• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Role of Zooplankton in Nutrient Dynamic in Lampung Bay Using 3-Dimensional Hydrodynamic Model and Biogeochemical Model

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Role of Zooplankton in Nutrient Dynamic in Lampung Bay Using 3-Dimensional Hydrodynamic Model and Biogeochemical Model"

Copied!
369
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN ZOOPLANKTON DALAM DINAMIKA NUTRIEN

DI TELUK LAMPUNG MENGGUNAKAN GABUNGAN

MODEL HIDRODINAMIKA 3-DIMENSI

DAN MODEL BIOGEOKIMIA

EKO EFENDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk Lampung Menggunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3-Dimensi dan Model Biogeokimia”adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)
(4)

iii

ABSTRACT

EKO EFENDI. The Role of Zooplankton in Nutrient Dynamic in Lampung Bay Using 3-Dimensional Hydrodynamic Model and Biogeochemical Model. Under the supervision of JOHN ISKANDAR PARIWONO and RICHARDUS

KASWADJI.

This research is conducted by developing an ecosystem model in order to understand and quantify the role of zooplankton in aquatic ecosystem nutrient dynamic. The hydrodynamic simulation is executed using Estuarine Lake and Coastal Model (ELCOM) and the biogeochemical model using Computational Ecosystem Dynamic Model (CAEDYM) developed by Center for Water Research University of Western Australia (CWR-UWA). Horizontally, the distribution pattern of simulated ecosystem variables correlate well with with the observed data. The concentration ammonium, nitrate, phosphorous, total organic carbon and chlorophyll-a are higher in the inner part of bay and decrease gradually toward the outer part. Vertically, the distribution of NH4 and total organic carbon are higher at the bottom, while NO3, PO4, and chlorophyll- a are higher at the surface. Zooplankton biomass has lower concentration at inner part and tend to be higher at surface.The result of simulated total carbon agrees with the observed data, but simulated total biomass is lower than observed. Zooplankton biomass is

represented in average approximately 30% of total carbon biomass. Carbon flux from phytoplankton grazing by zooplankton is about 51 - 76% of monthly carbon assimilated in primary productivity, while Particulate Organic Carbon (POC) grazing by zooplankton has an average of 4%. Carbon flux assimilated from zooplankton to POC pool ranged between 6 – 12% toward carbon assimilated from primary productivity. Average of phosphorous flux through remineralisation process of zooplankton excretion is 20.52%. Role of zooplankton in flux nitrogen through excretion ranges between 7.1 – 30.34% of the total uptake phytoplankton. Keywords : model, ELCOM-CAEDYM, zooplankton, carbon, nitrogen,

(5)
(6)

v

RINGKASAN

EKO EFENDI. Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk Lampung Menggunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3 Dimensi dan Model

Biogeokimia. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO dan RICHARDUS KASWADJI

Penelitian ini dilatarbelakangi permasalahan bagaimana peran zooplankton dan seberapa besar peran zooplankton dalam dinamika nutrien, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisi dan mengkuantifikasi peran

zooplankton dalam dinamika nutrien di ekosistem perairan. Simulasi model hidrodinamika dan model ekosistem di perairan Teluk Lampung dilakukan pada posisi 5.4007 - 5.7738 LS dan 105.1354-105.6210 BT. Simulasi hidrodinamik menggunakan Estuarine Lake and Coastal Model (ELCOM) dan model ekosistem menggunakan (Computational Aquatic Ecosystem Dynamic Model (CAEDYM) yang dikembangkan oleh Center for Water Research-University of Western Australia (CWR-UWA). Untuk dapat menyatakan hasil simulasi berhasil baik atau dapat diterima dilakukan dengan membandingkan data lapangan dan data hasil simulasi dengan melakukan uji kecocokan dengan pendekatan normalisasi kesalahan mutlak dirata-ratakan (NMAE). Analisis sensitivitas dilakukan pada parameter dalam model CAEDYM yang diasumsikan memiliki peran penting dalam perubahan variabel dengan menambahkan nilai masing-masing 10% dari nilai standar.

Hasil simulasi pola sirkulasi arus di Teluk Lampung pada saat pasang purnama menunjukkan bahwa pada kondisi pasang tertinggi arus dominan

bergerak dari arah selatan menuju utara atau arus bergerak masuk dari mulut teluk menuju ke kepala teluk. Sebaliknya pada saat kondisi surut terendah arus

cenderung bergerak dari utara ke selatan atau keluar dari teluk. Pola sebaran horisontal temperatur memiliki kisaran yang relatif homogen, dan terjadi adanya peningkatan temperatur mulai bulan Mei hingga Agustus. Pola sebaran horisontal salinitas hasil simulasi menunjukkan adanya perubahan atau gradien salinitas antara bagian dalam teluk dan bagian luar teluk yang dipengaruhi oleh adanya asupan air tawar yang bermuara dari kedua sungai yang ada di kepala teluk.

Hasil verifikasi data meteorologi secara umum menunjukkan bahwa nilai data hasil pengamatan menunjukan kisaran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan data masukan model. Hasil validasi parameter fisik yang meliputi

(7)

vi Secara umum pola sebaran komponen ekosistem hasil simulasi memiliki kesamaan dengan data hasil obervasi lapangan. Sebaran ammonium, nitrat dan fosfat,total karbon organik, klorofil-a menunjukkan konsentrasi tertinggi berada pada bagian kepala teluk dan terus menurun ke arah luar teluk. Sebaran vertikal NH4 secara spasial cenderung lebih tinggi pada bagian dasar perairan

dibandingkan dengan permukaan. Distribusi vertikal NO3 secara spasial dan temporal menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi terdapat pada lapisan permukaan. Pola sebaran vertikal PO4 secara umum lebih tinggi di lapisan permukaan. Pola sebaran vertikal karbon menunjukan bahwa secara spasial konsentrasi karbon yang lebih berada pada lapisan dalam dibandingkan dengan lapisan permukaan. Sebaran vertikal klorofil-a menunjukkan konsentrasi yang tinggi di lapisan permukaan yang berhubungan dengan ketersediaan cahaya. Pola sebaran spasial menunjukkan bahwa nilai konsentrasi biomassa zooplankton lebih rendah di bagian kepala teluk dibandingkan dengan daerah di dekat mulut teluk. Pola sebaran vertikal zooplankton hasil simulasi menunjukkan kecenderungan distribusi zooplankton berada pada lapisan permukaan.

Nilai korelasi NH4 yang berkisar antara 0.8289 - 0.9831. Kisaran nilai korelasi untuk NO3 adalah 0.8731- 0.9739, untuk PO4 0.8772 - 0.9493, untuk oksigen terlarut 0.8402 - 0. 9452 dan untuk total karbon organik 0.8289 - 0.9832. Nilai korelasi untuk fitoplankton berkisar antara 0.9386 - 0.9484 dan untuk zooplankton berkisar antara 0.9420 - 0.9486. Perhitungan nilai normalisasi rata-rata kesalahan mutlak NMAE simulasi secara umum menghasilkan nilai yang lebih besar, peningkatannya menunjukkan perbandingan yang rendah,

mengindikasikan bahwa secara umum model menyediakan prediksi yang kuat. Simulasi dari total massa karbon umumnya memiliki perbandingan yang baik dengan data lapangan walaupun total biomassa simulasi lebih rendah dari data lapangan. Data hasil observasi lapangan dan data hasil model, biomassa zooplankton direpresentasikan dengan rata-rata mendekati 30% dari total biomassa karbon. Selama periode simulasi karbon yang diasimilasi oleh zooplankton melalui proses grazing fitoplankton diwakili 51 – 76% (rata-rata 65%) dari rata-rata bulanan produktivitas primer, sementara pemangsaan POC oleh zooplankton rata-rata 4%. Fluks karbon yang hasil ekskresi zooplankton berkisar antara 6 sampai 12% (rata-rata 9%). Peran zooplankton dalam fluks nitrogen menyumbang dari hasil ekskresinya dalam kisaran 7.1 – 30.34% terhadap total kebutuhan uptake fitoplankton. Peran zooplankton dalam siklus fosfor

melalui proses remineralisasi ekskresi zooplankton berkisar antara 7.08 – 38.48%. Rasio N:P diperairan hasil simulasi adalah 13.93 yang berarti bahwa terjadi pembatasan unsur N oleh unsur P, sedangkang rasio N:P hasil eksresi zooplankton adalah 26.21 yang berarti zoplankton mengekskresikan unsur N lebih banyak ke perairan.

(8)

vii

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan

suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(9)
(10)

ix

PERAN ZOOPLANKTON DALAM DINAMIKA NUTRIEN

DI TELUK LAMPUNG MENGGUNAKAN GABUNGAN

MODEL HIDRODINAMIKA 3-DIMENSI

DAN MODEL BIOGEOKIMIA

EKO EFENDI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

x Penguji di luar Komisi:

Zainal Arifin, Ph.D

(12)

xi Judul Tesis : Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk

Lampung Menggunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3-Dimensi dan Model Biogeokimia.

Nama : Eko Efendi

Nomor Pokok : C551070051

(13)
(14)

xiii

PRAKATA

Puji syukur yang tak hingga penulis sampaikan Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Peran Zooplankton dalam Dinamika Nutrien di Teluk Lampung Mengunakan Gabungan Model Hidrodinamika 3-Dimensi dan Model Biogeokimia.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. John Iskandar Pariwono dan Bapak Dr. Richardus Kaswadji, M. Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang dengan ikhlas telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Bapak Zainal Arifin, PhD selaku penguji luar komisi atas segala saran dan petunjuk demi kesempurnaan tesis ini.

3. Center for Water Reseach University of Western Australia yang telah menyediakan sumber kode numerik untuk pemodelan

4. Prof. Dr. Mulia Purba yang telah memberikan izin penggunaan Laboratorium Data Prosesing selama penulis mengolah data.

5. Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Pasca Sarjana IPB.

6. Istri tercinta, Ning Ayu dan ananda tersayang Faridh Akhmad Yusuf Effendi dan Farras Athar Latief Effendi, kedua orang tua dan seluruh keluarga besar atas segala doa, pengorbanan, dorongan dan dukungannya.

7. Seluruh rekan angkatan 2007 atas segala bantuannya dan kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis berharap, semoga penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2011

(15)
(16)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1978 merupakan anak tunggal dari pasangan Hadi Poniman dan Siti Dasinem di Tanggamus, Lampung. Penulis masuk Sekolah Dasar (SD) tahun 1983 pada SD Negeri 1 Sumberejo dan tamat tahun 1989. Kemudian melanjutkan studi tahun 1989 pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Sumberejo dan tamat tahun 1992. Setelah menamatkan SMP, penulis melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Talang Padang tamat tahun 1995. Kemudian melanjutkan studi tahun 1995 pada Perguruan Tinggi Universitas Diponegoro pada Fakultas

(17)
(18)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

AIN : Alga Internal Nitrogen

AIP : Algae Internal Phosphorous

ATP : Adenosin Tri Phosphate

BME : Biological Mortality and Excretion

BRE : Biological Respiration

BUP : Biological Uptake

CAEDYM : Computational Aquatic Ecosystem Dynamic Model

CFL : Courant Freidrich Lewy

COHERENS : Coupled Hydrodynamical Ecological Model for Regional Northwest European Shelf Seas

DIC : Dissolve Inorganic Carbon

DIN : Dissolved Inorganic Nitrogen

DIP : Dissolved Inorganic Phosphate

DO : Dissolved Oxygen

DOC : Dissolved Organic Carbon

DOCL : Dissolved Organic Carbon Labile

DOCR : Dissolved Organic Carbon Reactive

DON : Dissolved Organic Nitrogen

DONL : Dissolved Organic Nitrogen Labile DONR : Dissolved Organic Nitrogen Reactive

DOP : Dissolved organic Phosphorous

DOPL : Dissolved Organic Phosphorous Labile DOPR : Dissolved Organic Phosphorous Reactive

DSF : Dissolved Sedimen Flux

ECMWF : European Centre for Medium Range Forcasting ECOHAM : Ecological North Sea Model, Hamburg

ELCOM : Estuarine Lake and Coastal Model

ERSEM : Ecological Modelling Software for Interactive Modelling

FRP : Filterable Reactive Phosphorous

GHER : Geo-Hydrodinamic and Environment Research Model

NetCDF : Network Common Data Format

NMAE : Normalized Mean Average Error

NORWECOM : Norwegian Ecologial Model System

PAR : Photosyntheticaly Active Radiation

POC : Particulate Organic Carbon

POCl : Particulate Organic Carbon Reactive POCR : Particulate Organic Carbon Reactive

POL3dERSEM : Proudman Oceanographic Laboratory 3d ERSEM Model

(19)

xviii

PON : Particulate Organic Nitrogen

PONL : Particulate Organic Nitrogen Labile PONR : Particulate Organic NItrogen Reactive

POP : Particulate Organic Phosphorous

POPL : Particulate Organic Phosphorous Labile POPR : Particulate Organic Phosphorous Reactive

RANS : Reynolds Averaged Navier Stokes

SWAT : Soil and Water Assesment Tool

TKE : Turbulence Kinetic Energy

TOC : Total Organic Carbon

TRIM : Tidal Residual Intertidal Mudflat

USDA-ARS : US Department of Agriculture’s Research Service US-EPA : US Environment Protection Agency

WASP : Water Quality Analysis Program Model

ZIN : Zooplankton Internal Nitrogen

(20)

xix

2.3 Model Hidrodinamika dan Model Ekosistem ... 16

3 METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.2 Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh ... 21

(21)

3.5.3 Konversi Klorofil-a dan Zooplankton ke Karbon ... 28

3.9 Analisa Kecocokan dan Sensitivitas Model ... 67

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

4.1 Model Hidrodinamik Perairan Teluk Lampung ... 69

(22)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Bentuk kehadiran nitrogen pada air permukaan dan air limbah

(diadaptasi dari Vollenweider, 1970) ... 14 2 Bentuk kehadiran fosfor pada air permukaan dan air limbah

(diadaptasi dari Vollenweider, 1970) ... 15 3 Perbedaan fungsi utama pada berbagai model ekosistem ... 19 4 Implementasi proses kunci yang komplek dalam berbagai model ... 20 5 Lokasi pengambilan contoh ... 21 6 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 22 7 Daftar dan deskripsi variabel yang disimulasikan dalam model

CAEDYM ... 56 8 Kisaran magnitudo arus di perairan Lampung pada kondisi pasang

purnama ... 70 9 Verifikasi data masukan model untuk kecepatan angin Tahun 2007 . 75 10 Perbandingan nilai rata-rata bulanan data meteorologis masukan

model dan data BMKG Tahun 2007 ... 76 11 Komponen Pasang Surut ... 77 12 Hasil Normalisasi rata-rata kesalahan mutlak (NMAE) perbandingan

antara hasil simulasi dan data lapangan ... 88 13 Hasil analisis sensitivitas model pada parameter yang digunakan

(23)
(24)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema perumusan masalah untuk mencapai tujuan penelitian ... 5 2 Tiga pompa karbon utama yang membangun pengaturan CO2

atmosferik alami (Heinze et al., 1991) . ... 13 3 Variabel yang terlibat dalam penggabungan model

ELCOM-CAEDYM yang meliputi komponen kolom air dan sedimen (Hipsey

et al., 2009) . ... 18 4 Peta lokasi daerah model dan lokasi pengambilan sampel . ... 22 5 Peta batimetri Teluk Lampung (sumber: Dishidros TNI-AL) . ... 24 6 Pola pasang surut masukan model . ... 24 7 Mawar angin masukan model tahun 2007 pada Bulan Januari (a),

Februari (b), April (c), Mei (d), Juli (e) dan Agustus (f) . ... 26 8 Data meteorologis masukan model . ... 27 9 Ilustrasi garis komputasi Euler-Langrangian 2D menggunakan

interpolasi kuadratik Langrangian (Hodges and Dallimore, 2010) .... 39 10 Skema interpolasi kuadratik Langrangian 3D dengan interpolasi

berurutan dalam k, j kemudian i. Untuk Jelasnya, ilustrasi ini menunjukan interpolasi pada grid yang seragam, bagaimanapun metode ini dapat diterapkan untuk grid tak seragam tanpa adaptasi

lebih lanjut (Hodges and Dallimore, 2010) . ... 40 11 Perkembangan dari lapisan tercampur karena pendinginan permukaan

dan stratifikasi tak stabil (a) stratifikasi stabil pada langkah waktu dimulai, (b) pendinginan permukaan menciptakan profil densitas tak stabil, (c) grid sel tak stabil yang telah tercampur (Hodges and

Dallimore, 2010) . ... 50 12 Interaksi yang mewakili model dalam CAEDYM (diadaptasi dan

digambar ulang dari Hipsey et al., 2009) . ... 55 13 Skema tahapan penggunaan model simulasi ELCOM-CAEDYM

(diadaptasi dan digambar ulang dari Hipsey et al., 2009) ... 67 14 Perbandingan profil vertikal temperatur hasil simulasi (garis

putus-putus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun ... 71 15 Perbandingan data rata-rata bulanan Temperatur (oC) hasil simulasi

() dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal

menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 =

(25)

16 Perbandingan profil vertikal salinitas hasil simulasi (garis

putus-putus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun . ... 74 17 Perbandingan data rata-rata bulanan salinitas (psu) hasil simulasi ()

dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 =

Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) . ... 74 18 Verifikasi pola elevasi pasang surut antara hasil simulasi dan hasil

pengamatan . ... 77 19 Perbandingan data rata-rata bulanan NH4 (mg/L) hasil simulasi ()

dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 =

Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) . ... 85 20 Perbandingan data rata-rata bulanan Oksigen terlarut (mg/L (a), NO3

(mgN/L) (b), PO4 (mgP/L), (c)) dan (d) Karbon organik partikulat (mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 =

Juli dan 8 = Agustus) . ... 86 21 Perbandingan data rata-rata bulanan (a) Klorofil-a (mgC/L) dan (b)

Zooplankton (mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei,

6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus) .. ... 87 22 Hubungan antara nutrien dan fitoplankton . ... 93 23 Fluks karbon (mgC/L/Hari) untuk total produksi (Total Prod),

Pemangsaan fitoplankton (Phy2Zoop) dan pemangsaan POC oleh zooplankton (POC2Zoop), engesti dan mortalitas fitoplankton

(Phy2POC) dan ekskresi dan mortalitas zooplankton (Zoop2POC) .. 94 24 Neraca fluks karbon (mgC/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus

nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009) . ... 96 25 Fluks Nitrogen (mgN/L/Hari) untuk total uptake fitoplankton

(PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton

(PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total

perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux) . ... 97 26 Neraca fluks Nitrogen (mgN/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus

nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009) . ... 99 27 Fluks Fosfor (PO4) (mgP/L/hari) untuk total uptake fitoplankton

(PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton

(PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total

perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux) ... 100 28 Neraca fluks fosfor (mgP/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus

(26)

29 Biomassa karbon data observasi (a), data simulasi (b) yang digambarkan sebagai rata-rata bulanan untuk material detritus, fitoplankton, dan zooplankaton (catatan skala aksis vertikal berbeda)

. ... 104 30 Hubungan tingkat radiasi matahari, total organik karbon (a) dan

biomassa fitoplankton (b) biomassa fitoplankton dan zooplankton

(27)
(28)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam

simulasi CAEDYM di Teluk Lampung ... 121 2 Parameterisasi untuk fitoplankton yang disimulasikan dalam simulasi

CAEDYM di Teluk Lampung ... 123 3 Parameterisasi untuk zooplankton yang disimulasikan dalam simulasi

CAEDYM di Teluk Lampung ... 125 4 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Januari pada kondisi pasang

purnama ... 126 5 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Februari pada kondisi pasang

purnama ... 127 6 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan April pada kondisi pasang

purnama ... 128 7 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Mei pada kondisi pasang

purnama ... 129 8 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Juli pada kondisi pasang

purnama ... 130 9 Pola sebaran arus hasil simulasi bulan Agustus pada kondisi pasang

purnama ... 131 10 Pola sebaran arus potongan membujur barat-timur hasil simulasi pada

kondisi pasang purnama ... 132 11 Pola sebaran arus potongan melintang utara-selatan hasil simulasi

pada kondisi pasang purnama ... 133 12 Perbandingan sebaran horisontal temperatur (oC) rata-rata bulanan

dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ... 134 13 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan temperatur ... 135 14 Perbandingan data rata-rata bulanan Temperatur (oC) hasil simulasi

() dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis

vertikal menunjukkan standar error bulanan . ... 136 15 Persamaan garis korelasi temperatur antara hasil model dan hasil

observasi ... 137 16 Perbandingan sebaran horisontal salinitas (psu) rata-rata bulanan dari

(29)

18 Perbandingan data rata-rata bulanan Salinitas (psu) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal

menunjukkan standar error bulanan . ... 140 19 Persamaan garis korelasi salinitas antara hasil model dan hasil

observasi ... 141 20 Perbandingan sebaran horisontal oksigen terlarut (mg/L) rata-rata

bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ... 142 21 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan oksigen terlarut ... 143 22 Perbandingan data rata-rata bulanan Oksigen Terlarut (mg/l) hasil

simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10,

garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ... 144 23 Persamaan garis korelasi oksigen terlarut antara hasil model dan hasil

observasi ... 145 24 Perbandingan sebaran horisontal NH4 (mg/L) rata-rata bulanan dari

data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ... 146 25 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan NH4 ... 147 26 Perbandingan data rata-rata bulanan NH4 (mg/l) hasil simulasi ()

dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal

menunjukkan standar error bulanan . ... 148 27 Persamaan garis korelasi NH4 antara hasil model dan hasil

observasi ... 149 28 Perbandingan sebaran horisontal NO3 (mg/L) rata-rata bulanan dari

data observasi dan data hasil simulasi . ... 150 29 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan NO3 ... 151 30 Perbandingan data rata-rata bulanan NO3 (mg/l) hasil simulasi ()

dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal

menunjukkan standar error bulanan . ... 152 31 Persamaan garis korelasi NO3 antara hasil model dan hasil

observasi ... 153 32 Perbandingan sebaran horisontal PO4 (mg/L) rata-rata bulanan dari

data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ... 154 33 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan PO4 (mg/L) ... 155 34 Perbandingan data rata-rata bulanan PO4 (mg/l) hasil simulasi ()

dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal

menunjukkan standar error bulanan . ... 156 35 Persamaan garis korelasi PO4 antara hasil model dan hasil

(30)

36 Perbandingan sebaran horisontal rata-rata bulanan karbon organik terlarut data hasil simulasi (mgC/L) dari sebaran horosontal rata-rata bulanan data Karbon organik partikulat (mgC/L) hasil observasi

lapangan ... 158 37 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan karbon organik terlarut ... 159 38 Perbandingan data rata-rata bulanan karbon organik terlarut (mg/l)

hasil simulasi () dan karbon organik partikulat hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10, garis vertikal menunjukkan standar

error bulanan . ... 160 39 Persamaan garis korelasi antara karbon organik terlarut hasil model

dan karbon organik partikulat hasil observasi ... 161 40 Perbandingan sebaran horisontal Klorofil-a (mg/L) rata-rata bulanan

dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ... 162 41 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan Klorofil-a ... 163 42 Perbandingan data rata-rata bulanan Klorofil-a (mgChl/l) hasil

simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10,

garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ... 164 43 Persamaan garis korelasi klorofil-a antara hasil model dan hasil

observasi ... 165 44 Perbandingan sebaran horisontal Zooplankton (mgC/L) rata-rata

bulanan dari data observasi lapangan dan data hasil simulasi . ... 166 45 Pola sebaran vertikal rata-rata bulanan Zooplankton ... 167 46 Perbandingan data rata-rata bulanan Zooplankton (mgC/l) hasil

simulasi () dan data hasil observasi lapangan () di stasiun 1 - 10,

garis vertikal menunjukkan standar error bulanan . ... 168 47 Persamaan garis korelasi zooplankton antara hasil model dan hasil

(31)
(32)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Zooplankton dalam rantai makanan berperan sebagai sumber makanan untuk tingkat trofik yang lebih tinggi. Proses pemangsaaan fitoplankton oleh zooplankton dapat mentransfer lebih dari 50% karbon dari produktivitas primer ke tingkat trofik yang lebih tinggi (Scavia et al., 1988; Laws et al., 2000).

Zooplankton juga memainkan peran penting sebagai pemangsa yang mengontrol populasi fitoplankton dan bakteri (Pomeroy et al., 2007). Zooplankton dapat mempengaruhi struktur komunitas fitoplankton secara langsung melalui

pemangsaan selektif atau secara tidak langsung melalui regenerasi nutrien (Elser et al., 2001; Sterner 1990; Kagami et al., 2006). Berbagai studi telah

menunjukkan penurunan biomassa fitoplankton tergantung dari densitas dan ukuran zooplankton pemangsa (Turner, 2004), laju pemangsaan zooplankton (Peterson et al., 1983), dan kelimpahan fitoplankton yang berkaitan dengan kemampuan fitoplankton untuk mereproduksi selnya (Durbin and Durbin, 1992).

Dari studi pada perairan tawar telah diketahui dengan baik bahwa biomassa dan komposisi spesies fitoplankton yang dipengaruhi asupan nutrien dapat dengan kuat dimodifikasi dengan mengendalikan komunitas pemangsa (Sterner, 1990; Carpenter et al., 1998; Cottingham and Schindler 2000; Cottingham et al., 2004). Cottingham et al. (2004) menunjukkan bahwa zooplankton besar seperti Daphnia spp. dapat mengurangi pengaruh nutrien pada komunitas fitoplankton yaitu dengan ukurannya yang besar sehingga akan mempercepat laju pemangsaan fitoplankton. Pada studi yang lain pengkayaan nutrien yang dikombinasikan dengan tekanan pemangsaan zooplankton yang besar menyebabkan dominasi sel yang resisten terhadap pemangsaan, dimana dominasi spesies Cryptomonas tetrapyrenoidosa digantikan oleh spesies Aphanizomenon flos aquae (Lynch and Saphiro, 1981).

(33)

unsur P yang lebih tinggi dibandingkan dengan Calanoid dan Copepoda (Andersen and Hessen, 1992). Hasil penelitian Urabe et al. (1997) dalam skala laboratorium menunjukan bahwa laju pertumbuhan Daphnia tidak dipengaruhi oleh penambahan unsur P yang lebih tinggi pada fitoplankton, karena Daphnia cenderung mengkonsumsi fitoplankton dengan kandungan unsur P yang lebih rendah.

Ekskresi zooplankton sangat kuat mempengaruhi dinamika trofik dalam ekosistem melalui kontribusi N dan P anorganik untuk produktivitas primer (Lehman, 1980; Sterner, 1990; Vanni, 2002). Urabe et al. (1997) mengestimasi kisaran unsur N dan P yang dimanfatkan oleh fitoplankton 14 - 50% berasal dari hasil eksresi zooplankton. Faktor yang memengaruhi fraksi unsur N dan P termasuk diantaranya adalah kondisi fisik lingkungan, komposisi spesies dan biomassa fitoplankton dan zooplankton, dan rasio nutrien internal. Karena faktor-faktor ini berinteraksi secara dinamis sehingga menjadi sangat sulit untuk

mengkuantifikasi peran zooplankton dalam siklus nutrien. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mencakup proses fisik, kimia dan biologi untuk mempelajari peran zooplankton dalam dinamika nutrient di perairan, sehingga dengan memahami peran mereka dalam distribusi dan fluks nutrien dalam ekosistem akuatik merupakan hal penting untuk manajemen perairan.

1.2 Kerangka Pikir

Perairan Teluk Lampung merupakan salah satu contoh daerah yang wilayah pesisirnya digunakan untuk berbagai kegiatan seperti perikanan tangkap, budidaya mutiara, budidaya ikan, tambak udang, pariwisata, pelayaran, pelabuhan,

permukiman, industri, maupun kegiatan perdagangan. Berbagai kegiatan tersebut akan menghasilkan dampak yang dapat menurunkan kondisi dan mencemari perairan teluk. Pencemaran yang dihasilkan oleh salah satu kegiatan di atas akan menyebar ke kawasan lain oleh gerakan massa air.

(34)

karakteristik arus pasang surut dan pola sedimentasi, Simanjutak (2000) mengkaji sebaran silikat. Damar (2003) mengakaji efek pengkayaan nutrien terhadap

dinamika fitoplankton dan produktivitasnya. Penelitian pemodelan yang dilakukan di Teluk lampung diantaranya dilakukan Mihardja dkk (1995) yang memodel sebaran panas di Tarahan, Koropitan (2003) yang memodelkan ekosistem perairan Teluk Lampung dalam model dua dimensi atau perata-rataan kedalaman,

sedangkan Baskoro (2009) memodelkan pengaruh pembangunan jetti terhadap kapasitas sungai Way Kuripan.

Penelitian pemodelan yang telah dilakukan belum memberikan gambaran yang utuh mengenai interaksi nutrien, fitoplankton dan zooplankton terutama interaksi antara kolom air dan sedimen, karena hanya menggunakan pemodelan dua dimensi. Oleh karenanya pemodelan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggabungkan antara model hidrodinamika 3 dimensi dengan model biogeokimia untuk mengetahui dinamika nutrien secara komprehensif. Model divalidasi dengan data hasil pengukuran lapangan untuk mengetahui tingkat akurasi model. Hasil model dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis peran zooplankton dalam dinamika nutrien di Teluk Lampung.

1.3 Perumusan Masalah

Pengaruh aktivitas manusia yang terjadi di sekitar Teluk Lampung akan berdampak terhadap pengayaan nutrien di perairan yang akan merangsang

produktivitas biologi sehingga dapat mempunyai konsekuensi buruk bagi kegiatan pariwisata lokal, perikanan dan kegiatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mendalam dan komprehensif yang mencakup proses fisik, kimia dan biologi dalam mempelajari perubahan ekosistem.

(35)

Untuk mengkuantifikasi peran zooplankton dalam siklus nutrien yang dinamis sangat sulit untuk diukur secara langsung, sehingga untuk dapat mengkuantifikasi peran tersebut dilakukan pendekatan numerik dengan simulasi pemodelan.

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini akan menjawab permasalahan: "bagaimana zooplankton berperan dalam dinamika nutrien dan seberapa besar kontribusi dari peran tersebut terhadap ketersediaan nutrien bagi fitoplankton di perairan Teluk Lampung".

Perumusan penyelesaian masalah yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah dengan melakukan pemodelan hubungan antara parameter fisika, kimia dan biologi di perairan dalam sebuah model ekosistem yang merupakan gabungan dari model hidrodinamika dan model biogeokimia. Hasil dari simulasi pemodelan ini adalah pola sebaran komponen ekosistem sebagai gambaran interaksi faktor fisika, kimia dan biologi dalam dinamika nutrien yang melibatkan fitoplankton dan zooplankton. Interaksi antara tingkat trofik yang berbeda (fitoplankton dan zooplankton) dapat diekstraksi kuantitas perannya sehingga didapatkan pola dinamika trofik dan dinamika nutrien di perairan, sehingga dapat dikuantifikasi peran zoolankton dalam proses tersebut. Secara skematik pola pendekatan penyelesaian masalah hingga mencapai tujuan penelitian disajikan dalam Gambar 1.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkuantifikasi dan menganalisis peran zooplankton dalam dinamika nutrien antara tingkat trofik yang berbeda di perairan Teluk Lampung melalui pemodelan gabungan model hidrodinamika 3 dimensi dengan model biogeokimia.

1.5 Manfaat Penelitian

(36)

memahami dengan baik hubungan nutrien, fitoplankton dan zooplankton yang pada akhirnya dapat mendukung produktivitas perikanan atau tingkat trofik yang lebih tinggi.

(37)
(38)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Perairan Teluk Lampung

Terdapat dua musim dominan yang menggerakkan siklus musiman di daerah studi yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau berhubungan dengan muson tenggara, sementara musim hujan berhubungan dengan muson barat laut. Pola arus musiman selama musim kemarau mengalir dari bagian timur Laut Jawa ke arah barat, memasuki Samudera Hindia melewati Selat Sunda dan sebagian menuju ke Laut Cina Selatan. Akibatnya selama musim ini perairan Teluk Lampung dipengaruhi oleh massa air yang kaya nutrien dari Laut Jawa. Sebaliknya pada musim hujan arus mengalir dari Laut Cina Selatan ke timur (Laut Jawa) dan massa air dari Samudera Hindia mengalir menuju Laut Jawa melalui Selat Sunda. Selama periode musim hujan perairan Teluk Lampung dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia yang miskin nutrien (Buhring, 2001; Hendiarti et al., 2002).

Secara geografis Teluk Lampung berada pada 5o26’ – 5o50’ LS dan 105o10’

– 105o53’ BT dengan luas 847 km2. Rata-rata kedalaman perairan 17,3 m dengan panjang pantai 160 km (Wiryawan et al., 1999). Pola pasang surut dipengaruhi oleh Samudera Hindia sehingga menghasilkan pasang surut semi diurnal, dengan rata-rata kisaran pasang 1,46 m maka seluruh kolom air selalu tercampur karena kedalaman perairan yang relatif dangkal (Wiryawan et al., 1999). Sedimen dasar perairan terdiri dari pasir ( 2 – 16%), lumpur (57 – 71%), dan liat (27 – 41%). Terdapat enam sungai kecil yang mengalir ke teluk dengan total debit aliran kurang lebih 22,2 m3s-1, dari area resapan air yang kecil (kurang lebih 278 km2). Sumber pengkayaan nutrien adalah dari antropogenik berupa limbah domestik kota Bandar Lampung melalui sungai sungai kecil dan sumber langsung lain yang berasal dari aktivitas perikanan (keramba dan tambak) sepanjang pantai bagian selatan teluk. Di pantai bagian utara terdapat daerah industri yang juga berperan dalam mensuplai bahan terlarut ke dalam perairan teluk.

(39)

bulan Desember. Arah arus selama periode ini bergerak tetap ke tenggara.

Sementara pada musim kemarau kecepatan arus berkisar antara 0,01 ms-1 sampai dengan 0,36 ms-1 dengan arah barat laut dan kecepatan arus minimum terjadi pada bulan Juli. Kecepatan arus bulanan di luar mulut teluk rata-rata berkisar antara 0,01 ms-1 sampai 0,045 ms-1, kecepatan maksimum terjadi pada bulan Januari dan Februari dan kecepatan minimum terjadi pada bulan Maret dan April (Wiryawan et al., 1999). Secara regional selama musim kemarau massa air Teluk Lampung sangat dipengaruhi oleh massa air dari Laut Jawa, yang dicirikan dengan nutrien dan klorofil-a yang tinggi, sementara selama musim hujan massa air dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Hindia yang relatif rendah nutrien dan klorofil-a (Hendiarti et al., 2002).

2.2 Ekosistem Laut 2.2.1 Fitoplankton

Fitoplankton didefinisikan sebagai mikroorganisme fotosintesik yang hidup diperairan terbuka dan berperan dalam keseluruhan atau sebagian ketersediaan karbon organik pada jejaring makanan pelagis (Graham and Wilcox, 2000: Reynolds, 2006). Komunitas fitoplankton mendominasi ekosistem pelagis hingga mencapai 70% (Reynold, 2006) dan 45% fotosintetis di bumi terjadi diperairan (Field et al., 1998). Fotosintesis adalah proses biologis dimana energi matahari ditangkap, diubah menjadi energi biokimia dan disimpan dalam bentuk senyawa karbon organik (Falkowski and Raven, 2007). Energi ini kemudian digunakan untuk menggerakkan proses seluler. Kemampuan fitoplankton untuk menyerap cahaya secara langsung berhubungan dengan kemampuan pengumpulan

penyerapan cahaya berdasarkan keberadan pigmennya (Bergmann et al., 2004). Terdapat tiga tipe pigmen yang secara kimia berbeda yaitu klorofil, karoten dan biliprotein.

(40)

1984; Tomascik et al., 1997; Lehman, 1991). Produktivitas primer digambarkan sebagai laju pembentukan senyawa organik yang kaya akan energi dari senyawa anorganik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, suatu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari. Produktivitas primer menurut Nybakken (1992) pada umumnya dinyatakan dalam jumlah karbon yang terikat persatuan luas atau volume air laut per interval waktu tertentu.Produktivitas primer dapat diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat dalam material hidup dan secara umum dinyatakan dalam gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari).

Spesies fitoplankton adalah produsen primer dan merupakan dasar dari rantai makanan. Cahaya dan nutrien adalah sumber yang mengatur kuantitas, distribusi dan struktur komunitas fitoplankton (Hessen et al., 2002). Cahaya menyediakan sumber energi untuk fotosintesis sementara nutrien berfungsi mengatur struktur sel dan metabolisme. Nutrien dapat didaur ulang sedangkan cahaya ditransformasi menjadi energi. nutrien juga dapat distribusikan secara homogen sepanjang kolom air (jika terdapat percampuran) atau diakumulasi pada lapisan perairan yang lebih dalam (ketika terjadi stratifikasi). Cahaya secara umum berkurang secara eksponensial dengan kedalaman yang tergantung dari molekul air, konsentrasi material terlarut dan partikel (seperti fitoplankton). Hubungan antara cahaya, nutrien dan interaksi fitoplankton-zooplankton disebut sebagai hipotesis cahaya-nutrien (Urabe and Sterner, 1996). Ketidaksamaan komposisi autotrof dan konsumen herbivora dapat menghasilkan pertumbuhan herbivora dibatasi oleh nutrien dari pada kandungan karbon fitoplankton.

(41)

et al., 2000). Peningkatan asimilasi karbon tidak secara langsung berdampak pada peningkatan pengambilan nutrien, dan ketersediaan nutrien normalnya lebih rendah dari ketersediaan CO2. Fitoplankton umumnya lebih fleksibel dan memiliki rasio karbon-nutrien yang tinggi dalam biomassanya. Sebaliknya

herbivora umumnya kurang fleksibel dalam komposisi biomassa dan rasio karbon nutrien yang lebih rendah daripada makanan mereka.

2.2.2 Zooplankton

Zooplankton, disebut juga plankton hewani, adalah hewan yang hidupnya mengapung, atau melayang dalam laut dengan kemampuan renang yang terbatas dan bersifat heterotrofik. Hampir semua hewan yang mampu berenang bebas (nekton) atau yang hidup di dasar laut (bentos) menjalani awal kehidupannya sebagai zooplankton yakni ketika masih berupa terlur dan larva. Pertumbuhan zooplankton dapat digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan yang memiliki pola yang mirip dengan pola pertumbuhan fitoplankton, tetapi pada zooplankton mengalami fase keterlambatan (Nybakken 1992).

Zooplankton memainkan peran penting sebagai pemangsa yang mengontrol populasi fitoplankton dan bakteri (Pomeroy et al., 2007). Zooplankton dapat mempengaruhi struktur komunitas fitoplankton secara langsung melalui

pemangsaan selektif atau secara tidak langsung melalui regenerasi nutrien (Elser et al., 2001; Sterner 1990; Kagami et al., 2006). Perubahan kelimpahan,

(42)

Striebel (2008) menjelaskan bahwa fitoplankton yang mendukung

pertumbuhan zooplankton adalah fitoplankton yang memiliki kualitas yang baik yang tergantung dari edibilitas dan komponen kimianya. Keragaman komunitas fitoplankton yang tinggi dengan rasio C:P pada biomassa yang lebih tinggi dapat juga mempengaruhi daur ulang nutrien oleh zooplankton. Andersen et al. (2004) menyimpulkan bahwa peningkatan rasio C:P oleh fitoplankton dapat

menyebabkan perubahan kestabilan interaksi fitoplankton-zooplankton.

Zooplankton yang memakan komunitas fitoplankton dengan rasio C:P tinggi akan mengekstraksi fosfor sama banyaknya secepat mungkin, sehingga akan

mengurangi laju pelepasan fosfor oleh zooplankton.

2.2.3 Nutrien

Nutrien atau zat hara merupakan faktor penting dalam proses produksi fitoplankton. Nutrien ada yang dibutuhkan dalam jumlah banyak, ada pula yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Kelebihan nutrien yang diikuti dengan

peningkatan konsentrasi fitoplankton telah menjadi ancaman global (Thomas et al., 2005). Walmsley (2000) mendefinisikan nutrien sebagai senyawa atau elemen kimia yang dapat digunakan secara langsung oleh sel tumbuhan (alga dan

makrofita akuatik) untuk tumbuh, kebanyakan keberadaan nutrien di perairan dalam bentuk elemen anorganik. Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme, tumbuhan, dan hewan adalah karbon, nitrogen dan fosfor. Trace element dapat juga diklasifikasikan sebagai nutrien.

2.2.3.1 Karbon

(43)

Pengaruh antropogenik akan merubah proses, meningkatkan CO2 atmosfer dan menaikkan temperatur yang mengakibatkan pengaruh langsung terhadap aktivitas biologi dan proses biogeokimia. Konsentras CO2 atmosfer pada saat ini meningkat kurang lebih 0.4% per tahun dan meningkat lebih dari 30% sejak masa pra industrialisasi. Tekanan parsial atmosfer diprediksi pada akhir abad ini lebih dari 71 Pa (700 ppm) (Solomon et al., 2007). Pada saat yang sama pemanasan dihubungkan dengan pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer yang telah diprediksi meningkatkan temperatur permukaan laut antara 1 – 4oC sampa 100 tahun

kemudian (Bopp et al., 2001: Solomon et al., 2007).

Siklus karbon lautan dan pertukaran CO2 antara udara dan air laut ditentukan oleh pompa karbon yang terdiri dari pompa fisik dan dua pompa biologis seperti disajikan pada Gambar 2. Konsumsi HCO3 akan meningkatkan perbedaan

konsentrasi CO2 antar lautan dan atmosfer yang disebabkan pelepasan bersih CO2 ke atmosfer (Holligan et al., 1993). Fluks CO2 antara permukaan laut dan

atmosfer utamanya ditentukan oleh kekuatan kedua pompa (Rost and Riebesell, 2004), diwakili oleh rasio perubahan karbon anorganik menjadi karbon organik (Archer et al., 2000). Peningkatan CO2 atmosfer akan memiliki banyak pengaruh pada sifat biogeokimia lautan. Konsentrasi CO2 lautan meningkat dan merubah sistem karbonat, karena semua parameter sistem karbonat saling tergantung . perubahan konsentrasi CO2 atmosfer akan diikuti perubahan rasio spesiasi karbon dan juga pH air laut.

Perubahan global akan memiliki pengaruh utama pada fisiologi fitoplankton (Boyd and Doney, 2002; Hays et al., 2005). Sebagai contoh bahwa pengayaan CO2 akan secara signifikan mempengaruhi fotosintesis, komposisi unsur dan kalsifikasi dari fitoplankton laut (Riebesell, 2004). Perubahan konsentrasi CO2 akan mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton secara langsung. Emisi CO2 antropogenik juga akan meningkatkan temperatur global dan temperatur

(44)

optimumnya atau keluar dari kisaran temperaturnya sehingga mengakibatkan perubahan komposisi fitoplankton.

Gambar 2 Tiga pompa karbon utama yang membangun pengaturan CO2 atmosferik alami (Heinze et al., 1991).

Perbedaan temperatur dalam kolom air mempengaruhi stratifikasi dan percampuran dari massa air yang berbeda dan beserta pertukaran nutrien antara lapisan massa air yang lebih dalam yang kaya nutrien dengan zona eufotik. Penambahan stratifikasi di lautan yang terjadi karena peningkatan temperatur permukaan laut akan mengurangi asupan nutrien anorganik dari perairan dalam ke permukaan ( Rost and Riebesell, 2004), tetapi pada saat yang sama akan

mencegah nutrien organik dari zona percampuran turun ke perairan dalam. Hal ini akan mengurangi konsentrasi nutrien anorganik, meningkatkan konsentrasi

(45)

2.2.3.2 Nitrogen dan Fosfor

Sejak nitrogen dan fosfor dinyatakan sebagai nutrien pembatas, secara umum banyak mendapat perhatian. Terdapat tiga faktor yang menentukan kapan suatu sistem perairan dibatasi oleh nitrogen atau fosfor, yaitu rasio nitrogen dan fosfor; preferensi kehilangan, recycling atau adsorpsi; dan fiksasi nitrogen.

Perubahan bentuk yang berbeda dari nitrogen anorganik (Tabel 1) adalah bagian dari siklus nitrogen dan penting dalam menentukan ketersediaan N di permukaan air (Walmsley, 2000). Amonifikasi, nitrifikasi, denitrifikasi, dan penyerapan aktif dari senyawa nitrogen diatur oleh temperatur air, ketersediaan oksigen dan pH (DWAF, 1996). Banyak proses fisik dan biologis mereaksikan peran nitrogen terhadap ketersediaan dan kesuburan relatif perairan (Capone, 2000). Siklus nitrogen di laut sangat dekat dihubungkan dengan atmosfer.

Tabel 1 Bentuk kehadiran nitrogen pada air permukaan dan air limbah (diadaptasi dari Vollenweider, 1970)

Total Nitrogen

Nitrogen terlarut Nitrogen dalam suspensi Nitrogen

dalam bentuk

Senyawa organik seperti asam amino, polipeptida dan peptida, albumin terlarut dsb

organisme Detritus organik

dan/atau

DIN= Disolved Inorganic Nitrogen (Nitrogen anorganik terlarut)

(46)

Tabel 2 Bentuk kehadiran fosfor pada air permukaan dan air limbah (diadaptasi dari Vollenweider, 1970)

Total fosfor

Fosfor terlarut Fosfor dalam suspensi

Ortofosfat PO4 Senyawa koloid

organik dan/atau

organisme Diadsorpsi

oleh detritus

DIP= Disolved Inorganic Phosphorous (Fosfor anorganik terlarut)

Setiap fitoplankton akan membutuhkan nitrogen dan fosfor untuk

membangun biomassanya. Ketersediaan nitrogen dan fosfor di lapisan kolom air paling atas dikendalikan oleh percampuran vertikal, aliran sungai, fiksasi nitrogen dan regenerasi materi organik. Perbedaan spesies dari fitoplankton mempunyai kebutuhan nutrien dan fisiologi yang berbeda baik makro atau mikro nutrien. Konsekuensinya konsentrasi nutrien, rasio dan variabilitas temporal akan mempengaruhi kompetisi fitoplankton. Dalam satu kelompok juga terjadi kompetisi yang tergantung dari ketersediaan nutrien. Pengayaan nitrat

mempengaruhi pembangunan rantai diatom dari yang kecil sampai menengah pada Chaetoceros spp akan lebih cepat dibandingkan dengan yang berukuran besar (Carter et al., 2005), karena konstanta setengah jenuh pengambilan nitratnya lebih rendah.

(47)

2.3 Model Hidrodinamika dan Model Ekosistem

Seiring dengan berkembangnya metode numerik yang digunakan dalam pendekatan penyelesaian pergerakan massa air atau model hidrodinamika di perairan laut, telah banyak dikembangkan berbagai model ekosistem yang digabungkan dengan model hidrodinamika. Saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan tentang model ekosistem, antara lain yang dikembangkan oleh

Kawamiya et al. (1995); Kishi dan Uchiyama (1995); Yanagi et al. (1997); Moll (1998); Neumann (2000); serta Edwards et al. (2000). Penelitian tersebut secara umum telah memberikan hasil yang cukup valid jika dibandingkan dengan kondisi alamiahnya.

Dengan banyaknya penelitian tentang model ekosistem, juga telah banyak berkembang alat atau perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu pembuatan model ekosistem. Berbagai perangkat lunak yang telah dikembangkan saat in antara lain NORWECOM (Norwegian Ecologial Model System) yang mulai dikembangkan tahun 1993, GHER (Geo-Hydrodinamic and Environment Research Model) yang mulai dikembangkan tahun 1976, ECOHAM (Ecological North Sea Model, Hamburg) dikembangkan tahun 1993, ERSEM (Ecological Modelling Software for Interactive Modelling) tahun 1994, COHERENS

(Coupled Hydrodynamical Ecological Model for Regional Northwest European Shelf Seas) tahun 1993, dan POL3dERSEM (Proudman Oceanographic

Laboratory 3d ERSEM Model) dikembangkan tahun 2000 (Moll and Radach, 2001).

Perangkat lunak untuk model yang lain yang juga berkembang saat ini adalah SWAT v.2000 (Soil and Water Assesment Tool) (Arnold et al., 1998; Arnold and Fohrer, 2005) yang dibangun untuk mensimulasikan aliran yang dihubungkan dengan pergerakan nitrogen, fosfor, dan sedimen. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh US Department of Agriculture’s Research Service

(USDA-ARS). Selain itu ada juga model lain yang berkembang yang

(48)

Model tiga dimensi yang ada memiliki resolusi trofik yang membedakan fungsi utama (nutrien, fitoplankton, zooplankton, ikan dan detritus; bahan organik terlarut dan bakteri di pelagis; digenesis dan bentik organisme di bagian

kompartemen bentik). Pada Tabel 3. dijelaskan bahwa kecuali COHERENS semua model mensimulasikan sistem pelagis dan bentik. ECOHAM hanya mensimulasikan siklus P, sementara COHERENS dan GHER hanya

mensimulasikan N. Siklus fosfor, nitrogen dan silikon termasuk dalam model NORWECOM, ELISE, POL3dERSEM dan ERSEM, dengan variabel yang terpisah untuk pelagis dan bentik. Model CAEDYM yang digunakan dalam penelitian telah mensimulasikan siklus P, N, Si, DO baik dalam sistem pelagis maupun bentik. Kehadiran fitoplankton diwakili oleh kisaran 1-5 bulk variabel ( Dinoflagela, Cyanobakteria, Klorofita, Kriptofites, dan Diatom). Variabel tetap zooplankton tidak termasuk dalam model ECOHAM dan COHERENS, sementara semua model telah memecahkan fungsi detritus di kolom air kecuali ECOHAM. semua model belum mengakomodasi tingkat trofik yang lebih tinggi dan logam berat kecuali CAEDYM.

Untuk membangun alat pengelolaan yang jadi perhatian masyarakat (eutrofikasi) model memiliki proses standar yang digambarkan dalam implementasi model (Tabel 4). Beberapa proses kunci seperti ledakan alga, rekruitmen ikan, hubungan tropik, hubungan pelagis dan bentik, dinamika polutan dan regenerasi nutrien.

Secara umum perangkat-perangkat lunak yang banyak dikembangkan tersebut diaplikasikan untuk daerah Laut Utara (North Sea). Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk diaplikasikan di perairan lainnya dengan melakukan modifikasi terhadap beberapa koefisien yang sesuai dan spesifik dengan daerah perairan yang diteliti. Pranowo (2000) telah mengaplikasikan model COHERENS di perairan Kedung, Jepara dengan hasil yang cukup baik. Selain itu Koropitan (2003) juga telah melakukan pemodelan dua dimensi di perairan Teluk Lampung menggunakan model POM (Princeston Ocean Model) juga dengan hasil yang baik.

(49)

menggunakkan model komputasi CAEDYM (Computational Aquatic Ecosystem Dynamic Model) yang keduanya dikembangkan oleh Center for Water Research (CWR) dari University of Western Australia (UWA). Variabel yang dimodelkan dalam penggabungan ELCOM-CAEDYM disajikan pada Gambar 3. Pemilihan model didasarkan atas pertimbangan kelengkapan variabel dan proses kunci yang bisa digunakan sebagai alat manajemen seperti yang disarikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Gambar 3 Variabel yang terlibat dalam penggabungan model ELCOM-CAEDYM yang meliputi komponen kolom air dan sedimen (Hipsey et al., 2009).

(50)

19 Tabel 3 Perbedaan fungsi utama pada berbagai model ekosistem

Nama Model

Pelagis Bentik

Materi

Nutrien Bentik Organisme

ECOHAM P

COHERENS Tidak ada

(51)

20 Tabel 4 Implementasi proses kunci yang komplek dalam berbagai model

Nama Model Ledakan Alga Regenerasi

nutrien

Eutrofikasi Hubungan trofik Rekruitmen Gabungan

pelagis-Bentik

Kontaminan

Kriteria Suksesi;

Pembatatasan

Tidak, hanya fito Tidak Sebagian Tidak

COHERENS Tidak;

Formulasi bulk

Sebagian; Hanya POM

Tidah hanya siklus N

Tidak; hanya fito Tidak Tidak, hanya

MSP

Tidak

NORWECOM Sebagian;hanya

dua grup

Sebagian; Hanya POM

Sebagian, tanpa mikrobial loop

Tidak; hanya fito Tidak Ya terbatas, tidak

ada organisme bentik

Ya; LB dan PCB

ELISE Sebagian:hanya

dua grup

Sebagian; Hanya POM

Sebagian, tanpa mikrobial loop

Tidak; hanya fito Tidak Ya terbatas, tidak

ada organisme bentik

Sebagian PCB dan Cadmium

GHER Sebagian:hanya

dua grup

Ya satu DOM Tidah hanya

siklus N

Sebagian fito-zoo Tidak Sebagian Tidak

POL3dERSEM Ya; tiga grup Ya satu DOM Ya Ya Tidak Ya;

nutrien-POM-zoobentos

Tidak

ERSEM II Ya; empat grup Ya Ya, terbatas Ya Tidak Ya, terbatas Tidak

CAEDYM Ya semua grup Ya Ya Ya Ya Ya Ya, LB

(52)

21

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dalam dua tahapan, yaitu pengambilan data lapangan dan simulasi pemodelan. Pengambilan data lapangan dilaksanakan pada bulan Januari 2007 – Agustus 2007 dengan tahapan pengambilan contoh yang dilakukan pada bulan Januari- Februari, April – Mei dan Juli- Agustus. Pengambilan sampel dilakukan setiap dua minggu dan dilanjutkan dengan analisis contoh. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA Unila. Simulasi model

hidrodinamika dan model ekosistem di perairan Teluk Lampung dilakukan pada posisi 5o24'2" - 5o46'26" LS dan 105o8'7"-105o37'12' BT (Gambar 4.). Simulasi pemodelan dilakukan pada bulan Juli 2009 – Desember 2010 yang meliputi pengumpulan dan analisis data sekunder, penyusunan model numerik dan parameter pemodelan, simulasi dan analisis hasil simulasi. Waktu simulasi disamakan dengan waktu pengambilan data lapangan.

3.2 Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh

Penentuan lokasi pengambilan contoh ditentukan dengan pertimbangan bahwa lokasi (stasiun) tersebut merupakan daerah sumber nutrien bagi perairan. Lokasi pengambilan contoh ditabulasikan dalam Tabel 5 dan disajikan pada Gambar 4.

Tabel 5 Lokasi pengambilan contoh

Stasiun Posisi geografis Keterangan

Bujur Timur Lintang Selatan

1 105o16’12” 05o29’14’ Pelabuhan Pendaratan Ikan 2 105o15’15” 05o27’34” Muara sungai Way Kahuripan 3 105o18’20” 05o27’12” Muara Sungai Way Lunik 4 105o15’8” 05o28’14” Pelabuhan Peti Kemas

5 105o19’26” 05o29’23” Kawasan Permukiman dan Industri 6 105o21’46” 5o32’58” Lokasi Wisata Pasir Putih

7 105o14’58” 5o32’27” Kawasan Tambak Hanura 8 105o15’02” 5o34’25” Kawasan Tambak Sidodadi

(53)

Gambar 4 Peta lokasi daerah model dan lokasi pengambilan sampel.

3.3 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini ditabulasikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Alat dan Bahan Kegunaan

Perangkat survei lapangan

- GPS (Global Positioning System) - Penentuan posisi

- Botol sampel - Tempat sampel air dan sampel

plankton

- CTD - Mengukur parameter fisik perairan

- Botol Van Dorn - Pengambilan sampel air

- Spektrofotometer - Mengukur nilai absorbansi sampel

- DO meter dan pH meter - Pengukuran DO dan pH

- Pompa vakum

-- Penyedot sampel air untuk analisis

kimia

- Stempel Pippete 0,1 ml - Pengambil fraksi fitoplankton

- Larutan Formalin dan Lugol - Pengawet sampel plankton

- Oven, Desikator dan Timbangan digital - Analisis partikel padatan tersuspensi

Perangkat analisis data

- Perangkat lunak komputer (Surfer 9,

ArcGis 9.3, MS Excel, ODV 4.3, ARMSLite 2.12, Intel Visual Fortran 11)

(54)

3.4 Pengambilan Contoh

3.4.1 Pengambilan Contoh Air Laut

Pengambilan sampel air dilakukan pada kedalaman 0 – 2 m menggunakan botol Van Dorn PVC. Pengambilan sampel air dilakukan untuk analisa kandungan nutrien terlarut dan kandungan padatan tersuspensi. Selain pengambilan sampel air juga dilakukan pengukuran secara langsung meliputi parameter oksigen terlarut menggunakan DO meter, pH menggunakan pH meter yang dikalibrasi dengan larutan standar dengan pH 4.00 dan 9.00 sebelum digunakan untuk pengukuran. Temperatur dan salinitas diukur menggunakan STD meter model YSI-30.

3.4.2 Pengambilan Contoh Plankton

Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring 40 µm, dan untuk zooplankton menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring 80 µm. Sampel ditempatkan dalam wadah cool box untuk dianalisa kandungan klorofil-a dalam fitoplankton dan kandungan karbon dalam zooplankton.

3.4.3 Pengambilan Data Pasang Surut

Data fluktuasi muka laut diperoleh dari stasiun pengamatan di Pelabuhan Peti Kemas PT. PELINDO II Panjang, dengan interval satu jam mulai pukul 00.00 sampai pukul 23.00 selama 15 hari pengamatan. Alat pengukuran menggunakan Tide Staff. Data pengukuran pasut selanjutnya digunakan sebagai data validasi model.

3.4.4 Pengumpulan Data Sekunder 3.4.4.1 Data Batimetri

(55)

Gambar 5 Peta batimetri Teluk Lampung (sumber: Dishidros TNI-AL).

3.4.4.2 Data Pasang Surut

Parameter pasang surut digunakan sebagai data masukan di syarat batas terbuka untuk mengetahui proses yang membangkitkan proses hidrodinamika. Data pasang surut yang digunakan sebagai data masukan model adalah data prediksi pasang surut untuk daerah Bakauheni tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oseanografi (Dishidros) TNI AL. Data parameter pasang surut bervariasi terhadap waktu dan konstant sepanjang daerah syarat batas terbuka. Grafik data pasang surut yang digunakan sebagai masukan model disajikan pada Gambar 6.

(56)

3.4.4.3 Data Debit Sungai

Aliran sungai yang masuk ke perairan teluk sangat besar pengaruhnya dalam menentukan salinitas permukaan, selain sebagai sumber masukan nutrien ke dalam perairan. Data debit aliran sungai yang masuk ke perairan Teluk Lampung merupakan data debit rata-rata bulanan yang diperoleh dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BAPEDAS) Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Data debit sungai juga digunakan untuk menghitung masukan nutrien dari daratan dengan persamaan:

(1) dimana L adalah jumlah nutrien yang masuk dari sungai (ton/bulan), Q adalah debit sungai (l/detik), C adalah konsentrasi nutrien (mg/l), 2592000 adalah faktor konversi dari detk ke bulan dan 1000000 adalah faktor konversi dari mg ke ton

3.4.4.4 Data Salinitas Permukaan

Dalam perhitungan simulasi model diperlukan data sebaran salinitas permukaan yang memiliki grid yang sama dengan grid batimetri. Data sebaran salinitas sebagai data masukan awal nilainya konstan terhadap ruang dan waktu. Data salinitas permukaan diperoleh dari www.nodc.noaa.gov/argo/float. dengan resolusi 2,5o x 2,5o.

3.4.4.5 Data Meteorologis

(57)

Gambar 7 Mawar angin masukan model tahun 2007 pada Bulan Januari (a), Februari (b), April (c), Mei (d), Juli (e) dan Agustus (f).

(a) (b)

(c)

(e) (f)

(58)

Gambar 8 Data meteorologis masukan model.

3.5 Analisis Contoh Untuk Verifikasi Model

(59)

3.5.1 Nutrien

Konsentrasi nutrien yang berupa nutrien anorganik terlarut diperoleh dengan menganalisis sampel air menggunakan spektrofotometer. Analisa dilakukan untuk memperoleh konsentrasi PO4-P, NO3-N dan NH4-N. Sebelum dianalisa sampel air sebanyak 250 ml disaring menggunakan kertas saring nucleopore (diameter 47 mm dan porositas 0.2 µm). penyaringan dilakukan setidaknya 6 jam setelah sampling.

3.5.2 Karbon Organik Partikulat

Konsentrasi karbon organik partikulat dihitung dengan pendekatan pengukuran total padatan tersuspensi (TSS) dengan persamaan (Bruce et al., 2006):

(2)

dimana LI adalah proporsi C yang hilang setelah pembakaran pada suhu 550oC selama 1 jam, nilainya 0.6 – 0.925 pada saat terjadi ledakan populasi diatom (Hipsey et al., 2006). Nilai 0.5 merupakan asumsi bahwa berat unsur C adalah 0.5 dari berat material organik (Bruce et al., 2006).

3.5.3 Konversi Klorofil-a dan Zooplankton ke Karbon

Penentuan konsentrasi klorofil-a dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer. Konsentrasi karbon fitoplankton diperoleh dengan

mengkonversi klorofil-a ke karbon dengan asumsi 1 mg/L klorofil-a sama dengan 30 mg/L karbon (Chapra, 1997). Untuk keperluan simulasi konsentrasi karbon zooplankton dihitung menggunakan rasio 1 mg berat kering individu zooplankton setara dengan 1 µg C (Yanagi et al., 1997).

Perbandingan antara berat kering dengan berat basah zooplankton

menggunakan perbandingan 1 : 10 (Chapra, 1997). Berat basah dihitung dengan persamaan :

(60)

dimana, BBS: berat zooplankton basah (mg); P1: berat sampel dengan kertas saring (mg/m3); P2 : berat kertas saring tanpa sampel; dan VS : volume sampel air

tersaring (m3).

3.6 Model Hidrodinamika

Simulasi hidrodinamik menggunakan kode pemodelan komputasi ELCOM , proses utamanya meliputi bahang permukaan, transpor massa dan momentum, dinamika lapisan tercampur dan limpasan aliran masuk (inflow). Data meteorologi digunakan untuk menentukan penetrasi bahang dari radiasi gelombang pendek dan fluks bahang permukaan yang disebabkan oleh evaporasi, bahang sensible, radiasi gelombang panjang dan tekanan angin. Angin permukaan menggerakkan

momentum dan energi kinetik turbulen ke lapisan permukaan sehingga berperan dalam percampuran vertikal.

Dasar persamaan transpor yang digunakan dalam ELCOM adalah persamaan Navier Stokes yang dirata-ratakan terhadap waktu dengan perata-rataan Reynold yang ditulis sebagai (Hodges and Dallimore, 2010):

(4)

dimana u, v, w adalah komponen kecepatan pada sumbu horisontal x, y dan vertikal z; adalah densitas air; p adalah tekanan dan adalah komponen Coriolis. Persamaan (4) dapat disimpulkan adanya pergerakan partikel yang tak terkendali dan transfer energi, sehingga untuk dua hal tersebut dilakukan perata-rataan dengan aturan sebagai berikut:

(5)

(6)

(61)

Jadi dari persamaan (4) komponen u, v, w, dan p dapat diganti dengan

, , , dan yang menyatakan nilai

pengukuran adalah nilai rata-rata ditambah deviasi atau komponen turbulen. Hasil proses perata-rataan dari persamaan gerak menghasilkan persamaan Navier Stokes dengan perata-rataan Reynold (RANS = Reynold Averaging Navier Stokes) sebagai berikut:

(7)

Hasil perata-rataan menghasilkan peubah baru , , , , , , , , dan yang akan dinyatakan dengan derivatif aliran rata-rata ( , , dan ) yang dianalogikan dengan Hukum Viskositas Newton , dimana peubah ini dikenal sebagai Gesekan Reynold atau Gesekan Turbulen:

(8)

dimana , , dan adalah viskositas Eddy masing masing pada sumbu x, y, dan z.

Pada sumbu x komponen Coriolis << , sehingga

cukup kecil untuk ditiadakan. Jika persamaan (8) disubtitusikan ke persamaan (7) dan komponen Coriolis diganti dengan simbol f akan diperoleh :

(9)

(62)

(10)

dimana U(x,y,z,t), V(x,y,z,t) dan W(x,y,z,t) adalah komponen kecepatan pada arah horizontal x, y dan vertikal z; t adalah waktu; g adalah percepatan gravitasi;

adalah koefisien viskositas Eddy.

Pada sumbu z semua komponen terlalu kecil jika dibandingkan dan g sehingga cukup kecil untuk ditiadakan, sehingga persamaan transpor pada sumbu z dapat ditulis :

(11)

Jika ; dan komponen koefisien viskositas Eddy

dapat digantikan dengan simbol , maka secara sederhana persamaan transpor (10) dalam model ELCOM dapat ditulis sebagai: .

 Persamaan transpor:

(12)

 Kontinuitas:

(13)

 Kondisi batas momentum pada Permukaan bebas:

(14)

Dasar dan sisi:

(15)

 Transpor skalar

(63)

 Kondisi batas skalar

(17)

 Evolusi permukaan bebas (Free Surface Evolution)

(18)

 Gesekan angin pada permukaan bebas

(19)

 Input momentum oleh angin

(20) dimana,U: kecepatan Reynold yang dirata-ratakan atas waktu; i, j, k,m:

komponen ruang; α,β: komponen ruang horizontal; η: tinggi permukaan bebas; ρ’: densitas anomali; ρo: densitas acuan; g: konstanta gravitasi; f : konstanta

Coriolis; : komponen permutasi tensor; ν: viskositas molekular; C: konsentrasi skalar; : kecepatan vektor angin dalam arah β; : koefisien bulk stress angin pada ketinggian 10 m; : kecepatan wind shearpada arah α.

3.6.1 Penyelesaian Numerik

Persamaan pembangun didiskretisasi pada grid solusi Cartesian dimana komponen kecepatan tunggal didefinisikan pada tiap sel yang berhadapan dan skalar didefinisikan pada pusat sel. Dalam persamaan diskretisasi sel yang berhadapan diwakili komponen subskrip i+1/2 sementara pada pusat sel diwakili nilai integer (i, j, k). Notasi dari Casulli and Cheng (1992) digunakan untuk penjelasan selanjutnya. Bentuk persamaan diskret akan digunakan subskrip untuk mewakili posisi dalam ruang diskret (i, j, k). Misalkan mewakili nilai vektor kecepatan di kolom air pada waktu n+1 pada posisi (i, j) yang ada pada solusi ruang dan waktu n* untuk seluruh k yang mencakup:

(21)

(64)

Dasar dari evolusi semi implisit dalam medan kecepatan pada komponen 2 dimensi dapat didiskretisasi pada solusi ruang * yang sama dengan pendekatan model TRIM (Tidal, Residual, Intertidal Mudflat) (Cheng et al., 1993) sebagai :

(22)

(23)

dimana:

G = sebuah sumber vektor eksplisit

= implisitas permukaan bebas, nilai yang digunakan dalam ELCOM adalah diskretisasi langkah mundur euler (

Casulli and Cattani (1994) telah menunjukan bahwa metode langkah

mundur Euler untuk solusi momentum dari persamaan hidrostatik dapat diperluas menjadi skema dua tingkat (persamaan 22 dan 23) yang secara formal akurat sampai ordo kedua (ketika . Pemodelan dengan grid kasar bagaimanapun juga penambahan dalam akurasi numerik tidak selalu menghasilkan penambahan kemampuan model. Secara umum banyak simualasi yang dilakukan di daerah estuari dan reservoir, modus barotropik diselesaikan dengan kondisi CFL yang mungkin berkisar antara 5 - 10 atau lebih. Kondisi yang seperti ini diskretisasi semi implisit mungkin akan stabil tetapi ketepatan yang mewakili aliran fisik adalah fungsi dari aliran dengan pertimbangan karakter dari pemotongan galat adalah kritis untuk memahami kemampuan metode ini. Metode ordo pertama menyebabkan kesalahan komponen pada ordo kedua dan menghasilkan peredaman gelombang di permukaan bebas. Metode ordo kedua yang

(65)

mewakili bentuk gelombang. Solusi hidrostatik dispersi gelombang

mengakibatkan gaya lokal palsu yang melalui kolom air dan detrimental terhadap kemampuan solusi. Sebaliknya perluasan peredaman gelombang permukaan menyebabkan berkurangnya pergerakan dalam skala besar yang dihubungkan dengan respon barotropik ketika angin berkurang. Secara umum sistem yang sangat dianjurkan yang lebih baik adalah skema langkah mundur Euler sebagai energi gelombang diluar dua atau tiga periode yang sering tidak relevan pada ordo pertama.

Menggunakan diskretisasi implisit dua tingkat (Casulli and Cheng, 1992), atau berbagai teknik eksplisit, matrik A dapat di gambarkan sebagai :

(24)

dimana dalam matrik A adalah kondisi batas, sementara a, b dan c adalah berturut-turut:

(25)

(26)

(27)

Koefisien ditentukan dengan memilih teknik diskretisasi numerik, untuk , komponen viskositas vertikal didiskretisasi menggunakan teknik Euler beda mundur, dan untuk model lapisan tercampur yang digunakan di ELCOM

=0 dan diskretisasinya secara eksplisit dengan A adalah nol untuk semua komponen dalam diagonal utama.

Komponen G dalam persamaan (22) dan (23) dapat digambarkan sebagai : (28)

Gambar

Gambar 1  Skema perumusan masalah untuk mencapai tujuan penelitian
Gambar 2  Tiga pompa karbon utama yang membangun pengaturan CO2
Tabel 4.
Tabel 3  Perbedaan fungsi utama pada berbagai model ekosistem
+7

Referensi

Dokumen terkait