• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kejadian Cemaran Aflatoksin B1 Pada Bahan Baku Pakan Hewan Yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Prio

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Kejadian Cemaran Aflatoksin B1 Pada Bahan Baku Pakan Hewan Yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Prio"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KEJADIAN CEMARAN AFLATOKSIN B1 PADA

BAHAN BAKU PAKAN HEWAN YANG DIIMPOR MELALUI

PELABUHAN TANJUNG PRIOK

GALUH ARDHANARICWARI HANUM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Kejadian Cemaran Aflatoksin B1 Pada Bahan Baku Pakan Hewan Yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

GALUH ARDHANARICWARI HANUM. Tingkat Kejadian Cemaran Aflatoksin B1 pada Bahan Baku Pakan Hewan yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan DENNY WIDAYA LUKMAN.

Aflatoksin B1 merupakan toksin hasil metabolisme alami dari Aspergillus sp. yang banyak mengontaminasi makanan dan pakan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia dan hewan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung tingkat kejadian cemaran aflatoksin B1pada bahan baku pakan hewan berupa meat bone meal (MBM), poultry by product meal (PPM), feather meal (FM), dan hydrolyzed feather meal (HFM) yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. serta untuk menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam rangka menetapkan kebijakan pengujian cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan impor. Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lintas seksional. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel bahan baku pakan hewan secara acak berstrata di tempat pemasukan Pelabuhan Tanjung Priok dan Instalasi Karantina Produk Hewan (IKPH). Besaran sampel dihitung dengan menggunakan rumus ukuran contoh n = 4pq/L2 dengan keterangan n = ukuran sampel, p = prevalensi (0.3), q = 1-p, dan L = galat/eror (10%), dengan tingkat kepercayaan 95%. Besaran sampel yang diperoleh adalah 84 sampel. Uji tapis (screening test) terhadap cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan dilaksanakan dengan menggunakan metode enzymed linked immunosorbent assay (ELISA). Sampel dengan hasil positif pada uji tapis, dikonfirmasi dengan metode high performance liquid chromatography (HPLC).

Hasil analisis menunjukkan bahwa empat dari 84 (4.76%) sampel menunjukkan hasil positif pada pengujian dengan metode ELISA kompetitif dan HPLC. Tingkat kejadian cemaran aflatoksin B1 pada MBM sebesar 3.846% (2/52), dan PPM 7.692% (2/26). Tingkat kejadian cemaran aflatoksin B1 pada PPM lebih tinggi bila dibandingkan dengan MBM, FM, dan HFM yang kemungkinan besar diakibatkan karena kandungan metionin dan triptopan PPM lebih tinggi dari ketiga bahan baku pakan hewan lainnya. Metionin dan triptopan merupakan asam amino yang memacu produksi aflatoksin oleh A,. flavus dan A. parasiticus Konsentrasi cemaran aflatoksin B1 pada sampel yang diperiksa dengan metode ELISA kompetitif berkisar antara 4.380 sampai 5.490 ppb, sedangkan konsentrasi cemaran aflatoksin B1 dengan metode HPLC berkisar antara 0.17 sampai 3.71 ppb. Hasil analisis menunjukkan sampel yang diperiksa mengandung cemaran aflatoksin B1 dengan konsentrasi jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh SNI 7652.3:2011 (40 ppb) dan EFSA (20 ppb). Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak ada korelasi antara cemaran AFB1 dengan lamanya waktu timbun.

(5)

SUMMARY

GALUH ARDHANARICWARI HANUM. Aflatoksin B1 Contamination Prevalence in Animal Feed Raw Material Imported Through Tanjung Priok Seaport. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and DENNY WIDAYA LUKMAN.

Aflatoxin B1 is a toxin resulted from natural metabolism of Aspergillus sp. which widely contaminates food and feed and causes disturbance in both human and animal health. This study was aimed to calculate the prevalence of aflatoxin B1contamination in animal feed raw materials in the forms of meat bone meal (MBM), poultry by product meal (PPM), feather meal (FM), and hydrolized feather meal (HFM) which were imported through Tanjung Priok Port, Jakarta, and to provide scientific data and information for Agricultural Quarantine in order to establish the testing policy of aflatoxin B1 contamination in imported animal feed raw material. The study used a cross-sectional study. Sampling was performed by collecting samples of animal feed raw materials randomly stratified at the entry point of Tanjung Priok Port and Animal Product Quarantine Instalation. The sample sizes were calculated by using formula n = 4pq/L2 with the following captions: n = sample size, p = prevalence (0.3), q = 1-p, and L = eror (10%), with confidence rate of 95%. The sample size obtained was 84 samples. Screening test on aflatoxin B1 contamination on animal feed raw materials was conducted by using enzymed linked immunosorbent assay (ELISA) method. Samples with the positive results in ELISA, were then confirmed with high performance liquid chromatography (HPLC) method.

The analysis showed that four out of 84 samples (4.76%) demonstrated positive results in the test with competitive ELISA and HPLC methods. The prevalence rate of aflatoxin B1 contamination in MBM and PPM reached 3.846% (2/52) and 7.692% (2/26), respectively. The reason that prevalence rate of aflatoxin B1 contamination in PPM was higher than one in MBM, FM, and HFM was probably because methionine and tryptophan content in PPM are higher than the other three animal feed raw materials. It is widely known that methionine and tryptophan are amino acids which trigger the production of aflatoxin by A. flavus dan A. parasiticus. The concentration of aflatoxin B1 contamination on samples tested with competitive ELISA ranged between 4.380 and 5.490 ppb, while that of aflatoxin B1 contamination identified with HPLC method varied from 0.17 to 3.71 ppb. The results of analysis revealed that the tested samples contained aflatoxin B1 contamination with concentration significantly far below the standard determined by SNI 7652.3:2011 (40 ppb) and EFSA (20 ppb). Furthermore, it was shown that there was no correlation between AFB1 contamination and the storage period.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

TINGKAT KEJADIAN CEMARAN AFLATOKSIN B1 PADA

BAHAN BAKU PAKAN HEWAN YANG DIIMPOR MELALUI

PELABUHAN TANJUNG PRIOK

GALUH ARDHANARICWARI HANUM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Tingkat Kejadian Cemaran Aflatoksin B1 pada Bahan Baku Pakan Hewan yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok.

Nama : Galuh Ardhanaricwari Hanum NIM : B251140051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr drh Trioso Purnawarman, MSi Ketua

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah cemaran aflatoksin B1 pada meat bone meal, poultry by product meal, feather meal, dan hydrolyzed feather meal sebagai bahan baku pakan hewan, dengan judul Tingkat Kejadian Cemaran Aflatoksin B1 pada Bahan Baku Pakan Hewan yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr drh Trioso Purnawarman, MSi dan Bapak Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku dosen pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB serta Hj Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH-IPB dan seluruh staf Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB.

Selanjutnya, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BP2SDM) Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa, serta kepada Bapak Drh Sriyanto, MSi PhD sebagai Kepala Bidang Karantina Hewan beserta seluruh staf Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dan seluruh staf Laboratorium Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok yang telah membantu selama pengumpulan data dan sampel serta pengujian laboratorium. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk rekan-rekan mahasiswa pascasarjana S2 dan S3 KMV angkatan 2013, 2014 dan 2015 baik program khusus maupun reguler yang telah bersama-sama dalam menempuh pendidikan di kampus FKH IPB tercinta.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa dan mama tercinta, suami terkasih, anak-anakku M. Qahtan Qushay Al Ghaffarri dan M. Akram Faraj Al Ishfahani, serta kakak-kakak tersayang atas segala do’a, kasih sayang dan dorongannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Aamiin.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN

Bahan Baku Pakan Hewan Meat Bone Meal (MBM)

Poultry by Product Meal (PPM)

Feather Meal (FM) dan Hydrolyzed Poultry Feather Meal (HFM) Mikotoksin

Aflatoksin

Biotransformasi Aflatoksin B1

Dampak Aflatoksin B1 terhadap Kesehatan Manusia dan Hewan Residu Aflatoksin B1 pada Beberapa Spesies Hewan

Metode Pengujian Residu Aflatoksin B1 pada Bahan Baku Pakan Enzyme-linked immunosorbent assay

Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

16 16 17

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 23

(13)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi nutrisi bahan baku pakan hewan per 100 gram 4 2 Rincian besaran sampel per negara berdasarkan volume impor bahan

baku pakan hewan tahun 2014 11

3 4.

Hasil pengujian aflatoksin B1 dengan metode ELISA kompetitif Hasil pengujian aflatoksin B1 dengan metode HPLC

14 14 5.

6.

Hasil pengujian aflatoksin B1 dengan metode ELISA kompetitif dan HPLC

Korelasi waktu timbun dengan cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan

15 16

DAFTAR GAMBAR

1 Proses dasar pengolahan bahan baku pakan hewan 4

2 Koloni A. flavuspada agar Czapek’s 6

3 Gambaran mikroskopis A. flavus 6

4. Struktur kimia aflatoksin B1, G1, M1, B2, G2, dan M2 6

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengujian terhadap seluruh sampel bahan baku pakan hewan impor

dengan metode ELISA kompetitif danHPLC 23

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan asal hewan merupakan sumber protein yang sangat bermanfaat bagi manusia, namun dapat berbahaya bagi kesehatan bila tidak terjamin keamanannya. Beberapa bahaya yang mungkin timbul dari pangan asal hewan seperti cemaran mikroba, residu pestisida, antibiotik, mikotoksin, dan logam berat (Bahri et al. 2006).

Cemaran mikotoksin pada pakan hewan adalah persoalan yang cukup serius di seluruh dunia, karena menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi. Cemaran mikotoksin pada pakan hewan dapat menyebabkan penurunan tingkat produksi dan kesehatan hewan, selain itu residu mikotoksin pada pangan asal hewan juga berakibat negatif terhadap kesehatan manusia (Zaki et al. 2012). Aflatoksin merupakan jenis mikotoksin yang banyak ditemukan pada negara beriklim tropis dan subtropis yang suhu dan kelembabannya sangat sesuai untuk pertumbuhan dan produksi toksin oleh kapang (Charoenpornsook dan Kavisarasai 2014). Salah satu jenis aflatoksin yang diketahui banyak mencemari pakan hewan di seluruh dunia adalah aflatoksin B1 (AFB1). Toksin ini merupakan metabolit alami dari Aspergillus sp. terutama Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Williams et al. 2004; Zaki et al. 2012; Charoenpornsook dan Kavisarasai 2014; EHSO 2015).

Toksisitas AFB1 paling tinggi di antara jenis aflatoksin yang lain (EHSO 2015). AFB1 bersifat mutagenik, karsinogenik, teratogenik, dan imunosupresif (Charoenpornsook dan Kavisarasai 2014). Paparan AFB1 beserta infeksi virus hepatitis dapat menyebabkan hepatocellular carcinoma (HCC). Cemaran AFB1 pada pakan hewan akan menyebabkan hadirnya residu aflatoksin M1 pada susu dan produk susu sebagai hasil dari metabolisme AFB1. AFB1 dan AFM1 resisten terhadap pemanasan, pasteurisasi, dan sterilisasi (Cvetnic dan pepeljnjak 2007; Zain 2010; Charoenpornsook dan Kavisarasai 2014). Paparan AFB1 pada manusia dapat disebabkan karena cemaran AFB1 pada makanan, residu AFB1 pada bahan pangan, dan hasil metabolisme AFB1 pada produk hewan seperti daging, susu, dan telur (Zain 2011; Charoenpornsook dan Kavisarasai 2014).

Tingkat kejadian cemaran aflatoksin B1 pada pakan ayam komersial di Jawa Timur mencapai 100% (Bahri et al. 2005). Konsentrasi aflatoksin tertinggi pada penelitian ini 131.3 µg/kg, yang berarti lebih tinggi dari batas maksimum kandungan aflatoksin menurut SNI 7652.3:2011 tentang pakan bibit induk (parent stock) ayam ras tipe pedaging yaitu 40 µg/kg (BSN 2011).

Meat bone meal (MBM), poultry by product meal (PPM), dan feather meal (FM) merupakan bahan baku pakan hewan yang mengandung protein dan asam amino yang sangat penting untuk pertumbuhan dan produktifitas hewan. Harga terjangkau serta kandungan nutrisi yang baik membuat MBM, PPM, FM, dan HFM dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan hewan (Hendriks et al. 2002;

King’ori 2012; Gumus dan Baki 2013).

(15)

Australia, Kanada, Selandia Baru, Amerika Serikat, China, Jerman, dan Saudi Arabia. Volume impor total bahan baku pakan hewan dari berbagai negara yang melalui Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2014 sebesar 162 739 620 kg (BBKPTP 2015).

Suhu dan kelembaban selama proses pengangkutan dan penumpukan di pelabuhan sesuai untuk Aspergillus sp. tumbuh dan memproduksi aflatoksin. Sampai saat ini belum ada laporan mengenai cemaran aflatoksin terutama aflatoksin B1 yang memiliki toksisitas paling tinggi pada bahan baku pakan hewan impor di Indonesia, sehingga penelitian ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan. Pengujian cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan impor perlu dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan bahan pangan sebagaimana terdapat pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, karena berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan bagi konsumen.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung tingkat kejadian cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan berupa MBM, PPM, FM, dan HFM yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta serta untuk menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam rangka menetapkan kebijakan pengujian cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan impor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai tingkat kejadian cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan impor sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan maupun penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan importasi bahan baku pakan hewan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Baku Pakan Hewan

(16)

industri peternakan, perikanan, dan juga pakan hewan kesayangan (Pearl 2005; Forster dan Dominy 2006; Jayathilakan et al.2011).

Meat bone meal (MBM)

MBM merupakan salah satu bahan baku pakan babi dan unggas yang berfungsi sebagai sumber protein, energi, fosfor, dan berbagai mineral lainnya. Kualitas nutrisi dari MBM sangat tergantung dari bahan baku dan proses pengolahan. Campuran MBM pada pakan unggas diketahui akan meningkatkan kualitas kulit telur (Bozkurt et al. 2004; Hendriks et al. 2002). MBM dengan kualitas baik mengandung residu pepsin yang tidak tercerna maksimal sebesar 12%. MBM dapat dipergunakan pada peternakan, industri perunggasan, dan perikanan, berdasarkan peraturan Food and Drug Administration (FDA) hanya hewan non-ruminansia yang diperbolehkan mengonsumsi pakan yang mengandung jaringan hewan ruminansia (Meeker dan Hamilton 2006; Meeker 2009).

Poultry by product meal (PPM)

PPM merupakan hasil buangan penyembelihan unggas seperti leher, kaki, telur yang belum berkembang, dan usus. PPM dengan kualitas baik harus mengandung sedikit protein kasar, sedikit serat kasar, rendah fosfor, dan tinggi kalsium. Kadar kalsium dalam PPM tidak boleh lebih dari 2.2 kali kadar fosfor. Kualitas PPM ditentukan berdasarkan kandungan asam amino, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral, serta palatabilitasnya. PPM umumnya digunakan pada industri pakan hewan kesayangan dan perikanan (Meeker dan Hamilton 2006; Meeker 2009).

PPM merupakan sumber protein yang ideal sebagai pengganti tepung ikan. Pakan ikan yang dicampur dengan PPM terbukti tidak menimbulkan gangguan pertumbuhan ikan. Saat ini, PPM banyak digunakan sebagai pengganti tepung ikan pada pakan salmon laut, ikan trout, dan udang di Autralia, Kanada, Chili, dan Meksiko. (Badillo et al. 2014).

Feather meal (FM) dan hydrolyzed poultry feather meal (HFM)

FM dan HFM diolah dari bulu unggas, yang bebas dari bahan tambahan. Metode pengolahan HFM sedikit berbeda dengan pengolahan FM, HFM diolah dengan proses hidrolisasi protein yang akan memecah ikatan keratin dari bulu yang menyebabkan peningkatan palatabilitas produk. FM dan HFM merupakan sumber asam amino (sistin) yang baik bagi ternak (Meeker 2009). FM dan HFM dengan kualitas baik mengandung protein yang akan tercerna di dalam rumen sebesar 64-70% (Meeker 2009).

(17)

Kandungan protein pada MBM, PPM, FM, dan HFM sangat penting bagi hewan ternak, unggas, ikan, serta hewan kesayangan. Selain protein, produk ini juga mengandung asam amino, lemak, asam lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik untuk pertumbuhan hewan (Meeker 2009). Komposisi nutrisi dari MBM, PPM, FM, dan HFM selengkapnya tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi nutrisi bahan baku pakan hewan per 100 gram (Meeker 2009)

Cemaran kapang pada pakan hewan mempengaruhi kualitas pakan, baik secara fisik maupun kualitas nutrisi. Kapang tumbuh dengan memanfaatkan nutrisi yang tersedia pada pakan hewan, dan akan menghasilkan mikotoksin yang Gambar 1 Proses dasar pengolahan bahan baku pakan hewan (Meeker 2009;

(18)

berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan sebagai hasil metabolismenya (Grece et al. 2014).

Mikotoksin

Kapang dapat menghasilkan mikotoksin selama proses produksi maupun penyimpanan pakan hewan. Beberapa hal yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi mikotoksin oleh kapang di antaranya : a) suhu. Suhu optimal untuk Aspergillus sp. tumbuh dan memproduksi toksin berkisar antara 30-40 oC, sedangkan untuk Penicillium sp. berkisar antara 25–30 oC; b) aktifitas air. Aktifitas air merupakan jumlah air bebas yang tersedia untuk pertumbuhan kapang, yang berkisar antara 0.61–0.91. Aktifitas air yang paling baik untuk pertumbuhan kapang <0.75. c) pH. Pada umumnya, pertumbuhan kapang tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan pH, namun pH medium (4-6) sangat baik untuk pertumbuhan kapang dan produksi mikotoksin. d) oksigen. Oksigen sangat penting untuk pertumbuhan kapang, kehadiran oksigen juga dapat meningkatkan produksi mikotoksin oleh kapang (Martins et al. 2000; Talanca dan Mas’ud 2009; Zaki et al. 2012; Davari 2014;).

Aflatoksin

Aflatoksin pertama kali diisolasi dan dikarakterisasi pada Turkey X Disease yang menyebabkan kematian lebih dari 100 000 ekor kalkun pada tahun 1960. Penyakit ini tidak hanya menyerang kalkun, namun juga bebek dan burung. (Reddy dan Waliyar 2000; Kensler et al. 2010; Zain 2011). Toksin ini merupakan salah satu jenis mikotoksin yang telah banyak dikenal menyebabkan penyakit hewan selama bertahun-tahun. Jenis kapang yang paling banyak memproduksi mikotoksin ini adalah Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Zaki et al. 2012). Genus Aspergillus terdiri dari 185 spesies (Okun et al. 2015), secara umum spesies-spesies ini dibedakan berdasarkan karakteristik konidiospora (Rodrigues et al. 2007). Spesies Aspergillus golongan flavus dikarakterisasi berdasarkan kemampuannya memproduksi metabolit sekunder flavin termasuk aflatoksin (Okun et al. 2015). Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan beberapa jenis lain seperti Aspergillus nomius, Aspergillus tamarii, Aspergillus pseudotamarii, Aspergillus minisclerotigenes, dan Aspergillus bombycis merupakan spesies Aspergillus yang menghasilkan aflatoksin (EFSA 2004; Rodrigues et al. 2007; Okun et al. 2015).

(19)

Gambar 2 Koloni A. flavus pada agar

Czapek’s (Hedayati et al. 2007)

Gambar 3 Gambaran

mikroskopis A. flavus (Hedayati et al. 2007) Aflatoksin dibedakan menjadi dua grup, yaitu B (B1 dan B2) dan G (G1 dan G2). Penggolongan ini berdasarkan pendar fluoresen biru atau hijau yang dipancarkan di bawah sinar UV. Aflatoksin berbentuk kristal tidak berwarna atau berwarna kuning pucat. Pendar hijau kekuningan dipancarkan aflatoksin G dan pendar biru dipancarkan aflatoksin B. Selain dari empat jenis aflatoksin utama terdapat berbagai jenis aflatoksin lainnya (misalnya P1, Q1, B2a, dan G2a). Aflatoksin M merupakan hasil metabolisme aflatoksin B yang memancarkan pendar biru keunguan (Kensler et al. 2010; Zain 2011; Feddern et al. 2013). Aflatoksin sedikit larut dalam kloroform, metanol, dan dimetil sulfoksida, tidak stabil di bawah sinar UV, pH ekstrim lebih rendah dari 3 atau lebih tinggi dari 10, aflatoksin juga terdegradasi dengan amonia atau sodium hipoklorid (Feddern et al. 2013). Toksin ini sangat toksik, imunosupresif, dan karsinogenik (Cvetnic dan Pepeljnjak 2007; Rodrigues et al. 2007; Hoeltz et al. 2012; Tosun dan Arslan 2013), serta dapat menyebabkan hepatotoksik, imunotoksik, teratogenik, bahkan kematian (Davari et al. 2014).

Struktur kimia aflatoksin (Gambar 4) sangat stabil dan resisten terhadap degradasi. Keberhasilan perlakuan untuk mengurangi konsentrasi aflatoksin sangat tergantung dari kandungan protein pada bahan yang tercemar, pH, suhu, dan lama perlakuan. Perlakuan yang umum dilakukan untuk mengurangi konsentrasi aflatoksin seperti membuang bagian yang rusak dan penggilingan (Feddern et al. 2013).

(20)

Seluruh spesies A. parasiticus memproduksi aflatoksin B1, B2, G1, dan G2, namun hanya sekitar 40-50% dari spesies A. flavus yang mampu memproduksi toksin dengan jenis yang sama (Davari et al. 2014). Empat jenis asam amino yang berpengaruh terhadap produksi aflatoksin, diantaranya asparagine, prolin, triptopan, dan metionin (Payne dan Hagler 1983).

Biotransformasi Aflatoksin B1

Aflatoxin B1 merupakan bentuk awal dari aflatoksin M1. Tingkat kejadian cemaran AFB1 pada pakan hewan di seluruh dunia cukup tinggi, sehingga banyak sekali ditemukan residu AFM1 pada susu (Reddy dan Waliyar 2000; Ayejuyo et al. 2011; Volkel et al. 2011; Feddern et al. 2013; Charoenpornsook dan Kavisarasai 2014). AFM1 disekresikan pada susu 12 sampai 24 jam setelah mengonsumsi AFB1. Mirip dengan AFB1, AFM1 juga sangat toksik tahan terhadap panas, pasteurisasi, dan sterilisasi (Charoenpornsook dan Kavisarasai 2014). Pada ruminansia, sebanyak 0.5-5% dari AFB1 yang dikonsumsi akan mengalami biotransformasi di hati menjadi AFM1 (Feddern et al. 2013). Rata-rata konsentrasi AFM1 setelah dimetabolisme di hati sebesar 2% dari konsentrasi AFB1 yang telah dikonsumsi (EFSA 2004).

Biotransformasi ini terjadi karena sitokrom P450 mengubah AFB1 menjadi AFM1. AFB1 juga dapat dimetabolisme melalui reaksi reduksi enzim sitosol NADPH-dependent yang menghasilkan aflatoksikol. Reaksi ini bersifat reversible, aflatoksikol juga menunjukkan toksisitas dan potensi mutagenik yang sama berbahayanya dengan AFB1. Pada mammalia, biotransformasi AFB1 juga mengakibatkan terbentuknya AFB1-epoksida yang sangat karsinogen (Volkel et al. 2011).

Dampak Aflatoksin B1 terhadap Kesehatan Manusia dan Hewan

Penelitian awal mengenai efek toksik aflatoksin pada hewan dilakukan terhadap bebek, kelinci, ikan, dan tikus. Cemaran aflatoksin cukup banyak menimbulkan kerugian di bidang pertanian dan peternakan dan pada akhirnya menimbulkan kerugian secara ekonomis, sebagai contoh cemaran aflatoksin pada pakan ayam menyebabkan kematian, imunosupresif, serta pertumbuhan yang terhambat (Fakruddin et al. 2015).

(21)

pada jaringan anak penderita kwashiorkor dan sindrom reye’s dengan gejala berupa ensepalopati dan deteriorasi visceral sebagai hasil dari pembesaran hati dan ginjal serta edema serebral (Zain 2011).

AFB1 merupakan jenis aflatoksin yang paling toksik, bersifat karsinogenik dan diklasifikasikan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) sebagai agen karsinogenik golongan 1 (Wild dan Turner 2002; Zain 2011; Ayejuyo et al. 2011; Hoeltz et al. 2012; Feddern et al. 2013; Lai et al.2014). AFB1 menyebabkan nekrosis hati pada manusia, studi epidemiologi menunjukkan paparan kronis AFB1 yang disertai infeksi virus hepatitis B dapat menyebabkan hepatocellular carcinoma (HCC) (Smela et al. 2001; Freddern et al. 2013). Hasil metabolisme AFB1 oleh enzim di hati adalah 8,9-epoksida yang dapat berikatan dengan DNA serta serum albumin membentuk aflatoksin-N-7 guanin dan lisin. Ikatan AFB1 dengan DNA inilah yang merupakan titik kritis dalam aflatoxin karsinogenesis (Feddern et al. 2013).

Kerentanan terhadap AFB1 dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Hewan jantan lebih rentan dibandingkan dengan hewan betina, dan hewan yang berusia muda lebih rentan bila dibandingkan dengan hewan yang lebih tua. Gejala utama aflatoksikosis berupa pertumbuhan yang terhambat serta penurunan efisiensi pakan, yang terkadang disertai perubahan berupa rambut yang tampak kasar, dan diare sedang. Anemia dan hemoragi sub kutan juga merupakan gejala aflatoksikosis. Aflatoksikosis juga akan mempengaruhi reproduksi, seperti siklus estrus yang abnormal (terlalu pendek dan terlalu panjang), dan abortus. Gejala lain yang mungkin muncul berupa penurunan respon imun, prolaps rektal, anoreksia, ataxia, bahkan kematian. Cemaran aflatoksin pada pakan hewan berbahaya terhadap keamanan pangan akibat residu yang dihasilkan pada produk hewan seperti hati, susu, dan telur (Feddern et al. 2013).

Residu Aflatoksin B1 pada Beberapa Spesies Hewan

Tingkat kejadian cemaran AFB1 pada pakan hewan sangat penting, mengingat adanya residu pada produk hewan. Pada babi, residu AFB1 ditemukan pada jaringan hati, otot, ginjal, dan jaringan lemak. Penambahan bahan kimia seperti aluminosilikat pada pakan babi dapat mengurangi jumlah AFM1 dalam hati, ginjal, dan jaringan otot, sedangkan penurunan jumlah AFB1 hanya terjadi di jaringan otot, tetapi tidak di hati dan ginjal (Volkel et al. 2011).

Pada unggas residu AFB1 sebesar 0.10 mg (0.02%) ditemukan pada telur dari ayam petelur yang telah diberi pakan dengan kandungan AFB1 sebesar 500 mg selama tujuh minggu. Residu AFB1 pada hati burung puyuh sebesar 0.26%, sedangkan pada hati unggas lain residu AFB1 lebih rendah yaitu 0.017%. Cemaran AFB1 pada pakan unggas dapat diturunkan dengan mencampurkan mannaoligosakarida pada pakan (Volkel et al. 2011).

(22)

terus menerus juga akan menyebabkan akumulasi AFM1 pada susu (Volkel et al. 2011).

Metode Pengujian Aflatoksin B1 pada Pakan

Metode pengujian aflatoksin dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama: metode kromatografi (thin-layer chromatography (TLC), high-performance liquid chromatography (HPLC), dan gas chromatography (GC)), metode spektroskopik (Fluorescence Spectrophotometry, Frontier Infrared Spectroscopy), metode imunokimia (radioimmunoassay (RIA), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), immunoaffinity column assay (ICA), dan immunosensors) (Wacoo et al. 2014).

ELISA

Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Hasil dari ELISA adalah suatu warna sebagai hasil reaksi antara enzim dan substrat. Warna yang dihasilkan dapat diidentifikasi secara kasat mata dan dibaca secara kuantitatif menggunakan ELISA plate reader atau spektrofotometer kanal ganda. Pembacaan ini memungkinkan data diperoleh dengan cepat, dapat disimpan dan dianalisis secara statistik. Reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, waktu analisis yang cepat, dan dapat digunakan untuk mendeteksi sampel tunggal maupun banyak sekaligus merupakan keunggulan penggunaan ELISA sebagai teknik analisis (Rachmawati 2005; Aini 2012; FSSAI 2012)

HPLC

(23)

3

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilaksanakan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan di Instalasi Karantina Produk Hewan (IKPH). Sampel yang diambil berupa MBM, PPM, dan FM sebagai bahan baku pakan hewan yang masuk pada saat pengambilan sampel. Pengujian dengan metode ELISA dilaksanakan di laboratorium Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Jakarta, sedangkan pengujian dengan metode HPLC dilaksanakan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan (BPMSP) Bekasi. Pengambilan sampel dan pengujian dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai dengan Oktober 2015.

Alat dan Bahan

ELISA

Alat dan bahan yang digunakan adalah kit ELISA untuk aflatoksin B1 (Ridascreen® aflatoksin B1 30/15 (Art. No: R1211), larutan metanol, larutan substrat kromagen, microplate well polystyrene, sentrifus, vortex, pipet asteur, pipet graduate, mikropipet 20-200 µl dan 200-1000 µl serta ELISA reader (RIDA® SOFT Win Art. No Z9999).

HPLC

Alat dan bahan yang digunakan adalah standar aflatoksin B1 (Sigma Co. USA), sistem imunoafinitas Aflatest® (Vicam, Watertown USA), asetonitril, metanol, aquadest, dan NaCl. HPLC Shimadzu LC 20AD, kolom C18 Bondapak Waters Polaris 5, SPE Cartridge Bond Elut C 18 varian, mikropipet 10-100 µl dan 100-1000 µl, mikropipet syringe 50 µl, standar aflatoksin B1 (Vetranal, SIGMA), vortex dan sentrifus.

Rancangan Penelitian

(24)

dari berbagai negara diambil secara proporsional berdasarkan volume pada tahun 2014 (disajikan pada Tabel 2). Volume impor bahan baku pakan hewan dari berbagai negara melalui Pelabuhan Tanjung Priok pada Tahun 2014 sebesar 162 739 620 kg (BBKPTP 2015).

Uji tapis (screening test) terhadap cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan dilaksanakan dengan menggunakan metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Sampel dengan hasil positif pada uji tapis, dikonfirmasi dengan metode high performance liquid chromatography (HPLC). Metode ELISA dan HPLC ini merujuk pada metode yang dipublikasikan oleh Food Safety and Standards Authority of India (FSSAI 2012).

Metode Pengujian ELISA

Prinsip dasar dari uji ini adalah reaksi antigen-antibodi. Sumur mikrotiter terlebih dahulu dilapisi dengan aflatoksin B1-protein-konjugat (antigen yang telah dikenal) kemudian ditambahkan standar aflatoksin B1 atau larutan sampel (antigen yang tidak dikenal/aflatoksin B1 bebas) dan antibodi anti-aflatoksin B1 (antibodi primer). Aflatoksin B1 bebas dan aflatoksin B1-protein-konjugat bersaing untuk mengikat antibodi anti-aflatoksin B1 (kompetitif). Setiap antibodi yang tidak berikatan kemudian dihilangkan. Selanjutnya, antibodi sekunder berlabel enzim ditambahkan ke dalam sumur agar berikatan dengan antibodi primer. Setelah menghilangkan antibodi sekunder yang tidak berikatan, larutan substrat kromagen ditambahkan ke dalam sumur lalu diinkubasi. Ikatan konjugat enzim akan mengubah warna kromagen menjadi biru. Penambahan stop reagen menyebabkan perubahan warna dari biru menjadi kuning. Pengukuran dilakukan secara fotometrik pada panjang gelombang 450 nm. Penyerapan ini berbanding terbalik dengan konsentrasi aflatoksin B1 dalam sampel.

Preparasi Sampel dan Pembuatan Larutan Metanol 70%

Sampel disaring dengan saringan 20 mesh, kemudian ditimbang sebanyak ± 5 gram kemudian dimasukkan ke dalam erlenmyer. Metanol 70% disiapkan dengan cara mengencerkan metanol absolut dengan aquadest (perbandingan 7:3). Tabel 2 Rincian besaran sampel per negara berdasarkan volume impor bahan baku

pakan hewan tahun 2014

(25)

Pembuatan Ekstrak Larutan Sampel

Larutan metanol 70% ditambahkan sebanyak 25 ml ke dalam erlenmeyer yang berisi sampel. Sampel dihomogenkan dengan bantuan shaker selama 3 menit (kecepatan 200 rpm). Larutan yang telah dihomogenkan disaring dengan menggunakan kertas Whatman No. 1. Larutan filtrat dicampurkan dengan aquadest dengan perbandingan 1:1.

Pengujian Sampel

Microplate disiapkan untuk pengenceran dan coating plate ELISA. Larutan standar dan larutan filtrat ditambahkan sebanyak 50 µl per sumuran microplate. Enzim konjugat ditambahkan sebanyak 50 µl disetiap sumuran, kemudian ditambahkan 50 µl anti-aflatoxin antibody solution ke setiap sumuran. Larutan dicampur dengan memutar plate secara perlahan dan inkubasi selama 30 menit dalam suhu ruang. Cairan dalam sumuran dibuang dengan menekan microplate di atas kertas saring bersih untuk menghilangkan semua cairan dalam sumuran. Larutan pencuci ditambahkan sebanyak 250 µl pada setiap sumuran, kemudian semua cairan dibuang dan ulangi pencucian sebanyak dua kali. Setelah pencucian, larutan substrat sebanyak 100 µl ditambahkan ke setiap sumuran, pencampuran dilakukan dengan cara memutar plate secara perlahan. Plate kemudian diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang tanpa cahaya, kemudian stop solution ditambahkan sebanyak 100 µl ke setiap sumuran dan dihomogenkan dengan perlahan. Pembacaan pada ELISA reader dapat dilakukan 15 menit setelah pemberian stop solution.

Pembacaan Hasil

Kandungan aflatoksin B1 dalam sampel dibaca dengan ELISA Reader. Data diperoleh berdasarkan pembacaan absorbansi sampel atau standar pada ELISA Reader dengan panjang gelombang 450 nm.

Metode Pengujian HPLC

HPLC merupakan prosedur analisis pemisahan, identifikasi dan penghitungan suatu substansi dengan menggunakan kromatografi cair. Sistem HPLC terdiri dari unit pemompa, unit injeksi sampel, unit pemisahan (kolom), unit deteksi dan unit pemrosesan data.

Ekstraksi sampel

(26)

Hasil tampungannya berupa filtrate sebanyak 1 ml kemudian ditambah aquadest sebanyak 1 ml dan diinjeksikan ke sistem HPLC sebanyak 20-100 µl.

Tahap validasi

Tahap validasi dilakukan terhadap aflatoksin standar dengan identifikasi aflatoksin standar dalam spiking pakan dengan pengenceran sebesar 52 ppb untuk membuat kurva baku. Kurva baku dibuat dengan persamaan regresi linear Y = BX+A (Y = rasio peak area), B = slope, X = konsentrasi, dan A = intercept). Analisis hasil

Analisis hasil dilakukan secara kualitatif dengan melihat profil puncak dan kuantitatif dengan mengukur konsentrasi berdasarkan kurva baku. Pengaturan sistem HPLC dengan kecepatan alir 0.400 ml/menit, menggunakan fasa gerak asetonitril 15%, air 70%, dan methanol 15%, fasa diam (kolom) Shimpack ODS C18 diameter 5µm panjang 150 mm. Penjang gelombang eksitasi Y 360 nm, sedangkan panjang gelombang emisi Y 440 nm. Suhu sampel pada saat pembacaan 26.5 oC, dan suhu kolom 30 oC.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan gambar untuk menggambarkan cemaran aflatoksin B1. Analisis deskriptif adalah bidang statistik yang membicarakan cara atau metode pengumpulan, penyederhanaan dan penyajian data sehingga dapat memberikan informasi (Mattjik dan Sumertajaya 2000).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian cemaran aflatoksin pada bahan baku pakan hewan dengan menggunakan metode ELISA kompetitif terdapat delapan dari 84 (9.52%) sampel bahan baku pakan hewan yang diperiksa mengandung cemaran aflatoksin B1 dengan konsentrasi antara 4.380 sampai 5.490 ppb (tersaji pada Tabel 3). Nilai tersebut tidak melebihi batas maksimum cemaran yang ditetapkan oleh SNI 7652.3:2011 yakni 40 ppb

(27)

Tabel 3 Hasil pengujian aflatoksin B1 dengan metode ELISA kompetitif

meat bone meal, bpoultry by product meal, cfeather meal, dhydrolyzed feather meal,

e

Australia, fKanada, gSelandia Baru, hAmerika Serikat

Limit deteksi HPLC yang digunakan untuk mendeteksi cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan dalam penelitian ini adalah <0.08 ppb. Hasil pengujian menunjukkan bahwa empat dari delapan (50%) sampel bahan baku pakan hewan yang menunjukkan hasil positif dengan uji ELISA, juga positif dengan uji HPLC. Hasil pengujian HPLC selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan dengan

metode HPLC Hasil

MBM PPM

Australia Kanada Jumlah Amerika Serikat

(28)

menggunakan metode HPLC. Empat hasil positif dengan metode ELISA kompetitif ternyata menunjukkan hasil negatif dengan metode HPLC. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena pengaruh kandungan protein, pigmen, dan asam amino pada sampel, yang akan meningkatkan level toksin pada pengujian dengan metode ELISA kompetitif. (Rossi et al. 2012). Perbandingan hasil uji cemaran aflatoksin B1 terhadap bahan baku pakan hewan impor dengan menggunakan metode ELISA kompetitif dan HPLC disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengujian aflatoksin B1 dengan metode ELISA kompetitif dan HPLC

No Jenis bahan baku

pakan hewan Asal Negara

Jenis uji

ELISA kompetitif HPLC 1. Cemaran AFB1 pada bahan baku pakan hewan kemungkinan disebabkan karena tingkat kelembaban dan suhu pada saat pengangkutan serta penumpukan sesuai untuk Aspergillus sp. tumbuh dan menghasilkan toksin. Kontainer yang dipergunakan untuk mengangkut bahan baku pakan hewan tidak dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembaban. Suhu selama pengangkutan dan penumpukan berkisar antara 28-35 oC dengan kelembaban 80-92%, sangat sesuai untuk Aspergillus sp tumbuh dan menghasilkan toksin. Aspergillus sp. tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu optimal 25-32 oC, kelembaban 85%, dan kadar air 18% (Ellis et al.1993; Ellis et al.1994; Mousa et al.2013).

Tingkat Cemaran Aflatoksin B1 Berdasarkan Jenis Bahan Baku

Berdasarkan komoditas (Tabel 3), MBM merupakan komoditas yang paling banyak diuji dengan metode ELISA kompetitif dengan tingkat kejadian sebesar 3.84%, sedangkan PPM merupakan komoditas dengan tingkat kejadian cemaran aflatoksin B1 tertinggi (23.1%). Hal ini mendekati nilai tingkat kejadian cemaran aflatoksin pada pakan hewan di Amerika Serikat yang juga diuji dengan menggunakan metode ELISA oleh Rodrigues dan Naehrer (2012) yaitu sebesar 20%.

(29)

Tingkat Cemaran Aflatoksin B1 Berdasarkan Waktu Timbun

Uji korelasi menggunakan microsoft excel 2010 terhadap hasil uji metode ELISA kompetitif dan waktu timbun (Tabel 6), menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara hasil uji metode ELISA kompetitif dengan waktu timbun karena nilai uji korelasi yang diperoleh sebesar 0.106, kurang dari 0.5. Begitu pula dengan hasil uji metode HPLC juga tidak memiliki korelasi dengan waktu timbun (nilai uji korelasi -0.05 kurang dari 0.5). Suatu variabel dinyatakan memiliki korelasi positif kuat apabila hasil perhitungan mendekati +1 atau sama dengan +1, apabila hasil perhitungan korelasi medekati 0 atau sama dengan 0 hal ini berarti nilai satu variabel tidak mempunyai kaitan dengan nilai variable yang lain (Irianto 2004)

Tabel 6 Korelasi waktu timbun dengan cemaran aflatoksin B1 pada bahan baku pakan hewan

Amerika Serikat, bSelandia Baru

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(30)

Saran

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Aini N. 2012. Aflatoksin: cemaran dan metode analisisnya dalam makanan. JKI.2(2):54-61.

Ayejuyo OO, Olowu RA, Agbaje TO, Atamenwan M, Osundiya MO. 2011. Enzyme linked immunosorbent assay (Elisa) of aflatoxin B1 in groundnut and cereal grains in Lagos, Nigeria. Res J Chem Sci.1(8):1-5. ISSN2231-606X.

Badillo D, Herzka SZ, Viana MT. 2014. Protein retention assessment of four levels of poultry by-product substitution of fishmeal in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) diets using stable isotopes of nitrogen (d15N) as natural tracers. Plos One J.9(9):e107523.doi:10.1371/journal.pone. Bahri S, Maryam R, Widiastuti R. 2005. Cemaran aflatoksin pada bahan pakan

dan pakan di beberapa daerah propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV. 10(3):236-241.

Bahri S, Yulvian S, Indraningsih. 2006. Beberapa faktor yang mempengaruhi keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. [Internet]. [diunduh tanggal 20 April 2015]. Tersedia pada pustaka.litbang.pertanian.go.id

Barbas C, Dams A, Majors RE. 2005. Separation of Aflatoxins by HPLC. Wilmington (US): Agilent Technologies. [Internet]. [diunduh pada 06

Desember 2015]. Tersedia pada

http://www.agilent.com/cs/library/applications/5989-3634EN.pdf

[BBKPTP] Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. 2015. Laporan Tahunan BBKP Tanjung Priok 2014. Jakarta (ID): BBKP Tanjung Priok. Bozkurt M, Alcicek A, Cabuk M. 2004. The effect of dietary inclusion of meat

and bone meal on the performance of laying hens at old age. SAJAS.34(1):31-36.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 7652.3:2011 tentang pakan bibit induk (parent stock) ayam ras tipe pedaging-bagian 3: grower. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. [Internet]. [Dunduh tanggal 27 Juni 2015]. Tersedia pada http://sisni.bsn.go.id/index.php/sni_main/sni/detail_sni/11922.

Charoenpornsook K, Kavisarasai P. 2014. Determination of aflatoxin B1 in food products in Thailand. Afr J Biotechnol. 13(53):4761– 4756.doi:0.5897/AJB2014.14114.

Cvetnic Z dan Pepeljnjak S. 2007. Interaction between certain moulds and aflatoxin B1 producer Aspergillus flavus NRRL 3251. Arh Hig Rada Toxicol.58:429-434.doi:10.2478/v10004-007-0036-0.

Davari E, Mohsenzadeh M, Mohammadi GH, Rezaeian DR. 2014. Characterization of aflatoxigenic Aspergillus flavus and A. parasiticus strain isolates from animal feedstuffs in northeastern Iran. IJVR.16(2)(51):150-155.

(32)

[EHSO] Environment, Health, and Safety Online. 2015. Information about health and aflatoxins in foods such as peanut butter. Atlanta (US): Environment, Health, and Safety Online. [Internet]. [diunduh tanggal 28

November 2015]. Tersedia pada

http://www.ehso.com/ehshome/aflatoxin.php

Ellis WO, Smith JP, Simpson BK, Khanizadeh S, Oldham JH. 1993. Control of growth and aflatoxin production of Aspergillus flavus under modified atmosphere packaging (MAP) conditions. Food Microbiol. 10(1):9-21.doi:10.1006/fmic.1993.1002

Ellis WO, Smith JP, Simpson BK, Ramaswamy H, Doyon G. 1994. Growth of and aflatoxin production by Aspergillus flavus in peanuts stored under modified atmosphere packaging (MAP) conditions. Int J Food Microbiol.22(2-3):173-87.

Fakruddin MD, Chowdhury A, Hossain MDN, Ahmed MM. 2015. Characterization of aflatoxin producing Aspergillus flavus from food and feed samples. SpringerPlus.4:159.doi:10.1186/s40064-015-0947-1. [FAO] Food and Agricultural Organisation. 2010. Good Practices for the Feed

Industry. Implementing the Codex Alimentarius Code of Practice on Good Animal Feeding. Rome (IT): Food and Agricultural Organisation. [Internet]. [diunduh tanggal 24 April 2015]. Tersedia dalam: www.fao.org/3/a-i1379e.pdf.

Feddern V, Dors GC, Tavernari FC, Mazzuco H, Cunha A, Krabbe EL, Scheuermann GN. 2013. Aflatoxins Importance on Animal Nutrition. INTECH.171-195.http://dx.doi.org/10.5772/51952.

Forster I, Dominy W. 2006. Use of rendered terrestrial animal by product in aquatic feeds. Hawaii (US): Oceanic Institute. [Internet]. [diunduh tanggal 17 Desember 2015]. Tersedia dalam http://www.uanl.mx/utilerias/nutricion_acuicola/

[FSSAI] Food Safety and Standards Authority of India. 2012. Manual of Methods of Analysis of Foods Mycotoxins. New Delhi (IN): Ministry of Health and Family Welfare Government of India. [Internet]. [diunduh tanggal 06 Desember 2015]. Tersedia pada http://www.fssai.gov.in.

Gumus E, Baki A. 2013. Effect of Poultry by Product Meal on growth performance and fatty acid composition of carp (Cyprinus carpio) fry. Turk J Fish Aquat Sc.13:827-834.doi:10.4194/1303-2712-vf3506.

Greco MV, Franchi ML, Golba SLR, Pardo AG, Pose GN. 2014. Mycotoxins and mycotoxigenic fungi in poultry feed for food-producing animals. Sci World J.2014(2014):1-9.

Hedayati MT, Pasqualotto AC, Warn PA, Bowyer P, Denning DW. 2007. Aspergillus flavus: human pathogen, allergen and mycotoxin producer. Microbiol.153:1677-1692.doi.10.1099/mic.0.2007/007641-0.

Hendriks WH, CA Butts, DV Thomas, KAC James, PCA Morel, MWA Verstegen. 2002. Nutrition quality and variation of meat bone meal. Asian Aust J Anim Sci.15(10):1507-1516.

(33)

[ICRISAT] International Crops Researcg Institute for the Semi Arid Tropics. 2000. Aflatoxin. India (IN): International Crops Research Institute for the Semi Arid Tropics. [Internet]. [diunduh tanggal 28 November 2015]. Tersedia pada http://www.icrisat.org/aflatoxin/introduction.asp

Irianto A. 2004. Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi, dan Pengembangannya. Edisi I. Jakarta (ID): Kharisma Putra Utama

Jayathilakan K, Sultana K, Radhakrishna K, Bawa AS. 2011. Utilization of byproducts and waste materials from meat, poultry and fish processing industries: a review. J Food Sci Technol.49(3):278– 293.doi:10.1007/s13197-011-0290-7.

Kensler TW, Roebuck BD, Wogan GN, Groopman JD. 2010. Aflatoxin: a 50-year odyssey of, mechanistic and translational toxicology. Oxford J.120(1):28-48. doi: 10.1093/toxsci/kfq283.

King’ori AM. 2012. Management of Poultry by Product-utilization of feather. Int J Livest Res.2(3):58-64.ISSN 2277-1964.

Lai X, Zhang H, Liu R, Liu C. 2014. Potential for aflatoxin B1 and B2 production by Aspergillus flavus strains isolated from rice samples. Saudi J Biol Sci.22(2):176–180.

Lequin RM. 2005. Enzyme Immunoassay (EIA)/Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Clin Chem.51(12):2415-2418.

Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology: Principles and Methods. Iowa (US): Iowa State University Prs.

Martins HM, Martins ML, Bernardo FA. 2000. Interaction of strains of non-toxigenic Aspergillus flavus with Aspergillus parasiticus on aflatoxin production. Braz. J Vet Res Anim Sci.37(6). ISSN 1678-4456.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Bogor (ID): IPB Press.

Meeker DL, Hamilton CR. 2006. An overview of the rendering industry. Virginia (US): National Renderers. Association [Internet]. [diunduh tanggal 13

Desember 2015]. Tersedia pada

http://assets.nationalrenderers.org/essential_rendering_overview.pdf Meeker DL. 2009. North American Rendering - processing high quality protein

and fats for feed. R Bras Zootec.38:432-440.

Meeker DL, Meisinger JL. 2015. Rendered ingredients significantly influence sustainability, quality, and safety of pet food. J Anim Sci.93(3):835-847. doi:10.2527/jas2014-8524.

Mousa W, Ghazali FM, Jinap S, Ghazali HM, Radu S. 2013. Modeling growth rate and assessing aflatoxins production by Aspergillus flavus as a function of water activity and temperature on polished and brown rice. J Food Sci.78(1):56-63.doi: 10.1111/j.1750-3841.2012.02986.x.

Okun DO, Khamis FM, Muluvi GM, Ngeranwa JJ, Ombura FO, Yongo MO, Kenya EU. 2015. Distribution of indigenous strains of atoxigenic and toxigenic Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus in maize and peanuts agro-ecological zones of Kenya. Agric Food Secur. 4(14):1-10.DOI 10.1186/s40066-015-0033-5.

(34)

(Ed.). ISBN:978-953-307-395-8. [Internet]. [diunduh tanggal 14 Februari 2016]. Tersedia pada http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/20394.pdf Payne GA, Hagler WM. 1983. Effect of specific amino acids on growth and

aflatoxin production by Aspergillus parasiticus and Aspergillus flavus in defined media. Appl Environ Microbiol.46(4):805-812.

Pearl GG. 2005. Rendering 101: Raw material, rendering process, and animal by product. Illinois (US): Fats and Proteins Reseasrch Foundation, Inc. [Internet] [Diunduh tanggal 13 Desember 2015]. Tersedia pada www.fprf.org/index.php?option=com

Rachmawati S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia: persyaratan kadar dan pengembangan teknik deteksinya. WARTAZOA.15:26-37. Reddy SV, Waliyar F. 2000. Properties of aflatoxin and it producing fungi. India

(IN): ICRISAT. [Internet]. [diunduh tanggal 04 Desember 2015]. Tersedia pada http://www.icrisat.org.

Rodrigues P, Soares C, Kozakiewicz Z, Paterson RRM, Lima N, Venâncio A. 2007. Identification and characterization of Aspergillus flavus and aflatoxins. Méndez VA (Ed.). Communicating current research and educational topics and trends. J Appl Microbiol.:527-534.

Rodrigues I, Naehrer K. 2012. Prevalence of mycotoxin in feedstuffs and feed surveyed worldwide in 2009 and 2010. Phytopathol Mediterr. 51(1):175-192.ISSN:1593-2095.

Rossi CN, Takabayashi CR, Ono MA, Saito GH, Itano EN, Kawamura O, Hirooka EY, Ono EYS. 2012. Immunoassay based on monoclonal antibody for aflatoxin detection in poultry feed. J Food Chem.132(2012):2211-2216.

Smela ME, Currier SS, Bailey EA, Essigmann JM. 2001. The chemistry and biology of aflatoxin B1: from mutational spectrometry to carcinogenesis. Carcin.22(4):535-545.

Talanca AH Mas’ud . 2009. Pengelolaan cendawan Aspergillus flavus pada jagung. [Prosiding]. Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia. [Internet]. [diunduh tanggal 29 November 2015]. Tersedia pada http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/513.pdf

Tosun H, Arslan R. 2013. Determination of aflatoxin B1 levels in organic spices and herbs. Sci World J.2013(2013).doi.org/10.1155/2013/874093.

Volkel I, Merker ES, Czerny CP. 2011. The carry-over of mycotoxins in products of animal origin with special regard to its implications for the European Food Safety Legislation. JFNS.2:852-867. doi:10.4236/fns.2011.28117 Wacoo AP, Wendiro D, Vuzi PC, Hawumba JF. 2014. Methods for Detection of

Aflatoxins in Agricultural Food Crops. J Appl Chem. 2014:1-15.ID706291.http://dx.doi.org/10.1155/2014/706291.

Waliyar F, Osiru M, Ntare BR, Kumar KVK, Sudini H, Traore A, Diarra B. 2015. Post-harvest management of aflatoxin contamination in groundnut. World Mycotoxin J.8(2):245-252.

Wijayanti AD. 2010. Penentuan kadar aflatoksin B1 dalam pakan broiler secara kromatografi cair kinerja tinggi dengan pemurnian secara imunoafinitas. J Sain Vet.28(2):98-103.

(35)

Williams JH, Phillips TD, Jolly PE, Stiles JK, Jolly CM, Aggarwal D. 2004. Human aflatoksikosis in developing countries: a review of toxicology, axposure, potential helath consequences, and interventions. Am J Clin Nutr.80(5):1106-1122.

Zain ME. 2011. Impact of mycotoxins on humans and animals. J Saudi Chem Soc.15:129-144.

(36)

Lampiran 1 Hasil pengujian terhadap seluruh sampel bahan baku pakan hewan impor dengan metode ELISA kompetitif dan HPLC

No Jenis bahan baku pakan hewan

Jenis uji

ELISA kompetitif HPLC

Hasil Keterangan Hasil Keterangan 1. MBM SELANDIA BARU MBM KANADA

(37)

Lampiran 1 Hasil pengujian terhadap seluruh sampel bahan baku pakan hewan impor dengan metode ELISA kompetitif dan HPLC(lanjutan) No Jenis bahan baku pakan hewan

Jenis uji

ELISA kompetitif HPLC

(38)
(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 20 Desember 1984 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan M. Ridho dan Srie Nahdhotiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMAN 1 Pangkalpinang, Bangka Belitung pada tahun 2002 dan melanjutkan pendidikan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada pada tahun yang sama. Penulis lulus program Sarjana Kedokteran Hewan tahun 2007 dan melanjutkan ke Program Profesi Dokter Hewan pada tempat dan tahun yang sama. Penulis lulus dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2008. Penulis masuk Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor tahun 2014 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur beasiswa dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BP2SDM), Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Penulis adalah Dokter Hewan Karantina yang bertugas di Balai Karantina Pertanian Kelas I Cilacap sejak tahun 2009 dan mendapatkan mutasi ke Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Jakarta sejak tahun 2013 hingga saat ini.

Gambar

Gambar 1 Proses dasar pengolahan bahan baku pakan hewan (Meeker 2009;
Gambar 2 Koloni A. flavus pada agar
Tabel 2 Rincian besaran sampel per negara berdasarkan volume impor bahan baku
Tabel 3 Hasil pengujian aflatoksin B1 dengan metode ELISA kompetitif

Referensi

Dokumen terkait

Riset keyword pada intinya adalah mencari kata kunci yang sering diketikan oleh orang di mesin pencari sesuai dengan topik bisnis atau usaha yang anda jalani.. Misalnya

Karo koreliatų projekto autorių parengtuose duomenų rinkiniuose pateikiamas vaizdas apie.. 4

Pertumbuhan iman pada proses melalui sentuhan kandungan ayat-ayat Allah, baik yang tertulis ( al-ayat al-Maktubah ) maupun yang terbentang di jagat raya ( al- ayat al-Kauniyyah )

Teacher Education Vol. Menurut Berry Brazelton, strategi mengedisiplinkan harus mencakup beberapa hal. Pertama, kelakuan buruk anak harus dihentikan. Kedua, mungkin anak

Lalu kembali pada output specification masukan kooordinat titik lokasi pada domain yang kita inginkan dengan cara nilai koordinat pada excel kita

Rekayasa Ide Praktikum Mekanika Tanah 2.. 6akt$r)fakt$r terse(ut antara lain adalah derajat kejenuhan+ kandungan &#34;ineral *ang terda'at 'ada tanah terse(ut dan juga

Pertemuan dan kontak antara dua komunitas atau institusi yang berbeda seperti yang terjadi pada Pesantren Tebuireng Jombang yang menganut sistem pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan pengolahan data, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Potensi energi laut yang memungkinkan untuk dikembangkan di