FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI
PRODUK DAN
MARKETED SURPLUS PADI
DI KABUPATEN KARAWANG
SKRIPSI
YAHYA HENDRIYANA H34070138
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
RINGKASAN
YAHYA HENDRIYANA. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).
Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini masih bergantung pada produksi padi petani lokal. Namun, produksi padi masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan untuk meningkatkan produksi padi petani. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi kebijakan harga, fasilitas, dan perbaikan sarana penunjang, seperti irigasi.
Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten. Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, baru mereka memasarkannya (marketed surplus). Adanya kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan produksi padi seperti kebijakan pupuk bersubsidi dan harga pembelian pemerintah (harga dasar), serta kemudahan akses pasca panen yang semakin mudah diduga dapat mengubah padi dari komoditi subsisten menjadi komoditi komersial.
Kabupaten Karawang sebagai daerah surplus beras yang diduga tejadi pergesaran sifat komoditas padi itu sendiri yang tadinya merupakan komoditi subsisten menjadi komoditi yang bersifat komersial. Produksi padi di Kabupaten Karawang tidak hanya dihasilkan oleh daerah persawahan yang telah dilengkapi oleh sistem irigasi, baik itu teknis maupun alami, tetapi juga daerah lahan kering yang berbasisikan padi ladang. Perbedaan jenis lahan berdampak pada pola tanam dan teknologi budidaya padi. Itu berimplikasi pada perbedan hasil produksi dan produktivitas padi yang dihasilkan. Perbedaan ini bisa mengakibatkan perbedaan karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari para petani terhadap produk padinya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap marketed surplus.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) menganalisis perilaku petani padi di Kabupaten Karawang dalam mengalokasikan produknya dan, 2) menganalisis dan membandingkan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surpluspadi pola uahatani sawah dan ladang di Kabupaten Karawang.
Hasil dari pegamatan di lapangan menunjukkan bahwa akibat mudahnya akses pasar dan kebijakan, serta bekembangnya infrastruktur telah menyebabkan pergeseran corak usahatani dari subsisten ke komersial terutama pada pola usahatani padi sawah di Kabupaten Karawang, sedangkan pada pola usahatani padi sawah corak usahatani masih relatif subsisten. Hal itu disebabkan padi pada pola usahatani padi ladang masih tujuan usahatani masih berfokus pada pemenuhan konsumsi rumah tangga. Produktivitas padi ladang juga masih rendah yang mencerminkan bahwa padi ladang masih belum menjadi sasaran kebijakan pemerintah untuk pemenuhan konsumsi beras masyarakat.
usahatani padi sawah, proporsi terbesar produk ditujukan untuk penjualan, sedangkan pada pola usahatani padi ladang proporsi terbesar dari produk digunakan untuk konsumsi rumah tangga.
Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI
PRODUK DAN
MARKETED SURPLUS PADI
DI KABUPATEN KARAWANG
YAHYA HENDRIYANA H34070138
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan
Marketed SurplusPadi di Kabupaten Karawang
Nama : Yahya Hendriyana
NIM : H34070138
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 30 September 1989. Penulis
adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Walim
Anggasamita dan Ibunda Nasem. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Negeri Nagasari 1 pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1 Karawang. Pendidikan lanjutan
menengah atas di SMA Negeri 1 Karawang diselesaikan pada tahun 2007. Semua
lembaga pendidikan tersebut berada di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat.
Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB) pada tahun 2007.
Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus
Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (Hipma) pada Career and Creativity
Development Department periode 2009-2010 dan Organisasi Mahasiswa Daerah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang”.
Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku petani dalam alokasi
produknya dan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus pada pola usahatani padi sawah dan ladang .
Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena
keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan,
arahan, dukungan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini.
2. Ir. Dwi Rachmina, MSi selaku dosen penguji utama pada sidang penulis yang
telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan skripsi ini.
3. Yanti Nuraeni Muflikh, SP, MABuss selaku dosen penguji departemen pada
sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.
4. Yeka Hendra Fatika, SP dan Arif Karyandi Uswandi, SP yang telah
membantu berdiskusi, memberikan banyak ilmu bagi penulis dalam
penyusunan skripsi.
5. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis yang telah menjadi keluarga
bagi penulis di Bogor. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.
6. Ibunda Hj. Nasem, SPd dan Ayahanda tercinta Drs. H. Walim
Anggasasmita, MPd, serta keluarga semoga ini dapat menjadi persembahan
yang terbaik.
7. Pihak Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, Balai Penyuluh Pertanian
Kecamatan Cilamaya Wetan, Tempuran, Ciampel, dan Pangkalan atas
bantuan dan pengarahannya kepada penulis selama penelitian.
8. Petani dan tokoh-tokoh petani di Kecamatan Cilamaya Wetan, Tempuran,
Ciampel, dan Pangkalan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang telah
bersedia menjadi responden penelitian ini.
9. Sahabat-sahabat (Hata Madia Kusumah, Sigit Sutrisno, Pandu Aditama, dan
Riska Pujiati, SE, Arini Ungki A, SE, Sella Kristy, Okky P), yang telah
membuat perjalanan ini semakin berwarna dan selalu membantu penulis. Juga
yang tidak bisa penulis tulis semua) yang selalu membantu, dan
menyemangati penulis selama penyusunan skripsi ini.
10. Teman-teman Agribisnis angkatan 44 atas semangat kekeluargaan selama
kuliah di Agribisnis IPB. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu
per satu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Agustus 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 10
II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Alokasi Produk ... 11
2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketable dan Marketed surplus ... 14
III KERANGKA PEMIKIRAN ... 18
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 18
3.1.1. Marketabledan Marketed Surplus ... 18
3.1.2. Hubungan Corak Usahatani dan Marketed Surplus... 20
3.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus ... 22
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 24
IV METODOLOGI PENELITIAN ... 27
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 27
4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 28
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 30
V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PETANI ... 35
5.1. Kondisi Pertanian di Kabupaten Karawang ... 36
5.2. Karakteristik Petani... 37
5.3. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah dan Ladang Di Kabupaten Karawang ... 44
VI ANALISIS PERILAKU ALOKASI PRODUK ... 51
6.1. Alokasi Hasil Panen ... 51
VII ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUSPADI ... 74
7.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed SurplusPadi 74 V11I KESIMPULAN DAN SARAN ... 87
8.1. Kesimpulan ... 87
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram ... 1
2. Data Konsumsi Pangan Per Kapita Indonesia ... 2
3. Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Nasional Tahun
1961-2010 ... 2
4. Data Produksi 5 Sentra Padi Indonesia Tahun 2009 ... 5
5. Surplus Padi Kabupaten Karawang Tahun 2005-2009 ... 6
6. Data Produksi 3 Sentra Padi Berdasarkan Kabupaten di Jawa BaratTahun 2009 ... 6
7. Data Lahan Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2008-2009 .... 9
8. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 28
9. Data Luas Lahan Sawah dan Ladang Hasil Metode Judgment.. 29 10. Luas Penggunaa Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2009 ... 36
11. Sebaran Petani Responden Menurut Usia Tahun 2011 ... 37
12. Sebaran Petani Responden Menurut Pengalaman Usahatani
Tahun 2011 ... 38
13. Sebaran Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011... 38
14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani
Tahun 2011 ... 39
15. Sebaran Petani Responden Menurut Status Penguasaan Lahan Tahun 2011 ... 39
16. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan yang
Diusahakan Tahun 2011 ... 40
17. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pendapatan Luar
Usahatani per Bulan Tahun 2011 ... 41
18. Sebaran Penghasilan Luar Usahatani Petani Responden
Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Tahun2011 ... 41
19. Rata-rata Jumlah Tanggungan Petani Responden Berdasarkan
Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 ... 42
20. Rata-rata Rasio Tenaga Kerja Dalam Keluarga Berdasarkan
Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 ... 42
21. Rata-rata Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani Tahun 2011 .. 43
22. Rata-rata Biaya Tunai Usahatani Petani dan Penggunaannya
23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten
Karawang Tahun 2010 ... 51
24. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penggunaan Sistem Panen Natura (bawon) Tahun 2010 ... 52 25. Hubungan Luas Lahan Padi Petani dengan Proporsi Marketed
surplusTahun 2010 ... 59 26. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Melakukan Stok
Benih Tahun 2010... 60
27. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Tidak Melakukan Stok Benih Tahun 2010 ... 61
28. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Stok Konsumsi Tahun 2010 ... 62
29. Sebaran Petani Berdasarkan Akses Penjemuran Gabah Tahun
2010 ... 65
30. Sebaran Petani Berdasarkan Lokasi Stok Gabah Tahun 2010 ... 66
31. Rata-rata Luas Tempan Simpan Gabah Berdasarkan Luas
Lahan yang Diusahakan Petani Tahun 2010 ... 66
32. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Penjualan Hasil Panen Tahun
2010 ... 68
33. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Mengunakan Cara Penjualan Tebas Tahun 2010 ... 69
34. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Penjualan Bertahap Tahun 2010... 69
35. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penjualan Cara Sekaligus Tahun 2010 ... 70
36. Distribusi Jumlah Petani Berdasarkan Proporsi Modal Sendiri
Petani Terhadap Modal Total Tahun 2010 ... 71
37. Sebaran Petani Berdasarkan Saluran Pemasaran Gabah Tahun 2010 ... 72
38. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Pemilihan Tengkulak Sebagai Saluran Pemasaran Gabah Petani Tahun 2010... 73
39. Hasil Pendugaan Variabel Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Marketed SurplusPadi ... 75 40. Pola Marketed Surplus Petani Padi Sawah Musim Tanam
Tahun 2010 ... 77
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2010 ... 3
2. Pola Musim Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2010-2011) 7
3. Perbandingan Harga Gabah Kering Panen Petani di
Kab. Karawang dan HPP Bulog Tahun 2009-2011 ... 8
4. Skema Alokasi Produksi Padi Petani ... 20
5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 26
6. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ... 56
7. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 ... 56
8. Alokasi Marketable SurplusPetani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ... 58
9. Alokasi Marketable SurplusPetani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 ... 58
10. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ... 63
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Output Minitab Model Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Marketed SurplusPadi Sawah... 93 2. Output Minitab Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Marketed SurplusPadi Ladang ... 95 3. Rincian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus
Padi Sawah di Kabupaten Karawang... 96
4. Rincian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus
Padi Ladang di Kabupaten Karawang ... 101
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia.
Tanpa pangan, manusia sulit untuk bertahan hidup. Tanpa pangan tidak akan ada
kehidupan. Karena pentingnya peran pangan dalam kehidupan, maka pangan juga
memerankan peranan penting dalam perekonomian. Hal itu terlihat dari kontribusi
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di mana tanaman pangan memberikan
kontribusi terbesar, khususnya di Indonesia, yakni sebesar 6,8 persen dari
keseluruhan PDB sektor pertanian (BPS 2009).
Komoditas tanaman pangan tediri dari dua bagian besar, yaitu: padi-padian
(cereals) dan umbi-umbian (tubers) padi, jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, dan gandum termasuk ke dalam cereals sedangkan ubi kayu dan ubi jalar termasuk ke dalam tubers. Ada beberapa sumber pangan penting di dunia, antara lain : beras atau padi, gandum, jagung, dan kentang. Padi, gandum, dan jagung
merupakan komoditas pangan yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi
dibandingkan tanaman pangan lain.
Beras atau padi adalah salah satu sumber bahan pangan terpenting. Kandungan karbohidrat beras adalah yang tertinggi di atas kandungan
karbohidrat tanaman pangan lain.
Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 gram
Nutrisi Satuan Beras Gandum Sorgum Jagung
Karbohidrat Gram 78,9 74,1 73,0 72,4
Protein Gram 6,8 11,8 11,0 10,0
Lemak Gram 6,8 1,2 73,0 10,0
Kalori Gram 360,0 - 332,0 361,0
Vitamin B1 Mg - - 0,4 2,3
Serat - - 0,4 - 2,3
Air - - 12 - 13,5
Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, Direktorat Budidaya Serealia (2009)
Di Indonesia, beras adalah bahan pangan utama. Sebagian besar
masyarakat Indonesia mengonsumsi padi-padian untuk memenuhi kebutuhan
karbohidrat. Dapat dilihat dari Tabel 2 bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi
Tabel 2.Data Konsumsi Pangan Per Kapita Indonesia
Komoditas pangan Konsumsi per kapita (kg/orang/tahun)
Padi 139
Gandum 17,1
Jagung 70
Kedelai 40
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010 (diolah)
Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini
mayoritas masih dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun, produksi padi
masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Perbandingan produksi dan
konsumsi beras nasional Indonesia ditunjukkan pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Nasional Tahun 1961-2010 Tahun Jumlah
Penduduk (jiwa)
Produksi (juta ton)
Konsumsi (juta ton)
Impor (juta ton)
1971 119.208.229 13,72 14,21 0,52
1980 147.490.298 22,29 21,50 0,54
1990 179.378.946 29,04 30,12 0,19
2000 206.264.595 32,96 35,88 1,50
2001 - 32,96 36,38 3,50
2002 - 33,41 36,50 2,75
2003 - 35,02 36,00 0,65
2004 - 34,83 35,85 0,50
2005 - 34,96 35,74 0,54
2006 - 35,30 35,90 2,00
2007 - 37,00 36,35 0,35
2008 - 38,31 37,10 0,25
2009 - 36,37 38,00 1,15
2010 237.556.363 38,00 38,55 0,95
Sumber : USDA (2011)1dan BPS 2011
Tabel 3 menunjukkan produksi beras dari tahun 1961 sampai tahun 2010.
Selama kurun waktu 39 tahun tersebut, terjadi peningkatan produksi beras sebesar
292,45 persen, atau sekitar 7,01 persen per tahunnya. Walaupun laju produksi
beras lebih besar dari laju konsumsi, meningkatnya laju produksi beras belum
mampu menutup konsumsi yang tumbuh sebesar 262,58 persen. Masih rendahnya
produksi beras disebabkan oleh berbagai macam hal antara lain rendahnya
produktivitas, dan konversi lahan sawah yang semakin tinggi. Untuk mencukupi
konsumsi domestik ini pemerintah melakukan impor beras. Impor beras yang
1
dilakukan untuk menutupi selisih produksi dan konsumsi berdampak kepada
meningkatnya stok dan penurunan harga beras.
Penyediaan beras menjadi hal penting yang harus diperhatikan, hal ini
disebabkan produksi bersifat musiman sedangkan konsumsi bersifat kontinyu.
Meskipun sebagian dari produksi beras di Indonesia berlangsung sepanjang tahun,
produksi bulanan yang berbeda beda dan penyimpanan diperlukan untuk
menjamin suplai untuk konsumsi sehari-hari.
Di Indonesia saat ini, masih terjadi lag penyediaan beras. Hal itu disebabkan produksi padi masih bergantung pada musim sedangkan konsumsi
beras berlangsung secara kontinyu.
Gambar 1.Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010 Sumber: Data Startegis BPS, 2010 [diolah]
Seperti yang terlihat pada Gambar 1, bahwa produksi beras di Indonesia
masih fluktuatif bergantung pada musim. Beras tersedia melimpah pada Bulan
Februari-Maret sedangkan beras pada Bulan Nopember-Desember jauh menurun.
Pada bulan Maret supply beras lebih tinggi dibandingkan musim panen lainnya, yakni pada bulan Agustus. Hal itu disebabkan ada beberapa lokasi di Indonesia
yang hanya bisa melakukan panen sebanyak satu kali.
Dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, hal yang perlu
dipertimbangkan adalah bahwa jumlah produksi dari petani tidak semuanya dijual
yang beredar di masyarakat bergantung pada besarnya marketed surplus petani atau jumlah kelebihan hasil panen yang dijual petani. Petani masih mengeluarkan
hasil produksinya untuk kebutuhan pangan keluarga, upah-upah tenaga kerja yang
berbentuk natura (padi/beras) atau dikeluarkan untuk sewa lahan. Makin besar
marketed surplus, makin besar pula beras atau padi yang beredar di pasar.
Dikarenakan adanya gap produksi dan konsumsi, maka pemerintah sejak tahun 1969 menerapkan kebijakan jangka pendek maupun jangka panjang yang
dimulai pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita 1) hingga Pelita 5. Program yang
diterapkan yaitu Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas)
yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian terutama padi dan perbaikan
sarana penunjangnya, yaitu sarana irigasi dan transportasi. Selain itu juga
diterapkan program untuk menaikkan posisi tawar petani dengan kebijakan harga
dasar pembelian gabah petani (HPP), agar saat panen harga padi petani tidak jatuh
dan juga subsidi pupuk agar usahatani padi petani semakin efisien. Kemudian
dilanjutkan dengan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pada
tahun 2007 yang masih berlangsung sampai sekarang yang berbasis penggunaan
padi hibrida untuk meningkatkan produksi.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, dengan luas lahan yang
semakin berkurang produksi padi nasional tetap relatif meningkat. Dengan
naiknya paroduksi, maka secara teoritis pendapatan petani juga akan naik seperti
yang tersaji pada Tabel 3.
Padi di Indonesia tidak hanya dihasilkan oleh padi sawah saja. Secara
umum, jenis lahan sawah di Indonesia terbagi dua, yaitu lahan basah dan kering.
Sampai tahun 2009, luas lahan kering atau padi ladang di Indonesia mencapai 1
juta hektar, sedangkan luas panen sawah mencapai 12 juta hektar ( BPS 2010).
Untuk produksi, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah dua propinsi terbesar
penghasil padi ladang. Jawa Barat memiliki lahan padi ladang seluas 121.000
hektar, sedangkan Jawa Timur mempunyai daerah pengembangan padi ladang
seluas 500.000 hektar. Namun, saat ini produktivitas rata-rata padi ladang masih
lebih rendah daripada padi sawah, yaitu 2,9 ton per hektar, sedangkan padi
Petani tanaman pangan (padi) di Indonesia adalah petani kecil dengan
kepemilikan lahan sangat sempit yaitu rata-rata 0,6 ha (Firmansyah,1999 dalam
Nusril dan Sukiyono, 2007). Perbedaan jenis lahan bisa berdampak pada pola
tanam dan teknologi budidaya padi. Hal itu berimplikasi pada perbedan hasil
produksi padi yang dihasilkan. Perbedaan jenis lahan bisa mengakibatkan
perbedaan karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya
perbedaan-perbedaan tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari para petani
terhadap produksi padinya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap supply
beras ke masyarakat.
Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten.
Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Dengan rata-rata
kepemilikan 0,6 ha maka sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi
untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, jumlah itu lah yang
dipasarkan oleh petani sebagai supply beras ke masyarakat (marketed surplus). Wilayah-wilayah Indonesia yang menghasilkan beras tinggi yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Kalimantan Selatan dan Nusa
Tenggara Barat. Pulau Jawa merupakan daerah yang berasnya sebagian besar
untuk wilayah Barat Indonesia yang mencakup Pulau Sumatra, Kalimantan, Bali,
dan Pulau Jawa itu sendiri. Nusa Tenggara dan Sulawesi merupakan daerah
pemasok Indonesia bagian tengah dan timur yang mencakup Pulau Sulawesi,
Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.
Jawa Barat merupakan sentra padi di Indonesia. Produksi padi Jawa Barat
adalah yang tertinggi dibandingkan dengan propinsi lainnya. Sehingga, Jawa
Barat adalah pemasok utama untuk wilayah barat Indonesia (Sumatera, Jawa,
Kalimantan).
Tabel 4.Data Produksi 5 Sentra Padi Indonesia Tahun 2009
Propinsi Produksi (ton)
Jawa Barat 11.322.681
Jawa Tengah 9.600.415
Jawa Timur 11.259.085
Sulawesi Selatan 4.324.178
Nusa Tenggara Barat 1.870.775
Kabupaten Karawang merupakan salah satu sentra penting padi di Propinsi
Jawa Barat. Karawang berperan sebagai daerah surplus padi bagi daerah perkotaan yang mengalami defisit pangan di Jawa bagian barat.
Tabel. 5 Surplus Padi Kabupaten Karawang Tahun 2005-2009
Tahun
Jumlah Penduduk
Kebutuhan Beras (Ton)
Produksi (ton)
Surplus Beras (ton)
2005 1.971.463 266.147 689.693 423.546
2006 2.009.647 271.302 699.510 428.208
2007 2.055.469 277.488 714.195 436.707
2008 2.094.408 282.745 727.968 445.223
2009 2.133.992 288.089 790.166 502.077
Sumber : Dishutbun Kabupaten Karawang 2010 [diolah]
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama lima tahun terakhir Kabupaten
Karawang mengalami surplus beras. Meskipun jumlah penduduk terus meningkat
sebesar sepuluh persen, surplus beras Kabupaten Karawang mengalami
peningkatan sebesar 18 persen.
Tabel 6. Data Produksi 3 Sentra Padi Berdasarkan Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2009
Sumber: Badan Pusat Statistik,2010 [diolah]
Produksi padi Kabupaten Karawang pada tahun 2009 adalah sebesar
1.067.691, atau 10 persen dari total produksi padi Jawa Barat yang mencapai
sebelas juta ton. Seperti yang terlihat di Tabel 6, meskipun masih lebih sedikit
dari Kabupaten Indramayu dan Subang, namun letak geografisnya yang lebih
dekat ke perkotaan seperti Jakarta, maka Karawang adalah sentra padi terpenting
dilihat dari posisi perdagangan. Selain itu, posisi geografis Kabupaten Karawang
yang paling dekat ke pusat pemerintahan, membuat akses terhadap kebijakan
begitu dekat.
Tahun Kota/kabupaten Produksi
2009 Kab Indramayu 1.321.016
2009 Kab Subang 1.105.550
1.2 Perumusan Masalah
Sebagai salah satu sentra padi di Jawa Barat, Kabupaten Karawang adalah
sasaran kebijakan pemerintah untuk menaikkan produksi padi dan memperbaiki
posisi tawar petani. Salah satu kebijakan pemerintah adalah kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP).
Gambar 2.Pola Musim Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2010-2011 Sumber: Dishutbun Kabupaten Karawang, 2011 [diolah]
Musim tanam padi di Kabupaten Karawang umumnya terdiri dari dua
musim tanam setiap tahunnya. Musim tanam pertama (rendeng) terjadi pada Bulan Februari hingga Mei sedangkan musim tanam ke dua (gadu) terjadi dari Bulan Juni hingga September. Dari data di atas dapat dilihat bahwa supply padi
di Kabupaten Karawang melimpaih pada bulan April hingga Mei dan bulan
September sampai dengan Oktober. Pada bulan-bulan itu lah supply beras atau
Gambar 3. Perbandingan Harga Gabah Kering Panen Petani di Kab.Karawang dan HPP Bulog Tahun 2009-2011
Sumber: Dishutbun Kabupaten Karawang , 2011 [diolah]
Jika dikaitkan dengan kebijakan harga, seperti yang terlihat pada Gambar
2 dan 3, bahwa dari tahun 2009 hingga 2011, harga gabah kering panen petani
mengalami trend naik. Bahkan pada musim ke-dua tahun 2010, harga gabah kering panen jauh melebihi harga gabah pemerintah.
Dari segi kebijakan pemerintah, akses pasca panen padi di Kabupaten
Karawang pun mudah. Kemudahan tersebut terlihat dari jumlah Rice Milling Unit
(RMU) yang jumlahnya bervariasi di setiap desa, berkisar 3-13 unit (BPS 2010).
Skala dari penggilingan padi ini juga bervariasi dari kecil hingga besar dan
mayoritas beroperasi setiap tahun.
Ketergantungan petani terhadap tengkulak saat ini masih sangat tinggi.
Petani sering kali meminjam modal kepada tengkulak sehingga petani secara tidak
langsung punya kewajiban memasarkan hasil panennya kepada tengkulak
tersebut. Atau, jika petani yang punya keterbatasan modal seringkali menjual hasil
panennya sebelum padi tersebut memasuki masa panen (ijon, tebas).
Kuat dugaan, petani dengan kondisi seperti ini, tidak lagi menyimpan
gabahnya, melainkan dijual seluruhnya, sedangkan untuk keperluan konsumsi
petani bisa membelinya dari pasar. Diduga ada pergeseran pola perilaku petani
dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh
hasil panennya yang bisa mempengaruhi supply padi ke masyarakat. Supply padi
Artinya, padi yang pada dasarnya komoditi subsisten bisa berubah menjadi
komoditi komersial.
Di sisi lain, produksi padi di Kabupaten Karawang tidak hanya dihasilkan
oleh daerah persawahan yang telah dilengkapi oleh sistem irigasi, baik itu teknis
maupun alami, tetapi juga daerah lahan kering yang berbasiskan padi ladang.
Tabel 7. Data Lahan Padi Kabupaten Karawang Tahun 2008-2009
Tahun Sawah (ha) Ladang (ha)
2008 95.360 3.168
2009 96.261 3.141
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010) [diolah]
Perbedaan pola usahatani ini bisa berdampak pada pola tanam dan
teknologi budidaya padi. Itu berimplikasi pada perbedan hasil produksi dan
produktivitas padi yang dihasilkan. Perbedaan ini bisa mengakibatkan perbedaan
karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan
tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari petani pada
masing-masing pola usahatani terhadap produk padinya sehingga akan memberikan
pengaruh terhadap marketed surplus.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan-permasalahan penelitian yang
menarik untuk dikaji, antara lain:
1. Bagaimana perilaku petani pada pola usahatani padi sawah dan ladang di
Kabupaten Karawang dalam mengalokasikan produk atau hasil panennya?
2. Faktor-faktor apa saja yang memepengaruhi besarnya marketed surpluspadi pada pola usahatani sawah dan ladang di Kabupaten Karawang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas adalah:
1. Mengidentifikasi perilaku petani pada pola usahatani padi sawah dan ladang
dalam mengalokasikan produknya di Kabupaten Karawang.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memepengaruhi jumlah
1.4 Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian mengenai marketed surpluspadi ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain:
1. Bagi peneliti, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis
serta dapat mengaplikasikan bidang keilmuan agribisnis yang telah diterima
selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, dapat
menjadi sarana melatih peneliti untuk menuliskan gagasan dan fakta yang
ditemukan di lapangan.
2. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi bahan informasi untuk
menentukan kebijakan dalam meningkatkan produksi dan mengendalikan
supplypadi atau beras di Kabupaten Karawang.
3. Bagi masyarakat, penelitan ini dapat menjadi bahan informasi dan sumber
literatur bagi siapapun yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tingkat kabupaten, sehingga memiliki batasan,
yaitu mengidentifikasi perilaku petani dalam mengalokasikan hasil panen padinya
dan menganalisis faktor-faktor yang memepengaruhi marketed surplus padi di tingkat rumah tangga petani di Kabupaten Karawang pada pola usahatani padi
sawah dan ladang.
Periode pengamatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu musim
tanam 2010 untuk kedua pola usahatani padi. Sedangkan untuk model
II TINJAUAN PUSTAKA
Studi mengenai marketed surplusataumarketable surplus telah dilakukan sejak waktu yang lama, yakni sejak tahun 1960-an. Konsep marketable dan
marketed surplus biasanya melekat pada komoditi pangan atau komodiiti yang bersifat subsisten, seperti : padi di Asia, kentang di Amerika Latin, jagung di
India, serta gandum dan pisang di Afrika. Namun ada beberapa penelitian yang
mengkaji tentang marketed dan marketable surplus komoditi non pangan yaitu sayuran. Namun, dalam penelitian tersebut tidak ditemukan penjabaran secara
mendalam mengenai marketed maupun marketable surplus sayuran karena keterbatasan akses informasi.
2.1. Alokasi Produk
Alokasi produk menunjukkan bagaimana petani menggunakan hasil panen
yang didapatnya untuk berbagai keperluan. Dengan mengetahui alokasi hasil
panen maka bisa diketahui apakah petani masih menjalankan usahataninya secara
subsisten atau telah bergerak ke arah komersil.
Metode yang digunakan pada studi atau penelitian yang ditemukan
umumnya menggunakan metode tabulasi atau crosstab dan deskriptif. Dengan demikian dapat diketahui besaran rata-rata dari setiap alokasi yang dilakukan
petani terhadap hasil panennya.
Petani masih banyak yang menggunakan sistem panen dengan natura atau
membayar tenaga kerja dengan hasil panen (Ellis et al (1992), Nusril dan Sukiyono (2007), dan Kusnadi et al (2008)). Artinya, petani membayar jasa pemanenan atau pekerjaan dengan menyisihkan atau membagi hasil panen yang
didapat dengan proporsi tertentu. Di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat dikenal
dengan dua sistem panen natura, yaitu sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka
adalah panen yang dilakukan yang hanya oleh segelintir kelompok buruh tani saja,
sedangkan sistem terbuka panen bebas dilakukan oleh siapapun. Sistem tertutup
menggunakan pembagian proporsi panen bervariasi antara 1:4 hingga 1:6,
Sedangkan untuk sistem terbuka, pembagian panen yang digunakan yaitu proporsi
(Kusnadi et al, 2008). Makin sulit tenaga kerja, maka rasio atau proporsi yang digunakan semakin kecil. Atau dengan kata lain, semakin sulit tenaga kerja, maka
bagian yang diterima atau dibayarkan petani dari hasil panennya semakin banyak.
Nusril dan Sukiyono (2007) dalam studinya hanya menyebutkan bahwa petani
harus menyisihkan hasil panenya sebanyak satu per enam bagian. Hal itu
disebabkan studi yang dilakukan hanya dalam lingkup desa, sehingga variasi
pembagian lebih bersifat homogen. Begitu juga petani kentang dan jagung di
India masih membayar tenaga kerja dengan hasil panen, namun proporsinya
terbilang kecil, yaitu kurang dari 10 persen dari total produksi (Sadhu (2011) serta
Chauchan dan Chabbra (2005)).
Selain untuk natura panen dan tenaga kerja, petani juga mengalokasikan
panennya untuk pembayaran sewa lahan. Sewa lahan di Jawa dalam Ellis et al
(1992) masih banyak yang menggunakan sistem bagi hasil panen. Pembagian
hasil panen yang digunakan umumnya 1:1 antara penggarap dan pemilik,
sedangkan pembagian lain yang ditemukan namun hanya dalam jumlah kecil yaitu
1:2. Variasi proporsi 1:2 juga ditemukan dalam Nusril dan Sukiyono (2007).
Pembagian 1:1 timbul karena biaya usahatani ditanggung bersama oleh pemilik
dan petani penggarap sedangkan pembagian 1:2 disebabkan biaya usahatani
ditangung oleh pemilik lahan.
Petani juga membayar faktor produksi dengan hasil panen (Nusril dan
Sukiyono, 2007). Dikarenakan minimnya uang tunai, petani meminjam pupuk
kemudian membayarkannya dengan hasil panen setelah panen berlangsung.
Pembayaran hasil panennya yaitu 50 kg pupuk dibayar dengan 3,5 kaleng gabah
atau 56 kg gabah atau satu kilogram gabah untuk satu kilogram pupuk. Sistem
tersebut merugikan petani, karena harga gabah relatif lebih tinggi dari harga
pupuk per kilogramnya.
Setelah mengeluarkan hasil panennya untuk berbagai kewajiban, maka
petani telah mendapatkan hak sepenuhnya dari hasil panen tersebut (marketable surplus). Sebenarnya petani bisa menjual seluruhnya dari marketable surplus
tersebut. Namun dalam kenyataannya berdasarkan studi-studi yang telah
untuk berbagai keperluan, yaitu: konsumsi keluarga, penjualan, benih, dan ongkos
giling.
Petani masih mengalokasikan sebagian produknya untuk konsumsi rumah
tangga (Nusril dan Sukiyono (2007), Kusnadi et al(2008) dan Ellis et al(1992)). Proporsi dari hasil panen menunjukkan proporsi konsumsi yang bervariasi, namun
masih berada di bawah 10 persen dari panen total. Namun proporsi yang lebih
besar ditunjukkan pada Siregar (1990). Hal itu dibabkan luasan lahan yang
diusahakan petani rata-rata di bawah satu hektar. Untuk tingkat konsumsi rumah
tangga, ada kecenderungan penurunan konsumsi rumah tangga petani di Pulau
Jawa. Pada Ellis et al(1992), menunjukkan bahwa konsumsi beras di Jawa lebih besar dibandingkan dengan luar Jawa. Kemudian pada Kusnadi et al(2008) ada perubahan bahwa konsumsi di Jawa rendah dari luar Jawa.
Selain itu, petani juga masih menyisihkan hasil panennya untuk digunakan
sebagai benih pada musim tanam yang akan datang. Sadhu (2011) serta Chaucan
dan Chabbra (2005) mengungkapkan bahwa petani masih menyisihkan hasil
panennya untuk benih. Namun benih yang disisihkan hanya sebatas untuk
keperluan benih lahan sendiri sehingga proporsinya masih relatif kecil, yaitu 2
persen dari total produksi.
Penyimpanan atau stok juga dilakukan oeh petani (Ellis et al, 1992). Ditemukan bahwa petani khususnya petani padi masih menyisihkan hasil panen
untuk disimpan. Namun dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan secara rinci
penggunaan dari penyimpanan atau stok tersebut, melainkan hanya di jelaskan
besaran penyimpanan yang dilakukan petani di setiap musim.
Kelebihan atau selisih konsumsi atau hasil panen yang disihkan dengan
produksi baru dijual oleh petani (marketed surplus). Proporsi marketed surplus
yang ditemukan berbeda di setiap penelitian. Proporsi yang tinggi ditunjukkan
oleh Kusnadi et al(2008), Ellis et al(1992) serta Dwi (2007) yang menunjukkan bahwa rata-rata petani padi menjual lebih dari setengah produksi atau panen kotor
yang dihasilkan. Sedangkan pada Siregar (1990) serta Nusril dan Sukiyono (2007)
menunjukkan bahwa proporsi penjualan petani kurang dari setengah bagian dari
produksi total. Hal ini disebabkan karena perbedaan rata-rata luasan lahan padi
juga ditemukan pada komoditi sayuran. Mehta dan Chaucan (1996) dalam Sadhu
(2011) serta Praminik dan Prakash (2010) mengungkapkan bahwa marketed surplus sayuran di India mencapai lebih dari 95 persen. Hal itu bisa dikatakan wajar, karena sayuran umumnya bukan merupakan pangan utama dan masa
penyimpanannya pun relatif singkat sehingga jumlah marketed surplus yang muncul bisa tinggi.
Marketed surplus yang dimaksud bukan hanya penjualan yang dilakukan saat panen saja atau dalam bentuk gabah kering panen, tetapi juga penjulan dalam
bentuk gabah kering simpan atau kering giling. Dalam Kusnadi et al (2008) dan Ellis et al(1992) disebutkan bahwa petani menjual gabahnya secara sekaligus dan bertahap. Penjualan sekaligus adalah penjualan yang dilakukan petani dengan
menjual seluruh hasil panen secara sekaligus atau hanya dilakukan dalam satu
waktu. Cara ini biasanya dilakukan dengan tebas. Sedangkan cara penjualan
bertahap adalah penjualan yang dilakukan petani dengan menjual secara bertahap
atau dilakukan lebih dari satu waktu. Hal ini bisa berbagai kemungkinan, yaitu:
1). Petani menjual saat panen kemudian menyimpan sebagian hasil panen dan
dijual di kemudian hari 2). Petani menyimpan seluruh hasil panen kemudian
menjualnya secara bertahap di kemudian hari.
Pengeluaran atau alokasi lain yang dikeluarkan oleh petani yaitu
pembayaran zakat dan ongkos giling gabah menjadi beras. Nusril dan Sukiyono
(2007) dalam studinya mengungkapkan bahwa petani membayar zakat panen dan
ongkos giling masih dalam bentuk natura atau hasil panen. Proporsi untuk
membayar zakat yaitu 10 persen dari total produksi sedangkan untuk ongkos
giling padi petani harus mengeluarkan seper lima belas dari gabah yang akan
digiling.
2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketeddan Marketable Surplus
Dari studi-studi empiris yang telah ditulis, marketable dan marketed surplus bisa dipegarui oleh beberapa faktor. Namun dari studi-studi tersebut menunjukkan bahwa di setiap daerah atau komoditi mempunyai faktor-faktor
yang berbeda atau mempunyai ciri khas dalam mempengaruhi marketed atau
Metode yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi marketable maupun marketed surpluspada penelitian sebelumnya umumnya menggunakan regresi linear. Karena regresi linear adalah metode yang
sederhana tetapi cukup menggambarkan pengaruh-pengaruh farktor terhadap
marketedmaupun marketable surplus.
Marketed surplusdi daerah yang terspesialisasi sistem budidayanya lebih tinggi dari pada daerah yang kurang terspesialisasi (Ellis et al (1992), Edmeades (2006), dan Kusnadi et al (2008)). Hal tersebut ditunjukkan dengan informasi bahwa marketed surplusdi Pulau Jawa lebih besar daripada di Luar Jawa. Sistem budidaya di Pulau Jawa relatif lebih bagus infrastrukturnya bisa memberikan hasil
produksi yang lebih tinggi dan pola tanam yang lebih teratur dari pada di Luar
Jawa. Dengan tingkat konsumsi yang lebih rendah, maka marketed surplus di Pulau Jawa sebagai daerah terspesialisasi menjadi lebih tinggi.
Ukuran atau jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap
besaran marketed surplus (Bhakta (1983), Nusril dan Sukiyono (2007), serta Kusnadi et al (2008)). Hal ini disebabkan semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka jumlah hasil yang disisihkan untuk memenuhi konsumsi
sehari-hari beras rumah tangga akan semakin besar. Akibatnya hal ini akan memperkecil
jumlah marketed surplus. Chaucan dan Chabra (2005) serta Edmeades (2006) juga menunjukkan hal tersebut.
Tingkat produksi berpengaruh positif dan nyata terhadap besaran marketed surplus (Bhakta (1983), Chaucan dan Chabra (2005), serta Nusril dan Sukiyono (2007)). Semakin besar jumlah produksi maka jumlah yang dijual oleh petani
akan semakin besar pula, karena konsumsi keluarga besarannya cenderung tetap.
Berbeda dengan Kusnadi et all(2008) dan Siregar (1990) serta Edmeades (2006) dan Idumathi (1984), yang dalam hasil studinya menyebutkan bahwa yang
berpengaruh nyata dan positif yaitu luasan lahan yang dikuasai. Hal itu
disebabkan karena konsumsi keluarga tidak dipengaruhi oleh besaran produksi.
Namun baik itu faktor tingkat produksi maupun luas lahan, keduanya mengacu
pada hasil produk yang dihasilkan. Semakin luas lahan yang dikuasai petani,
produksi maupun luas lahan jika meningkat akan meningkatkan marketed surplus
juga.
Pengaruh harga juga ditunjukkan Chaucan dan Chabra (2005), Nusril
(2007), Nuryanti et al(2000), dan Kusnadi et al (2008) serta Amarender (2009). Harga di pasaran akan mempengaruhi jumlah hasil panen yang dijual oleh petani.
Semakin tinggi harga hasil panen, maka jumlah hasil panen yang dijual akan
semakin tinggi pula. Hal ini disebabkan petani khusunya petani yang bersifat
komersial, akan terpacu untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan
meningkatkan marketed surplussaat ada kenaikan harga.
Pendapatan luar usahatani juga berpengaruh positif dan nyata terhadap
besaran marketed surplus (Nusril dan Sukiyono (2007), Mubyarto (1970), dan Edmeades (2006)). Semakin besar pendapatan luar usahatani, maka bisa dikatakan
tingkat kesejahteraan petani semakin tinggi sehingga kebutuhan konsumsi beras
rumah tangga bisa dipenuhi dengan membelinya di pasar. Namun kesejahteraan
petani juga bisa diukur dari pendapan total rumah tangga. Pendapatan rumah
tangga yang tinggi, dalam hal ini penjumlahan pendapatan usahatani dan luar
usahatani, akan mendorong marketed surplus yang tinggi pula (Kusnadi et al, 2008). Hal itu dikarenakan petani yang penghasilan rumah tangganya tinggi, akan
merasa mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, dalam hal ini konsumsi beras
dengan membelinya dari pasar, sehingga tidak perlu menyisishkan dari produknya
yang berdampak meningkatnya maketed surplus.
Status kepemilikan lahan berpengaruh terhadap besaran marketed surplus
(Nusril dan Sukiyono (2007) dan Edmeades (2006)). Petani yang status lahannya
hak milik, besaran marketed surplusnya akan lebih tinggi. Hal itu disebabkan patani dengan lahan milik sendiri tidak harus membayar sewa lahan sebagai
timbal balik penggunaan lahan. Sewa lahan yang digunakan petani yaitu tidak
dengan sistem tunai, tetapi dengan natura atau pembayaran dengan proporsi hasil
panen tertentu, sehingga petani dengan status lahan hak milik marketed surplusnya akan lebih tinggi.
tiap daerah berbeda-beda dalam menyikapi musim tanam ini. Hal ini juga sesuai
dengan Shah (2007). Namun, dalam studi-studi yang ditemukan, tidak dijelaskan
mengapa petani menambah stoknya di waktu-waktu tersebut, tetapi hanya lebih
dijabarkan mengenai peningkatan besaran dari simpanan atau stok yang dilakukan
petani tersebut
Usia dan pendidikan petani berpengaruh positif terhadap marketed surplus
(McDowell (1997) dalam Nuryanti et al (2000)). Umur yang terlalu lanjut atau terlalu muda menyebabkan keluarga tidak mampu atau enggan melakukan
kegiatan pasca panen. Hal ini berdampak pada pilihan menjual lebih banyak
produk yang dihasilkan sehingga besaran marketed surplussemakin besar.
Selain itu, Kumar dan Mruthyunjaya (1989) dalam Nuryanti et al (2000) mengemukakan bahwa petani akan menjual lebih banyak agar keuntungan yang
diperoleh bisa mengkompensasi kesulitan yang telah dialami. Bagi petani, sarana
untuk menyimpan dan menjemur gabah adalah sebuah kesulitan karena
panyimpanan dan penjemuran gabah membutuhkan ruang yang luas dan biaya
jika stok tersebut menggunkan fasilitas pihak lain. Sehingga, fasilitas pasca panen
seperti luas atau kapasitas penjemuran dan penyimpanan hasil panen petani
berpengaruh positif terhadap marketed surplus.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari temuan studi-studi yang
telah dilakukan, petani saat ini masih bersifat subsisten atau semi subsisten. Hal
tersebut disebabkan petani masih mengalokasikan sebagian produk atau hasil
panennya untuk berbagai keperluan selain penjualan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi besaran penjualan atau marketed surplus pun ditemukan berbeda baik itu di setiap komoditi maupun di setiap daerah.
Dalam penelitian ini akan diidentifikasi dan dianalisis pola alokasi produk
atau hasil panen petani dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus. Hanya saja, lingkup penelitian ini difokuskan pada komoditi padi di satu daerah, yaitu di Kabupaten Karawang. Selain itu, penelitian ini akan mencoba
menemukan perbedaan pola alokasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pola usahatani padi sawah, tetapi juga pola usahatani padi ladang, seperti yang
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep
marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya. Adapun uraian secara lengkap dapat dijelaskan dalam sub-bab berikut :
3.1.1 Marketabledan Marketed Surplus
Ada banyak pengertian mengenai marketed dan marketable surplus yang telah berkembang sampai saat ini. Krishna dalam Newman (1977) mendefinisikan
marketable surplus sebagai hasil panen setelah dikurangi konsumsi. Barter, transfer, dan pemberian termasuk dalam konsumsi tersebut. Dalam penelitiannya,
Nusril dan Sukiyono (2007) mendefinisikan marketable surplus sebagai jumlah produksi yang dapat dipasarkan setelah dikeluarkan alokasi produksi yang
benar-benar dikeluarkan petani dalam bentuk natura atau bagian dari hasil panen.
Dari definisi-definisi yang didapat, ada yang menyamakan dan
membedakan antara marketable dan marketed surplus itu sendiri. Namun sebenarnya, konsep marketable dan marketed surplus berbeda. menurut Kusnadi
et al(2008), marketable surplusadalah jumlah potensial yang dapat dijual petani. Pengertian tersebut paling sesuai dengan keadaan petani saat ini. Hal itu
disebabkan meskipun marketable surplus tersebut dapat dijual, tetapi dalam kenyataannya belum tentu semua produk tersebut dijual oleh petani, tetapi
dialokasikan untuk kepentingan lain.
Jika dikaitkan dengan kondisi petani padi di Indonesia saat ini dan
studi-studi yang telah dilakukan, maka marketable surplus adalah jumlah hasil panen dikurangi oleh pembayaran natura.
Marketable surplus = hasil panen – pembayaran natura ...(1)
Marketable surplus pada persamaan (1) terdiri dari hasil panen lahan yang diusahakan sendiri oleh petani ditambah dengan hasil panen lahan yang
disakapkan atau digarap oleh petani lain, tetapi pembayaran sewanya
dari simpanan gabah musim lalu. Sedangkan natura terdiri dari pembayaran yang
dilakukan selama proses usahatani sampai dengan pemanenan yang
pembayarannya meggunakan bagian hasil panen. Pembayaran secara natura terdiri
dari pembayaran zakat panen, input produksi, pembayaran tenaga kerja selama
proses budidaya sampai dengan pemanenan.
Lain halnya dengan marketed surplus. Marketed surplusmenurut Mark D Newman (1977), mendefinisikan marketed surplus sebagai porsi dari produksi yang dijual ke pasar. Dalam pelaksanaanya, petani sering kali menyimpan
sebagian hasil panennya sebagai persediaan untuk konsumsi rumah tangga, benih,
dan stok cadangan atau penjualan bertahap.
Marketed Surplus = Marketable Surplus – konsumsi......(2)
Marketable surplus adalah bagian produksi bersih yang bisa dijual oleh petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan marketable surplus jika petani tidak menyisihkan hasil panennya untuk konsumsi rumah tangga, tetapi
menjual seluruhnya dari hasil panen tersebut. Konsumsi rumah tangga yang
dimaksud adalah konsumsi untuk benih dan konsumsi beras rumah tangga. Petani
biasanya menyimpan kebutuhan konsumsi dan benih dalam bentuk cadangan atau
stok.
Stok atau penyimpanan dilakukan petani dengan berbagai jenis tujuan,
diantaranya untuk benih musim tanam selanjutnya, persediaan konsumsi dan
cadangan untuk dijual sewaktu-waktu (dijual bertahap).
Hasil petani tidak semuanya dijual ke pasar, tetapi dialokasikan untuk
Gambar 4. Skema alokasi produksi padi petani
Dalam Gambar 4 dapat dilihat bahwa besaran marketed surplus adalah sebagian dari hasil panen petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan
marketable surplus jika petani menjual seluruh hasil panennya dengan kata lain tidak melakukan penyimpanan atau stok.
Menurut BPS (2003), stok adalah sejumlah bahan makanan yang disimpan
atau dikuasai oleh pemerintah atau swasta yang dimaksud sebagai cadangan dan
akan digunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Secara umum, pemegang stok
gabah ada dua, yaitu pemerintah dan masyarakat. Stok gabah pemerintah
dipegang oleh Bulog sedangkan stok di masyarakat salah satunya dipegang oleh
petani.
Petani umumnya menyimpan sebagian gabah hasil panennya untuk
kebutuhan konsumsi, benih, dan pakan ternak (Mears, 1981). Selain itu, petani
juga bisa bersplekulasi menyimpan gabah mereka untuk dijual saat harga naik
setelah panen.
3.1.2 Hubungan Corak Usahatani dengan Marketed Surplus
Berdasarkan ciri ekonomi, dikenal dua corak usahatani yakni usahatani subsisten dan pertanian komersial. Usahatani subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian yang dihasilkan hanya
untuk memenuhi konsumsi keluarga dan tidak dijual. Usahatani komersial berada
pada sisi berlainan dengan usahatani subsisten. Umumnya usahatani komersial
menjadi karakter perusahaan pertanian (farm) di mana pengelola usahatani telah produksi
Net Harvest
(Marketable surplus) Sisa stok
sebelum panen
Hasil dari lahan yang diusahakan petani lain
Dijual
(marketed surplus) penggunaan
konsumsi dan benih
berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan
seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi sendiri.
Usahatani dalam makna subsisten adalah usahatani yang dikelola oleh
petani dan keluarganya. Karena dikelola oleh petani dan keluarganya, umumnya
petani mengelola lahan milik sendiri atau lahan sewa yang tidak terlalu luas
karena tenaga kerja yang tersedia terbatas. Usahatani tersebut dapat diusahakan di
tanah sawah, ladang dan pekarangan. Hasil yang mereka panen biasanya
digunakan untuk konsumsi keluarga, jika hasil panen mereka lebih banyak dari
jumlah yang mereka konsumsi mereka akan menjualnya ke pasar (Soekartawi,
1986). Jadi, pertanian dalam arti sempit dapat dicirikan oleh sifat subsistensi atau
semi komersial. Ciri lain usahatani subsisten adalah tidak adanya spesifikasi dan
spesialisasi. Mereka biasa menanam berbagai macam komoditi. Dalam satu tahun
musim tanam petani dapat memutuskan untuk menanam tanaman bahan pangan
atau tanaman perdagangan. Adapun bila usahatani telah dilakukan secara efisien
dalam skala besar dengan menerapkan konsep spesialisasi komoditi maka
karakteristik pertanian bergeser ke arah komersialisasi. Selain itu, pada usahatani
subsisten, kontak antara petani dan pasar sangat minim, bahkan tidak ada.
Perilaku ekonomi mempunyai tiga hal yang patut diperhatikan yaitu
risiko, ketidakpastian, serta keuntungan (Scott,1981) dalam Metro (2005). Istilah
risiko dan ketidakpastian dimaksudkan kepada terjadinya kemungkinan
kekurangan bahan makanan pokok di masa yang akan datang. Usahatani subsisten
juga tidak berorientasi seberapa besar keuntungan yang bisa didapat dengan
penjuala hasil produk usahatani, karena hasilnya diprioritaskan untuk memenuhi
konsumsi rumah tangga.
Scott (1981) dalam Metro (2005), menjelaskan adanya perilaku enggan
menerima risiko dalam pengambilan keputusan petani disebabkan oleh adanya
dilema ekonomi petani yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Hal
itu disebabkan kehidupan petani yang umumnya berada di pedesaan begitu dekat
dengan batas subsistensi dan karena itu kondisi tersebut menyebabkan rumah
tangga petani tidak banyak mempunyai peluang untuk menerapkan keuntungan
Sifat khas yang senantiasa ada pada diri petani ialah berusaha menghindari
kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha
memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko. Dengan kata lain
petani berusaha meminimumkan keuntungan subjektif dari kerugian maksimum.
Perilaku demikian yang disebut juga perilaku safety first atau mendahulukan keamanan merupakan ciri umum petani.
Wharton (1964) dalam Kusnadi et al (2008) mengemukakan bahwa ciri subsistensi petani bisa diketahui dengan dua pendekatan kriteria, yaitu kriteria
ekonomi dan kriteria sosial budaya. Kriteria ekonomi meliputi 1). Rasio atau
proporsi produk yang dijual 2). Rasio tenaga kerja upah atau input yang dibeli 3).
Tingkat penggunaan teknologi 4). Pendapatan dan 5). Kebebasan pengambilan
keputusan. Kriteria sosial budaya mencakup 1). Faktor non-ekonomi dalam
pengambilan keputusan 2). Derajat kontak dengan dunia luar (pasar) 3). Bentuk
hubungan personal 4.) perbedaan psikologis.
Jika dikaitkan dengan marketed surplus, maka kriteria rasio produk yang dijual adalah kriteria paling sesuai untuk mengukur subsistensi petani. Semakin
besar rasio atau semakin besar bagian produk yang dijual, maka petani tersebut
semakin komersiil. Hal itu disebabkan pada usahatani komersiil, semakin besar
marketed surplus, maka keuntungan yang bisa diperoleh juga bisa semakin besar.
3.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus
Dalam penelitian ini, ada beberapa hipotesis faktor-faktor yang
mempengaruhi marketed surplus petani. Faktor –faktor yang mempengaruhi
marketed surplus terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor yang berasal dari internal rumah tangga petani itu
sendiri sedangkan faktor eksternal meliputi faktor yang berasal dari luar rumah
tangga petani. Faktor internal meliputi ukuran keluarga, usia petani, pendidikan
petani, dan pengalaman usahatani, sedangkan faktor eksternal meliputi produksi
total, harga, musim tanam, akses sarana pasca panen, dan sumber modal :
1. Jumlah Produksi
Semakin tinggi hasil panen yang diperoleh petani, maka semakin banyak
pula hasil panen tersebut dipasarkan karena jumlah kelebihan hasil panen akan
tetap, sehingga bila produksi tinggi, maka selisih antara konsumsi dan produksi
yang bisa dijual makin besar atau banyak.
2. Ukuran keluarga
Petani yang subsisten akan menyisihkan sebagian hasil panennya untuk
dikonsumsi sehari-hari. Semakin besar jumlah anggota atau tanggungan rumah
tangga petani, maka jumlah yang disisihkan dari hasil panen akan semakin besar
yang akan mengurangi jumlah panen yang dipasarkan.
3. Pendapatan luar usahatani
Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya dari kegiatan
usahatani, tetapi dapat juga berasal dari luar usahatani. Semakin besar pendapatan
rumah tangga petani, maka tingkat kesejahteraannya pun akan semakin tinggi
sehingga petani bisa menjual seluruh hasil panennya dan berperan sebagai
konsumen untuk memenuhi kebutuhan berasnya.
4. Harga
Petani yang komersial akan berusaha memaksimalkan keuntungan atau
dalam hal ini penerimaan dari penjualan hasil panen padi. Jika harga gabah atau
beras di pasar sedang tinggi, maka petani akan cenderung meningkatkan marketed surplusagar penerimaan yang didapat semakin besar pula.
5. Musim Tanam
Pola tanam di setiap daerah belum tentu sama. Sehingga, musim tanam
akan mempengaruhi jumlah marketed surplus petani karena jeda dari musim ke musim belum tentu sama. Hal itu menyebabkan petani yang subsisten akan
memperhitungkan berapa kebutuhan konsumsi yang akan dia simpan selama jeda
musim tersebut disesuaikan dengan lamanya jeda musim. Semakin lama jeda
musim, maka jumlah produk yang disisihkan akan semakin besar.
6. Usia Petani
Usia dan pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir seseorang. Petani
yang berusia tua diduga akan bersikap lebih subsisten dibandingkan petani yang
berusia muda. Petani yang komersiil akan menjual lebih banyak gabah hasil
7. Pendidikan petani
Pendidikan erat kaitannya dengan pola pikir petani. Petani yang
berpendidikan cencerung akan berusaha mendapat hasil atau keuntungan yang
maksimal dari lahan yang diusahakannya. Sehingga, petani yang berpendidikan
akan mejual lebih banyak daripada petani yang kurang berpendidikan.
8. Akses sarana pasca panen gabah
Sarana pasca panen terdiri dari gudang penyimpanan gabah dan lantai
jemur. Jika petani mempunya akses keduanya, maka petani tersebut akan
cenderung menyimpan gabahnya untuk dijual di kemudian hari saat harga gabah
lebih baik. Pendekatan pengukuran variabel ini adalah dengan luasan lantai jemur
atau akses jemur, dan tempat petani menyimpan persediaan gabahnya (storage). 9. Status Penguasaan Lahan
Status penguasaan lahan secara teoritis akan berpengaruh negatif terhadap
marketed surplus. Hal tersebut dikarenakan petani yang mengusahakan lahan bukan miliknya sendiri akan dikenakan biaya tambahan atau biaya sewa, yang
sebagian besar sewanya menggunakan sistem bagi hasil panen antara petani
pangarap dan pemilik lahan.
10. Sumber Modal
Petani yang modal usahataninya berasal dari pinjaman akan cenderung
meningkatkan marketed surplus. Hal itu disebabkan selain untuk mendapat
keuntungan, petani juga menjual lebih banyak produknya untuk membayar modal
pinjaman yang dipinjamnya tersebut.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini masih
bergantung pada produksi padi petani lokal. Namun, produksi padi masih belum
mencukupi kebutuhan masyarakat. Penyediaan beras atau padi sebagai bahan
pangan utama masih mengandalkan padi yang diproduksi oleh petani dalam
negeri yang mana adalah marketed surplusdari para petani itu sendiri.
Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten.
Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Dengan rata-rata
kepemilikan 0,6 hektar maka sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan
memasarkannya (marketed surplus). Adanya kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan produksi padi, seperti kebijakan pupuk bersubsidi dan harga
pembelian pemerintah (harga dasar). Selain itu juga, kemudahan akses pasca
panen yang semakin mudah diduga bisa mengubah padi dari komoditi subsisten
menjadi komoditi komersial.
Kuat dugaan, petani dengan kondisi seperti ini, tidak lagi menyimpan
gabahnya, melainkan dijual seluruhnya, sedangkan untuk keperluan konsumsi
petani bisa membelinya dari pasar. Diduga ada pergeseran pola perilaku petani
dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh
hasil panennya yang bisa mempengaruhi supply padi atau beras ke masyarakat. Artinya, padi yang pada dasarnya komoditi subsisten bisa berubah menjadi
komoditi komersial.
Di sisi lain, pola usahatani padi bukan hanya pola usahatani yang berbasis
lahan basah atau sawah, melainkan juga pola usahatani yang bebasis lahan kering
atau ladang. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji corak usahatani padi pada
kedua pola usahatani tersebut baik dalam perilaku alokasi produk maupun
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan pemerintah
Pola Alokasi Produk
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus
petani
Kesimpulan marketed surplus
Saran
Kondisi Pasar Kelembagaan dan budaya
Faktor internal Faktor eksternal Pola Usahatani padi
(sawah dan Ladang)
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada petani padi di Kabupaten Karawang, Propinsi
Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar petimbangan bahwa Kabupaten Karawang adalah salah satu sentra padi terbesar di
Jawa Barat. Produksi padi Kabupaten Karawang adalah sebesar 1.067.691 ton,
atau 10% dari produksi padi Jawa Barat (2009). Selain itu, laju industrialisasi di
Kabupaten Karawang cukup tinggi. hal ini diduga berdampak kepada karakter
sosial ekonomi petani. Pertimbangan lokasi dan waktu penelitian didasarkan atas
penguasaan masalah, keterbatasan dana, waktu, dan kemampuan yang dimilki
oleh peneliti. Waktu penelitian dilaksanakan dari Maret hingga Agustus 2011.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Penelusuran dan pencarian informasi data penelitian menggunakan data
sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dengan penelusuran bahan
pustaka berupa buku, hasil penelitian, website, serta lembaga pemerintahan. Data
primer diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dilakukan dengan wawancara
responden yaitu petani padi padi sawah dan padi ladang. Kuesioner yang
diberikan berupa pertanyaan terstruktur tertutup dan terbuka.
Data primer juga diperoleh langsung di tempat penelitian dan wawancara
dengan petugas penyuluh pertanian. Data primer merupakan data mentah sehingga
masih diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk
tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan. Jenis dan sumber data
Tabel 8. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis Data Sumber Data
Data Primer :
Karakteristik Petani dan Keluarga,
Usahatani Total, Usahatani Padi,
Konsumsi Rumah Tangga, Pendapatan
Rumah Tangga, Saluran Penjualan
Gabah, Sarana Pascananen Gabah
Petani
Petani
Data Sekunder :
Data Luas Lahan,Luas Panen,
Produktivitas, dan Gambaran Umum
Daerah, Harga Gabah
Badan Pusat Statistik, Dinas
Pertanian Kabupaten Karawang,
Pemerintah Desa.Balai Penyuluh
Pertanian, data elektronik (internet)
4.3. Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap dengan
metode judgement, cluster, stratified sampling, simple random sampling, dan snowball sampling.
Metode judgement digunakan untuk menentukan lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Karawang berdasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Karawang
adalah salah satu sentra beras di Jawa Barat dan supplierterbesar beras ke daerah perkotaan di sekitarnya, seperti Jakarta, Bekasi, dan Kota Bekasi. Metode cluster dan stratified digunakan untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan yang merupakan sentra padi sawah dan ladang di Kabupaten Karawang. Kabupaten
Karawang kemudian dikelompokkan menjadi beberapa kecamatan yang terdapat
Tabel 9. Data Luas Lahan Sawah dan Ladang Hasil Metode Cluster
Kecamatan Luas Lahan Sawah
(ha)
Luas Lahan Padi Ladang
(ha)
Tempuran 6.640
-Cilamaya Wetan 5.121
-Ciampel 840 200
Pangkalan 2.230 500
Sumber : Badan Pusat Statistik 2010 (diolah)
Metode cluste