• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

D. ANALISIS USAHA TANI

31. Berdasarkan luas kebun itu mohon dijelaskan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan selama 1 musim

Rincian Biaya (Rp) Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCI Pupuk lainnya ... Insektisida Herbisida - Pengolahan tanah - Pemupukan - Pemangkasan - Panen

32. Dari luas lahan di atas berapa kg produksi Kakao yang Bapak dapatkan selama 1 tahun ? ...kg, dan berapa rata-rata hargajualnya per kg? Rp……….

E. SEKOLAH LAPANG PHT

33. Apakah pernah mengikuti Sekolah Lapang/Penyuluhan Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT)?

[ ] ya [ ] tidak

34. Jika ya, apakah materi pelatihan SL-PHT diterapkan dikebun bapak ? [ ] ya (lanjut ke nomor 34 [ ] tidak

35. Bila ada pelatihan SL-PHT apakah Bapak berminat mengikutinya ? [ ] ya (lanjut ke nomor 34 ) [ ] tidak 36. Bila ya, Komponen apa yang diajarkan dalam kegiatan tersebut ? [ ] sarungisasi buah kakao

[ ] Pemangkasan [ ] Pemupukan

[ ] Panen Sering

[ ] Sanitasi dengan mengubur kulit buah dan plasenta [ ] Pemanfaatan semut hitam / semut rangrang

[ ] lainnya...

37. Bagaimana hasilnya setelah Bapak menerapkan komponen PHT ? [ ] Hasil panen meningkat dari...kg menjadi...kg [ ] Kualitas biji meningkat

[ ] Hasilnya tetap saja [ ] lainnya.

77 Lampiran 2 Denah penelitian

Keterangan:

P1: Daun kelapa kering dan cairan gula pasir 500 ml P2: Daun kelapa kering dan cairan gula merah 500 ml P3: Bambu dengan jeroan ayam 0.25 kg

P4: Bambu dengan jeroan sapi 0.25 kg P5: Kontrol P15 P11 P14 P12 P13 P24 P25 P21 P22 P23 P43 P42 P41 P44 P45 P53 P54 P51 P52 P55 P52 P53 P54 P51 P55 J a l a n Semut Hitam Semut Rangrang Kontrol 40 m 20 m 2 m 4 m 100 m 100 m 40 m 100 m

Lampiran 3 Perkembangan populasi telur, pupa dan imago PBK selama bulan April sampai September 2009

Populasi telur Bulan Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 April 0 0 0 0 0 Mei 4.20 3.84 3.41 4.23 5.40 Juni 31.12 21.14 15.80 10.60 34.60 Juli 52.20 50.28 30.34 27.76 52.34 Agustus 30.80 29.40 17.41 14.68 35.21 September 3.84 3.61 2.21 2.34 3.12 Populasi pupa Bulan Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 April 20.20 22.70 26.80 25.34 23.51 Mei 18.32 21.80 23.60 24.20 22.22 Juni 18.21 20.78 17.21 15.34 23.20 Juli 26.00 30.60 20.20 19.60 29.64 Agustus 25.21 26.53 12.60 13.40 21.14 September 23.34 27.25 13.40 15.20 20.32 Populasi imago Bulan Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 April 21.25 25.64 24.50 23.65 24.50 Mei 24.00 26.00 29.75 24.25 28.00 Juni 22.50 25.25 19.50 17.50 27.75 Juli 31.50 37.50 17.50 18.50 40.50 Agustus 21.00 19.00 15.00 13.25 18.25 September 24.00 22.50 10.30 11.43 25.25

79 Lampiran 4 Kemampuan menyebar semut hitam dan semut rangrang pada bulan

April sampai September 2009

Bulan Perlakuan P1 P2 P3 P4 April 2.35 3.23 15.21 14.21 Mei 6.42 7.90 25.11 28.32 Juni 9.23 8.12 32.45 33.25 Juli 10.45 11.45 32.00 35.87 Agustus 17.45 16.34 37.89 38.94 September 18.35 19.21 38.67 39.78

Lampiran 5 Rataan jumlah semut hitam dan semut rangrang yang melintas per 15 menit pada bulan April sampai September 2009

Bulan Perlakuan P1 P2 P3 P4 April 58.92 67.75 338.91 359.00 Mei 68.42 65.08 610.08 613.83 Juni 167.42 166.83 637.17 655.75 Juli 187.42 178.83 665.92 628.67 Agustus 178.83 177.50 650.92 664.58 September 179.58 172.25 653.17 651.17

Lampiran 6 Jumlah agregasi semut hitam dan semut rangrang

No Perlakuan Ulangan Bulan

April Mei Juni Juli Agustus Sept.

1 P1 : (daun kelapa kering di beri gula Pasir) 1 0 0 1 2 2 2 2 0 0 2 2 3 4 3 0 0 1 2 2 2 4 0 0 2 3 3 3 5 0 0 2 2 2 3 Total 0 0 8 11 12 14 Rata-Rata 0 0 1.6 2.2 2.4 2.8 2 P2 : (daun kelapa kering diberi gula merah) 1 0 0 1 1 2 2 2 0 0 1 2 2 3 3 0 0 0 1 1 2 4 0 0 1 1 1 1 5 0 0 2 1 2 2 Total 0 0 5 6 8 10 Rata-Rata 0 0 1 1.2 1.6 2.0 3 P3 : (bambu diisi jeroan ayam) 1 0 0 0 0 2 3 2 0 0 1 2 3 3 3 0 0 1 2 2 2 4 0 0 0 1 1 2 5 0 0 0 1 2 2 Total 0 0 2 6 10 12 Rata-Rata 0 0 0.4 1.2 2.0 2.4 4 P4 : (bambu diisi jeroan sapi) 1 0 0 2 2 3 3 2 0 0 1 1 2 2 3 0 0 0 0 2 3 4 0 0 1 2 2 2 5 0 0 1 1 1 1 Total 0 0 5 6 10 11 Rata-Rata 0 0 1 1.4 1.8 2.2 5 Kontrol 1 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 Total 0 0 0 0 0 0 Rata-Rata 0 0 0 0 0 0

81 Lampiran 7 Persentase intensitas buah terserang dan intensitas kerusakan biji

Perlakuan Intensitas buah terserang Intensitas kerusakan

biji

P1 (semut hitam + cairan gula pasir) 71.11 ± 11.751 56.77 ± 1.69

P2 (semut hitam + cairan gula merah) 74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

t hitung -0.67tn 3 -1.41

P1 (semut hitam + cairan gula pasir)

tn

71.11 ± 11.75 56.77 ± 1.69

P3 (semut rangrang + jeroan ayam) 39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

t hitung 5.32*2 12.86*

P1 (semut hitam + cairan gula pasir) 71.11 ± 11.75 56.77 ± 1.69

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

t hitung 4.59* 7.65*

P1 (semut hitam + cairan gula pasir) 71.11 ± 11.75 56.77 ± 1.69

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung -1.31tn -2.09

P2 (semut hitam + cairan gula merah)

tn

74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

P3 (semut rangrang + jeroan ayam) 39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

t hitung 10.02* 13.59*

P2 (semut hitam + cairan gula merah) 74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

t hitung 8.67* 8.15*

P2 (semut hitam + cairan gula merah) 74.95 ± 4.92 58.28 ± 1.67

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung -1.10tn -1.65

P3 (semut rangrang + jeroan ayam)

tn

39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

t hitung -1.04tn -1.24

P3 (semut rangrang + jeroan ayam)

tn

39.49 ± 6.19 29.09 ± 4.50

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung 9.81* 9.00*

P4 (semut rangrang + jeroan sapi) 43.63 ± 6.41 33.51 ± 6.59

P5 (kontrol) 78.96 ± 6.53 63.86 ± 7.37

t hitung 8.63* 6.86*

Keterangan :

1

rata-rata dan simpangan baku intensitas kerusakan buah dan kerusakan biji pada kakao

2

* berbeda nyata pada taraf 5% karena nilai t hitung > t tabel (α =0.05 dan db=8) = 2.30

3

ABSTRACT

NURIADI. Cocoa Cultivation Practices and Prospect of the utilization of Black

Ant and Weaver Ant for the Control of Cocoa Pod Borer in Kabupaten Kolaka

Southeast Sulawesi. Supervised by I WAYAN WINASA and SYAFRIDA

MANUWOTO.

Sulawesi Tenggara is one of the center of cocoa plantation in Indonesia. One of the problems faced by farmers is the infestation of cocoa pod borer (CPB). Farmers usually use chemical insecticides to control the pest, although the results are not satisfactory. The aims of this research were to find a cultivation for controlling the CPB, and the effect of the black ants and weaver ant to the attack intensity and seed damage caused by the cocoa pod borer. This research was conducted in cocoa plantation in Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, from April to September 2009. The research included survey of cocoa cultivation practices and utilization of black ant and weaver ant to control the CPB. The results showed that farming practices have been done by farmers, such as pruning, harvesting oftenly, sanitation–but not maximum and not all farmer practice it. To control the pest, farmers rely on insecticides. Biological control using black ant and weaver ant was not used by farmers. Weaver ants could reduce the population of CPB’s eggs, pupae, and adult, the fruit damage and intensity of CPB infestation decreased in the presence of weaver ant.

RINGKASAN

NURIADI. Praktek Budidaya Kakao dan Prospek Pemanfaatan Semut Hitam dan

Semut Rangrang untuk Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao. Dibimbing

oleh IWAYAN WINASA dan SYAFRIDA MANUWOTO.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra perkebunan kakao di Indonesia yang sampai tahun 2009 luasnya mencapai kurang lebih 200.125 ha dengan produksi 137.775 ton. Salah satu masalah yang dihadapi petani dalam peningkatan produksi kakao di Sulawesi Tenggara adalah adanya serangan hama penggerak buah kakao (PBK). Untuk mengendalikan hama PBK umumnya petani di Sulawesi Tenggara masih tergantung pada penggunaan pestisida kimia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan pengendalian hama PBK, pengaruh keberadaan semut hitam dan semut rangrang terhadap intensitas serangan dan kerusakan biji akibat serangan hama PBK

Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan untuk melihat keadaan umum pertanaman kakao. Penelitian dilakukan pada kebun kakao berukuran luas ± 1 ha. Umur tanaman, cara perawatan dan naungan relatif sama. Untuk menghindari terjadinya interaksi antar perlakuan maka dilakukan pengelompokkan antara perlakuan semut hitam, semut rangrang dan kontrol dengan menggunakan pembatas berupa jalan selebar 2 meter yang ditumbuhi tanaman pembatas. Dalam percobaan ini digunakan lima perlakuan termasuk kontrol. Perlakuan terdiri dari: P1 (daun kelapa kering diberi cairan gula pasir 500 ml) ; P2 (daun kelapa kering diberi cairan gula merah 500 ml) ; P3 (bambu diisi jeroan ayam 0.25 kg) ; P4 (bambu diisi jeroan sapi 0.25 kg) dan P5 (kontrol). Masing-masing perlakuan diulang lima kali.

Hasil survei menunjukkan beberapa praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik budidaya yang belum diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah panen, pengolahan biji kakao dan perlakuan terhadap kulit buah dan plasenta. Untuk mengendalikan hama pada tanaman kakao sebagian besar petani masih mengandalkan insektisida. Pengendalian dengan pemanfaatan semut hitam dan semut rangrang belum banyak dilakukan oleh petani

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Telur PBK mulai ditemukan pada buah yang berukuran 2-3 cm (bulan Mei) dengan kerapatan yang masih rendah. Pada bulan Juni populasi telur meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Juli, yaitu saat buah berukuran panjang 10-12 cm, kemudian menurun kembali pada bulan Agustus, populasi telur sangat rendah pada bulan September saat buah sudah mengalami proses pematangan. Pada pengamatan pupa dan imago menunjukkan bahwa populasinya hampir merata selama pengamatan, yaitu mulai bulan April sampai September. Pupa dan imago yang terbentuk berasal dari buah-buah lain yang tidak diamati perkembangannya. Pupa ditemukan menempel pada serasah dan buah kakao, sementara imago ditemukan pada cabang-cabang horizontal dan batang kakao. Secara umum terlihat bahwa populasi telur pada perlakuan semut rangrang relatif lebih rendah dari kontrol khususnya pengamatan

pada bulan Juni, Juli dan Agustus, sedangkan populasi pupa dan imago relatif lebih rendah pada perlakuan semut rangrang pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Untuk perlakuan semut hitam, populasi telur, pupa dan imago tampak tidak jauh berbeda dengan kontrol.

Semut hitam yang diinfestasikan pada bulan April setelah tiga sampai empat bulan kemudian rata-rata hanya menjangkau 5-10 pohon. Berbeda dengan semut rangrang dalam waktu yang sama mampu menjangkau 30-37 pohon kakao di sekitar tempat pelepasan. Agregasi semut mulai ditemukan setelah dua bulan diinfestasikan pada bulan Juni, agregasi banyak ditemukan pada tempat di sekitar tempat pelepasan baik untuk semut hitam maupun semut rangrang. Agregasi semut hitam ditemukan pada celah-celah yang telah ada di lapangan, seperti pada rongga di dalam kayu lapuk, rongga pada batang, juga liang bekas sarang rayap atau kumbang. Agregasi semut rangrang di lapangan ditemukan pada daun kakao dengan merajut 3-4 daun yang letaknya paling tinggi dan memilih daun kakao yang rimbun.

Hasil pengamatan terhadap aktivitas semut hitam dan semut rangrang menunjukkan bahwa aktivitas semut rangrang lebih tinggi dibandingkan semut hitam dan menunjukkan perbedaan nyata. Namun perlakuan gula merah dan gula pasir untuk semut hitam tidak menunjukkan perbedaan. Demikian juga perlakuan jeroan sapi dan jeroan ayam untuk semut rangrang tidak menunjukkan perbedaan. Peningkatan aktivitas semut hitam dan semut rangrang mulai terjadi setelah dua bulan diinfestasikan. Hasil pengamatan intensitas buah terserang dan kerusakan biji pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang menunjukkan bahwa perlakuan semut rangrang berbeda nyata dengan kontrol sementara perlakuan semut hitam tidak berbeda nyata dengan kontrol

Kata kunci: hama PBK, praktek budidaya, semut rangrang, semut hitam

Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2009, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi ± 1.29 juta kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga pada sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar 624 juta dollar AS (Ditjen Perkebunan 2010).

Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2009 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 1 110 032 ha. Perkebunan kakao tersebut 87.3% dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6.0% dikelola perkebunan besar negara serta 6.7% perkebunan besar swasta (Ditjen Perkebunan 2010).

Kualitas Biji Kakao Kering (BKK) dari Indonesia yang sebagian besar merupakan kakao rakyat, masih dicirikan dengan karakter citarasa lemah, kadar kotoran tinggi dan banyak terkontaminasi serangga, jamur, mikotoksin dan tidak terfermentasi dengan baik. Keadaan tersebut di samping menjadikan kakao Indonesia berharga rendah, juga menyebabkan citra kakao Indonesia masih buruk di mata dunia. Pemotongan harga terhadap kakao Indonesia yang dikenakan oleh pemerintah Amerika Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2009 telah mencapai 250 dolar AS per ton. Kerugian negara karena masalah mutu kakao mencapai 5.3 trilyun rupiah per tahun. Kualitas biji kakao Indonesia yang kurang baik menyebabkan ekspor kakao ke Amerika Serikat, Eropa dan Cina lebih memilih jalur melalui Singapura (Askindo 2010). Hal ini tidak boleh terus berlangsung, sehingga berbagai perbaikan perlu dilakukan.

2

Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu sentra perkebunan kakao

di Indonesia, sampai tahun 2009 luas tanaman kakao mencapai kurang lebih 200 125 ha dengan produksi 134 775 ton. Salah satu masalah yang dihadapi petani

dalam peningkatan produksi kakao di Sulawesi Tenggara adalah adanya serangan hama penggerak buah kakao (PBK). Hama ini merupakan hama yang paling merusak, sulit ditanggulangi dan dapat mengakibatkan kehilangan hasil atau produksi biji sebesar 40-90% (Dishutbun Sultra 2010). Akibat meningkatnya serangan hama penggerek buah kakao dalam beberapa tahun terakhir, petani di Sultra menderita kerugian sekitar Rp 352 miliar dalam setahun. Perkiraan tersebut dihitung dari kekurangan produksi minimal 200 kg setiap hektarnya dikalikan dengan luas tanaman yang sudah menghasilkan dan harga kakao di tingkat petani. Luas lahan tanaman kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 200 125 hektar, dengan asumsi harga kakao terendah Rp 11 000.00 per kg.

Di Sulawesi Tenggara hama penggerak buah kakao tersebut mulai dilaporkan pada tahun 1995 menyerang pertanaman kakao seluas 34.5 ha di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Selanjutnya hama tersebut berkembang dengan cepat hingga tahun 2005 telah tersebar di seluruh areal pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara dengan intensitas kerusakan ringan sampai berat (Mariadi 2007).

Untuk mengendalikan hama PBK umumnya petani di Sulawesi Tenggara masih bergantung pada penggunaan pestisida kimia. Metode lain yang digunakan oleh petani adalah penyarungan buah, pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan. Pemanfaatan predator dan parasitoid belum banyak dilakukan oleh petani karena belum diketahui efektivitasnya. Di samping itu, pelatihan teknik pengembangbiakannya di lapangan masih jarang dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah.

Selain permasalahan tersebut, dalam era globalisasi dewasa ini terdapat tuntutan yaitu produk yang dihasilkan harus memenuhi standar kualitas tertentu dan proses produksinya ramah lingkungan. Fakta di lapangan menunjukkan

bahwa pengendalian hama di tingkat produsen saat ini masih dominan menggunakan pestisida kimia, sementara tuntutan konsumen mengarah kepada persyaratan lingkungan menurut ketentuan Worl Trade Organization (ISO 14000) dan Codex Alimentarius Commission : adanya ambang batas maksimum kandungan zat tambahan, logam berat, residu pestisida dan bahan pencemar lainnya (Askindo 2010). Hal tersebut menjadikan kakao asal Indonesia hanya digunakan sebagai bahan pencampur. Apabila kakao Indonesia ingin bersaing di pasar global maka persyaratan tersebut harus dipenuhi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing produk kakao Indonesia adalah melalui pengembangan dan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dilihat dari sisi perundang-undangan, PHT telah memperoleh dukungan yang kuat dari pemerintah melalui UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menteri Pertanian No.887/Kpts/OT/9/1997 tentang pedoman Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Secara global PHT atau Integrated Pest Management (IPM) memperoleh pengakuan sebagai program pertanian berkelanjutan antara lain dengan dimasukkannya PHT sebagai salah satu program dalam Agenda 21 Hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992.

Tujuan umum program PHT adalah pengembangan sistem pengelolaan hama terpadu dan berwawasan lingkungan untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan komponen pengendalian OPT yang akrab lingkungan seperti penggunaan agens hayati (predator, parasitoid dan patogen serangga) perlu memperoleh perhatian dan dukungan (Untung 1993). Pada kenyataannya, PHT merupakan metode dan proses pengambilan keputusan pada struktur ekosistem untuk meminimalkan kerusakan akibat hama dan menghadapi permasalahan hama yang tidak bisa dihindari (Pawar 2002).

Menurut van den Bosch et al. (1982), Pengendalian Hayati mencakup tiga pengertian yaitu : (a) sebagai disiplin ilmu (b) sebagai metode pengendalian hama dan (3) sebagai fenomena alami. Sebagai bidang ilmu, pengendalian hayati merupakan bentuk terapan dari ilmu biologi khususnya entomologi. Pengendalian

4

hayati menitikberatkan kajian pada interaksi antara organisme dan musuh alaminya. Organisme target berkedudukan sebagai mangsa (prey) atau inang

(host) sedangkan musuh alaminya bersifat sebagai predator. Penggunaan musuh alami untuk pengendalian serangga hama baik predator, parasitoid, patogen, agen antagonis dan kompetitor serangga hama merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pengendalian hayati (Norris et al. 2003).

Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen pengendalian utama di dalam PHT dengan memanfaatkan semut hitam (Dolichoderus thoracicus) dan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) yang merupakan musuh alami hama PBK. Penerapan PHT diharapkan dapat berkontribusi nyata dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kakao di Indonesia (ACDI VOCA 2005)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan bekerjasama dengan LSM ACDI VOCA pada sentra perkebunan kakao di Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa dijumpai empat spesies semut yang terdapat pada tanaman kakao yaitu Oecophylla smaragdina (semut rangrang), Dolichoderus sp (semut hitam), Anoplolepis longipes, dan Iridomyrmex sp. Dari ke empat spesies hanya

Dolichoderus sp dan Oecophylla smaragdina yang memiliki potensi yang baik dalam menekan serangan hama PBK (ACDI VOCA 2005). Di Sulawesi Tengah (Pallolo Valley) keanekaragaman semut didominasi oleh Dolichoderus thoracicus

(46%), Oechophylla smaradigna (31%), Crematogaster sp (21%) dan Iridomyrex

sp (2%) (Meldy 2004).

Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan menjadi nutrisi essensial dan nutrisi alternatif untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan organisme pradewasa, serta reproduksi imago agar mampu mempertahankan populasinya (Dicson 2003). Nutrisi yang dibutuhkan serangga adalah asam amino, karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral dan air (Chapman 2000).

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diteliti pemanfaatan semut hitam dan semut rangrang untuk pengendalian hama PBK dengan menggunakan beberapa

bahan sebagai sumber makanan untuk pengembangbiakan awal di lapangan. Penelitian dilakukan di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka yang merupakan sentra penghasil kakao terbesar di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan pengendalian hama PBK, pengaruh keberadaan semut hitam dan semut rangrang terhadap intensitas serangan dan kerusakan biji akibat serangan hama PBK.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat menghasilkan informasi cara praktek budidaya kakao dan pengendalian hama PBK serta diperoleh teknologi yang dapat diimplementasikan petani untuk pengendalian hama PBK yang ramah lingkungan.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik buah kakao

Kakao berbunga sepanjang tahun dan bunganya tumbuh secara berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada batang, cabang atau ranting. Bunga kakao tergolong bunga sempurna, terdiri dari daun kelopak sebanyak 5 helai dan benang sari sebanyak 10 helai. Jumlahnya dapat mencapai 5.000–12.000 bunga per pohon per tahun, tetapi jumlah buah matang yang dihasilkan hanya berkisar satu persen. Dalam setiap buah terdapat 30-50 biji, tergantung pada jenis kakao. Variasi produksi buah antara pohon dipengaruhi banyak faktor, antara lain jumlah bunga yang dihasilkan, sifat compatible dan

incompatible dari masing-masing klon, pengaruh layu buah muda, dan tingkat serangan hama dan penyakit sejak pertumbuhan hingga panen (Sulistyowati 2003).

Kakao dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu tipe Criollo, Forastero dan Trinitario. Tipe Criollo memiliki karakter dengan ciri permukaan kulit buah kasar, alur dalam, kulit buah tebal dan lunak, tipe Forastero memiliki permukaan kulit buah kasar, alur dalam, kulit buah tipis dan keras sementara tipe Trinitario memiliki karakter permukaan kulit buah halus, alur dangkal, kulit buah tipis dan keras

Serangga dewasa PBK meletakkan telur pada permukaan buah kakao, biasanya diletakkan pada lekukan buah. Telur– telur tersebut diletakkan secara individu maupun berkelompok antara 50–300 butir. Buah kakao yang paling disukai untuk meletakkan telur adalah buah yang memiliki alur kulit yang dalam serta ukuran panjang buah kurang lebih 9 cm pada umur 60-75 hari. Saat ini petani banyak menanam kakao dari jenis Forastero yang memiliki kulit buah kasar dan alur dalam sehingga disenangi oleh hama PBK untuk meletakkan telur. (Wiryadiputra 1996).

Fenologi Buah Kakao

Pertumbuhan buah kakao dapat dibagi dalam dua fase. Fase pertama berlangsung sejak pembuahan sampai buah berumur 75 hari. Selama 40 hari

pertama pertumbuhan buah agak lambat dan mencapai puncaknya pada umur 75 hari. Pada umur tersebut panjang buah dapat mencapai sekitar 11 cm. Fase kedua ditandai dengan pertumbuhan pembesaran buah, berlangsung cepat sampai umur 120 hari, ukuran panjang buah mencapai 12-15 cm. Pada umur 143-170 hari buah telah mencapai ukuran maksimal dan mengalami proses pemasakan yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah dan terlepasnya biji dari kulit buah (Puslitkoka 2006).

Hama PBK aktif meletakkan telur pada buah kakao pada fase pertama yaitu buah umur 75 hari dan ukuran buah mencapai ± 11 cm. Peletakan telur dilakukan pada malam hari. Buah kakao yang paling disukai untuk tempat meletakkan telur adalah buah yang permukaannya memiliki alur dalam dan kasar. Dalam kaitannya dengan perkembangan hama PBK maka upaya pengendalian perlu diusahakan sedini mungkin pada saat buah berada pada fase pertama (Puslitkoka 2006).

Bioekologi Hama Penggerek Buah Kakao

Telur hama penggerek buah kakao berbentuk oval dan pipih dengan panjang 0.45-0.50 mm, lebar 0.25-0.30 mm, berwarna oranye. Telur diletakkan pada buah muda secara terpisah antara satu dengan yang lain. Lama stadium telur berkisar 2-7 hari (Sjafaruddin 1997).

Larva yang baru keluar dari telur langsung menggerek ke dalam buah dan memakan permukaan dalam kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta). Akibat serangan tersebut biji menjadi lengket satu sama lain dan tidak berkembang sempurna. Larva berganti kulit 4 kali dalam waktu 14–18 hari. Pada pertumbuhan penuh, panjang larva mencapai 12 mm dan berwarna hijau muda. Larva dewasa menjelang berkepompong keluar dari dalam buah dengan cara menggerek kulit buah, membentuk lubang keluar dengan diameter ± 1 mm. Setelah larva keluar dari dalam buah, larva merayap pada permukaan buah atau menggantungkan diri dengan benang–benang sutra untuk mencari tempat berkepompong baik pada tanaman maupun di tanah (Soekandar 1993).

9 Pupa dapat ditemukan pada permukaan buah, batang, cabang atau pada permukaan tanah yang tertutupi oleh daun yang gugur. Kokon berbentuk oval berwarna kuning, berukuran (13–18) x (6–9) mm, sedangkan kepompong berwarna coklat dengan ukuran panjang 6–7 mm dan lebar 1–1.5 mm. Ukuran kepompong menjadi lebih panjang bila diukur bersama pembungkus tungkai dan antena, Stadium kepompong 6–8 hari, setelah itu berubah menjadi ngengat (Sjafaruddin 1997).

Serangga dewasa berwarna dasar coklat dengan warna putih bergaris zig– zag pada sayap depan dan spot kuning oranye menyerupai batik pada ujung sayapnya. Ukuran panjang tubuh ngengat pada saat istirahat 7 mm dengan rentang sayap mencapai 12 mm. Antena lebih panjang dari tubuhnya serta mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin dan meletakkan telur pada malam hari sejak pukul 18.00–07.00. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat – tempat yang gelap dan terlindung dari sinar matahari terutama pada cabang – cabang horizontal. Lama hidup ngengat betina berlangsung 7 hari dan siklus

Dokumen terkait