PRAKTEK BUDIDAYA KAKAO DAN PROSPEK PEMANFAATAN SEMUT HITAM DAN SEMUT RANGRANG UNTUK PENGENDALIAN
HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO DI KABUPATEN KOLAKA, PROVINSI SULAWESI TENGGARA
NURIADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ” Praktek Budidaya Kakao dan Prospek Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
ABSTRACT
NURIADI. Cocoa Cultivation Practices and Prospect of the utilization of Black Ant and Weaver Ant for the Control of Cocoa Pod Borer in Kabupaten Kolaka
Southeast Sulawesi. Supervised by I WAYAN WINASA and SYAFRIDA
MANUWOTO.
Sulawesi Tenggara is one of the center of cocoa plantation in Indonesia. One of the problems faced by farmers is the infestation of cocoa pod borer (CPB). Farmers usually use chemical insecticides to control the pest, although the results are not satisfactory. The aims of this research were to find a cultivation for controlling the CPB, and the effect of the black ants and weaver ant to the attack intensity and seed damage caused by the cocoa pod borer. This research was conducted in cocoa plantation in Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, from April to September 2009. The research included survey of cocoa cultivation practices and utilization of black ant and weaver ant to control the CPB. The results showed that farming practices have been done by farmers, such as pruning, harvesting oftenly, sanitation–but not maximum and not all farmer practice it. To control the pest, farmers rely on insecticides. Biological control using black ant and weaver ant was not used by farmers. Weaver ants could reduce the population of CPB’s eggs, pupae, and adult, the fruit damage and intensity of CPB infestation decreased in the presence of weaver ant.
RINGKASAN
NURIADI. Praktek Budidaya Kakao dan Prospek Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao. Dibimbing oleh I WAYAN WINASA dan SYAFRIDA MANUWOTO.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra perkebunan kakao di Indonesia yang sampai tahun 2009 luasnya mencapai kurang lebih 200.125 ha dengan produksi 137.775 ton. Salah satu masalah yang dihadapi petani dalam peningkatan produksi kakao di Sulawesi Tenggara adalah adanya serangan hama penggerak buah kakao (PBK). Untuk mengendalikan hama PBK umumnya petani di Sulawesi Tenggara masih tergantung pada penggunaan pestisida kimia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan pengendalian hama PBK, pengaruh keberadaan semut hitam dan semut rangrang terhadap intensitas serangan dan kerusakan biji akibat serangan hama PBK
Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan untuk melihat keadaan umum pertanaman kakao. Penelitian dilakukan pada kebun kakao berukuran luas ± 1 ha. Umur tanaman, cara perawatan dan naungan relatif sama. Untuk menghindari terjadinya interaksi antar perlakuan maka dilakukan pengelompokkan antara perlakuan semut hitam, semut rangrang dan kontrol dengan menggunakan pembatas berupa jalan selebar 2 meter yang ditumbuhi tanaman pembatas. Dalam percobaan ini digunakan lima perlakuan termasuk kontrol. Perlakuan terdiri dari: P1 (daun kelapa kering diberi cairan gula pasir 500 ml) ; P2 (daun kelapa kering diberi cairan gula merah 500 ml) ; P3 (bambu diisi jeroan ayam 0.25 kg) ; P4 (bambu diisi jeroan sapi 0.25 kg) dan P5 (kontrol). Masing-masing perlakuan diulang lima kali.
Hasil survei menunjukkan beberapa praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik budidaya yang belum diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah panen, pengolahan biji kakao dan perlakuan terhadap kulit buah dan plasenta. Untuk mengendalikan hama pada tanaman kakao sebagian besar petani masih mengandalkan insektisida. Pengendalian dengan pemanfaatan semut hitam dan semut rangrang belum banyak dilakukan oleh petani
pada bulan Juni, Juli dan Agustus, sedangkan populasi pupa dan imago relatif lebih rendah pada perlakuan semut rangrang pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Untuk perlakuan semut hitam, populasi telur, pupa dan imago tampak tidak jauh berbeda dengan kontrol.
Semut hitam yang diinfestasikan pada bulan April setelah tiga sampai empat bulan kemudian rata-rata hanya menjangkau 5-10 pohon. Berbeda dengan semut rangrang dalam waktu yang sama mampu menjangkau 30-37 pohon kakao di sekitar tempat pelepasan. Agregasi semut mulai ditemukan setelah dua bulan diinfestasikan pada bulan Juni, agregasi banyak ditemukan pada tempat di sekitar tempat pelepasan baik untuk semut hitam maupun semut rangrang. Agregasi semut hitam ditemukan pada celah-celah yang telah ada di lapangan, seperti pada rongga di dalam kayu lapuk, rongga pada batang, juga liang bekas sarang rayap atau kumbang. Agregasi semut rangrang di lapangan ditemukan pada daun kakao dengan merajut 3-4 daun yang letaknya paling tinggi dan memilih daun kakao yang rimbun.
Hasil pengamatan terhadap aktivitas semut hitam dan semut rangrang menunjukkan bahwa aktivitas semut rangrang lebih tinggi dibandingkan semut hitam dan menunjukkan perbedaan nyata. Namun perlakuan gula merah dan gula pasir untuk semut hitam tidak menunjukkan perbedaan. Demikian juga perlakuan jeroan sapi dan jeroan ayam untuk semut rangrang tidak menunjukkan perbedaan. Peningkatan aktivitas semut hitam dan semut rangrang mulai terjadi setelah dua bulan diinfestasikan. Hasil pengamatan intensitas buah terserang dan kerusakan biji pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang menunjukkan bahwa perlakuan semut rangrang berbeda nyata dengan kontrol sementara perlakuan semut hitam tidak berbeda nyata dengan kontrol
Kata kunci: hama PBK, praktek budidaya, semut rangrang, semut hitam
©Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyatakan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PRAKTEK BUDIDAYA KAKAO DAN PROSPEK
PEMANFAATAN SEMUT HITAM DAN SEMUT RANGRANG
UNTUK PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH
KAKAO DI KABUPATEN KOLAKA, PROVINSI SULAWESI
TENGGARA
NURIADI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Praktek Budidaya Kakao dan Prospek Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara
Nama : Nuriadi
NRP : A351070031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 27 September 2011 Tanggal Lulus: Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si.
Ketua
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Anggota
Koordinator Mayor Entomologi
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyelesaian tulisan ini berbagai pihak telah banyak membantu, oleh karena penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk membimbing penulis.
2. Dirjen DIKTI, PT.INCO Tbk dan Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara yang telah memberikan bantuan finansial bagi penelitian ini.
3. Pak Sapari, atas kebaikan hatinya memberikan izin untuk melakukan penelitian di kebunnya.
4. Asdar, SP, Setsmy, SP, Dewi Tisnawaty, S.Si, Indah Nur Ilawal, SP yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan.
5. Rekan-rekan aktivis ACDI/VOCA dan AMARTA atas bantuannya dalam memberikan data dan informasi.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Mahmud Hamundu, MSc, Dr. Ir. Taane La Ola, MS dan Dr. Ir. I Gusti Ray Sadimantara, M.Sc selaku Rektor Unhlau, Dekan Faperta Unhalu dan Ketua Jurusan Agroteknologi yang telah memberikan izin dalam menempuh studi di IPB.
7. Ayah, Ibu, Istri dan Anak tercinta, atas segala doa dan dukungannya.
8. Sahabat Mahasiswa Entomologi angkatan 2007 dan 2008; Mbak Atin, Mbak Lindung, Mbak Lidya, Yus, Rahma, Mbak Ani, Pak Fardedi, Pak Bagus, Pak Hendrival, Pak Nur Pramayudi, Benyamin Dendang, S.P dan Pak Dendi Juliadi atas semua bantuannya dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan.
9. Warga Desa Lambandia serta semua pihak yang telah bekerja sama membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan dunia pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Saran dan kritik sangat diharapkan dalam rangka perbaikan tesis ini.
Bogor, September 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 8 Juni 1976 dari ayah Sapri (Alm.) dan ibu Hadya. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.
xi
Pengelolaan Hama Terpadu ... 11
Pengendalian Hayati ... 14
Biologi Semut Hitam (Dolichoderus sp.) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati ... 16
Biologi Semut Rangrang (Oechophylla smaradigna) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati ... 18
Nutrisi Predator ... 20
BAHAN DAN METODE ... 23
Tempat dan Waktu ... 23
Survei Praktek Budidaya Kakao dan Pengendalian PBK ... 23
Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang ... 23
xii
Keadaan Pertanaman Kakao ... 27
Praktek Budidaya Kakao ... 27
Karakteristik Petani... 27
Budidaya Kakao ... 31
Hama PBK dan Pengendaliannya ... 38
Sikap Petani terhadap Penggunaan Insektisida dan Musuh Alami ... 41
Partisipasi Petani dalam Kegiatan SLPHT ... 42
Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang ... 44
Kerapatan Populasi Telur, Pupa dan Imago ... 44
Aktivitas Semut ... 48
Intensitas Buah Terserang ... 53
Intensitas Kerusakan Biji ... 57
Pembahasan ... 60
KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
Kesimpulan ... 63
Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Persebaran umur responden petani di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka... 28 2 Latar belakang pendidikan petani di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 29 3 Latar belakang pengalaman berusahatani petani di Desa Lambandia,
Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 30 4 Luas lahan garapan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,
Kabupaten Kolaka ... 31 5 Varietas kakao yang ditanam oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 32 6 Umur tanaman kakao petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,
Kabupaten Kolaka ... 31 7 Populasi tanaman per ha di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,
Kabupaten Kolaka ... 33 8 Pemangkasan tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka... 34 9 Frekuensi pemupukan dan jenis pupuk yang digunakan petani di Desa
Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 35 10 Pengendalian gulma oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka... 35 11 Frekuensi panen kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka... 36 12 Pengolahan buah setelah panen oleh petani di Desa Lambandia,
Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka. ... 36 13 Pengolahan biji kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka.. ... 37 14 Perlakuan terhadap buah dan plasenta oleh petani di Desa Lambandia,
Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka.. ... 37 15 Persepsi masyarakat terhadap jenis hama yang paling merugikan
akibat serangan hama di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia,
Kabupaten Kolaka ... 38 16 Cara pengendalian hama oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan
xiv
17 Pengetahuan tentang letak telur hama PBK oleh petani di Desa
Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 39 18 Kehilangan produksi biji akibat hama PBK oleh petani di Desa
Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 39 19 Cara pengendalian hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka ... 39 20 Sikap petani terhadap insektisida dan pengetahuan tentang
xv
9 Tempat terbentuknya agregasi semut hitam. ... 49
10 Agregasi semut rangrang ... 50
11 Interaksi semut rangrang dan semut hitam dengan kutu putih ... 51
12 Rataan jumlah semut hitam dan semut rangrang yang melintas per 15 menit pada bulan April sampai September 2009 ... 52
13 Semut rangrang dan semut hitam yang melintas pada pohon kakao ... 53
14 Perbandingan Intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan kontrol ... 54
15 Perbandingan Intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan pakan yang berbeda ... 54
xvi
19 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan kontrol ... 57 20 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam
dan semut rangrang dengan pakan yang berbeda ... 57 21 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada pada perlakuan semut
hitam pakan gula pasir dengan Semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi ... 58 22 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada pada perlakuan semut
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Kuesioner survey praktek budidaya kakao dan pengendalian hama
PBK Di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. ... 71 2 Denah Penelitian ... 77 3 Perkembangan populasi telur, pupa dan imago PBK selama bulan
April sampai September 2009 ... 78 4 Kemampuan menyebar semut hitam dan semut rangrang pada bulan
April sampai September 2009 ... 79 5 Rataan jumlah semut hitam dan semut rangrang yang melintas
Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang
peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai
penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu
kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan
pengembangan agroindustri. Pada tahun 2009, perkebunan kakao telah
menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi ± 1.29 juta kepala
keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia serta
memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga pada sub sektor perkebunan
setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar 624 juta dollar AS (Ditjen
Perkebunan 2010).
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam
kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2009 areal perkebunan kakao
Indonesia tercatat seluas 1 110 032 ha. Perkebunan kakao tersebut 87.3% dikelola
oleh rakyat dan selebihnya 6.0% dikelola perkebunan besar negara serta 6.7%
perkebunan besar swasta (Ditjen Perkebunan 2010).
Kualitas Biji Kakao Kering (BKK) dari Indonesia yang sebagian besar
merupakan kakao rakyat, masih dicirikan dengan karakter citarasa lemah, kadar
kotoran tinggi dan banyak terkontaminasi serangga, jamur, mikotoksin dan tidak
terfermentasi dengan baik. Keadaan tersebut di samping menjadikan kakao
Indonesia berharga rendah, juga menyebabkan citra kakao Indonesia masih buruk
di mata dunia. Pemotongan harga terhadap kakao Indonesia yang dikenakan oleh
pemerintah Amerika Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun
2009 telah mencapai 250 dolar AS per ton. Kerugian negara karena masalah mutu
kakao mencapai 5.3 trilyun rupiah per tahun. Kualitas biji kakao Indonesia yang
kurang baik menyebabkan ekspor kakao ke Amerika Serikat, Eropa dan Cina
lebih memilih jalur melalui Singapura (Askindo 2010). Hal ini tidak boleh terus
2
Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu sentra perkebunan kakao
di Indonesia, sampai tahun 2009 luas tanaman kakao mencapai kurang lebih
200 125 ha dengan produksi 134 775 ton. Salah satu masalah yang dihadapi petani
dalam peningkatan produksi kakao di Sulawesi Tenggara adalah adanya serangan
hama penggerak buah kakao (PBK). Hama ini merupakan hama yang paling
merusak, sulit ditanggulangi dan dapat mengakibatkan kehilangan hasil atau
produksi biji sebesar 40-90% (Dishutbun Sultra 2010). Akibat meningkatnya
serangan hama penggerek buah kakao dalam beberapa tahun terakhir, petani di
Sultra menderita kerugian sekitar Rp 352 miliar dalam setahun. Perkiraan
tersebut dihitung dari kekurangan produksi minimal 200 kg setiap hektarnya
dikalikan dengan luas tanaman yang sudah menghasilkan dan harga kakao di
tingkat petani. Luas lahan tanaman kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 200
125 hektar, dengan asumsi harga kakao terendah Rp 11 000.00 per kg.
Di Sulawesi Tenggara hama penggerak buah kakao tersebut mulai
dilaporkan pada tahun 1995 menyerang pertanaman kakao seluas 34.5 ha di
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Selanjutnya hama tersebut
berkembang dengan cepat hingga tahun 2005 telah tersebar di seluruh areal
pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara dengan intensitas kerusakan ringan
sampai berat (Mariadi 2007).
Untuk mengendalikan hama PBK umumnya petani di Sulawesi Tenggara
masih bergantung pada penggunaan pestisida kimia. Metode lain yang digunakan
oleh petani adalah penyarungan buah, pemangkasan, sanitasi, panen sering dan
pemupukan. Pemanfaatan predator dan parasitoid belum banyak dilakukan oleh
petani karena belum diketahui efektivitasnya. Di samping itu, pelatihan teknik
pengembangbiakannya di lapangan masih jarang dilakukan baik oleh pemerintah
maupun organisasi non pemerintah.
Selain permasalahan tersebut, dalam era globalisasi dewasa ini terdapat
tuntutan yaitu produk yang dihasilkan harus memenuhi standar kualitas tertentu
bahwa pengendalian hama di tingkat produsen saat ini masih dominan
menggunakan pestisida kimia, sementara tuntutan konsumen mengarah kepada
persyaratan lingkungan menurut ketentuan Worl Trade Organization (ISO 14000)
dan Codex Alimentarius Commission : adanya ambang batas maksimum
kandungan zat tambahan, logam berat, residu pestisida dan bahan pencemar
lainnya (Askindo 2010). Hal tersebut menjadikan kakao asal Indonesia hanya
digunakan sebagai bahan pencampur. Apabila kakao Indonesia ingin bersaing di
pasar global maka persyaratan tersebut harus dipenuhi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing produk kakao Indonesia
adalah melalui pengembangan dan penerapan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Dilihat dari sisi perundang-undangan, PHT telah memperoleh dukungan
yang kuat dari pemerintah melalui UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman, PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan
Menteri Pertanian No.887/Kpts/OT/9/1997 tentang pedoman Pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Secara global PHT atau Integrated Pest
Management (IPM) memperoleh pengakuan sebagai program pertanian
berkelanjutan antara lain dengan dimasukkannya PHT sebagai salah satu program
dalam Agenda 21 Hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
Tujuan umum program PHT adalah pengembangan sistem pengelolaan
hama terpadu dan berwawasan lingkungan untuk mewujudkan pembangunan
pertanian yang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan komponen pengendalian
OPT yang akrab lingkungan seperti penggunaan agens hayati (predator, parasitoid
dan patogen serangga) perlu memperoleh perhatian dan dukungan (Untung 1993).
Pada kenyataannya, PHT merupakan metode dan proses pengambilan keputusan
pada struktur ekosistem untuk meminimalkan kerusakan akibat hama dan
menghadapi permasalahan hama yang tidak bisa dihindari (Pawar 2002).
Menurut van den Bosch et al. (1982), Pengendalian Hayati mencakup tiga
pengertian yaitu : (a) sebagai disiplin ilmu (b) sebagai metode pengendalian hama
dan (3) sebagai fenomena alami. Sebagai bidang ilmu, pengendalian hayati
4
hayati menitikberatkan kajian pada interaksi antara organisme dan musuh
alaminya. Organisme target berkedudukan sebagai mangsa (prey) atau inang
(host) sedangkan musuh alaminya bersifat sebagai predator. Penggunaan musuh
alami untuk pengendalian serangga hama baik predator, parasitoid, patogen, agen
antagonis dan kompetitor serangga hama merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dalam pengendalian hayati (Norris et al. 2003).
Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen pengendalian utama
di dalam PHT dengan memanfaatkan semut hitam (Dolichoderus thoracicus)
dan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) yang merupakan musuh alami
hama PBK. Penerapan PHT diharapkan dapat berkontribusi nyata dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas kakao di Indonesia (ACDI VOCA 2005)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan bekerjasama
dengan LSM ACDI VOCA pada sentra perkebunan kakao di Sulawesi Tenggara
menunjukkan bahwa dijumpai empat spesies semut yang terdapat pada tanaman
kakao yaitu Oecophylla smaragdina (semut rangrang), Dolichoderus sp (semut
hitam), Anoplolepis longipes, dan Iridomyrmex sp. Dari ke empat spesies hanya
Dolichoderus sp dan Oecophylla smaragdina yang memiliki potensi yang baik
dalam menekan serangan hama PBK (ACDI VOCA 2005). Di Sulawesi Tengah
(Pallolo Valley) keanekaragaman semut didominasi oleh Dolichoderus thoracicus
(46%), Oechophylla smaradigna (31%), Crematogaster sp (21%) dan Iridomyrex
sp (2%) (Meldy 2004).
Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan
menjadi nutrisi essensial dan nutrisi alternatif untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan organisme pradewasa, serta reproduksi imago agar mampu
mempertahankan populasinya (Dicson 2003). Nutrisi yang dibutuhkan serangga
adalah asam amino, karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral dan air (Chapman
2000).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diteliti pemanfaatan semut hitam dan
bahan sebagai sumber makanan untuk pengembangbiakan awal di lapangan.
Penelitian dilakukan di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten
Kolaka yang merupakan sentra penghasil kakao terbesar di Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan pengendalian
hama PBK, pengaruh keberadaan semut hitam dan semut rangrang terhadap
intensitas serangan dan kerusakan biji akibat serangan hama PBK.
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat menghasilkan informasi cara praktek budidaya
kakao dan pengendalian hama PBK serta diperoleh teknologi yang dapat
diimplementasikan petani untuk pengendalian hama PBK yang ramah
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik buah kakao
Kakao berbunga sepanjang tahun dan bunganya tumbuh secara
berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada batang, cabang atau
ranting. Bunga kakao tergolong bunga sempurna, terdiri dari daun kelopak
sebanyak 5 helai dan benang sari sebanyak 10 helai. Jumlahnya dapat mencapai
5.000–12.000 bunga per pohon per tahun, tetapi jumlah buah matang yang
dihasilkan hanya berkisar satu persen. Dalam setiap buah terdapat 30-50 biji,
tergantung pada jenis kakao. Variasi produksi buah antara pohon dipengaruhi
banyak faktor, antara lain jumlah bunga yang dihasilkan, sifat compatible dan
incompatible dari masing-masing klon, pengaruh layu buah muda, dan tingkat
serangan hama dan penyakit sejak pertumbuhan hingga panen (Sulistyowati
2003).
Kakao dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu tipe Criollo, Forastero dan
Trinitario. Tipe Criollo memiliki karakter dengan ciri permukaan kulit buah
kasar, alur dalam, kulit buah tebal dan lunak, tipe Forastero memiliki permukaan
kulit buah kasar, alur dalam, kulit buah tipis dan keras sementara tipe Trinitario
memiliki karakter permukaan kulit buah halus, alur dangkal, kulit buah tipis dan
keras
Serangga dewasa PBK meletakkan telur pada permukaan buah kakao,
biasanya diletakkan pada lekukan buah. Telur– telur tersebut diletakkan secara
individu maupun berkelompok antara 50–300 butir. Buah kakao yang paling
disukai untuk meletakkan telur adalah buah yang memiliki alur kulit yang dalam
serta ukuran panjang buah kurang lebih 9 cm pada umur 60-75 hari. Saat ini
petani banyak menanam kakao dari jenis Forastero yang memiliki kulit buah kasar
dan alur dalam sehingga disenangi oleh hama PBK untuk meletakkan telur.
(Wiryadiputra 1996).
Fenologi Buah Kakao
Pertumbuhan buah kakao dapat dibagi dalam dua fase. Fase pertama
pertama pertumbuhan buah agak lambat dan mencapai puncaknya pada umur 75
hari. Pada umur tersebut panjang buah dapat mencapai sekitar 11 cm. Fase kedua
ditandai dengan pertumbuhan pembesaran buah, berlangsung cepat sampai umur
120 hari, ukuran panjang buah mencapai 12-15 cm. Pada umur 143-170 hari
buah telah mencapai ukuran maksimal dan mengalami proses pemasakan yang
ditandai dengan perubahan warna kulit buah dan terlepasnya biji dari kulit buah
(Puslitkoka 2006).
Hama PBK aktif meletakkan telur pada buah kakao pada fase pertama
yaitu buah umur 75 hari dan ukuran buah mencapai ± 11 cm. Peletakan telur
dilakukan pada malam hari. Buah kakao yang paling disukai untuk tempat
meletakkan telur adalah buah yang permukaannya memiliki alur dalam dan kasar.
Dalam kaitannya dengan perkembangan hama PBK maka upaya pengendalian
perlu diusahakan sedini mungkin pada saat buah berada pada fase pertama
(Puslitkoka 2006).
Bioekologi Hama Penggerek Buah Kakao
Telur hama penggerek buah kakao berbentuk oval dan pipih dengan panjang
0.45-0.50 mm, lebar 0.25-0.30 mm, berwarna oranye. Telur diletakkan pada
buah muda secara terpisah antara satu dengan yang lain. Lama stadium telur
berkisar 2-7 hari (Sjafaruddin 1997).
Larva yang baru keluar dari telur langsung menggerek ke dalam buah dan
memakan permukaan dalam kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji
(plasenta). Akibat serangan tersebut biji menjadi lengket satu sama lain dan tidak
berkembang sempurna. Larva berganti kulit 4 kali dalam waktu 14–18 hari. Pada
pertumbuhan penuh, panjang larva mencapai 12 mm dan berwarna hijau muda.
Larva dewasa menjelang berkepompong keluar dari dalam buah dengan cara
menggerek kulit buah, membentuk lubang keluar dengan diameter ± 1 mm.
Setelah larva keluar dari dalam buah, larva merayap pada permukaan buah atau
menggantungkan diri dengan benang–benang sutra untuk mencari tempat
9
Pupa dapat ditemukan pada permukaan buah, batang, cabang atau pada
permukaan tanah yang tertutupi oleh daun yang gugur. Kokon berbentuk oval
berwarna kuning, berukuran (13–18) x (6–9) mm, sedangkan kepompong
berwarna coklat dengan ukuran panjang 6–7 mm dan lebar 1–1.5 mm. Ukuran
kepompong menjadi lebih panjang bila diukur bersama pembungkus tungkai dan
antena, Stadium kepompong 6–8 hari, setelah itu berubah menjadi ngengat
(Sjafaruddin 1997).
Serangga dewasa berwarna dasar coklat dengan warna putih bergaris zig–
zag pada sayap depan dan spot kuning oranye menyerupai batik pada ujung
sayapnya. Ukuran panjang tubuh ngengat pada saat istirahat 7 mm dengan rentang
sayap mencapai 12 mm. Antena lebih panjang dari tubuhnya serta mengarah ke
belakang. Ngengat aktif terbang, kawin dan meletakkan telur pada malam hari
sejak pukul 18.00–07.00. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat –
tempat yang gelap dan terlindung dari sinar matahari terutama pada cabang –
cabang horizontal. Lama hidup ngengat betina berlangsung 7 hari dan siklus
hidup dari telur sampai ngengat berlangsung ± 1 bulan (Kartasapoetra 1993).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 73.43 % hama PBK menyukai
cabang horizontal yang berdiameter antara 5.1-10 cm, dan selebihnya pada cabang
vertikal dengan diameter 0-5 cm. Ngengat tidak mampu terbang jauh, hanya
mencapai ± 153 m apabila dilakukan pemerangkapan dengan feromon seks
(Sudarsianto 1995).
Gejala Serangan dan Kerusakan
Hama PBK umumnya menyerang buah kakao yang masih muda dengan
panjang kurang lebih 10-12 cm pada umur 75 hari. Fase yang menimbulkan
kerusakan adalah fase larva. Larva PBK memakan daging buah dan saluran yang
menuju biji tetapi tidak menyerang biji. Gejala serangan baru tampak dari luar
pada saat biji telah rusak.
Buah yang terserang memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pada jenis buah merah masak jingga, warna jingga tidak merata dan ada
2. Pada jenis buah hijau masak kuning, warna kuning tidak merata dan ada
lubang-lubang kecil pada permukaan buah
3. Apabila buah terserang hama PBK digoyang tidak akan berbunyi seperti
halnya pada buah sehat yang masak.
4. Buah kakao yang terserang hama PBK pada saat dibelah akan tampak biji-biji
melekat satu sama lain, tidak berkembang dan ukurannya menjadi lebih kecil
dan ringan.
Gejala serangan pada buah muda, permukaan buah yang terserang berupa
bercak besar berwarna kuning. Jika buah–buah yang menunjukkan gejala tersebut
dibelah, kulit buah dan tangkai biji tempat larva mengambil makanan terlihat
berwarna coklat. Sedangkan daging buah yang biasanya berwarna putih pada
serangan berat akan berwarna coklat kehitaman. Jika buah tersebut dibelah
terlihat jalur–jalur gerekan larva dan tampak buah berwarna kecoklatan
(Sulistyowati & Prawoto 1993).
Buah kakao yang terserang hama PBK dapat berkembang seolah-olah
tidak terjadi serangan, buah yang terserang tidak ada perbedaan dengan buah
kakao yang sehat. Gejala baru tampak dari luar setelah buah matang pada saat
panen, buah kakao yang terserang berwarna agak jingga atau pucat keputihan,
buah menjadi lebih berat dan bila diguncang tidak terdengar suara gesekan antara
biji dengan dinding buah. Hal itu terjadi karena timbulnya lendir dan kotoran pada
daging buah dan rusaknya biji-biji di dalam buah. Kerusakan daging buah akibat
serangan PBK disebabkan oleh enzim heksokinase, malate dehidrogenase,
fluorescent esterase and malic enzyme polymorphisms yang disekresikan oleh
PBK (Wessel 1993).
Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kakao
Hama penting yang menyerang tanaman kakao adalah hama penggerek
buah kakao (Conopomorpha cramerella), pengisap buah kakao (Helopeltis sp,),
penggerek kulit batang kakao (Glenea sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp).
Di antara hama penting tersebut hama PBK merupakan hama yang tertinggi
11
dibandingkan dengan hama penting lainnya (Dishutbun Sultra 2006). Hama lain
yang ditemukan pada tanaman kakao adalah ulat kilan (Hyposidra talaca),
kumbang (Apogonia sp.) danulat api (Darna trima) (Hindayana et al. 2002).
Produksi kakao di Sulawesi Tenggara mulai terancam dengan adanya
serangan PBK. Hama ini merupakan hama yang cukup merugikan (Wardoyo
1982). Sifat penyebaran hama ini relatif cepat dan masih sulit dikendalikan
(Sulistyowati & Santosa 1995 ; Sulistyowati & Yunianto 1996). Pada tahun 1995
tercatat bahwa hama PBK menyerang kurang lebih 424.8 ha kakao di Sulawesi
Tenggara. Tetapi saat ini luas serangan telah mencapai lebih dari 200 125 ha,
artinya hama PBK telah menyebar di seluruh areal kakao di Sulawesi Tenggara.
Kerugian yang diakibatkan oleh hama ini ditaksir telah mencapai 19.639.04 ton
per tahun setara dengan 216 miliar rupiah. Luas dan daerah sebaran ini terus
meningkat bila pengendalian yang efektif dan efesien tidak dilakukan (Dishutbun
2010).
Menurut Soekadar (2007) musuh alami yang potensial digunakan sebagai
musuh alami pada tanaman kakao selain semut hitam (Hymenoptera: Formicidae)
adalah laba-laba (Araneae: Salticidae), semut angkrang/rangrang (Hymenoptera:
Formicidae), Trichogramma (Hymenoptera: Trichogrammatidae), kumbang kubah
(Coleoptera: Coccinellidae), cecopet (Dermaptera), lalat apung (Diptera :
Syrphidae), tawon (Hymenoptera: Vespidae).
Pengelolaan Hama Terpadu
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) bukan sesuatu yang baru karena jauh
sebelum tahun 1959 baik di Amerika maupun di Indonesia praktek pengendalian
hama sudah dicoba dengan menggunakan dasar pertimbangan ekologi dan
ekonomi. Konsep PHT muncul akibat kesadaran manusia akan bahaya pestisida
sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan lingkungan hidup suatu ekosistem
dan kehidupan manusia secara global. Kenyataan yang terjadi penggunaan
pestisida oleh petani di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga
diperlukan adanya cara pendekatan pengendalian hama yang baru sehingga dapat
Pengendalian hama terpadu merupakan suatu teknologi pengendalian hama
yang memanfaatkan berbagai cabang ilmu dalam suatu ramuan yang serasi yang
satu memperkuat yang lain. Masalah hama terjadi, selain akibat interaksi antara
tanaman dengan hama itu sendiri juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor fisik
dan biota sekitarnya, seperti iklim dan cuaca, tingkat kesuburan tanah, mutu
benih, teknik–teknik agronomi, keragaman biota dan ulah manusia sendiri sebagai
pengelola (Untung 1993).
Konsepsi PHT adalah memadukan semua metode pengendalian hama yang
ada, termasuk di dalamnya pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik,
pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati dan pengendalian
kimiawi. Dengan cara ini ketergantungan petani terhadap pestisida yang menjadi
cara pengendalian hama utama dapat dikurangi. Dilihat dari segi operasional
pengendalian hama dengan PHT dapat diartikan sebagai pengendalian hama yang
memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa
sehingga populasi hama dapat berada di bawah ambang ekonomi. Dengan
keadaan populasi hama yang rendah, budidaya tanaman untuk meningkatkan
produktivitas tidak akan terhambat oleh gangguan hama tanaman (Untung 1993).
PHT merupakan konsep pengelolaan hama yang berwawasan ekologi,
dengan pendekatan yang menekankan bekerjanya agensia-agensia pengendalian
alami seperti predator dan parasitoid, melalui mekanisme homeostatis mampu
mempertahankan keseimbangan tersebut, sehingga populasi hama tidak akan
mendatangkan kerugian ekonomi bagi petani. Berhubung konsep PHT lebih
menekankan pada penjagaan dan pemantapan keseimbangan ekosistem dengan
mempertahankan populasi hama berada di bawah ambang ekonomi maka akan
terbentuk agroekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi
sehingga terbentuk agroekosistem yang relatif stabil selalu diupayakan
(Sosromarsono 1992).
Kendala dalam pengendalian hama PBK terkait dengan biologi serangga
yakni serangga dewasa C. cramerella meletakan telur pada permukaaan buah,
kemudian telur menetas dan setelah itu larva langsung masuk ke dalam buah.
13
pada permukaan buah, daun segar, cabang pada pohon daun-daun kering di atas
tanah atau bahan yang dapat dijangkau oleh larva di sekitar tanaman terserang
(Pardede et al. 1994).
Perilaku hama PBK seperti ini merupakan salah satu kendala dalam usaha
pengendaliannya. Pengendalian dengan menggunakan insektisida sintesis atau
biopestisida sulit untuk mencapai target sasaran karena larva yang baru menetas
langsung masuk ke dalam buah. Demikian pula pupa dibungkus oleh kokon yang
dapat melindungi pupa kontak dengan pestisida. Di lapangan pestisida mudah
diperoleh petani, sehingga berkembang ketergantungan petani pada pestisida.
Selain itu penggunaan insektisida sintesis dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, resistensi dan resurgensi hama. Dengan demikian perlu
dicari agens pengendali alternatif yang dapat mengendalikan dan menekan
populasi hama PBK untuk mempertahankan produksi serta mudah diaplikasikan
petani.
Komponen pengendalian hama PBK yang ada melalui pendekatan kultur
teknis, mekanis, dan kimiawi. Komponen kultur teknis tersebut antara lain panen
sering yang diikuti dengan pembenaman kulit buah, pangkasan memperpendek
tajuk, sedangkan komponen mekanis yang dianjurkan adalah sarungisasi
(Mursamdono & Wardojo 1984). Pemanfaatan agens hayati untuk pengendalian
PBK juga telah dilaporkan, antara lain dengan semut hitam (Dolichoderus
thoracicus), jamur entomopatogen Beauveria bassiana dan Paecilomyces
fumosoroseus (Sulistyowati et al. 2002), dan nematoda entomopatogen
Steinernema spp. (Wardoyo 2000). Pengendalian hama PBK secara kimiawi yang
direkomendasikan adalah melalui penyemprotan insektisida sintetik piretroid. Di
antara komponen pengendalian tersebut metode sarungisasi (penyarungan buah)
terbukti efektif menekan populasi hama PBK akan tetapi dalam aplikasinya
memerlukan biaya dan tenaga kerja yang tinggi. Demikian halnya dengan aplikasi
insektisida kimiawi juga memerlukan biaya tinggi serta adanya risiko pencemaran
lingkungan dan tidak efektif (Sulistyowati et al. 2002).
Varietas tahan merupakan komponen penggendalian organisme penganggu
penyakit tanaman. Pemanfaatan varietas tanaman tahan untuk pengendalian
organisme pengganggu diamanatkan dalam UU No. 12 tahun 1992 melalui sistem
pengendalian hama terpadu. Pengendalian Hama Terpadu dengan melibatkan
komponen varietas tanaman tahan, agens hayati, dan manajemen lingkungan
berdasarkan pertimbangan ekologis, ekonomis, dan sosiologis guna mendukung
sistem budidaya yang ramah lingkungan.
Sehubungan dengan pengendalian hama PBK, tanaman tahan belum dapat
digunakan sebagai komponen penggendalian karena hingga kini belum tersedia
bahan tanam tahan PBK. Saat ini sedang diupayakan perakitan bahan tanam tahan
PBK yang diharapkan akan menjadi komponen penting dalam sistem
pengendalian hama terpadu (Bradley 2000).
Pengendalian Hayati
Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap
kelestarian lingkungan hidup, semakin banyak pula aspek lingkungan yang
dipertimbangkan sebelum melakukan berbagai pengambilan keputusan, termasuk
sebelum melakukan tindakan pengendalian hama dalam usaha taninya. Berbagai
cara pengendalian hama tanaman telah dikenal manusia, namun tidak semua cara
tersebut bersifat ramah lingkungan. Salah satu cara pengendalian hama yang
dianggap ramah lingkungan adalah pengendalian hayati. Pengendalian hayati
sudah dikenal manusia sejak ribuan tahun yang lalu dan sudah diimplementasikan
dalam perlindungan tanaman sejak abad ke-17. Namun, di sekitar pertengahan
Abad ke-20 popularitas pengendalian hayati memudar karena gencarnya promosi
pengendalian secara kimiawi yang ternyata menimbulkan berbagai permasalahan
lingkungan hidup. Baru pada akhir Abad ke-20, pada saat manusia semakin sadar
terhadap kelestarian lingkungan, muncul kebutuhan untuk kembali kepada
pengendalian hayati. Pengendalian hayati menekankan pada interaksi
mangsa-predator dan inang-parasitoid, serta interaksi antara patogen dan inang-terutama
serangga inang (Susilo 2007)
Pengendalian hayati merupakan salah satu metode pengendalian hama
15
Dalam konteks ini musuh alami adalah agens pengendali (control agents) yang
dapat berkembang biak di alam. Populasi musuh alami diharapkan dapat beraksi
secara terpaut kepadatan (density dependence) dengan populasi hama, artinya daya
kendali oleh musuh alami itu semakin tinggi pada populasi hama yang semakin
padat. Dengan demikian pengendalian hayati diharapkan dapat mencegah
peledakan populasi hama.
Pengendalian hayati dapat pula dipandang sebagai pengimplementasian
fenomena alami. Pengendalian alami adalah pengaturan populasi oleh
faktor-faktor alami sehingga dalam jangka waktu tertentu populasi organisme target
berada pada batas keseimbangan. Faktor-faktor alami itu dapat diklasifikasikan ke
dalam faktor abiotik (tidak hidup) dan faktor biotik (hidup). Yang termasuk faktor
abiotik antara lain adalah cuaca dan iklim sedangkan di antara faktor biotik, yang
terpenting adalah musuh alami (parasitoid, predator, patogen). Sebagai fenomena
alami, pengendalian hayati adalah pengendalian organisme oleh parasitoid,
predator, atau patogen yang terjadi secara alamiah (DeBach & Rosen 1991).
Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sebagai
metode, pengendalian hayati biasanya diimplementasikan dalam bentuk
introduksi, augmentasi, dan atau konservasi musuh alami. Pengendalian hayati
juga dapat dipandang sebagai suatu bidang ilmu. Sebagai bidang ilmu yang
menitikberatkan kajian pada interaksi antara hama dan musuh alaminya,
pengendalian hayati mengembangkan metode-metode pengukuran aktivitas
musuh alami dan metode-metode evaluasi dampak pengendalian hayati (Bellows
& Fisher 1999)
Bila sudah berada di agroekosistem, maka musuh alami perlu dikonservasi
dan diaugmentasi. Konservasi adalah upaya untuk mempertahankan keberadaan
(survival) musuh alami di habitat sedangkan augmentasi dimaksudkan untuk
meningkatkan populasi musuh alami sehingga kinerjanya sebagai agens hayati
semakin tinggi. Konservasi umumnya dilakukan melalui manipulasi lingkungan
sedangkan augmentasi biasanya dilakukan melalui pembiakan massal musuh
alami. Walaupun mudah dibedakan secara teori, dalam prakteknya konservasi
(augservasi) (DeBach & Rosen 1991)
Dalam rangka augmentasi dan konservasi musuh alami, pengelolaan
habitat dapat dilaksanakan antara lain dengan mengurangi aplikasi pestisida.
Perlakuan pestisida dapat mengakibatkan kematian langsung musuh alami. Selain
itu pestisida juga dapat berefek buruk secara tidak langsung terhadap musuh alami
melalui perusakan kompleksitas sumberdaya musuh alami tersebut (Van den
Bosch et al 1982).
Hasil penelitian tentang peranan semut dalam mengendalikan serangan
hama PBK yang dilakukan oleh LSM ACDI VOCA dari Amerika Serikat
bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin yang didanai oleh American Cocoa
Research Institute (ACRI) mendapatkan bahwa pada pertanaman kakao di
Sulawesi, pengendalian hama PBK dapat dilakukan dengan menggunakan semut
hitam yang dikombinasikan dengan introduksi kutu putih (Cataenococcus
hispidus) (SUCCESS Sulawesi 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Meldy (2004) di Sulawesi Tengah
mendapatkan bahwa serangga yang berperan sebagai musuh alami hama PBK,
yaitu Oecophylla smaragdina (semut rangrang), Dolichoderus thoracicus (semut
hitam), Anoplolepis longipes dan Iridomyrmex sp. Sementara Iridomyrmex
berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa semut itu membawa dan
menyebarkan spora-spora cendawan Phytophthora palmivora yang menyebabkan
penyakit busuk buah kakao dan penyakit kanker batang. Dalam pengendalian
hama PBK maka semut yang berperan sebagai musuh alami dapat diaugmentasi
sehingga keberadaannya di lapangan tetap terjaga dan dapat berfungsi sebagai
musuh alami.
Biologi Semut Hitam (Dolichoderus, sp.) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati
Siklus hidup semut hitam terbagi dalam empat fase, yaitu fase telur, larva,
pupa, dan dewasa. Lama perkembangan dari telur hingga dewasa rata-rata 30 –
40 hari (Bolton 1997).
17
semut pejantan. Setiap kasta memiliki bentuk tubuh dan tugas yang berbeda dari
kasta lain. Semut pekerja bertugas antara lain mencari makan, membangun
sarang, menjaga koloni dari musuh, serta menjaga larva dan semut ratu. Semua
semut kasta pekerja berjenis kelamin betina dan biasanya tidak dapat
menghasilkan keturunan. Reproduksi terjadi setelah semut jantan membuahi
semut betina (Dejean 2000).
Populasi pekerja terus berkembang secara eksponensial dan luas sarang
semakin bertambah. Seringkali populasi koloni terlalu padat sehingga para
pekerja mencari lokasi baru di luar sarang untuk dijadikan sarang tambahan.
Sarang tambahan ini disebut sarang satelit guna mewadahi populasi koloni yang
tidak tertampung di sarang utama tempat semut ratu berada. Koloni semut dapat
meninggalkan sarang sepenuhnya dan pindah ke lokasi lain, jika sarang yang lama
tidak dapat lagi mendukung populasi koloni, saat sumber daya sekitar telah habis,
terjadi perubahan lingkungan yang mengancam keselamatan koloni, atau jika
muncul gangguan seperti kerusakan akibat serangan pemangsa, maka semut akan
membuat sarang baru (Brown 2000).
Pada tanaman kakao, semut hitam mencari makan (foraging) di sekitar
pertanaman kakao dengan daya jelajah 10-15 m setiap hari/koloni. Sarang semut
hitam terdapat pada rongga di dalam kayu lapuk, celah di bawah batuan atau
kayu, di antara kulit batang pohon, di antara serasah, rongga di dalam ranting dan
liang bekas sarang rayap atau kumbang (Ho 1994). Sumber makanan dapat
diperoleh dari telur serangga lain yang terdapat di pohon kakao dan embun madu
yang dihasilkan oleh kutu putih C. hispidus (Hemiptera; Pseudococcidae).
Pemanfataan semut hitam sebagai agensia hayati di Malaysia telah dimulai sejak
tahun 1996. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa seekor semut
hitam dapat memangsa telur C. cramerella sebanyak 5 butir / hari dan kasta
pekerja semut hitam di lapangan memiliki perilaku membawa telur hama PBK ke
sarangnya untuk dijadikan sebagai sumber makanan (Ho & Khoo 1997).
Keberadaan semut hitam yang berkeliaran pada tanaman kakao juga dapat
mengganggu imago hama PBK yang beristirahat pada siang hari (Sulistyowati &
Di samping sebagai musuh alami hama PBK, semut hitam dapat berfungsi
sebagai pembawa Trichoderma sp. yang berperan sebagai agensia hayati terhadap
penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phythophthora palmivora (See
& Khoo 1996). Dengan demikian semut hitam berperan ganda selain sebagai
predator juga sebagai pembawa agensia hayati. Potensi inilah yang menjadikan
semut hitam dapat dijadikan sebagai agen pengendali hayati pada tanaman kakao.
Pemanfaatan semut hitam untuk mengendalikan hama Helopelthis antonii
pada tanaman kakao di Indonesia telah dilakukan pada masa penjajahan Belanda
pada tahun 1930-1940. Pada masa itu semut hitam telah dikomersilkan kepada
petani (Rauf 2007). Petani kakao di Kecamatan Labuhan Ratu Lampung Timur
telah memasang daun kelapa atau daun kakao kering yang diikatkan pada bagian
batang. Kemudian, pada daun kering tersebut diletakkan sarang semut. Pada
pohon kakao yang terdapat sarang semut serangan hama PBK lebih rendah dan
petani dapat menghemat biaya pembelian bahan kimia sebesar Rp 500 ribu/ha
dalam satu tahun (Radar Lampung 2004).
Pemanfaatan semut hitam telah dilakukan di Sulawesi Tengah dengan
dukungan Balai Karantina Tumbuhan dan penyuluh setempat dengan melakukan
sosialisasi kepada petani dalam pemanfaatan semut hitam untuk pengendalian
hama PBK. Sosialisasi dilakukan karena sebagian besar penduduk Sulawesi
Tengah mengusahakan tanaman kakao (Badan Karantina Tumbuhan 2006).
Biologi Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati
Siklus hidup semut rangrang terbagi dalam empat fase yaitu telur, larva,
pupa, semut dewasa. Telur berbentuk elips dengan ukuran 0.5 mm x 1 mm. Larva
berwarna putih, tidak memiliki tungkai dan sayap. Ratu meletakkan telur dalam
sarang, telur kemudian menetas menjadi larva. Selama perkembangannya, larva
mengalami beberapa kali ganti kulit kemudian akan berkembang menjadi pupa
selanjutnya pupa akan menjadi semut dewasa (Holldobber & Wilson1999).
Semut rangrang hidup dalam kelompok sosial, pekerjaan dibagi sesuai
19
serta disiplin, mereka dapat melakukan banyak hal. Dalam satu koloni terdapat
beberapa tipe individu yaitu: ratu semut, semut jantan, semut pekerja dan semut
prajurit (Van Mele & Cuc 2004). Sarang semut rangrang dibuat secara bersama.
Semut pekerja bertugas untuk menarik daun sementara semut lainnya merajut
daun dari dalam dengan bantuan larva yang menghasilkan benang sutera.
(Holldobler & Wilson 1999).
Jumlah semut dalam satu sarang bervariasi, rata-rata antara 4000 sampai
6000 individu, dan dalam satu koloni terdapat sekitar 500.000 semut dewasa.
Sekumpulan semut yang hidup dalam satu kelompok dengan pola hidup sosial
disebut koloni. Koloni semut merupakan keluarga besar dengan beberapa sarang
dan individu yang saling mengenal dan bekerja sama secara erat pada suatu
daerah tertentu. Banyaknya sarang yang ditemukan dalam satu koloni dipengaruhi
oleh beberapa faktor misalnya ketersediaan makanan dan tingkat gangguan yang
terjadi. Satu koloni dapat mencapai 100 sarang. Sarang-sarang tersebut dapat
tersebar pada lebih dari 15 pohon, atau pada luasan lebih dari 1000 m2
Semut rangrang mempunyai beberapa sifat dalam mencari makan/mangsa,
antara lain: (a) pemberani, semut rangrang berani menyerang organisme lain yang
mengganggu meskipun ukuran tubuhnya lebih besar dari mereka (b) agresif,
semut rangrang dapat melintas untuk mencari makan sepanjang hari. (c) disiplin,
apabila ada suatu aktifitas yang harus dilakukan secara berkelompok, maka semua
akan berperan serta dalam aktifitas tersebut, dan tak seekor semut pun yang
meninggalkan kelompoknya. (d) cerdas, kelompok semut rangrang membangun
sistem komunikasi di antara mereka dengan mengeluarkan feromon. Dalam
waktu singkat semua anggota kelompok dapat mengetahui apabila terjadi sesuatu
dalam kelompoknya dan mereka akan langsung melakukan pembagian tugas apa
yang harus dilakukan (Van Mele & Cuc 2004).
(Van Mele
2000).
Manfaat semut rangrang telah dikenal di banyak negara seperti di China,
atau memangsa berbagai jenis hama seperti kepik hijau, ulat pemakan daun dan
imago serangga yang bersembunyi di daun. Di samping itu semut rangrang dapat
mengendalikan sebagian besar hama pada tanaman jeruk, mete dan kakao dari
serangan hama kepik dan penggerek buah (Van Mele & Cuc 2004). Di Malaysia
penggunaan semut rangrang spesies Oecophylla longinoda dan Oecophylla
smaradigna (Hymenoptera : Formicidae) dilaporkan dapat memangsa jenis-jenis
hama Helopeltis theobromae (Hemiptera : Miridae), Amblypelta theobromae
(Hemiptera : Coreidae), Distantiella theobromae (Hemiptera : Miridae) dan
Panthorytes sp. (Coloeptera : Curculionidae ) (Way & Khoo 1992)
Nutrisi Predator
Secara umum predator memiliki mangsa yang berbeda dari segi taksa,
ukuran dan kelas. Masing-masing predator memerlukan mangsa dengan nutrisi
yang berbeda sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangbiakannya. Perbedaan
kualitas dan kuantitas mangsa mempengaruhi kebugaran predator. Mangsa yang
berkualitas bagi predator adalah yang memiliki komposisi nutrisi dan unsur
penting (energi, nutrisi, dan toksin) yang mirip satu sama lain sehingga dapat
dijadikan sebagai kisaran mangsanya. Kesesuaian mangsa dapat dievaluasi
dengan cara mempelajari pertumbuhan, perkembangan, daya tahan, dan
fekunditas predator (Dicson 2003).
Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan
menjadi nutrisi essensial dan nutrisi altematif. Nutrisi essensial adalah sumber
makanan yang mengandung nutrisi yang dapat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan organisme pradewasa dan reproduksi imago sedangkan nutrisi
altematif adalah sumber makanan yang mengandung nutrisi yang hanya dapat
menyokong atau bertahan suatu organisme. Nutrisi yang dibutuhkan serangga
menurut (Chapman 2000) yaitu:
1. Asam amino: tersedia dalam bentuk protein dan secara struktur membentuk
enzim, setiap serangga membutuhkan kadar protein yang berbeda. Enzim
berfungsi sebagai media transport dan penyimpanan dan sebagai molekul
21
sklerotisasi.
2. Karbohidrat: tidak termasuk ke dalam kategori essensial untuk serangga pada
umumnya, lebih umum diperlukan sebagai sumber energi. Karbohidrat dapat
disintesis dari asam amino.
3. Lipid: Penting untuk sumber energi dan pembentukan membran serta hormon
sintesis, pada serangga umumnya lemak disintesis dari protein dan
karbohidrat. Sebagai eontoh hormon ganti kulit, Ecdysone disintesis dari
sterol. Kolesterol penting untuk perkembangan dan menghasilkan fekunditas
yang tinggi.
4. Vitamin : dibutuhkan untuk mendukung berjalannya fungsi tubuh, vitamin
juga dibutuhkan untuk membentuk jaringan tubuh. Sebagai contoh β-arotene
(provitamin A) berguna sebagai komponen pigmen penglihatan,α-tocopherol
(Vitamin E) penting untuk reproduksi, fertilitas dan perkembangan embrio.
5. Mineral : dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tetapi
dibutuhkan dalam jumlah sedikit.
6. Purines dan pyrimidines: DNA dan RNA adalah molekul yang membawa dan
memediasi kode genetik.
7. Air: penting untuk serangga secara umum.
Semut hitam memakan sekresi gula kutu daun dan telur serangga lain.
Sekresi gula berupa embun madu ini adalah sumber karbohidrat bagi semut.
Antara semut dan kutu daun tersebut seringkali terbentuk simbiosis saling
menguntungkan karena semut memberikan perlindungan, sementara kutu daun
memberikan sekresi embun madu (Way & Khoo 1992).
Semut hitam dapat dipelihara pada pohon kakao dengan memakai daun
kelapa dan gula merah dalam sepotong bambu. Metode ini juga dapat dipakai
untuk memindahkan kelompok semut dari pohon ke pohon. Setelah semut
menempati bambu tersebut, bambu dipindahkan ke pohon baru (Hindayana et al.
2002).
Makanan semut sangat beragam, namun dapat diklasifikasikan ke dalam
rangrang lebih menyukai protein daripada gula. Protein dapat ditemukan pada
daging, ikan, ayam dan serangga. Semut rangrang aktif mencari makanan dan
membawanya ke dalam sarang untuk seluruh anggota sarang tersebut. Perilaku
mencari makan (foraging behaviour) semut rangrang dilakukan dengan
memangsa berbagai jenis hama, misalnya ngengat yang aktif pada malam hari
maupun yang bersembunyi di bawah daun pada siang hari. Selain butuh protein,
semut rangrang memerlukan makanan tambahan berupa gula. Untuk mendapatkan
gula, semut rangrang lebih suka mengisap cairan tanaman atau nektar. Pada saat
membangun sarang, semut rangrang mencari daun-daun muda yang dihuni oleh
serangga penghasil embun madu dan memasukkannya ke dalam sarang. Semut
rangrang mendapatkan gula dari serangga penghasil embun madu tetapi jika
jumlah gula yang dihasilkan oleh serangga ini lebih besar dari kebutuhan
koloninya, maka semut akan membunuh serangga tersebut (Van Mele & Cuc
2004).
Pengembangbiakan semut rangrang pernah dilakukan pada sentra
perkebunan kakao di Sulawesi Selatan oleh La Daha (2007) yaitu dengan
memanfaatkan jeroan dari usus ayam. Jeroan diletakkan pada bagian tengah
pohon kakao tergantung pada tinggi tanaman agar aktivitas semut rangrang dapat
diamati dengan mudah. Populasi semut yang berkembang pada pohon kakao dapat
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Survei praktek budidaya kakao dan pemanfaatan semut dilaksanakan di
Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Penelitian berlangsung mulai dari bulan April sampai dengan
September 2009.
Survei Praktek Budidaya Kakao dan Pengendalian PBK
Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui
wawancara dan observasi langsung untuk melihat keadaan umum pertanaman
kakao. Kuesioner mencakup karakteristik petani, budidaya kakao, hama kakao
dan pengendaliannya (kuesioner terlampir).
Penentuan petani yang diwawancarai dilakukan secara acak yaitu 20
orang yang pernah mengikuti SLPHT dan 20 orang yang belum pernah mengikuti
SLPHT, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 40 orang petani.
Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian meliputi : cairan gula pasir,
cairan gula merah, jeroan sapi, jeroan ayam, bambu, daun kelapa kering, hand
counter, lampu strongking, lup pembesar, mikroskop. Cairan gula pasir dan gula
merah digunakan sebagai sumber makanan semut hitam sementara jeroan ayam
dan jeroan sapi sebagai sumber makanan semut rangrang.
Pencarian Semut
Pencarian semut hitam (D. thoracicus) dilakukan pada areal kebun kakao,
yaitu pada tanaman mangga, jeruk dan kayu lapuk yang banyak dihuni semut
hitam. Pada lokasi tersebut dipasang daun kelapa kering yang telah diikat
(sekitar 80 anakan daun) selama satu hari, ikatan tersebut terlebih dahulu
dicelupkan ke dalam larutan gula pasir atau gula merah sesuai perlakuan. Setelah
itu daun kelapa kering dipindahkan ke lokasi penelitian dengan mengikatkan pada
(O. smaragdina) dilakukan dengan cara mencari sarangnya pada tanaman
rambutan. Sarang yang dipilih adalah sarang aktif yang masih banyak dihuni
semut rangrang. Selanjutnya sarang semut rangrang tersebut dipindahkan ke petak
perlakuan kemudian diberikan jeroan ayam atau jeroan sapi sesuai perlakuan.
Sarang diletakkan di bagian jorket tanaman kakao di tengah petak perlakuan.
Untuk memudahkan semut menyebar dari satu tanaman ke tanaman lain di dalam
petak perlakuan diberi semacam penghubung dari tali rafia terutama untuk tajuk
tanaman yang tidak saling bersinggungan.
Penentuan Petak Perlakuan
Penelitian dilakukan pada kebun kakao berukuran luas ± 1 ha. Umur
tanaman, cara perawatan dan naungan relatif sama. Untuk menghindari terjadinya
interaksi antar perlakuan maka dilakukan pengelompokan antara perlakuan semut
hitam, semut rangrang dan kontrol dengan menggunakan pembatas berupa jalan
selebar 2 meter. Di sepanjang jalan tersebut terdapat tanaman yang berfungsi
sebagai pembatas (Lampiran 2).
Dalam percobaan ini digunakan lima perlakuan termasuk kontrol. Perlakuan
terdiri dari : P1 (daun kelapa kering diberi cairan gula pasir 500 ml) ; P2 (daun
kelapa kering diberi cairan gula merah 500 ml) ; P3 (bambu diisi jeroan ayam
0.25 kg) ; P4 (bambu diisi jeroan sapi 0.25 kg) dan P5 (kontrol). Masing-masing
perlakuan diulang lima kali.
Gambar 1 Penempatan perlakuan di lapangan
25
Pengamatan
Untuk mengetahui pengaruh keberadaan semut terhadap hama penggerak
buah kakao maka dilakukan pengamatan terhadap :
a. Kerapatan populasi telur, pupa dan imago hama PBK
Pengamatan telur dimulai pada bulan Mei dengan cara menghitung telur
pada buah yang berukuran 2-3 cm. Jumlah buah yang diamati ± 120 per petak
perlakuan yang sebelumnya diberi tanda menggunakan spidol permanen.
Pengamatan terhadap telur dilakukan dua kali seminggu sampai buah menjelang
panen pada bulan September, buah diamati dengan menggunakan lup pembesar.
Pengamatan pupa dilakukan dengan cara mencari pupa pada serasah dan buah
selama lebih kurang 60 menit per petak perlakuan, pencarian dilakukan pada buah
dan serasah. Frekuensi pengamatan pupa dilakukan dua kali dalam seminggu.
Pengamatan imago (ngengat) dilakukan dengan bantuan lampu strongking.
Waktu pencarian imago per petak perlakuan rata-rata 25 menit. Pencarian imago
dilakukan mulai pukul 19.30 sampai pukul 21.30 dengan cara berjalan di petak
perlakuan dan mengamati 20-25 pohon di sekitar tempat pelepasan semut,
pengamatan dilakukan tiga kali dalam seminggu oleh empat orang pengamat.
b. Aktivitas semut
Pengamatan aktivitas semut dilakukan dengan cara mengamati
kemampuan menyebar dalam petak perlakuan, menghitung jumlah agregasi yang
terbentuk, dan mengamati aktivitas semut pada pohon kakao. Aktivitas semut
pada pohon kakao dihitung dengan bantuan hand counter. Pengamatan dilakukan
selama 15 menit pada jalur yang sering dilewati semut di bagian batang, dan
dilakukan pada tiga pohon contoh setiap bulan.
c. Persentase buah yang terserang
Pengamatan dilakukan setelah 6 (enam) bulan aplikasi yaitu pada saat
panen setelah buah sampel agak menguning (masak awal). Panen dilakukan tiap
2-4 hari, hal ini dilakukan karena buah sampel masak tidak bersamaan dengan
metode panen sering. Pengamatan berlangsung selama 3 minggu sampai buah
Pengamatan persentase buah terserang dilakukan dengan mengamati buah
yang dipanen. Buah kemudian dibelah untuk memastikan adanya gejala serangan
dalam buah dan mengamati bekas gerekan yang ada pada buah. Persentase buah
yang terserang adalah nisbah antara buah yang terserang hama PBK dengan total
buah yang diamati. Dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
a
P = x 100 % b
Keterangan :
P = Persentase buah terserang (persen)
a = Jumlah buah yang terserang PBK
b = Jumlah keseluruhan buah yang diamati
d. Intensitas Kerusakan
Intensitas kerusakan biji (I) adalah suatu besaran yang menggambarkan
tingkat kerusakan biji akibat serangan hama PBK. Intensitas kerusakan biji
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
∑ biji rusak
I = x 100 %
∑ biji keseluruhan
Pengamatan intensitas kerusakan biji dilakukan dengan mengamati semua
biji yang ada dalam buah terserang. Biji – biji yang lengket pada kulit buah
maupun lengket satu sama lain dikategorikan terserang.
Analisis Data
Data kuesioner yang diperoleh ditabulasi dan data hasil pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Keadaan Pertanaman Kakao
Pertanaman kakao di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara
tersebar pada 20 kecamatan dengan luas areal 78.054 ha yang melibatkan 30.408
KK petani dengan produksi 49.449.37 ton. Keseluruhan areal tanaman tersebut,
18.079 ha (23.16%) merupakan tanaman belum menghasilkan (TBM), 56.082 ha
(71.85%) tanaman menghasilkan (TM) dan 3.893 ha (4.98%) tanaman tua dan
rusak (TTR). Di Kecamatan Lambandia luas pertanaman kakao 26.658 ha dengan
5.993 KK petani. Areal tanaman tersebut 5.481 ha (20.56%) areal tanam belum
menghasilkan, 20.447 ha (76.70%) tanaman menghasilkan dan 730 ha (2.74%)
tanaman tua dan rusak (Dishutbun Sultra 2010). Keseluruhan responden (100%)
yang diwawancarai berusahatani kakao pada lahan milik sendiri.
Kendala dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten
Kolaka sampai saat ini adalah : (1) masih terbatasnya sumber daya petugas,
petani dan pelaku usaha agribisnis dibidang budidaya dan pengelolaan hasil ;
(2) jenis/klon yang ditanam beragam; (3) sebagian tanaman sudah tua dan kurang
produktif; (4) masih adanya serangan hama PBK dan penyakit busuk buah; (5)
sarana dan prasarana penunjang belum memadai (ketersediaan saprodi dengan
harga yang terjangkau, air bersih, listrik, prasarana jalan dan jembatan dari dan ke
sentra-sentra produksi serta pelabuhan yang standar dan (6) belum terjalinnya
hubungan kemitraan antara hulu dan hilir yang saling menguntungkan serta masih
banyaknya spekulan pada usaha perdagangan kakao (Dishutbun Sultra 2009).
Praktek Budidaya Kakao Karakteristik Petani
Secara umum keadaan petani kakao di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka mempunyai persamaan terutama dalam hal
pengembangan areal pertanaman kakao. Petani yang mempunyai kesempatan
lahan. Hal tersebut berdampak pada kurangnya waktu untuk mengelola kebun
dengan baik, sehingga berpengaruh pada nilai ekonomi yang diperoleh oleh
petani.
Responden pada umumnya berumur antara 40 hingga 60 tahun (92.50%)
dan selebihnya di atas umur 60 tahun (Tabel 1). Kondisi ini dianggap masih
dalam potensi untuk dapat dikembangkan dan pengelolaan tanaman kakao dapat
ditingkatkan secara lebih intensif. Bertahannya masyarakat untuk tetap
mengusahakan budidaya kakao disebabkan harga yang menjanjikan dan
pemasarannya mudah (selalu ada pembeli) walaupun produksinya cenderung
menurun setiap tahun. Soeharjo dan Patong (1998) mengelompokkan umur petani
kakao berdasarkan kelompok produktif dan kurang produktif, yaitu umur di
bawah 15 tahun dan diatas 60 tahun dikategorikan umur kurang produktif.
Kondisi saat ini menunjukkan sebagian besar petani tergolong dalam usia yang
masih produktif dalam melakukan usahatani kakao.
Faktor umur sangat mempengaruhi kemampuan fisik seorang petani dalam
mengelola usahataninya. Pada umumnya petani yang berumur muda memiliki
kemampuan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan petani yang berumur tua,
termasuk dalam penerimaan inovasi baru. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa
makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk mengetahui apa yang
mereka belum ketahui, sehingga dalam berusahatani mereka lebih cepat
melakukan adopsi inovasi walaupun sifatnya masih belum berpengalaman.
Tabel 1 Persebaran umur responden petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Kelompok Umur Jumlah responden Persentase (%)
< 30 2 5.00
30 - < 40 7 17.50
40 - < 50 16 40.00
50 - < 60 14 35.00
≥ 60 1 2.50
Latar belakang pendidikan formal menunjukkan bahwa sebagian besar
petani pernah mengikuti pendidikan. Keseluruhan responden pernah mengalami
jenjang pendidikan formal. Gambaran tingkat pendidikan ini merupakan indikator