• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Survei praktek budidaya kakao dan pemanfaatan semut dilaksanakan di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian berlangsung mulai dari bulan April sampai dengan September 2009.

Survei Praktek Budidaya Kakao dan Pengendalian PBK

Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur melalui wawancara dan observasi langsung untuk melihat keadaan umum pertanaman kakao. Kuesioner mencakup karakteristik petani, budidaya kakao, hama kakao dan pengendaliannya (kuesioner terlampir).

Penentuan petani yang diwawancarai dilakukan secara acak yaitu 20 orang yang pernah mengikuti SLPHT dan 20 orang yang belum pernah mengikuti SLPHT, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 40 orang petani.

Pemanfaatan Semut Hitam dan Semut Rangrang Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian meliputi : cairan gula pasir, cairan gula merah, jeroan sapi, jeroan ayam, bambu, daun kelapa kering, hand counter, lampu strongking, lup pembesar, mikroskop. Cairan gula pasir dan gula merah digunakan sebagai sumber makanan semut hitam sementara jeroan ayam dan jeroan sapi sebagai sumber makanan semut rangrang.

Pencarian Semut

Pencarian semut hitam (D. thoracicus) dilakukan pada areal kebun kakao, yaitu pada tanaman mangga, jeruk dan kayu lapuk yang banyak dihuni semut hitam. Pada lokasi tersebut dipasang daun kelapa kering yang telah diikat (sekitar 80 anakan daun) selama satu hari, ikatan tersebut terlebih dahulu dicelupkan ke dalam larutan gula pasir atau gula merah sesuai perlakuan. Setelah itu daun kelapa kering dipindahkan ke lokasi penelitian dengan mengikatkan pada

(O. smaragdina) dilakukan dengan cara mencari sarangnya pada tanaman rambutan. Sarang yang dipilih adalah sarang aktif yang masih banyak dihuni semut rangrang. Selanjutnya sarang semut rangrang tersebut dipindahkan ke petak perlakuan kemudian diberikan jeroan ayam atau jeroan sapi sesuai perlakuan. Sarang diletakkan di bagian jorket tanaman kakao di tengah petak perlakuan. Untuk memudahkan semut menyebar dari satu tanaman ke tanaman lain di dalam petak perlakuan diberi semacam penghubung dari tali rafia terutama untuk tajuk tanaman yang tidak saling bersinggungan.

Penentuan Petak Perlakuan

Penelitian dilakukan pada kebun kakao berukuran luas ± 1 ha. Umur tanaman, cara perawatan dan naungan relatif sama. Untuk menghindari terjadinya interaksi antar perlakuan maka dilakukan pengelompokan antara perlakuan semut hitam, semut rangrang dan kontrol dengan menggunakan pembatas berupa jalan selebar 2 meter. Di sepanjang jalan tersebut terdapat tanaman yang berfungsi sebagai pembatas (Lampiran 2).

Dalam percobaan ini digunakan lima perlakuan termasuk kontrol. Perlakuan terdiri dari : P1 (daun kelapa kering diberi cairan gula pasir 500 ml) ; P2 (daun kelapa kering diberi cairan gula merah 500 ml) ; P3 (bambu diisi jeroan ayam 0.25 kg) ; P4 (bambu diisi jeroan sapi 0.25 kg) dan P5 (kontrol). Masing-masing perlakuan diulang lima kali.

Gambar 1 Penempatan perlakuan di lapangan

semut rangrang semut hitam

25

Pengamatan

Untuk mengetahui pengaruh keberadaan semut terhadap hama penggerak buah kakao maka dilakukan pengamatan terhadap :

a. Kerapatan populasi telur, pupa dan imago hama PBK

Pengamatan telur dimulai pada bulan Mei dengan cara menghitung telur pada buah yang berukuran 2-3 cm. Jumlah buah yang diamati ± 120 per petak perlakuan yang sebelumnya diberi tanda menggunakan spidol permanen. Pengamatan terhadap telur dilakukan dua kali seminggu sampai buah menjelang panen pada bulan September, buah diamati dengan menggunakan lup pembesar. Pengamatan pupa dilakukan dengan cara mencari pupa pada serasah dan buah selama lebih kurang 60 menit per petak perlakuan, pencarian dilakukan pada buah dan serasah. Frekuensi pengamatan pupa dilakukan dua kali dalam seminggu. Pengamatan imago (ngengat) dilakukan dengan bantuan lampu strongking. Waktu pencarian imago per petak perlakuan rata-rata 25 menit. Pencarian imago dilakukan mulai pukul 19.30 sampai pukul 21.30 dengan cara berjalan di petak perlakuan dan mengamati 20-25 pohon di sekitar tempat pelepasan semut, pengamatan dilakukan tiga kali dalam seminggu oleh empat orang pengamat.

b. Aktivitas semut

Pengamatan aktivitas semut dilakukan dengan cara mengamati kemampuan menyebar dalam petak perlakuan, menghitung jumlah agregasi yang terbentuk, dan mengamati aktivitas semut pada pohon kakao. Aktivitas semut pada pohon kakao dihitung dengan bantuan hand counter. Pengamatan dilakukan selama 15 menit pada jalur yang sering dilewati semut di bagian batang, dan dilakukan pada tiga pohon contoh setiap bulan.

c. Persentase buah yang terserang

Pengamatan dilakukan setelah 6 (enam) bulan aplikasi yaitu pada saat panen setelah buah sampel agak menguning (masak awal). Panen dilakukan tiap 2-4 hari, hal ini dilakukan karena buah sampel masak tidak bersamaan dengan metode panen sering. Pengamatan berlangsung selama 3 minggu sampai buah sampel masak keseluruhannya.

Pengamatan persentase buah terserang dilakukan dengan mengamati buah yang dipanen. Buah kemudian dibelah untuk memastikan adanya gejala serangan dalam buah dan mengamati bekas gerekan yang ada pada buah. Persentase buah yang terserang adalah nisbah antara buah yang terserang hama PBK dengan total buah yang diamati. Dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :

a

P = x 100 % b

Keterangan :

P = Persentase buah terserang (persen) a = Jumlah buah yang terserang PBK b = Jumlah keseluruhan buah yang diamati

d. Intensitas Kerusakan

Intensitas kerusakan biji (I) adalah suatu besaran yang menggambarkan tingkat kerusakan biji akibat serangan hama PBK. Intensitas kerusakan biji dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

∑ biji rusak

I = x 100 %

∑ biji keseluruhan

Pengamatan intensitas kerusakan biji dilakukan dengan mengamati semua biji yang ada dalam buah terserang. Biji – biji yang lengket pada kulit buah maupun lengket satu sama lain dikategorikan terserang.

Analisis Data

Data kuesioner yang diperoleh ditabulasi dan data hasil pengamatan dibandingkan antar perlakuan dengan uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keadaan Pertanaman Kakao

Pertanaman kakao di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara tersebar pada 20 kecamatan dengan luas areal 78.054 ha yang melibatkan 30.408 KK petani dengan produksi 49.449.37 ton. Keseluruhan areal tanaman tersebut, 18.079 ha (23.16%) merupakan tanaman belum menghasilkan (TBM), 56.082 ha (71.85%) tanaman menghasilkan (TM) dan 3.893 ha (4.98%) tanaman tua dan rusak (TTR). Di Kecamatan Lambandia luas pertanaman kakao 26.658 ha dengan 5.993 KK petani. Areal tanaman tersebut 5.481 ha (20.56%) areal tanam belum menghasilkan, 20.447 ha (76.70%) tanaman menghasilkan dan 730 ha (2.74%) tanaman tua dan rusak (Dishutbun Sultra 2010). Keseluruhan responden (100%) yang diwawancarai berusahatani kakao pada lahan milik sendiri.

Kendala dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Kolaka sampai saat ini adalah : (1) masih terbatasnya sumber daya petugas, petani dan pelaku usaha agribisnis dibidang budidaya dan pengelolaan hasil ; (2) jenis/klon yang ditanam beragam; (3) sebagian tanaman sudah tua dan kurang produktif; (4) masih adanya serangan hama PBK dan penyakit busuk buah; (5) sarana dan prasarana penunjang belum memadai (ketersediaan saprodi dengan harga yang terjangkau, air bersih, listrik, prasarana jalan dan jembatan dari dan ke sentra-sentra produksi serta pelabuhan yang standar dan (6) belum terjalinnya hubungan kemitraan antara hulu dan hilir yang saling menguntungkan serta masih banyaknya spekulan pada usaha perdagangan kakao (Dishutbun Sultra 2009).

Praktek Budidaya Kakao Karakteristik Petani

Secara umum keadaan petani kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka mempunyai persamaan terutama dalam hal pengembangan areal pertanaman kakao. Petani yang mempunyai kesempatan untuk menambah areal, kurang memikirkan potensi tenaga kerja pengelolaan

lahan. Hal tersebut berdampak pada kurangnya waktu untuk mengelola kebun dengan baik, sehingga berpengaruh pada nilai ekonomi yang diperoleh oleh petani.

Responden pada umumnya berumur antara 40 hingga 60 tahun (92.50%) dan selebihnya di atas umur 60 tahun (Tabel 1). Kondisi ini dianggap masih dalam potensi untuk dapat dikembangkan dan pengelolaan tanaman kakao dapat ditingkatkan secara lebih intensif. Bertahannya masyarakat untuk tetap mengusahakan budidaya kakao disebabkan harga yang menjanjikan dan pemasarannya mudah (selalu ada pembeli) walaupun produksinya cenderung menurun setiap tahun. Soeharjo dan Patong (1998) mengelompokkan umur petani kakao berdasarkan kelompok produktif dan kurang produktif, yaitu umur di bawah 15 tahun dan diatas 60 tahun dikategorikan umur kurang produktif. Kondisi saat ini menunjukkan sebagian besar petani tergolong dalam usia yang masih produktif dalam melakukan usahatani kakao.

Faktor umur sangat mempengaruhi kemampuan fisik seorang petani dalam mengelola usahataninya. Pada umumnya petani yang berumur muda memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan petani yang berumur tua, termasuk dalam penerimaan inovasi baru. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk mengetahui apa yang mereka belum ketahui, sehingga dalam berusahatani mereka lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sifatnya masih belum berpengalaman.

Tabel 1 Persebaran umur responden petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Kelompok Umur Jumlah responden Persentase (%)

< 30 2 5.00

30 - < 40 7 17.50

40 - < 50 16 40.00

50 - < 60 14 35.00

≥ 60 1 2.50

Latar belakang pendidikan formal menunjukkan bahwa sebagian besar petani pernah mengikuti pendidikan. Keseluruhan responden pernah mengalami jenjang pendidikan formal. Gambaran tingkat pendidikan ini merupakan indikator penting dalam usaha pengembangan teknologi, termasuk PHT hama PBK.

29 Interaksi antara pendidikan dan pengalaman usaha dapat dijadikan prediksi dalam menilai kemampuan petani mengelola usahataninya atau dalam proses menerima atau menolak penerapan teknologi. Dengan pendidikan yang dimiliki maka teknologi yang disampaikan diharapkan dapat dengan mudah diadopsi. Rata – rata petani memiliki tingkat pendidikan SMA (62.50%) dan selebihnya SD, SMP dan malahan ada Perguruan Tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Latar belakang pendidikan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Tingkat Pendidikan Jumlah responden Persentase (%)

SD 1 2.50

SMP 13 32.50

SMA 25 62.50

Perguruan Tinggi 1 2.50

Pendidikan pada umumnya dapat mempengaruhi pola berpikir, khususnya pendidikan formal. Petani yang berpendidikan cenderung bersifat lebih dinamis terhadap perubahan teknologi yang ditawarkan. Dengan tingkat pendidikan yang dimiliki petani diharapkan akan lebih mudah memahami, menerapkan dan mengembangkan suatu inovasi baru terkait perubahan harga, teknologi baru dan cara pemasaran yang lebih efisien (Prayitno & Arsyad 2003).

Namun menurut Hernanto (1992) petani umumnya tumbuh dan dewasa dalam proses menjalankan usahataninya melalui proses pembelajaran dari orang tua yang diwariskan secara turun temurun. Kondisi demikian berpengaruh pada penerimaan inovasi baru, karena cara-cara lama masih tetap dipertahankan. Dengan kondisi tersebut maka dalam mengadopsi inovasi baru tidak cukup dengan penyuluhan atau pelatihan tetapi diperlukan demplot agar petani bisa lebih menyakini kebenaran inovasi yang disampaikan.

Pengalaman berusaha seorang petani merupakan bentuk pendidikan yang diperoleh di luar bangku sekolah yang dapat membawa perubahan bagi petani dalam mengelola usahataninya. Seorang petani dengan pengalaman banyak diharapkan dapat memilih dan menentukan alternatif yang lebih baik bagi peningkatan produksi usahataninya. Namun kendala pada petani kakao dengan pengalaman berusaha tani yang sudah lama cenderung lamban dalam menerima adopsi teknologi karena telah terbiasa mengelola kebun pada kondisi tanah yang

masih subur, serangan hama penyakit masih kurang, dan umur tanaman yang masih produktif.

Untuk mengetahui pengalaman seorang petani dalam berusahatani dapat dilihat dari lamanya petani tersebut melakukan kegiatan usahatani. Semakin lama pengalaman seorang petani mengelola usahatani, maka dapat diasumsikan bahwa petani tersebut semakin matang dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam usahatani, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan hasil produksi usahatani yang dikelolanya. Pengalaman responden dalam lama berusahatani kakao sebagian besar berkisar antara >15 hingga 20 tahun (55.50%) (Tabel 3).

Tabel 3 Latar belakang pengalaman berusahatani petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengalaman berusahatani (tahun) Jumlah responden Persentase (%)

>5 - 10 1 2.50

>10 – 15 13 32.50

> 15 – 20 22 55.00

> 20 – 25 3 7.50

> 25 1 2.50

Walaupun sebagian besar petani telah mengikuti pendidikan dan pengalaman yang cukup lama, namun belum semua praktek budidaya kakao dan pengendalian hama mereka terapkan dengan baik karena berbagai alasan. Beberapa praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik budidaya yang belum diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah panen, pengolahan biji kakao dan perlakuan terhadap kulit buah dan plasenta. Sebagian petani mendapatkan pengetahuan praktek budidaya kakao melalui pelatihan yang merupakan sarana belajar yang baik untuk menambah pengetahuan serta dapat memadukan teori dan pengalaman petani di lapangan.

Luas lahan garapan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena akan menentukan besar kecilnya skala usahatani, mempengaruhi jumlah penggunaan faktor produksi yang lain, dan pada akhirnya akan menentukan tingkat pendapatan petani. Mubyarto (2001) mengemukakan bahwa luas tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan kuantitas produksi yang akan dihasilkan.

31 Penguasaan lahan usahatani kakao di Desa Lambandia berkisar antara 2 – 5 ha (55.00%) bahkan sampai lebih dari 20 ha (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa sebagian besar petani memiliki lahan yang cukup luas dan dengan status sebagai pemilik. Petani yang memiliki lahan < 0.5 ha hanya mengusahakan tanaman kakao di sekitar rumah karena pekerjaan utamanya sebagai Pegawai Negeri Sipil, selain itu juga sebagai pembeli hasil panen kakao (pengumpul).

Tabel 4 Luas lahan garapan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Luas lahan (ha) Jumlah responden Persentase( % )

< 0.5 – 2.0 5 12.50 > 2.0 – 5.0 22 55.00 > 5.0 – 10.0 8 20.00 > 10.0 – 15.0 2 5.00 > 15.0 – 20.0 1 2.50 > 20.0 2 5.00 Budidaya Kakao

Hasil wawancara yang dilakukan terhapap petani menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk mengembangkan tanaman kakao cukup besar. Menurut petani, alasan utama sejak awal sampai sekarang untuk mengembangkan tanaman kakao adalah: (1) masih tersedia lahan yang cukup luas; (2) dapat dipanen sepanjang waktu; (3) harga cukup menarik serta mudah memasarkannya dan (4) perawatan yang tidak terlalu sulit. Menurut data Dishutbun (2010) masih cukup tersedia lahan untuk pengembangan kakao seluas 22.642 ha.

Kualitas bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya produksi kakao. Jika benih yang digunakan adalah benih unggul, maka kemungkinan produksi yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan benih lokal. Jenis klon yang ditanam oleh petani responden menunjukkan bahwa petani menanam kakao jenis Na 32, Na 33, Sulawesi 1, Sulawesi 2, 246 A, 461 A dan semiotic embryogenesis yang merupakan kakao varietas hibrida (77.50%), sementara sebagian petani menanam varietas lokal (22.50%) (Tabel 5). Benih tersebut diperoleh dari pemerintah dan perusahaan perkebunan yang ada di Kabupaten Kolaka. Benih yang berasal dari pemerintah

diberikan secara cuma-cuma sementara yang berasal dari perusahaan dibeli oleh petani.

Tabel 5 Varietas kakao yang ditanam oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Jenis varietas Jumlah responden Persentase (%)

Hybrida 31 77.50

Lokal 9 22.50

Saat ini umur tanaman kakao di lokasi penelitian bervariasi, tetapi sebagian besar berumur >15-20 (30.00%) dan > 20 tahun (45.00%) (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan rata-rata umur tanaman kakao telah tua yang berakibat pada menurunnya produktivitas kakao. Kondisi ini menjadi salah satu dasar bagi pemerintah untuk melakukan Program Revitalisasi Kakao yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dengan metode teknik sambung samping menggunakan bibit Somatic Embryogenesis (SE), Sulawesi I dan Sulawesi II. Penyambungan dilakukan oleh tenaga terlatih dari masyarakat setempat yang diberi honorarium setiap bulan oleh Dinas Perkebunan. Program tersebut merupakan upaya akselerasi pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi perkebunan untuk kembali meningkatkan produksi kakao Indonesia dimasa yang akan datang.

Tabel 6 Umur tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Umur Tanaman (tahun) Jumlah responden Persentase (%)

2 – 5 3 7.50

> 5 – 10 5 12.50

> 10 – 15 2 5.00

> 15 - 20 12 30.00

> 20 18 45.00

Populasi tanaman pada kebun kakao berkisar <1000 pohon per ha (65%) dan selebihnya 1000-1200 pohon (Tabel 7). Jarak tanam bervariasi antara 4 m x 4 m, 4 m x 3 m dan 4 x 2 m, dengan pola tanam tumpang sari yang dikombinasikan dengan tanaman rambutan, kelapa, jeruk, mangga, lada, pisang, gamal dan durian. Rendahnya populasi tanaman disebabkan petani melakukan penananaman secara tumpang sari. Hal tersebut akan berpengaruh pada

33 rendahnya produksi kakao per satuan luas. Puslitkoka (2006) merekomendasikan jarak tanam 3 x 3 m atau 4 x 2 m dengan populasi sekitar 1000 pohon/ha adalah pola tanam yang paling sesuai untuk budidaya kakao jangka panjang di Indonesia.

Tanaman yang paling banyak digunakan sebagai tanaman tumpang sari adalah tanaman kelapa yang juga berfungsi sebagai penaung dan hasilnya dapat dipanen sepanjang tahun. Tumpang sari dilakukan karena tanaman kakao memerlukan tanaman penaung yang berfungsi mengurangi intensitas penyinaran, menekan suhu maksimun dan laju evapotranspirasi, serta melindungi tanaman kakao dari angin kencang. Menurut Bakri et al. (2004) alasan kebanyakan petani untuk memilih tanaman kelapa dikarenakan kelapa relatif tahan kering dan tidak mengalami gugur daun selama musim kemarau, bentuk tajuk dan sistem perakaran kelapa yang kuat menyebabkan kelapa tahan terhadap embusan angin dan apabila kelapa sudah dewasa terdapat jarak yang cukup lebar antara tajuk kelapa dan tajuk kakao.

Tabel 7 Populasi tanaman per ha di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Populasi tanaman per ha Jumlah responden Persentase (%)

<1000 26 65.00

1000 – 1200 14 35.00

Pemangkasan tanaman adalah satu cara budidaya kakao agar tidak terjadi kelembaban yang tinggi, karena beberapa jenis hama menyenangi kondisi yang lembab. Pemangkasan juga dilakukan sebagai salah satu upaya agar laju fotosintesis berlangsung secara optimal. Menurut Suntoro (1995) pemangkasan tanaman bertujuan untuk memperoleh kerangka arsitektur dasar (frame)

percabangan tanaman kakao yang baik, mengatur penyebaran cabang dan daun-daun produktif pada tajuk merata, meningkatkan kemampuan tanaman menghasilkan buah dan menekan risiko terjadinya serangan hama dan penyakit.

Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemangkasan intervalnya bervariasi antar 12, 24 dan 36 kali dalam setahun. Pemangkasan yang paling banyak dilakukan adalah pemangkasan pemeliharaan (62.50%) dan selebihnya pemangkasan pemeliharaan dan produksi (Tabel 8). Pemangkasan dilakukan untuk membuang bagian tanaman yang tidak dikehendaki seperti tunas air, cabang

yang sakit, patah dan menggantung, dimaksudkan untuk pemangkasan pemeliharaan dan produksi. Dalam kaitan ini belum semua pekebun melakukan pemangkasan dengan baik, hal tersebut terlihat dari banyaknya pohon kakao yang tajuknya masih terlalu tinggi sehingga menyulitkan dalam pemanenan buah. Hal ini mengakibatkan serangan hama PBK selalu ada setiap tahun karena kondisi kebun yang gelap dan lembab.

Tabel 8 Pemangkasan tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Jenis Pemangkasan Jumlah responden Persentase (%)

Pemeliharaan 25 62.50

Pemeliharaan + Produksi 7 17.50

Produksi 8 20.00

Budidaya tanaman kakao yang dilakukan pekebun cenderung menyebabkan kemunduran lahan jika tidak diimbangi dengan pemupukan. Kemunduran lahan tersebut diakibatkan berkurangnya kesuburan, kerusakan sifat-sifat fisik dan biologis, serta menipisnya ketebalan tanah. Berkurangnya kesuburan disebabkan kehilangan unsur hara dari daerah perakaran melalui pencucian dan erosi. Kerusakan sifat-sifat fisik dan biologis tanah antara lain berupa rusaknya agregat tanah, berkurangnya kemantapan struktur, berkurangnya kadar bahan organik serta berkurangnya jumlah dan aktivitas organisme yang hidup dalam tanah, sementara itu berkurangnya ketebalan tanah terjadi karena erosi yang merupakan penyebab utama kerusakan tanah di lahan yang berlereng curam (Arsyad 2001).

Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemupukan menggunakan pupuk Urea, KCL dan TSP yang dilakukan pada awal terjadinya musim buah puncak yaitu bulan Januari dan Agustus dengan frekuensi 1 sampai 3 kali dalam setahun dan sebagian petani menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam atau sapi. Pemupukan dengan Urea dengan frekuensi 1 kali lebih banyak dilakukan petani (50.00%) dan selebihnya pemupukan dengan TSP, KCl dan pupuk kandang dengan frekuensi yang bervariasi (Tabel 9).

35 Tabel 9 Frekuensi pemupukan dan jenis pupuk yang digunakan petani di Desa

Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Jenis Pupuk

Frekuensi

Pemupukan responden Jumlah Persentase (%)

Urea 1 20 50.00 Urea 2 14 35.00 TSP 1 13 32.50 TSP 2 11 27.50 KCl 1 8 20.00 KCl 2 7 17.50 Pupuk kandang 1 4 10.00 Pupuk kandang 2 2 5.00 Pupuk kandang 3 1 2.50

Gulma merupakan tumbuhan pengganggu di perkebunan kakao yang menjadi masalah mulai persiapan lahan sampai pemeliharaan tanaman. Gangguan gulma tidak terjadi secara eksplosif seperti hama dan penyakit, tetapi gangguannya terjadi secara terus menerus dalam jangka panjang. Pada perkebunan kakao keberadaan gulma dapat merugikan di antaranya menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman sebagai dampak dari persaingan hara, air dan cahaya, meningkatkan kelembaban kebun dan menyulitkan pekerjaan di kebun.

Untuk mengendalikan gulma, petani di Desa Lambandia melakukannya dengan cara kimiawi (47.50%) dan selebihnya dengan cara kimia + mekanik dan mekanik (Tabel 10). Secara kimiawi petani menggunakan herbisida dan secara mekanik menggunakan alat pemaras dan mesin rumput. Sebagian besar petani menggunakan bahan kimia berupa herbisida, hal tersebut mengindikasikan bahwa belum ada kesadaran petani dalam keberlanjutan perkebunan kakao. Gulma yang ada sebaiknya dibuatkan lubang kemudian ditimbun karena dapat dimanfaatkan sebagai pupuk sehingga dapat berpengaruh terhadap produktivitas lahan dimasa yang akan datang.

Tabel 10 Pengendalian gulma oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengendalian gulma Jumlah responden Persentase (%)

Kimiawi 19 47.50

Kimiawi + Mekanik 12 30.00

Panen buah kakao yang telah matang secara fisiologis dilakukan sepanjang tahun dan puncaknya pada musim buah yaitu bulan Juli. Jumlah petani dengan frekuensi panen < 5 hari (52.50%) dan selebihnya 5 sampai >15 hari (Tabel 11). Tanaman dengan luasan 15-20 ha memerlukan waktu selama > 15 hari ; luasan 10-14 ha memerlukan waku selama 11–15 hari ; luasan 5-10 ha memerlukan waktu selama 8-10 hari dan luasan 0.5 sampai 4 ha memerlukan waktu selama 5-7 hari. Hal tersebut dikarenakan kurangnya tenaga kerja dalam melakukan panen. Panen dilakukan hanya dengan bantuan anggota keluarga. Untuk luasan di atas 10 ha, petani menggunakan tenaga harian untuk melakukan panen terutama pada saat puncak musim buah.

Tabel 11 Frekuensi panen kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Frekuensi panen Jumlah responden Persentase (%)

< 5 hari 21 52.50

5 – 7 hari 6 15.00

8 – 10 hari 8 20.00

11 – 15 hari 3 7.50

> 15 hari 2 5.00

Buah yang dipanen tidak langsung dibelah tetapi disimpan terlebih dahulu selama 2 sampai 3 hari (67.50%), beberapa petani menyimpan buah di atas 3 hari (Tabel 12). Penyimpanan buah dilakukan agar buah dapat dibelah secara bersamaan pada saat buah sudah terkumpul.

Tabel 12 Pengolahan buah setelah panen oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka

Pengolahan buah Jumlah responden Persentase (%) Dibiarkan 2 hari 21 52.50

Dibiarkan 3 hari 6 15.00

Dibiarkan > 3 hari 13 32.50

Pada saat buah telah selesai dibelah dan diambil bijinya, beberapa petani menyimpan terlebih dahulu biji hasil panen selama 1 – 3 hari dan sebagian

Dokumen terkait