• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Sektor Beras Indonesia Dalam Masyarakat Ekonomi Asean: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja Dan Kesejahteraan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respons Sektor Beras Indonesia Dalam Masyarakat Ekonomi Asean: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja Dan Kesejahteraan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS SEKTOR BERAS INDONESIA DALAM

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK

PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN

RIZA ROSANDY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respons Sektor Beras Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Riza Rosandy

NIM H151137214

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus

(3)

RINGKASAN

RIZA ROSANDY Respons Sektor Beras Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan SAHARA.

Dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan keinginan untuk menciptakan kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi, maka sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai pada tahun 2003. MEA bertumpu pada empat pilar dasar, yaitu: (i) Pasar Tunggal dan Basis Produksi; (ii) Kawasan Ekonomi yang Berdaya Saing; (iii) Pembangunan Ekonomi yang Merata; dan (iv) Integrasi dengan Ekonomi Global. Beberapa sektor yang diprioritaskan untuk diliberalisasi tercantum dalam ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS), diantaranya adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, produk dari karet, produk dari kayu, perikanan dan otomotif. Liberalisasi sektor barang akibat MEA dikhawatirkan akan terus menurunkan produksi beras, jumlah pekerja di sektor pertanian Indonesia. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan Indonesia dan menganalisis alternatif kebijakan sektor beras dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.

Penelitian ini menggunakan data utama yang bersumber dari basis data GTAP 8. Model ekonomi yang digunakan adalah model keseimbangan umum. Hasil analisis memperlihatkan bahwa implementasi MEA dapat meningkatkan produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan di Indonesia. Dalam analisis kebijakan alternatif ditemukan bahwa, kebijakan dukungan domestik melalui subsidi benih dapat meningkatkan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan surplus neraca perdagangan. Kebijakan ini dapat diterapkan untuk saat ini karena dapat menjaga tingkat efisiensi produksi petani. Kebijakan liberalisasi penuh di sektor beras ternyata dapat menyebabkan penurunan produksi, tenaga kerja, kesejahteraan dan neraca perdagangan. Hal ini dapat dikarenakan tingginya konsumsi beras dan tidak tergantikan. Hasil yang mengejutkan terjadi pada kebijakan proteksi penuh sektor beras, yang menghasilkan nilai positif pada produksi dan tenaga kerja namun negatif untuk kesejahteraan. Selain itu, jika skema ini diterapkan, ditakutkan akan memicu negara lain untuk melakukan hal kebijakan serupa. Pada penelitian selanjutnya terkait sektor beras, dapat digunakan data kelompok tenaga kerja yang lebih rinci seperti data Survei Sosial Ekonomi Nasional. Selain itu dapat pula menggunakan basis data GTAP 9, yang baru diluncurkan pada akhir tahun 2015.

(4)

Community: Impact Analysis of Production, Labor and Welfare. Supervised by HERMANTO SIREGAR and SAHARA.

According to the economic crisis in year 1998 and a will to create the ASEAN region that is stable, prosperous and highly competitive, then the history of the ASEAN Economic Community (AEC) began in 2003. AEC relies on four basic pillars, namely: (i) the Single Market and Production Base; (ii) Competitive Economic Region; (iii) Equitable Economic Development; and (iv) Integration with the Global Economy. Some sectors are prioritized for liberalized listed in ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS), including agricultural products, textiles and textile products, rubber products, wood products, fisheries and automotive. Liberalization of the goods sector by AEC will continue to reduce rice production and also the number of workers in Indonesian agricultural sector. So the purpose of this study aims to analyze the impact of the liberalization of commodity rice to AEC on production, labor and welfare Indonesia and analyze alternative policies in rice sector and appropriate policy for Indonesia.

This study uses primary data sourced from GTAP database 8. The economic model used is a general equilibrium model. The results show that MEA implementation can increase production, employment and welfare in Indonesia. In the alternative policy analysis found that, domestic support policies by subsidizing seeds can increase production, employment, welfare and trade surplus. This policy can be applied for now because it can maintain the level of efficiency of production of farmers. Full liberalization policy in the rice sector was found to cause a decline in production, employment, welfare and trade balance. This can be due to the high consumption of rice and irreplaceable. The surprising result occurred in the rice sector policy of full protection, which resulted in a positive value on production and employment, but negative for welfare. In addition, if the scheme is implemented, it feared would lead other countries to do similar policies. In subsequent studies related to the rice sector, can use the data group more detailed labor force as the National Economic Social Survey data. Moreover, it can also use the GTAP database version 9, which was launched in late 2015.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

RESPONS SEKTOR BERAS INDONESIA DALAM

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: ANALISIS DAMPAK

PRODUKSI, TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN

RIZA ROSANDY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT, yang atas izin-Nya tesis yang berjudul “Respons Sektor Beras Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN: Analisis Dampak Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan” ini akhirnya dapat terselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan Indonesia. Selain itu tesis ini juga menganalisis dampak kebijakan sektor beras dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Sahara, SP, M.Si, yang telah banyak memberikan arahan dan masukan selama penulisan tesis ini. Melalui bimbingan dari komisi pembimbing tersebut akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi IPB dan mendapat gelar Magister Sains. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.ScAgr sebagai penguji luar komisi yang turut memberikan masukan yang berharga terhadap penelitian ini, sehingga tesis ini dapat menjadi lebih baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, yaitu Achmad Sanusi dan Yus Rostiati yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam berbagai bentuk. Doa dan dukungan kedua orang tua telah menjadikan penulis untuk bekerja lebih keras lagi dalam menyelesaikan studinya. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Kementerian Perdagangan yang telah memberikan beasiswa, teman-teman Batch II IPB Beasiswa Kemendag, rekan-rekan di Ditjen. Perundingan Perdagangan Internasional, Ibu Prof. Rina Oktaviani dan Dr. Eka Puspitawati dari ITAPS IPB, yang telah memberikan bantuan dan dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan serta keterbatasan dalam tesis ini. Akhirnya, dengan segala kekurangan yang ada dalam materi, penulis berharap tesis ini dapat memberikan sumbangan kecil bagi perbaikan kebijakan ekonomi di Indonesia sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(10)

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Tinjauan Teoritis 7

Tinjauan Empiris 11

Alur Pemikiran 12

3 METODE PENELITIAN 13

Jenis dan Sumber Data 13

Metode Analisis 13

4 GAMBARAN UMUM 23

Kinerja Perdagangan Beras 23

Sentra Produksi Beras 23

Perkembangan Konsumsi Beras 24

Kinerja Ekspor dan Impor Beras Indonesia 25

Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Beras Indonesia 25

Kebijakan Beras Indonesia 26

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Analisis Produksi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan 29

Analisis Alternatif Kebijakan 33

6 SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

Implikasi Kebijakan 40

Saran 41

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 47

RIWAYAT HIDUP 53

(11)

iv

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Aggregasi sektor dalam GTAP 14

2. Daftar skenario kebijakan 15

3. Perkembangan produksi padi di provinsi sentra di Indonesia, 2008 – 2012 24 4. Perkembangan ekspor, impor dan neraca perdagangan komoditas beras,

periode tahun 2008 – 2012 25

5. Subsidi benih dan pupuk di Indonesia periode tahun 2013-2016 27

6. Simulasi MEA: produksi beras di dunia 29

7. Simulasi MEA: produksi berbagai sektor di Indonesia 30

8. Simulasi MEA: permintaan faktor input primer di Indonesia (dalam %) 31

9. Simulasi MEA: perubahan GDP riil negara di dunia 32

10. Produksi sektor di Indonesia pada berbagai skenario (dalam %) 33 11. Permintaan unskilled labor sektor di Indonesia (dalam %) 34 12. Perubahan neraca perdagangan sektor barang Indonesia (Juta US$) 35

13. Perubahan GDP rill negara di dunia (Juta US$) 36

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia

periode tahun 2007- 2012 3

2. Penentuan harga keseimbangan 9

3. Dampak penurunan tarif 10

4. Alur pemikiran 12

5. Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya 16

6. Struktur produksi model GTAP 20

7. Struktur konsumsi dalam model GTAP 21

8. Struktur impor model GTAP 22

9. Kontribusi subsektor pertanian Indonesia berdasarkan rata-rata nilai ekspor

dan impor periode tahun 2008 – 2012 23

10. Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras rumah

tangga Indonesia periode tahun 2004-2013 24

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Perkembangan basis data GTAP 45

2. Aggregasi lengkap negara 45

3. Nilai output seluruh sektor di Indonesia (Juta US$) 46

4. Guncangan/shock simulasi 1 MEA 46

5. Guncangan/shock simulasi 2 Liberalisasi penuh 47

6. Guncangan/shock simulasi 3a (subsidi benih) 48

7. Guncangan/shock simulasi 3b (subsidi pupuk) 48

8. Guncangan/shock simulasi 3c (subsidi kredit) 49

(13)
(14)

Latar Belakang

Dalam kurun waktu 1990 – 2000 banyak negara melakukan integrasi ekonomi yang diawali dengan Free Trade Agreement (FTA). Tercatat pada tahun 2000 sebanyak 73 persen negara di dunia yang mewakili 47 persen populasi dunia telah melakukan liberalisasi perdagangan (Wacziarg dan Welch 2003). Hingga tahun 2015, dalam basis data World Trade Organization (WTO) tercatat telah terdapat 268 Regional Trade Agreements (RTAs) dan 27 berbentuk Preferential Trade Arrangements (PTAs).

Pada tahun 2001, pembahasan Multilateral Trading System oleh WTO menemui kegagalan, khususnya mengenai pembahasan agenda Doha Development Agenda. Kegagalan tersebut dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Salah satu penyebabnya adalah terkait isu-isu sensitif seperti sektor pertanian dan Non Agricultural Market Access. Kegagalan tersebut ternyata, turut mempercepat terbentuknya beberapa FTA. Dari FTA yang terbentuk tersebut, ada yang bersifat PTAs maupun RTAs.

FTA tidak hanya membantu dalam perluasan pasar, tetapi juga membantu dalam menciptakan persaingan yang lebih besar, meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan yang lebih baik bagi perekonomian negara-negara peserta (Urata 2002). Sebagai salah satu contoh sebuah FTA yang berkembang menjadi integrasi ekonomi adalah European Union (EU) pada tahun 1993. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan mata uang tunggal Euro pada tahun 1999. Menurut Achsani dan Partisiwi (2010) integrasi ekonomi telah mendorong kawasan ini menjadi lebih efisien dan lebih memiliki daya saing. EU dibentuk berdasarkan teori Optimum Currency Area. Teori yang diutarakan oleh Mundell (1961) ini menyebutkan bahwa, untuk kawasan yang ekonominya terintegrasi dengan sangat tinggi lebih baik menggunakan single currency atau rezim nilai tukar tetap. Ciri-ciri yang harus tampak dalam sebuah integrasi ekonomi adalah: (i) Arus bebas barang dan jasa; (ii) Arus bebas aset fisik dan keuangan; dan (iii) Arus bebas tenaga kerja.

Indonesia adalah salah satu pendiri dari Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara. Organisasi ini berdiri melalui Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota Bangkok, Thailand. Pada awalnya ASEAN merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya terdiri dari negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Namun baru pada tahun 1977 terjadi kesepakatan untuk meliberalisasikan arus barang melalui penurunan tarif. Liberalisasi tersebut diawali dengan PTA, disusul dengan skema Common Effective Preferential Tariff for ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) pada tahun 1992.

(15)

2

1997 para Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020. Kesepakatan ini akan menjadikan ASEAN sebagai: (i) suatu pasar tunggal dan basis produksi; (ii) mengubah keanekaragaman menjadi karakter kawasan menjadi peluang bisnis yang saling melengkapi; serta (iii) membuat ASEAN menjadi lebih dinamis dan menjadi segmen yang lebih kuat sebagai bagian dari rantai pasok global (Oktaviani et al., 2010). Keberhasilan penerapan MEA nantinya akan ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi di kawasan.

Itakura (2014) mengatakan, walaupun masih terdapat perdebatan dalam dampak integrasi ekonomi akibat liberalisasi, untuk kasus integrasi ekonomi ASEAN masih memberikan efek positif terhadap kesejahteraan. Hakim (2004) juga mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan dengan meningkatnya ekspor yang dikarenakan perluasan akses pasar. Namun Achsani dan Partisiwi (2010) mengingatkan, bahwa integrasi ekonomi akan membawa dampak pada pembentukan grup-grup negara yang diuntungkan dan dirugikan. Sehingga masalah integrasi ekonomi harus dilakukan dengan prinsip hati-hati. Lebih lanjut dikatakan bahwa, biasanya negara maju akan berkumpul pada satu grup yang diuntungkan. Kemudian negara berkembang ada di grup lain yang dirugikan. Grup ini tidak akan jauh berbeda baik pada masa krisis maupun setelah krisis.

MEA adalah salah satu RTAs didunia selain EU dan United States of America (USA). Pada tahun 2003, seluruh Kepala negara ASEAN menyepakati tiga pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi akhir tahun 2015 yaitu: (i) ASEAN Economic Community; (ii) ASEAN Political-Security Community; dan (iii) ASEAN Socio-Cultural Community. Ketiga pilar ini kemudian dijadikan sebagai dasar dari Piagam ASEAN/ASEAN Charter pada tahun 2007. Untuk memastikan tercapainya tujuan sesuai waktu yang telah ditentukan dalam roadmap, maka ditetapkan juga ASEAN Economic Community Blueprint.

Sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN, MEA adalah pilar yang berfokus pada bidang kerja sama perekonomian dan bertumpu pada empat pilar dasar, yaitu: (i) pasar tunggal dan basis produksi; (ii) kawasan ekonomi yang berdaya saing; (iii) pembangunan ekonomi yang merata; dan (iv) integrasi dengan ekonomi global.

Jadwal penurunan tarif untuk MEA diatur dalam ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). ATIGA mengamanatkan penurunan tarif menjadi nol sampai lima persen dan harus sudah berlaku sejak tahun 2010. Indonesia sendiri sudah menurunkan sekitar 98.87 persen pos tarif AFTA di ATIGA menjadi nol persen terhitung sejak bulan Januari 2010. Namun demikian menurut ASEAN, Indonesia tetap menempatkan empat pos tarif beras (HS1006) dalam Highly Sensitive List (HSL).

(16)

Perumusan Masalah

Sebuah perjanjian perdagangan bebas (FTA) adalah perjanjian antara dua atau lebih Negara dengan kesepakatan untuk menghilangkan hambatan perdagangan baik tarif dan kuota impor (Urata 2002). Seiring dengan penghapusan hambatan perdagangan, beberapa FTA juga memasukkan aturan yang mengatur investasi asing langsung, perlindungan hak kekayaan intelektual, isu-isu lingkungan dan tenaga kerja dalam perjanjian mereka (Cooper 2014). Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari FTA, oleh karena sudah mengintegrasikan tiga sektor utama yaitu perdagangan barang, perdagangan jasa dan investasi.

Dalam MEA menurut ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (PIS) terdapat sektor yang integrasinya diprioritaskan. Sektor tersebut diantaranya adalah produk pertanian, tekstil dan produk tekstil, barang dari karet, barang dari kayu, perikanan dan otomotif. Perjanjian ini mengamanatkan agar segala bentuk hambatan tarif dan nontarif yang termasuk dalam PIS harus dihilangkan sejak tahun 2012. Beras menjadi salah satu produk pertanian yang akan diintegrasikan. Menurut Krugmann dan Obstfeld (2003) liberalisasi dapat meningkatkan surplus konsumen namun menurunkan surplus produsen. Sehingga dalam implementasi penuh MEA nantinya, petani sebagai produsen beras akan dirugikan oleh kebijakan ini. Menurut Oktaviani et al. (2008) sebagian besar negara ASEAN bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber utama dari produk domestik bruto (PDB).

Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian, 2015

Gambar 1 Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia periode tahun 2007-2012

Gambar 1 menunjukkan tingkat produksi gabah yang kemudian diolah menjadi beras dan konsumsi beras di Indonesia. Pada gambar terlihat bahwa tingkat produksi dan konsumsi beras saling berimpitan (produksi hanya

(17)

-4

mencukupi konsumsi). Selain itu luas lahan padi juga hanya meningkat sedikit sekali pada periode tahun 2007-2009. Hal ini mengakibatkan terjadi defisit persediaan beras yang besar pada tahun 2010. Dikarenakan peningkatan konsumsi tidak diikuti oleh peningkatan produksi yang signifikan. Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya harga beras sekitar 39 persen pada akhir tahun 2010 (Kemendag, 2014). Namun pada tahun 2012 defisit tersebut kemudian berhasil diturunkan, dengan menutupi defisit persediaan beras tersebut dengan melakukan kebijakan impor beras dan operasi pasar (Bulog melepaskan stok beras ke pasar).

Dalam ATIGA, HSL adalah salah satu kategori dalam Protocol on the Special Arranggement for Sensitive and Highly Sensitive Products. ATIGA mengamanatkan agar penghapusan tarif harus dilakukan paling lambat tanggal 1 Januari 2010. Bagi negara yang tidak bisa memenuhi amanat tersebut dapat melakukan waiver (melepaskan kewajiban) dan mendaftarkan produknya di kategori HSL. Syarat dilakukannya waiver tersebut diatur dalam Protocol to Provide Special Consideration for Sugar and Rice. Syarat tersebut ialah jika latar belakang diajukannya waiver adalah untuk memenuhi dan mengupayakan keamanan pangan yang dapat menciptakan stabilitas ekonomi (menghindari

domestic market failure). Kemudian negara yang menggunakan skema tersebut dikenakan kewajiban untuk mengajukan argumen waiver dalam bentuk tertulis dalam sidang Dewan AFTA. (Hertanti, 2012).

Menurut teori Hecksker-Ohlin sebagaimana dijelaskan oleh Krugman dan Obstfeld (2003) menunjukan bahwa keunggulan komparatif dipengaruhi oleh interaksi antara faktor produksi yang banyak dimiliki dan teknologi produksi yang dapat mempengaruhi intensitas pemakaian faktor produksi untuk membuat suatu barang. Teori ekonomi lain mengatakan bahwa liberalisasi perdagangan dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan tarif dan nontarif akan menciptakan efisiensi, skala ekonomi, persaingan, faktor produktivitas dan arus perdagangan, sehingga, meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Barro dan Martin, 2004; Wacziarg dan Welch, 2003). Namun liberalisasi perdagangan juga dianggap berkontribusi terhadap peningkatan kemiskinan dan ketimpangan di kawasan perkotaan dan pedesaan (Castilho et al., 2010). Bahkan Warr (2014) mengatakan bahwa liberalisasi yang terjadi di Indonesia tidak akan menghasilkan peningkatan pendapatan bagi unskilled labor dalam hal ini petani.

Menurut Oktaviani et al. (2014) berdasarkan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA), Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian, produk kayu, perikanan, produk karet dan elektronika. Ditambah dengan tenaga kerja usia produktif yang melimpah, seharusnya lebih memperkuat keunggulan komparatif Indonesia di sektor pertanian.

Dengan demikian, berdasarkan rumusan permasalahan di atas diperlukan suatu analisis respons sektor beras Indonesia yang diakibatkan oleh liberalisasi perdagangan melalui MEA, antara lain:

1. Bagaimanakah dampak liberalisasi perdagangan terhadap produksi beras, tenaga dan kesejahteraan kerja di Indonesia?

(18)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan penelitian ini antara lain:

1. Menganalisis dampak liberalisasi komoditas beras pada MEA terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan Indonesia.

2. Menganalisis alternatif kebijakan sektor beras dan kebijakan yang sesuai bagi Indonesia.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap sektor pertanian. Khususnya dampak terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan sektor pertanian subsektor tanaman pangan. Sekaligus juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi terhadap kebijakan ekonomi dan perdagangan yang diambil pemerintah, sehingga ke depan dihasilkan kebijakan yang menguntungkan bagi ekonomi nasional.

Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup pada penelitian ini antara lain:

1. Berfokus pada variabel produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan.

2. Data utama menggunakan basis data GTAP versi 8 (tahun dasar 2004 dan 2007).

3. Difokuskan pada komoditas beras di Indonesia, namun hanya menganggap terdapat satu jenis beras dengan kualitas yang sama di seluruh negara.

4. Mengasumsikan sektor beras berada pada pasar persaingan sempurna.

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teoritis

Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional adalah teori yang menunjukkan adanya keuntungan yang timbul dari adanya keuntungan perdagangan (gain from trade). Dalam masa globalisasi saat ini, menurut Dumairy (1997) saat ini hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain. Hal ini dikarenakan dua perbedaan mendasar yaitu perbedaan dalam sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Perdagangan internasional terjadi bila di dalamnya terlihat akan memberikan keuntungan atau manfaat bagi kedua belah pihak, atau setidaknya salah satu pihak dan tidak ada pihak lain yang dirugikan. Hal ini berarti pula bahwa perdagangan internasional pada umumnya akan meningkatkan kesejahteraan bagi pihak-pihak yang melakukannya. Keuntungan yang diperoleh dari adanya perdagangan ini disebut gain from trade. Namun besarnya manfaat yang diperoleh masing-masing pihak yang melakukan perdagangan ditentukan oleh kekuatan masing-masing pihak dalam proses tawar-menawar.

Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya, sama halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman dan Obstfeld (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu sama lain dan ingin mencapai skala ekonomi (economic of scale). Menurut Tambunan (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain.

Free Trade Area dan Integrasi Ekonomi

Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Teori Adam Smith tersebut kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.

(20)

production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan (Salvatore, 1997):

a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditas; b) Perdagangan bersifat bebas;

c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara;

d) Biaya produksi konstan;

e) Tidak terdapat biaya transportasi; dan f) Tidak ada perubahan teknologi.

Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.

Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor productivity)

dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain,

cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi.

Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage.

Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) di antara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditas padat kapital (capital-intensive goods) dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditas padat tenaga kerja (labor-intensive goods).

Terkait integrasi ekonomi sebagai perluasan dari FTA, menurut Krugman dan Obsfeld (2003) adalah kelompok negara dalam daerah tertentu dengan kerja sama ekonomi yang intensif dimana perdagangan barang dan jasa sebagai faktor produksi bebas bergerak. Oleh karena itu, integrasi ekonomi dapat juga dilihat sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan nasional (National welfare). Lebih lanjut, tahap integrasi ekonomi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh

European Union (EU) menurut Bela Balassa (1928-1991) dimulai bertahap yang dimulai dari: (i) free exchange area; (ii) customs union; (iii) common market; (iv)

(21)

9

Pendekatan Keseimbangan Umum dalam Perdagangan

Pada pendekatan keseimbangan umum/general equlibrium, perubahan dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Perubahan inilah yang tidak dapat ditangkap oleh metode partial equilibrium. Pendekatan ini memperlakukan pasar sebagai suatu sistem. Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”. Dengan model ini dimisalkan, ada suatu perusahaan yang memproduksi dua barang sebagaimana terlihat dalam Gambar 2 dimana PP adalah kurva kemungkinan produksi (production posibility frontier). Pertama harga kedua barang tersebut diberikan sebesar Px dan Py. Pada tingkat harga ini perusahaan akan memproduksi kedua barang dengan kombinasi x1 dan y1. Untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan akan memproduksi kedua barang ini disepanjang garis PP. Pada x1 dan y1, rasio kedua barang

sama dengan rasio dari marginal cost (RPT), sehingga keuntungan di titik ini akan maksimum.

Pada sisi lain, garis C menunjukan budget constraint dan tingkat permintaan konsumen untuk barang X dan Y ada di x1’ dan y1’. Pada tingkat harga ini akan terjadi excess demand untuk barang X dan excess supply pada barang Y. Jika pasar bekerja maka akan menyebabkan Px naik dan Py turun. Kemudian akan meningkatkan rasio harga barang dan garis C akan semakin curam ke C*. Perusahaan dalam hal ini akan merespon perubahan harga ini dengan mengubah produksi searah jarum jam dalam garis PP. Sementara konsumen akan melakukan substitusi barang x dengan barang y. Akhirnya keseimbangan baru terjadi di x* dan y*, dengan rasio harga yang baru

dengan tingkat harga ini penawaran dan permintaan berada dalam kondisi keseimbangan.

Sumber: Nicholson 2005

(22)

Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan (intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan tarif impor, pemberian subsidi ekspor dan berbagai bentuk dukungan domestik lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Salah satu bentuk intervensi yang dapat mendistorsi dalam perdagangan adalah melalui tarif.

Pemberlakuan Tarif

Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif memberikan pemasukan bagi pemerintah. Dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antara negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya akan merubah harga di negara tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia melalui term of trade.

Sumber: Nicholson 2005

Gambar 3 Dampak penurunan tarif

(23)

11

Tinjauan Empiris

Hasil berbagai penelitian mengenai dampak liberalisasi pertanian terhadap ekonomi masih menjadi perdebatan. Berbagai metode juga sudah digunakan dalam menjawab dampak liberalisasi tersebut. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu, antara lain:

Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia (Sitepu, 2002). Dengan menggunakan spesifikasi model penawaran dan permintaan beras menggunakan persamaan simultan dan metode Two Stage Least Square (2SLS) Walaupun sudah menemukan bahwa terjadi pelandaian produksi dan penurunan surplus produsen, namun belum dapat menjawab dampaknya terhadap tenaga kerja.

Implications of the US-South Korea Free Trade Agreement (KORUS FTA)

on Agricultural Exports from the US (Konduru et al., 2014). Penelitian tentang dampak KORUS FTA pada ekspor produk pertanian (anggur) Amerika Serikat (AS). Metode analisis adalah estimasi permintaan impor. Hasilnya menunjukan bahwa produk anggur Amerika Serikat (AS) akan semakin kompetitif karena adanya penurunan tarif dan pengurangan hambatan tarif. Selain itu diketahui pula bahwa, bagi AS perjanjian ini akan meningkatkan ekspor anggur, namun bagi Korea Selatan akan mengurangi produksi karena tingginya impor anggur dari AS. Namun Korea Selatan berharap sektor anggurnya dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing dengan dibantu oleh pemerintah.

Does Trade Reduce Poverty? A View From Africa (Goff dan Singh 2014). Tujuan penelitian ini adalah dampak yang ditimbulkan dari keterbukaan perdagangan terhadap kemiskinan. Dengan menggunakan regresi nonlinear keterbukaan perdagangan pada 30 negara Afrika pada periode 1981-2010. Penelitian ini menemukan bahwa keterbukaan perdagangan berpotensi mengurangi kemiskinan di negara yang memiliki sektor keuangan yang ketat, tingkat pendidikan dan institusi pemerintahan yang kuat. Namun metode ini tidak dapat menjawab dampaknya terhadap output pertanian, tenaga kerja dan berapa besar penurunan kemiskinan yang terjadi.

Penelitian India-Korea CEPA:Potentials and Realities (Ahmed 2010), bertujuan untuk meneliti dampak ekonomi (kesejahteraan, output sektoral dan tenaga kerja). Metode yang digunakan adalah keseimbangan parsial dan keseimbangan umum. Hasilnya adalah dari skenario liberalisasi penuh, Korea akan diuntungkan dan India akan merugi. Namun kedua Negara akan mendapat keuntungan signifikan dari peningkatan arus perdagangan. Walaupun sudah menggunakan GTAP, akan tetapi dalam meneliti kesejahteraan petani menggunakan Trade Creation dan Trade Diversion.

(24)

akibat dari perubahan kebijakan perdagangan baik bilateral, regional dan multilateral (Ahmed 2010).

Alur Pemikiran

Dengan diawali oleh pembentukan ASEAN pada tahun 1967 sebagaimana terlihat dalam Gambar 4. Dilanjutkan dengan ide pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015. MEA berpijak pada tiga pilar, dan fokusnya adalah liberalisasi barang di kawasan ASEAN. Liberalisasi barang ini kemudian akan berdampak ke produsen dan konsumen, karena barang impor akan mudah sekali masuk. Dari program GTAP, dengan menggunakan tiga file

utama akan dilakukan agregasi negara dan sektor yang akan dianalisis dan dilakukan shock/guncangan. Setelah dilakukan guncangan inilah nantinya akan terlihat dampak perubahan terhadap produksi, tenaga kerja dan kesejahteraan. Kemudian dari hasil perubahan tersebut dapat disimpulkan kebijakan yang tepat untuk sektor beras Indonesia.

(25)

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data utama yang digunakan bersumber dari basis data Global Trade Analysis Project (GTAP) versi 8 dengan tahun dasar 2004 dan 2007 (Narayan et al. 2012). GTAP dikeluarkan oleh Centre for Global Trade Analysis, Purdue

University, Departemen Ekonomi Pertanian yang berkembang sejak tahun 1993 dan dipimpin serta diprakarsai oleh Prof. Thomas Hertel dalam sebuah konsorsium. Data GTAP terdiri dari data input output 129 negara dan 57 sektor dan 5 faktor input primer. Daftar lengkap perkembangan basis data GTAP dapat dilihat pada lampiran 1.

Metode Analisis

Untuk menganalisis digunakan model Computable General Equilibrium

(CGE) dengan multinegara dan multikomoditas melalui model GTAP. Model GTAP merupakan model komparatif statik sehingga perubahan persentase yang dihasilkan dalam model menggambarkan perubahan yang terjadi sebelum dan setelah kebijakan. Pada dasarnya model GTAP sama saja dengan model CGE nasional. Baik model GTAP ataupun model CGE sama-sama menggunakan konsep-konsep dasar arus pengeluaran dan pembelian antar pelaku ekonomi. Keduanya merupakan model struktural yang dibangun dengan dasar teori-teori mikroekonomi yang menjelaskan lebih detail perilaku-perilaku di masing-masing agen ekonomi (behavioral equations).

Perbedaan utama antara model CGE nasional dan model GTAP terletak pada cakupan wilayah. Pada model CGE, interaksi antara agen-agen yang berbeda berlangsung hanya dalam satu negara atau wilayah, sedangkan di dalam model GTAP interaksi antara agen-agen berlangsung antar negara/wilayah. Selain itu, GTAP juga mencakup transportasi global dan mobilitas investasi. Dengan demikian, model GTAP mampu menjelaskan dampak kebijakan antar negara, sementara dalam model CGE terbatas hanya dalam satu wilayah atau negara saja.

(26)

Aggregasi GTAP

Untuk mengagregasikan basis data GTAP, digunakan aplikasi gtapagg.exe versi 8. Aplikasi ini dapat dibeli melalui jalur online1. Tahap awal dalam menggunakan metode GTAP adalah mengaggregasikan Negara, sektor dan faktor

input primer. Untuk aggregasi negara dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk sektor diaggregasikan ke dalam sepuluh sektor baru sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Aggregasi sektor ini memfokuskan pada sektor barang, sehingga sektor jasa dikumpulkan ke dalam satu sektor sebagaimana yang dilakukan oleh Yamamoto

et al. (2007). Untuk faktor input dibagi kedalam lima faktor, yaitu: Land,

Unskilled Labor, Skilled Labor, Capital dan Natural Resources.

Tabel 1 Aggregasi sektor dalam GTAP No Nama Sektor Kode Sektor GTAP Keterangan

1 Padi Paddy rice. Paddy

2 Beras Processed rice. Processed rice

3 PanganLain Wheat; Cereal grains nec. Wheat n Cereal grains 4 TaniTernak Vegetables, fruit, nuts; Oil seeds;

Sugar cane, sugar beet;

Plant-5 Tambang Mining and Extraction Coal; Oil; Gas; Minerals nec. 6 Mamin Processed Food Vegetable oils and fats; Dairy

products; Sugar; Food products nec; Beverages and tobacco products. 7 Tekstil Textiles and Clothing Textiles; Wearing apparel.

8 Pupuk Fertilizer Chemical,rubber,plastic prods.

9 Manufaktur Light and Heavy Manf Leather products; Wood products; Paper products, publishing; 10 Jasa Utilities and Services Electricity; Gas manufacture,

(27)

15

Simulasi Kebijakan

Simulasi guncangan harus disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk menjawab tujuan pertama digunakan skenario MEA/Simulasi 1. Pada simulasi ini tarif seluruh barang antar anggota ASEAN diturunkan menjadi nol persen, kecuali untuk sektor padi dan beras. Hal ini berdasarkan Lampiran dari ASEAN Trade in Goods Aggrement tentang List of Highly Sensitive List. Variabel yang akan dilihat perubahan nilainya adalah Industry Output (qo), Demand for Endowment (qfe) dan Equivalent Variation (ev).

Untuk menjawab tujuan kedua dilakukan serangkaian simulasi kebijakan yaitu Simulasi 2, 3 dan 4. Simulasi 2 adalah skenario liberalisasi penuh, dengan asumsi kawasan ASEAN dianggap sudah terintegrasi penuh sehingga tidak ada lagi tarif. Simulasi 3a adalah Skenario dukungan domestik melalui subsidi benih. Asumsi pada skenario ini adalah sudah terjadi liberalisasi penuh di ASEAN dan Indonesia menerapkan subsidi pada sektor padi/gabah sebesar 40.92%. Hal ini dikarenakan selama periode 2013-2016 subsidi benih telah mengalami peningkatan rata-rata tahunan 48% dengan share benih pada subsidi tersebut sebesar 84%. Simulasi 3b adalah skenario dukungan domestik. Asumsi pada simulasi ini adalah terjadi liberalisasi penuh dengan subsidi pada sektor pupuk sebesar 1%. Hal ini karena selama periode 2013-2016 subsidi pupuk telah mengalami peningkatan rata-rata tahunan 24%. Selain itu dalam database GTAP menurut Sturm (2011), sektor pupuk hanya memiliki bagian tiga persen dari sektor crp (chemical rubber and plastic products). Simulasi 3c adalah skenario dukungan domestik melalui subsidi bunga kredit. Asumsi pada simulasi 3c adalah terjadinya liberalisasi penuh dan subsidi bunga kredit sebesar 7% untuk sektor padi dan beras. Terakhir adalah simulasi 4, yaitu skenario proteksi penuh. Asumsi pada simulasi 4 ini adalah terjadi liberalisasi penuh, namun sektor padi dan beras dinaikkan tarif impornya hingga 99%.

Berbagai simulasi yang dilakukan tersebut kemudian dilihat dampaknya terhadap produksi beras (qo), unskilled labor (qfe), trade balance (DTBal) dan

Equivalent Variation (ev). Skenario guncangan/shock yang digunakan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Daftar skenario kebijakan

No Nama Keterangan Guncangan (Shock) Dasar Hukum 1 Sim 1 Skema MEA melalui guncangan pada Subsidi benih dengan peningkatan subsidi sektor padi (to) sebesar Sim 3b Skema dukungan domestik melalui

Subsidi Pupuk dengan peningkatan subsidi sektor pupuk (to) sebesar 1%.

(28)

No Nama Keterangan Guncangan (Shock) Dasar Hukum Pertanian Tahun Anggaran 2015.

Sim 3c Skema dukungan domestik melalui Subsidi bunga kredit 7% melalui (to) padi dan beras.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/pmk.05/2007 tentang kredit ketahanan pangan dan energi. 4 Sim 4 Skema Proteksi Penuh, Melalui

peningkatan tarif impor (tms) sektor padi dan beras hingga mencapai 99 %.

Inpres No. 5 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran-nya oleh Pemerintah.

Pengolahan GTAP

Proses agregasi sektor dan negara/wilayah merupakan salah satu tahap pengolahan data di dalam model GTAP. Pada tahap tersebut juga dilakukan penyesuaian closure dan shock sesuai dengan tujuan penelitian. Model GTAP dengan basis datanya dan guncangan yang telah disusun, kemudian diolah dengan menggunakan software RunGTAP versi 3.62 dapat diunduh gratis. Tahapan pengolahan data dalam aplikasi tersebut dijelaskan mengikuti Gambar 5. Dengan menggunakan perangkat lunak RunGTAP akan dihasilkan keluaran (output) seperti file solusi (solution file), perubahan volume (volume changes) dan dekomposisi (decomposition).

Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997

Gambar 5 Pemanfaatan GTAP dengan alat RunGTAP dan penyelesaiannya

Hubungan di dalam model GTAP dirangkum di dalam hubungan antara bermacam-macam nilai agregat. Persamaan-persamaan yang telah dirubah dalam perubahan persentase merupakan persamaan-persamaan yang akan ada di dalam model utama GTAP. Seluruh notasi, variabel, parameter, persamaan dan lain-lain dapat dibaca lebih rinci pada Hertel (1997).

(29)

17

menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set, subset, parameter dan variabel bentuk nominal (value/ levels form) dinotasikan dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan (percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai contoh: PM(i, r) adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditas i di region r, dan pm(i, r) = [dPM(i, r)] / PM(i, r) adalah bentuk linier dari variabel harga tersebut. Set, sub-set, parameter dan variabel yang digunakan dalam model GTAP standar disajikan pada lampiran. Berikut ini diuraikan secara ringkas struktur model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997).

Dalam model GTAP ekonomi sebuah region dipresentasikan oleh satu rumah tangga regional (regional household) yang memperoleh income dari hasil penjualan endowment, VOA (value of output at agents prices), penerimaan pajak, dan industri (TAXES). Selain itu, pajak juga diterima dari wilayah lain (rest of the world) berupa pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX). Penghasilan rumah tangga wilayah tersebut selanjutnya dialokasikan sebagai pengeluaran (expenditures) sektor rumah tangga swasta (PRIVEXP), rumah tangga pemerintah (GOVEXP), dan sebagai tabungan ke global bank (SAVE).

Konsumsi rumah tangga swasta, VDPA (value of domestic purchases by

private households at agent’s prices) diasumsikan mengikuti fungsi pengeluaran CDE (Constant Difference of Elasticity). Konsumsi rumah tangga pemerintah, VDGA (value of domestic purchases by government households at agent’s prices) dipresentasikan dengan fungsi utilitas Cobb Douglas sehingga porsi pengeluaran untuk seluruh komoditas adalah konstan. Dalam model GTAP diasumsikan bahwa tabungan seluruhnya digunakan sebagai investasi (NETINV) melalui bank global. Di sisi produsen (industri), penerimaan diperoleh dari hasil penjualan barang konsumsi ke rumah tangga swasta (VDPA) dan pemerintah (VDGA), penjualan barang input antara ke industri lain (VDFA), serta penjualan barang investasi ke sektor tabungan (NETINV). Di samping hasil penjualan di pasar domestik, produsen juga memperoleh penerimaan dari hasil ekspor barang ke region lain (Rest of the world). Nilai penerimaan ekspor tersebut dinyatakan sebagai value of exports at market prices by destination (VXMD). Oleh karena setiap industri diasumsikan beroperasi pada kondisi zero profit maka jumlah penerimaan produsen seluruhnya dibelanjakan untuk pembelian faktor primer (VOA), input antara yang diproduksi di dalam negeri (VDFA) dan input antara yang berasal dari impor (VIFA).

Sifat multi-region dari model GTAP selain ditunjukkan dengan bank global juga oleh adanya sektor perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari satu region lain (Rest of the world). Region lain tersebut memperoleh penerimaan impor dari rumah tangga swasta (VIPA), rumah tangga pemerintah (VIGA), dan industri (VIFA). Penerimaan tersebut selanjutnya dibelanjakan untuk barang impor (VXMD), pembayaran pajak ekspor (VTAX) dan pajak impor (MTAX) kepada rumah tangga regional.

(30)

di dalam model ekonomi terbuka dengan pajak, sumber pengeluaran rumah tangga dan pemerintah, sumber pengeluaran perusahaan dan pendapatan faktor rumah tangga, disposisi dan sumber pendapatan regional, sektor global, dan kondisi keseimbangan umum (market clearing). Berikut akan dijelaskan persamaan-persamaan tersebut.

Sumber Pengeluaran Rumah Tangga dan Pemerintah

Nilai pengeluaran rumah tangga swasta pada harga agen (Value of Private

household purchases at Agents’ prices, VPA(i,s), suatu barang adalah

pengeluaran agregatnya terhadap barang-barang yang diproduksi domestik (domestically produced good, VDPA(i,s), dan komposit dari impor barang-barang pada harga agen (composite imports of this good at agents’ prices, VIPA(i,s). Nilai pengeluaran domestik oleh rumah tangga swasta pada harga pasar (Value of domestic purchases by the Private household at Market prices, VDPM(i,s), ditentukan setelah ditambahkan pajak komoditas domestik (domestic commodity taxes, DPTAX(i,s), dari pengeluaran barang-barang domestik (expenditure on domestic good, VDPA(i,s). Seperti juga pada pengeluaran barang-barang yang diproduksi domestik, untuk mendapatkan nilai impor dari rumah tangga swasta pada harga pasar (Value of Imports by the Private household at the Market prices, VIPM(i,s), pajak untuk komoditas rumah tangga swasta IPTAX(i,s), ditambahkan dari nilai komposit impor pada harga agen (value of composite imports at agents’

prices, VIPA(i,s). Hubungan nilai pengeluaran pemerintah mekanismenya juga sama seperti pada rumah tangga swasta.

Sumber Pengeluaran Perusahaan dan Pendapatan Faktor Rumah Tangga

Input perusahaaan terdiri dari faktor antara dan faktor primer. Aliran input

antara dapat dijelaskan sebagai nilai pembelian perusahaan untuk komoditas i, sektor j, di region s pada harga agen (Value of Firms’ purchases of i, by sector j,

in region s at Agents’ prices, VFA(i,j,s)), termasuk komponen domestik (the domestic components, VDFA(i,j,s)) dan komponen impor (imported components, VIFA(i,j,s)). Penambahan pajak domestik DFTAX(i,j,s) dari VDFA(i,j,s) menghasilkan nilai komponen domestik pada harga pasar (Value of Domestic components at Market prices, VDFM(i,j,s). Demikian pula jika ingin mendapatkan nilai pasar komponen impor (market value of imported components, VIFM(i,j,s)), diperoleh dari VIFA(i,j,s) dikurangi pajak impor (imports taxes

IFTAX(i,j,s)).

Disposisi dan Sumber Pendapatan Regional

Di dalam model GTAP, Hertel dan Tsigas (1997) mengasumsikan bahwa terdapat ”rumah tangga super” pada masing-masing ekonomi yang disebut rumah tangga regional. Keuntungan asumsi ini adalah kesejahteraan rumah tangga ini menawarkan penggunaan kesejahteraan regional yang diwakili, yang memfasilitasi analisis antar region jika ada intervensi kebijakan.

(31)

19

Sektor Transportasi dan Sektor Bank Global

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua sektor global di dalam model GTAP, yaitu sektor transportasi dan sektor bank global. Nilai jasa transportasi global untuk komoditas tertentu yang dikirim pada rute tertentu

VTWR(i,r,s), berbeda nilai fob dan cif. Sedangkan total permintaan untuk jasa transportasi internasional yang agregat sepanjang seluruh rute dan komoditas. Harga jasa transportasi diasumsikan sama untuk semua rute dan komoditas.

Sektor bank global berperan sebagai penghubung antara tabungan dan investasi. Investasi regional bersih (depresiasi) membentuk suatu komposit barang investasi (GLOBINV). Seluruh rumah tangga regional menunjukkan harga yang sama untuk tabungan (PSAVE) dan tabungan agregatnya harus sama dengan investasi global. Investasi regional bersih ditambah modal stok, VKB(r), memberikan periode akhir modal stok, VKE(r). Belakangan tidak tersedia penggunaan produksi selama periode sekarang, seperti perlakuan stok modal di dalam model nasional. Awalnya (tersedia untuk penggunaan dengan segera) stok modal dialokasikan kepada sektor-sektor berdasarkan fungsi CET (constant elasticity transformation) jika diperlakukan sebagai komoditas yang tidak bergerak.

Kondisi Keseimbangan Umum

Penawaran dan permintaan pada setiap komoditas, termasuk faktor-faktor produksi, harus sama di dalam model keseimbangan umum. Demikian pula dengan nilai penawaran harus sama dengan nilai permintaan. Untuk komoditas yang diperdagangkan, nilai output dihubungkan dengan nilai penjualan. Kuantitas

output pada gilirannya akan berhubungan dengan penggunaan input melalui fungsi produksi. Hubungan terakhir yang digambarkan juga dalam nilai. Untuk melengkapi keseimbangan umum, penawaran faktor harus sama dengan permintaan untuk faktor; atau ekuivalen, dimana nilai harus sama. Untuk faktor yang mobile, kondisinya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Untuk faktor yang tidak mobile, permintaan pada industri harus sama dengan penawaran. Permintaan spesifik menurut fungsi transformasi. Ini harus ditambahkan ke penawaran. Sehingga, QO = QFE. Tapi QFE secara langsung proporsional dengan QO dan menambahkan 1 dengan asumsi fungsi produksi dan tingkah laku perusahaan. Dengan harga pasar untuk faktor, VOM = VFE.

GTAP memasukkan seluruh persamaan yang diperlukan untuk keseimbangan umum, pada sebagian besar model CGE, variabel pengganti (slack) masuk di dalam variasi persamaan yang membuat persamaan-persamaan tersebut menjadi model yang mudah diubah. Pada GTAP variabel slack dimasukkan ke dalam persamaan market clearing untuk komoditas yang diperdagangkan dan faktor-faktor yang mobile, diantara yang lain. Di pasar, variabel slack berarti bahwa harga dapat diset menjadi eksogen dengan penawaran dan permintaan dalam kondisi keseimbangan bisa berubah, merefleksikan kelebihan penawaran atau permintaan, dan memfasilitasi analisis keseimbangan parsial.

Behavioral Equations

(32)

ekonomi, yaitu struktur produksi, konsumsi, impor, kesejahteraan dan makroekonomi.

Struktur Produksi

Struktur produksi dari sebuah industri pada satu region diasumsikan mengikuti fungsi produksi secara berjenjang (nested), constant returns to scale

(CRS) dan dalam pasar persaingan sempurna. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6, untuk menghasilkan sebuah output, qo(j,s), produsen/industri akan mengkombinasikan penggunaan nilai tambah faktor primer, qva(j,s), dengan input

antara, qf(i,j,s), berdasarkan fungsi produksi Leontief.

Faktor produksi primer terdiri dari: land, skilled and un-skilled labor, capital, dan natural resources. Jumlah faktor produksi primer yang digunakan adalah sebesar qfe(i,j,s), dimana setiap faktor dapat saling bersubstitusi melalui fungsi constant elasticity of substitution (CES).

Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997

Gambar 6 Struktur produksi model GTAP

Input antara (intermediate inputs) dibedakan menjadi yang berasal dari produksi dalam negeri qfd(i,j,s) dan barang impor, qfm(i,j,s) berdasarkan asumsi Armington. Barang impor tersebut merupakan gabungan impor dari beberapa region lain yang ada di dalam model yang diasumsikan dengan fungsi CES.

Fungsi CES secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

[ ]

Dimana: Y = Output

(33)

21

A = Parameter Efisiensi g = Parameter Subtitusi

σ = Parameter elastisitas, dimana ( σ = )

Konsumsi

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, rumah tangga regional akan mengalokasikan pendapatannya (income) untuk konsumsi rumah tangga swasta, rumah tangga pemerintah, dan investasi. Gambar 7 mengilustrasikan perilaku ketiga agen ekonomi untuk aktivitas konsumsi.

Konsumsi rumah tangga swasta dispesifikasikan dalam fungsi Constant Difference of Elasticity (CDE). Fungsi CDE digunakan karena memiliki karakteristik seperti yang diharapkan, dimana preferensi rumah tangga tidak bersifat homothetic. Fungsi CDE yang non-homothetic secara konsisten dapat menjelaskan perubahan konsumsi akibat perubahan tingkat pendapatan rumah tangga.

Sumber: Hertel dan Tsigas, 1997

Gambar 7 Struktur konsumsi dalam model GTAP

Impor

(34)

sehingga menimbulkan biaya transportasi yang nilainya proporsional terhadap nilai perdagangan. Harga domestik dari barang impor yang masuk ke region r dari region s adalah sama dengan jumlah harga Freight on Board (FOB) ekspor dari region s, pajak ekspor di region s, biaya transportasi, dan tarif impor yang berlaku di region r. Gambar 3.4 menunjukkan agregasi impor dan biaya transportasi yang dari model GTAP.

Sumber : Hertel dan Tsigas, 1997

Gambar 8 Struktur impor model GTAP

Kesejahteraan

Perubahan kesejahteraan di sebuah region dalam model GTAP dinyatakan dalam equivalent variation, EV(r), yang dihitung dengan persamaan:

EV(r) = u(r) * INC(r)/100,

dimana u(r) adalah persentase perubahan kesejahteraan per kapita dan

INC(r) adalah pendapatan (income) sebuah region. Dalam basis data GTAP, nilai

EV(r) dihitung berdasarkan nilai US$ tahun versi GTAP terbaru dalam satuan juta (million). Selanjutnya, kesejahteraan dunia (WEV) dihitung dengan menjumlahkan seluruh kesejahteraan region.

Penutup Makroekonomi

Sebagai penutup makroekonomi, model GTAP menggunakan persamaan identitas, sebagai berikut:

S – I = X + R – M

(35)

4 GAMBARAN UMUM

Kinerja Perdagangan Beras

Beras merupakan kebutuhan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bahkan sebagian penduduk yang makanan pokoknya nonberas seperti sagu atau yang lainnya, saat ini diperkirakan banyak beralih mengkonsumsi beras. Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya sedikit melambat. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni 1.49% per tahun pada periode tahun 2000-2010 (Statistik Indonesia 2011, BPS).

Menurut Kementerian Pertanian (2013) kinerja perdagangan komoditas pertanian dilihat dari neraca perdagangan luar negeri komoditas pertanian pada tahun 2008-2012 mengalami surplus 11.32 juta ton. Namun defisit besar terjadi dalam tanaman pangan, peternakan dan hortikultura sebagaimana terlihat pada Gambar 9.

Sumber: Kementerian Pertanian 2013

Gambar 9 Kontribusi subsektor pertanian Indonesia berdasarkan rata-rata nilai ekspor dan impor periode tahun 2008 – 2012.

Sentra Produksi Beras

Menurut Kementerian Pertanian (Kementan), tanaman padi selama ini dibudidayakan hampir di semua provinsi di Indonesia sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Berdasarkan data produksi dari Pusat Data dan Informasi Kementan, rata-rata lima tahun terakhir pada periode 2008 – 2012, sebesar 77% produksi padi di Indonesia disumbang oleh 9 provinsi. Sentra produksi padi masih didominasi oleh Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang masing-masing memberikan kontribusi sebesar 17.22% (setara 11.23 juta ton GKG), 17.20% (11.22 juta ton GKG), dan 14.87% (9.7 juta ton GKG). Daftar lengkap sentra produksi beras tersebut dapat terlihat pada Tabel 3.

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00%

Peternakan Tanaman

Pangan

Hortikultura Perkebunan

Ekspor

(36)

Tabel 3 Perkembangan produksi padi di provinsi sentra di Indonesia, 2008 – 2012

Menurut Kementerian Pertanian (2014), saat ini di negara-negara Asia menunjukkan kecenderungan peningkatan produksi dan ekspor beras dengan angka konsumsi yang menurun. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan urbanisasi, konsumsi per kapita beras mempunyai kecenderungan menurun di negara-negara Asia Tengah dan berpenghasilan tinggi seperti Jepang, Taiwan dan Republik Korea. Tapi, hampir seperempat populasi di Negara Asia masih tergolong miskin dan belum memiliki akses yang cukup terhadap beras seperti Afghanistan, Korea Utara, Nepal dan Vietnam. Di Indonesia masyarakatnya sekitar 90% mengonsumsi beras, namun sejak tahun 2004 total konsumsi beras pertahunnya terus menurun. Besar penurunan konsumsi beras Indonesia dari tahun 2004-2013 mencapai 9.85% sebagaimana terlihat pada Gambar 10.

Sumber: Susenas, BPS 2014

Gambar 10 Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras rumah tangga Indonesia periode 2004 – 2013

(37)

25

Kinerja Ekspor dan Impor Beras Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras di dunia, bahkan pada masa lalu merupakan negara dengan swasembada beras. Produksi beras Indonesia sebagian besar ditujukan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Tingginya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi pertumbuhan produksi beras, merubah Indonesia menjadi negara importir beras. Kinerja perdagangan beras terkait aktivitas ekspor impornya dapat dilihat pada tabel Tabel 4. Selama periode tahun 2008-2012, ekspor total beras Indonesia mengalami peningkatan volume dan nilai dengan rata-rata sebesar 33.81% dan 44.39%. Peningkatan ekspor ini lebih disebabkan karena peningkatan ekspor yang cukup signifikan pada tahun 2009. Sementara tahun 2010 terjadi penurunan ekspor yang cukup tajam baik volume maupun nilainya.

Realisasi impor beras Indonesia jauh lebih besar dibandingkan ekspornya dan terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 107.65% (volume) dan 126.21% (nilai). Hal ini menyebabkan neraca perdagangan beras Indonesia selalu mengalami defisit. Defisit neraca perdagangan beras Indonesia dari tahun 2008 – 2012 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 108.39% (volume) dan 127.91% (nilai). Defisit neraca perdagangan terbesar pada periode ini terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 2.74 juta ton atau setara dengan US$ 1.51 miliar.

Tabel 4 Perkembangan ekspor, impor dan neraca perdagangan komoditas beras, periode tahun 2008 – 2012

289,274 250,276 687,583 2,744,261 1,927,563 107.65

-Nilai (ribu US$)

123,783 107,955 360,790 1,509,257 1,006,973 126.61

Neraca

-Volume (Ton)

-288,052 -246,887 -686,773 -2,743,196 -1,926,472 108.39

-Nilai (ribu US$)

-122,848 -105,918 -360,230 -1,507,985 -1,005,638 127.91

Sumber: BPS (Diolah Pusdatin Kementan)

Negara Tujuan Ekspor dan Negara Asal Impor Beras Indonesia

(38)

adalah Amerika sebesar 12.7% (US$ 169.51 ribu), dan Jerman sebesar 11.62% (US$ 155.14 ribu).

Impor beras Indonesia utamanya berasal dari Vietnam dan Thailand. Jika dilihat dari sisi harga, harga beras Vietnam berada pada level yang lebih rendah dibandingkan harga beras Thailand. Besarnya kontribusi nilai impor dari Vietnam dan Thailand masing-masing sebesar 57.16% (US$ 575.6 juta) dan 21.92% (US$ 220.68 juta).

Negara lainnya asal impor beras Indonesia adalah India dan Pakistan, masing-masing sebesar 13.49% (US$ 135.85 juta) dan 5.43% (US$ 54.71 juta). Total kontribusi keempat negara utama ini mencapai 98%, sementara sembilan negara lainnya hanya berkontribusi sekitar 2% saja.

Kebijakan Beras Indonesia

Secara umum kebijakan sektor beras di Indonesia saat ini adalah melindungi produsen beras ketika musim panen dan konsumen ketika masa tanam. Kebijakan ini hampir sama dengan kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Sri Lanka terhadap sektor berasnya (Weerahewa, 2006). Berbeda dengan Indonesia dan Sri Lanka, Pemerintah Bangladesh lebih menyerahkan stok berasnya kepada sektor swasta dan terbukti berhasil menurut Dorosh (2001) dikarenakan sektor berasnya berada pada pasar persaingan sempurna.

Awal mulanya kebijakan tersebut adalah ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 98 yang mengakibatkan pada meningkatnya harga-harga. Para petani di Indonesia harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih tinggi dari periode sebelum masa krisis untuk pembelian input produksi. Ditambah lagi dengan membanjirnya beras impor sebagai dampak dari liberalisasi pertanian oleh WTO. Kedua hal tersebut menyebabkan pada penurunan efisiensi petani dan harga gabah serta terganggunya keamanan pangan. Dampak akhirnya adalah, petani padi menjadi malas menanam padi karena tidak kompetitifnya pasar beras dalam negeri (Hadi dan Wiryono 2005). Menurut Ninno et al. (2007) bagi negara berkembang, keamanan pangan masih menjadi prioritas baik untuk kesejahteraan maupun kestabilan politik. Karena pentingnya keamanan pangan, maka diperlukan campur tangan pemerintah melalui kebijakan.Hadi dan Wiryono (2005) mengatakan bahwa pertanian Indonesia memiliki dua jenis kebijakan yaitu tarif dan non tarif. Kombinasi dua kebijakan ini terbukti berhasil menurunkan impor dan meningkatkan harga dalam negeri, jumlah produksi, surplus produsen dan pendapatan petani.

(39)

27

hukum bagi importir beras yang tidak melaksanakan impor beras sesuai ketentuan.

Dari sisi produsen pemerintah memberikan subsidi untuk benih dan pupuk. Sering terjadinya kelangkaan pupuk khususnya pupuk Urea, SP 36, ZA dan NPK, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005 Tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan. Kebijakan pemberian subsidi pupuk banyak dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia dan India. Pemberian subsidi ini menurut Ramli et al. (2012) masih diperlukan oleh Malaysia untuk menjaga produksi padi dan berasnya. Di India kebijakan ini menurut Sharma dan Thaker (2009) telah dilaksanakan sejak tahun 2000 dan terbukti telah menstimulasi peningkatan produksi padi dan produktifitas petani.

Kementerian Pertanian sampai saat ini, terus memberikan subsidi pupuk dan alat mesin pertanian untuk meningkatkan produktivitas petani. Tugas ini diemban oleh Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian yang salah satu fungsinya adalah melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan lahan, air irigasi, pembiayaan, pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian. Kementerian Keuangan melalui PMK Nomor 198/PMK.05/2012 menerbitkan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi. Dimaksudkan agar dapat meningkatkan kemampuan permodalan petani sehingga terjaga daya belinya. Selain itu Kementerian Keuangan juga menyiapkan anggaran untuk meningkatkan harga pembelian gabah sebesar sepuluh persen sebagaimana tertuang dalam Inpres No 5 Tahun 2015. Hal ini untuk memberikan kepastian harga jual kepada petani padi, sehingga mereka tetap memiliki keinginan untuk menanam padi.

Dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan yang berkualitas dan untuk membantu para petani agar dapat membeli benih padi nonhibrida, yang terjangkau dan berkualitas maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.02/2010 Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Benih Padi Nonhibrida, Jagung Komposit, Jagung Hibrida, dan Kedelai Bersertifikat.

Tabel 5 Subsidi benih dan pupuk di Indonesia periode tahun 2013-2016

Tahun Subsidi Benih

Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2016 Subsidi benih telah mencapai Rp.1.02 triliun dan untuk pupuk mencapai Rp.30.10 triliun. Nilai ini jika dibandingan dengan nilai subsidi benih dan pupuk pada tahun 2013 telah mengalami peningkatan rata-rata tahunan masing-masing sebesar 49 persen dan 24 persen. Subsidi benih yang paling besar terjadi di tahun 2014 sedangkan subsidi pupuk pada tahun 2015.

Gambar

Gambar 1 Produksi gabah, beras, konsumsi beras dan luas lahan padi di Indonesia periode tahun 2007-2012
Gambar 2 Penentuan harga keseimbangan
Gambar 3 Dampak penurunan tarif
Gambar 4 Alur pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Although this study is still in the form an opinion paper; I then dream to conduct a related research specially investigating the probability of using ARALISH

Tujuan perencanaan ini adalah untuk mengetahui Rencana Biaya Pelaksanaan (RBP) yang paling mungkin dengan harga satuan yang bervariasi pada Proyek Konstruksi dengan

I-III : Nilai p= 0,008 (p<0,05) sehingga terdapat perbedaan bermakna ekstrak buah delima yang signifikan antara kelompok kontrol normal dan kelompok perlakuan 1.. I-IV :

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi calon wisatawan dalam memperoleh informasi yang akurat tentang objek wisata, hotel, transportasi di

Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Cet.. murah, sehingga banyak wisatawan yang menyempatkan diri berbelanja di Pasar tersebut. Pasar Beringharjo ini juga

Pertimbangan lain pada perkara ini, MK memberikan pandangan bahwa MK tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural ( procedural justice ) memasung dan

Secara konsep Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dilaksanakan BUMN tidak jauh berbeda dengan kegiatan-kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan

7) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemborosan dan hidup mewah. perilaku siswa dalam pengamalan ini siswa tidak boros dengan menabung