• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Sosial Ekologi Pengelolaan Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi Dki Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Sosial Ekologi Pengelolaan Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi Dki Jakarta"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA SOSIAL-EKOLOGI PENGELOLAAN

PULAU PARI PROVINSI DKI JAKARTA

NEKSIDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Dinamika Sosial-Ekologi Pengelolaan Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 23 Mei 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

NEKSIDIN. Dinamika Sosial Ekologi Pengelolaan Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan MAJARIANA KRISANTI.

Dinamika sosial ekologi yang terjadi di Pulau Pari merupakan dampak dari aktivitas masyarakat dalam memaksimalkan pengelolaan di bidang pariwisata bahari, dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di pulau tersebut. Untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan, diperlukan pengawasan dan kontrol yang baik agar potensi yang dimiliki tetap terjaga. Oleh karena itu untuk mencega terjadinya penurunan daya dukung lingkungan, maka perlu adanya penelitian terkait status pengelolaan Pulau Pari serta strategi dalam pengelolaannya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan kondisi Pulau Pari berdasarkan pemanfaatannya serta menganalisis keberlanjutan masing-masing usaha. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang tepat terhadap pengelolaan Pulau Pari sesuai dengan peruntukanya dan tanpa memberikan dampak yang besar terhadap kualitas lingkungan

Penelitian dilakukan pada bulan Februari-April 2015 bertempat di Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Data dikumpulkan melalui wawancara secara mendalam kepada masyarakat Pulau Pari, dan data ekologi diperoleh dengan melakukan pengukurang langsung dilapangan. Setelah data dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan analisis Travel Cost Method (TCM), analisis usaha, analisis Multidimensional Scaling (MDS), status ekologi, analiis tata guna lahan, analisis kesesuaian lahan, serta melihat persepsi masyarakat terhadap perubahan pengelolaan. Hasil dari analisis yang dilakukan kemudian di masukan dalam satu analisis agar terlihat gambaran keberlanjutan dari masing-masing dimensi.

Berdasarkan analisis keberlanjutan usaha budidaya rumput laut diperoleh empat dimensi yang masih harus diperbaiki yaitu dimensi ekologi, ekonomi, infrastruktur dan kelembagaan, yang memiliki nilai 75% (Cukup Berlanjut), sedangkan dimensi sosial memiliki nilai 76% yang berarti sustainable. Secara keseluruhan nilai keberlanjutan usaha budidaya rumput laut yaitu 57,4% yang berarti cukup berlanjut, sedangkan analisis keberlanjutan wisata bahari menunjukan dua dimensi yang perlu dibenahi yaitu dimensi kelembagaan dengan nilai 27,3% (Buruk), dan dimensi infrastruktur dengan nilai 73,3% (Cukup), sedangkan 3 dimensi lainnya (ekologi, ekonomi, dan sosial) memiliki nilai diatas 75%. Secara keseluruhan nilai keberlanjutan usaha wisata bahari yaitu 51,6% (Cukup Berlanjut). Secara keseluruhan ke dua usaha di atas memiliki nilai keberlanjutan yang cukup berlanjut, oleh karena itu dimensi yang dianggap berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan, perlu diperbaiki agar tercapai keberlanjutan yang terintegrasi.

(6)

NEKSIDIN. Social-Ecologic Dynamic Management of Pari Island, Kepulauan Pulau Seribu District, DKI Jakarta Province. This research is supervised by ACHMAD FAHRUDIN and MAJARIANA KRISANTI.

Socio-Ecological dynamic happening in Pari Island is a result of community activities in maximazing management in marine tourism sector that has an aim to increase local community economic of the island. In achieving sustainable management, it is needed a good control and continously monitoring in order to maintain the local resources is still remain stable. Hence, to prevent the island of decreasing carrying capacity, there should be a related research about management status and managing strategy of the island. This research aimed to compare the Pari Island according to its utizilization and to analyze sustainability of each economic activities. This research is supposed to contribute a proper recommendation for managing Pari Island in accordance with allotment without casting a big impact to the environment.

This research was condcuted on February to April 2015 at Pari Island, Kepulauan Seribu Sub-District, DKI Jakarta Province. Sosio-economical data was collected by deep interviews to the local villagers of the island, and the ecological data was derived by field measurement. Those data then analyzed by using Travel Cost Method (TCM), Businees Analysis, Multidimensional Scalling Analisis (MDS), Ecological Status, Land Use Analysis, Land Suitability Analysis, and Local Perception to the Changing Management. Results of those analysis therefore inputed to an analysis in order to bare sustainability of each dimensions. Acording to the analysis of sea weed culture sustainability, there are four dimensions that still have to be revised such as ecological, economical, infrastructure and institutional dimensions which have 75 % means still sustainable. Whilist, social dimension has 76% that means sustainable. Overall sustainability scoring of sea weed culture is 57.4% that means fairly sustainable. Furthermore, marine tourism has two dimensions that have to be fixed such as institutional dimension as many as 27.3% (poor), and infrastructural dimension as many as 73.3% (enough). While other dimensions (ecologic, economic, and social) have scores higher than 75%. Overall sustainability scoring of marine tourism activity is 51.6% that means fairly sustainable. Total of both busineess has sustainability scores as adequetly sustainable. Thereupon, dimensions affecting to the sustainability management have to be restored with an eye to achieve the integrating sustainability.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

DINAMIKA SOSIAL-EKOLOGI PENGELOLAAN PULAU

PARI PROVINSI DKI JAKARTA

NEKSIDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 sampai April 2015 ini ialah Sosial-Ekologi, dengan judul Dinamika Sosial-Ekolgi Pengelolaan Pulau Pari Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Ibu Dr. Majariana Krisanti,S.Pi, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Triyono, SP, M.Si selaku Kepala UPT LPKSDMO LIPI Pulau Pari yang telah banyak memberikan bantuan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Irna Diana, S.Pi, M.Si, La Ode Hasrun, S.Pi, La Ode Ali Fatri, S.Kel serta rekan-rekan seangkatan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisisr dan Lautan (SPL) yang telah banyak membantu dalam proses penelitian sampai tahap penyusunan tesis.

Penghargaan yang sama penulis sampaikan kepadaDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan COREMAP CTI yang telah memberikan beasiswa dan bantuan penelitian sehingga penulis dapat melanjutkan studi di program Pascasarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisisr dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Alm Ayahanda Nege Daela dan Ibunda Undy Hartiny, serta seluruh saudara-saudara saya (Nedwin JH, Nety Nuriani, Neri Jandi, Neri Yatin, dan Nerdin JH) atas doa dan bantuanya.

Semoga tesis ini memberikan kontribusi ilmiah bagi pembangunan pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia khususnya di Pulau Pari Kabupaten Kepulau-pulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta.

Bogor, 23 Mei 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan dan Manfaat 3

Kerangka Pemikiran 3

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 5

Jenis dan sumber Data 5

Metode Pengambilan Data 6

Metode Analisis 7

Analisis Perubahan Sosial Ekonomi 7

Analisis Metode Biaya Perjalanan (TCM) 7

Analisis Usaha 9

Analisis Ekologi 9

Analisis Keberlanjutan 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi 13

Aspek Sosial 13

Aspek Ekonomi 18

Aspek Ekologi 22

Analisis Keberlanjutan 28

Analisis Multidimensional Scaling Usaha Budidaya Rumput Laut 28 Analisis Multidimensional Scaling Usaha Wisata Bahari 34 Perbandingan Keberlanjutan Pengelolaan Pulau Pari 41 5 SIMPULAN DAN SARAN

(16)

2. Analisis usaha budidaya rumput laut 20

3. Analisis usaha wisata bahri 21

4. Kualitas air tahun 1997-2014 23

5. Kondisi keseuaian lahan untuk wisata snorkling 25 6. Nilai IKW pada masing-masing objek wisata pantai Pulau Pari 26

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran dinamika sosial-ekologi pengelolaan Pulau Pari

Provinsi DKI Jakarta 4

2. Peta lokasi penelitian 5

3. Tahapan analisis Multidimensional Scaling 11 4. Persentase jenis pekerjaan sebelum terjadi perubahan mata

pencaharian sampai dengan saat ini

14 5. Persentase persepsi responden terkait perubahan biaya hidup 14 6. Kondisi rumah yang belum direnovasi dan yang telah direnovasi 15 7. Pesentase jumlah homestay berdasarkan hasil sensus 2014 16

8. Jumlah pengunjung tahun 2014-2015 16

9. Perubahan lokasi bangunan Pulau Pari tahun 2010 dan 2015 17 10.Persepsi responden terkait usaha yang lebih menguntungkan 19 11.Penambahan Jumlah kios dan rumah makan tahun 1985-2015 19 12.Peta kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut 24 13.Peta kesesuaian lahan untuk kategori wisata pantai 27 14.Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan

budidaya rumput laut Pulau Pari

29 15.Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan

budidaya rumput laut Pulau Pari

30 16.Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan budidaya

rumput laut Pulau Pari

31 17.Atribut infrastruktur yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan

budidaya rumput laut Pulau Pari

32 18.Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan

budidaya rumput laut

33 19.Nilai dari semua dimensi dalam usaha budidaya rumput laut 34 20.Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan wisat

bahari Pulau Pari

35 21.Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan wisata

bahari Pulau Pari

36 22.Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan wisata

bahari Pulau Pari

37 23.Atribut infrastruktur yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan

wisata bahari Pulau Pari

(17)

24.Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutanwisata bahari Pulau Pari

39 25.Nilai keberlanjutan untuk semua dimensi 40 26.Keberlanjutan pengelolaan usaha rumput laut dan wisata bahari 41

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuisioner Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau Pari 50

2. Kuisioner Wisatawan Pulau Pari 59

3. Analisis Kesesuaian Lahan wisata Pantai Pulau Pari 63

4. Analisis Usaha Wisata Bahri 67

5. Analisis Usaha Budidaya Rumput Laut 70

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

(20)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km (WRI 2001) memiliki 17.475 pulau-pulau kecil (KKP 2011). Kawasan pulau-pulau kecil menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang produktif sebagai modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun (seagrass), perikanan, kawasan konservasi, dan wisata bahari maupun lainnya yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi serta mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Keunikan, keindahan, dan nilai yang ada di pulau-pulau kecil berupa keanekaragaman, kekayaan alam maupun sosial budaya dapat dimanfaatkan dengan berbagai kegiatan yang bisa menunjang ekonomi masyarakat di sekitarnya, seperti pengembangan budidaya laut, wisata bahari dan sebagainya. Potensi ini berpeluang mendorong peningkatan penghasilan bagi devisa negara dari kunjungan para wisatawan (Kemenbudpar 2004).

Pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia harus sebisa mungkin dikelola dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan, sehingga dalam pengelolaannya tidak saling merugikan antara semua aspek yang terlibat, baik itu aspek sosial, ekonomi, budaya masyarakat dan ekologi yang ada di pulau-pulau kecil. Dalam UU RI No. 1 tahun 2014 menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan pulau-pulau kecil yang berbasis konservasi dan masyarakat merupakan wujud nyata dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam demi keberlanjutan pemanfaatan (Anwar 2011).

(21)

2

dan prasarana, serta sosial-ekonomi, yaitu isu-isu yang berkaitan dengan sikap lokal, persepsi dan perubahan kualitas hidup akibat dampak wisata. Pengaruh sosial-budaya maskarakat dan tempat di pulau kecil dapat juga terkait dengan makna atau nilai-nilai negatif (Manzo 2005). Nilai negatif sering dikaitkan dengan aktifitas yang dapat mengurangi atau memperburuk jasa ekosistem tertentu. Walaupun demikian, menurut Robertico (2004) bahwa strategi wisata berkelanjutan (sustainable tourism) merupakan salah satu strategi yang dinilai sangat cocok dikembangkan di pulau-pulau kecil, mengingat potensi sumberdaya alam yang berada di pulau-pulau kecil sangat unik dan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Seperti keanekaragaman hayati yang cukup tinggi serta biaota yang ada di pulau-pulau kecil yang endemik tentunya memberikan nilai jual tersendiri, sehingga dalam pengelolaannya harus tetap memperhatikan aspek dari keberlanjutan sumberdaya yang ada, disisi lain pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap pengaruh dari luar seperti pengaruh adanya aktivitas sosial ekonomi di sekitarnya yang sewaktu-waktu dapat memberikan dampak yang cukup besar, seperti pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan masih banyak lagi ancaman yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kerusakan ekologi secara menyeluruh.

Melihat dinamika pengelolaan pulau-pulau kecil khususnya di Pulau Pari maka diperlukan kajian atau penelitian terkait masalah perubahan sosial-ekonomi dan ekologi di Pulau Pari serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut dan strategi apa yang dapat disarankan untuk keberlanjutan pengelolaan kawasan Pulau Pari. Selain itu dengan adanya penelitian mengenai Dinamika Sosial Ekologi diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait komoditi apa yang harus dikembangkan di daerah tersebut dan bagaimana strategi pengelolaanya.

Perumusan Masalah

Pulau Pari awalnya dikenal sebagai daerah yang mempunyai luasan budidaya laut yang cukup besar bahkan menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap produksi rumput laut di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu. Adanya berbagai kegiatan yang dilakukan di Pulau Pari diduga merupakan salah satu faktor penurunan hasil budidaya sehingga berdampak terhadap perubahan sosial-ekonomi masyarakat. Dinamika yang terjadi di Pulau Pari perlahan mulai menghilangkan kebiasaan masyarakat, bahkan kegiatan budidaya rumput laut yang diyakini dapat memberikan dampak terhadap peningkatan perekonomian masyarakat Pulau Pari sekarang telah ditinggalkan. Faktor penyakit juga turut mempengaruhi terhadap penurunan produksi budidaya di pulau tersebut, selain itu adanya jumlah wisatawan yang semakin meningkat memberikan peluang terhadap pengembangan Pulau Pari sebagai kawasan wisata bahari. Kegiatan wisata juga merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi terhadap perubahan pola perilaku masyarakat yang sebelumnya pembudidaya sekarang kepengelola wisata seperti penyediaan fasilitas penginapan, rumah makan, peralatan diving dan lain-lain.

(22)

sosial-ekologi, dan strategi pengelolaan yang tepat agar Pulau Pari tetap terjaga, baik dari sisi ekologi maupun sosial ekonomi masyarakat.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan kondisi sosial ekologi Pulau Pari berdasarkan pemanfaatannya (usaha budidaya rumput laut dan wisata bahari) serta menganalisis keberlanjutan masing-masing usaha. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi pengelolaan Pulau Pari sesuai dengan peruntukanya tanpa memberikan dampak buruk terhadap keberlanjutan sosial-ekologi.

Kerangka Pemikiran

(23)

4 SOSIAL-EKONOMI

- Jumlah Pembudidaya

- Jumlah Pengelola Wisata

- Perubahan Biaya Hidup

- Pendapatan Masyarakat

-EKOLOGI

- Penurunan Kualitas perairan

- Bangunan

- Ekosistem terumbu karang

Dinamika Pemanfaatan Sumberdaya (Dari Budidaya Ke Wisata Bahari)

Status Keberlanjutan

Pengelolaan Pulau Pari

Perubahan Ekologi? Perubahan

Sosial-Ekonomi?

(-)

(-)

(+) (+)

4

(24)

2.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Februari-April 2015 di Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa Pulau Pari awalnnya dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut, namun dari tahun ke tahun terjadi penurunan produksi rumput laut, hal ini diduga disebabkan karena adanya penurunan kualitas perairan, perubahan pola perilaku masyarakat, serta adanya kegiatan wisata bahari yang secara perlahan mulai mendominasi wilayah Pulau Pari.Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian Pulau Pari Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian mengenai dinamika sosial dan ekologi yang terjadi dari kegiatan budidaya sampai peralihan ke usaha wisata bahari. Data ini diperoleh dengan menyebarkan kuisioner kepada pengunjung, masyarakat lokal, pelaku usaha serta pemerintah setempat yang ada di Pulau Pari (Lampiran 1). Selanjutnya data hasil wawancara dapat menjadi data pembanding antara data yang diperoleh dari tahun sebelumnya dengan data yang diperoleh saat penelitian berlangsung, sehingga akan menunjukan dinamika yang terjadi di Pulau Pari.

(25)

6

Data sosial, ekonomi dan ekologi dari tahun-tahun sebelumnya di peroleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan instansi/lembaga terkait seperti Dinas Perhubungan, maupun dari studi literatur berupa jurnal, buku, dan hasil penelitian lainnya. Secara ringkas mengenai jenis dan sumber data disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan sumber data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Data Output

1. Membandingkan Kondisi

- Data kualitas air dari penelitian sebelumnya

- Data kondisi ekologi dari tahun-tahun sebelumnya

- Kualitas Air

- Kesesuaian lahan (Analisis kesesuaian lahan untuk rumput laut, wisata snorkling, dan wisata pantai)

- Analisis Spasial

- Membandingkan kondisi ekologi pada saat penelitian dengan kondisi ekologi dari Pulau Pari Dari Sisi Sosial Dan Ekonomi Sebelum Dan Pada Saat Penelitian Berlangsung

Data Primer dan Data Sekunder

- Data jumlah KK dan pendapatan masyarakat (Hasil hasil budidaya, dan pendapatan dari usaha wisata bahari)

- Jumlah pengelola wisata dan jumlah pembudidaya rumput laut)

- Persepsi masyarakat (kuisioner)

- Pendapatan masyarakat (Analisis Usaha dan Travel Cost Method)

- Data Sosial Ekologi dan Infrastruktur

- Melihat perubahan pengelolaan pulau pari yang terjadi dari tahun ke tahun

- Rekomendasi pengelolaan

Sebanyak 131 wisatawan yang sedang berkunjung pada saat penelitian menjadi responden dan diambil secara sengaja (accidental sampling). Responden dalam penilaian dampak sosial ekonomi adalah penduduk lokal yang awalnya pembudidaya rumput laut dan sekarang menjadi pelaku usaha dibidang wisata bahari. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purpossive sampling yaitu memilih penduduk lokal yang menjadi pelaku usaha di sektor wisata bahari. Sedangkan untuk data ekologi pengambilan sampel dilakukan secara langsung yang meliputi pengukuran kualitas air, selanjutnya data tersebut dibandingkan dengan data kualitas air yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga terlihat perubahan yang terjadi.

a. Data sosial

(26)

dengan total responden sama dengan responden masyarakat yaitu sebesar 130 orang.

b. Data ekologi

Pengukuran kualitas air dilakukan untuk melihat perubahan ekologi yang terjadi di Pulau Pari, selanjutnya hasil pengukuran tersebut akan dianalisis dengan membandingkan data-data yang telah diperoleh dari penelitian sebelumnya. Pengambilan sampel kualitas air dimulai dengan penentuan stasiun penelitian berdasarkan keterwakilannya. Stasiun satu (Stasiun Utara) berada diantara Pulau Pari dan Pulau Tengah yang secara langsung kondisi kualitas perairan sangat dipengaruhi oleh reklamasi Pulau Tengah dan pembangunan di Pulau Pari, sedangkan stasiun dua (Stasiun Barat) berada bagian ujung dermaga LIPI atau sekitar Pulau Tikus, daerah ini cukup jauh dari reklamasi Pulau Tengah dan diperkirakan kondisi kualitas air dilokasi tersebut masih tergolong baik, sehingga kondisi ke dua stasiun memiliki keterwakilan dalam pengukuran kualitas air di lokasi budidaya Pulau Pari.

Metode Analisis a. Analisis perubahan sosial-ekonomi

Analisis perubahan sosial-ekonomi yang terjadi di Pulau Pari dilakukan dengan membandingkan data dari tahun-tahun sebelumnya yang di peroleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan dari penelitian-penelitian sebelumnya (disertasi, tesis, dan skripsi), selanjutnnya dibandingkan dengan data yang diperoleh pada saat penelitian berlangsung. Analisis tersebut akan melihat sejauh mana perubahan sosial-ekonomi yang disebabkan karena adanya perubahan pemanfaatan Pulau Pari. Atribut sosial-ekonomi yang dimaksud yaitu jumlah penduduk, jumlah pembudidaya rumput laut, jumlah nelayan tangkap, pendapatan bersih usaha budidaya rumput laut, pendapatan usaha wisata bahari, serta melihat perubahan perilaku masyarakat akibat terjadinya perubahan mata pencaharian.

Agar terlihat secara jelas perubahan yang terjadi maka analisis mengunakan microsoft excel kemudian akan diolah dalam bentuk grafik sehingga terlihat jelas dinamika perubahan ekologi yang terjadi di Pulau Pari.

b. Analisis metode biaya perjalanan (travel cost method)

(27)

8

V= f(TC,S) Dimana :

V = Jumlah Kunjungan

TC = Biaya perjalanan pada lokasi wisata

S = Vektor biaya perjalanan pada lokasi alternatif Langkah-langkah analisis TCM

1. Hitung Total Biaya Perjalanan Dengan Rumus BP= BTr + (BKr-BKh) + BLn

Keterangan:

BP = Total biaya perjalanan (Rp)

BTr = Biaya transportasi selama rekreasi (Rp) BKr = Biaya konsusmsi di tempat rekreasi (Rp) BKh = Biaya konsumsi harian (Rp)

BLn = Biaya lain-lain (biaya tak terduga) (Rp) 2. Membuat persamaan

Vij = f(X1, X2, X3, X4,X5, X6, X7, X8, X9,X10) Dimana :

V = Tingkat kunjungan (Kali)

X1 = Biaya yang dikeluarkan untuk berwisata (Rp/Kunjungan)

X2 = Persepsi mengenai kondisi lingkungan pelabuhan penyeberangan X3 = Waktu yang ditempuh untuk berkunjung ke Pulau Pari

X4 = Biaya subtitusi

X5 = Pendapatan (Rp/Bulan) X6 = Usia (Tahun)

X7 = Pendidikan (Tahun)

X8 = Tingkat keamanan Pulau Pari X9 = Tingkat kepuasan pengunjung X10 = Alternatif kunjungan

3. Fungsi permintaan ditransformasikan Q = β0X1β1X2β2... Xnβn

LnQ = β0+ β1LnX1+β2LnX2 ... + LnXn

LnQ = ((β0+β2(LnX2)+ ... βn(LnXn)+ β1(LnX1)

LnQ = β + β1LnX1

4. Setelah di estimasi kemudian fungsi dibalik X1 β1= β1/Q Selanjutnnya X1 = β1/β1

Q1/β1 U = ʃ f(Q)dԚ

(28)

Keterangan:

U = Utilitas terhadap sumberdaya

d = Batas jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta f(Q) = Fungsi permintaan

CS = Konsumen surplus Pt = Harga yang dibayarkan

Q = Rata-rata Jumlah sumberdaya yang dikonsumsi

X = Harga sumberdaya yang diminta (diturunkan dari fungsi permintaan) Analisis Usaha

Analisis usaha bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu yang dilaksanakan layak atau dapat memberikan keuntungan bagi suatu perusahaan atau perorangan yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungannya (Umar 2003). Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha pada wisata bahari dan budidaya rumput laut di Pulau Pari. Analisis usaha yang diperlukan yaitu:

a. Analisis pendapatan usaha

Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang terlibat dalam usaha dan keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut. Pendapatan usaha wisata bahari dan rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus :

π

= TR − TC Dimana :

= Keuntungan

TR = Total penerimaan (hasil yang diperoleh dari kegiatan wisata kali harga yang dikeluarkan dalam satu kali berwisata)

TC = Total biaya (biaya tetap + biaya variabel)

Hasil akhir dari analisis tersebut yaitu keluarnnya nilai yang akan menentukan layak tidaknnya suatu usaha yang dilakukan. Jika TR > TC maka usaha wisata bahari dan budidaya rumput laut menguntungkan, tetapi jika TR = TC berarti usaha berada pada titik impas, dan jika TR < TC maka usaha yang dimaksud berada pada titik merugi.

Analisis Ekologi a. Analisis kualitas perairan

(29)

10

b. Analisis perubahan ekologi

Analisis perubahan sosial-ekologi yang terjadi di Pulau Pari yaitu dengan membandingkan data dari tahun-tahun sebelumnya yang di peroleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tesis, disertasi dan skripsi terkait ekologi Pulau Pari, kemudian dibandingkan dengan data yang di peroleh pada saat penelitian berlangsung sehingga akan terlihat sejauh mana perubahan dalam pemanfaatan Pulau Pari.

c. Analisis kesesuaian lahan untuk wisata bahari dan rumput laut

Evaluasi lahan digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan wisata bahari dan rumput laut di Pulau Pari. Dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno and Widiatmaka 2001). Dalam menilai kesesuaian lahan Pulau Pari, penelitian ini menggunakan data sekunder terkait kesesuaian lahan untuk wisata bahari yang berkembang di Pulau Pari dari tahun 2013 sampai tahun 2015, sedangkan pengukuran kesesuaian lahan untuk rumput laut dilakukan langsung di lapangan. d. Analisis perubahan tata guna lahan

Analisis tata guna lahan yaitu serangkaian analisis yang dilakukan dengan cara observasi langsung di lapangan dan menentukan titik koordinat disetiap sudut pulau yang telah dimanfaatkan, serta mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan perubahan tata guna lahan seperti adanya pemanfaatan lahan yang baru sebagai peruntukan bangunan. Hasil analisis akan memudahkan untuk memetakan wilayah-wilayah yang telah dimanfaatkan, serta dapat mengetahui pola pemanfaatannya.

Analisis Keberlanjutan a. Analisis Multidimensional Scaling (MDS)

Perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan berkelanjutan memerlukan data dan informasi tentang kinerja pembangunan kawasan yang ada saat ini. Kinerja pembangunan tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai indeks keberlanjutan. Analisis keberlanjutan pembangunan kawasan Pulau Pari dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan penentuan atribut sistem pengembangan kawasan berkelanjutan yang mencakup 5 dimensi yaitu mencakup dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan dimensi infrastruktur. Tahap penilaian atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang berbasis metode “multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan kawasan existing condition yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi (Fauzi and Anna 2005). Secara lengkap tahapan analisis keberlanjutan kawasan disajikan pada Gambar 3.

(30)

Gambar 3. Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS.

Setelah observasi dan wawancara dilakukan, selanjutnya setiap atribut diberikan skor yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan (Gambar 3). Skor tersebut akan menunjukkan nilai “buruk” di satu ujung dan nilai “baik” di ujung yang lain (Alder et al. 2000). Nilai “buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi sistem pengembangan kawasan berkelanjutan. Sebaliknya, nilai “baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Jumlah peringkat pada setiap atribut diseragamkan yakni tiga peringkat dengan skor 0, 1, dan 2. Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Penentuan nilai skor baik atau buruk pada metode analisis keberlanjutan ini berkaitan dengan persepsi sehingga suatu atribut harus dilihat terlebih dahulu dari persepsi apa.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik Rapfish adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan pengelolaan wisata berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Data yang diperoleh dalam analisis Rapfish diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100 %. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75 % maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75 % maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable).

MULAI

Penentuan Atribut Kondisi Kawasan Saat ini

Skoring Kawasan

Multidimensional Scaling

Simulasi Monte Cario (Analisis Ketidakpastian)

Leveraging Factor (Analisis Anomali)

(31)

12

(32)

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu merupakan daerah tingkat II di Provinsi DKI Jakarta yang baru dibentuk melalui UU No. 34 tahun 1999 dan PP No.55 tahun 2001. Wilayah Kepulau Seribu adalah sebuh kecamatan yang ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten administratif dengan 2 kecamatan dan 6 kelurahan. Kepulauan seribu merupakan gugus pulau-pulau kecil di perairan laut sebelah utara DKI Jakarta dengan luas 864,59 Ha dengan jumlah pulau sebanyak 110 pulau.

Pulau Pari termasuk dalam Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang terdiri dari 10 pulau kecil. Lokasi penelitian berada di Pulau Pari dengan jarak kurang lebih 35 km (± 3-5 jam) dari Jakarta. Transportasi laut yang terdekat dari Pulau Pari adalah melalui Rawasaban (Tangerang) ± 1,5-2 jam perjalanan mengunakan kapal motor. Pulau Pari merupakan salah satu pulau yang cukup dekat dengan ibu kota Jakarta jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang masuk dalam kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. Pulau Pari juga merupakan wilayah yang dimiliki oleh 3 kepemilikan, yaitu 10% dikuasai oleh LIPI, 50% dikuasai oleh PT. Bumi Raya, dan 40% dimiliki oleh masyarakat. Kelurahan Pulau Pari terbagi atas beberapa pulau dengan pusat pemerintahanya berada di Pulau Lancang Besar. Pulau Pari terbagi atas 1 RW dan 4 RT, sehingga untuk perpanjangan tangan pemerintah kelurahan, sangat mengandalkan ketua RW dan ketua RT setempat.

Aspek Sosial a. Tingkat pendidikan

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kelurahan Pulau Pari, jumlah penduduk yang tamat SD yaitu 379 jiwa dan yang tamat SMP sebesar 484 jiwa dari total penduduk sebesar 918 jiwa. Kurangnya minat masyarakat untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti jarak sekolah yang cukup jauh dan infrastruktur yang sangat terbatas, sehingga untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi masyarakat Pulau Pari harus ke Jakarta atau Tangerang. Hal ini tentunya cukup meyulitkan masyarakat dalam hal pendidikian.

b. Mata pencaharian sebelum adanya wisata dan saat ini

(33)

14

berbagai macam profesi termasuk ibu rumah tangga yang tergabung dalam mata pencaharian campuran, pada Gambar 4.

Gambar 4. Persentase jenis pekerjaan (A) Sebelum terjadi perubahan mata pencaharian (Tahun 2000), (B) Saat ini (Tahun 2015).

c. Persepsi masyarakat mengenai perubahan biaya hidup

Penelitian yang dilakukan terkait persepsi masyarakat mengenai perubahan biaya hidup yang terjadi pasca perubahan mata pencaharian di Pulau Pari, diperoleh bahwa dari 140 responden, 66% diantaranya mengatakan telah terjadi perubahan biaya hidup yang disertai dengan peningkatan pengeluaran sandang, pangan, dan papan, serta makin meningkatnya kebutuhan gaya hidup masyarakat yang ada di Pulau Pari. Persentase masyarakat terhadap perubahan biaya hidup disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Persepsi responden terkait perubahan biaya hidup

Perubahan pola pemanfaatan dari budidaya rumput laut ke wisata bahari juga berpengaruh terhadap perubahan perekonomian masyarakat, sehingga sebagian masyarakat lebih memilih bekerja sebagai pengelola wisata dibandingkan dengan pembudidaya rumput laut. Hal ini disebabkan karena budidaya rumput laut lebih beresiko dibandingkan dengan wisata bahari yang dianggap sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan, tanpa harus menjadi nelayan yang menurut sebagian besar masyarakat Pulau Pari bahwa profesi tersebut serba terbatas jika dilihat dari segi perekonomian. Dalam hal pengelolaan terpadu dan berkelanjutan peningkatan ekonomi bukan menjadi tujuan utama keberhasilan suatu usaha, tetapi lebih dari itu, peningkatan ekonomi harus diiringi dengan peningkatan ekologi dan sosial masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau

(34)

kecil tentunya harus mempertimbangkan semua aspek seperti sosial, infrastruktur dan aspek lainnya. Menurut Read (2004) bahwa perekonomian kawasan pulau-pulau kecil cenderung sangat khusus, sehingga untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan, kerangka strategi pembangunan harus sesuai dengan berbagai kondisi di berbagai pulau. Lebih lanjut Chandralala et al. (2010) berpendapat bahwa pengelolaan suatu kawasan diperlukan perencanaan yang baik, karena tanpa perencanaan, tujuan keseimbangan ekologi, sosial, ekonomi dalam pengelolaannya tidak akan terlaksana, bahkan dapat menyebabkan kerusakan ekologi. Kondisi ini menjelaskan bahwa selain modal alam yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi (Gomez-Baggethun et al. 2010), modal sosial juga telah dianggap sebagai sumber potensial (Roseta-Palma et al. 2010), karena modal sosial berpengaruh terhadap efisiensi komunitas dalam memanfaatkan sumberdaya.

d. Perubahan jenis bangunan

Perubahan bukan hanya terjadi pada perekonomian masyarakat Pulau Pari, tetapi lebih dari itu. Masyarakat Pulau Pari mulai menjadikan rumah tinggal sebagai sumber pendapatan alternatif, yaitu sebagai homestay dan rumah makan, serta tempat untuk mengolah hasil perkebunan sebagai oleh-oleh khas Pulau Pari. Dampak dari aktivitas tersebut juga turut mempengaruhi kondisi perumahan warga yang awalnya tergolong kumuh bahkan sebagian ada yang tidak layak huni kemudian direnovasi menjadi bangunan yang jauh lebih mewah dibandingkan dengan rumah-rumah sebelumnya.

Gambar 6. (A) Kondisi rumah yang belum direnovasi, (B) Rumah yang telah direnovasi

Gambar 6 menunjukan bahwa adannya perbedaan yang sangat signifikan antara rumah yang telah dijadikan homestay dan rumah yang hanya digunakan untuk tempat tinggal. Pada musim libur terkadang rumah warga yang kumuh sekalipun menjadi pilihan bagi wisatawan, hal ini disebabkan karena kapasitas rumah yang ada di Pulau Pari tidak mampu untuk menampung jumlah pengunjung yang sangat besar, bahkan sebagian ada yang memilih untuk memasang tenda di pinggiran pantai. FORSIR in Triyono (2012) mengatakan bahwa pada tahun 2012 jumlah homestay hanya 49 unit yang dapat digunakan oleh wisatawan, dan saat ini

(35)

16

jumlah homestay mencapai ± 265 unit atau sekitar 86% dari total jumlah rumah (307 unit) yang ada di Pulau Pari.

Gambar 7. Pesentase jumlah homestay berdasarkan hasil sensus 2014 Perubahan mata pencaharian masyarakat Pulau Pari secara tidak langsung disebabkan karena tidak adanya pilihan lain bagi masyarakat untuk mencari pekerjaan selain usaha wisata bahari, selain itu faktor lain seperti peningkatan jumlah pengunjung Pulau Pari yang semakin hari semakin meningkat diyakini menjadi salah satu faktor penyebab perubahan mata pencaharian, dan peningkatan jumlah pengunjung yang secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk menyediakan lebih banyak penginapan agar dapat menampung wisatawan yang berkunjung. Tercatat dari bulan April 2014 sampai Agustus 2015 jumlah pengunjung mencapai 49,718 jiwa, tidak termasuk anak-anak.

Gambar 8. Jumlah pengunjung tahun 2014-2015

(Sumber: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2015)

Gambar 8 menunjukan peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari, yaitu pada bulan Mei 2014 serta Mei dan Agustus 2015. Hal ini disebabkan karena pada bulan tersebut merupakan hari libur nasional yang secara langsung berdampak terhadap peningkatan jumlah pengunjung, sehingga dapat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya kontrol yang baik agar dampak dari aktivitas wisatawan dapat diminimalisir.

(36)

Menurut Folke (2006) bahwa dampak aktivitas manusia terhadap jasa ekosistem merupakan bagian dari social ecological system sehingga perlu dipertimbangkan dalam upaya pengelolaan lingkungan.

e. Analisis perubahan tata guna lahan

Pulau Pari memiliki lahan seluas 41,32 Ha merupakan salah satu pulau yang pada tahun 1999 hanya diperuntukan sebagai kawasan pemukiman masyarakat, yang disertai dengan keluarnya peraturan terkait peruntukan Pulau Pari dan tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta. Sampai pada tahun 2009/2010 kondisi bangunan masih didominasi oleh bangunan yang terbuat dari bambu dan sebagian semi permanen. Pada tahun 2012/2013 masyarakat mulai berinisiatif untuk membenahi Pulau Pari agar layak dijadikan sebagai objek wisata, beberapa upaya yang dilakukan adalah merenovasi rumah gubuk menjadi homestay yang layak, selain itu masyarakat mulai memperbaiki objek-objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan guna menarik minat wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Gambar 9 menunjukan peningkatan jumlah rumah di Pulau Pari.

(37)

18

Peningkatan jumlah rumah yang disertai dengan perubahan lokasi bangunan di Pulau Pari memberikan dampak terhadap kondisi sosial ekonomi Pulau Pari, pada akhirnnya bermuara pada konflik antara masyarakat dan perusahaan swasta. Tahun 2012 pemukiman masyarakat dipindahkan ke lokasi yang telah ditentukan oleh perusahaan. Sebelum lokasi bangunan dipindahkan, kondisi bangunan warga masih tergolong kumuh, dan setelah dipindahkan kondisi bangunan menjadi permanen dan cukup megah.

Perubahan lokasi bangunan berdampak pada semakin padatnya perumahan yang ada di Pulau Pari serta kurangnya ruang terbuka hijau yang berpotensi memberikan dampak terhadap ekologi Pulau Pari, selain itu peningkatan jumlah bangunan di Pulau Pari akan secara langsung berdampak terhadap degradasi ekologi, hal ini disebabkan karena pembuatan bangunan memerlukan meterial dasar seperti pasir dan batu yang sepenuhnya diperoleh dari pulau itu sendiri, sehingga dapat mengancam keberlanjutan ekosistem di wilayah pesisir Pulau Pari. Tahun 2010 jumlah rumah penduduk ±222 unit, dan pada tahun 2014 meningkat mencapai 307 unit. Metzger et al. (2006) menyatakan bahwa perubahan landscape atau kegiatan pemanfaatan lahan berpengaruh secara langsung terhadap siklus biogeokimia dan hidrologi. Menurut Bengen (2006) Pengelolaan pulau-pulau kecil sedapat mungkin dikelola dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari sumberdaya pulau-pulau kecil, dalam pengelolaan pulau-pulau kecil saat ini, opsi yang paling tepat berupa aktivitas yang hanya sedikit memberikan dampak negatif. Lebih lanjut (Yu et al. 2001) menambahkan bahwa pengembangan destinasi ekowisata di pulau-pulau kecil memerlukan perencanaan tata ruang guna untuk menghindari dampak perubahan pada lanskap serta menjaga keamanan proses ekologi, dan budaya. Oleh karena itu pengembangan Pulau Pari sebagai objek wisata harus tetap mempertimbangkan aspek keberlajutan sehingga kegiatan wisata terus berlanjut tanpa memberikan dampak yang besar bagi ekologi.

Aspek Ekonomi

a. Persepsi masyarakat terhadap dampak ekonomi wisata bahari

Perubahan mata pencaharian masyarakat secara langsung mempengaruhi ekonomi masyarakat, hal ini dapat dilihat pada perubahan pola pemanfaatan dan mata pencaharian masyarakat yang awalnya menekuni usaha budidaya rumput laut, sekarang beralih ke wisata bahari. Menurut wawancaya yang dilakukan terhadap 131 responden, 79% diantaranya mengatakan bahwa wisata bahari merupakan usaha yang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan usaha budidaya rumput laut dan penangkap ikan/kerang.

(38)

Gambar 10. Persepsi responden terkait usaha yang lebih menguntungkan b. Peningkatan jenis mata pencaharian di Pulau Pari

Peningkatan jumlah wisatawan bukan hanya berdampak pada perubahan mata pencaharian, tetapi juga berdampak terhadap perubahan jumlah dan jenis pekerjaan masyarakat di Pulau Pari. Gambar 11 menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah rumah makan dan kios di Pulau Pari, yaitu pada tahun 1989-2011 berjumlah 12 unit, dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dan puncaknya pada tahun 2014 mencapai 49 unit dan 3 diantaranya merupakan toko souvenir. Pada tahun 2015 jumlah kios dan rumah makan mengalami sedikit peningkatan, hal ini diakibatkan karena sebagian besar masyarkat Pulau Pari lebih fokus terhadap usaha catering dan homestay, selain itu beberapa masyarakat beranggapan bahwa jumlah kios dan rumah makan sudah sangat banyak, sehingga dikwatirkan terjadi persaingan yang bisa menimbulkan konflik antar sesama masyarakat. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa saat ini Pulau Pari semakin mengalami peningkatan kunjugan sehingga berdampak pada semakin meningkatnya jumlah permintaan terhadap rumah makan serta kios-kios yang ada di Pulau Pari.

Gambar 11. Penambahan jumlah kios dari tahun 1985-2015 Wisata

1985 1995 2001 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

(39)

20

c. Analisis kelayakan usaha

Analisis kelayakan usaha adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha. Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah menerima atau menolak suatu gagasan usaha. Pengertian layak adalah kemungkinan dari gagasan suatu usaha yang akan dilaksanakan dapat memberikan manfaat dalam arti finansial maupun sosial benefit. Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha yaitu dengan cara membandingkan masing-masing nilai kriteria kelayakan dengan batas-batas kelayakannya.

Analisis yang digunakan untuk melihat keuntungan dari suatu usaha yaitu dengan rumus R/C, dimana analisis tersebut digunakan untuk menguji sebarapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam suatu usaha yang dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnnya. Semakin tinggi nilai R/C maka semakin layak usaha yang dilakukan dan semakin baik pula kedudukan usahanya. Penelitian ini juga melihat seberapa besar keuntungan yang diperoleh dalam setahun, yakni dengan rumus TR-TC atau penerimaan total di kurang pengeluaran total.

d. Analisis usaha budidaya rumput laut

Analisis usaha yang dilakukan pada usaha budidaya rumput laut di peroleh R/C sebesar 1,5 yang berarti usaha tersebut efektif dan layak secara ekonomi, sedangkan nilai TR-TC yaitu sebesar Rp.12.543.800/tahun, dengan demikian maka jumlah penghasilan per bulan dari usaha budidaya rumput laut yaitu sebesar Rp. 2.090.633 atau dibawah upah gaji minimum (UMR) Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar Rp.3.100.000, sehingga dari sisi ekonomi usaha tersebut belum bisa mensejahterakan masyarakat. Nilai dari analisis usaha budidaya rumput laut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis usaha budidaya rumput laut

No Usaha Satuan Nilai

1 Penerimaan (R) Rp/Tahun 36.000.000

2 Pengeluaran (C) Rp/Tahun 23.456.200

3 R/C - 1,5

4 TR-TC Rp/Tahun 12.543.800

5 Penghasilan bersih Rp/Bulan 1.045.317 e. Analisis usaha wisata bahari

Analisis usaha wisata bahari dilakukan berdasarkan jenis usaha yang paling banyak diminati oleh masyarakat Pulau Pari, seperti usaha penyewaan homestay yang di dalamnya telah tersedia paket catering dan fasilitas sepeda. Menurut hasil wawancara yang dilakukan, usaha homestay merupakan kegiatan yang memberikan keuntungan yang cukup besar tetapi sekaligus memberikan pengeluaran yang besar pula.

(40)

merupakan keuntungan bersih yang diperoleh dalam satu tahun, sehingga jika dibagi dengan jumlah pendapatan perbulanya makan nilai yang diperoleh yaitu sebesar Rp.3.412.764 yang berarti pendapatan tersebut telah melebihi upah gaji minimum (UMP) yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta sebesar Rp.3100.000, dengan pendapatan yang telah melebihi UMR DKI Jakarta maka diharapkan usaha tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di kawasan pulau-pulau kecil khususnya Pulau Pari.

Tabel 3. Analisis usaha wisata bahari

No Usaha Satuan Nilai

1 Penerimaan (R) Rp/Tahun 98.400.000

2 Pengeluaran (C) Rp/Tahun 57.446.828

3 R/C - 1,7

4 TR-TC Rp/Tahun 40.953.172

5 Penghasilan bersih Rp/Bulan 3.412.764

Usaha wisata bahari memiliki keuntungan yang cukup besar dibandingkan dengan budidaya rumput laut, tetapi keuntungan tersebut bukanlah nilai mutlak, karena bisa berubah tergantung jumlah wisatawan yang berkunjung, bahkan dalam satu bulan penerimaan dari usaha homestay bisa sangat rendah bahkan tidak ada sama sekali. Usaha wisata bahari memang hanya mengandalkan jumlah wisatawan sehingga pendapatannya tergantung besar kecilnya jumlah pengunjung. Oyewole (2001) berpendapat bahwa kegiatan dibidang jasa wisata memiliki dampak positif yang kuat terhadap kinerja ekonomi, sehingga dalam pengembangan wisata bahari Pulau Pari sangat terfokus pada keuntungan semata, oleh karena itu penelitian ini mencoba untuk melibatkan semua dimensi agar keberlanjutan pengelolaan tidak terfokus pada dimensi ekonomi semata.

f. Analisis wisata

(41)

22

nilai yang sama yaitu (-) sehingga bila diartikan maka rata-rata wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah usia 30 tahun kebawah, atau dengan kata lain semakin tua umur responden makan semakin berkurang minat untuk berkunjung ke Pulau Pari, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan dimana wisatawan yang berkunjung ke pulau tersebut kebanyakan usia-usia muda.

Selain usia, analisi TCM juga melihat pendidikan responden yang diwawancarai, dimana nilai yang diperoleh yaitu negatif (-) sehingga jika diartikan maka pendidikan tidak menjadi faktor yang mempengaruhi terhadap jumlah kunjungan ke Pulau Pari. Adapun X9 (tingkat kepuasan pengunjung) menunjukan nilai (-) atau berbanding terbalik dengan nilai P-value yang berarti bahwa ketidakpuasan pengunjung akan mempengaruhi jumlah kunjungan ke Pulau Pari, sehingga wisatawan yang tidak puas dengan sekali kunjungan akan mengulangi kunjunganya ke Pulau Pari. Untuk X10 alternatif kunjungan menunjukan nilai negatif (-) yang berarti bahwa banyaknya alternatif kunjungan tidak mempengaruhi besarnya jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Pari, sehingga hal tersebut bukan menjadi faktor yang mempengaruhi banyak dan sedikitnya jumlah pengunjung. Selain melihat hubungan antara faktor Q (kunjungan) dan X (biaya), analisis tersebut juga melihat surplus konsumen dan nilai ekonomi total Pulau Pari berdasarkan jumlah kunjungan dan biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Pari.

Selain melihat pengaruh antara variabel, analisis Travel Cost Method juga melihat nilai dari consumers surplus yang diperoleh dari persamaan U=(b0/(b1+1))*(RQ^(b1+1)) sehingga diperoleh nilai U=1000926,439, selanjutnya di hitung harga pembatas dengan persamaan P=(RQ/a)^(1/b1) dengan nilai P=389,082, untuk menghitung harga pembatas maka dilakukan dengan persamaan R=PxRQ sehingga di peroleh nilai R= 128,218, kemudian untuk memperoleh nilai CR maka dilakukan perhitungan dengan rumus CS=(U-R) sehingga di peroleh nilai CR=1000,798. Nilai CR dapat dikategorikan sebagai keuntungan yang diperoleh pengunjung dari prediksi harga yang telah disiapkan sebelumnnya dengan kisaran harga diatas harga sebenarnya, sehingga keuntungan tersebut dapat di gunakan pada kebutuhan lainnya.

Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan (Yulianda et al., 2010).

Aspek Ekologi a. Perbandingan kualitas air Pulau Pari

(42)

Parameter salinitas menunjukan nilai yang cenderung meningkat, meskipun tidak begitu besar, yaitu berkisar antara 30-32 ppm tahun 1997-2007, dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 33 ppm, sedangkan parameter nitrat menunjukan nilai yang berfluktuasi yakni pada tahun 1997 sebesar 0,003mg/l, dan pada tahun 2002 menurun, dengan kisaran 0,001-0,002. Tahun 2007 nilai nitrat kembali meningkat dengan kisaran 0,1097-0,275, nanti pada tahun 2014 nilai nitrat menurun yaitu <0,015 mg/l. Peningkatan nilai nitrat pada tahun 2007 disebabkan karena adanya peningkatan aktifitas masyarakat, seperti budidaya rumput laut dan pengolahan hasil budidaya rumput laut di Pulau Pari, sedangkan untuk parameter fosfat menunjukan nilai yang cenderung meningkat yaitu pada tahun 1997-2007 berkisar antara 0,001-0,008 dan pada tahun 2014 meningkat, yaitu sebesar 0,0216-0,1900. Peningkatan nilai fosfat sangat dipengaruhi oleh aktivitas daratan, karena semakin besar aktivitas daratan maka semakin besar pula nilai fosfat yang ada diperairan, namun demikian nilai fosfat yang diperoleh belum melebihi baku mutu lingkungan yakni sebesar 1 mg/l, sehingga belum membahayakan organisme perairan (PP RI NO. 82 Tahun 2001). Tingkat perubahan kualitas air dari tahun yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kualitas air tahun 1997-2014

Parameter Satuan Tahun

1997 2002 2007 2014

Suhu 0C 29 30-32 27-31 32

pH - 7 8-8,03 7,75 7,1-7,4

Salinitas Ppt 32 30 32 32-33

Nitrat mg/l 0,003 0,001-0,002 0,1097-0,272 <0,015-0,040 Phosphat mg/l 0,007 0,001-0,006 0,0041-0,0080 0,0216-0,1900

b. Analisis kesesuaian lahan untuk rumput laut

(43)

24 DKI Jakarta

Gambar 12. Peta kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut

(44)

Penelitian yang dilakukan di Pulau Pari mengunakan 3 stasiun penelitian, masing-masing stasiun ditempatkan berdasarkan keterwakilannya, yakni untuk Stasiun I terletak di daerah yang agak jauh dari aktivitas wisatawan dan reklamasi pantai, Stasiun II ditempatkan ditengah-tengah antara Stasiun I dan Stasiun II yang memungkinkan stasiun tersebut terkena dampak oleh aktivitas reklamasi Pulau Tengah dan aktivitas wisatawan. Kemudian Stasiun III ditempatkan dekat dengan Pulau Tengah, karena wilayah tersebut paling dekat dengan perumahan dan tempat wisata pantai sehingga berpotensi terkena dampak pencemaran yang disebabkan oleh berbagai aktivitas daratan. Penempatan stasiun juga mempertimbangkan tingkat pemanfaatan lahan, karena itu stasiun penelitian ditempatkan pada lokasi yang pernah digunakan oleh masyarakat Pulau Pari untuk kegiatan budidaya.

Berdasarkan analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut pada Gambar 13 menunjukan perbedaan tingkat kesesuaian lahan berdasarkan warna, dimana warnah biru tua menunjukan tingkat kesesuaian (S1) atau sangat sesuai, sedangkan warna biru mudah (S2) berarti kurang sesuai, dan yang berwarna kuning merupakan daerah yang tidak sesuai (S3).

Luasnya lokasi yang tidak sesuai disebabkan karena daerah-daerah yang memiliki warna kuning merupakan perairan yang dangkal sehingga secara fisik persyaratan budidaya tidak cocok, selain itu faktor lain juga turut mempengaruhi seperti kualitas air. Hasil survey yang dilakukan pada saat penelitian berlangsung menunjukan adanya reklamasi yang dilakukan di Pulau Tengah sehingga mengakibatkan tingginya tingkat ke keruhan di Stasiun II.

c. Analisis kesesuaian lahan untuk wisata snorkling

Analisis kesesuaian lahan pada Tabel 5 dengan kategori wisata snorkling menunjukan indeks nilai kesesuaian wisata sebesar 75,44 yang berarti masuk kategori sesuai. Nilai IKW kategori sesuai, bukanlah nilai maksimum, karena menurut Yulianda (2007) bahwa untuk mendapat kategori sangat sesuai nilai IKW yang harus diperoleh adalah 83-100%. Perkembangan wisata di Pulau Pari harus tetap mempertimbangkan daya dukung wisata sehingga tidak berdampak terhadap pengrusakan ekosistem.

(45)

26

d. Kesesuaian lahan untuk wisata pantai

Analisis kesesuain lahan yang dilakukan di Pulau Pari bukan hanya melihat tingkat kesesuaian kawasan pada usaha budidaya rumput laut dan wisata snorkling, tetapi juga melihat indeks kesesuaian lahan untuk wisata pantai. Menurut data yang diperoleh dari Diana (2015), indeks kesesuaian kawasan untuk kategori wisata pantai yang ada pada Pantai Pasir Perawan, Pantai Kresek, Pantai Bintang, dan Pantai Berbintang memiliki nilai IKW diatas 90 yang berarti sangat sesuai untuk wisata pantai.

Tingginya nilai kesesuaian pada masing-masing stasiun penelitian disebabkan karena Pulau Pari memiliki tipe pantai yang cukup baik untuk dijadikan objek wisata, selain itu substrat dasar perairan yang merupakan substrat berpasir menjadi salah satu penilaian tersendiri dalam pengembangan usaha wisata pantai. Faktor-faktor lain, seperti lebar pantai, kedalaman perairan, kecepatan arus, kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya, dan ketersediaan air tawar merupakan atribut yang dianggap sangat berpengaruh terhadap kesesuaian wisata pantai. Pengelolaan wisata pantai sebisa mungkin harus tetap memperhatikan aspek ekologi. Menurut Lone et al. (2013), daya dukung wisata terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu daya dukung ekologi, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi. Daya dukung fisik-ekologi adalah jumlah maksimum wisatawan yang melakukan kegiatan wisata tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan, yang berdasarkan pada fisik, biologis, dan kondisi pengelolaan kawasan tersebut (Zacarias et al., 2011).

Tabel 6. Nilai IKW pada masing-masing objek wisata pantai Pulau Pari

No Lokasi IKW Kategori

1 Pantai Pasir Perawan 98,5 Sangat Sesuai

2 Pantai Kresek 92,6 Sangat Sesuai

3 Pantai Bintang 91 Sangat Sesuai

4 Pantai Berbintang 92,6 Sangat Sesuai

(46)

Gambar 13. Peta kesesuaian lahan untuk kategori wisata pantai

DKI Jakarta DKI Jakarta

(47)

28

Analisis yang dilakukan dengan menggunakan peta kesesuaian lahan pada Gambar 13 menunjukan tingkat kesesuaian berdasarkan lokasi, dimana pada Pantai Pasir Perawan luasan lokasi lebih besar dibanding objek wisata pantai lainnya, hal ini disebabkan karena lokasi Pantai Pasir Perawan cukup jauh dari perumahan warga serta belum adanya ganguan dari aktivitas lainnya. Selain itu wilayah tersebut juga memiliki lebar dan panjang pantai yang cukup luas, serta substrat pasir putih yang cukup baik, sehingga menjadikan pantai tersebut sebagai objek wisata yang sangat banyak diminati oleh wisatawan.

Wisata Pantai Kresek, Pantai Bintang, dan Wisata Pantai Berbintang memang luasanya tergolong sempit karena dibatasi oleh kondisi fisik kawasan yang tidak mendukung, seperti substrat dasar perairan yang berlumpur dan adanya ekosistem lamun yang tumbuh disekitar pantai, sehinggga jika daerah tersebut dijadikan tempat wisata maka dikawatirkan terjadi pengrusakan habitat pada ekosistem lamun.

Analisis Keberlanjutan

1. Analisis Multidimensional Scaling (MDS) untuk budidaya rumput laut Analisis Multidimensional Scaling (MDS) yaitu analisis yang memadukan semua dimensi seperti dimensi sosial, ekonomi, ekologi, kelembagaan, sampai pada dimensi infrastruktur, dan selanjutnya melihat sejauh mana tingkat keberlanjutan pada masing-masing dimensi. Adapun dimensi yang dianggap memiliki peran penting dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Dimensi ekologi

(48)

Gambar 14. Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan budidaya rumput laut Pulau Pari

Analisis leverage untuk dimensi ekologi Pulau Pari dilakukan dengan memperhatikan beberapa faktor pengungkit dan berdasarkan nilai RMS (root mean squer) nilai yang diperoleh dari penelitian tersebut ada 4 atribut yang menjadi faktor pengungkit dengan nilai diatas nilai tengah (>1,5), atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit meliputi serangan penyakit, ancaman terhadap perairan, ketersediaan bibit rumput laut, dan kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut, dengan kata lain bahwa ketiga atribut tersebut harus diperbaiki terlebih dahulu sehingga budidaya rumput laut dapat berkelanjutan dan dengan sendirinya produksi rumput laut di Pulau Pari akan ikut meningkat.

Munculnya keempat atribut yang sensitif disebabkan karena budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan, sehingga budidaya tidak bisa berhasil jika kualitas lingkungan dan ancaman terhadap perairan sangatlah besar oleh karena itu atribut ekologi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap usaha budidaya, bahkan jika keempat atribut tersebut tidak diperbaiki maka budidaya yang dilakukan tidak akan mampu bertahan lama, dengan kata lain budidaya tidak akan berhasil.

b. Dimensi ekonomi

Selain dimensi sosial, penelitian ini juga melihat seberapa besar pengaruh dimensi ekonomi terhadap pengembangan usaha budidaya rumput laut, beberapa atribut yang digunakan untuk melihat dampak ekonomi adalah; (a). Menganalisis usaha budidaya rumput laut yang ada di Pulau Pari dengan rumus R/C, dan hasil yang diperoleh dalam analisis tersebut adalah R/C= Lebih dari satu tetapi masih dibawah UMR DKI Jakarta sehingga diberi skor 0 (b). Pemasaran hasil budidaya rumput laut, dimana dimensi ini melihat sejauh mana rumput laut yang dibudidayakan dijual, apakah hanya sebatas pasar tradisional, nasional, atau telah dipasarkan sampai pada skala internasional. Menurut hasil wawancara yang dilakukan dari beberapa pengumpul rumput laut dan para pembudidaya, mayoritas responden menyatakan bahwa rumput laut yang mereka budidayakan hanya sampai pada pasar nasional seperti tangerang, jakarta, bogor, bekasi, dan jogja (c), sedangkan untuk pemodalan budidaya rumput laut sebagian pembudidaya masih mengandalkan pinjaman kepada tengkulak untuk memulai usaha budidaya atau sekitar 41% dari total responden yang diwawancara, sedangkan 40% responden sudah memiliki modal sendiri, dan sisanya 19% masih mengandalkan bantuan

2,47

(49)

30

dari pemerintah. (d). Analisis ekonomi dalam penelitian yang dilakukan juga melihat harga rumput laut yang dibeli oleh pengumpul kepada para pembudidaya selama 5 tahun terakhir dan diperoleh data harga rumput laut cenderung stabil atau tidak mengalami peningkatan, kecuali pada hari-hari tertentu seperti pada saat bulan puasa dan pada lebaran. (e). Kontribusi usaha budidaya pada keluarga cukup besar, dimana dari 140 responden 86% diantaranya menyatakan bahwa kontribusi usaha budidaya terhadap pendapatan masyarakat cukup besar antara 51-75% dan selebihnya masih dipengaruhi oleh mata pencaharian lain.

Gambar 15. Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan budidaya rumput laut Pulau Pari

Analisis leverage pada Gambar 15 diperoleh 3 atribut yang memiliki nilai leverage >1,5 (sensitif), ketiga atribut tersebut meliputi harga pasaran rumput laut, ketersediaan modal, dan pemasaran rumput laut. Atribut yang sensitif tersebut merupakan faktor inti dalam suatu usaha, sehingga meskipun rumput laut yang dibudidayakan secara ekologi baik, tetapi jika tidak didukung oleh faktor ekonomi maka budidaya tersebut tidak bisa dikatakan berkelanjut.

c. Dimensi sosial

Sebanyak 131 responden yang diwawancarai pada saat penelitian dilakukan terkait tingkat pendidikan di Pulau Pari, 67% diantaranya memiliki tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Jika mengacu kriteria pada tabel multidimensional scaling maka skor yang diperoleh memiliki nilai satu yang berarti tingkat pendidikan masyarakat Pulau Pari masih tergolong rendah. Sedangkan partisipasi keluarga dalam usaha budidaya rumput laut cukup tinggi, sebanyak 51% responden menyatakan bahwa >3 orang anggota keluarga terlibat langsung dalam usaha budidaya. Tingkat pengetahuan masyarakat dalam budidaya tegolong sangat baik, dan dapat dilihat dari metode yang digunakan, yakni 50% responden melakukan budidaya rumput laut dengan metode long line yang berarti telah mengikuti standar yang telah diberikan oleh pemerintah. Penelitian ini juga melihat sosialisasi pekerjaan yang dilakukan dalam usaha budidaya, dan sebanyak 68% responden melakukan budidaya dengan cara kerja sama dengan pembudidaya lainnya, sedangkan untuk alternatif mata pencaharian masyarakat Pulau Pari, mayoritas masyarakat atau sekitar 46% memiliki usaha lain selain budidaya rumput laut seperti nelayan tangkap, kuli bangunan, buruh dan lain-lain. Jika melihat rata-rata usia yang melakukan budidaya rumput laut

1,21

(50)

mayoritas dilakukan oleh usia 17-65 tahun. Usia tersebut merupakan usia yang produktif untuk skala pekerjaan seperti budidaya. Penelitian ini juga melihat konflik yang terjadi dalam usaha budidaya rumput laut, dan menurut wawancarai yang dilakukan sebanyak 79% mengatakan bahwa dalam kegiatan budidaya jarang terjadi konflik, kebanyakan konflik yang terjadi hanya sebatas permasalahan kecil, seperti pergeseran tali jangkar yang menurut masyarakat kesalahan tersebut tidak sengaja dilakukan dan kemungkinan dipengaruhi oleh ombak yang besar sehingga menggeser tali budidaya, hal ini terjadi 1-2 kali dalam satu tahun dan konflik tersebut tidak sampai berujung pada masalah yang lebih besar.

Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 16) untuk dimensi sosial, diperoleh enam atribut yang (mempunyai nilai lebih besar dari 1,5 atau dikatakan sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan yang meliputi dimensi sosial: (1) Usia KK pembudidaya, (2) Alternatif usaha lain, (3) Sosialisasi pekerjaan, 4) pengetahuan masyarakat tentang budidaya, dan (5) partisipasi keluarga dalam usaha budidaya. Kelima atribut tersebut merupakan faktor pengungkit atau atribut yang sensitif dalam suatu usaha budidaya rumput laut, sehingga untuk menigkatkan produksi rumput laut kelima atribut tersebut harus ditingkatkan lagi sehingga pengelolaannya dapat berkelanjutan.

Gambar 16. Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan budidaya rumput laut Pulau Pari

Munculnya kelima atribut yang sensitif disebabkan karena budidaya rumput laut tidak bisa lakukan dengan baik jika atribut sosial yang sensitif tidak ditingkatkan selain itu juga atribut tersebut menjadi salah satu faktor penentu tehadap keberhasilan suatu usaha, karena jika sosial masyarakat diperbaiki maka usaha yang dikembangkan tentunya akan ikut baik sehingga menghasilkan usaha yang memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat sekitar Pulau Pari. d. Dimensi infrastruktur

Dimensi infrastruktur seperti industri pengolahan hasil serta sarana dan prasarana pasar yang ada di Pulau Pari memang belum tersedia, sehingga rumput laut yang dibudidayakan langsung dijual pada pengumpul dan selanjutnya dikirim keluar pulau, sedangkan untuk ketersediaan gudang penampung sementara, masing-masing pembudidaya memiliki gudang sendiri, tetapi kapasitasnya

1,24

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran dinamika sosial-ekologi pengelolaan Pulau Pari Provinsi DKI Jakarta
Gambar 2. Peta lokasi penelitian Pulau Pari
Tabel 1. Jenis dan sumber data
Gambar 3. Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guna meningkatkan dampak ekonomi masyarakat lokal serta meminimumkan degradasi lingkungan dari kegiatan pariwisata alam di Kepulauan Seribu maka diperlukan suatu kebijakan