenurunanNilai BCS 14

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(10)

DAFTAR TABEL

1 Data Biologis Sapi Perah 3

2 Jumlah dan Komposisi Sapi Perah di Desa Sukajaya 9

3 Nilai BCS Sapi Perah Berdasarkan Bulan Laktasi 10

4 Nilai BCS Berdasarkan Fase/ Tahapan Laktasi 10

5 Nilai BCS berdasarkan jumlah kepemilikan ternak 12

6 Bahan dan Komposisi Pakan di Sukajaya KPSBU Lembang 13

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan Antara Produksi Susu, Jumlah Pakan dan Nilai BCS 5

2 Ilustrasi Titik Orientasi BCS 6

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber bahan pangan asal hewan yang sering dikonsumsi manusia adalah daging, telur, dan susu. Dengan adanya protein asal hewan tersebut diyakini mampu meningkatkan kemampuan berpikir, sehingga mampu meningkatkan kecerdasan masyarakat. Susu merupakan salah satu sumber protein asal hewan yang mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap. Secara umum masyarakat Indonesia mengonsumsi susu dalam bentuk susu segar maupun hasil olahan susu seperti keju, dan yogurt.

Secara fisiologis, susu merupakan bahan cair yang disekresikan melalui ambing seekor induk. Produksi susu mencapai puncaknya terjadi pada bulan kedua setelah melahirkan. Produksi susu akan turun setelah bulan ketiga laktasi sampai menjelang fase kering kandang pada bulan kedelapan setelah melahirkan. Produksi susu sapi laktasi dapat dihubungkan dengan kondisi tubuh selama periode laktasi dan kering kandang.

Keterbatasan dalam penentuan bobot badan sapi dilapangan adalah kurangnya fasilitas alat timbangan hewan ternak sehingga peternak harus melakukan perkiraan berat badan secara subjektif. Beberapa metode telah dikembangkan untuk memprediksi berat badan berdasarkan ukuran linear tubuh. Metode yang telah dipakai menggunakan metode school yang menggunakan lingkar dada dan metode winter dengan menggunakan lingkar dada dan panjang badan sebagai faktor penghitungnya. Penghitungan menggunakan nilai kondisi tubuh/ Body condition score (BCS) ternak merupakan metode yang banyak digunakan di lapangan. Metode ini sederhana dan mudah digunakan untuk melakukan evaluasi kecukupan nutrisi selama fase laktasi.

Body Condition Score digunakan untuk menginterpretasikan cadangan lemak tubuh. Cadangan lemak ini digunakan untuk menutupi kekurangan energi dari pakan saat melahirkan dan produksi susu. Pengukuran BCS dapat dinilai dengan angka, nilai dari angka 1 sampai angka 5. Nilai 1 menginterpretasikan tubuh ternak sangat kurus. Nilai 2 menginterpretasikan kondisi ternak kurus. Nilai 3 menginterpretasikan kondisi tubuh ternak sedang. Nilai 4 menginterpretasikan kondisi tubuh ternak gemuk. Nilai 5 menginterpretasikan nilai tubuh ternak sangat gemuk.

Penilaian BCS ternak yang ideal tergantung pada tujuan pemeliharaan. Ternak yang dipelihara untuk ternak pedaging/ penggemukan maka BCS tubuh semakin besar maka akan semakin baik. Ternak dengan tujuan pembibitan tidak memerlukan kondisi tubuh yang terlalu gemuk. Ternak yang cocok untuk bibit yang ideal adalah mempunyai nilai kondisi tubuh ternak nilai 3 atau ternak tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus.

Pemeliharaan kondisi tubuh secara ideal sesuai dengan status fisiologis laktasi sekaligus untuk mempersiapkan fase laktasi berikutnya. Oleh karena itu, perhitungan BCS sangat diperlukan untuk mengetahui berapa besar jumlah nutrisi yang diberikan agar kondisi sapi dalam keadaan optimal saat partus berikutnya.

(12)

2

Lembang adalah salah satu daerah di Jawa Barat yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai peternak. Ternak yang paling dominan adalah sapi perah. Populasi sapi perah di Lembang pada tahun 2011 mencapai 20.789 ekor dan menghasilkan susu sebanyak 98.500 liter per hari (KPBSU Lembang 2011).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai kondisi tubuh ternak/ body condition score sapi perah Friesian Holstein (FH) agar dapat menghasikan produksi yang optimal serta meningkatkan kesejahteraan peternak yang ada dikawasan Lembang.

Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk melakukan manajemen pemeliharaan dengan optimal sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat peternak sapi perah.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Perah Friesian Holstein (FH)

Asal sapi perah jenis Friesian Holstein adalah Friesland, Belanda. Di Indonesia sapi ini dikenal dengan nama Fries Holland atau Friesian Holstein (FH)(Rustamadji 2004). Menurut Schmidith dan Vleck (1974) sapi FH ini ditemukan di propinsi North Holland dan West Friesland. Sapi FH memiliki corak yang khas yaitu hitam dan putih, serta produksi susu yang tinggi dan berkadar moyang sapi liar Bos Taurus yang merupakan jenis sapi yang tidak berpunuk.

(13)

3 betina secara umum memiliki bobot 1250 pound (567 kg) dan untuk pejantan bobotnya sebesar 1800 pound (816 kg). Diantara jenis sapi perah, FH memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan sebagian besar jenis sapi perah yang lainnya. Bobot lahir anak mencapai 43 kg (Sudono et al. 2003) dan bisa mencapai bobot lahir 48 kg (Bath et al. 1985). Bobot untuk sapi betina dewasa mencapai 682 kg dan jantan 1000 kg (Sudono et al.2003).

Menurut Sudono et al. (2003) di Amerika Serikat sapi FH mampu menghasilkan susu rata-rata 7.245 liter/laktasi dengan kadar lemak 3.65%, sedangkan di Indonesia hanya 10 liter/ekor/hari yaitu sekitar 2500-3000 liter/laktasi. Sapi perah menghasilkan susu paling optimal pada suhu berkisar antara 10-15.56 ˚C dengan kelembaban udara berkisar antara 50-79% dan produksi susu masih cukup tinggi pada suhu 21.11 ˚C (Ensminger et al. 1971). Tabel 1 Data biologis sapi perah

Lama bunting : 280 hari (275-283 hari)

Tekanan darah : 121-166 sistol; 18-120 diastol Konsumsi energi : kira-kira 15 kal/Kg/hari Sumber: Sudono (1999).

Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah

Keberhasilan suatu peternakan tergantung dari manajemen pemeliharaan yang dilakukan. Beberapa manajemen pemeliharaan sapi perah yang penting untuk dilakukan dan diperhatikan oleh peternak antara lain kandang, pemeliharaan kesehatan, dan manajemen pakan yang baik.

Sistem perkandangan sapi perah bisa dibuat berbentuk kandang koloni ataupun kandang individu. Keuntungan dari kandang individu yaitu mudah dalam mengontrol kebersihan. Penggunaan alas berupa karet bisa melindungi dan mengurangi terjadinya laminitis atau peradangan pada kuku sapi.

Menurut Ernawati (2000), syarat-syarat dalam pembuatan kandang yaitu, bahan bangunan kandang harus ekonomis, tahan lama, dan tidak menimbulkan refleksi panas terhadap ternak. Kandang harus memberikan kenyamanan bagi ternak dan pemiliknya. Ventilasi udara yang cukup serta mudah dibersihkan. Penentuan arah bangunan kandang juga berpengaruh terhadap kesehatan sapi. Kandang tunggal sebaiknya menghadap ke timur, sedangkan kandang ganda sebaiknya membujur utara-selatan. Hal ini bertujuan agar sinar matahari pagi dapat masuk kedalam kandang untuk membantu proses pembentukan vitamin D dalam tubuh ternak sekaligus sebagai pembasmi bibit penyakit.

(14)

4

laktasi (lebih dari 2 tahun dan laktasi), kandang sapi kering kandang dan melahirkan. Pembagian ini berfungsi untuk mengatur pakan yang diberikan, mempermudah dalam deteksi birahi, serta memberi ruang gerak kepada pedet untuk melatih otot supaya menjadi kuat.

Kesehatan sapi perah sangat dipengaruhi oleh kebersihan kandang. Bila kandangnya selalu dijaga kebersihannya maka sapi tersebut tidak mudah terkena penyakit. Penyakit yang sering ada pada peternakan sapi perah berupa, mastitis, brucellosis, dan laminitis. Menurut Subronto et al. (2004) manajemen kesehatan lebih ditekankan pada program pencegahan penyakit. Pencegahan penyakit itu berupa menjaga kebersihan kandang, menempatkan pedet pada kandang yang diberi sekam atau jerami, pemberian obat cacing secara berkala, vaksinasi, isolasi pada sapi yang baru.

Pakan/ Ransum Sapi Perah

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha peternakan sapi perah. Pemberian pakan yang kurang cukup kandungan nutrisinya dapat berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah. Kebutuhan protein sapi perah laktasi berkisar antara 15-18% (Siregar 2003). Sumber pakan sapi perah berasal dari hijaun dan konsentrat.

Hijauan dalam ransum sapi perah masih tetap menjadi yang terbesar dalam pakan sapi sedangkan konsentrat hanya sebagai tambahan saja. Oleh karena itu kualitas konsentrat yang diberikan harus disesuaikan dengan kualitas dari hijauan. Apabila hijauan yang diberikan mempunyai kualitas tinggi maka tambahan konsentrat yang diberikan bisa berkualitas sedang atau konsentrat dengan kualitas tinggi dengan perbandingan 64%:36% sedangkan hijauan dengan kualitas rendah membutuhkan perbandingan 55%:45% (Blakely dan Bade 1991). Menurut Siregar (2008) perbandingan hijauan dan konsentrat untuk mutu pakan yang baik berdasarkan bahan keringnya adalah 60%:40% akan menghasilkan koefisien cerna yang tinggi.

Sumber pakan hijauan meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput benggala (Pennisetum maximum), dan rumput lapangan. Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun lamtoro, turi, dan gamal. Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan antara lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau campuran dari bahan-bahan tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan untuk pakan antara lain jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai.

(15)

5 Body Condition Score (BCS)

Body condition score merupakan suatu metode penilaian secara subyektif melalui tehnik penglihatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi) untuk menduga cadangan lemak tubuh terutama untuk sapi perah pada periode laktasi dan kering (Edmonson et al 1989). Penilaian BCS telah diterima sebagai metode yang murah dalam pendugaan lemak tubuh yang digunakan baik pada peternakan komersial maupun penelitian (Otto et al. 1991). BCS juga dijadikan sebagai alat untuk menjelaskan status nutrisi ternak melalui evaluasi dari cadangan lemak dari hasil metabolisme, pertumbuhan, laktasi, dan aktivitas (Wright et al. 1987).

Perubahan BCS berkaitan dengan perubahan kondisi tubuh sapi perah (Wright et al. 1987).Sapi laktasi mengalami penurunan cadangan lemak tubuh selama awal laktasi, kemudian disimpan kembali pada saat pertengahan dan akhir laktasi (Gallo et al. 1996).

Gambar 1 Hubungan antara produksi susu, jumlah pakan dan nilai BCS (Chekee 2005)

Keterangan: •••• = BCS

--- = Konsumsi Pakan

= Produksi susu

Perubahan keseimbangan energi yang terjadi selama laktasi akan berpengaruh terhadap BCS (Coffey et al. 2003). Setelah sapi beranak, sapi perah akan mengalami peningkatan konsumsi pakan yang lambat, peningkatan produksi susu yang cepat, dan terjadi peningkatan mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk memenuhi kekurangan konsumsi pakan akibat peningkatan kebutuhan produksi susu pada awal laktasi (Domeq et al. 1997).

(16)

6

Menurut Edmonson et al. (1989) membuat diagram BCS menggunakan skala 1-5. Nilai 1 mempunyai arti tubuh sapi sangat kurus, nilai 2 mempunyai arti kurus, nilai 3 mempunyai nilai sedang, nilai 4 mempunyai gemuk, nilai 5 mempunyai arti sangat gemuk. Diantara nilai-nilai utama itu terdapat nilai 0.25; 0,5; 0,75 untuk menggambarkan nilai yang berada diantaranya. Penilaian BCS berdasarkan pada pendugaan baik secara visual maupun dengan perabaan pada delapan bagian tubuh ternak. Bagian tubuh tersebut adalah antara bagian processus spinosus, processus spinosus ke processus transversus, processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, dan pangkal ekor tuber ischiadicus.

Gambar 2 Ilustrasi titik orientasi BCS (Pammusureng 2009)

METODE

Waktu dan Tempat Pengambilan Data

(17)

7 Alat dan Bahan

Ternak yang digunakan dalam pengambilan data ini adalah sapi perah FH yang sedang produksi susu dengan jumlah sapi sebanyak 100 ekor. Sapi yang digunakan adalah milik peternak masyarakat di kelurahan Sukajaya yang tergabung dalam anggotaKPSBU Lembang, Bandung. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital dan pita ukur.

Rancangan Parameter Pengamatan

Peubah

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan cara pengamatan, pengukuran dan wawancara secara langsung dengan peternak. Data primer yang diambil dari peternak berupa nama peternak, nomor identitas sapi, masa laktasi (bulan) dilihat dari tanggal melahirkan terakhir atau tanggal keguguran setelah usia kebuntingan enam bulan (Harjosubroto dan Astuti 1993), jumlah pakan, jumlah produksi susu, jenis kandang, jenis lantai, dan kebersihan kandang.

Data sekunder yang diambil yaitu profil peternakan di desa Sukajaya, profil KPSBU Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Keadaan umum lokasi peternakan berupa topografi lokasi, suhu, kelembaban, curah hujan, dan ketinggian tempat.

Penilaian Body Condition Score (BCS)

Pengambilan data untuk menentukan nilai BCS dilakukan sesuai dengan metode Edmonson et al. (1989). Penentuan BCS berdasarkan 8 titik pengamatan dari tubuh sapi perah yaitu: tonjolan tegak tulang belakang, antara tonjolan tegak dengan tonjolan datar tulang belakang, tonjolan datar tulang belakang, legok lapar, tonjolan tulang pinggul depan dan belakang, daerah antara tonjolan tulang pinggul depan – belakang, daerah antara tonjolan tulang pinggul depan kiri dengan depan kanan, dan daerah antara tulang ekor dengan tonjolan tulang pinggul belakang.

(18)

8

Gambar 3 Ilustrasi penilaian BCS (Pammusureng 2009) Analisis Data

Data ditabulasi menggunakan aplikasi microsoft excel 2007. Data yang ditabulasi dianalisa dengan statistika sederhana atau statistika deskriptif. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk rerataan dan dan simpangan baku.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara merupakan gabungan dari peternak sapi perah yang berada di kawasan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Secara geografis, Kecamatan Lembang berada di sebelah utara dari Kabupaten Bandung yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Subang. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Bandung, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parompong Kabupaten Bandung. Anggota koperasinya juga ada yang berasal dari Kabupaten Subang (Kecamatan Ciater) yang langsung berbatasan dengan Lembang.

(19)

9 sesuai untuk peternakan sapi perah. Sesuai dengan pendapat Ensminger (1971) sapi perah bisa berproduksi maksimal pada kisaran suhu 10-15.6oC, tetapi masih bisa berproduksi optimal pada suhu 21.1oC dengan kelembaban udara antara 50-70%.

Peternakan sapi perah di Kecamatan Lembang merupakan peternakan rakyat yang tergabung dalam wadah KPSBU Lembang. Koperasi ini memiliki 22 wilayah kerja yang terdiri dari 8 komisariat daerah (Risda), 23 tempat pelayanan koperasi (TPK), dan 603 tempat penampungan susu (TPS) yang dibuat untuk melakukan pengambilan susu dari peternak. Penelitian ini dilaksanakan di desa Sukajaya.

Tabel 2 Jumlah dan komposisi sapi perah di desa Sukajaya Status fisologis sapi perah Jumlah (ekor)

(20)

10

Perubahan periode ini akan menyebabkan perubahan pada kondisi tubuh sapi perah. Kondisi tubuh menggambarkan cadangan lemak tubuh ternak. Lemak tubuh pada sapi periode laktasi digunakan untuk cadangan saat produksi susu dan tubuh kurang mendapatkan energi dari pakannya. Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa setelah beranak, sapi kesulitan menyediakan nutrisi untuk produksi susu karena konsumsi pakan terbatas, sehingga cadangan lemak yang ada dibawah jaringan kulit digunakan untuk memenuhinya.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, disajikan dalam tabel 3 dan 4. Tabel 3 menjelaskan tabulasi data berdasarkan bulan laktasi dan tabel 4 menjelaskan tabulasi data berdasarkan fase laktasi.

Tabel 3 NilaiBCS Sapi Perah berdasarkan bulan laktasi Bulan

Tabel 4 Nilai BCS berdasarkan fase/tahapan laktasi

Tahapan laktasi Masa

laktasi (hari)

Nilai BCS

Hasil penelitian Ideal* Minimal* Maksimal*

(21)

11 Berdasarkan Tabel 4 menjelaskan bahwa rataan BCS dikelompokkan berdasarkan tahapan laktasi mulai dari saat beranak, awal laktasi, puncak produksi susu, pertengahan laktasi, akhir laktasi, periode kering kandang. Pada saat awal laktasi mempunyai rataan nilai BCS 3.106+0.354. Nilai ini berada pada proporsi ideal berdasarkan rekomendasi dari Penstate yaitu sebesar 3.00.

Fase puncak produksi mengalami penurunan dari saat awal laktasi. Nilai BCS pada fase ini menjadi 2.981+0.268. Nilai ini sedikit lebih besar dari rekomendasi ideal yang dikeluarkan Penstate (2004) yaitu sebesar 2.75. Nilai BCS pada fase ini mengalami penurunan dari fase awal laktasi. Penurunan nilai BCS yang terjadi pada fase puncak produksi disebabkan karena produksi yang tinggi tidak diimbangi dengan pakan yang cukup untuk menunjang produksi susu. Mobilisasi atau metabolisme cadangan lemak yang terdeposit dalam tubuh dilakukan untuk memenuhi kekurangan energi dari pakan. National research council (NRC) (2001) menjelaskan sapi perah 60 hari pasca partus akan mengalami penurunan BCS antara 0.5-1.00 atau BCS berada pada kisaran 2.50-3.00. Menurut Brosteret al. (1998) perubahan BCS secara umum akan turun selama 2-3 bulan pasca melahirkan.

Pada pertengahan laktasi memiliki nilai BCS 3.035+0.235 dan pada akhir laktasi nilai BCS 3.250+0.371. Nilai BCS berdasarkan pengamatan berada pada kondisi ideal berdasarkan rekomendasi Penstate (2004) yaitu 3.000 dan 3.250. Pada periode ini nilai BCS sapi perah akan mengalami kenaikan dari fase puncak produksi.

Pada fase kering kandang, nilai BCS hasi pengamatan 3.50+0.315sesuai kondisi ideal berdasarkan anjuran Penstate (2004) yaitu 3.50. Fase kering kandang sangat berpengaruh terhadap fase laktasi berikutnya. Menurut Cappuco et al. (1997) fase kering kandang berguna untuk memberikan kesempatam sel-sel epitel ambing melakukan regresi, proliferasi dan diferensiasi yang memungkinkan stimulasi produksi susu secara maksimal pada fase laktasi berikutnya.

Rataan BCS sapi perah saat beranak tidak ditemukan saat pengambilan sampel. Ini terjadi karenapengambilan sampel dilakukan secara acak dan tidak mendapatkan sampel sapi saat beranak. Nilai BCS sapi saat beranak sama dengan nilai BCS sapi saat kering kandang. Dari hasil pengamatan rataan BCS menurun dari awal laktasi sampai puncak produksi, kemudian meningkat seiring penurunan produksi susu dan menjelang periode kering kandang. Rataan BCS sapi perah di kawasan peternakan di desa Sukajaya secara umum memiliki raatan yang berada dalam nilai ideal sesuai nilai BCS yang direkomendasikan oleh Penstate (2004). Hal ini menunjukkan bahwa peternak sapi perah menggunakan manajemen pemeliharaan sapi perah dengan baik.

(22)

12

Tabel 5 Nilai BCS berdasarkan jumlah kepemilikan ternak

No Inisial nama peternak

Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang dilakukan wawancara sebanyak 30 orang peternak. Peternak yang mempunyai sapi perah dengan jumlah lebih dari sama dengan 3 ekor ada 15 orang peternak. Nilai rataan minimal dari BCS adalah 2,8125 dan nilai rataan maksimal 3,3125. Nilai rataan BCS pada peternak dengan kepemilikan hewan ternak kurang dari 3 nilai minimal BCS adalah 2,675 dan rataan nilai maksimal 4,00. Nilai standard BCS untuk nilai ideal sapi perah ada pada nilai BCS 3. Hasil ini dapat dilihat bahwa peternak dengan jumlah kepemilikan hewan ternak yang lebih banyak melakukan manajemen peternakan dengan baik.

Hubungan Antara BCS dengan Resiko Terjadinya Penyakit

Resiko terjadinya suatu penyakit bisa terlihat dari status BCS dari masing-masing sapi perah. Pada saat beranak dianjurkan sapi berada pada kisaran 3.25-3.75. Nilai BCS kurang dari 3.25 beresiko produksi susu rendah. Ini disebabkan karena cadangan lemak tubuh sedikit sehingga apabila manajemen pakan tidak baik maka akan semakin menurunkan hasil produksi susu.

(23)

13 banyak timbunan lemak yang ada dibawah jaringan kulit dan di peritoneum. Adanya timbunan lemak ini akan mempersempit jalur kelahiran, sehingga mampu mengakibatkan distokia dan retensio placenta.

Kondisi sapi yang gemuk saat kering kandang juga bisa menyebabkan penyakit gangguan metabolisme. Sesaat setelah beranak, sapi akan mengalami penurunan nafsu makan. Jumlah energi dari pakan yang dikonsumsi tidak mencukupi untuk produksi susu. Akibatnya akan terjadi metabolisme lemak secara besar-besaran. Metabolisme lemak akan menghasilkan badan keton, dan berakibat sapi menderita ketosis.

Nilai BCS yang rendah juga bisa mengakibatkan berbagai macam resiko penyakit terutama penyakit metabolisme. Penyakit ini bisa timbul karena kurangnya nutrisi pada sapi perah. Salah satu penyakit yang sering terjadi adalah milk fever (hipokalsemia). Kasus hipokalsemia paling banyak terjadi pada awal kelahiran (Subronto 2004). Awal laktasi sapi perah akan menghasilkan kolostrum untuk anak sapi. Kolostrum ini mempunyai kandungan kalsium (Ca) sepuluh kali lipat dari susu biasa. Peningkatan kadar Ca yang disekresikan bersama kolostrum apabila tidak diimbangi dengan konsumsi pakan yang baik akan terjadi peningkatan mobilisasi Ca dari dalam tulang.

Sapi perah dengan nilai BCS 1.5 menandakan besarnya ketidakseimbangan energi antara pakan yang dikonsumsi dengan kebutuhan fisiologis tubuh. Kondisi seperti itu mengakibatkan sapi memiliki tingkat fertilitas dan kebuntingan rendah (Prabowo 2010)

Hubungan Pakan dengan BCS

Pakan yang digunakan di kawasan pengamatan terdiri dari hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan berupa rumput gajah, rumput lapang, jerami, daun pisang, dan daun kol. Pakan lain yang diberikan diantaranya konsentrat KPSBU, onggok dan ampas tahu. Komposisi nutrisi pakan sapi perah di desa Sukajaya KPSBU Lembang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 6 Bahan dan komposisi pakan di Sukajaya KPSBU Lembang

(24)

14

Menurut standard yang ditetapkan NRC (2001) kebutuhan energi yang harus dipenuhi pada kondisi lemak susu 3% dan tiap kg susu yg dihasilkan memerlukan TDN 0.282 kg, PK 77gr, kalsium 2.50 gr, pospor 1.70 gr. Menurut Sutardi (1983) jumlah pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan sapi perah itu sendiri. Besarnya kebutuhan sapi perah bergantung kepada produksi susu, keadaan tubuh, dan kondisi lingkungan. Kebutuhan bahan kering pakan sekitar 2.2%-3.5% dari bobot badan sapi perah.

Manajemen pakan harus diterapkan untuk mengurangi penurunan nilai BCS. Manajemen pemberian pakan dibagi menjadi empat periode (Ismail 2011). Periode pertama dilakukan pada awal laktasi (0-10 minggu) pasca melahirkan. periode ini dipusatkan untuk memperbaiki pola makan pada ternak. Hal utama yang dilakukan adalah meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi. Upaya yang dilakukan yaitu meningkatkan konsumsi hijauan dengan kualitas baik, pemberian konsentrat ditingkatkan sebanyak 0.5-0.75 kg setiap pemberian pakan, pemberian pakan secara konstan, serta meminimalkan tingkat stres.

Periode kedua dilakukan pada sepuluh minggu berikutnya (11-20 minggu) pasca melahirkan. Periode ini berfungsi untuk mempertahankan produksi susu pada puncak produksinya. Manajemen yang dilakukan yaitu dengan memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara teratur tiga kali sehari. Pemilihan bahan pakan berkualitas tinggi dan pemberian konsentrat bisa ditingkatkan dari fase awal laktasi. Pemberian pakan dengan komposisi konsentrat lebih besar dari hijauan maka dapat beresiko terjadinya ketosis.

Periode ketiga berada pada fase akhir laktasi (21-30 minggu). Pada fase ini produksi susu akan mengalami penurunan, kebutuhan energi yang keluar untuk produksi sedikit, sehingga energi yang lebih digunakan untuk meningkatkan bobot badan dan peningkatan BCS. Hal yang dilakukan adalah pemberian pakan konsentrat dan hijaun secara teratur dalam jumlah cukup.

Periode keempat barada pada fase kering kandang (45-60 hari) sebelum melahirkan selanjutnya. Manajemen pakan ditujukan untuk meminimalkan problem metabolik sesaat setelah melahirkan dan meningkatkan produksi susu pada fase laktasi berikutnya. Sapi pada fase ini, tidak boleh mengalami obesitas dan kondisi terlalu kurus. Pemberian pakan pada fase ini sangat spesifik yang tujuannya untuk pertumbuhan fetus dan pertambahan bobot badan yang tidak tergantikan ada fase ketiga. Konsumsi pakan dengan pemberian bahan kering (BK) mendekati 2% bobot badan (BB). Hijauan yang diberikan diusahakan lebih dari 1% BB dan konsentrat diberikan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan ransum harian.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Nilai BCS

Parasit

(25)

15 Parasit hidup pada saluran pencernaan dan bertahan hidup dengan menghisap darah dari inangnya yang mampu mengakibatkan perdarahan. Akibat dari infeksi parasit bisa terjadi hipoproteinemia dan oedema usus sehingga penyerapan sari makanan terganggu. Kondisi seperti ini menyebabkan nutrisi dari pakan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh ternak. Adanya parasit tubuh seperti cacing, mengakibatkan pakan yang dikonsumsi tidak diserap sempurna, sehingga kondisi tubuh sapi terlihat kurus. Kondisi tubuh yang kurus menandakan nilai BCS sapi perah semakin kecil.

Menurut Subronto et al. (2004) tindakan efektif dalam pencegahan dan pengobatan kasus parasit dilakukan dengan cara memutus atau mengganggu daur hidup parasit. Tindakan yang bisa dilakukan berupa melakukan sanitasi untuk mematikan stadium-stadium parasit dengan kebersihan. Kandang harus selalu dalam keadaan kering, perbaikan kualitas pakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh hewan ternak sehingga mengurangi pengaruh infeksi dari parasit. Tindakan terakhir dilakukan dengan pengobatan. Obat yang digunakan adalah jenis anthelmentik yang memiliki daya bunuh parasit tinggi dan aman untuk hewan ternak.

Kondisi dan struktur kandang

Usaha peternakan sapi perah, fungsi kandang cukup berpengaruh dalam keberhasilan dan produksi susu secara optimal. Kandang yang baik memberikan kenyaman pada sapi perah untuk menghasilkan susu secara optimal. Kandang berfungsi untuk melindungi hewan ternak dari gangguan luar yang menyebabkan penurunan produksi. Oleh karena itu sapi harus selalu diawasi dan dilindungi dari aspek-aspek lingkungan dan cuaca sehingga berproduksi maksimal (Wahiduddin 2009). Gangguan cuaca meningkatkan tingkat stres pada hewan ternak. Kondisi stres pada sapi, akan menjadikan sapi semakin susah dikendalikan, mudah ketakutan, dan tidak mau makan. Penurunan jumlah pakan yang dikonsumsi saat laktasi menyebabkan metabolism lemak tubuh semakin meningkat. Kondisi seperti ini menyebabkan nilai BCS sapi akan semakin turun.

(26)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Body condition score sapi perah FH di desa Sukajaya Lembang memiliki nilai BCS yang sesuai dengan rekomendasi dari Penstate (2004). Nilai BCS awal laktasi 3.106+0.354, penurunan BCS paling besar terjadi pada puncak laktasi yaitu pada 31-100 hari pasca melahirkan yaitu 2.981+0.268. Nilai BCS naik pada fase pertengahan laktasi 3.035+0.235, dan fase akhir laktasi 3.250+0.371. Body condition score paling tinggi berada pada fase kering kandang yaitu 3.500+0.315. Nilai BCS yang diperoleh menindikasikan bahwa manajemen pemeliharaan sapi perah di desa Sukajaya dilakukan dengan baik.

Saran

Perlu diadakan studi kasus pada tempat dan lokasi yang berbeda dengan jumlah sampel yang lebih banyak. Perlu dilakukan studi analisis pakan yang digunakan di peternakan masyarakat.Masyarakat diberikan pengarahan untuk melakukan penilaian dan evaluasi BCS sehingga bisa mengukur jumlah pakan yang harus diberikan pada sapi perah.

DAFTAR PUSTAKA

Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA, Appleman RD. 1985. Dairy Cattle: Principle, Practice, Problem, and Profits. 3rd Edition.Philadelphia (US). Lea ang Febringer

Blakely J, Bade DV. 1991. Ilmu Peternakan.Yogyakarta (ID): UGM pr.

Broster WH, Broster VJ. 1998. Review article: Body Score of Dairy cow. J Dairy Sci. 65: 155-173

Cappuco AV, Akers RM, Smith JJ. 1997. Mammary growth in Holstein cows during the dry periode: Quantification of nucleic acids and histology. J Dairy Sci. 80: 477-487

Coffey MP, Simm G, Hill WG, Brotherstone S. 2003. Genetic evaluation of dairy bulls for daughter energy balance profiles using linier types scores and body condition score analyzed using random regression. J Dairy Scy. 86: 2205-2212.

Domeq JJ, Skidmore AL, Lloid JW, Kaneene JB. 1997. Relationship between body condition score and milk yield in a large dairy herd of heigh yielding Holstein cows. J Dairy Sci. 80: 101-112.

Edmonson AJ, Lean IJ, Weaver LD, Loid JW, Farver T, Webster G. 1989. A Body Condition Scoring Chart for Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 72: 68-70.

(27)

17 Ensminger ME, Tyler HD. 2006. Dairy Cattle Science 4th Edition.Upper Saddle

River, New Jersey (US) : Perason Education Inc.

Ernawati. 2000. Laporan Hasil Kegiatan Gelar Teknologi Manajemen usaha Pemeliharaan Sapi Perah Rakyat. Badan Penelitian dan Pengembangan BPTP Ungaran.

Gallo L, Carnier P, Cassandro M, Mantovani R, Bailoni L, Bittante G. 1996. Change in Body Condition Score of Holstein cows as Affected by parity and mature equivalent milk yield. J. Dairy Sci. 79:1009-1015.

Harjosubroto W, Astuti JM. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta (ID):

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy cattle. 7th Revised Edition. National Academy Press, Washington D.C.

Otto RL, Ferguson JD, Fox DG, Sniffen CJ. 1991. Relationship between body condition score and compotition of ninth to eleven rib tissue in Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 74:852-861

Pammusureng. 2009. Penilaian kondisi tubuh dan pengukuran pertumbuhan pedet & dara. Bahan presentasi KPSBU Lembang.

PenState.2004. Begginer’s guide to Body Conditions Scoring. A Tool For Dairy Herd management. Web presentation.

Prabowo. 2010. Body Condition Scoring (BCS) dan Status Reproduksi. Bahan ajar kuliah. Bagian Reproduksi dan Obstetri FKH UGM. Yogyakarta. Rustamadji B. 2004. Dairy Science I. [internet]. [diunduh pada 2013 Mei 13].

Tersedia pada http://sukarno.web.ugm.ac.id/index.php/.

Schmidith GH, Vleck LDV. 1974. Principle of Dairy Science.San Fransisco (US): W.H Freeman and company

Schmidith GH, Vleck LDV, Hutjens. 1988. Principle of Dairy Science. Second edition. Prentice Hall. EnglewoodCliffs, New Jersey.

Setiadi B. 2001. Beternak Sapi dan masalahnya. Semarang (ID): Aneka Ilmu. Siregar SB. 2003. Peluang dan Tantangan Peningkatan Produksi Susu Nasional

Wartazoa. 48-55.

Siregar SB. 2008. Penggemukan Sapi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Stevenson JS. 2001. Reproduktive management of dairy cow in hight milk producing herd. J Dairy Sci. 84: E128-E143.

Subronto dan Tjahajati I. 2004.Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): UGM pr.

Sudono A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

(28)

18

Sutardi T. 1981. Sapi perah dan pemberian makanannya. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Taylor RE, Field TG. 2004. Scientific farm Animal Production. An Introduction to animal science.Upper Saddle River, New Jersey (US): Perason Prentice hall.

Wahiduddin. 2009. Manajemen pengelolaan sapi perah [internet]. [ diunduh pada 2013 juni 26]. Tersedia padahttp://duniaveteriner.com/2009/05/manajemen-pengelolaan-sapi-perah/.

Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika.Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama Wright LA, Russel AJF, Whyte TK, McBean AJ, McMillen. 1987. Effects of

body condition, food intake and temporary calf separation on duration of the post-partum anoestrus period and associated LH, FSH and prolaktin concentration in beef cows. Anim. Prod. 45: 395-402.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Januari 1990 di desa Sugihrejo RT 04 RW 05 Kecamatan Gabus Kabupaten Pati. Penulis terlahir sebagai anak keempat dari pasangan Sugito dan Suwasih. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 3 Pati dan pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Gambar

Gambar 1 Hubungan antara produksi susu, jumlah pakan dan nilai BCS (Chekee
Gambar 2 Ilustrasi titik orientasi BCS (Pammusureng 2009)
Gambar 3  Ilustrasi penilaian BCS (Pammusureng 2009)
Tabel 3  NilaiBCS Sapi Perah berdasarkan bulan laktasi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi (PUS) tidak menggunakan alat kontrasepsi yang diteliti di Desa Sigulang Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara

2) Silangkan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang sama dengan arah berlawanan letakkan pada gigi bagian atas dan bawah di sudut mulut pasien. 3) Lebarkan/jauhkan

Sir John Hershel, salah satu dari astronomer besar di Inggris, dan orang yang dianggap oleh banyak orang sebagai bapak astronomi modern, melaporkan bahwa ia telah

Keinginan-keinginan ini di dalam novel misteri adalah motif kasus, motif juga merupakan elemen yang penting dalam novel misteri, karena motif adalah alasan dari

Resis- tansi akan timbul karena tidak ada sarana untuk melakukan hal itu, suplemen hanya melengkapi sementara itu tidak ada suatu bentuk penerbitan/pengumuman resmi

Hal ini seperti yang telah disebutkan pada bab Pelaksanaan Kuliah, bahwa fokus dari pembahasan adalah pada makalah atau hasil penelitian, dan bukan pada topik yang ingin

pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil

Ekspresi active caspase-3 pada kelompok I didapatkan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok II yang diinjeksi MT SPM yang menunjukkan kemampuan media