• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kondisi Fisiologis Domba Ekor Gemuk Jantan dan Palatabilitas Limbah Tauge sebagai Ransum Selama Penggemukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kondisi Fisiologis Domba Ekor Gemuk Jantan dan Palatabilitas Limbah Tauge sebagai Ransum Selama Penggemukan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ii

ABSTRACT

The Relationship between Physiological Response and Palatability of Bean Sprout as a Fat Tailed Sheep Feed during the Research

Ifafah. W.W., S. Rahayu., and D. Diapari

Sheep farming has been increasing to meet demand of animal protein for human needs. In the livestock business, feed cost is the largest cost. In this study, bean sprouts waste which have no economic value was used as a sheep feed to increase sheep productivity. Productivity of sheep was affected by internal factors and external factors. The external factors are physiological responses and the internal factors are nutrient contents of feed. Bean sprout waste contains 13,63% of crude protein and 49,44% of crude fiber which are useful for sheep feed. The treatment level were P1 (100% concentrate), P2 (75% concentrate + 25% bean sprout waste), P3 (50% concentrate + 50% bean sprout waste), and P4 (25% concentrate + 75% bean sprout waste). The result showed that physiological response and palatability were increased along with the increasing of bean sprouts waste in the feed content. In this research, there were no significant relationship between palatability and physiological response.

(2)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan ternak sumber protein hewani yang dapat dikembangkan sebagai produk unggulan di sektor peternakan. Beberapa aspek yang menjadi keunggulan dalam beternak domba yaitu mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dagingnya relatif digemari masyarakat. Selain itu, keunggulan ternak itu sendiri diantaranya prolifik, menjadi budaya untuk mengonsumsi daging domba pada hari raya dan berbagai produk domba dapat dimanfaatkan. Berbagai metode diterapkan untuk meningkatkan produktivitas ternak domba sebagai upaya memajukan peternakan domba.

Biaya pakan merupakan bagian terbesar dari keseluruhan biaya produksi di dalam usaha peternakan domba. Pakan yang selama ini digunakan adalah konsentrat yang harganya cukup mahal, oleh karena itu dibutuhkan alternatif lain yang dapat menurunkan biaya produksi. Penggunaan limbah pasar yang kebanyakan adalah hijauan yang sering kali dijadikan alternatif bagi peternak, namun belum ada yang dapat menyaingi pertambahan bobot badan domba yang diberi pakan konsentrat dan juga diperlukan proses lebih lanjut agar nutrisi pakan dapat mencukupi kebutuhan ternak. Adapun penggunaan ampas tahu yang berasal dari limbah pembuatan tahu harganya juga sudah mulai tinggi. Limbah pasar yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah tauge yang belum banyak tersentuh oleh kalangan peternak. Limbah tauge adalah bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi manusia, kulit tauge atau tudung atau angkup yang berwarna hijau dan biasanya bercampur dengan sedikit potongan-potongan ekor dan kepala tauge yang tidak utuh. Melihat adanya kandungan zat makanan yang sangat baik, maka limbah tauge perlu dicoba untuk dijadikan sebagai pakan tambahan domba untuk meningkatkan nilai gunanya.

(3)

2

Tujuan

(4)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Domba adalah ternak penghasil daging dan sering digembalakan di tepi jalan dan pematangan sawah serta di tepi saluran irigasi maupun di tanah lapang. Domba mempunyai sifat alami senang bergerombol dan tidak memilih pakan (Setiyono, 2000). Ternak domba secara umum termasuk dalam phylum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan yang menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berteracak atau berkuku genap), family Bovidae (hewan memamah biak), genus Ovis, spesies Ovis aries (Blakely dan Bade, 1992). Ternak domba merupakan salah satu ternak yang berkembang di Indonesia, terutama di pedesaan, karena domba memiliki peranan yang besar dalam menunjang ekonomi keluarga peternak. Karakteristik domba lokal yaitu bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya (Devendra dan McLeroy, 1992).

Domba Ekor Gemuk

Domba ekor gemuk umunya tidak bertanduk, tetapi ada beberapa domba jantan yang memiliki benjolan tanduk dan umumnya mempunyai telinga berukuran medium dengan posisi agak menggantung dengan warna bulu putih, dan wolnya kasar. Warna bulu yang putih ini juga dapat mengurangi stres akibat panas. Bentuk tubuh domba ekor gemuk lebih besar dari domba ekor tipis. Domba Ekor Gemuk banyak dipelihara di wilayah Indonesia Timur seperti Jawa Timur, Sulawesi, dan kepulauan Nusa Tenggara dan diduga berasal dari Asia Barat dan Afrika Timur melaui jalur perdagangan dan terjadi persilangan dengan domba lokal (Devendra dan McLeroy, 1992).

(5)

4 Domba ekor gemuk mempunyai keistimewaan, yaitu kemampuannya dalam beradaptasi terhadap lingkungan kering (Mulyaningsih, 1990) dan juga terhadap lingkungan panas (Mason, 1980 dan Hardjosubroto, 1994). Domba ekor gemuk merupakan tipe pedaging dengan bobot badan pada jantan dewasa 40-60 kg, dan betina dewasa 25-35 kg. Ukuran tinggi badan pada jantan dewasa berkisar antara 60-65 cm, dan betina dewasa antara 52-60 cm (Hardjosubroto, 1994). Sutama (1993) menyatakan bahwa pengembangan domba ekor gemuk meliputi daerah yang cukup luas dan umumnya mengarah ke wilayah Indonesia bagian timur dengan kondisi agroekosistem yang kering. Pertumbuhan domba ekor gemuk setelah sapih tergantung dari jumlah dan kualitas yang dikonsumsi. Kisaran berat badan dewasa domba ekor gemuk cukup besar yaitu 20-78 kg dengan rataan 30,5±6,9 kg untuk jantan dan 27,2 ± 4,7 kg untuk betina.

Limbah Tauge

Penanganan limbah pertanian sebagian besar belum mendapatkan perhatian yang cukup dalam penanganannya. Sebagian besar limbah yang dihasilkan dari alam meliputi proses pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Setelah hasil utamanya digunakan, limbahnya dibuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan dengan baik (Winarno, 1985). Menurut Judoamidjojo et al. (1989), selain memberikan nilai ekonomis dan mengurangi pencemaran lingkungan, pemanfaatan atau pendaurulangan limbah pertanian menjadi komoditas baru dapat memberikan keuntungan lain seperti penyerapan tenaga kerja dan menghasilkan produk baru yang berguna sehingga dapat meningkatkan keuntungan petani atau produsen. Limbah tauge berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik dan dapat merugikan masyarakat seperti pencemaran sungai dan juga pencemaran udara yang dapat menimbulkan penyakit.

(6)

5 sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge dapat diperoleh dari 10%-15% bagian tauge segar melalui proses pengayakan atau pencucian.

Kecambah kacang hijau termasuk dalam famili leguminoceae, sub family Papilionideae, genus phaseolus dan spesies Radiatus. Tauge berasal dari kacang hijau Vigna Radiata (L) Wilczek atau phaseolus aureus Roxb atau P. Radiatus L. yang dikecambahkan (Sutarman dan Soeprapto, 1982). Kacang hijau adalah tanaman daerah tropis dengan iklim panas namun dapat tumbuh di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Fernandez et al. (1997), tauge secara luas dikonsumsi terutama di Asia Tenggara dan Afrika Timur sebagai salah satu jenis sayuran yang sudah lama dikembangkan dan dimanfaatkan yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi. Kandungan zat makanan kacang hijau secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Kacang Hijau per 100 gram Bahan yang Dapat

(7)

6 mengalami perubahan yaitu kadar glukosa dan fruktosa meningkat 10 kali lipat dibandingkan saat sebelum mengalami perkecambahan. Namun kandungan sukrosa hanya meningkat 2 kali lipat sehingga kandungan galaktosa menghilang (Winarno, 1981). Kandungan zat makanan kecambah kacang hijau dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 2.

Protein dari sel-sel selama penyimpanan dirombak oleh sekumpulan enzim proteolitik yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas bersama dengan amida dari asam glutamat dan asparat. Hal ini ditunjukkan dari kenaikan konsentrasi asam amino lisin sebanyak 24%, treonin 19%, alanin 29%, dan fenilalanin 7% (Winarno, 1981).

Konsentrat

(8)

7 konsentrat adalah 580 gram/ekor/hari atau meningkat 57% dibandingkan dengan yang tidak diberi konsentrat yaitu 371 gram/ekor/hari sedangkan pertambahan bobot badannya meningkat 294% dari 18 gram/ekor/hari menjadi 71 gram/ekor/hari.

Konsumsi Pakan

Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh ternak bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad libitum. Konsumsi merupakan faktor esensial sebagai dasar untuk hidup pokok dan untuk produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hewan, faktor makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi produktivitas ternak (Arora, 1989). Konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan, dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lainnya, suhu dan kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi menyebabkan turunnya konsumsi pakan karena konsumsi air minum yang tinggi yang akan berakibat pada penurunan konsumsi energi (Siregar, 1984).

Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan (Church dan Pond, 1998). Konsumsi pakan secara umum akan meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri, pakan yang diberikan dan lingkungan. Faktor hewan yang dimaksud adalah permintaan fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup pokok dan produksi.

Palatabilitas

(9)

8 mengonsumsinya (Yusmadi et al., 2008). Palatabilitas dapat didefinisikan sebagai tingkat penerimaan pakan atau bahan pakan melalui rasa atau tingkat penerimaan untuk dimakan oleh ternak yang dapat ditentukan dengan penampilan, bau, rasa, tekstur, suhu, dan alat-alat panca indera lainnya terhadap pakan. Church dan Pond (1998) mendefinisikan palatabilitas sebagai respon yang diberikan ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan.

Palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa faktor yang berbeda yang dirasakan oleh ternak dan mewakili rangsangan dari penglihatan, aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor sifat fisik dan sifat kimia (nutrien) pakan dari ternak yang berbeda (Pond et al., 1995). Selain zat-zat nutrien yang harus terpenuhi dalam jumlah yang tepat, pemberian ransum atau pakan juga harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk dikonsumsi, disukai ternak, ekonomis, dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002). Ransum ternak di daerah yang temperate memiliki palatabilitas yang lebih baik. Bahan ransum di daerah temperate memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik dari bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis seperti Indonesia. Menurut Parakkasi (1999), bahwa semakin meningkatnya nutrien suatu ransum akan meningkatkan konsumsi dari ransum tersebut. Komposisi nutrien terdiri dari komposisi bahan-bahan kimia yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi palatabilitas tetapi hubungan antara palatabilitas dengan komposisi nutrien sangat lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam mengukur palatabilitas suatu pakan ternak (Kaitho et al., 1997). Terdapat empat macam bau yang dapat terdeteksi oleh penciuman ternak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno, 1992).

Lingkungan

(10)

9 berpengaruh terhadap domba yaitu akibat cekaman panas (Devendra dan Faylon, 1989).

Cekaman lingkungan yang panas pada domba dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Agar fungsi pertumbuhan dan reproduksi berjalan dengan lancar, maka dibutuhkan daerah lingkungan yang optimal yaitu Thermoneutral Zone (TNZ). TNZ ini merupakan daerah kisaran suhu yang paling nyaman bagi ternak. Daerah TNZ untuk domba pada daerah pemeliharaan berkisar antara 22-31oC. Ternak akan berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya dengan lingkungan dengan cara melakukan evaporasi ketika suhu lingkungan panas dan akan memproduksi panas ketika suhu lingkungan dingin (Yousef, 1985).

Respon Fisiologis Domba

Respon fisiologis adalah respon terhadap berbagai macam faktor, baik secara fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985). Rangkaian proses fisiologis akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien, 2007). Respon fisiologis dapat mengakibatkan perubahan suhu tubuh, laju respirasi dan laju denyut jantung.

Domba merupakan hewan mamalia yang berdarah panas dan dapat mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Domba termasuk hewan yang memiliki daya tahan kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Namun jika keadaan lingkungan tersebut melebihi batas kemampuan domba dalam mempertahankan kondisinya, maka akan timbul hal yang merugikan. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi dan denyut jantung.

Suhu Rektal

(11)

10 tubuh akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. (Purwantoet et al., 1994). Ensiminger et al. (1990) mengemukakan bahwa suhu lingkungan sangat rendah di bawah titik kritis minimum dapat mengakibatkan suhu rektal menurun tajam diikuti dengan pembekuan jaringan dan terkadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeotermis. Sebagai hewan berdarah panas, domba akan mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran normal yaitu 38,2- 40oC (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Edey (1983) mengemukakan bahwa pada suhu rektal harian diketahui rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari.

Laju Respirasi

Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Laju respirasi merupakan ukuran yang menunjukkan konsentrasi O2, CO2, dan H2O dalam cairan tubuh (Subronto, 1985). Fungsi-fungsi dari sistem respirasi tersebut membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraselular dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan fonasi (pembentukan suara) (Frandson, 1992). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan akan dibuang (Awabien, 2007).

Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernafasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernafasan (Yousef, 1985). Rata-rata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 26-32 kali tiap menit. Sedangkan kambing mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 26-54 kali tiap menit (Frandson, 1992). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak bereaksi pertama-tama dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25 oC (Yousef, 1985).

(12)

11 metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus di imbangi dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal.

Laju Denyut Jantung

Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah yang melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992).

Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruhan otot jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh syaraf, antara lain rangsangan kimiawi seperti hormon dan perubahan kadar O2 dan CO2 ataupun rangsangan panas (Isnaeni, 2006).

(13)

12

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Mitra Tani Farm (MT Farm), Desa Tegal Waru RT 04 RW 05, Ciampea, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2010.

Materi

Ternak

Ternak yang digunakan adalah domba ekor gemuk (DEG) jantan yang berumur dibawah satu tahun (Io) sebanyak 24 ekor. Kisaran bobot badan domba yaitu 9-14 kg dengan koefisien keragaman 11,24%. Domba ekor gemuk ini berasal dari Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Domba dikelompokkan menjadi kelompok bobot badan kecil (9-12,5 kg) dan bobot badan besar (12,6-14,6kg).

Pakan dan Minum

(14)

13 (a) (b)

Gambar 1. Kondisi Konsentrat dan Limbah Tauge sebelum dihomogenisasi. (a) = Konsentrat; (b) = Limbah tauge

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu dengan tipe kandang panggung dengan bahan dasar kayu dan bambu. Tempat makan diberi alas karpet yang berbahan karet sedangkan lantai bercelah ± 1-1,5 cm. Kandang dibersihkan setiap hari selama penelitian. Adapun Peralatan yang digunakan adalah timbangan pakan kapasitas 10 kg, timbangan domba digital berkapasitas 150kg, stopwatch, thermohygrometer, stetoskop, termometer, ember, karung, dan tong.

Prosedur

Persiapan Penelitian

(15)

14

Pelaksanaan Penelitian

Pemeliharaan dilakukan selama dua bulan. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot badannya kemudian diberi empat taraf perlakuan. Pakan diberikan setiap hari secara ad libitum begitu pula dengan minumnya. Kandang juga dibersihkan setiap hari. Pengukuran fisiologis dilakukan seminggu satu kali yang terdiri dari pengukuran denyut jantung dan respirasi menggunakan stetoskop, dan suhu rektal menggunakan termometer. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari yaitu pada pagi jam 07:00 WIB, siang jam 13:00 WIB dan sore jam 18:00 WIB. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap hari dengan cara mengurangi jumlah pemberian pakan dengan sisa pakan dari pakan yang diberikan kemarin.

Rancangan Percobaan

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah pemberian campuran konsentrat dengan limbah tauge dengan taraf yang berbeda-beda. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot badan besar dan bobot badan kecil. Adapun beberapa taraf perlakuan pakan yang diberikan berdasarkan segar adalah sebagai berikut :

P1 : 100 % konsentrat : 0 % limbah tauge P2 : 75 % konsentrat : 25 % limbah tauge P3 : 50 % konsentrat : 50 % limbah tauge P4 : 25 % konsentrat : 75 % limbah tauge

Model

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Adapun model rancangan tersebut menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) yaitu :

Yijk = µ + Pi + Kj + εij

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pemberian pakan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum pengamatan pemberian pakan

(16)

15 εij = Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati maka dilakukan uji banding dengan menggunakan uji Tukey untuk mengetahui perlakuan yang terbaik. Hubungan palatabilitas dan respon fisiologis di analisis korelasi dengan faktor tetap (x) yaitu konsumsi pakan dan faktor variabel (y) yaitu respon fisiologis yang meliputi denyut jantung, respirasi dan suhu rektal.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi pakan, kondisi fisiologis yang terdiri dari denyut jantung, respirasi dan suhu rektal.

Palatabilitas

Konsumsi pakan merupakan salah satu cara untuk melihat tingkat palatabilitas domba terhadap pakan yang diberikan. Konsumsi pakan dapat diperoleh dengan cara menghitung pakan dikurangi dengan sisa pakan (gram/ekor/hari) setiap harinya menggunakan timbangan pakan.

Konsumsi Pakan Segar (gram/hari) = Pakan yang diberikan – Sisa pakan

Laju Respirasi

Laju respirasi pada domba diukur dengan cara mendengar hembusan nafas domba melalui stetoskop pada bagian rongga dada selama satu menit menggunakan stopwatch pada pagi, siang dan sore hari.

Laju Denyut Jantung

Denyut jantung dapat diperoleh dengan menghitung banyaknya detak jantung domba melalui stetoskop selama satu menit pada bagian dada kiri dengan menggunakan stopwatch pada pagi, siang dan sore hari.

Suhu Rektal

(17)

16 umumnya sedikit bercampur dengan kepala atau ekor tauge yang tidak utuh. Hal ini disebabkan karena pada saat proses penyaringan, beberapa tauge yang tidak utuh terbawa sehingga menjadi limbah tauge. Berdasarkan pengamatan di Pasar Bogor, limbah ini tidak dikonsumsi manusia karena para pedagang tauge mengumpulkan limbah tersebut untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah ataupun diberikan kepada seseorang yang membutuhkannya untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Hal ini menunjukkan bahwa limbah tauge dapat digunakan sebagai pakan karena tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Sedangkan konsentrat ialah bahan makanan berupa biji-bijian, umbi-umbian, dan limbah dari biji-bijian yang mengandung protein, lemak, dan karbohidrat dengan kandungan serat kasar (terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika) kurang dari 18% yang biasa digunakan sebagai pakan domba pada usaha penggemukan domba di kalangan peternak (Parakkasi, 1999).

Kondisi Lapang

(18)

17 domba pada daerah pemeliharaan berkisar antara 22-31oC. Ternak akan berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya dengan lingkungan dengan cara melakukan evaporasi ketika suhu lingkungan panas dan akan memproduksi panas ketika suhu lingkungan dingin. Data curah hujan, kelembaban dan suhu udara daerah Dermaga dan sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu Lingkungan Daerah Darmaga dan sekitarnya Tahun 2010.

Bulan Waktu (WIB) Suhu (oC) Kelembaban (%) Curah hujan (mm)

07:00 23,0 95

Agustus 13:00 30,9 61 477,6

18:00 26,1 84

07:00 23,1 96

September 13:00 30,2 65 601,0

18:00 24,7 90

07:00 23,4 94

Oktober 13:00 29,2 68 436,2

18:00 25,5 86

Sumber : BMKG (2010)

(19)

18

Kondisi Domba

Ternak yang digunakan pada penelitian ini yaitu domba ekor gemuk yang berasal dari Malang Jawa Timur. Selama di Jawa Timur, domba tersebut dipelihara secara ekstensif atau digembalakan yang sebagian besar makanannya adalah rumput lapang. Setelah sampai di MT Farm, domba diistirahatkan dan diberikan obat-obatan yaitu vitamin, antibiotik dan obat cacing untuk memulihkan kondisi setelah pengangkutan. Kondisi domba yang digunakan yaitu berbadan kurus namun sehat agar lebih mudah dalam mengetahui perkembangan pertumbuhannya seperti yang dikemukakan oleh Yamin (2001) bahwa kondisi masa pertumbuhan yang relatif kurus dari pasar akan cukup ideal untuk penggemukan domba yang berlangsung 2-3 bulan. Sebagian besar penyakit yang diderita domba yaitu orf, sakit mata dan mencret. Penyakit orf ditandai dengan benjolan di daerah sekitar mulut yang menyebabkan domba sulit untuk makan. Sakit mata ditandai dengan mata merah dan berlendir dan kadang kelopak mata sulit terbuka. Mencret ditandai dengan berubahnya tekstur feses menjadi lebih cair dan bau yang lebih menyengat. Selama penelitian, terdapat satu ekor domba yang terkena orf pada perlakuan pakan menggunakan kandungan 50% limbah tauge dan domba yang sakit mata rata-rata terjadi pada perlakuan 100% konsentrat dan campuran 25% limbah tauge dalam ransum. Domba yang mengalami sakit mata pada perlakuan P1 (100% konsentrat) dan P2 (75% konsentrat dan 25% limbah tauge) dapat disebabkan karena sifat konsentrat yang berdebu yang masuk ke mata.

Kondisi Pakan

Kondisi limbah tauge yang diberikan kepada domba adalah dalam bentuk segar yang langsung diambil dari pasar Bogor. Kondisi limbah tauge sedikit tercampur dengan ekor badan, atau kepala tauge yang tidak tersaring. Agar kondisi kesegaran ransum tetap terjaga, dilakukan pemampatan ke dalam tong sehingga kondisi ransum lebih tahan lama dibandingkan dengan disimpan di dalam karung.

(20)

19 4-5 hari dalam seminggu sehingga kondisi ransum masih dapat terjaga kesegarannya. Adapun perbandingan kandungan zat makanan pada konsentrat dan limbah tauge dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Konsentrat dan Limbah Tauge

Bahan Makanan BK ABU PK SK LK

BETA-Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan tahun 2010

Berdasarkan Tabel 4, Kandungan protein kasar yang terdapat pada limbah tauge cukup tinggi bahkan sedikit lebih tinggi dari protein kasar yang terkandung pada konsentrat yaitu sebanyak 13,63%. Kandungan serat kasar pada limbah tauge pun tinggi yaitu sebanyak 49,44%. Kandungan protein yang tinggi pada limbah tauge yang hampir mirip dengan leguminosa menjadikan keunggulan tersendiri sebagai bahan pakan ternak yang berkualitas murah, dan mudah didapat. Okoronkwo et al (2010) menyatakan bahwa perubahan kandungan protein kasar pada kacang hijau menjadi kecambah mengalami peningkatan dari 23,57% menjadi 25%. Meningkatnya kandungan protein kasar pada tauge memungkinkan pula berdampak pada kandungan protein limbah tauge. Adapun kondisi pakan masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan, persentase bahan kering masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.

(21)

20

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2. Kondisi Ransum Campuran Konsentrat dan Limbah Tauge. (a) = P1 (100% konsentrat); (b) = P2 (75% konsetrat + 25% limbah tauge); (c) = P3 (50% konsentrat + 50% limbah tauge); (d) = P4 (25% konsentrat + 75% limbah tauge)

Berdasarkan persentase bahan kering masing-masing perlakuan, terlihat bahwa dari seluruh perlakuan pakan, konsentrat memiliki bahan kering yang lebih tinggi dibandingkan limbah tauge. Sehingga meskipun domba mengonsumsi limbah tauge dalam jumlah banyak, bahan kering yang terkonsumsi tidak akan sebanyak apabila mengkonsumsi konsentrat dalam jumlah banyak.

Palatabilitas

Konsumsi pakan dapat mencerminkan palatabilitas atau tingkat kesukaan ternak terhadap pakan yang diberikan. Rataan konsumsi pakan segar selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

(22)

21 bahwa palatabilitas ransum tanpa penambahan limbah tauge (645,6 g/ekor/hari) dan ransum yang menggunakan 25% limbah tauge (871,9 g/ekor/hari) berbeda lebih rendah dari palatabilitas ransum 50% limbah tauge (1358 g/ekor/hari). Sementara, palatabilitas 50% limbah tauge nyata lebih rendah dari palatabilitas ransum 75% limbah tauge (1669,9 g/ekor/hari). Konsumsi pakan paling tinggi terjadi pada ransum dengan penambahan 75% limbah tauge dan ransum dengan 100% konsentrat memiliki tingkat konsumsi pakan yang paling rendah.

Tabel 6. Rataan Konsumsi Pakan Segar Selama Penelitian

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05)BBK : Bobot Badan Kecil ; BBB : Bobot Badan Besar ; P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge, P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge, P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge, P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge

Hal ini diduga karena limbah tauge memiliki tektur yang lembut, warna yang hijau cerah, dan tidak berdebu yang dapat meningkatkan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya sehingga konsumsi pakan pun meningkat seiring dengan bertambahnya kandungan limbah tauge di dalam ransum. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin banyak kandungan limbah tauge di dalam ransum akan semakin tinggi palatabilitasnya. Menurut Church dan Pond (1998), konsumsi sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan. Parakkasi (1999) menyebutkan bahwa konsentrat merupakan bahan penguat dan apabila diberikan terlalu banyak akan meningkatkan konsentrasi energi pakan dan dapat menurunkan tingkat konsumsi.

Berdasarkan tingkat konsumsi pakan antara bobot badan besar dan kecil, hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi pakan tidak berubah terhadap perbedaan bobot badan yaitu pada kisaran 1123±380 sampai 1150±497gram/ekor/hari. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pakan tidak dipengaruhi oleh bobot badan domba melainkan lebih dipengaruhi oleh palatabilitas pakan itu sendiri. Konsumsi bahan kering ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.

Kelompok P1 P2 P3 P4 Rataan

--- g/ekor/hari --- BBK 641,9±91,7 920,0±95,9 1408,4±68,0 1521,6±39,4 1123±380

BBB 649,2±61,3 824±280 1308±175 1818,3±29,5 1150±497

(23)

22 Tabel 7. Rataan Konsumsi Bahan Kering Konsentrat dan Limbah Tauge

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05); BBK : Bobot Badan Kecil; BBB : Bobot Badan Besar; BK = Bahan Kering ; P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge, P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge, P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge, P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi bahan kering domba ekor gemuk. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering ransum tanpa limbah tauge (519,8 g/ekor/hari) dan 25% limbah tauge (623,8 g/ekor/hari) berbeda lebih rendah dari konsumsi bahan kering ransum mengandung 50% limbah tauge (849,7 g/ekor/hari) dan 75% limbah tauge (895,0 g/ekor/hari). Berdasarkan konsumsi bahan kering pun ternyata ransum 50% limbah tauge dan ransum 75% limbah tauge memiliki konsumsi bahan kering terbanyak. Hal ini dapat disebabkan karena pakan pada ransum 50% limbah tauge dan 75% limbah tauge memiliki palatabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum 100% konsentrat dan 25% limbah tauge sehingga sejalan dengan tingginya konsumsi pakan, bahan kering yang terkonsumsi pun akan lebih banyak. Namun, pada Tabel 7. dapat dilihat bahwa jumlah bahan kering yang dikonsumsi P3 dan P4 tidak berbeda nyata yaitu 875,7 g/ekor/hari dan 920.1 g/ekor/hari sedangkan konsumsi bahan segar pada P4 (1669,9 g/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan P3 (1358,0 g/ekor/hari) atau dapat dikatakan berbeda nyata. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan bahan kering konsentrat (80,52%) yang lebih banyak dibandingkan bahan kering pada limbah tauge (44,62 %) sehingga total bahan kering yang terkonsumsi pada P3 dan P4 tidak jauh berbeda. Tingginya konsumsi bahan kering pada P3 dan P4 menunjukkan palatabilitas yang nyata lebih tinggi. Rataan konsumsi bahan kering pakan selama penelitian sesuai dengan konsumsi bahan kering domba menurut NRC (1985) yaitu berkisar antara 500-1000 gram/ekor/hari.

Kelompok P1 P2 P3 P4 Rataan

--- g/ekor/hari --- BBK 516,9±73,8 658,2±68,6 881,3±42,6 815,5±21,1 718,0±51,5

BBB 522,8±49,3 589±200,0 818,1±109,6 974,5±15,8 726,1±93,7

(24)

23

Respon Fisiologis

Respon fisiologis adalah respon terhadap berbagai macam faktor, baik secara fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985). Rangkaian proses fisiologis akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien, 2007). Respon fisiologis yang diamati pada penelitian ini adalah denyut jantung, respirasi dan suhu rektal domba.

Denyut Jantung Domba

Denyut jantung merupakan salah satu bagian dari respon fisiologis ternak yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983). Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruhan otot jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama (Isnaeni, 2006). Hasil rataan denyut jantung masing-masing perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Denyut Jantung Domba Selama Penelitian

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05) ; BBK : Bobot Badan Kecil; BBB : Bobot Badan Besar; BK = Bahan Kering ; P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge; P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap denyut jantung domba ekor gemuk. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa denyut jantung domba yang mengonsumsi ransum 50% (117,58 g/ekor/hari) dan 75% limbah tauge (115,23 g/ekor/hari) berbeda lebih tinggi dibandingkan denyut jantung domba yang mengonsumsi ransum tanpa limbah tauge (101,89 g/ekor/hari) tetapi tidak berbeda nyata dengan denyut jantung domba yang mengonsumsi ransum 25% limbah tauge (113,85 g/ekor/hari). Sementara itu, denyut jantung domba yang mengonsumsi ransum tanpa penambahan limbah tauge tidak berbeda nyata (101,89 g/ekor/hari) dengan denyut jantung domba yang mengonsumsi ransum 25% limbah tauge (113,85 g/ekor/hari). Rata-rata denyut jantung domba

Kelompok P1 P2 P3 P4 Rataan

--- g/ekor/hari ---

BBK 104,52±9,43 110,65±5,25 121,38±7,43 118,52±11,25 113,77±10,11

BBB 99,27±0,76 117,05±14,24 113,78±2,18 111,94±6,21 110,51±9,72

(25)

24 dengan pakan penambahan limbah tauge lebih tinggi dibandingkan denyut jantung domba dengan pakan tanpa penambahan limbah tauge. Bila ditinjau dari segi kandungan kacang hijau, kacang hijau memiliki kandungan protein (asam amino) cukup lengkap yang terdiri atas asam amino esensial yakni isoleusin 6,95% ; leusin 12,90% ; Lysin 7,94% ; Methionin 0,84% ; Phenylanin 7,07% ; Threonin 4,50% ; Valin 6,23% dan juga asam amino nonesensial yakni Alanin 4,15% ; Arginin 4,44% ; Asam Aspartat 12,10%, Asam Glutamat 17% ; Glycin 4,03% ; Tryptophan 1,35% ; dan Tyrosin 3,86% (Rukmana, 1997). Asam Glutamat memiliki kandungan tertinggi di dalam protein yaitu sekitar 17%. Zhou et al. (2006) menyatakan bahwa efek fisiologis dari glutamat di dalam jaringan dapat melemahkan kontraksi otot namun membangkitkan rangsangan respon kardiovaskular. Kardiovaskular menyangkut sistem peredaran darah, maka hal ini dapat memicu jantung untuk berdenyut lebih cepat sehingga domba dengan pakan yang mengandung lebih banyak limbah tauge memiliki denyut jantung yang lebih cepat. Menurut Okoronkwo et al. (2010), kacang hijau maupun tauge memiliki beberapa anti nutrisi yaitu Phytat, Trypsin inhibitor activity, Haemagglutinin, Starchyose, Raffinose, Cyanide, Non-glucosic cyanide, dan Melandialdehyde. Menurut Marquardt et al. (1975), Haemagglutinin yang terkandum pada leguminosa dapat mengaglutinasi atau menggumpalkan sel darah. Limbah tauge memiliki karakteristik yang hampir sama dengan leguminosa yaitu mengandung haemagglutinin. Penggumpalan darah akibat adanya haemagglutinin, akan memacu denyut jantung untuk bekerja lebih cepat sehingga darah dapat diedarkan secara normal. Sehingga, domba yang mengonsumsi ransum dengan kandungan limbah tauge yang tinggi akan memiliki denyut jantung yang lebih cepat dibandingkan domba yang mengonsumsi ransum dengan kandungan limbah tauge dalam jumlah sedikit. Peningkatan denyut jantung pada penelitian ini dapat diakibatkan oleh perlakuan pakan yaitu penambahan limbah tauge.

(26)

25 domba yaitu sebesar 27,1oC, namun kelembaban udara sedikit berada di atas kisaran normal yaitu 80%. Hal ini dapat disebabkan curah hujan yang tinggi yang terjadi saat penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian, rataan denyut jantung domba berbobot badan besar dan berbobot badan kecil tidak berbeda nyata yaitu berkisar 113,77±10,11 hingga 110,51±9,72 kali/ekor/menit. Awabien (2007) menyatakan bahwa kecepatan denyut jantung normal cenderung lebih besar pada hewan yang kecil dan kemudian semakin melambat dengan semakin bertambah besar ukuran hewan. Pada penelitian ini, seluruhnya berumur dibawah satu tahun dan memiliki bobot badan yang tidak jauh berbeda sehingga dihasilkan denyut jantung yang tidak berbeda nyata.

Respirasi Domba

Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Laju respirasi merupakan ukuran yang menunjukkan konsentrasi O2 dan CO2 dalam cairan tubuh (Subronto, 1985). Hasil rataan respirasi domba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Respirasi Domba Selama Penelitian

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05); BBK : Bobot Badan Kecil; BBB : Bobot Badan Besar; BK = Bahan Kering ; P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge; P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge nyata berpengaruh (P<0,05) terhadap laju respirasi domba ekor gemuk. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa respirasi domba yang mengonsumsi ransum tanpa limbah tauge (35,77 g/ekor/hari) berbeda lebih rendah dibandingkan respirasi domba yang mengonsumsi ransum 75% limbah tauge (46,69 g/ekor/hari) namun tidak berbeda nyata dari respirasi domba yang mengonsumsi ransum 25% limbah tauge (41,06 g/ekor/hari) dan ransum 50% limbah tauge (41,83 g/ekor/hari). Berdasarkan hasil

Kelompok P1 P2 P3 P4 Rataan

--- g/ekor/hari ---

BBK 35,87±7,91 41,27±0,313 41,32±8,53 42,82±6,59 40,32±6,34

BBB 35,66±1,513 40,85±3,84 42,34±5,74 50,56±5,95 42,35±6,84

(27)

26 penelitian, rataan respirasi domba paling tinggi yaitu pada ransum 75% limbah tauge dan respirasi terendah yaitu pada ransum 100% konsentrat. Hafez dan Dyer (1969) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi dapat menyebabkan produksi panas, sehingga dalam hal ini domba yang mengkonsumsi pakan paling banyak akan bernafas lebih banyak.

Campbell et al. (2002) menyatakan bahwa oksigen sangat dibutuhkan untuk proses perombakan makanan. Setelah makanan mengalami pencernaan secara mekanik dan kimiawi dalam saluran pencernaan maka selanjunya makanan diserap oleh usus halus untuk diedarkan kesemua jaringan tubuh (sel-sel tubuh) oleh sistem peredaran darah. Selanjutnya makanan di dalam sel mengalami proses perombakan dengan bantuan oksigen. Pada proses perombakan makanan oleh oksigen tersebut selanjutnya dihasilkan energi dan zat sisa berupa karbondioksida dan uap air yang dibuang keluar tubuh lewat proses bernafas. Reaksi pembongkaran glukosa menjadi air, karbondioksida dan energi melalui tiga tahap yaitu glikolisis, daun krebs, dan transpor elektron respirasi. Selain itu, kandungan Haemaglutinin yang terdapat pada limbah tauge banyak dikonsumsi oleh domba dengan perlakuan P4 sehingga respirasi pada domba yang mengonsumsi ransum P4 akan memiliki akan lebih tinggi.

Domba bobot badan kecil dan besar memiliki respirasi yang tidak berbeda nyata yaitu berkisar 40,32±6,34 sampai 42,35±6.84 hembusan/menit. Sehingga dapat dinyatakan bahwa perbedaan bobot badan pada penelitian ini tidak mempengaruhi respirasi domba ekor gemuk. Rata-rata respirasi domba normal menurut Frandson (1992) yaitu berkisar antara 26-32 hembusan/menit. Sedangkan, rata-rata respirasi pada penelitian ini berada di atas normal yaitu 35-46 hembusan/menit. Hal ini dapat disebabkan karena denyut jantung yang tinggi meskipun masih berada dalam batas normal sehingga akan berdampak pula terhadap respirasi. Menurut Frandson (1992), kambing memiliki respirasi berkisar 26-54 hembusan/menit. Sehingga respirasi domba pada penelitian ini masih mirip dengan respirasi normal pada kambing.

Suhu Rektal Domba

(28)

27 Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge nyata berpengaruh (P<0,05) terhadap suhu rektal domba ekor gemuk. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa suhu rektal domba yang mengonsumsi ransum tanpa limbah tauge (38,96 oC) berbeda lebih rendah dibandingkan suhu rektal domba yang mengonsumsi ransum 25% (39,26 oC), 50% (39,26 oC) dan 75% (39,18 oC) limbah tauge.

Tabel 9. Rataan Suhu Rektal Domba Selama Penelitian

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05) ; BBK : Bobot Badan Kecil; BBB : Bobot Badan Besar; BK = Bahan Kering ; P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge, P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge, P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge, P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge

Hasil penelitian menunjukkan bahwa domba yang diberi ransum limbah tauge memiliki suhu rektal yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum tanpa limbah tauge. Hal ini dapat dihubungkan dengan peningkatan yang terjadi pada denyut jantung dan respirasi yang dapat berdampak pada suhu rektal. Terjadi peningkatan denyut jantung maupun respirasi pada domba seiring dengan bertambahnya kandungan limbah tauge dalam suatu ransum akibat kandungan glutamat maupun haemagglutinin yang dapat berdampak pada respon kardiovaskular serta penggumpalan sel darah.

Kisaran suhu rektal domba pada penelitian ini yaitu 38,96-39,26 oC dan masih berada pada kisaran normal. untuk domba tropis menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu antara 38,2-40 oC. Hal ini dapat diduga karena limbah tauge yang kandungan airnya dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan konsentrat dapat mengimbangi panas yang terjadi di dalam tubuh domba sehingga suhu rektal pada domba yang mengkonsumsi ransum dengan penambahan limbah tauge tidak berbeda jauh dengan suhu rektal domba dengan pakan yang diberi 100% konsentrat. Kandungan air didalam limbah tauge disini diduga dapat menurunkan suhu tubuh yang diakibatkan suhu lingkungan yang tinggi. Baillie (1988) mengemukakan bahwa suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lingkungan, konsumsi

Kelompok P1 P2 P3 P4 Rataan

--- g/ekor/hari --- BBK 38,92±0,07 39,29±0,10 39,24±0,036 39,12±0,12 39,15±0,17

BBB 39,00±0,21 39,22±0,13 39,24±0,03 39,23±0,03 39,17±0,15

(29)

28 pakan, minum dan aktivitas. Qisthon (1999) menambahkan bahwa air minum yang bersuhu rendah dapat menurunkan beban panas tubuh dibandingkan air bersuhu tinggi. Kisaran suhu rektal domba bobot badan kecil dan besar tidak berbeda nyata yaitu 39,145 ± 0,167 oC sampai 39,172±0,148 oC. Sehingga dapat dinyatakan bahwa perbedaan bobot badan pada penelitian ini tidak mempengaruhi suhu tubuh domba ekor gemuk.

Hubungan antara Palatabilitas dengan Respon Fisiologis

(30)

29

KESIMPULAN

Respon fisiologis pada domba yang diberi pakan penambahan limbah tauge nyata lebih tinggi dibandingkan respon fisiologis pada domba yang diberi pakan tanpa penambahan limbah tauge. Palatabilitas pakan dengan penambahan limbah tauge nyata lebih tinggi dibandingkan palatabilitas pakan tanpa penambahan limbah tauge. Pada penelitian ini tidak terdapat korelasi atau hubungan yang signifikan antara palatabilitas dengan respon fisiologis.

SARAN

(31)

37

HUBUNGAN KONDISI FISIOLOGIS DOMBA EKOR GEMUK

JANTAN DAN PALATABILITAS LIMBAH TAUGE SEBAGAI

RANSUM SELAMA PENGGEMUKAN

SKRIPSI

WULAN WIDI IFAFAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)

iii

HUBUNGAN KONDISI FISIOLOGIS DOMBA EKOR GEMUK

JANTAN DAN PALATABILITAS LIMBAH TAUGE SEBAGAI

RANSUM SELAMA PENGGEMUKAN

Wulan Widi Ifafah

D14070255

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

Pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(33)

iv Judul : Hubungan Kondisi Fisiologis Domba Ekor Gemuk Jantan dan Palatabilitas

Limbah Tauge sebagai Ransum Selama Penggemukan Nama : Wulan Widi Ifafah

NIM : D14070255

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Sri Rahayu, MSi) (Dr. Ir. Didid Diapari,MSi)

NIP: 19570611 198703 2 001 NIP: 19620617 199002 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc) NIP: 19591212 198603 1 004

(34)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Wulan Widi Ifafah dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 Agustus 1988 dari ayah Dr. Ir. Yaya Suryana M.Sc. dan ibu Dra. Kuriasari. Penulis merupakan anak sulung dari lima bersaudara yaitu Diana Rizki Ramadhani, Irfan Jafar, Intan Nur Annisa, dan Gina Hanafianti. Penulis menempuh pendidikan dasar di Chitwood Menchester, Inggris dan SD Negeri Sudimara 8 Tangerang, Sekolah Menengah Pertama di Adzuma Chugakkou, Jepang dan SLTP Negeri 1 Buahdua Sumedang, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 63 Jakarta dan Kuliah di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2007.

(35)

vi KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi saya dengan baik. Salawat serta salam saya panjatkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta para keluarga dan sahabatnya yang telah menerangi kegelapan hingga akhir zaman.

Dewasa ini, di dalam usaha peternakan khususnya penggemukan seringkali yang menjadi permasalahan adalah biaya pakan. Biaya pakan merupakan 70% dari keseluruhan biaya produksi. Pada penelitian ini, Penggunaan limbah tauge menjadi gagasan dalam upaya penekanan biaya pakan. Limbah tauge yang diperoleh dari hasil buangan tauge di pasar ternyata mempunyai kandungan zat makanannya yang baik sehingga berpotensi sebagai pakan. Disamping itu, penggunaan limbah tauge dapat mengurangi cemaran lingkungan. Sampai saat ini tercatat sekitar kurang lebih 1,5 ton per hari limbah tauge yang dihasilkan para pengrajin tauge di daerah bogor. Mengingat kontinuitas ketersediaan limbah tauge relatif stabil, maka dari itu dijadikan sebagai alternative pakan ternak khususnya domba. Mengingat jumlah limbah tauge yang dihasilkan setiap hari atau bersifat tidak musiman, maka limbah tauge akan cocok dijadikan sebagai alternatif pakan.

Domba ekor gemuk merupakan jenis domba yang berekor gemuk dan berbentuk sigmoid, berbulu kasar, tahan terhadap daerah kering, adaptif, dan memiliki pertumbuhan cepat. Domba ini banyak dipelihara masyarakat sebagai ternak dalam usaha penggemukan. Di dalam usaha penggemukan, selain kandungan nutrisi pakan, faktor palatabilitas dan respon fisiologis akibat pakan dan suhu lingkungan pun perlu diketahui untuk mencapai pertambahan bobot badan yang optimal. Penggunaan limbah tauge sebagai pakan alternatif diharapkan dapat meningkatkan palatabilitas dan menghasilkan respon fisiologis dalam batas normal.

Sekian kata pengantar yang dapat penulis sampaikan, mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan, kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan hanya milik manusia. Terimakasih.

Bogor, 21 November 2010

(36)
(37)
(38)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Zat Makanan Kacang Hijau Per 100 gram Bahan yang Dapat Dimakan ... 5 2. Kandungan Zat Gizi Kecambah Kacang Hijau (Tauge) dalam 100 gram

Bahan yang Dapat Dimakan ... 6 3. Data Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu Lingkungan Daerah

(39)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(40)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(41)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan ternak sumber protein hewani yang dapat dikembangkan sebagai produk unggulan di sektor peternakan. Beberapa aspek yang menjadi keunggulan dalam beternak domba yaitu mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dagingnya relatif digemari masyarakat. Selain itu, keunggulan ternak itu sendiri diantaranya prolifik, menjadi budaya untuk mengonsumsi daging domba pada hari raya dan berbagai produk domba dapat dimanfaatkan. Berbagai metode diterapkan untuk meningkatkan produktivitas ternak domba sebagai upaya memajukan peternakan domba.

Biaya pakan merupakan bagian terbesar dari keseluruhan biaya produksi di dalam usaha peternakan domba. Pakan yang selama ini digunakan adalah konsentrat yang harganya cukup mahal, oleh karena itu dibutuhkan alternatif lain yang dapat menurunkan biaya produksi. Penggunaan limbah pasar yang kebanyakan adalah hijauan yang sering kali dijadikan alternatif bagi peternak, namun belum ada yang dapat menyaingi pertambahan bobot badan domba yang diberi pakan konsentrat dan juga diperlukan proses lebih lanjut agar nutrisi pakan dapat mencukupi kebutuhan ternak. Adapun penggunaan ampas tahu yang berasal dari limbah pembuatan tahu harganya juga sudah mulai tinggi. Limbah pasar yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah tauge yang belum banyak tersentuh oleh kalangan peternak. Limbah tauge adalah bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi manusia, kulit tauge atau tudung atau angkup yang berwarna hijau dan biasanya bercampur dengan sedikit potongan-potongan ekor dan kepala tauge yang tidak utuh. Melihat adanya kandungan zat makanan yang sangat baik, maka limbah tauge perlu dicoba untuk dijadikan sebagai pakan tambahan domba untuk meningkatkan nilai gunanya.

(42)

2

Tujuan

(43)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Domba adalah ternak penghasil daging dan sering digembalakan di tepi jalan dan pematangan sawah serta di tepi saluran irigasi maupun di tanah lapang. Domba mempunyai sifat alami senang bergerombol dan tidak memilih pakan (Setiyono, 2000). Ternak domba secara umum termasuk dalam phylum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan yang menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berteracak atau berkuku genap), family Bovidae (hewan memamah biak), genus Ovis, spesies Ovis aries (Blakely dan Bade, 1992). Ternak domba merupakan salah satu ternak yang berkembang di Indonesia, terutama di pedesaan, karena domba memiliki peranan yang besar dalam menunjang ekonomi keluarga peternak. Karakteristik domba lokal yaitu bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya (Devendra dan McLeroy, 1992).

Domba Ekor Gemuk

Domba ekor gemuk umunya tidak bertanduk, tetapi ada beberapa domba jantan yang memiliki benjolan tanduk dan umumnya mempunyai telinga berukuran medium dengan posisi agak menggantung dengan warna bulu putih, dan wolnya kasar. Warna bulu yang putih ini juga dapat mengurangi stres akibat panas. Bentuk tubuh domba ekor gemuk lebih besar dari domba ekor tipis. Domba Ekor Gemuk banyak dipelihara di wilayah Indonesia Timur seperti Jawa Timur, Sulawesi, dan kepulauan Nusa Tenggara dan diduga berasal dari Asia Barat dan Afrika Timur melaui jalur perdagangan dan terjadi persilangan dengan domba lokal (Devendra dan McLeroy, 1992).

(44)

4 Domba ekor gemuk mempunyai keistimewaan, yaitu kemampuannya dalam beradaptasi terhadap lingkungan kering (Mulyaningsih, 1990) dan juga terhadap lingkungan panas (Mason, 1980 dan Hardjosubroto, 1994). Domba ekor gemuk merupakan tipe pedaging dengan bobot badan pada jantan dewasa 40-60 kg, dan betina dewasa 25-35 kg. Ukuran tinggi badan pada jantan dewasa berkisar antara 60-65 cm, dan betina dewasa antara 52-60 cm (Hardjosubroto, 1994). Sutama (1993) menyatakan bahwa pengembangan domba ekor gemuk meliputi daerah yang cukup luas dan umumnya mengarah ke wilayah Indonesia bagian timur dengan kondisi agroekosistem yang kering. Pertumbuhan domba ekor gemuk setelah sapih tergantung dari jumlah dan kualitas yang dikonsumsi. Kisaran berat badan dewasa domba ekor gemuk cukup besar yaitu 20-78 kg dengan rataan 30,5±6,9 kg untuk jantan dan 27,2 ± 4,7 kg untuk betina.

Limbah Tauge

Penanganan limbah pertanian sebagian besar belum mendapatkan perhatian yang cukup dalam penanganannya. Sebagian besar limbah yang dihasilkan dari alam meliputi proses pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Setelah hasil utamanya digunakan, limbahnya dibuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan dengan baik (Winarno, 1985). Menurut Judoamidjojo et al. (1989), selain memberikan nilai ekonomis dan mengurangi pencemaran lingkungan, pemanfaatan atau pendaurulangan limbah pertanian menjadi komoditas baru dapat memberikan keuntungan lain seperti penyerapan tenaga kerja dan menghasilkan produk baru yang berguna sehingga dapat meningkatkan keuntungan petani atau produsen. Limbah tauge berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik dan dapat merugikan masyarakat seperti pencemaran sungai dan juga pencemaran udara yang dapat menimbulkan penyakit.

(45)

5 sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge dapat diperoleh dari 10%-15% bagian tauge segar melalui proses pengayakan atau pencucian.

Kecambah kacang hijau termasuk dalam famili leguminoceae, sub family Papilionideae, genus phaseolus dan spesies Radiatus. Tauge berasal dari kacang hijau Vigna Radiata (L) Wilczek atau phaseolus aureus Roxb atau P. Radiatus L. yang dikecambahkan (Sutarman dan Soeprapto, 1982). Kacang hijau adalah tanaman daerah tropis dengan iklim panas namun dapat tumbuh di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Fernandez et al. (1997), tauge secara luas dikonsumsi terutama di Asia Tenggara dan Afrika Timur sebagai salah satu jenis sayuran yang sudah lama dikembangkan dan dimanfaatkan yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi. Kandungan zat makanan kacang hijau secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Kacang Hijau per 100 gram Bahan yang Dapat

(46)

6 mengalami perubahan yaitu kadar glukosa dan fruktosa meningkat 10 kali lipat dibandingkan saat sebelum mengalami perkecambahan. Namun kandungan sukrosa hanya meningkat 2 kali lipat sehingga kandungan galaktosa menghilang (Winarno, 1981). Kandungan zat makanan kecambah kacang hijau dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 2.

Protein dari sel-sel selama penyimpanan dirombak oleh sekumpulan enzim proteolitik yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas bersama dengan amida dari asam glutamat dan asparat. Hal ini ditunjukkan dari kenaikan konsentrasi asam amino lisin sebanyak 24%, treonin 19%, alanin 29%, dan fenilalanin 7% (Winarno, 1981).

Konsentrat

(47)

7 konsentrat adalah 580 gram/ekor/hari atau meningkat 57% dibandingkan dengan yang tidak diberi konsentrat yaitu 371 gram/ekor/hari sedangkan pertambahan bobot badannya meningkat 294% dari 18 gram/ekor/hari menjadi 71 gram/ekor/hari.

Konsumsi Pakan

Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh ternak bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad libitum. Konsumsi merupakan faktor esensial sebagai dasar untuk hidup pokok dan untuk produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hewan, faktor makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi produktivitas ternak (Arora, 1989). Konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan, dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lainnya, suhu dan kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi menyebabkan turunnya konsumsi pakan karena konsumsi air minum yang tinggi yang akan berakibat pada penurunan konsumsi energi (Siregar, 1984).

Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan (Church dan Pond, 1998). Konsumsi pakan secara umum akan meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri, pakan yang diberikan dan lingkungan. Faktor hewan yang dimaksud adalah permintaan fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup pokok dan produksi.

Palatabilitas

(48)

8 mengonsumsinya (Yusmadi et al., 2008). Palatabilitas dapat didefinisikan sebagai tingkat penerimaan pakan atau bahan pakan melalui rasa atau tingkat penerimaan untuk dimakan oleh ternak yang dapat ditentukan dengan penampilan, bau, rasa, tekstur, suhu, dan alat-alat panca indera lainnya terhadap pakan. Church dan Pond (1998) mendefinisikan palatabilitas sebagai respon yang diberikan ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan.

Palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa faktor yang berbeda yang dirasakan oleh ternak dan mewakili rangsangan dari penglihatan, aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor sifat fisik dan sifat kimia (nutrien) pakan dari ternak yang berbeda (Pond et al., 1995). Selain zat-zat nutrien yang harus terpenuhi dalam jumlah yang tepat, pemberian ransum atau pakan juga harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk dikonsumsi, disukai ternak, ekonomis, dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002). Ransum ternak di daerah yang temperate memiliki palatabilitas yang lebih baik. Bahan ransum di daerah temperate memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik dari bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis seperti Indonesia. Menurut Parakkasi (1999), bahwa semakin meningkatnya nutrien suatu ransum akan meningkatkan konsumsi dari ransum tersebut. Komposisi nutrien terdiri dari komposisi bahan-bahan kimia yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi palatabilitas tetapi hubungan antara palatabilitas dengan komposisi nutrien sangat lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam mengukur palatabilitas suatu pakan ternak (Kaitho et al., 1997). Terdapat empat macam bau yang dapat terdeteksi oleh penciuman ternak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno, 1992).

Lingkungan

(49)

9 berpengaruh terhadap domba yaitu akibat cekaman panas (Devendra dan Faylon, 1989).

Cekaman lingkungan yang panas pada domba dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Agar fungsi pertumbuhan dan reproduksi berjalan dengan lancar, maka dibutuhkan daerah lingkungan yang optimal yaitu Thermoneutral Zone (TNZ). TNZ ini merupakan daerah kisaran suhu yang paling nyaman bagi ternak. Daerah TNZ untuk domba pada daerah pemeliharaan berkisar antara 22-31oC. Ternak akan berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya dengan lingkungan dengan cara melakukan evaporasi ketika suhu lingkungan panas dan akan memproduksi panas ketika suhu lingkungan dingin (Yousef, 1985).

Respon Fisiologis Domba

Respon fisiologis adalah respon terhadap berbagai macam faktor, baik secara fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985). Rangkaian proses fisiologis akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien, 2007). Respon fisiologis dapat mengakibatkan perubahan suhu tubuh, laju respirasi dan laju denyut jantung.

Domba merupakan hewan mamalia yang berdarah panas dan dapat mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Domba termasuk hewan yang memiliki daya tahan kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Namun jika keadaan lingkungan tersebut melebihi batas kemampuan domba dalam mempertahankan kondisinya, maka akan timbul hal yang merugikan. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi dan denyut jantung.

Suhu Rektal

(50)

10 tubuh akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. (Purwantoet et al., 1994). Ensiminger et al. (1990) mengemukakan bahwa suhu lingkungan sangat rendah di bawah titik kritis minimum dapat mengakibatkan suhu rektal menurun tajam diikuti dengan pembekuan jaringan dan terkadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeotermis. Sebagai hewan berdarah panas, domba akan mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran normal yaitu 38,2- 40oC (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Edey (1983) mengemukakan bahwa pada suhu rektal harian diketahui rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari.

Laju Respirasi

Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Laju respirasi merupakan ukuran yang menunjukkan konsentrasi O2, CO2, dan H2O dalam cairan tubuh (Subronto, 1985). Fungsi-fungsi dari sistem respirasi tersebut membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraselular dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan fonasi (pembentukan suara) (Frandson, 1992). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan akan dibuang (Awabien, 2007).

Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernafasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernafasan (Yousef, 1985). Rata-rata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 26-32 kali tiap menit. Sedangkan kambing mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 26-54 kali tiap menit (Frandson, 1992). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak bereaksi pertama-tama dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25 oC (Yousef, 1985).

(51)

11 metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus di imbangi dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal.

Laju Denyut Jantung

Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah yang melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992).

Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruhan otot jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh syaraf, antara lain rangsangan kimiawi seperti hormon dan perubahan kadar O2 dan CO2 ataupun rangsangan panas (Isnaeni, 2006).

(52)

12

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Mitra Tani Farm (MT Farm), Desa Tegal Waru RT 04 RW 05, Ciampea, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2010.

Materi

Ternak

Ternak yang digunakan adalah domba ekor gemuk (DEG) jantan yang berumur dibawah satu tahun (Io) sebanyak 24 ekor. Kisaran bobot badan domba yaitu 9-14 kg dengan koefisien keragaman 11,24%. Domba ekor gemuk ini berasal dari Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Domba dikelompokkan menjadi kelompok bobot badan kecil (9-12,5 kg) dan bobot badan besar (12,6-14,6kg).

Pakan dan Minum

(53)

13 (a) (b)

Gambar 1. Kondisi Konsentrat dan Limbah Tauge sebelum dihomogenisasi. (a) = Konsentrat; (b) = Limbah tauge

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu dengan tipe kandang panggung dengan bahan dasar kayu dan bambu. Tempat makan diberi alas karpet yang berbahan karet sedangkan lantai bercelah ± 1-1,5 cm. Kandang dibersihkan setiap hari selama penelitian. Adapun Peralatan yang digunakan adalah timbangan pakan kapasitas 10 kg, timbangan domba digital berkapasitas 150kg, stopwatch, thermohygrometer, stetoskop, termometer, ember, karung, dan tong.

Prosedur

Persiapan Penelitian

(54)

14

Pelaksanaan Penelitian

Pemeliharaan dilakukan selama dua bulan. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot badannya kemudian diberi empat taraf perlakuan. Pakan diberikan setiap hari secara ad libitum begitu pula dengan minumnya. Kandang juga dibersihkan setiap hari. Pengukuran fisiologis dilakukan seminggu satu kali yang terdiri dari pengukuran denyut jantung dan respirasi menggunakan stetoskop, dan suhu rektal menggunakan termometer. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari yaitu pada pagi jam 07:00 WIB, siang jam 13:00 WIB dan sore jam 18:00 WIB. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap hari dengan cara mengurangi jumlah pemberian pakan dengan sisa pakan dari pakan yang diberikan kemarin.

Rancangan Percobaan

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah pemberian campuran konsentrat dengan limbah tauge dengan taraf yang berbeda-beda. Domba dikelompokkan berdasarkan bobot badan besar dan bobot badan kecil. Adapun beberapa taraf perlakuan pakan yang diberikan berdasarkan segar adalah sebagai berikut :

P1 : 100 % konsentrat : 0 % limbah tauge P2 : 75 % konsentrat : 25 % limbah tauge P3 : 50 % konsentrat : 50 % limbah tauge P4 : 25 % konsentrat : 75 % limbah tauge

Model

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Adapun model rancangan tersebut menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) yaitu :

Yijk = µ + Pi + Kj + εij

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pemberian pakan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum pengamatan pemberian pakan

Gambar

Gambar 1. Kondisi Konsentrat dan Limbah Tauge sebelum dihomogenisasi. (a) =
Tabel 3.  Data Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu Lingkungan Daerah Darmaga
Gambar 2.  Kondisi Ransum Campuran Konsentrat dan Limbah Tauge. (a) = P1
Tabel 7. Rataan Konsumsi Bahan Kering Konsentrat dan Limbah Tauge
+5

Referensi

Dokumen terkait

DEPARTMENT STUDENTS IN MUHAMMADIYAH UNIVERSITY OF SURAKARTA: A CASE STUDY IN SATURDAY ENGLISH.. GATHERING

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penerapan model Make A Match dengan media Audio Visual dapat meningkatkan keterampilan guru, aktivitas siswa dan hasil

[r]

Statistika: Metode yang berhubungan dengan penyajian dan penafsiran kejadian yang bersifat peluang dalam suatu penyelidikan terencana atau penelitian ilmiah.. Dalam

skills, I was performing the function of process designer and manager, which required relationship building, needs assessment, involvement of students in planning, linking students

Bagaimanapun juga unsur-unsur Fungsi Ruang, Bentuk dan Ekspresi akan menentukan bagaimana arsitektur dapat meninggikan nilai suatu karya, memperoleh tanggapan serta

Adapun kesimpulan dari permasalahan di atas adalah menjelaskan bahwa peningkatan kualitas citra photography adalah dengan cara filter gaussian sangat baik, nilai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum mendapatkan promosi kesehatan tentang status gizi balita 67,0% kader posyandu balita memiliki kategori pengetahuan sedang, hal