• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI

PRODUK DAN

MARKETED SURPLUS PADI

DI KABUPATEN KARAWANG

SKRIPSI

YAHYA HENDRIYANA H34070138

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

YAHYA HENDRIYANA. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).

Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini masih bergantung pada produksi padi petani lokal. Namun, produksi padi masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan untuk meningkatkan produksi padi petani. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi kebijakan harga, fasilitas, dan perbaikan sarana penunjang, seperti irigasi.

Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten. Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, baru mereka memasarkannya (marketed surplus). Adanya kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan produksi padi seperti kebijakan pupuk bersubsidi dan harga pembelian pemerintah (harga dasar), serta kemudahan akses pasca panen yang semakin mudah diduga dapat mengubah padi dari komoditi subsisten menjadi komoditi komersial.

Kabupaten Karawang sebagai daerah surplus beras yang diduga tejadi pergesaran sifat komoditas padi itu sendiri yang tadinya merupakan komoditi subsisten menjadi komoditi yang bersifat komersial. Produksi padi di Kabupaten Karawang tidak hanya dihasilkan oleh daerah persawahan yang telah dilengkapi oleh sistem irigasi, baik itu teknis maupun alami, tetapi juga daerah lahan kering yang berbasisikan padi ladang. Perbedaan jenis lahan berdampak pada pola tanam dan teknologi budidaya padi. Itu berimplikasi pada perbedan hasil produksi dan produktivitas padi yang dihasilkan. Perbedaan ini bisa mengakibatkan perbedaan karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari para petani terhadap produk padinya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap marketed surplus.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) menganalisis perilaku petani padi di Kabupaten Karawang dalam mengalokasikan produknya dan, 2) menganalisis dan membandingkan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surpluspadi pola uahatani sawah dan ladang di Kabupaten Karawang.

Hasil dari pegamatan di lapangan menunjukkan bahwa akibat mudahnya akses pasar dan kebijakan, serta bekembangnya infrastruktur telah menyebabkan pergeseran corak usahatani dari subsisten ke komersial terutama pada pola usahatani padi sawah di Kabupaten Karawang, sedangkan pada pola usahatani padi sawah corak usahatani masih relatif subsisten. Hal itu disebabkan padi pada pola usahatani padi ladang masih tujuan usahatani masih berfokus pada pemenuhan konsumsi rumah tangga. Produktivitas padi ladang juga masih rendah yang mencerminkan bahwa padi ladang masih belum menjadi sasaran kebijakan pemerintah untuk pemenuhan konsumsi beras masyarakat.

(3)

usahatani padi sawah, proporsi terbesar produk ditujukan untuk penjualan, sedangkan pada pola usahatani padi ladang proporsi terbesar dari produk digunakan untuk konsumsi rumah tangga.

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus

(4)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI

PRODUK DAN

MARKETED SURPLUS PADI

DI KABUPATEN KARAWANG

YAHYA HENDRIYANA H34070138

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan

Marketed SurplusPadi di Kabupaten Karawang

Nama : Yahya Hendriyana

NIM : H34070138

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul

“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 30 September 1989. Penulis

adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Walim

Anggasamita dan Ibunda Nasem. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD

Negeri Nagasari 1 pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama

diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1 Karawang. Pendidikan lanjutan

menengah atas di SMA Negeri 1 Karawang diselesaikan pada tahun 2007. Semua

lembaga pendidikan tersebut berada di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat.

Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB) pada tahun 2007.

Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus

Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (Hipma) pada Career and Creativity

Development Department periode 2009-2010 dan Organisasi Mahasiswa Daerah

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang”.

Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku petani dalam alokasi

produknya dan faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus pada pola usahatani padi sawah dan ladang .

Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena

keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran

dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga

dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2011

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.

Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya,

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan,

arahan, dukungan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis

selama penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Dwi Rachmina, MSi selaku dosen penguji utama pada sidang penulis yang

telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan skripsi ini.

3. Yanti Nuraeni Muflikh, SP, MABuss selaku dosen penguji departemen pada

sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan

saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.

4. Yeka Hendra Fatika, SP dan Arif Karyandi Uswandi, SP yang telah

membantu berdiskusi, memberikan banyak ilmu bagi penulis dalam

penyusunan skripsi.

5. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis yang telah menjadi keluarga

bagi penulis di Bogor. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

6. Ibunda Hj. Nasem, SPd dan Ayahanda tercinta Drs. H. Walim

Anggasasmita, MPd, serta keluarga semoga ini dapat menjadi persembahan

yang terbaik.

7. Pihak Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, Balai Penyuluh Pertanian

Kecamatan Cilamaya Wetan, Tempuran, Ciampel, dan Pangkalan atas

bantuan dan pengarahannya kepada penulis selama penelitian.

8. Petani dan tokoh-tokoh petani di Kecamatan Cilamaya Wetan, Tempuran,

Ciampel, dan Pangkalan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang telah

bersedia menjadi responden penelitian ini.

9. Sahabat-sahabat (Hata Madia Kusumah, Sigit Sutrisno, Pandu Aditama, dan

Riska Pujiati, SE, Arini Ungki A, SE, Sella Kristy, Okky P), yang telah

membuat perjalanan ini semakin berwarna dan selalu membantu penulis. Juga

(10)

yang tidak bisa penulis tulis semua) yang selalu membantu, dan

menyemangati penulis selama penyusunan skripsi ini.

10. Teman-teman Agribisnis angkatan 44 atas semangat kekeluargaan selama

kuliah di Agribisnis IPB. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu

per satu, terima kasih atas bantuannya.

Bogor, Agustus 2011

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Alokasi Produk ... 11

2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketable dan Marketed surplus ... 14

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 18

3.1.1. Marketabledan Marketed Surplus ... 18

3.1.2. Hubungan Corak Usahatani dan Marketed Surplus... 20

3.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus ... 22

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 24

IV METODOLOGI PENELITIAN ... 27

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 27

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 28

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 30

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PETANI ... 35

5.1. Kondisi Pertanian di Kabupaten Karawang ... 36

5.2. Karakteristik Petani... 37

5.3. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah dan Ladang Di Kabupaten Karawang ... 44

VI ANALISIS PERILAKU ALOKASI PRODUK ... 51

6.1. Alokasi Hasil Panen ... 51

VII ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUSPADI ... 74

7.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed SurplusPadi 74 V11I KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

8.1. Kesimpulan ... 87

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram ... 1

2. Data Konsumsi Pangan Per Kapita Indonesia ... 2

3. Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Nasional Tahun

1961-2010 ... 2

4. Data Produksi 5 Sentra Padi Indonesia Tahun 2009 ... 5

5. Surplus Padi Kabupaten Karawang Tahun 2005-2009 ... 6

6. Data Produksi 3 Sentra Padi Berdasarkan Kabupaten di Jawa BaratTahun 2009 ... 6

7. Data Lahan Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2008-2009 .... 9

8. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 28

9. Data Luas Lahan Sawah dan Ladang Hasil Metode Judgment.. 29 10. Luas Penggunaa Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2009 ... 36

11. Sebaran Petani Responden Menurut Usia Tahun 2011 ... 37

12. Sebaran Petani Responden Menurut Pengalaman Usahatani

Tahun 2011 ... 38

13. Sebaran Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011... 38

14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani

Tahun 2011 ... 39

15. Sebaran Petani Responden Menurut Status Penguasaan Lahan Tahun 2011 ... 39

16. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan yang

Diusahakan Tahun 2011 ... 40

17. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pendapatan Luar

Usahatani per Bulan Tahun 2011 ... 41

18. Sebaran Penghasilan Luar Usahatani Petani Responden

Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Tahun2011 ... 41

19. Rata-rata Jumlah Tanggungan Petani Responden Berdasarkan

Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 ... 42

20. Rata-rata Rasio Tenaga Kerja Dalam Keluarga Berdasarkan

Luas Lahan yang Diusahakan Tahun 2011 ... 42

21. Rata-rata Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani Tahun 2011 .. 43

22. Rata-rata Biaya Tunai Usahatani Petani dan Penggunaannya

(14)

23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten

Karawang Tahun 2010 ... 51

24. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penggunaan Sistem Panen Natura (bawon) Tahun 2010 ... 52 25. Hubungan Luas Lahan Padi Petani dengan Proporsi Marketed

surplusTahun 2010 ... 59 26. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Melakukan Stok

Benih Tahun 2010... 60

27. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Tidak Melakukan Stok Benih Tahun 2010 ... 61

28. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Stok Konsumsi Tahun 2010 ... 62

29. Sebaran Petani Berdasarkan Akses Penjemuran Gabah Tahun

2010 ... 65

30. Sebaran Petani Berdasarkan Lokasi Stok Gabah Tahun 2010 ... 66

31. Rata-rata Luas Tempan Simpan Gabah Berdasarkan Luas

Lahan yang Diusahakan Petani Tahun 2010 ... 66

32. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Penjualan Hasil Panen Tahun

2010 ... 68

33. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Mengunakan Cara Penjualan Tebas Tahun 2010 ... 69

34. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Penjualan Bertahap Tahun 2010... 69

35. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penjualan Cara Sekaligus Tahun 2010 ... 70

36. Distribusi Jumlah Petani Berdasarkan Proporsi Modal Sendiri

Petani Terhadap Modal Total Tahun 2010 ... 71

37. Sebaran Petani Berdasarkan Saluran Pemasaran Gabah Tahun 2010 ... 72

38. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Pemilihan Tengkulak Sebagai Saluran Pemasaran Gabah Petani Tahun 2010... 73

39. Hasil Pendugaan Variabel Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Marketed SurplusPadi ... 75 40. Pola Marketed Surplus Petani Padi Sawah Musim Tanam

Tahun 2010 ... 77

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2010 ... 3

2. Pola Musim Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2010-2011) 7

3. Perbandingan Harga Gabah Kering Panen Petani di

Kab. Karawang dan HPP Bulog Tahun 2009-2011 ... 8

4. Skema Alokasi Produksi Padi Petani ... 20

5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 26

6. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ... 56

7. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 ... 56

8. Alokasi Marketable SurplusPetani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ... 58

9. Alokasi Marketable SurplusPetani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 ... 58

10. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 ... 63

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Output Minitab Model Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Marketed SurplusPadi Sawah... 93 2. Output Minitab Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Marketed SurplusPadi Ladang ... 95 3. Rincian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus

Padi Sawah di Kabupaten Karawang... 96

4. Rincian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus

Padi Ladang di Kabupaten Karawang ... 101

(17)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia.

Tanpa pangan, manusia sulit untuk bertahan hidup. Tanpa pangan tidak akan ada

kehidupan. Karena pentingnya peran pangan dalam kehidupan, maka pangan juga

memerankan peranan penting dalam perekonomian. Hal itu terlihat dari kontribusi

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di mana tanaman pangan memberikan

kontribusi terbesar, khususnya di Indonesia, yakni sebesar 6,8 persen dari

keseluruhan PDB sektor pertanian (BPS 2009).

Komoditas tanaman pangan tediri dari dua bagian besar, yaitu: padi-padian

(cereals) dan umbi-umbian (tubers) padi, jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, dan gandum termasuk ke dalam cereals sedangkan ubi kayu dan ubi jalar termasuk ke dalam tubers. Ada beberapa sumber pangan penting di dunia, antara lain : beras atau padi, gandum, jagung, dan kentang. Padi, gandum, dan jagung

merupakan komoditas pangan yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi

dibandingkan tanaman pangan lain.

Beras atau padi adalah salah satu sumber bahan pangan terpenting. Kandungan karbohidrat beras adalah yang tertinggi di atas kandungan

karbohidrat tanaman pangan lain.

Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 gram

Nutrisi Satuan Beras Gandum Sorgum Jagung

Karbohidrat Gram 78,9 74,1 73,0 72,4

Protein Gram 6,8 11,8 11,0 10,0

Lemak Gram 6,8 1,2 73,0 10,0

Kalori Gram 360,0 - 332,0 361,0

Vitamin B1 Mg - - 0,4 2,3

Serat - - 0,4 - 2,3

Air - - 12 - 13,5

Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, Direktorat Budidaya Serealia (2009)

Di Indonesia, beras adalah bahan pangan utama. Sebagian besar

masyarakat Indonesia mengonsumsi padi-padian untuk memenuhi kebutuhan

karbohidrat. Dapat dilihat dari Tabel 2 bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi

(18)

Tabel 2.Data Konsumsi Pangan Per Kapita Indonesia

Komoditas pangan Konsumsi per kapita (kg/orang/tahun)

Padi 139

Gandum 17,1

Jagung 70

Kedelai 40

Sumber: Badan Pusat Statistik 2010 (diolah)

Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini

mayoritas masih dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun, produksi padi

masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Perbandingan produksi dan

konsumsi beras nasional Indonesia ditunjukkan pada Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Nasional Tahun 1961-2010 Tahun Jumlah

Penduduk (jiwa)

Produksi (juta ton)

Konsumsi (juta ton)

Impor (juta ton)

1971 119.208.229 13,72 14,21 0,52

1980 147.490.298 22,29 21,50 0,54

1990 179.378.946 29,04 30,12 0,19

2000 206.264.595 32,96 35,88 1,50

2001 - 32,96 36,38 3,50

2002 - 33,41 36,50 2,75

2003 - 35,02 36,00 0,65

2004 - 34,83 35,85 0,50

2005 - 34,96 35,74 0,54

2006 - 35,30 35,90 2,00

2007 - 37,00 36,35 0,35

2008 - 38,31 37,10 0,25

2009 - 36,37 38,00 1,15

2010 237.556.363 38,00 38,55 0,95

Sumber : USDA (2011)1dan BPS 2011

Tabel 3 menunjukkan produksi beras dari tahun 1961 sampai tahun 2010.

Selama kurun waktu 39 tahun tersebut, terjadi peningkatan produksi beras sebesar

292,45 persen, atau sekitar 7,01 persen per tahunnya. Walaupun laju produksi

beras lebih besar dari laju konsumsi, meningkatnya laju produksi beras belum

mampu menutup konsumsi yang tumbuh sebesar 262,58 persen. Masih rendahnya

produksi beras disebabkan oleh berbagai macam hal antara lain rendahnya

produktivitas, dan konversi lahan sawah yang semakin tinggi. Untuk mencukupi

konsumsi domestik ini pemerintah melakukan impor beras. Impor beras yang

1

(19)

dilakukan untuk menutupi selisih produksi dan konsumsi berdampak kepada

meningkatnya stok dan penurunan harga beras.

Penyediaan beras menjadi hal penting yang harus diperhatikan, hal ini

disebabkan produksi bersifat musiman sedangkan konsumsi bersifat kontinyu.

Meskipun sebagian dari produksi beras di Indonesia berlangsung sepanjang tahun,

produksi bulanan yang berbeda beda dan penyimpanan diperlukan untuk

menjamin suplai untuk konsumsi sehari-hari.

Di Indonesia saat ini, masih terjadi lag penyediaan beras. Hal itu disebabkan produksi padi masih bergantung pada musim sedangkan konsumsi

beras berlangsung secara kontinyu.

Gambar 1.Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010 Sumber: Data Startegis BPS, 2010 [diolah]

Seperti yang terlihat pada Gambar 1, bahwa produksi beras di Indonesia

masih fluktuatif bergantung pada musim. Beras tersedia melimpah pada Bulan

Februari-Maret sedangkan beras pada Bulan Nopember-Desember jauh menurun.

Pada bulan Maret supply beras lebih tinggi dibandingkan musim panen lainnya, yakni pada bulan Agustus. Hal itu disebabkan ada beberapa lokasi di Indonesia

yang hanya bisa melakukan panen sebanyak satu kali.

Dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, hal yang perlu

dipertimbangkan adalah bahwa jumlah produksi dari petani tidak semuanya dijual

(20)

yang beredar di masyarakat bergantung pada besarnya marketed surplus petani atau jumlah kelebihan hasil panen yang dijual petani. Petani masih mengeluarkan

hasil produksinya untuk kebutuhan pangan keluarga, upah-upah tenaga kerja yang

berbentuk natura (padi/beras) atau dikeluarkan untuk sewa lahan. Makin besar

marketed surplus, makin besar pula beras atau padi yang beredar di pasar.

Dikarenakan adanya gap produksi dan konsumsi, maka pemerintah sejak tahun 1969 menerapkan kebijakan jangka pendek maupun jangka panjang yang

dimulai pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita 1) hingga Pelita 5. Program yang

diterapkan yaitu Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas)

yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian terutama padi dan perbaikan

sarana penunjangnya, yaitu sarana irigasi dan transportasi. Selain itu juga

diterapkan program untuk menaikkan posisi tawar petani dengan kebijakan harga

dasar pembelian gabah petani (HPP), agar saat panen harga padi petani tidak jatuh

dan juga subsidi pupuk agar usahatani padi petani semakin efisien. Kemudian

dilanjutkan dengan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pada

tahun 2007 yang masih berlangsung sampai sekarang yang berbasis penggunaan

padi hibrida untuk meningkatkan produksi.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, dengan luas lahan yang

semakin berkurang produksi padi nasional tetap relatif meningkat. Dengan

naiknya paroduksi, maka secara teoritis pendapatan petani juga akan naik seperti

yang tersaji pada Tabel 3.

Padi di Indonesia tidak hanya dihasilkan oleh padi sawah saja. Secara

umum, jenis lahan sawah di Indonesia terbagi dua, yaitu lahan basah dan kering.

Sampai tahun 2009, luas lahan kering atau padi ladang di Indonesia mencapai 1

juta hektar, sedangkan luas panen sawah mencapai 12 juta hektar ( BPS 2010).

Untuk produksi, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah dua propinsi terbesar

penghasil padi ladang. Jawa Barat memiliki lahan padi ladang seluas 121.000

hektar, sedangkan Jawa Timur mempunyai daerah pengembangan padi ladang

seluas 500.000 hektar. Namun, saat ini produktivitas rata-rata padi ladang masih

lebih rendah daripada padi sawah, yaitu 2,9 ton per hektar, sedangkan padi

(21)

Petani tanaman pangan (padi) di Indonesia adalah petani kecil dengan

kepemilikan lahan sangat sempit yaitu rata-rata 0,6 ha (Firmansyah,1999 dalam

Nusril dan Sukiyono, 2007). Perbedaan jenis lahan bisa berdampak pada pola

tanam dan teknologi budidaya padi. Hal itu berimplikasi pada perbedan hasil

produksi padi yang dihasilkan. Perbedaan jenis lahan bisa mengakibatkan

perbedaan karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya

perbedaan-perbedaan tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari para petani

terhadap produksi padinya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap supply

beras ke masyarakat.

Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten.

Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Dengan rata-rata

kepemilikan 0,6 ha maka sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi

untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, jumlah itu lah yang

dipasarkan oleh petani sebagai supply beras ke masyarakat (marketed surplus). Wilayah-wilayah Indonesia yang menghasilkan beras tinggi yaitu Jawa

Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera

Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Kalimantan Selatan dan Nusa

Tenggara Barat. Pulau Jawa merupakan daerah yang berasnya sebagian besar

untuk wilayah Barat Indonesia yang mencakup Pulau Sumatra, Kalimantan, Bali,

dan Pulau Jawa itu sendiri. Nusa Tenggara dan Sulawesi merupakan daerah

pemasok Indonesia bagian tengah dan timur yang mencakup Pulau Sulawesi,

Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.

Jawa Barat merupakan sentra padi di Indonesia. Produksi padi Jawa Barat

adalah yang tertinggi dibandingkan dengan propinsi lainnya. Sehingga, Jawa

Barat adalah pemasok utama untuk wilayah barat Indonesia (Sumatera, Jawa,

Kalimantan).

Tabel 4.Data Produksi 5 Sentra Padi Indonesia Tahun 2009

Propinsi Produksi (ton)

Jawa Barat 11.322.681

Jawa Tengah 9.600.415

Jawa Timur 11.259.085

Sulawesi Selatan 4.324.178

Nusa Tenggara Barat 1.870.775

(22)

Kabupaten Karawang merupakan salah satu sentra penting padi di Propinsi

Jawa Barat. Karawang berperan sebagai daerah surplus padi bagi daerah perkotaan yang mengalami defisit pangan di Jawa bagian barat.

Tabel. 5 Surplus Padi Kabupaten Karawang Tahun 2005-2009

Tahun

Jumlah Penduduk

Kebutuhan Beras (Ton)

Produksi (ton)

Surplus Beras (ton)

2005 1.971.463 266.147 689.693 423.546

2006 2.009.647 271.302 699.510 428.208

2007 2.055.469 277.488 714.195 436.707

2008 2.094.408 282.745 727.968 445.223

2009 2.133.992 288.089 790.166 502.077

Sumber : Dishutbun Kabupaten Karawang 2010 [diolah]

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama lima tahun terakhir Kabupaten

Karawang mengalami surplus beras. Meskipun jumlah penduduk terus meningkat

sebesar sepuluh persen, surplus beras Kabupaten Karawang mengalami

peningkatan sebesar 18 persen.

Tabel 6. Data Produksi 3 Sentra Padi Berdasarkan Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2009

Sumber: Badan Pusat Statistik,2010 [diolah]

Produksi padi Kabupaten Karawang pada tahun 2009 adalah sebesar

1.067.691, atau 10 persen dari total produksi padi Jawa Barat yang mencapai

sebelas juta ton. Seperti yang terlihat di Tabel 6, meskipun masih lebih sedikit

dari Kabupaten Indramayu dan Subang, namun letak geografisnya yang lebih

dekat ke perkotaan seperti Jakarta, maka Karawang adalah sentra padi terpenting

dilihat dari posisi perdagangan. Selain itu, posisi geografis Kabupaten Karawang

yang paling dekat ke pusat pemerintahan, membuat akses terhadap kebijakan

begitu dekat.

Tahun Kota/kabupaten Produksi

2009 Kab Indramayu 1.321.016

2009 Kab Subang 1.105.550

(23)

1.2 Perumusan Masalah

Sebagai salah satu sentra padi di Jawa Barat, Kabupaten Karawang adalah

sasaran kebijakan pemerintah untuk menaikkan produksi padi dan memperbaiki

posisi tawar petani. Salah satu kebijakan pemerintah adalah kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP).

Gambar 2.Pola Musim Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2010-2011 Sumber: Dishutbun Kabupaten Karawang, 2011 [diolah]

Musim tanam padi di Kabupaten Karawang umumnya terdiri dari dua

musim tanam setiap tahunnya. Musim tanam pertama (rendeng) terjadi pada Bulan Februari hingga Mei sedangkan musim tanam ke dua (gadu) terjadi dari Bulan Juni hingga September. Dari data di atas dapat dilihat bahwa supply padi

di Kabupaten Karawang melimpaih pada bulan April hingga Mei dan bulan

September sampai dengan Oktober. Pada bulan-bulan itu lah supply beras atau

(24)

Gambar 3. Perbandingan Harga Gabah Kering Panen Petani di Kab.Karawang dan HPP Bulog Tahun 2009-2011

Sumber: Dishutbun Kabupaten Karawang , 2011 [diolah]

Jika dikaitkan dengan kebijakan harga, seperti yang terlihat pada Gambar

2 dan 3, bahwa dari tahun 2009 hingga 2011, harga gabah kering panen petani

mengalami trend naik. Bahkan pada musim ke-dua tahun 2010, harga gabah kering panen jauh melebihi harga gabah pemerintah.

Dari segi kebijakan pemerintah, akses pasca panen padi di Kabupaten

Karawang pun mudah. Kemudahan tersebut terlihat dari jumlah Rice Milling Unit

(RMU) yang jumlahnya bervariasi di setiap desa, berkisar 3-13 unit (BPS 2010).

Skala dari penggilingan padi ini juga bervariasi dari kecil hingga besar dan

mayoritas beroperasi setiap tahun.

Ketergantungan petani terhadap tengkulak saat ini masih sangat tinggi.

Petani sering kali meminjam modal kepada tengkulak sehingga petani secara tidak

langsung punya kewajiban memasarkan hasil panennya kepada tengkulak

tersebut. Atau, jika petani yang punya keterbatasan modal seringkali menjual hasil

panennya sebelum padi tersebut memasuki masa panen (ijon, tebas).

Kuat dugaan, petani dengan kondisi seperti ini, tidak lagi menyimpan

gabahnya, melainkan dijual seluruhnya, sedangkan untuk keperluan konsumsi

petani bisa membelinya dari pasar. Diduga ada pergeseran pola perilaku petani

dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh

hasil panennya yang bisa mempengaruhi supply padi ke masyarakat. Supply padi

(25)

Artinya, padi yang pada dasarnya komoditi subsisten bisa berubah menjadi

komoditi komersial.

Di sisi lain, produksi padi di Kabupaten Karawang tidak hanya dihasilkan

oleh daerah persawahan yang telah dilengkapi oleh sistem irigasi, baik itu teknis

maupun alami, tetapi juga daerah lahan kering yang berbasiskan padi ladang.

Tabel 7. Data Lahan Padi Kabupaten Karawang Tahun 2008-2009

Tahun Sawah (ha) Ladang (ha)

2008 95.360 3.168

2009 96.261 3.141

Sumber : Badan Pusat Statistik (2010) [diolah]

Perbedaan pola usahatani ini bisa berdampak pada pola tanam dan

teknologi budidaya padi. Itu berimplikasi pada perbedan hasil produksi dan

produktivitas padi yang dihasilkan. Perbedaan ini bisa mengakibatkan perbedaan

karakteristik perilaku petani itu sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan

tersebut, maka ada perlakuan yang bebeda-beda pula dari petani pada

masing-masing pola usahatani terhadap produk padinya sehingga akan memberikan

pengaruh terhadap marketed surplus.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan-permasalahan penelitian yang

menarik untuk dikaji, antara lain:

1. Bagaimana perilaku petani pada pola usahatani padi sawah dan ladang di

Kabupaten Karawang dalam mengalokasikan produk atau hasil panennya?

2. Faktor-faktor apa saja yang memepengaruhi besarnya marketed surpluspadi pada pola usahatani sawah dan ladang di Kabupaten Karawang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas adalah:

1. Mengidentifikasi perilaku petani pada pola usahatani padi sawah dan ladang

dalam mengalokasikan produknya di Kabupaten Karawang.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memepengaruhi jumlah

(26)

1.4 Manfaat Penelitian

Penulis berharap hasil penelitian mengenai marketed surpluspadi ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain:

1. Bagi peneliti, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis

serta dapat mengaplikasikan bidang keilmuan agribisnis yang telah diterima

selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, dapat

menjadi sarana melatih peneliti untuk menuliskan gagasan dan fakta yang

ditemukan di lapangan.

2. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi bahan informasi untuk

menentukan kebijakan dalam meningkatkan produksi dan mengendalikan

supplypadi atau beras di Kabupaten Karawang.

3. Bagi masyarakat, penelitan ini dapat menjadi bahan informasi dan sumber

literatur bagi siapapun yang akan melakukan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tingkat kabupaten, sehingga memiliki batasan,

yaitu mengidentifikasi perilaku petani dalam mengalokasikan hasil panen padinya

dan menganalisis faktor-faktor yang memepengaruhi marketed surplus padi di tingkat rumah tangga petani di Kabupaten Karawang pada pola usahatani padi

sawah dan ladang.

Periode pengamatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu musim

tanam 2010 untuk kedua pola usahatani padi. Sedangkan untuk model

(27)

II TINJAUAN PUSTAKA

Studi mengenai marketed surplusataumarketable surplus telah dilakukan sejak waktu yang lama, yakni sejak tahun 1960-an. Konsep marketable dan

marketed surplus biasanya melekat pada komoditi pangan atau komodiiti yang bersifat subsisten, seperti : padi di Asia, kentang di Amerika Latin, jagung di

India, serta gandum dan pisang di Afrika. Namun ada beberapa penelitian yang

mengkaji tentang marketed dan marketable surplus komoditi non pangan yaitu sayuran. Namun, dalam penelitian tersebut tidak ditemukan penjabaran secara

mendalam mengenai marketed maupun marketable surplus sayuran karena keterbatasan akses informasi.

2.1. Alokasi Produk

Alokasi produk menunjukkan bagaimana petani menggunakan hasil panen

yang didapatnya untuk berbagai keperluan. Dengan mengetahui alokasi hasil

panen maka bisa diketahui apakah petani masih menjalankan usahataninya secara

subsisten atau telah bergerak ke arah komersil.

Metode yang digunakan pada studi atau penelitian yang ditemukan

umumnya menggunakan metode tabulasi atau crosstab dan deskriptif. Dengan demikian dapat diketahui besaran rata-rata dari setiap alokasi yang dilakukan

petani terhadap hasil panennya.

Petani masih banyak yang menggunakan sistem panen dengan natura atau

membayar tenaga kerja dengan hasil panen (Ellis et al (1992), Nusril dan Sukiyono (2007), dan Kusnadi et al (2008)). Artinya, petani membayar jasa pemanenan atau pekerjaan dengan menyisihkan atau membagi hasil panen yang

didapat dengan proporsi tertentu. Di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat dikenal

dengan dua sistem panen natura, yaitu sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka

adalah panen yang dilakukan yang hanya oleh segelintir kelompok buruh tani saja,

sedangkan sistem terbuka panen bebas dilakukan oleh siapapun. Sistem tertutup

menggunakan pembagian proporsi panen bervariasi antara 1:4 hingga 1:6,

Sedangkan untuk sistem terbuka, pembagian panen yang digunakan yaitu proporsi

(28)

(Kusnadi et al, 2008). Makin sulit tenaga kerja, maka rasio atau proporsi yang digunakan semakin kecil. Atau dengan kata lain, semakin sulit tenaga kerja, maka

bagian yang diterima atau dibayarkan petani dari hasil panennya semakin banyak.

Nusril dan Sukiyono (2007) dalam studinya hanya menyebutkan bahwa petani

harus menyisihkan hasil panenya sebanyak satu per enam bagian. Hal itu

disebabkan studi yang dilakukan hanya dalam lingkup desa, sehingga variasi

pembagian lebih bersifat homogen. Begitu juga petani kentang dan jagung di

India masih membayar tenaga kerja dengan hasil panen, namun proporsinya

terbilang kecil, yaitu kurang dari 10 persen dari total produksi (Sadhu (2011) serta

Chauchan dan Chabbra (2005)).

Selain untuk natura panen dan tenaga kerja, petani juga mengalokasikan

panennya untuk pembayaran sewa lahan. Sewa lahan di Jawa dalam Ellis et al

(1992) masih banyak yang menggunakan sistem bagi hasil panen. Pembagian

hasil panen yang digunakan umumnya 1:1 antara penggarap dan pemilik,

sedangkan pembagian lain yang ditemukan namun hanya dalam jumlah kecil yaitu

1:2. Variasi proporsi 1:2 juga ditemukan dalam Nusril dan Sukiyono (2007).

Pembagian 1:1 timbul karena biaya usahatani ditanggung bersama oleh pemilik

dan petani penggarap sedangkan pembagian 1:2 disebabkan biaya usahatani

ditangung oleh pemilik lahan.

Petani juga membayar faktor produksi dengan hasil panen (Nusril dan

Sukiyono, 2007). Dikarenakan minimnya uang tunai, petani meminjam pupuk

kemudian membayarkannya dengan hasil panen setelah panen berlangsung.

Pembayaran hasil panennya yaitu 50 kg pupuk dibayar dengan 3,5 kaleng gabah

atau 56 kg gabah atau satu kilogram gabah untuk satu kilogram pupuk. Sistem

tersebut merugikan petani, karena harga gabah relatif lebih tinggi dari harga

pupuk per kilogramnya.

Setelah mengeluarkan hasil panennya untuk berbagai kewajiban, maka

petani telah mendapatkan hak sepenuhnya dari hasil panen tersebut (marketable surplus). Sebenarnya petani bisa menjual seluruhnya dari marketable surplus

tersebut. Namun dalam kenyataannya berdasarkan studi-studi yang telah

(29)

untuk berbagai keperluan, yaitu: konsumsi keluarga, penjualan, benih, dan ongkos

giling.

Petani masih mengalokasikan sebagian produknya untuk konsumsi rumah

tangga (Nusril dan Sukiyono (2007), Kusnadi et al(2008) dan Ellis et al(1992)). Proporsi dari hasil panen menunjukkan proporsi konsumsi yang bervariasi, namun

masih berada di bawah 10 persen dari panen total. Namun proporsi yang lebih

besar ditunjukkan pada Siregar (1990). Hal itu dibabkan luasan lahan yang

diusahakan petani rata-rata di bawah satu hektar. Untuk tingkat konsumsi rumah

tangga, ada kecenderungan penurunan konsumsi rumah tangga petani di Pulau

Jawa. Pada Ellis et al(1992), menunjukkan bahwa konsumsi beras di Jawa lebih besar dibandingkan dengan luar Jawa. Kemudian pada Kusnadi et al(2008) ada perubahan bahwa konsumsi di Jawa rendah dari luar Jawa.

Selain itu, petani juga masih menyisihkan hasil panennya untuk digunakan

sebagai benih pada musim tanam yang akan datang. Sadhu (2011) serta Chaucan

dan Chabbra (2005) mengungkapkan bahwa petani masih menyisihkan hasil

panennya untuk benih. Namun benih yang disisihkan hanya sebatas untuk

keperluan benih lahan sendiri sehingga proporsinya masih relatif kecil, yaitu 2

persen dari total produksi.

Penyimpanan atau stok juga dilakukan oeh petani (Ellis et al, 1992). Ditemukan bahwa petani khususnya petani padi masih menyisihkan hasil panen

untuk disimpan. Namun dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan secara rinci

penggunaan dari penyimpanan atau stok tersebut, melainkan hanya di jelaskan

besaran penyimpanan yang dilakukan petani di setiap musim.

Kelebihan atau selisih konsumsi atau hasil panen yang disihkan dengan

produksi baru dijual oleh petani (marketed surplus). Proporsi marketed surplus

yang ditemukan berbeda di setiap penelitian. Proporsi yang tinggi ditunjukkan

oleh Kusnadi et al(2008), Ellis et al(1992) serta Dwi (2007) yang menunjukkan bahwa rata-rata petani padi menjual lebih dari setengah produksi atau panen kotor

yang dihasilkan. Sedangkan pada Siregar (1990) serta Nusril dan Sukiyono (2007)

menunjukkan bahwa proporsi penjualan petani kurang dari setengah bagian dari

produksi total. Hal ini disebabkan karena perbedaan rata-rata luasan lahan padi

(30)

juga ditemukan pada komoditi sayuran. Mehta dan Chaucan (1996) dalam Sadhu

(2011) serta Praminik dan Prakash (2010) mengungkapkan bahwa marketed surplus sayuran di India mencapai lebih dari 95 persen. Hal itu bisa dikatakan wajar, karena sayuran umumnya bukan merupakan pangan utama dan masa

penyimpanannya pun relatif singkat sehingga jumlah marketed surplus yang muncul bisa tinggi.

Marketed surplus yang dimaksud bukan hanya penjualan yang dilakukan saat panen saja atau dalam bentuk gabah kering panen, tetapi juga penjulan dalam

bentuk gabah kering simpan atau kering giling. Dalam Kusnadi et al (2008) dan Ellis et al(1992) disebutkan bahwa petani menjual gabahnya secara sekaligus dan bertahap. Penjualan sekaligus adalah penjualan yang dilakukan petani dengan

menjual seluruh hasil panen secara sekaligus atau hanya dilakukan dalam satu

waktu. Cara ini biasanya dilakukan dengan tebas. Sedangkan cara penjualan

bertahap adalah penjualan yang dilakukan petani dengan menjual secara bertahap

atau dilakukan lebih dari satu waktu. Hal ini bisa berbagai kemungkinan, yaitu:

1). Petani menjual saat panen kemudian menyimpan sebagian hasil panen dan

dijual di kemudian hari 2). Petani menyimpan seluruh hasil panen kemudian

menjualnya secara bertahap di kemudian hari.

Pengeluaran atau alokasi lain yang dikeluarkan oleh petani yaitu

pembayaran zakat dan ongkos giling gabah menjadi beras. Nusril dan Sukiyono

(2007) dalam studinya mengungkapkan bahwa petani membayar zakat panen dan

ongkos giling masih dalam bentuk natura atau hasil panen. Proporsi untuk

membayar zakat yaitu 10 persen dari total produksi sedangkan untuk ongkos

giling padi petani harus mengeluarkan seper lima belas dari gabah yang akan

digiling.

2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketeddan Marketable Surplus

Dari studi-studi empiris yang telah ditulis, marketable dan marketed surplus bisa dipegarui oleh beberapa faktor. Namun dari studi-studi tersebut menunjukkan bahwa di setiap daerah atau komoditi mempunyai faktor-faktor

yang berbeda atau mempunyai ciri khas dalam mempengaruhi marketed atau

(31)

Metode yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi marketable maupun marketed surpluspada penelitian sebelumnya umumnya menggunakan regresi linear. Karena regresi linear adalah metode yang

sederhana tetapi cukup menggambarkan pengaruh-pengaruh farktor terhadap

marketedmaupun marketable surplus.

Marketed surplusdi daerah yang terspesialisasi sistem budidayanya lebih tinggi dari pada daerah yang kurang terspesialisasi (Ellis et al (1992), Edmeades (2006), dan Kusnadi et al (2008)). Hal tersebut ditunjukkan dengan informasi bahwa marketed surplusdi Pulau Jawa lebih besar daripada di Luar Jawa. Sistem budidaya di Pulau Jawa relatif lebih bagus infrastrukturnya bisa memberikan hasil

produksi yang lebih tinggi dan pola tanam yang lebih teratur dari pada di Luar

Jawa. Dengan tingkat konsumsi yang lebih rendah, maka marketed surplus di Pulau Jawa sebagai daerah terspesialisasi menjadi lebih tinggi.

Ukuran atau jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap

besaran marketed surplus (Bhakta (1983), Nusril dan Sukiyono (2007), serta Kusnadi et al (2008)). Hal ini disebabkan semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka jumlah hasil yang disisihkan untuk memenuhi konsumsi

sehari-hari beras rumah tangga akan semakin besar. Akibatnya hal ini akan memperkecil

jumlah marketed surplus. Chaucan dan Chabra (2005) serta Edmeades (2006) juga menunjukkan hal tersebut.

Tingkat produksi berpengaruh positif dan nyata terhadap besaran marketed surplus (Bhakta (1983), Chaucan dan Chabra (2005), serta Nusril dan Sukiyono (2007)). Semakin besar jumlah produksi maka jumlah yang dijual oleh petani

akan semakin besar pula, karena konsumsi keluarga besarannya cenderung tetap.

Berbeda dengan Kusnadi et all(2008) dan Siregar (1990) serta Edmeades (2006) dan Idumathi (1984), yang dalam hasil studinya menyebutkan bahwa yang

berpengaruh nyata dan positif yaitu luasan lahan yang dikuasai. Hal itu

disebabkan karena konsumsi keluarga tidak dipengaruhi oleh besaran produksi.

Namun baik itu faktor tingkat produksi maupun luas lahan, keduanya mengacu

pada hasil produk yang dihasilkan. Semakin luas lahan yang dikuasai petani,

(32)

produksi maupun luas lahan jika meningkat akan meningkatkan marketed surplus

juga.

Pengaruh harga juga ditunjukkan Chaucan dan Chabra (2005), Nusril

(2007), Nuryanti et al(2000), dan Kusnadi et al (2008) serta Amarender (2009). Harga di pasaran akan mempengaruhi jumlah hasil panen yang dijual oleh petani.

Semakin tinggi harga hasil panen, maka jumlah hasil panen yang dijual akan

semakin tinggi pula. Hal ini disebabkan petani khusunya petani yang bersifat

komersial, akan terpacu untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan

meningkatkan marketed surplussaat ada kenaikan harga.

Pendapatan luar usahatani juga berpengaruh positif dan nyata terhadap

besaran marketed surplus (Nusril dan Sukiyono (2007), Mubyarto (1970), dan Edmeades (2006)). Semakin besar pendapatan luar usahatani, maka bisa dikatakan

tingkat kesejahteraan petani semakin tinggi sehingga kebutuhan konsumsi beras

rumah tangga bisa dipenuhi dengan membelinya di pasar. Namun kesejahteraan

petani juga bisa diukur dari pendapan total rumah tangga. Pendapatan rumah

tangga yang tinggi, dalam hal ini penjumlahan pendapatan usahatani dan luar

usahatani, akan mendorong marketed surplus yang tinggi pula (Kusnadi et al, 2008). Hal itu dikarenakan petani yang penghasilan rumah tangganya tinggi, akan

merasa mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, dalam hal ini konsumsi beras

dengan membelinya dari pasar, sehingga tidak perlu menyisishkan dari produknya

yang berdampak meningkatnya maketed surplus.

Status kepemilikan lahan berpengaruh terhadap besaran marketed surplus

(Nusril dan Sukiyono (2007) dan Edmeades (2006)). Petani yang status lahannya

hak milik, besaran marketed surplusnya akan lebih tinggi. Hal itu disebabkan patani dengan lahan milik sendiri tidak harus membayar sewa lahan sebagai

timbal balik penggunaan lahan. Sewa lahan yang digunakan petani yaitu tidak

dengan sistem tunai, tetapi dengan natura atau pembayaran dengan proporsi hasil

panen tertentu, sehingga petani dengan status lahan hak milik marketed surplusnya akan lebih tinggi.

(33)

tiap daerah berbeda-beda dalam menyikapi musim tanam ini. Hal ini juga sesuai

dengan Shah (2007). Namun, dalam studi-studi yang ditemukan, tidak dijelaskan

mengapa petani menambah stoknya di waktu-waktu tersebut, tetapi hanya lebih

dijabarkan mengenai peningkatan besaran dari simpanan atau stok yang dilakukan

petani tersebut

Usia dan pendidikan petani berpengaruh positif terhadap marketed surplus

(McDowell (1997) dalam Nuryanti et al (2000)). Umur yang terlalu lanjut atau terlalu muda menyebabkan keluarga tidak mampu atau enggan melakukan

kegiatan pasca panen. Hal ini berdampak pada pilihan menjual lebih banyak

produk yang dihasilkan sehingga besaran marketed surplussemakin besar.

Selain itu, Kumar dan Mruthyunjaya (1989) dalam Nuryanti et al (2000) mengemukakan bahwa petani akan menjual lebih banyak agar keuntungan yang

diperoleh bisa mengkompensasi kesulitan yang telah dialami. Bagi petani, sarana

untuk menyimpan dan menjemur gabah adalah sebuah kesulitan karena

panyimpanan dan penjemuran gabah membutuhkan ruang yang luas dan biaya

jika stok tersebut menggunkan fasilitas pihak lain. Sehingga, fasilitas pasca panen

seperti luas atau kapasitas penjemuran dan penyimpanan hasil panen petani

berpengaruh positif terhadap marketed surplus.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari temuan studi-studi yang

telah dilakukan, petani saat ini masih bersifat subsisten atau semi subsisten. Hal

tersebut disebabkan petani masih mengalokasikan sebagian produk atau hasil

panennya untuk berbagai keperluan selain penjualan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi besaran penjualan atau marketed surplus pun ditemukan berbeda baik itu di setiap komoditi maupun di setiap daerah.

Dalam penelitian ini akan diidentifikasi dan dianalisis pola alokasi produk

atau hasil panen petani dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus. Hanya saja, lingkup penelitian ini difokuskan pada komoditi padi di satu daerah, yaitu di Kabupaten Karawang. Selain itu, penelitian ini akan mencoba

menemukan perbedaan pola alokasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi

(34)

pola usahatani padi sawah, tetapi juga pola usahatani padi ladang, seperti yang

(35)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep

marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya. Adapun uraian secara lengkap dapat dijelaskan dalam sub-bab berikut :

3.1.1 Marketabledan Marketed Surplus

Ada banyak pengertian mengenai marketed dan marketable surplus yang telah berkembang sampai saat ini. Krishna dalam Newman (1977) mendefinisikan

marketable surplus sebagai hasil panen setelah dikurangi konsumsi. Barter, transfer, dan pemberian termasuk dalam konsumsi tersebut. Dalam penelitiannya,

Nusril dan Sukiyono (2007) mendefinisikan marketable surplus sebagai jumlah produksi yang dapat dipasarkan setelah dikeluarkan alokasi produksi yang

benar-benar dikeluarkan petani dalam bentuk natura atau bagian dari hasil panen.

Dari definisi-definisi yang didapat, ada yang menyamakan dan

membedakan antara marketable dan marketed surplus itu sendiri. Namun sebenarnya, konsep marketable dan marketed surplus berbeda. menurut Kusnadi

et al(2008), marketable surplusadalah jumlah potensial yang dapat dijual petani. Pengertian tersebut paling sesuai dengan keadaan petani saat ini. Hal itu

disebabkan meskipun marketable surplus tersebut dapat dijual, tetapi dalam kenyataannya belum tentu semua produk tersebut dijual oleh petani, tetapi

dialokasikan untuk kepentingan lain.

Jika dikaitkan dengan kondisi petani padi di Indonesia saat ini dan

studi-studi yang telah dilakukan, maka marketable surplus adalah jumlah hasil panen dikurangi oleh pembayaran natura.

Marketable surplus = hasil panen – pembayaran natura ...(1)

Marketable surplus pada persamaan (1) terdiri dari hasil panen lahan yang diusahakan sendiri oleh petani ditambah dengan hasil panen lahan yang

disakapkan atau digarap oleh petani lain, tetapi pembayaran sewanya

(36)

dari simpanan gabah musim lalu. Sedangkan natura terdiri dari pembayaran yang

dilakukan selama proses usahatani sampai dengan pemanenan yang

pembayarannya meggunakan bagian hasil panen. Pembayaran secara natura terdiri

dari pembayaran zakat panen, input produksi, pembayaran tenaga kerja selama

proses budidaya sampai dengan pemanenan.

Lain halnya dengan marketed surplus. Marketed surplusmenurut Mark D Newman (1977), mendefinisikan marketed surplus sebagai porsi dari produksi yang dijual ke pasar. Dalam pelaksanaanya, petani sering kali menyimpan

sebagian hasil panennya sebagai persediaan untuk konsumsi rumah tangga, benih,

dan stok cadangan atau penjualan bertahap.

Marketed Surplus = Marketable Surplus – konsumsi......(2)

Marketable surplus adalah bagian produksi bersih yang bisa dijual oleh petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan marketable surplus jika petani tidak menyisihkan hasil panennya untuk konsumsi rumah tangga, tetapi

menjual seluruhnya dari hasil panen tersebut. Konsumsi rumah tangga yang

dimaksud adalah konsumsi untuk benih dan konsumsi beras rumah tangga. Petani

biasanya menyimpan kebutuhan konsumsi dan benih dalam bentuk cadangan atau

stok.

Stok atau penyimpanan dilakukan petani dengan berbagai jenis tujuan,

diantaranya untuk benih musim tanam selanjutnya, persediaan konsumsi dan

cadangan untuk dijual sewaktu-waktu (dijual bertahap).

Hasil petani tidak semuanya dijual ke pasar, tetapi dialokasikan untuk

(37)
[image:37.612.126.512.88.225.2]

Gambar 4. Skema alokasi produksi padi petani

Dalam Gambar 4 dapat dilihat bahwa besaran marketed surplus adalah sebagian dari hasil panen petani. Besaran marketed surplus akan sama dengan

marketable surplus jika petani menjual seluruh hasil panennya dengan kata lain tidak melakukan penyimpanan atau stok.

Menurut BPS (2003), stok adalah sejumlah bahan makanan yang disimpan

atau dikuasai oleh pemerintah atau swasta yang dimaksud sebagai cadangan dan

akan digunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Secara umum, pemegang stok

gabah ada dua, yaitu pemerintah dan masyarakat. Stok gabah pemerintah

dipegang oleh Bulog sedangkan stok di masyarakat salah satunya dipegang oleh

petani.

Petani umumnya menyimpan sebagian gabah hasil panennya untuk

kebutuhan konsumsi, benih, dan pakan ternak (Mears, 1981). Selain itu, petani

juga bisa bersplekulasi menyimpan gabah mereka untuk dijual saat harga naik

setelah panen.

3.1.2 Hubungan Corak Usahatani dengan Marketed Surplus

Berdasarkan ciri ekonomi, dikenal dua corak usahatani yakni usahatani subsisten dan pertanian komersial. Usahatani subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian yang dihasilkan hanya

untuk memenuhi konsumsi keluarga dan tidak dijual. Usahatani komersial berada

pada sisi berlainan dengan usahatani subsisten. Umumnya usahatani komersial

menjadi karakter perusahaan pertanian (farm) di mana pengelola usahatani telah produksi

Net Harvest

(Marketable surplus) Sisa stok

sebelum panen

Hasil dari lahan yang diusahakan petani lain

Dijual

(marketed surplus) penggunaan

konsumsi dan benih

(38)

berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan

seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi sendiri.

Usahatani dalam makna subsisten adalah usahatani yang dikelola oleh

petani dan keluarganya. Karena dikelola oleh petani dan keluarganya, umumnya

petani mengelola lahan milik sendiri atau lahan sewa yang tidak terlalu luas

karena tenaga kerja yang tersedia terbatas. Usahatani tersebut dapat diusahakan di

tanah sawah, ladang dan pekarangan. Hasil yang mereka panen biasanya

digunakan untuk konsumsi keluarga, jika hasil panen mereka lebih banyak dari

jumlah yang mereka konsumsi mereka akan menjualnya ke pasar (Soekartawi,

1986). Jadi, pertanian dalam arti sempit dapat dicirikan oleh sifat subsistensi atau

semi komersial. Ciri lain usahatani subsisten adalah tidak adanya spesifikasi dan

spesialisasi. Mereka biasa menanam berbagai macam komoditi. Dalam satu tahun

musim tanam petani dapat memutuskan untuk menanam tanaman bahan pangan

atau tanaman perdagangan. Adapun bila usahatani telah dilakukan secara efisien

dalam skala besar dengan menerapkan konsep spesialisasi komoditi maka

karakteristik pertanian bergeser ke arah komersialisasi. Selain itu, pada usahatani

subsisten, kontak antara petani dan pasar sangat minim, bahkan tidak ada.

Perilaku ekonomi mempunyai tiga hal yang patut diperhatikan yaitu

risiko, ketidakpastian, serta keuntungan (Scott,1981) dalam Metro (2005). Istilah

risiko dan ketidakpastian dimaksudkan kepada terjadinya kemungkinan

kekurangan bahan makanan pokok di masa yang akan datang. Usahatani subsisten

juga tidak berorientasi seberapa besar keuntungan yang bisa didapat dengan

penjuala hasil produk usahatani, karena hasilnya diprioritaskan untuk memenuhi

konsumsi rumah tangga.

Scott (1981) dalam Metro (2005), menjelaskan adanya perilaku enggan

menerima risiko dalam pengambilan keputusan petani disebabkan oleh adanya

dilema ekonomi petani yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Hal

itu disebabkan kehidupan petani yang umumnya berada di pedesaan begitu dekat

dengan batas subsistensi dan karena itu kondisi tersebut menyebabkan rumah

tangga petani tidak banyak mempunyai peluang untuk menerapkan keuntungan

(39)

Sifat khas yang senantiasa ada pada diri petani ialah berusaha menghindari

kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha

memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko. Dengan kata lain

petani berusaha meminimumkan keuntungan subjektif dari kerugian maksimum.

Perilaku demikian yang disebut juga perilaku safety first atau mendahulukan keamanan merupakan ciri umum petani.

Wharton (1964) dalam Kusnadi et al (2008) mengemukakan bahwa ciri subsistensi petani bisa diketahui dengan dua pendekatan kriteria, yaitu kriteria

ekonomi dan kriteria sosial budaya. Kriteria ekonomi meliputi 1). Rasio atau

proporsi produk yang dijual 2). Rasio tenaga kerja upah atau input yang dibeli 3).

Tingkat penggunaan teknologi 4). Pendapatan dan 5). Kebebasan pengambilan

keputusan. Kriteria sosial budaya mencakup 1). Faktor non-ekonomi dalam

pengambilan keputusan 2). Derajat kontak dengan dunia luar (pasar) 3). Bentuk

hubungan personal 4.) perbedaan psikologis.

Jika dikaitkan dengan marketed surplus, maka kriteria rasio produk yang dijual adalah kriteria paling sesuai untuk mengukur subsistensi petani. Semakin

besar rasio atau semakin besar bagian produk yang dijual, maka petani tersebut

semakin komersiil. Hal itu disebabkan pada usahatani komersiil, semakin besar

marketed surplus, maka keuntungan yang bisa diperoleh juga bisa semakin besar.

3.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus

Dalam penelitian ini, ada beberapa hipotesis faktor-faktor yang

mempengaruhi marketed surplus petani. Faktor –faktor yang mempengaruhi

marketed surplus terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor yang berasal dari internal rumah tangga petani itu

sendiri sedangkan faktor eksternal meliputi faktor yang berasal dari luar rumah

tangga petani. Faktor internal meliputi ukuran keluarga, usia petani, pendidikan

petani, dan pengalaman usahatani, sedangkan faktor eksternal meliputi produksi

total, harga, musim tanam, akses sarana pasca panen, dan sumber modal :

1. Jumlah Produksi

Semakin tinggi hasil panen yang diperoleh petani, maka semakin banyak

pula hasil panen tersebut dipasarkan karena jumlah kelebihan hasil panen akan

(40)

tetap, sehingga bila produksi tinggi, maka selisih antara konsumsi dan produksi

yang bisa dijual makin besar atau banyak.

2. Ukuran keluarga

Petani yang subsisten akan menyisihkan sebagian hasil panennya untuk

dikonsumsi sehari-hari. Semakin besar jumlah anggota atau tanggungan rumah

tangga petani, maka jumlah yang disisihkan dari hasil panen akan semakin besar

yang akan mengurangi jumlah panen yang dipasarkan.

3. Pendapatan luar usahatani

Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya dari kegiatan

usahatani, tetapi dapat juga berasal dari luar usahatani. Semakin besar pendapatan

rumah tangga petani, maka tingkat kesejahteraannya pun akan semakin tinggi

sehingga petani bisa menjual seluruh hasil panennya dan berperan sebagai

konsumen untuk memenuhi kebutuhan berasnya.

4. Harga

Petani yang komersial akan berusaha memaksimalkan keuntungan atau

dalam hal ini penerimaan dari penjualan hasil panen padi. Jika harga gabah atau

beras di pasar sedang tinggi, maka petani akan cenderung meningkatkan marketed surplusagar penerimaan yang didapat semakin besar pula.

5. Musim Tanam

Pola tanam di setiap daerah belum tentu sama. Sehingga, musim tanam

akan mempengaruhi jumlah marketed surplus petani karena jeda dari musim ke musim belum tentu sama. Hal itu menyebabkan petani yang subsisten akan

memperhitungkan berapa kebutuhan konsumsi yang akan dia simpan selama jeda

musim tersebut disesuaikan dengan lamanya jeda musim. Semakin lama jeda

musim, maka jumlah produk yang disisihkan akan semakin besar.

6. Usia Petani

Usia dan pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir seseorang. Petani

yang berusia tua diduga akan bersikap lebih subsisten dibandingkan petani yang

berusia muda. Petani yang komersiil akan menjual lebih banyak gabah hasil

(41)

7. Pendidikan petani

Pendidikan erat kaitannya dengan pola pikir petani. Petani yang

berpendidikan cencerung akan berusaha mendapat hasil atau keuntungan yang

maksimal dari lahan yang diusahakannya. Sehingga, petani yang berpendidikan

akan mejual lebih banyak daripada petani yang kurang berpendidikan.

8. Akses sarana pasca panen gabah

Sarana pasca panen terdiri dari gudang penyimpanan gabah dan lantai

jemur. Jika petani mempunya akses keduanya, maka petani tersebut akan

cenderung menyimpan gabahnya untuk dijual di kemudian hari saat harga gabah

lebih baik. Pendekatan pengukuran variabel ini adalah dengan luasan lantai jemur

atau akses jemur, dan tempat petani menyimpan persediaan gabahnya (storage). 9. Status Penguasaan Lahan

Status penguasaan lahan secara teoritis akan berpengaruh negatif terhadap

marketed surplus. Hal tersebut dikarenakan petani yang mengusahakan lahan bukan miliknya sendiri akan dikenakan biaya tambahan atau biaya sewa, yang

sebagian besar sewanya menggunakan sistem bagi hasil panen antara petani

pangarap dan pemilik lahan.

10. Sumber Modal

Petani yang modal usahataninya berasal dari pinjaman akan cenderung

meningkatkan marketed surplus. Hal itu disebabkan selain untuk mendapat

keuntungan, petani juga menjual lebih banyak produknya untuk membayar modal

pinjaman yang dipinjamnya tersebut.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini masih

bergantung pada produksi padi petani lokal. Namun, produksi padi masih belum

mencukupi kebutuhan masyarakat. Penyediaan beras atau padi sebagai bahan

pangan utama masih mengandalkan padi yang diproduksi oleh petani dalam

negeri yang mana adalah marketed surplusdari para petani itu sendiri.

Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten.

Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Dengan rata-rata

kepemilikan 0,6 hektar maka sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan

(42)

memasarkannya (marketed surplus). Adanya kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan produksi padi, seperti kebijakan pupuk bersubsidi dan harga

pembelian pemerintah (harga dasar). Selain itu juga, kemudahan akses pasca

panen yang semakin mudah diduga bisa mengubah padi dari komoditi subsisten

menjadi komoditi komersial.

Kuat dugaan, petani dengan kondisi seperti ini, tidak lagi menyimpan

gabahnya, melainkan dijual seluruhnya, sedangkan untuk keperluan konsumsi

petani bisa membelinya dari pasar. Diduga ada pergeseran pola perilaku petani

dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh

hasil panennya yang bisa mempengaruhi supply padi atau beras ke masyarakat. Artinya, padi yang pada dasarnya komoditi subsisten bisa berubah menjadi

komoditi komersial.

Di sisi lain, pola usahatani padi bukan hanya pola usahatani yang berbasis

lahan basah atau sawah, melainkan juga pola usahatani yang bebasis lahan kering

atau ladang. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji corak usahatani padi pada

kedua pola usahatani tersebut baik dalam perilaku alokasi produk maupun

(43)
[image:43.612.44.553.60.768.2]

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan pemerintah

Pola Alokasi Produk

Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus

petani

Kesimpulan marketed surplus

Saran

Kondisi Pasar Kelembagaan dan budaya

Faktor internal Faktor eksternal Pola Usahatani padi

(sawah dan Ladang)

(44)

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada petani padi di Kabupaten Karawang, Propinsi

Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar petimbangan bahwa Kabupaten Karawang adalah salah satu sentra padi terbesar di

Jawa Barat. Produksi padi Kabupaten Karawang adalah sebesar 1.067.691 ton,

atau 10% dari produksi padi Jawa Barat (2009). Selain itu, laju industrialisasi di

Kabupaten Karawang cukup tinggi. hal ini diduga berdampak kepada karakter

sosial ekonomi petani. Pertimbangan lokasi dan waktu penelitian didasarkan atas

penguasaan masalah, keterbatasan dana, waktu, dan kemampuan yang dimilki

oleh peneliti. Waktu penelitian dilaksanakan dari Maret hingga Agustus 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Penelusuran dan pencarian informasi data penelitian menggunakan data

sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dengan penelusuran bahan

pustaka berupa buku, hasil penelitian, website, serta lembaga pemerintahan. Data

primer diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dilakukan dengan wawancara

responden yaitu petani padi padi sawah dan padi ladang. Kuesioner yang

diberikan berupa pertanyaan terstruktur tertutup dan terbuka.

Data primer juga diperoleh langsung di tempat penelitian dan wawancara

dengan petugas penyuluh pertanian. Data primer merupakan data mentah sehingga

masih diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk

tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan. Jenis dan sumber data

(45)

Tabel 8. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis Data Sumber Data

Data Primer :

Karakteristik Petani dan Keluarga,

Usahatani Total, Usahatani Padi,

Konsumsi Rumah Tangga, Pendapatan

Rumah Tangga, Saluran Penjualan

Gabah, Sarana Pascananen Gabah

Petani

Petani

Data Sekunder :

Data Luas Lahan,Luas Panen,

Produktivitas, dan Gambaran Umum

Daerah, Harga Gabah

Badan Pusat Statistik, Dinas

Pertanian Kabupaten Karawang,

Pemerintah Desa.Balai Penyuluh

Pertanian, data elektronik (internet)

4.3. Metode Penentuan Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap dengan

metode judgement, cluster, stratified sampling, simple random sampling, dan snowball sampling.

Metode judgement digunakan untuk menentukan lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Karawang berdasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Karawang

adalah salah satu sentra beras di Jawa Barat dan supplierterbesar beras ke daerah perkotaan di sekitarnya, seperti Jakarta, Bekasi, dan Kota Bekasi. Metode cluster dan stratified digunakan untuk mengelompokkan kecamatan-kecamatan yang merupakan sentra padi sawah dan ladang di Kabupaten Karawang. Kabupaten

Karawang kemudian dikelompokkan menjadi beberapa kecamatan yang terdapat

(46)

Tabel 9. Data Luas Lahan Sawah dan Ladang Hasil Metode Cluster

Kecamatan Luas Lahan Sawah

(ha)

Luas Lahan Padi Ladang

(ha)

Tempuran 6.640

-Cilamaya Wetan 5.121

-Ciampel 840 200

Pangkalan 2.230 500

Sumber : Badan Pusat Statistik 2010 (diolah)

Metode cluste

Gambar

Tabel 2. Data Konsumsi Pangan Per Kapita Indonesia
Gambar 1. Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010
Gambar 2. Pola Musim Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2010-2011
Gambar 3. Perbandingan Harga Gabah Kering Panen Petani di Kab.Karawang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan hasil belajar salah satunya yaitu motivasi, untuk meningkatkan motivasi dari peserta didik khususnya dalam

5.2 Membuat alat penilaian.. Persiapan atau perencanaan adalah sesuatu hal yang sangat penting yang harus dikerjakan oleh seorang guru atau calon guru. Perencanaan yang

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa genogram merupakan suatu alat bantu atau teknik untuk membantu siswa dalam penyelesaian masalah kariernya yang

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitri Nurhayati (2012) terhadap peserta didik kelas VIII SMP menunjukkan bahwa LKS dengan pendekatan open ended baik untuk

Komunikasi antar organisasi akan memberikan keberhasilan kebijakan jika dilakukan komunikasi ataupun koordinasi antara pelaksana kebijakan. Komunikasi antarorganisasi

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisa, mendesain, dan membangun aplikasi sistem informasi online shop untuk Komunitas E-UKM Surabaya

In the area of language learning and teaching, a new reference framework has been published that aims at a kind of language learning in which learners are able to enhance their

Perkembangan teknologi otomotif yang pesat saat ini berdampak terhadap majunya alat transportasi, terutama sepeda motor. Sepeda motor adalah salah satu wujud barang