• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waveform Retracking Satelit Jason-2 pada Pesisir Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Waveform Retracking Satelit Jason-2 pada Pesisir Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

WAVEFORM RETRACKING

SATELIT JASON-2 PADA

PESISIR SELATAN JAWA TENGAH DAN JAWA BARAT

DANU ADRIAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul “Waveform Retracking

Satelit Jason-2 pada Pesisir Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Danu Adrian

(4)
(5)

iii

ABSTRAK

DANU ADRIAN. Waveform Retracking Satelit Jason-2 pada Pesisir Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL dan PARLUHUTAN MANURUNG

Satelit altimetri Jason-2 telah digunakan untuk mengukur tinggi permukaan laut global dengan nilai ketelitian hingga sekitar 2.5 cm di laut lepas. Namun, di wilayah perairan pantai ketelitiannya secara signifikan akan berkurang. Hal tersebut dikarenakan sinyal yang diterima satelit mengalami gangguan dari pantulan daratan. Gangguan terhadap sinyal yang diterima kembali oleh satelit akan mempengaruhi

waveform sehingga bentuknya menjadi kompleks sehingga sulit dianalisis. Berbeda dengan waveform yang terbentuk di laut lepas, di mana waveform memiliki bentuk yang ideal (ocean waveform atau Brown waveform). Perhitungan jarak antara satelit dengan permukaan bumi menggunakan metode ocean retracking tidak akurat jika

waveform yang dianalisis tidak ideal. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses

retracking dengan menggunakan metode lain. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan kemampuan beberapa metode retracking terhadap metode ocean retracking untuk menghasilkan nilai tinggi muka laut atau sea surface height (SSH) yang lebih baik dan menganalisis perubahan nilai SSH hasil proses retracking waveform selama tahun 2010 – 2012. Penelitian ini menggunakan data SGDR-D (Sensor Geophysical Data Record type D) dari satelit Jason-2 (lintasan 242, 051, dan 064 selama tahun 2010 - 2012 pada wilayah pesisir bagian selatan dari Jawa Tengah dan Jawa Barat) dan data undulasi geoid global EGM08 (Earth Gravitational Model 2008). Pada penelitian ini membandingkan kemampuan analisis dari beberapa metode retracking, seperti OCOG (Offset Centre of Gravity),

ice, threshold, dan improved threshold retracking terhadap hasil analisis metode

ocean retracking. Perbandingan kemampuan analisis dilakukan dengan menghitung persentase perbaikan kemampuan atau IMP (Improvement Pecentage). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waveform yang terbentuk di wilayah perairan pesisir memiliki bentuk waveform yang kompleks dan meruncing (peaky), berbeda dengan waveform yang terbentuk di laut lepas memiliki bentuk yang ideal. Secara umum, metode ice retracking merupakan metode yang paling optimal untuk menganalisis waveform yang ada pada setiap lintasan pengamatan. Metode tersebut mampu menghasilkan nilai SSH hingga dekat pantai dengan keakuratan pengukuran yang baik. Kecenderungan perubahan tinggi muka laut yang terjadi selama tahun 2010 - 2012 pada titik pengamatan di setiap lintasan menunjukkan pola penurunan. Perubahan tinggi muka laut pada titik pengamatan di lintasan 242, 051, dan 064 secara berurutan adalah -18.17, -47.23, dan -39.97 mm/tahun.

(6)

iv

ABSTRACT

DANU ADRIAN. Waveform Retracking of Jason-2 Satellite over South Coast of Central Java and West Java. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL and PARLUHUTAN MANURUNG

Satellite altimetry Jason-2 has been used to observe global ocean surface topography with accuracy approximately up to 2.5 cm on the offshore. However, the accuracy will be significantly reduced over coastal waters due to the signal received by satellite was interfered by reflected signal from the land. Distruption to the received signal by the satellite will affect the waveform shape becomes more complex and more difficult to be analyzed. The waveform formed on the offshore, is the ideal waveform shape so called ocean waveform or Brown waveform. Calculation of the range between the satellite and earth's surfaces using ocean retracking method is not accurate if the analyzed waveform shape is not ideal. Therefore, it is necessary to do retracking using other methods. The purpose of this research was to compare the ability of several retracking methods and ocean retracking methods to produce better value of sea surface height (SSH) on coastal waters. This study used data from the SGDR-D (Sensor Geophysical Data Record type D) satellite Jason-2 (pass 242, 051, and 064 during the period of 2010 - 2012 at southern coastal of Central Java and West Java) and global geoid data EGM08 (Earth Gravitational Model 2008). In this research, compared the analysis perfomances of several retracking methods, such as the OCOG (Offset Centre of Gravity), ice, threshold, and improved threshold and the result from analysis of ocean retracking method. Analytical performances of the used methods were measured by calculating the improvement percentage (IMP) results. Results of this research indicated waveforms from coastal waters has a complex and peaky shape, in contrast to the condition of the waveforms on the offshore with the ideal shape. In general, ice retracking method was the most optimal method for analyzing waveforms on each pass. That method was able to produce sea surface height value from offshore to coastal waters with high accuracy. The trend of sea level change that occurred during 2010 - 2012 at the observation point in each pass used optimal retracking method indicated a declining pattern. Sea level change at the observation point on the pass 242, 051, and 064 were -18.17, -47.23, and -39.97 mm/year inrespectively.

(7)

v

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

WAVEFORM RETRACKING

SATELIT JASON-2 PADA

PESISIR SELATAN JAWA TENGAH DAN JAWA BARAT

DANU ADRIAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

vii

Judul Skripsi : Waveform Retracking Satelit Jason-2 pada Pesisir Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat

Nama : Danu Adrian

NRP : C54080068

Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Disetujui oleh

Dr.Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. Pembimbing I

Dr.Ir. Parluhutan Manurung Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Ketua Departemen

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Waveform Retracking Satelit Jason-2 pada Pesisir Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat” ini dapat diselesaikan. Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Kedua orang tua penulis, Ayah Mahmud Sanusi dan Ibu Yulia yang selalu

mendoakan dan menyemangati dalam penyusunan skripsi ini.

2. Dr.Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. dan Dr.Ir. Parluhutan Manurung selaku dosen pembimbing skripsi.

3. Dr.Ir. Bisman Nababan, M.Sc. selaku dosen penguji tamu.

4. Moh. Tri Hartanto, S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik selama masa perkuliahan.

5. Teman-teman ITK 45 dan lainnya yang selalu menyemangati dan mendoakan akan kelancaran penyusunan skripsi ini.

6. Pihak NASA, OSTM/Jason-2, dan lainnya yang telah menyediakan dan menjelaskan penggunaan data dalam penelitian ini.

7. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, saran, dan doa demi kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.

Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa depan. Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, September 2013

(11)

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

METODOLOGI ... 3

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 3

Data Penelitian ... 4

Alat ... 5

Prosedur Analisis Data ... 5

Metode Ocean Retracking ... 6

Metode Offset Centre of Gravity (OCOG) retracking ... 6

Metode Threshold Retracking ... 8

Metode Improved Threshold Retracking ... 9

Perhitungan nilai SSH ... 10

Perhitungan IMP (Improvement Percentage) ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

Waveform pada Lokasi Penelitian ... 12

Analisis Nilai IMP Tinggi Muka Laut (SSH) ... 15

Jarak pengamatan 0 – 10 km... 15

Jarak pengamatan 10 – 50 km... 19

Jarak pengamatan 50 – 100 km... 24

Analisis Perubahan Nilai SSH Tahun 2010 - 2012 ... 27

SIMPULAN DAN SARAN ... 28

Simpulan ... 28

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(12)

x

DAFTAR TABEL

1 Koordinat awal pengamatan metode retracking ... 3

2 Koordinat pengamatan perubahan nilai SSH ... 4

3 Variabel perhitungan metode threshold retracking ... 9

4 Variabel perhitungan jarak hasil retracking ... 11

5 Hasil statistik waveform retracking pada jarak pengamatan 0 – 10 km 16

6 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 0 - 10 km tahun 2010 – 2012 ... 19

7 Hasil statistik waveform retracking pada jarak pengamatan 10 – 50 km 20 8 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 10 - 50 km tahun 2010 – 2012 ... 23

9 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 50 - 100 km ... 25

10 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 50 - 100 km tahun 2010 – 2012 ... 26

DAFTAR GAMBAR

1 Skema waveform pada berbagai jenis permukaan ... 2

2 Peta lokasi penelitian ... 4

3 Diagram alir proses pengolahan data ... 5

4 Skema dari waveform retracking dengan metode OCOG ... 7

5 Diagram alir prosedur metode improved threshold retracking ... 10

6 Waveform lintasan 242 periode 104 pada jarak 0 – 10 km ... 13

12 Sampel waveform pada lintasan 064 periode 100 yang ditandai kriteria edit “alt_echo_type” ... 22

13 Hasil analisis waktu terjadinya LEP pada setiap metode retracking ... 22

14 SSH hasil retracking pada jarak 50 - 100 km ... 24

15 SSH pada masing-masing titik pengamatan di setiap lintasan tahun 2010 - 2012 ... 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Bagian dari sintak pengolahan data altimetri SGDR-D Jason-2 ... 32

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kelautan saat ini dapat dilihat dari adanya teknologi penginderaan jauh satelit untuk mengamati parameter-parameter yang ada di lautan. Teknologi satelit altimetri merupakan salah satu teknik penginderaan jauh untuk mengamati kondisi fisik lautan secara cepat, tepat dan periodik. Pemanfaatan teknologi satelit altimetri telah dilakukan sejak 30 tahun lalu untuk mengamati dinamika laut. Konsep dasar kerja satelit altimetri saat berada di atas perairan adalah dengan memancarkan gelombang mikro pada kekuatan tertentu langsung menuju permukaan, oleh karena itu teknologi ini tergolong dalam penginderaan jarak jauh aktif (Li 2011).

Data satelit altimetri sudah digunakan dalam berbagai bidang studi kelautan antara lain untuk mengamati tinggi muka laut, permukaan laut rata-rata, pemodelan pasang surut laut, batimetri, arus laut, dan lainnya. Sebagai negara yang bersifat kepulauan, Indonesia memiliki banyak pulau dengan wilayah lautan lebih luas daripada wilayah daratannya. Tidak sedikit pulau kecil di Indonesia tenggelam baik secara alami atau yang disebabkan oleh campur tangan manusia. Naiknya tinggi muka air laut akibat pemanasan iklim global dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia. Hal ini juga akan mengancam wilayah penduduk di daerah pesisir. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan tinggi muka laut secara berkelanjutan. Kurangnya jumlah stasiun pengamatan pasang surut di Indonesia juga menjadi salah satu masalah untuk mengamati kondisi tinggi muka laut di Indonesia secara menyeluruh.

Pemanfaatan data satelit altimetri untuk wilayah laut lepas sudah sangat baik tingkat akurasinya. Namun, semakin mendekati wilayah daratan atau pesisir tingkat akurasinya akan berkurang seiring dengan bertambah tinggi gangguan pada gelombang mikro yang diterima kembali ke satelit akibat pantulan dari daratan. Oleh karena itu, data satelit altimetri yang memiliki akurasi tinggi hanya tersedia untuk wilayah laut lepas dikarenakan proses analisis dan koreksi sinyal yang telah diketahui dengan baik (Anzenhofer et al. 1999).

Waveform merupakan perubahan besarnya kekuatan sinyal yang dipantulkan oleh permukaan bumi (laut) dan diterima kembali oleh satelit terhadap fungsi waktu pada interval beberapa nanosecond (Chelton et al. 1989 dan Gommenginger et al. 2011). Waveform dari satelit altimetri merupakan profil temporal yang dihasilkan dari pantulan gelombang mikro pada frekuensi tertentu (Quartly et al. 2001).

Waveform pada satelit altimetri membawa informasi jarak yang terbentuk antara satelit dengan permukaan pada titik nadir, daya pantul dan kekasaran permukaan dari hamburan (Deng 2003).

Tidak terdapat hubungan langsung secara matematis antara bentuk dari

(14)

2

dihasilkan oleh daratan, vegetasi dan kedalaman perairan terhadap gelombang mikro yang dipantulkan kembali ke satelit (Bao et al. 2008).

Berkembangnya penelitian teknologi satelit altimetri, memungkinkan untuk menghitung jarak antara satelit dengan permukaan bumi yang lebih baik dengan melakukan koreksi dengan melakukan pemrosesan ulang terhadap data waveform

menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh para peneliti. Pemrosesan ulang pada gelombang satelit altimetri disebut juga dengan waveform retracking. Awalnya, waveform retracking dilakukan untuk mengukur jarak di atas lapisan es dan sekarang dikembangkan untuk mengamati waveform di daerah perairan pesisir yang banyak menerima noise dari daratan untuk menghasilkan pengukuran nilai tinggi muka laut yang akurat (Davis 1997; Anzenhofer et al. 1999; Deng dan Featherstone 2006; Hwang et al. 2006; Bao et al. 2009). Tinggi muka laut atau sea surface height (SSH) dalam bidang altimetri merupakan tinggi muka laut yang terukur dari bidang elipsoid, umumnya WGS84 (Rosmorduc et al. 2011).

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Lee et al. (2010) menunjukkan bahwa metode retracking yang terdapat pada data SGDR Satelit Jason-2, ocean retracking, tidak mampu menganalisis dengan baik waveform yang terbentuk di perairan pesisir. Sering terjadi, informasi nilai tinggi muka laut di wilayah pesisir hilang atau memberikan kesalahan pengukuran. Oleh karena itu, penelitian terhadap

waveform dengan menggunakan metode retracking lainnya perlu dilakukan untuk menghasilkan nilai pengukuran yang lebih akurat di wilayah perairan pesisir.

Selain itu, kesulitan yang paling besar dalam menentukan sirkulasi lautan rata-rata secara global dari satelit altimetri karena kesalahan dalam model geoid di lautan (Tapley et al. 2003). Geoid didefinisikan sebagai sebuah bidang dengan nilai potensial gravitasi yang konstan (ekipotensial) yang mendekati tinggi muka laut

Gambar 1 Skema waveform pada berbagai jenis permukaan. (a) Ocean

-waveform; (b) Ice waveform; (c) Multi-peak waveform; (d)

(15)

3 rata-rata di seluruh bagian bumi (Chambers 2007). Model undulasi geoid yang digunakan dalam penelitian ini adalah EGM08. Tujuan dari digunakannya model undulasi geoid ini adalah untuk mendapatkan hasil perhitungan yang lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan model terdahulu yang terdapat pada data SGDR-D Jason-2, EGM96 (OSTM/Jason-2 handbook 2011). EGM08 merupakan model undulasi geoid global terbaru yang dikeluarkan oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA).

Oleh karena itu, hal-hal tersebut menjadi latar belakang untuk dilakukannya penelitian waveform retracking pada satelit altimetri Jason-2 di wilayah Indonesia. Mengingat kebutuhan Indonesia akan informasi tentang fenomena fisik lautan sangatlah penting.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan sebagai berikut:

1. Membandingkan kemampuan beberapa metode waveform retracking terhadap metode ocean retracking untuk menghasilkan nilai tinggi muka laut dari satelit altimetri Jason-2 di wilayah perairan pesisir bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat tahun 2010 - 2012; dan

2. Menganalisis perubahan nilai tinggi muka laut hasil proses waveformretracking

satelit altimetri Jason-2 tahun 2010 – 2012 setiap lintasan di wilayah perairan pesisir bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di perairan pesisir bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat, Samudera Hindia, Indonesia (Gambar 2). Pengamatan kemampuan beberapa metode retracking dilakukan sepanjang lintasan Satelit Jason-2 yang dibagi menjadi tiga kategori jarak yaitu, 0 – 10 km, 10 - 50 km, dan 50 – 100 km dari pantai. Lintasan pengamatan 242 dan 051 di pesisir bagian selatan Jawa Barat dan lintasan 064 di pesisir bagian selatan Jawa Tengah.

Koordinat awal pengamatan metode retracking dan pengamatan perubahan nilai SSH pada setiap lintasan ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. Pengolahan data dilakukan sejak bulan Januari - Mei 2013, bertempat di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB).

Tabel 1 Koordinat awal pengamatan metode retracking

Lintasan (Pass) Koordinat awal pengamatan metode retracking

Lintang Bujur

(16)

4

Tabel 2 Koordinat pengamatan perubahan nilai SSH

Lintasan (Pass) Koordinat pengamatan perubahan nilai SSH

Lintang Bujur

242 7°35'14.01" LS 106°54'29.48" BT 051 7°52'34.35" LS 108°25'58.99" BT 064 7°53'14.73" LS 109°50'53.69" BT

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Data satelit altimetri Jason-2 SGDR (Sensor Geophysical Data Record) tipe D selama tahun 2010 - 2012 dengan nomor lintasan (pass) 242, 051 dan 064 dari periode (cycle) 055 hingga 164. Data diperoleh dari situs jaringan data “NOAA's

Comprehensive Large Array-data Stewardship System” (www.class.ncdc.noaa.gov); dan

2. Data model undulasi geoid global EGM08 (Earth Gravitational Model 2008) versi WGS84 (World Geodetic System 1984) yang diperoleh dari situs jaringan data “NGA : National Geospatial-Intelligence Agency

(17)

5

Alat

Alat yang digunakan dalam melakukan penelitian ini antara lain: 1. Perangkat keras:

 Laptop Acer 4736G dengan spesifikasi Intel Core 2 Duo Processor T6500 (2.1 GHz, 800 MHz FSB).

2. Perangkat lunak:

 MATLAB R2012b untuk mengolah data SGDR-D Satelit Jason-2;

 hsynth_WGS84.exe untuk menghasilkan nilai undulasi geoid EGM08; dan  ArcMap 10 digunakan untuk membuat peta lokasi penelitian.

Prosedur Analisis Data

Prosedur analisis data yang dilakukan pada penelitian ini secara umum diilustrasikan melalui Gambar 3. Data yang digunakan terdiri atas data SGDR-D dari Satelit Jason-2 dan data undulasi geoid EGM08. Data geoid diseleksi sesuai wilayah yang diamati dengan menggunakan software hsynth_WGS84.exe. Data SGDR-D dibaca dan diedit dengan menggunakan software MATLAB.

Pada tahap retracking pengeditan data 1 Hz menjadi 20 Hz untuk beberapa parameter atmosferik dan geofisik dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi linear untuk menghasilkan nilai tinggi muka laut atau sea surface height

(SSH) dari data waveform (20Hz) (Birol et al. 2012). SSH merupakan tinggi muka laut yang terukur dari referensi elipsoid (WGS84) (Rosmorduc et al. 2011). Selanjutnya dilakukan retracking terhadap waveform dari band-Ku (13.575 GHz) dengan menginput algoritma ke dalam bentuk sebuah listing program (sintak) pada

software MATLAB (Lampiran 1). Selanjutnya, penginputan data geoid ke dalam program MATLAB untuk menghitung nilai SSH dan IMP.

Data

(18)

6

Metode waveform retracking yang digunakan untuk menghasilkan nilai jarak antara satelit dengan permukaan bumi pada penelitian ini berjumlah sembilan macam. Dua dari sembilan metode sudah memberikan hasil pengukuran pada data SGDR-D, sehingga tidak dilakukan lagi analisis terhadap waveform untuk kedua metode tersebut. Dua metode retracking tersebut adalah metode oceanretracking

dan ice retracking. Sedangkan, pada tujuh metode retracking lainnya digunakan untuk menganalisis waveform hingga didapatkan nilai jarak. Penjelasan tentang masing-masing metode retracking dijelaskan dalam subsubbab ini. Visualisasi dari berbagai hasil perhitungan merupakan tahap akhir prosedur analisis data yang dilakukan dengan menggunakan software MATLAB.

Metode Ocean Retracking

Ocean retracking merupakan salah satu metode waveform retracking yang digunakan Satelit Jason-2 untuk menghasilkan nilai jarak antara satelit dengan permukaan bumi. Rata-rata kekuatan sinyal yang dikembalikan dari permukaan lautan, P(t), dapat dideskripsikan sebagai konvolusi dari tiga kondisi berdasarkan perubahan waktu, t, yaitu: rata-rata respon impuls dari permukaan datar lautan (Flat Sea Surface Response/FSSR(t)), respon titik target pada sistem radar (Point Target Response/PTR(t)), dan fungsi probabilitas kerapatan dari tinggi permukaan laut pada pantulan spekular (Probability Density Function/PDF(t)) (Brown 1977; Hayne 1980; Barick dan Lipa 1985). Persamaan berikut menjelaskan hubungan ketiga kondisi tersebut:

P t = FSSR t *PTR t *PDF t (1)

Pada pengamatan di atas permukaan laut persamaan di atas umumnya berlaku, tetapi tidak ketika satelit mengamati di atas perairan dekat dengan daratan. Hal ini dikarenakan pantulan sinyal dari daratan akan bersama-sama terekam oleh satelit, sehingga on-board tracker menghitung jarak dari waveform yang ber-noise dan menyebabkan berbagai kesalahan perhitungan (Tourian, 2012).

Pada penelitian ini tidak dilakukan lagi analisis terhadap waveform yang ada untuk menghitung jarak yang terbentuk antara satelit dengan permukaan bumi menggunakan metode ini. Pada penelitian ini hanya menggunakan nilai hasil analisis nilai jarak yang telah tersedia di dalam data SGDR-D Satelit Jason-2.

Metode Offset Centre of Gravity (OCOG) retracking

Wingham et al. (1986) mengembangkan metode waveform retracking satelit altimetri Offset Centre of Gravity (OCOG). Metode OCOG menggunakan pendekatan statistik tanpa berkorelasi dengan karakteristik fisik dari permukaan bumi yang memantulkan gelombang (Deng 2004; Guo et al. 2010; dan Gommenginger et al. 2011). Pendekatan statistik digunakan untuk menemukan pusat gravitasi dari bentuk empat persegi panjang pada waveform berdasarkan kekuatan dari gelombang yang diterima kembali oleh satelit pada setiap gerbang (gate) (Gambar 4).

(19)

7 metode OCOG ini juga digunakan sebagai awal dalam pencarian variabel lainnya pada metode waveform retracking lainnya. Nilai COG, A, dan W dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

A =√∑Ni=1+-n2n Pi4 t ⁄∑iN=1+-n2n1Pi2 t (2)

W = ∑Ni=1+-n2n1 Pi2 t

2

Ni=1+-n2n Pi4 t

⁄ (3)

COG =∑Ni=1+-n2n1iPi2 t ⁄∑iN=1+-n2n1Pi2 t (4)

N adalah total gerbang pada satelit (Satelit Jason-2 memiliki 104 gerbang) dan n adalah jumlah gerbang yang tidak digunakan pada setiap awal dan akhir untuk meminimalisir gangguan dari radiasi termal. Umumnya n1= n2 = 4 (Hwang et al. 2006 dan Lee et al. 2008) dan Pi(t) adalah kekuatan gelombang dari gerbang ke-i. Selanjutnya nilai COG digunakan untuk mendapatkan waktu atau gerbang pengamatan (tracking gate) saat terjadinya setengah kemiringan terdepan atau

Leading Edge Point (LEP) pada waveform dengan menggunakan persamaan di bawah ini (Guo et al. 2010 dan Gommenginger et al. 2011):

LEP = COG - W/2 (5)

Pada persamanaan lainnya nilai LEP disebut juga dengan Gr,yang selanjutnya digunakan untuk mengoreksi jarak antara satelit dengan permukaan bumi berdasarkan hasil retracking metode OCOG mengikuti Persamaan 11 dan 12.

(20)

8

Metode Threshold Retracking

Metode threshold retracking dikembangkan oleh Davis (1995 dan 1997) untuk menghasilkan estimasi jarak antara satelit dengan permukaan yang lebih baik pada satelit altimetri. Metode ini juga merupakan metode yang hanya didasari dari perhitungan secara statistik seperti metode OCOG, sehingga tidak memiliki korelasi dengan karakteristik fisik permukaan bumi yang memantulkan gelombang (Guo et al. 2010). Namun, metode ini dapat memberikan nilai posisi gerbang pengamatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode OCOG (Partington 1989).

Metode ini menggunakan dimensi dari empat persegi panjang yang diperhitungkan dengan menggunakan metode OCOG. Tingkat ambang batas (threshold level) yang ditentukan berdasarkan amplitudo gelombang. Perkiraan posisi gerbang pengamatan ditentukan dengan cara interpolasi linier antarsampel yang berdekatan dari batas yang ditentukan hingga melintasi bagian curam dari LEP gelombang (Deng 2004; Guo et al. 2010; dan Gommenginger et al. 2011).

Pemilihan threshold level yang optimal sangat penting pada metode ini. Davis (1995 dan 1997) telah melakukan penelitian pada threshold level yang berbeda, yakni 10%, 20%, dan 50% dari amplitudo gelombang untuk mengukur elevasi perubahan lapisan es dengan menggunakan data yang saling melengkapi dari Satelit SEASAT, GEOSAT-GM, dan GEOSAT-ERM. Secara umum untuk pengamatan permukaan perairan digunakan threshold level 50% (Guo et al. 2010). Perhitungan menggunakan metode threshold retracking dapat dilakukan dengan persamaan berikut:

 Menghitung besarnya gangguan termal pada gelombang:

PN = 15 ∑5i Pi (6)

 Menghitung threshold level yang diterapkan pada gelombang:

Th = PN+q . (A - PN) (7)

 Gerbang pengamatan ketika terjadi LEP dihitung secara interpolasi linier di antara sampel yang berdekatan dengan threshold level menggunakan persamaan di bawah ini:

Gr = Gk-1 + PThk - - PPkk-1

(21)

9

Keterangan mengenai variabel-variabel yang digunakan pada persamaan di atas dijelaskan pada Tabel 3. Selanjutnya nilai Gr digunakan untuk mengoreksi jarak antara satelit dengan permukaan bumi, dihitung dengan menggunakan Persamaan 11 dan 12. Tingkat ambang batas yang digunakan pada metode ini adalah 10%, 20%, dan 50% dari amplitudo gelombang. Pada dasarnya, nilai jarak hasil analisis metode ice retracking yang tersedia dalam data SGDR-D Satelit Jason-2 serupa dengan metode treshold retracking dengan thresholdlevel 30% (Lee 2010).

Metode Improved Threshold Retracking

Pada waveform yang kompleks, metode OCOG dan threshold retracking

tidak dapat menentukan dengan baik saat terjadi LEP, sehingga tidak mampu menghasilkan perhitungan jarak antara satelit dengan permukaan dengan baik. Oleh karena itu, pengembangan metode improved threshold retracking dikembangkan untuk menghasilkan perhitungan jarak antara satelit dengan permukaan yang lebih baik pada bentuk gelombang yang kompleks (Hwang et al. 2006 dan Guo et al.

2006).

Waveform yang kompleks dengan banyak perubahan nilai kekuatan hasil pantulan permukaan dapat menghasilkan banyak LEP yang merupakan noise. Namun, hanya ada satu yang benar-benar merupakan LEP saat sinyal benar-benar mengenai permukaan bumi (Guo et al. 2006). Metode ini akan menghitung banyak nilai LEP dan gerbang pengamatan hasil retracking pada satu gelombang, lalu memilih gerbang pengamatan yang terbaik berdasarkan prosedur yang dikembangkan oleh Hwang et al. (2006). Prosedur metode improved threshold retracking dapat dilihat pada Gambar 5.

Pertama tentukan perbedaan rata-rata kekuatan waveform pada setiap nomor gerbang (gate number) dengan menggunakan persamaan berikut:

d i2= 12(Pi+2-Pi) (9)

Tabel 3 Variabel perhitungan metode threshold retracking

Variabel Keterangan

A Amplitudo dari Persamaan 2

PN Rata-rata dari kekuatan gelombang pada lima gerbang pertama

Pidan Pk Kekuatan gelombang pada gerbang ke-i atau ke-k, jika

Pk = Pk – 1 maka nilai k diganti dengan k + 1

q Tingkat ambang batas (contoh: 50%)

Gr Gerbang pengamatan saat terjadi LEP dari hasil

retracking

Gk Kekuatan gelombang saat gerbang ke-k, k adalah lokasi gerbang saat melewati threshold level (Th)

Th Threshold level

(22)

10

d k1 =(Pk+1-Pk) (10)

Jika nilai d2i lebih besar dari nilai ε1, maka akan membentuk sebuah kemiringan yang selanjutnya dijadikan sebagai sebuah sub-gelombang. Lalu perbedaan kekuatan di antara gelombang yang berhasil diperoleh d1 k dihitung, jika perbedaannya lebih besar dari ε2 maka gerbang pengamatan yang sesuai terdapat di dalam sub-gelombang tersebut (Gommenginger et al. 2011).

Berdasarkan prosedur yang dikembangkan oleh Hwang et al. (2006), maka nilai ε1 = 8 dan ε2 = 2, dan analisis dimulai pada gerbang ke lima pada setiap

waveform. Selanjutnya sub-gelombang akan diproses menggunakan metode OCOG dan threshold retracking untuk memperoleh gerbang pengamatan saat terjadi LEP terbaik pada setiap waveform. Lalu, dilanjutkan dengan Persamaan 11 dan 12 untuk memperoleh jarak terkoreksi. Tingkat ambang batas yang digunakan pada metode ini adalah 10%, 20%, dan 50% dari amplitudo gelombang.

Perhitungan nilai SSH

Setelah melakukan proses waveform retracking dan memperoleh nilai gerbang pada saat LEP, selanjutnya adalah mengoreksi jarak antara satelit dengan permukaan bumi. Jarak dari hasil retracking dapat dicari dengan persamaan 11 dan 12 (Anzenhofer et al. 1999; Guo et al. 2010 dan Yang et al. 2012).

Bandingkan energi gelombang pada gerbang yang berurutan, dengan nilai k dimulai dengan 0

Maka, i = i + 1

TIDAK

Dimulai pada gerbang ke-i, i adalah 5 gerbang pertama pada gelombang

Tentukan sebuah gerbang pelacakan dari sub-gelombang yang terbentuk dengan menggunakan Persamaan (2) pada metode OCOG dan Persamaan

(6-8) pada metode threshold lalu pilihlah yang paling baik. Selesai

i = flag 1 – flag 2,

k = 0

Apakah

Apakah

(23)

11 dr = c × ∆2Ga × (Gr - G0) (11)

�� = R + dr (12)

Keterangan mengenai variabel-variabel yang digunakan pada persamaan yang digunakan pada Persamaan 11 dan 12 dijelaskan pada Tabel 4. Lalu, jarak hasil retracking (Rr) perlu dilakukan pengoreksian terhadap gangguan atmosferik dan geofisik untuk memperoleh jarak terkoreksi (Rcorr). Gangguan atmosferik yang harus dikoreksi antara lain: pengaruh ionosfer (hiono), troposfer basah (hwet), troposfer kering (hdry), bias kondisi laut (hssb), nilai koreksi pasang surut (htides), dan nilai koreksi atmosferik dinamis (hatm). Perhitungan untuk menghasilkan jarak terkoreksi dapat dilihat pada persamaan di bawah ini (Andersen dan Scharroo 2011):

Rcorr = Rr - ∆hdry - ∆hwet - ∆hiono - ∆hssb - htides- hatm (13)

Selanjutnya untuk mendapatkan nilai SSH dari data satelit altimetri dapat dilakukan dengan menggunakan Persamaan 14, dimana H merupakan ketinggian satelit yang diukur dari referensi elipsoid (WGS84) (Yang et al. 2008). Satelit Jason-2 berada pada ketinggian 1336 km dari referensi elipsoid di wilayah ekuator (OSTM/Jason-2 handbook 2011).

SSH = H - Rcorr (14)

Tabel 4 Variabel perhitungan jarak hasil retracking

Variabel Keterangan

dr Koreksi ketinggian satelit dengan permukaan hasil

retracking (m)

G0 Gerbang pengamatan yang ditentukan pada satelit, untuk Jason-2 adalah 32 dengan gerbang dimulai dari 1 - 104 (Gommenginger et al. 2011 dan Lee et al. 2010)

R Jarak hasil pengukuran satelit (m)

(24)

12

Perhitungan IMP (Improvement Percentage)

Menghitung kemampuan dari beberapa metode retracking yang telah dilakukan dapat dilakukan dengan cara menghitung persentase perbaikan kemampuan atau Improvement Percentage (IMP). Perolehan nilai IMP dihitung dengan mencari nilai simpangan baku atau Standard Deviation (SD) dari selisih antara SSH dengan geoid (Hwang et al. 2006). IMP dari setiap metode retracking

dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

Ocean atau Retracking = N∑N�= ��− �̅ (15)

IMP = σOcean- σRetracking

σOcean ×100% (16)

Persamaan ini menjelaskan bahwa σOcean merupakan SD dari selisih antara SSH hasil perhitungan metode ocean retracking dengan geoid (EGM08) dan

σRetracking merupakan SD dari selisih antara SSH hasil retracking lainnya dengan geoid. Nilai negatif pada hasil perhitungan IMP menunjukkan bahwa SSH hasil metode retracking yang digunakan tidak lebih baik dari data SSH hasil perhitungan metode ocean retracking.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waveform pada Lokasi Penelitian

Waveform dari satelit altimetri memberikan informasi tentang jarak yang terbentang antara satelit altimetri dengan permukaan bumi pada posisi nadir dari waktu yang dibutuhkan oleh sinyal pada saat ditransmisikan hingga diterima kembali oleh satelit (Lee et al. 2010). Waveform yang digunakan dalam penelitian ini merupakan waveform yang terbentuk dari sinyal yang ditransmisikan oleh instrumen Poseidon-3 pada Satelit Jason-2 dengan panjang gelombang 13.575 GHz, band-Ku (OSTM/Jason-2 handbook 2011).

Lintasan 242 dan 064 yang digunakan pada penelitian ini merupakan lintasan berjenis descending, dimana pergerakan satelit saat melakukan pengamatan dimulai dari bumi bagian utara menuju ke selatan. Sebaliknya, lintasan 051 berjenis

ascending, dimana pergerakan satelit dimulai dari bagian selatan bumi menuju ke utara. Waveform yang terdapat di lokasi penelitian sangat beragam pada bentuk dan besarnya energi yang dipantulkan. Waveform yang terbentuk di wilayah perairan dekat pantai sangat dipengaruhi noise yang dihasilkan oleh daratan dan kedalaman perairan. Waveform yang terbentuk di laut lepas berbeda bentuknya dengan

waveform yang terbentuk di wilayah perairan dekat daratan. Ocean waveform atau

Brown waveform menggambarkan bentuk ideal dari sinyal yang diterima kembali ke satelit di wilayah laut lepas (Deng dan Featherstone 2006).

(25)

13 lintasan yang terbentuk pada jarak tersebut dominan memiliki bentuk peaky waveform (memuncak/meruncing) (Gambar 6). Peaky-waveform umumnya ditemukan di perairan dekat daratan, seperti teluk, estuari, pelabuhan dan bahkan danau (Deng 2004). Deng (2004) menemukan bahwa secara rata-rata 94%

waveform dengan bentuk Brown waveform baru dapat ditemukan pada jarak lebih dari 15 km dari pantai dan pada jarak 5 – 6 km dari pantai secara cepat waveform

akan memiliki bentuk peaky. Perubahan bentuk waveform akibat adanya noise

berupa pantulan sinyal dari daratan yang dimulai dari bagian belakang (trailing edge) waveform dan perlahan mendekati posisi LEP pada waveform yang berada semakin mendekati pantai (Gommenginger et al. 2011). Gambar 7 memperjelas, bahwa lima waveform pertama pada jarak tersebut memiliki bentuk peaky.

Bentuk ideal dari waveform, Brown waveform, hanya memiliki satu LEP, namun kenyataannya pada waveform yang kompleks akan memiliki banyak kemiringan akibat perubahan power yang fluktuatif efek pantulan dari daratan (Guo

et al. 2006). Menurut Gommenginger et al. (2011), noise yang ditimbulkan oleh daratan terhadap waveform akan menggeser perhitungan gerbang pengamatan (tracking gate/pre-given tracking gate) sehingga menghasilkan nilai jarak (range) yang tidak akurat. Gerbang pengamatan merupakan titik acuan tetap dari semua gerbang yang digunakan oleh sistem on-board retracking untuk memposisikan bentuk gelombang (Gomez-Enri et al. 2006). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9, di mana saat terjadi LEP pada waveform tidak berada pada posisi gerbang pengamatan yang telah ditentukan (pre-given tracking gate).

Pada jarak pengamatan 0 – 10 km (Gambar 6), dari 0 – 8 km dari pantai

waveform yang terbentuk ditandai dengan salah satu parameter kriteria edit

alt_echo_type”. Kriteria edit tersebut menandakan bahwa pada wilayah tersebut

waveform tidak menunjukkan bentuk Brown waveform. Waveform dengan bentuk yang tidak sesuai dengan kriteria edit tersebut tidak dapat dianalisis menggunakan metode ocean retracking karena memiliki nilai parameter “range_rms_ku” lebih

dari 0.2 meter (Lee et al. 2011). Oleh karena itu, tidak tersedia informasi hasil

(26)

14

pengukuran jarak antara satelit dengan permukaan pada jenis data altimetri 1 Hz atau GDR (Geophysical Data Record) dari Satelit Jason-2 pada wilayah di mana

waveform tidak memenuhi syarat kriteria edit tersebut.

Pada jarak pengamatan 10 – 50 km dari salah satu contoh lintasan terlihat

waveform yang memiliki bentuk Brown waveform (Gambar 8) dan pada lima

waveform pertama pada jarak tersebut memiliki bentuk Brown waveform (Gambar 7). Hal ini menandakan bahwa noise yang dihasilkan oleh daratan belum mempengaruhi sinyal yang diterima oleh satelit. Pada contoh data tersebut tidak

ditandai dengan parameter “alt_echo_type”, sehingga pada kondisi tersebut ocean retracking mampu menganalisis waveform pada wilayah tersebut.

Umumnya, pada jarak pengamatan 50 – 100 km dari pantai didapati waveform

dengan bentuk Brown waveform. Dikarenakan gangguan yang ditimbulkan oleh daratan tidak mempengaruhi waveform pada jarak ini, dapat dilihat dari bentuk

waveform yang memiliki bentuk Brown waveform (Gambar 7 dan 9). Namun, tidak selalu waveform yang terbentuk pada jarak pengamatan 10 – 50 km dan 50 – 100 km memiliki bentuk Brown waveform. Selain faktor keberadaan daratan yang dapat mempengaruhi sinyal yang diterima kembali oleh satelit, beberapa faktor lain yang mampu mempengaruhi waveform adalah kedalaman dan bentuk permukaan perairan, kondisi lingkungan pesisir, aerosol di atmosfer, bangunan (contoh: mercusuar atau kapal), dan lainnya (Deng dan Featherstone 2006). Pada Lampiran 2 dapat dilihat beberapa contoh waveform pada lintasan lainnya dengan bentuk yang beragam.

Kekurangan dari metode ocean retracking yang tidak dapat menganalisis

waveform dengan bentuk yang tidak menyerupai Brown waveform dan ditandai dengan salah satu kriteria edit “alt_echo_type” dapat diantisipasi dengan

menggunakan metode retracking lainnya. Oleh karena itu, penggunaan data hasil analisis metode ocean retracking harus dengan hati-hati untuk mendapatkan informasi yang lebih baik. Masing-masing kemampuan dari beberapa metode

waveformretracking dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

(27)

15

Gambar 9 Waveform lintasan 242 periode 104 pada jarak 50 – 100 km. Tampak samping (kiri) dan tampak atas (kanan)

Analisis Nilai IMP Tinggi Muka Laut (SSH)

Jarak pengamatan 0 – 10 km

Kemampuan metode ocean retracking untuk menganalisis waveform pada jarak pengamatan 0 – 10 km tidak terlalu baik. Hal ini dikarenakan waveform yang berada pada jarak tersebut menerima banyak gangguan dari sinyal yang dipantulkan oleh daratan. Akibatnya, tidak sedikit informasi tinggi muka laut yang hilang pada jarak pengamatan tersebut dari hasil proses analisis waveform

menggunakan metode ocean retracking. Menggunakan metode retracking lainnya akan mampu menghasilkan informasi tinggi muka laut dari waveform yang tidak Gambar 8 Waveform lintasan 242 periode 104 pada jarak 10 – 50 km. Tampak

(28)

16

dapat dianalisis dengan menggunakan metode ocean retracking. Membandingkan tingkat kemampuan analisis waveform pada beberapa metode retracking dapat dilakukan dengan menghitung nilai IMP-nya (Hwang et al. 2006). Nilai IMP dari beberapa metode retracking lainnya yang dibandingkan dengan metode ocean retracking di setiap lintasan pada periode tertentu ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 memberikan informasi bahwa waveform yang diolah dengan menggunakan beberapa metode mampu memberikan perbaikan kemampuan Tabel 5 Hasil statistik waveform retracking pada jarak pengamatan 0 – 10 km.

Nilai IMP tertinggi diindikasikan dengan cetak tebal

Lintasan Metode Retracking Jarak 0 - 10 km

STD IMP (%) SR (%)

Keterangan : IMP = Improvement Precentage

(29)

17 analisis jika dibandikan dengan metode ocean retracking. Pada lintasan 242 periode 104 metode retracking threshold 10% merupakan yang terbaik karena mampu menganalisis waveform lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan metode

ocean retracking. Nilai IMP yang dihasilkan oleh metode retrackingthreshold 10% sebesar 52.53% dan mampu menganalisis semua waveform yang ada dengan tingkat keberhasilan 100%, sedangkan ocean retracking hanya mampu menganalisis

waveform yang ada dengan tingkat keberhasilan 64.89%. rendahnya tingkat kesuksesan pengolahan waveform ini terkait dengan tidak mampunya metode ocean retracking untuk mengolah waveform yang tidak menyerupai Brown waveform.

Gambar 10 memberikan ilustrasi tentang perbaikan kemampuan analisis yang dilakukan pada beberapa metode retracking (hanya nilai SSH dari tiga metode

retracking yang ditampilkan (SSH dari metode retracking dengan nilai IMP terbesar, IMP terkecil, dan ocean retracking) untuk tujuan kejelasan visualisasi) terhadap waveform untuk menghasilkan nilai SSH. Pada Gambar 10a terlihat kemampuan ocean retracking untuk menghasilkan nilai SSH hanya mampu sampai 5 km dari pantai. Sedangkan metode threshold 10% mampu sampai 0 km dari pantai dengan kestabilan analisis mengikuti bentuk undulasi geoid hingga jarak 2 km dari pantai. Pada waveform tersebut ditandai dengan kriteria edit “alt_echo_type” (garis hitam berhimpitan dengan variabel jarak) mulai dari 8 km dari pantai.

Pada lintasan 051 periode 93 metode retracking threshold 20% merupakan yang terbaik karena memiliki kemampuan analisis waveform lebih baik dibandingkan dengan metode oceanretracking dengan nilai IMP sebesar 86.96% dengan tingkat kesuksesan analisis hingga 100%. Pada Gambar 10b waveform ditandai dengan kriteria edit “alt_echo_type” saat 5 km dari pantai. Dari gambar tersebut terlihat kemampuan metode ocean retracking untuk menghasilkan nilai SSH hanya sampai pada jarak sekitar 3 km dari pantai dengan nilai yang fluktuatif. Sedangkan metode retracking threshold 20% mampu menghasilkan nilai SSH dengan kestabilan analisis hingga dekat dengan pantai.

a

b

c

(30)

18

Metode retracking yang terbaik untuk menganalisis waveform pada lintasan 064 periode 128 pada jarak 0 – 10 km adalah metode improved threshold 20% dengan nilai IMP yang dihasilkan sebesar 88.90% pada tingkat keberhasilan analisis waveform 100%. Pada Gambar 10c waveform telah ditandai dengan kriteria

edit “alt_echo_type” mulai jarak 8 km dari pantai. Dari gambar tersebut terlihat kemampuan metode ocean retracking untuk menghasilkan nilai SSH hanya sampai sekitar 3 km dari pantai dengan nilai yang fluktuatif. Beberapa metode retracking

lainnya mampu memperbaiki kemampuan analisis pada waveform di setiap lintasan jika dibandingkan dengan menggunakan metode ocean retracking. Davis (1997) menyatakan bahwa metode threshold dengan threshold level sebesar 10 – 20% sangat baik untuk menganalisis waveform yang dipantulkan oleh kolom perairan, seperti lapisan es. Guo et al. (2010) menyatakan bahwa metode threshold dengan

threshold level 50% terbukti sesuai untuk menganalisis waveform dengan bentuk

peaky. Oleh karena itu metode threshold mampu menganalisis waveform yang berada dekat dengan pantai, dimana waveform yang terbentuk tidak menunjukkan bentuk yang ideal atau Brown waveform.

Pada setiap contoh lintasan, metode OCOG retracking memiliki kemampuan analisis waveform untuk menghasilkan nilai SSH dengan nilai IMP terendah. Pada Gambar 10 dapat dilihat nilai SSH yang dihasilkan oleh metode tersebut memiliki nilai yang sangat fluktuatif. Hal ini dikarenakan waveform mengalami gangguan dan tidak lagi membentuk Brown waveform. Sehingga, metode tersebut tidak mampu mengenali dengan baik saat waveform membentuk LEP yang menandakan terjadinya pantulan sinyal yang ditransmisikan oleh permukaan bumi (Deng et al.

2002). Selain bentuk waveform yang banyak dipengaruhi oleh pantulan sinyal dari daratan, fluktuatifnya nilai SSH yang dihasilkan pada setiap metode retracking

pada jarak pengamatan ini juga dipengaruhi oleh koreksi beberapa parameter geofisik dan atmosferik lainnya yang tidak lagi memberikan nilai yang akurat pada wilayah dekat dengan pantai (Chelton et al. 2001). Sebagai contoh, instrumen AMR (Advanced Microwave Radiometer) pada Satelit Jason-2 hanya dapat bekerja dengan baik untuk mengukur noise akibat uap air yang terdapat di atmosfer hingga jarak 15-20 km dari pantai (OSTM/Jason-2 handbook 2011).

(31)

19

Jarak pengamatan 10 – 50 km

Waveform yang terbentuk pada jarak pengamatan 10 – 50 km dari pantai pada setiap lintasan dalam selama tahun 2010 – 2012 memberikan bentuk yang beragam. Secara umum, pengaruh daratan terhadap sinyal yang diterima oleh satelit lebih kecil jika dibandingkan pada jarak 0 – 10 km. Meskipun, pada beberapa periode di masing-masing lintasan masih terdapat waveform dengan bentuk yang tidak menyerupai Brown waveform.

Tabel 6 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 0 - 10 km tahun 2010 – 2012. Nilai IMP tertinggi diindikasikan dengan cetak tebal

Lintasan Metode Retracking Jarak 0 - 10 km

STD IMP (%)

Lintasan 242 OCOG 1.3665 45.00

Threshold 10% 0.3922 84.21

Threshold 20% 0.2483 90.01

Threshold 50% 0.4122 83.41

ImprovedThreshold 10% 0.3870 84.42

ImprovedThreshold 20% 0.2447 90.15

ImprovedThreshold 50% 0.3186 87.17

Ice 0.2444 90.16

ImprovedThreshold 10% 0.3358 51.90

ImprovedThreshold 20% 0.2519 63.92

ImprovedThreshold 50% 0.2721 61.02

Ice 0.7238 -3.69

ImprovedThreshold 10% 0.6482 -4.90

ImprovedThreshold 20% 0.6129 0.80

ImprovedThreshold 50% 0.5660 8.39

Ice 0.4162 32.65

Ocean 0.6179 -

Keterangan : IMP = Improvement Precentage

(32)

20

Contoh hasil perhitungan secara statistik untuk nilai IMP dari setiap lintasan pada periode tertentu ditampilkan dalam Tabel 7. Tabel tersebut menjelaskan bahwa pada lintasan 242 periode 91 nilai SSH dapat dioptimalisasi dengan menggunakan metode threshold 10% dengan nilai IMP sebesar 26.89%. Nilai IMP yang dihasilkan tidak terlalu besar, hal tersebut dikarenakan pada contoh lintasan tersebut waveform yang dihasilkan mampu dianalisis cukup baik dengan Tabel 7 Hasil statistik waveform retracking pada jarak pengamatan 10 – 50 km.

Nilai IMP tertinggi diindikasikan dengan cetak tebal

Lintasan Metode Retracking Jarak 10 - 50 km

STD (m) IMP (%) SR (%)

Keterangan : IMP = Improvement Precentage

(33)

21

menggunakan metode ocean retracking. Gambar 11a memberikan gambaran tentang nilai SSH dari beberapa metode retracking, terlihat metode ocean retracking memberikan nilai SSH yang sejajar dengan bentuk geoid dengan

waveformyang tidak ditandai dengan kriteria edit “alt_echo_type”.

Berbeda dengan yang terjadi pada lintasan 051 periode 84, pada jarak ini

waveform yang terekam masih mengalami noise dan hampir sepanjang jarak

pengamatan ditandai dengan kriteria edit “alt_acho_type”. Meskipun metode ocean retracking mampu menganalisis waveform yang ada hingga memiliki tingkat keberhasilan 93.10%, namun nilai SSH yang dihasilkan sangat fluktuatif (Gambar 11b). Waveform pada lintasan tersebut mampu dioptimalisasi hingga 77.57% menggunakan metode threshold 10% dengan tingkat keberhasilan 100%.

Pada lintasan 064 periode 100 waveform yang terekam mengalami sedikit

noise dan ditandai dengan kriteria edit “alt_acho_type”. Dari contoh lintasan

tersebut didapatkan dua nilai IMP yang sama besarnya dari dua metode yang berbeda, yaitu metode improved threshold 10% dan 20% dengan nilai IMP sebesar 60.23%. Meskipun besarnya nilai IMP yang dihasilkan sama, nilai SSH yang terbentuk berbeda (Gambar 11c). Hal ini dikarenakan kemampuan setiap metode

retracking untuk menentukan saat terjadi LEP pada masing-masing waveform

berbeda. Gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa kemampuan analisis metode

ocean retracking terhadap waveform yang ditandai dengan kriteria edit tidak cukup baik, sehingga memberikan nilai SSH yang tidak akurat.

Gambar 12 memperlihatkan beberapa sampel waveform yang dipilih secara acak pada lintasan 064 periode 100 yang ditandai dengan kriteria edit

alt_acho_type” pada jarak pengamatan 10 – 50 km. Waveform yang terbentuk mengalami noise sehingga on-board tracker tidak mampu mendeteksi dengan

a

b

c

(34)

22

akurat saat terjadi LEP. Ilustrasi hasil analisis saat terjadinya LEP dari masing-masing metode diilustrasikan pada Gambar 13 pada salah satu waveform yang ada pada wilayah tersebut yang ditandai dengan kriteria edit “alt_acho_type”.

Nilai IMP yang dihasilkan dari metode OCOG retracking pada jarak 10 – 50 km di setiap contoh lintasan memberikan nilai performa yang tidak lebih baik jika dibandingkan dengan metode ocean retracking (Tabel 7). Nilai SSH yang dihasilkan lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan nilai SSH hasil analisis dengan

Gambar 12 Sampel waveform pada lintasan 064 periode 100 yang ditandai kriteria edit "alt_echo_type"

(35)

23

menggunakan metode ocean retracking. Gambar 11 memberikan ilustrasi nilai SSH hasil analisis metode OCOG retracking sepanjang lintasan di setiap lintasan.

Keseluruhan hasil perhitungan secara statistik untuk memperoleh nilai IMP pada setiap lintasan selama tahun 2010 – 2012 pada jarak pengamatan 10 – 50 km dari wilayah perairan pesisir ditampilkan dalam Tabel 8. Hasil perhitungan pada setiap periode di lintasan 242, 051, dan 064 diperoleh hasil bahwa metode ice retracking mampu memberikan nilai IMP yang paling optimal, secara berurutan nilai IMP yang dihasilkan sebesar 35.39%, 29.55% dan 13.62% dibandingkan Tabel 8 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 10 - 50 km tahun 2010 –

2012. Nilai IMP tertinggi diindikasikan dengan cetak tebal

Lintasan Metode Retracking Jarak 10 - 50 km

STD (m) IMP (%)

Lintasan 242 OCOG 0.6084 -100.31

Threshold 10% 0.2188 27.95

Threshold 20% 0.2003 34.04

Threshold 50% 0.2544 16.25

ImprovedThreshold 10% 0.2163 28.79

ImprovedThreshold 20% 0.1993 34.39

ImprovedThreshold 50% 0.2536 16.50

Ice 0.1962 35.39

ImprovedThreshold 10% 0.2783 20.63

ImprovedThreshold 20% 0.2543 27.49

ImprovedThreshold 50% 0.2716 22.57

Ice 0.2471 29.55

ImprovedThreshold 10% 0.2295 1.39

ImprovedThreshold 20% 0.2076 10.79

ImprovedThreshold 50% 0.2127 8.59

Ice 0.2010 13.62

Ocean 0.2327 -

Keterangan : IMP = Improvement Precentage

(36)

24

metode ocean retracking. Kecuali metode OCOG retracking, metode retracking

lainnya mampu memberikan perbaikan analisis dengan nilai yang beragam terhadap

waveform yang ada jika dibandingkan dengan metode oceanretracking. Nilai IMP yang dihasilkan pada jarak ini lebih kecil jika dibandingkan pada jarak pengamatan 0 – 10 km. Hal ini dikarenakan semakin kecilnya pengaruh daratan terhadap sinyal yang diterima kembali oleh satelit.

Jarak pengamatan 50 – 100 km

Nilai SSH yang dihasilkan dari analisis waveform pada berbagai metode

retracking pada jarak pengamatan ini menunjukkan noise yang semakin kecil jika dibandingkan pada dua jarak pengamatan sebelumnya. Pada lintasan 242 periode 71 dan lintasan 064 periode 162 merupakan contoh data di mana gangguan terhadap

waveform masih ada sehingga mempengaruhi analisis SSH pada jarak tersebut. Pada jarak pengamatan 50 – 100 km pengaruh pantulan sinyal dari daratan mungkin kecil, namun beberapa faktor lain yang telah disebutkan sebelumnya mampu memberikan noise pada waveform.

Kemampuan analisis SSH pada lintasan 242 periode 71 dan lintasan 064 periode 162 mampu diperbaiki dengan menggunakan metode improved threshold

10% dengan nilai IMP masing-masing sebesar 47.23% dan 71.21% (Tabel 9). Gambar 14a dan 14c memberikan ilustrasi kemampuan metode improved threshold

10% mampu memberikan pengukuran nilai SSH yang lebih akurat jika dibandingkan dengan hasil dari metode ocean retracking. Sedangkan untuk lintasan 051 periode 100, metode threshold 20% mampu memberikan analisis terbaik pada jarak pengamatan tersebut dengan nilai IMP sebesar 30.60%.

Gambar 14 SSH hasil retracking pada jarak 50 - 100 km. (a) Lintasan 242 periode 71, (b) Lintasan 051 periode 100, dan (c) Lintasan 064 periode 162.

(37)

25

Pada lintasan 051 periode 100 ini terlihat bentuk SSH hasil dari ocean retracking mampu menyerupai bentuk undulasi geoid (Gambar 14b) dan tidak

ditandai dengan kriteria edit “alt_echo_type”, yang menandakan bahwa gangguan terhadap waveform pada lintasan tersebut tidak ada. Berbeda pada dua contoh lintasan lainnya di mana pada jarak pengamatan tersebut ditandai dengan kriteria

edit “alt_echo_type” pada jarak tertentu.

Tabel 9 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 50 - 100 km. Nilai IMP tertinggi diindikasikan dengan cetak tebal

Lintasan Metode Retracking Jarak 50 - 100 km

STD (m) IMP (%) SR (%)

Keterangan : IMP = Improvement Precentage

(38)

26

Hasil statistik perhitungan nilai IMP secara keseluruhan pada jarak pengamatan 50 – 100 km pada setiap lintasan ditampilkan dalam Tabel 10. Pada lintasan 242 selama tahun 2010 – 2012 metode yang paling optimal untuk menghasilkan nilai SSH yang presisi sehingga didapatkan nilai IMP yang paling besar adalah dengan menggunakan metode ice retracking. Metode ice retracking

pada lintasan tersebut mampu memberikan peningkatan performa analisis terhadap

waveform yang ada sebesar 47.35% jika dibandingkan dengan metode ocean

Tabel 10 Hasil statistik waveform retracking pada jarak 50 - 100 km tahun 2010 - 2012. Nilai IMP tertinggi diindikasikan dengan cetak tebal

Lintasan Metode Retracking Jarak 50 - 100 km

STD (m) IMP (%)

Lintasan 242 OCOG 0.5654 -46.91

Threshold 10% 0.2260 41.27

Threshold 20% 0.2043 46.91

Threshold 50% 0.2593 32.62

ImprovedThreshold 10% 0.2249 41.56

ImprovedThreshold 20% 0.2043 46.91

ImprovedThreshold 50% 0.2565 33.36

Ice 0.2027 47.35

ImprovedThreshold 10% 0.2597 20.60

ImprovedThreshold 20% 0.2222 32.07

ImprovedThreshold 50% 0.2884 11.82

Ice 0.2177 33.44

ImprovedThreshold 10% 0.2382 16.57

ImprovedThreshold 20% 0.2074 27.34

ImprovedThreshold 50% 0.2515 11.90

Ice 0.2016 29.38

Ocean 0.2855 -

Keterangan : IMP = Improvement Precentage

(39)

27

retracking. Metode ice retracking juga memberikan hasil pengamatan yang lebih baik pada dua lintasan lainnya, yaitu lintasan 051 dan 064 pada jarak pengamatan 50 – 100 km. Nilai IMP yang didapat pada masing-masing lintasan sebesar 33.44% dan 29.38%.

Analisis Perubahan Nilai SSH Tahun 2010 - 2012

Hasil pengamatan perubahan nilai SSH pada salah satu titik pengamatan selama tahun 2010 – 2012 pada setiap lintasan ditampilkan pada Gambar 15. Pada gambar tersebut dapat terlihat pola perubahan nilai SSH yang terbentuk oleh masing-masing metode retracking. Setiap titik pengamatan di semua lintasan akan terlihat metode OCOG retracking memberikan nilai SSH yang fluktuatif jika

a

b

c

Gambar 15 Perubahan nilai SSH pada masing-masing titik pengamatan di setiap lintasan tahun 2010 – 2012. (a) Lintasan 242, (b) Lintasan 051, dan (c) Lintasan 064.

(40)

28

dibandingkan dengan metode retracking lainnya. Metode ocean retracking

menghasilkan nilai SSH pada setiap lintasan dengan pola yang sedikit berfluktuasi namun pada beberapa periode tidak tersedia informasi nilai tinggu muka laut. Tidak tersedianya informasi dikarenakan pada periode tersebut metode ocean retracking

tidak mampu menganalisis waveform yang ada.

Titik pengamatan pada lintasan 242 terletak pada jarak sekitar 16 km dari pantai. Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa selama tahun 2010 – 2012, metode ice retracking merupakan yang paling optimal. Perubahan tinggi muka laut yang terbentuk dari hasil perhitungan metode ini pada lokasi tersebut sebesar -18.17 mm/tahun (Gambar 15a). Titik pengamatan pada lintasan 051 terletak sekitar 6 km dari pantai. Berdasarkan hasil sebelumnya, metode threshold 20% merupakan yang paling optimal pada lokasi ini. Perubahan tinggi muka laut yang dihasilkan dari metode tersebut di lokasi ini sebesar -47.23 mm/tahun (Gambar 15b). Pada lintasan 064, titik pengamatan terletak pada jarak sekitar 5.5 km dari pantai. Metode ice retracking merupakan metode yang paling optimal berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya. Berdasarkan nilai SSH yang dihasilkan dari metode tersebut, maka perubahan tinggi muka laut selama tahun 2010 – 2012 di lokasi tersebut sebesar -39.97 mm/tahun (Gambar 15c).

Ketiga lokasi pengamatan menunjukkan pola penurunan tinggi muka laut selama tahun 2010 – 2012. Meskipun begitu, data yang digunakan masih terlalu sedikit untuk mengamati perubahan tinggi muka laut akibat pemanasan iklim global. Menurut AVISO (2013), perubahan tinggi muka laut rata-rata secara global yang terukur secara berkelanjutan sejak tahun 1993 menggunakan satelit menunjukkan pola kenaikan. Namun, secara spesifik terjadi perbedaan perubahan tinggi muka laut pada beberapa daerah dengan kisaran perubahan pada nilai (-10) – 10 mm/tahun.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kurangnya ketelitian dan kemampuan metode ocean retracking untuk menganalisis waveform dengan bentuk yang kompleks sudah dibuktikan dalam hasil penelitian ini. Pada jarak pengamatan 0 – 10 km dari pantai selama tahun 2010 - 2012 pada lintasan 242 dan 064 metode ice retracking bekerja paling optimal untuk menghasilkan nilai SSH dengan nilai IMP masing-masing sebesar 90.16% dan 32.65% jika dibandingkan hasil analisis metode ocean retracking. Sedangkan, pada lintasan 051, metode yang paling optimal selama rentang waktu tersebut adalah metode threshold 20% dengan nilai IMP sebesar 64.99%. Pada jarak 10 – 50 km di lintasan 242, 051, dan 064 selama 2010 – 2012 didapatkan hasil bahwa metode iceretracking mampu memberikan nilai IMP yang terbaik, secara berurutan yaitu 35.39%, 29.55% dan 13.62%. Metode ice retracking juga merupakan metode yang terbaik pada jarak pengamatan 50 – 100 km di setiap lintasan. Pada lintasan 242, 051, dan 064 nilai IMP yang dihasilkan oleh metode tersebut secara berurutan adalah sebesar 47.35%, 33.44% dan 29.38%. Secara umum, metode ice retracking

(41)

29 wilayah tersebut pada tahun 2010-2012. Meskipun begitu, penelitian terhadap metode waveform retracking yang terbaik di daerah ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kecenderungan perubahan tinggi muka laut yang terjadi selama tahun 2010 - 2012 pada titik pengamatan di setiap lintasan menggunakan metode retracking

yang paling baik menunjukkan pola penurunan tinggi muka laut. Pada titik pengamatan di lintasan 242 terjadi penurunan tinggi muka laut sebesar -18.17 mm/tahun. Sedangkan untuk titik pengamatan di lintasan 051 dan 064 sebesar -47.23 mm/tahun dan -39.97 mm/tahun.

Saran

Mengingat akan pentingnya tingkat ketelitian dalam pengukuran tinggi muka laut, maka saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah dilakukannya pengujian menggunakan algoritma lain, pengembangan algoritma lokal dan perbaikan pengamatan terhadap parameter geofisik dan atmosferik dengan tujuan meningkatkan ketelitian hasil perhitungan.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen OB dan Scharroo R. 2011. Range and Geophysical Corrections in Coastal Regions: And Implications for Mean Sea Surface Determination. Coastal Altimetry. Vignudelli S et al., editor. Springer. Berlin. DOI: 10.1007/978-3-642-12796-0_5.

AVISO. 2013. Mean Sea Level rise. [internet]. http://www.aviso.oceanobs.com /en/news/ocean-indicators/mean-sea-level/. [Maret 2013].

Bao L, Lu Y, dan Wang Y. 2008. Improved Retracking Algorithm for Oceanic Altimeter Waveforms. Prog Nat Sci. DOI: 10.1016/j.pnsc.2008.06.017.

Barrick, DE. dan B. J. Lipa. 1985. Analysis and Interpretation of Altimeter Sea Echo. Advances in Geophysics. Academic Press.Vol. 27: 61–100.

Birol F, Delebecque C, Morrow R, dan Roblou L. 2012. Using high rate altimeter measurement for coastal studies: example in the Nortwestern Mediterranean Sea. LEGOS/CTOH. Toulese, France.

Chambers DP. 2007. Gravimetric Methods – Spacecraft Altimeter Measurements.

Geodesy – Treatise on Geophysics. Schubert G dan Herring T, editor. Elsevier. Vol 3: 123 – 161.

Chang XT, Li JC, Guo JY, dan Hwang C. 2006. A Leading Edge and Multi-Threshold Waveform Retracker. Chinese Journal of Geophysics 49: 1483-1489. Chelton DB, Walsh EJ, dan MacArthur JL. 1989. Pulse compression and Sea Level Tracking in Satellite Altimetry. Journal of Atmospheric and Ocean Technology. Vol 6: 407-438.

(42)

30

Davis CH. 1997. A Robust Threshold Retracking Algorithm for Measuring Ice-Sheet Surface Elevation Change from Satellite Radar Altimeter. IEEE Trans Geosci Remote Sensing [internet]. [Februari 2013]. 35(4): 974-979.

Deng X. 2004. Improvement of Geodetic Parameter Estimation in Coastal Regions from Satellite Radar Altimetry. [thesis]. Perth (AU): Curtin Univesity of Technology.

Deng X dan Featherstone WE, 2006. A Coastal Retracking System for Satellite Radar Altimeter Waveforms: Application to ERS-2 around Australia. Journal of Geophysical Research. Vol 111. DOI: 10.1029/2005JC003039.

Fenoglio-Marc L, Fehlau M, Ferri L, Becker M, Gao Y, dan Vignudelli S. 2010. Coastal Sea Surface Heights from Improved Altimeter Data in the Mediterranean Sea. Gravity, Geoid and Earth Observation, International Association of Geodesy Symposia 135. Mertikas SP, editor. DOI: 10.1007/978-3-642-10634-7_33.

Gomez-Enri J, Benveniste J, Challenor PG, Gommenginger CP, dan Srokosz MA. 2006. Measuring Global Ocean Wave Skewness by Retracking RA-2 Envisat Waveforms. Journal of Atmospheric and Ocean Technology. Vol 24: 1102-1116. Gommenginger C, Thibaut P, Fenoglio-Marc L, Quartly G, Deng X, Gomez-Enri,

Challenor P, dan Gao YG. 2011. Retracking Altimeter Waveforms near the Coasts. Coastal Altimetry. Vignudelli S et al., editor. Springer. Berlin. DOI: 10.1007/978-3-642-12796-0_4.

Guo JY, Hwang C, Chang XT, dan Liu YT. 2006. Improved Threshold Retracker for Satellite Altimeter Waveform Retracking Over Coastal Sea. Progress in Natural Science 16.

Guo JY, Gao YG, Chang XT, dan Hwang C. 2010. Optimized Threshold Algorithm of Envisat Waveform Retracking Over Coastal Sea. Chinese Journal of Geophysics 53: 231-239.

Guo JY, Gao YG, Hwang C, dan Sun JL. 2010. A Multi-Subwaveform Parametric Retracker of the Radar Satellite Altimetric Waveform and Recovery of Gravity Anomalies over Coastal Oceans. Science China – Earth Sciences 53:610-616 DOI: 10.1007/s11430-009-0171-3.

Hwang C, Guo JY, Deng X, Hsu HY, dan Liu YT. 2006. Coastal Gravity Anomalies from Retracked Geosat/GM Altimetry: Improvement, Limitation and the Role of Airbone Gravity Data. J Geod 80:204-216 DOI: 10.1007/s00190-006-0052-x.

Lee H, Shum CK, Yi Y, Braun A, dan Kuo CY. 2008. Laurentia Crustal Motion Obeserved Using TOPEX/POSEIDON Radar Altimetry over Land. J Geodyn

46: 182-193.

Lee H, Shum CK, Emery W, Calmant S, Deng X, Kuo CY, Roesler C, dan Yi Y. 2010. Validation of Jason-2 Altimeter Data by Waveform Retracking over California Coastal Ocean. Marine Geodesy. 33(S1):304-316 DOI: 10.1080/01490419.2010.488982.

OSTM/Jason-2 Products Handbook. 2011. JPL, OSTM-29-1237.

Gambar

Gambar 1 Skema waveform pada berbagai jenis permukaan. (a) Ocean-
Tabel 2 Koordinat pengamatan perubahan nilai SSH
Gambar 3  Diagram alir proses pengolahan data
Gambar 4  Skema dari waveform retracking dengan metode OCOG
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika peserta didik. Tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut

Memenuhi Tersedia Tanda Daftar Perusahaan (TDP) PT Linggarjati Mahardika Mulia yang diterbitkan oleh instansi berwenang dan masih berlaku sesuai dengan kegiatan usahanya..

Surat kabar Republika diterbitkan atas adanya keinginan untuk mewujudkan media massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkuaitas, yakni bangsa yang mampu duduk

pengetahuan yang telah dimilikinya kepada peserta didik yang diajarnya, maka penelitian ini menganalisis bagaimana kemampuan pedagogik dan self confidence mahasiswa

Persentase butir patah (pecah) dihitung berdasarkan perbandingan berat butir atau biji beras pecah dengan total berat beras dan dinyatakan dalam persentase. Butir patah menjadi

Atmosfer dari planet merkurius terdiri dari gas natrium dan kalium yang sangat tipis sehingga kadang-kadang dikatakan bahwa planet ini tidak memiliki atmosfer.. Jarak

Izin Mendirikan Bangunan, yang selanjutnya disingkat IMB adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Orang pribadi atau badan untuk mendirikan suatu

Teknik pembuatan yang dapat menghasilkan produk mi dengan mutu yang baik (elongasi tinggi dan cooking loss rendah) telah dilaporkan yaitu mi jagung dengan ekstruder pencetak