• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Pesan Tato Sebagai Bentuk Komunikasi Non Verbal Di Kalangan Pengguna Tato Di Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna Pesan Tato Sebagai Bentuk Komunikasi Non Verbal Di Kalangan Pengguna Tato Di Kota Bandung"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

VERBAL DI KALANGAN PENGGUNA TATO DI KOTA BANDUNG

(Studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif tentang makna pesan Tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung)

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk menempuh sidang sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Oleh:

ABDULLAH FIKRI NIM. 41805057

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

(2)

iii

Abdullah Fikri NIM. 41805057

Skripsi ini di bawah bimbingan, Melly Maulin P., S.Sos., M. Si.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna pesan tato sebagai bentuk komunikasi non verbal di kalangan pengguna tato di Kota Bandung. Untuk menjawab masalah diatas, maka peneliti menyusun identifikasi penelitian sebagai berikut: isyarat, bentuk struktural, pengaruh sosial, penafsiran, refleksi diri, kebersamaan (commonality), dan makna pesan tato dikalangan pengguna tato di Kota Bandung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Data dikumpulkan melalui wawancara, studi pustaka, observasi, studi dokumentasi, dan internet searching. Subjek penelitian ini adalah pengguna tato di Kota Bandung. Informan dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dan berjumlah tiga informan. Teknik analisis data dilakukan dengan reduksi data, kategorisasi, dan sintesisasi.

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan, bahwa makna pesan tato sebagai isyarat, yaitu tato diaplikasikan pada berbagai simbol-simbol isyarat seperti sebagai memorabilia, ekspresi diri, aktualisasi, pendewasaan dan bentuk-bentuk ritual, lambang, serta simbol. Makna pesan tato sebagai bentuk struktural, yaitu pemaknaan dari adanya struktur tato secara visualisasi yang dapat dilihat dari penggunaan gambar, posisi, warna dan letak tato tersebut. Makna pesan tato sebagai pengaruh sosial, yaitu tato dapat menunjukan sikap-sikap pemberontakan, politis, dan sikap kritis, serta status sosial. Makna pesan tato sebagai penafsiran, yaitu tato dapat menunjukan nilai-nilai penafsiran yang merujuk adanya pemahaman simbol yang telah ada atau mengaitkannya dalam kebudayaan yang bersangkutan. Makna pesan tato sebagai refleksi diri, yaitu tato dapat menunjukan sisi yang sangat personal seperti halnya makna gambar yang digunakan dan motivasi dalam membuat tato. Makna pesan tato sebagai kebersamaan (commonality), yaitu tato dapat menunjukan status kelompok, alat akses, loyalitas dan sikap-sikap tolerasi antar anggota kelompok..Makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung, yaitu pengguna tato di Bandung menunjukan adanya pemahaman apresiasi seni dan aktualisasi diri dan hal-hal yang bersifat personal dari pada nilai-nilai sakralitas dan religiusitas.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa makna pesan tato dikalangan pengguna tato di Kota Bandung sangat beragam. Hal ini terbukti dengan adanya makna pesan sebagai isyarat, bentuk struktural, pengaruh sosial, penafsiran, refleksi diri, dan kebersamaan (commonality).

(3)

iv

ABSTRACT

THE MEANING OF MESSAGE TATTOO AS A NON VERBAL COMMUNICATION

AMONG USERS TATTOO IN BANDUNG

By: Abdullah Fikri NIM. 41805057

This script under the guidance of Melly Maulin P., S.Sos., M. Si. ,

This study aims to determine how the meaning of the message the tattoo as a form of nonverbal communication among users of tattooing in the city of Bandung. To address the above problems, the researchers develop research identification as follows: cue, structural form, social influence, interpretation, self-reflection, togetherness (commonality), and the meaning of messages among users tattoo in Bandung.

This study used a qualitative approach with descriptive methods. Data were collected through interviews, literature study, observation, study documentation, and Internet

searching. The subject of this research is the user's tattoo in the city of Bandung.

Informants in the study are determined by using purposive sampling technique and number three informants. Technique of data analysis conducted with data reduction,

categorization, and synthesis.

The results of this research shows, that the meaning of the message the tattoo as a cue, that is a tattoo applied to various cues such symbols as a memorabilia, the expression of self-actualization, maturation and other forms of ritual, symbol, and symbols. The meaning of the message the tattoo as a form of structural, that is the meaning of the tattoo in a visualization structure which can be seen from the use of the image, position, color and location of the tattoo. The meaning of the message the tattoo as social influence, namely the tattoo can show the attitudes of rebellion, political, and critical attitude, and social status. The meaning of the message the tattoo as interpretation, that is a tattoo can show the values of the interpretation which refers to the understanding of symbols that already exist or associate in the culture concerned. The meaning of the message the tattoo as self-reflection, which can show the tattoo is very personal as well as the meaning and motivation of images used in making tattoos. The meaning of the message the tattoo as togetherness (commonality), the tattoo can show the status of the group, means of access, loyalty and tolerance attitudes among members of the group .. Meaning messages among users tattoo tattoo in Bandung, namely users of tattoos in Bandung showed an understanding appreciation arts and self-actualization and the things that are personal rather than sacred values and religiosity.

The conclusion from this study indicate that the meaning of messages among users tattoo tattoo in Bandung is very diverse. This is proven by the meaning of the message as a signal, structural form, social influence, interpretation, self-reflection, and sharing (commonality).

(4)

vi

karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna Pesan Tato Sebagai Bentuk Komunikasi Non Verbal di Kalangan Pengguna Tato di Kota Bandung”. Skripsi ini diajukan untuk menempuh ujian sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung.

Penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari keluarga tercinta. Terima kasih kepada ayahanda tercinta Bpk Yayat Subarjat, Terima kasih Almarhum Ibunda tercinta Diah Siti Nurfauziah, terima kasih atas segala doa dan dorongan yang tak terhingga untuk peneliti. Serta berbagai pihak lainnya yang banyak membantu peneliti, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(5)

vii

2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia selaku dosen wali yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam bidang akademik.

3. Yth. Ibu Melly Maulin, S.Sos., M.Si Selaku dosen dan pembimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini saya ucapkan banyak-banyak terima kasih ibu yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyususunan skripsi ini.

4. Yth. Ibu Desayu Eka Surya, S.Sos., M.Si yang telah banyak membantu penulis dalam banyak hal dan memberikan berbagai pembelajaran yang positif dan sangat menginspirasi penulis.

5. Yth. Bapak Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si selaku dosen yang sangat penulis kagumi dan sangat menginspirasi penulis untuk dapat pintar dalam berbagai hal. 6. Yth. Seluruh Staff dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer

Indonesia yang telah banyak memberikan berbagai pengetahuan bagi penulis. 7. Yth. Seluruh staff seketariat Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas

Komputer Indonesia, terima kasih untuk Ibu Ratna, Amd. dan Ibu Astri, Amd. Atas berbagai bantuan yang telah diberikan bagi penulis.

8. Terima kasih kepada keluargaku tersayang Ibunda tercinta Rina Yanti

(6)

viii

12.Terima kasih kepada Anak-anak IK- Humas angkatan 2006, 2007, 2008.

13.Terima kasih kepada sahabat - sahabatku Taufik rismawan, Ridwan arifin, Deri Sutia Wibawa, Dea Ahmad Barata, Galih Saepul Bathni, Yoga Perdana, Panji Margono, Nur Akhsan, Vito Karya Hermawan Sugars, Eka, Putut Puja Giri, Mulky Munawar, Alant, dan yang lain nya

14.Terima Kasih kepada Raharjo (bejo) terima kasih atas semua bantuan nya

15. Serta semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga kebaikannya dapat di balas oleh Allah SWT.

Akhir kata Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Semoga Allah SWT membalas budi baik kepada kita semua serta melimpahkan segala karunia- Nya. Amin.

Bandung, Februari 2011

(7)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tato atau dalam kebudayaan Indonesia dikenal sebagai salah satu bentuk praktek me tubuh memberikan fenomena tersendiri dalam masyarakat, terkait pemakaiannya dan persepsi setuju atau ketidaksetujuan mengenai tato. Perbedaan persepsi individu dalam menilai tato memberikan ilustrasi yang tidak hanya secara equal menjadikannya sebagai bentuk pilihan antara memakai atau tidak, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai lain diluar dua pilihan hitam-putih. Lebih dari sekedar bentuk persetujuan, peneliti melihat tato bukan hanya sebagai wacana dalam bentuk ilustrasi gambar saja. Perkembangan pemaknaan tato yang individualistik tentunya memberikan warna tersendiri untuk dapat dilihat dari berbagai aspek.

Pengertian tato seperti yang dikutip dari blog bernama “bocahpolah.blogspot.com” pada bagian yang mengulas mengenai hukum tato, bahwa:

(8)

bahasa Indonesia, istilah tato merupakan adaptasi, dalam bahasa Indonesia, tato disebut dengan istilah rajah.” 1

Tato pada dasarnya diaplikasikan pada bagian-bagian tubuh yang sesuai dengan kehendak penggunanya. Tangan, kaki, pergelangan tangan, jari, kuku, daun telinga, kulit kepala, wajah, leher, pinggul, betis dan bagian tubuh lainnya. Bahkan bagian-bagian tubuh yang terdengar tidak lazim juga menjadi media aplikasi gambar tato, seperti bola mata (melalui jalan operasi), gigi, lidah, dan bagian-bagian intim. Untuk kelompok, komunitas, atau sekte dalam kaitannya sebagai suatu keanggotaan, terkadang tato di buat pada bagian tubuh yang sama pada setiap anggotanya menurut kesepakan atau ketentuan yang telah ada. Hal ini sebagai suatu penunjuk keanggotaan, solidaritas, syarat, atau sebagai identitas dari kelompok bersangkutan.

Selain bagian tubuh, pemilihan gambar tato memiliki bagian penting dalam penelitian ini, karena mentato dengan sendirinya menempatkan gambar tertentu pada bagian tubuh. Mengenai gambar yang digunakan, itu akan menyangkut pada masalah kecenderungan individual untuk menentukan pilihannya. Di luar dari gambar tato kelompok atau komunitas tertentu yang sebagian bersifat seragam karena diperuntukan sebagai identitas bersama atau memiliki arti yang dipahami bersama, maka gambar tato individual akan memiliki banyak ragam. Tidak ada batasan tertentu dalam mengaplikasikan gambar tato, tidak ada ketentuan baku

1

(9)

mengenai penggunaan gambar tertentu untuk dijadikan tato. Sepenuhnya gambar tato individual akan sangat ditentukan oleh pilihan pengguna tato itu sendiri.

Penggunaan gambar tato sangat beragam seperti halnya icon-icon tertentu yang memiliki nilai pribadi pada diri pengguna tato; seperti wajah idola, nama orang yang dikasihi, simbol zodiak, shio, hewan favorit, dan lain sebagainya biasa menjadi pilihan. Gambar-gambar unik, atau memiliki nilai historical, simbol-simbol tertentu, sampai dengan gambar yang cenderung abstrak karena memiliki alur cerita yang hanya di mengerti oleh pemilik tato juga dapat diaplikasikan sesuai kehendak pengguna tato. Kebebasan pengguna tato menentukan gambar dan posisi tatonya tersebut, tentu memberikan banyak sekali keberagaman pada arti tato masing-masing individu. Pengertiannya bahwa dengan adanya perbedaan tersebut berarti setiap individu memiliki pemahaman sendiri mengenai letak dan gambar tato yang digunakannya.

(10)

terkadang juga si pemilik tato bahkan tidak mengetahui apa pesan yang ingin di sampaikan dalam gambar tatonya.

Kegiatan komunikasi yang dipraktekan pengguna tato melalui serangkaian objek tato dan elemen pendukungnya, seharusnya menjadi salah satu bagian yang dapat di integrasikan oleh pemiliknya. Sejalan dari penjelasan di atas, dapat dilihat kutipan dari Onong Uhjana Effendy yang menjelaskan mengenai pengertian komunikasi yang paling mendasar berdasarkan paradigma Lasswell, bahwa “Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.” (Effendy, 2000: 10)

Pengertian pesan sendiri dapat dilihat dari kutipan selanjutnya dari Onong Uhjana Effendy yang menunjukan pemahamannya dalam paradigm Lasswell, bahwa “Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.” (Effendy, 2000: 18)

(11)

mengartikan berbagai lambang gambar tersebut menjadi suatu makna yang tervisualisasikan dengan jelas.

Pesan merupakan konsep penting yang dipergunakan dalam banyak ulasan teoritis, praktis dan empiris tentang komunikasi manusia. Sistem yang menjadikan pesan sebagai pandangan yang paling popular tentang komunikasi manusia meliputi adanya variasi yang amat besar dalam maknanya. Dari adanya pesan dalam setiap gambar tato penggunanya, berarti juga merujuk pada alasan mengapa pesan tersebut disampaikan melalui gambar tertentu.

Makna gambar tato dapat di asumsikan oleh orang lain di luar pengguna tato, atau memang diklarifikasi secara jelas melalui pemilik tato untuk dapat mengetahui makna pesan yang ada di balik tatonya tersebut. Pengertian makna itu sendiri sepertinya akan menghadapi perpecahan pemahaman, karena konsep makna pada dasarnya abstrak dan melibatkan sisi-sisi individualitas pemahaman mengenai adanya kesepakatan bersama. Jika dilihat dari pemahman yang diberikan oleh Brodbeck mengenai pengertian konsep makna terbagi dalam tiga fase perbedaan, seperti yang dikutip oleh Fisher sebagai berikut:

(12)

Penjelasan mengenai makna ini sebenarnya akan bersifat subjektif, mengingat pemahman makna akan mengacu pada adanya abstraksi pemahman dari para penggunanya. Kutipan di atas memperlihatkan bahwa makna akan mengacu pada ide-ide dan berbagi konsep pemahman individu mengnai lambnag-lambang yang dimanifestasikan ke dalam pemahman yang bersifat subjektif dan individual. Hal ini di dapat karena pemahman dari makna itu sendiri ada dari konsepsi individu dalam melihat pengartian ‘lambang’ yang dipakai.

Hal ini juga yang memperlihatkan penelitian mengenai makna tato ini menarik perhatian peneliti, karena posisi makna pesan itu sendiri akan membutuhkan suatu penyesuaian dari berbagai sudut pendang invidu dalam melihat kan menkalkulasikan dari berbagai pemahman pribadinya tersebut untuk melihatnya dalam satu pemahman bersama. Penting untuk dapat melihat gambar tato sebagai bagian yang mengacu pada adanya pemaknaan pada pesan non verbalnya, dengan sedikit memberikan penafsiran-penafsiran, maka pemaknaan itu juga akan menghasilkan sedikit pemahaman. Dengan kata lain, peneliti menaruh harapan pada penelitian untuk dapat menyatukan makna pesan tersebut ke dalam persepsi yang dapat dimengerti bersama.

(13)

mendeskripsikan tentang nilai-nilai kebudayaan, historis, sosiologi, komunikasi, seni, design, nilai gender, gaya hidup, politik, seksualitas, relijiusitas dan bahkan secara matematis pun penilaian tato dapat diterapkan. Setidaknya itu merupakan sebagian lain aspek yang dapat peneliti tangkap dalam melihat wacana tato yang berkembang melalui caranya sendiri dengan memperlihatkan adanya kompleksitas akulkturasi wacana lainnya.

Tato pada sejarahnya merupakan bagian kebudayaan kuno yang dapat ditemukan pada beberapa suku di dunia. Dalam tradisi suku Dayak di pedalaman Kalimantan (Indonesia), tato menjadi satu bentuk ritual dalam kaitannya dengan penghormatan pada leluhurnya. Tato juga menjadi suatu tradisi yang turun temurun dan dijadikan sebagai alat untuk dapat menunjukan posisi seseorang dalam suku Dayak, serta menunjukan secara historis mengenai kejadian yang pernah di alami si pemilik tato. Bentuk-bentuk kepercayaan melalui media gambar tato pada titik ini menjadikan tato sebagai nilai yang memiliki unsur budaya yang kuat. Sejarah pun dilibatkan, karena tato dapat menunjukan hal-hal yang pernah terjadi dalam momen-momen tertentu.

(14)

dalam tato memiliki hubungan kuat dengan adanya sisi artistik dari gambar tato, dengan kata lain tato ini pun menjadi satu komoditas lain untuk dapat mengapresiasi seni. Bahkan hal ini justru dijadikan “alasan” umum untuk kaum urban dalam mengklaim penggunaan tato.

Eksplorasi pop art menjadi salah satu cara untuk menempatkan tato sebagai bentuk-bentuk di luar pemahaman kuno, kecenderungan memberikan wacana baru sebagai bentuk gaya hidup. Pemilihan kata gaya hidup pun akan semakin menjelaskan tato sebagai salah satu cara lain dalam mengungkapkan kebutuhan seseorang. Kebutuhan-kebutuhan yang dituju oleh para pengguna tato ini juga menarik perhatian peneliti untuk dapat meneliti maksud dari adanya penggunaan tato di era ini.

(15)

Kemudian munculnya sikap feminisme dalam perlawannya menempatkan emansipasi melalui gambar tato.

Beberapa contoh aspek yang di jangkau pada gambar tato di atas seharusnya dapat membuka pemahaman-pemahaman masyarakat mengenai posisi krusial tato dalam masyarakat. Jika melihat hubungan tato dengan objek gambar tato, bahkan aspek lainnya juga memiliki kecenderungan tersendiri. Keberagaman objek yang tidak terbatas dapat diterapkan pada gambar tato. Panji-panji perlawanan minoritas dapat menjadi sarana pribadi dalam menunjukan kepentingan potitis. Gambar-gambar seperti penggunaan simbol-simbol kekuasaan, penindasan, kekuatan, rebellion, dan aroma-aroma bermuatan politik pun dapat dijadikan sebagai komoditi objek tato. Sebagai contohnya penggunaan simbol swastika pada Nazi, gambar Che Guevara, atau lainnya.

(16)

Kemajuan teknologi, pertukaran informasi, akulturasi budaya, dan menjamurnya studio tato seharusnya menjadi suatu alasan tato untuk dapat dilihat sebagai hasil dari perkembangan zaman. Tato yang tidak hanya dipandang sebagai kajian usang mengenai kebudayaan primitif sekarang ini sepertinya tidak cukup kuat untuk dapat menghalalkan tato sebagai perilaku yang dianggap umum dan biasa. Terlebih orang-orang dulu termasuk orang tua peneliti, melihat tato sebagai bentuk “aib” karena adanya sikap-sikap perlawanan atau pun pembangkangan pada perilaku norma-norma yang seharusnya.

Sikap relijiusitas masyarakat Indonesia yang menghubungkan agama sebagai alasan kuat untuk tidak mentato diri, menjadi suatu batasan ketat dan utama. Hal ini terlebih pernah dirasakan peneliti yang juga sempat menanyakan keinginan untuk dapat mentato pada orang tua. Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, mungkin dapat menjadi alasan kuat mengapa sikap-sikap religi menjadi alasan kuat masyarakat untuk sedikitnya mengharamkan tato. Islam sendiri melihat tato sebagai suatu perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Haram, Itu hukumnya. Tidak heran jika masyarakat Indonesia yang masih melihat tato dari kacamata agama, menghubungkannya sebagai bentuk perbuatan dosa untuk pemiliknya.

(17)

karena peneliti sendiri melihat banyak sekali preman menggunakan tato, pencuri bertato, gangster bertato, berandalan bertato, bahkan hal ini kadang dibenarkan pada saat melihat tayangan program kriminalitas di televisi yang sering memperlihatkan polisi menunjukan tato pelaku. Tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Bentuk stereotype mungkin menjadikan alasan kriminalitas dihubungkan dengan tato.

Sepertinya terlalu sempit jika melihat tato dari satu sisi kriminalitas dengan mengeneralisasi tato dekat dengan kejahatan, padahal orang jahat juga banyak yang tidak bertato. Itu keadaan masyarakat kita yang sering memandang tato sebagai bentuk kemunduran budaya, jika memang dikaitkan pada posisinya sebagai bentuk gaya hidup modern. Lain halnya dengan melihat suku-suku yang menggunakan tato sebagai suatu keharusan dan penghormatan. Tato sekarang ini juga banyak di alihkan pada perannya sebagai karya. Karya seni, katanya. Karya yang memiliki nilai seni sehingga alasan mencintai seni memang sering terdengar sebagai alasan kuat untuk meng-halal-kan tato.

(18)

dan bahkan kangker kulit. Perilaku seperti ini terjadi karena kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya memahami tato sebelum dan setelah menggunakannya.

Pemahaman dan kesadaran akan resiko tato patut untuk menjadi perhatian terutama yang akan menggunakan tato, baik untuk yang pertama kali atau yang menambah koleksi tatonya. Di luar dari hal tersebut, peneliti tidak memiliki kewenangnan untuk dapat menjustifikasi salah atau benarnya pengguna tato karena bukan itu inti dari penelitian ini. Peneliti hanya memperlihatkan wacana tato sebagai suatu bentuk subkultur yang sering dijumpai oleh peneliti dan masyarakat lainnya. Kepentingan penelitian ini menunjukan bahwa makna pesan yang ada di balik gambar tato jauh lebih menarik jika dapat ditelusuri lebih dalam lagi. Makna-makna yang ada dalam tato mengesensikan adanya komunikasi dalam penyampaian pesan melalui gambar. Makna pesan inilah yang kemudian akan ditindaklanjuti dalam penelitian untuk dapat melihat bagaimana orang-orang menempatkan tato pada ilustrasi pemikirannya masing-masing.

(19)

untuk di mengerti. Baik buruknya pengguna tato, sebenarnya bukan tolok ukur apa pun.

Pemahaman mengenai tato akan membantu masyarakat dan para pengguna tato untuk lebih memahami tato. Di tato atau tidak, itu pilihan. Harus digarisbawahi bahwa tato menjadi bagian yang akan terus melekat. Seumur hidup. Jika tidak dengan sengaja diharpus melalui jalan operasi atau tindakan medis lainnya tato akan secara permanen melekat selamanya. Untuk itu tato akan menceritakan mengenai apa, mengapa, dan bagaimana makna gambar tato tersebut melekat.

Dari berbagai uraian penjelasan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan rumusan masalah, sebagai berikut: “Bagaimana makna pesan tato sebagai bentuk komunikasi non verbal di kalangan pengguna tato di Kota Bandung?”

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana makna pesan tato sebagai isyarat dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

2. Bagaimana makna pesan tato sebagai bentuk struktural dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

(20)

4. Bagaimana makna pesan tato sebagai penafsiran dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

5. Bagaimana makna pesan tato sebagai refleksi diri dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

6. Bagaimana makna pesan tato sebagai kebersamaan (commonality) dikalangan pengguna tato di Kota Bandung?

7. Bagaimana makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk dapat mendeskripsikan tentang makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai isyarat di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

2. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai bentuk struktural dikalangan pengguna tato di Kota Bandung.

(21)

4. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai penafsiran di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

5. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai refleksi diri di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

6. Untuk mengetahui makna pesan tato sebagai kebersamaan

(commonality) di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

7. Untuk mengetahui makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Secara teoritis peneliti berharap agar penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan ilmiah bagi Ilmu Komunikasi dalam memahami makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

(22)

2. Kegunaan penelitian ini bagi para pengguna tato, yaitu diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih mengenai asal usul kebudayaan tato dan juga diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman mengenai alasan dan motivasi penggunaan tato serta makna yang ingin disampaikan di balik seni tato tersebut.

3. Kegunaan penelitian ini bagi mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi dan mahasiswa Universitas Komputer Bandung (UNIKOM) khususnya, yaitu diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan pengembangan ilmiah sejenisnya, sehingga penelitian ini dapat memberikan suatu pengetahuan tambahan mengenai makna tato dalam masyarakat.

(23)

1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Kerangka Teoritis

Konsep pesan dalam tinjauan komunikasi dapat dipahami dalam enam variasi konsep yang tidak banyak saling bertentangan satu sama lain, karena masing-masing variasi merefleksikan penekanan atau perhatian berbeda. Enam variasi konsep pesan mengenai komunikasi manusia ini akan menyentuh seluruh kepentingan stimuli inti dalam komunikasi yang dilakukan. Makna pesan tersebut di jelaskan oleh Aubrey Fisher dalam buku “Perspectives on Human Communication” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Teori-Teori Komunikasi”, yaitu:

1. Pesan sebagai isyarat

2. Pesan sebagai bentuk struktural 3. Pesan sebagai pengaruh sosial 4. Pesan sebagai penafsiran 5. Pesan sebagai refleksi diri

6. Pesan sebagai kebersamaan (commonality) (Fisher, 1986: 364).

1. Pesan sebagai isyarat

(24)

rangkaian getaran udara (gelombang suara) dan sinar-sinar cahaya yang dipantulkan (secara visual). Alat pengalihan sandi pada sumber/penerima mentransformasikan fenomena energi fisik itu kembali ke dalam kata petunjuk paragulistik, isyarat, dan pikiran. Tetapi, dalam bentuk energi fisik antara sumber/penerima, maka pesan itu bukanlah merupakan pikiran, bukan juga berupa kata-kata. Akan tetapi ia merupakan seperangkat isyarat (signals) fisik.

Colin Cherry (1964: 171) menjelaskan mengenai perbedaan antara konsep pesan dan isyarat atas dasar di mana adanya pada saluran itu dan, sebagai akibatnya, pada bentuk di mana isyarat pesan itu tampak. Sebagaimana dikatakan Cherry yang dikutip oleh Aubrey Fisher, bahwa “Suatu pesan mungkin, umpamanya merupakan pikiran,… namun pikiran itu disampaikan tidak secara fisik.” (Fisher, 1986: 365)

Bilamana bentuk fisik dari pesan itu (yakni, isyarat tersebut) disandi, ia berubah menjadi pikiran kembali dan itu menjadi pesan. Cherry menjelaskan lebih lanjut yang dikutip oleh Fisher, bahwa:

“Pesan dalam bentuk fisik yang sebenarnya disampaikan melalui ruang (misalnya, gelombang udara, impuls elektris pada kawat telepon, isyarat radio atau televisi dalam atmosfir) lebih cocok untuk dinamakan suatu signal. Karena signal itu disandi atau dialih sandi, maka bentuknya menjadi pesan.” (Fisher, 1986: 365)

(25)

dalam saluran di luar sumber/penerima dalam bentuk energi fisik dan lebih cocok untuk dipandang sebagai isyarat (signal). Pikiran sandi ke dalam isyarat, isyarat dialih sandi ke dalam pikiran. Atau, dinyatakan dengan cara lain, pesan sandi ke dalam pesan isyarat; isyarat dialih sandi ke dalam pesan.

2. Pesan sebagai bentuk struktural

Miller (1972: 76) mempergunakan bentuk struktural suatu pesan untuk membedakan komposisinya ke dalam tiga buah faktor yang prinsipal. Seperti penjelasannya yang dikutip oleh Fisher mengenai ketiga faktor tersebut, yaitu:

“Stimulasi verbal (yang mencakup kata-kata atau lambang-lambang), stimulasi fisik (yang mencakup isyarat atau gerakan, ekspresi muka, dan sebagainya, dalam suatu interaksi tatap muka), dan stimuli vocal (yang mencakup petunjuk paralinguistic berupa kecepatan berbicara, kerasnya suara, inflesi, penekanan, aksen berbicara, dan sejenisnya, dalam interaksi tatap muka).” (Fisher, 1986: 366)

(26)

3. Pesan sebagai pengaruh sosial

Pandangan Steve King (1975: 32), seorang ahli komunikasi, tidak terlalu keras seperti pendapat Schachter. Namun demikian, King memang mengganggap pesan sebagai suatu bentuk yang disandi, yang memiliki secara yang tersirat di dalamnya pengaruh sosial. Fisher mengutip penjelasan King yang menyatakan, bahwa “Pesan itu, secara sederhana adalah perilaku pemberi pengaruh yang berhubungan dengan kebutuhan.” (Fisher, 1986: 368)

Dalam pendapat King, komunikasi, sebenarnya secara mutlak dan inheren, mempunyai pengaruh sosial, tidak mesti harus bersifat manipulatif atau disengaja, namun begitu bersifat berpengaruh.

Berbeda halnya dengan Berlo (1960: 11) penjelasannya dikutip oleh Fisher, bahwa “Tujuan pokok kita dalam komunikasi adalah untuk menjadi pelaku yang mampu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik kita, dan kita sendiri… kita berkomunikasi untuk mempengaruhi, ― menimbulkan efek dengan maksud tertent.” (Fisher, 1986: 369)

(27)

4. Pesan sebagai penafsiran

Aubrey Fisher menjelaskan mengenai sudut pandang penafsiran dalam pesan, bahwa:

“Komunikasi manusia sebagai pandangan tentang pesan sebagai penafsiran lambang atau stimuli. Penyandian dan pengalihan sandi secara esensial menjadi menjadi proses yang sama berupa penafsiran atau persepsi makna dalam stimuli yang terpilih. Sejalan dengan itu, pesan, apakah disandi ataupun dialihsandi, merupakan masalah penafsiran individual.” (Fisher, 1986: 369) Borden (1971: 74) mengaitkan pesan secara eksplisit dengan perilaku simbolis – perilaku yang hanya dapat bersifat simbolis jika penafsiran pada perilaku itu terjadi dalam pikiran sumber atau penerima. Penjelasannya dapat dilihat dari kutipan Fisher berikut ini, bahwa “Isomorfisme itu merupakan kesamaan penafsiran pada perilaku yang sama dalam pikiran sumber atau dalam pikiran penerima.” (Fisher, 1986:370)

Clevenger dan Mathews (1971: 94) pun sama-sama jelas dalam hal ini. Seperti halnya yang dikutip oleh Fisher, bahwa “Pesan merupakan peristiwa simbolis yang menyatakan suatu penafsiran tentang kejadian fisik, baik oleh sumber ataupun penerima.” (Fisher, 1986: 370).

(28)

5. Pesan sebagai refleksi diri

Dalam melihat aksioma yang sebenarnya, bahwa pesan mencerminkan keadaan internal individu; yakni perilaku, dalam bentuk tertentu, suatu manifestasi yang mencuat keluat dari konsep kotak hitam tentang sikap, keyakinan, persepsi, nilai, citra, emosi, dan sebagainya. Pada kenyataannya Berlo yang pernyataannya dikutip oleh Fisher secara jelas menyatakan, bahwa “Pesan merupakan peristiwa perilaku yang berhubungan dengan keadaan internal orang.” (Fisher, 1986: 372).

6. Pesan sebagai kebersaman (commonality)

Banyak diantara para peserta Konferensi Pengembangan Penelitian dan Pengajaran Komunikasi di New Orleans mengungkapkan keyakinan pada konseptualisasi pesan yang secara langsung relevan dengan implikasi “kebersamaan” (commonality) yang terkandung dalam komunikasi manusia. Fokus penelitian pada “hubungan antara orang-orang dalam tindakan komunikatif”, yakni, “pada cara tindakan komunikasi itu mengikat dua orang atau lebih bersama-sama” pesan yang dikomunikasikan sebagai suatu “sistem pemasangan” (coupeling system) yang menghubungkan sumber dan penerimanya”

(29)

tersebut. Untuk dapat menuntun penelitian ini, maka peneliti menerapkan suatu model komunikasi yang dirasa tepat untuk dapat dijadikan sebagai ”pegangan” peneliti dalam menyusun penelitian ini. Maka peneliti menggunakan model komunikasi manusia yang dijelaskan oleh Aubrey Fisher, sebagai berikut:

Gambar 1.1

Model Komunikasi Manusia

(Sumber: Fisher, 1986: 154)

Pesan/Umpan balik

Gangguan

Pesan/Umpan balik

Pengalih Sandi Sumber-Penerima

Penyandi Penyandi

Sumber-Penerima Pengalih Sandi

(30)

1.5.2 Kerangka Konseptual

Dengan di dapatkannya sebuah model komunikasi yang peneliti anggap tepat untuk dapat menfasilitasi penelitian ini, maka selanjutnya peneliti menerapkan model komunikasi tersebut ke dalam model konseptual yang mengaplikasikan kepentingan penelitian dalam model komunikasi manusia untuk dapat mengetahui makna pesan dikalangan pengguna tato.

Dalam konseptual model komunikasi yang digunakan oleh peneliti, dapat dijelaskan bahwa peneliti menuangkannya dalam bentuk konseptualisasi model yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Bagian yang menjadi perhatian peneliti dalam konseptual model mekanistis ini, bahwa peneliti menempatkan diri dalam posisinya sebagai individu yang mencoba mencari makna dari gambar tato informan. Untuk dapat melihat konseptualisasi dari model mekanistis yang digunakan, maka peneliti menjelaskannya dalam enam bagian pokok di bawah ini:

(31)

penggunaan warna, design, posisi gambar, letak penggunaan gambar dan berbagai isyarat fisik dalam gambar tato tersebut mengindikasikan adanya pesan yang disampaikan.

2. Makna pesan sebagai bentuk struktural pada dasarnya akan mengacu pada bagian yang meliputi stimuli verbal, stimuli fisik, dan stimuli vokal. Penggunaan gambar tato pada penelitian ini tidak menunjukan adanya bagian stimuli verbal dan stimuli vokal, karena sebagaimana diketahui dengan jelas bahwa tato tidak memiliki sifat verbalitas. Bagian yang sangat memungkinkan adalah melihatnya sebagai stimuli fisik, berupa pemahaman mengenai cara lain memahami sikap-sikap non verbal.

3. Makna pesan sebagai pengaruh sosial akan memberikan ketertarikan tersendiri mengingat pesan ada karena tujuan sebagai alat untuk mempengaruhi. Konseptualisasi dari pemahaman di atas merujuk pada keinginan peneliti untuk dapat melihat tato saling mempengaruhi lingkungan dan sosial penggunanya maupun orang lain. Dari bagian ini dapat dilihat bagaimana tato mempengaruhi seseorang dalam menggunakan tatonya, juga menunjukan sikapnya dalam sosialitas.

(32)

ingin di capai melalui tato dan berbagai hal tentang kepentingan tato diperlukan dalam bagian ini untuk dapat melihat hal-hal yang mendukung dalam mengartikan tato.

5. Makna pesan sebagai refleksi diri dalam konseptualisasi ini, berarti memberikan konsepsi bagi peneliti untuk dapat melihat kepentingan pribadi dari pengguna tato dalam memahami tato yang digunakannya. Ada hal-hal yang terkait dengan sikap dan pilihan individual dalam melihat makna tatonya tersendiri. Hal ini juga mencerminkan posisi pengguna tato dengan keterkaitannya mengenai alasan penggunaan tato, sikap diri terhadap tatonya, pandangan dalam menilai makna tatonya, dan hal-hal yang merefleksikan sikap penggunanya.

(33)

1.6 Pertanyaan Penelitian

1. Makna pesan tato sebagai isyarat di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) apakah setiap gambar tato mengisyaratkan sesuatu? 2) Bagaimana isyarat tersebut digunakan?

3) Apakah ada kesepakatan bersama mengenai isyarat yang digunakan? 4) Apakah tato menunjukan hal-hal yang tidak diketahui khalayak?

2. Makna pesan tato sebagai bentuk struktural di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) Bagaimanakah pesan non verbal dituangkan dalam gambar tato? 2) Apakah tato yang digunakan memang memiliki makna tersendiri? 3) Apakah tato yang dimiliki melambangkan sesuatu?

4) Apakah setiap gambar tato harus memiliki makna tersendiri?

3. Makna pesan tato sebagai pengaruh sosial di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

(34)

4. Makna pesan tato sebagai penafsiran di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) Bagaimana gambar tato dibentuk agar memiliki pengertian tersendiri? 2) Apakah pengguna tato harus memahami makna dari gambar tatonya? 3) Apakah gambar tato tersebut dapat dimengerti oleh orang lain? 4) Bagaimana proses terbentuknya pemahaman dalam membuat tato?

5. Makna pesan tato sebagai refleksi diri di kalangan pengguna tato di Kota Bandung:

1) Apakah tato merupakan simbol dari aktualisasi diri?

2) Apakah tato ditujukan untuk menunjukan hal-hal yang bersifat individual? 3) Apakah tato menunjukan sejarah hidup seseorang?

4) Apakah tato menunjukan sikap seseorang? 5) Apakah tato dapat menilai perilaku seseorang?

6) Bagaimana tato digunakan dalam menunjukan sikap diri terhadap sesuatu? 6. Makna pesan tato sebagai kebersamaan (commonality) di kalangan

pengguna tato di Kota Bandung:

(35)

7. Makna pesan tato di kalangan pengguna tato di Kota Bandung: 1) Apakah tujuan utama penggunaan tato?

2) Apakah yang melatarbelakangi seseorang menggunakan tato?

3) Apakah pengguna tato merasa memiliki pesan tersendiri dalam tatonya? 4) Mengapa tato dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan?

1.7 Subjek dan Informan 1.7.1 Subjek

Subjek ini berasal subjek penelitian yang merupakan bagian penting dalam penelitian, karena dengan adanya subjek ini berarti peneliti dapat melakukan penelitian dengan memfokuskan pada kumpulan subjek tersebut. subjek menjadi sebuah identitas tempat atau pun kelompok yang menjadi objek penelitian dan berusaha untuk menjelaskan bagian-bagian yang terkandung di dalamnya ke dalam bentuk laporan penelitian.

(36)

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bailey (1994: 83) yang dikutip oleh Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah mengatakan bahwa, “Subjek adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti.” (Prasetyo dan Jannah, 2005: 119).

Dengan di tentukannya subjek penelitian, maka peneliti dapat dengan jelas menentukan tempat dan pihak-pihak terkait untuk dapat diteliti. Ketentuan subjek penelitian ini memberikan kejelasan mengenai siapa yang menjadi perhatian penelitian. Peneliti menentukan subjek penelitian ini merupakan pengguna tato yang berdomisili atau berkegiatan di Bandung. Secara umum subjek ini dapat ditemukan pada siapa saja yang memiliki tato di Kota Bandung.

1.7.2 Informan

(37)

informan, purposive sampling.

Teknik penarikan informan dengan menggunakan purposive sampling dipilih karena teknik ini memilih orang (informan) dengan berbagai penilaian tertentu menurut kebutuhan peneliti sehingga dianggap layak untuk dijadikan sumber informasi/ narasumber. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat bahwa, “Sampling purposif, yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap — berdasarkan penilaian tertentu.” (Rakhmat, 1997: 81).

Informan ini ditetapkan menurut kepentingan penelitian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jonathan Sarwono bahwa, “Banyak sedikitnya orang yang akan digunakan untuk menjadi informan dalam penelitian kita tergantung pada cakupan masalah penelitian yang akan dilakukan.” (Sarwono, 2006: 205).

(38)

Tabel 1.1 Informan penelitian

Nama Informan Jenis Kelamin Kegiatan Jumlah tato

Yahya Ramdhani Laki-laki Pekerja sosial Hampir di seluruh bagian tubuh

Angga Laki-laki Musisi, shopkeeper Tangan, kaki, punggung, dada, dan bagian lainnya Aji Dani Laki-laki Karyawan swasta Hampir di seluruh

bagian tubuh Sumber: Data Peneliti, 2011

1.8 Metodologi Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) sebagaimana dikutip oleh Lexy J. Moleong dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” mengatakan bahwa, “Kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.” (Moleong, 2002: 3).

(39)

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode ini dipilih dengan tujuan untuk dapat menggambarkan fenomena tato sebagai sebagai alat yang memiliki pesan dengan muatan-muatan makna tertentu. Penggunaan metode deskriptif ini pada dasarnya digunakan untuk dapat lebih memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk dapat memberikan wacana yang ada dalam penelitian sebagai sebuah upaya dalam memaparkan fenomena secara utuh.

Peneliti melihat metode penilitian deskriptif ini dapat mengakomodasi kepentingan penelitian yang diarahkan untuk menghasilkan sebuah peristiwa yang utuh secara holistik. Untuk itu pula metode deskriptif dijadikan sebagai metode penelitian yang paling cocok untuk peneliti gunakan. Pengertian lainnya adalah bahwa metode penelitian deskriptif dapat dilihat sebagai suatu upaya dalam memahami perilaku pengguna tato dan masyarakat dalam melihat tato guna lebih memahaminya lebih dalam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Djalaluddin Rakhmat mengenai pengertian metode deskriptif, bahwa:

“Metode deskriptif, yaitu dengan cara mempelajari masalah-masalah dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu dengan tujuan penelitian yaitu menggambarkan fenomena secara sistematis, fakta atau karakteristik subjek tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.” (Rakhmat, 1997: 22)

(40)

pewacanaan yang didasarkan atas apa yang terjadi dalam penelitian dan tidak memberikan indikasi lainnya kecuali hanya memaparkan kebenarannya.

Dengan menggunakan metode deskritif ini, peneliti dapat dengan leluasa dalam menyampaikan dan merumuskan apa yang ada di lapangan secara keseluruhan dengan cakupan-cakupan tertentu yang telah dirumuskan sebelumnya. Pada dasarnya metode deskritif ada sebagai upaya dalam menjelaskan fenomena yang ada sebagai suatu permasalahan yang dapat dibahas secara umum kemudian merumuskannya ke dalam cakupan yang lebih detil lagi dengan pemaparan yang tersistematis. Penggunaan metode ini dalam penelitian ditujukan untuk lebih dapat memberikan penjelasan mengenai adanya bentuk komunikasi melalui gambar tato dengan menyampaikan pesan tersendiri yang memiliki kandungan makna tertentu di balik gambar-gambar tato.

1.9 Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara mendalam (Depth interview)

(41)

bila ingin mengetahui hal-hal dari responden secara lebih mendalam serta jumlah responden sedikit.” (Riduwan, 2005: 29).

Wawancara dilakukan dengan informan sebagai narasumber penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti. Dalam penelitian ini menggunakan tiga orang informan bertato yang dianggap telah mewakili kepentingan penelitian yakni Yahya Ramdhani yang berprofesi sebagai pekerja sosial, Angga yang berprofesi sebagai musisi dan shopkeeper distrokenamaan kota Bandung, dan Aji Dani sebagai informan ketiga yang berprofesi sebagai karyawan di Bank Swasta.

2. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan bentuk pengumpulan data atau keterangan melalui bahan bacaan yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Studi pustaka digunakan sebagai salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, karena penting untuk peneliti memperoleh data dari buku serta karya ilmiah yang berhungan dengan penelitian ini untuk melengkapi data yang telah ada atau sebagai bahan perbandingan. Dalam studi pustaka, peneliti menggunakan berbagai buku dan karya ilmiah yang telah ada untuk mencari perkembangan baru mengenai berbagai hal mengenai penelitian.

3. Observasi Partisipan

(42)

dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.

Bungin mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.

a. Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden. b. Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa

menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek.

c. Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus. (Bungin, 2007: 115)

4. Studi Dokumentasi

(43)

Secara detail bahan dokumenter yang berguna bagi penelitian ini terbagi ke dalam beberapa macam. Diantaranya dapat berupa otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, kliping, dokumen pemerintah atau swasta, foto, film, dan lain sebagainya.

5. Internet Searching

Internet sebagai teknologi yang mereduksi jarak dan waktu dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat dalam penelitian dengan memanfaatkan berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang berada di dalamnya. Informasi dari berbagai penjuru dunia yang relevan untuk penelitian dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan sumber yang memperkaya hasil penelitian. kemudahan akses dan kemampuan internet untuk menjangkau informasi yang tidak terbatas, memungkinkan peneliti untuk menghasilkan informasi-informasi penting.

1.10 Teknik Analisa Data

(44)

1. Reduksi Data

Reduksi data dengan identifikasi satuan (unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan yaitu bagian terkecil yang yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian.

2. Kategorisasi

a) Menyusun kategori. Kategori adalah memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.

b) Labelisasi kelompok menurut kategori yang ditentukan 3. Sintesisasi

a) Mensintesiskan berarti mencari kaitan antara satu kategori denganb kategori lainnya.

b) Kaitan satu kategori dengan kategori lainnya dikelompokan. 4. Menyusun “Hipotesis Kerja

Hal ini dilakukan dengan jalan merumuskan suatu pernyataan yang proporsional. Hipotesis kerja ini merupakan teori subtantif yaitu teori yang berasal dan masih terkait dengan data. Hipotesis kerja hendaknya terkait dan sekaligus menjawab pertanyaaan penelitian.

(Moleong, 2006:289).

I.11 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.11.1 Lokasi Penelitian

Penelitian berlangsung di berbagai tempat di Bandung seperti halnya studio tato, komunitas musik, dan berbagai tempat lainnya di Bandung.

1.11.2 Waktu Penelitian

(45)

Tabel 1.2 Jadwal Penelitian

No. Kegiatan September Oktober November Desember Januari Februari

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Persiapan

Pengajuan judul Acc judul Pengajuan persetujuan pembimbing

2. • Pelaksanaan

Bimbingan BAB I Sidang usulan penelitian

Bimbingan BAB II Bimbingan BAB III Proses wawancara Pengolahan data Bimbingan BAB IV Bimbingan BAB V

3. Penyelesaian

Laporan

Penyusunan seluruh draft skripsi

4. Sidang

Komprehensif

5. Sidang Kelulusan

(46)

1.12 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, pertanyaan penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, informan dan informan, lokasi dan waktu penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan mengenai tinjauan tentang komunikasi, tinjauan tentang makna, tinjauan tentang pesan, tinjauan tentang kebudayaan, tinjauan tentang tato.

BAB III OBJEK PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah tato dan perkembangan tato, sejarah perkembangan tato di Indonesia, komunitas tato di Indonesia, prosesi penatoan, jasa tato di Bandung, efek negatif tato, dan teknik penghapusan tato

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisikan tentang deskripsi identitas informan, hasil, dan pembahasan. BAB V PENUTUP

(47)

41

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi

Pengertian mengenai komunikasi banyak diungkapkan oleh para ahli komunikasi dengan menilainya dari sudut kepentingan dan keteraturannya sendiri mengenai makna inti dari komunikasi. Onong Uchjana Effendy melihat pengertian komunikasi secara etimologi, bahwa “Istilah komuniksi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.” (Effendy, 2003: 9).

Komunikasi merupakan alat utama yang digunakan dalam rangka melakukan interaksi yang berkesinambungan untuk beragam kepentingan. Komunikasi bersifat fundamental karena berbagai maksud dan tujuan yang ingin dicapai memerlukan adanya suatu pengungkapan atas dasar-dasar tujuan tersebut, maka dalam hal ini komunikasi menjadi alat utama yang digunakan untuk menyampaikan tujuannya. Komunikasi sangat mendasari berbagai pemaknaan yang akan dibuat dan yang akan terbuat setelahnya.

(48)

Penjelasan mengenai hakikat komunikasi juga diungkapkan oleh Charles R. Berger dan Steven H. Chaffe dalam buku “Handbook Communication Science” (1983:17) yang dikutip oleh Wiryanto, bahwa:

Communication science seeks to understand the production,

processing and effect of symbol and signal system by developing testable theories containing lawful generalization, that explain phenomena associated with production, processing and effect (Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahami mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari simbol serta sistem sinyal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum generalisasi guna menjelasken fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya).” (Wiryanto, 2004: 3).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sarah Trenholm dan Arthur Jensen (1966: 4) dalam buku “Interpersonal Communication” yang dikutip oleh Wiryanto menerangkan bahwa, “A process by which a source transmits a message to a receiver through some channel (Komunikasi adalah suatu proses dimana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran).” (Wiryanto, 2004: 6).

(49)

Everett M. Rogers dan D. Lawrence Kincaid (1981: 8) dalam buku “Communication Network: Towards a New Paradigm for Research”

sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto menerangkan bahwa, “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.” (Wiryanto, 2004: 6).

Bernard Berelson dan Gary A. Steiner (1964: 527) dalam buku “Human Behavior: An Inventory of Scientific Finding” sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Communication: the transmission of information, ideas, emotions, skills, etc. by the uses of

symbol… (Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi,

keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, dan sebagainya).” (Wiryanto, 2004: 7).

Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949) dalam buku “The Mathematical Theory of Communication” sebagaimana yang dikutip oleh Wiryanto mengatakan bahwa, “Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi.” (Wiryanto, 2004: 7).

(50)

penting yang digaris bawahi di dalamnya adalah adanya proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain melalui media. Ada beberapa pandangan tentang banyaknya unsur komunikasi yang mendukung terjadi dan terjalinnya komunikasi yang efektif. secara garis besar komunikasi telah cukup didukung oleh tiga unsur utama yakni sumber, pesan dan penerima, sementara ada juga yang menambahkan umpan balik dan lingkungan selain ketiga unsur yang telah disebutkan.

Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani Kuno menerangkan dalam bukunya “Rhetorica” sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara mengatakan bahwa, “Suatu proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang mendukung, yakni siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang mendengarkan.” (Cangara, 2005: 21).

Pandangan Aristoteles ini oleh sebagian pakar komunikasi dinilai lebih tepat untuk mendukung suatu proses komunikasi publik dalam bentuk pidato atau retorika, karena pada zaman Aristoteles retorika menjadi bentuk komunikasi yang sangat populer bagi masyarakat Yunani.

(51)

signal, penerima dan tujuan.” (Cangara, 2005: 22).

Awal tahun 1960-an David K. Berlo membuat formula komunikasi sederhana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Formula ini dikenal dengan nama "SMCR", yakni: Source (pengirim), Message (pesan), Channel (saluran-media), dan Receiver (penerima).” (Cangara, 2005: 22).

Selain Shannon dan Berlo, juga tercatat Charles Osgood, Gerald Miller dan Melvin L. De Fleur menambahkan lagi unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara, “Unsur efek dan umpan balik (feedback) sebagai pelengkap dalam membangun komunikasi yang sempurna.” (Cangara, 2005: 22). Kedua unsur ini nantinya lebih banyak dikembangkan pada proses komunikasi antarpribadi (persona) dan komunikasi massa.

Perkembangan terakhir adalah munculnya pandangan dari Joseph de Vito, K. Sereno dan Erika Vora yang menambahkan unsur komunikasi lainnya, sebagaimana yang dikutip oleh Hafied Cangara bahwa, “Faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung terjadinya proses komunikasi.” (Cangara, 2005: 22).

(52)

“Pertama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. ini berarti ia memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan komunikator itu. ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator berfungsi sebagai penyandi (encoder) dan komunikan berfungsi sebagai pengawa-sandi (decoder).” (Effendi, 2003: 13).

Bagian penting dalam proses penyandian (coding) ialah bahwa komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi hanya ke dalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam pengalamannya masing-masing.

2.1.2 Tujuan Komunikasi

Setiap individu dalam berkomunikasi pasti mengharapkan tujuan dari komunikasi itu sendiri, secara umum tujuan berkomunikasi adalah mengharapkan adanya umpan yang diberikan opleh lawan berbicara kita serta semua pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh lawan bicara kita dan adanya efek yang terjadi setelah melakukan komunikasi tersebut. Menurut Onong Uchjana dalam buku “ Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek” mengatakan ada pun beberapa tujuan berkomunikasi:

(53)

d. Perubahan sosial(social change). (Effendi, 2003: 8)

Joseph Devito dalam bukunya “Komunikasi Antar Manusia” menyebutkan bahwa tujuan komunikasi adalah sebagai berikut:

1. Menemukan

Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Komunikasi juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar-dunia yang dipenuhi obyek, peristiwa, dan manusia lain.

2. Untuk berhubungan

Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain

3. Untuk meyakinkan

Media massa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar mengubah sikap dan perilaku kita

4. Untuk bermain

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik, dan film sebagian besar untuk hiburan.

(Devito, 1997: 31)

2.1.3Fungsi-Fungsi Komunikasi

Berbicara mengenai fungsi komunikasi, Onong Uchjana Effendy, mengemukakan bahwa fungsi komunikasi adalah :

1. Menginformasikan (to inform)

Adalah memberikan informasi kepada masyarakat, memberitahukan kepada masyarakat mengenai peristiwa yang terjadi, ide atau pikiran dan tingkah laku orang lain, serta segala sesuatu yang disampaikan orang lain.

2. Mendidik (to educated)

(54)

3. Menghibur (to entertain)

adalah komunikasi selain berguna untuk menyampaikan komunikasi, pendidikan dan mempengaruhi juga berfungsi untuk menyampaikan hiburan atau menghibur orang lain.

4. Mempengaruhi (to influence)

adalah fungsi mempengaruhi setiap individu yang berkomunikasi, tentunya berusaha saling mempengaruhi jalan pikiran komunikan dan lebih jauh lagi berusaha merubah sikap dan tingkah laku komunikan sesuai dengan yang di harapkan. (Effendy, 2003: 36)

2.1.4 Proses komunikasi

A. Proses Komunikasi Primer

Dalam melakukan komunikasi, perlu adanya suatu proses yang memungkinkannya untuk melakukan komunikasi secara efektif. Proses komunikasi inilah yang membuat komunikasi berjalan dengan baik dengan berbagai tujuan. Dengan adanya proses komunikasi, berarti ada suatu alat yang digunakan dalam prakteknya sebagai cara dalam pengungkapan komunikasi tersebut. Menurut Onong Uchjana Effendy dalam buku “Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek”, Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap yakni proses komunikasi secara primer dan secara sekunder, yakni:

(55)

Onong Uchjana Effendy mengatakan bahwa, “Bahasa digambarkan paling banyak dipergunakan dalam proses komunikasi karena dengan jelas bahwa bahasa mampu menerjemahkan pikiran seseorang untuk dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain secara terbuka.” (Effendy, 2003: 11).

Apakah penyampaian bahasa tersebut dalam bentuk ide, informasi atau opini mengenai hal yang jelas (kongkret) maupun untuk hal yang masih samar (abstrak), bukan hanya mengenai peristiwa atau berbagai hal yang sedang terjadi melainkan pada waktu dulu dan masa yang akan datang.

Effendy selanjutnya menjelaskan berbagai pemahaman lain dari elemen komunikasi primer tersebut sebagai berikut:

“Kial (gesture) merupakan terjemahan dari pikiran seseorang sehingga dapat terekspresikan secara nyata dalam bentuk fisik, tetapi kial ini hanya dapat mengkomunikasikan hal-hal tertentu secara terbatas.

Isyarat juga merupakan cara pengkomunikasian yang menggunakan alat “kedua” selain bahasa yang biasa digunakan seperti misalnya kentongan, semaphore (bahasa isyarat menggunakan bendera), sirine, dan lain-lain. Pengkomunikasian ini juga sangat terbatas dalam menyampaikan pikiran seseorang.

Warna sama seperi halnya isyarat yang dapat mengkomunikasikan dalam bentuk warna-warna tertentu sebagai pengganti bahasa dengan kemampuannya sendiri. dalam hal kemampuan menerjemahkan pikiran seseorang, warna tetap tidak “berbicara” banyak untuk menerjemahkan pikiran seseorang karena kemampuannya yang sangat terbatas dalam mentransmisikan pikiran seseorang kepada orang lain.

(56)

hal kemampuan menerjemahkan pikiran seseorang, tetapi tetap tidak dapat melebihi kemampuan bahasa dalam pengkomunikasian yang terbuka dan transparan. Penggunaan bahasa sebagai “penerjemah” pikiran dapat didukung dengan menggunakan gambar sebagai alat bantu pemahaman, tetapi posisinya hanya sebagai pelengkap bahasa untuk lebih mempertegas maksud dan tujuannya.” (Effendy, 2003: 12).

Media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi adalah bahasa, tetapi tidak semua orang dapat mengutarakan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya melalui kata-kata yang tepat dan lengkap. Hal ini juga diperumit dengan adanya makna ganda yang terdapat dalam kata-kata yang digunakan, dan memungkinkan kesalahan makna yang diterima. Oleh karena itu bahasa isyarat, kial, sandi, simbol, gambar, dan lain-lain dapat memperkuat kejelasan makna.

B. Proses Komunikasi Sekunder

Setelah proses komunikasi primer, maka proses komunikasi kedua adalah proses komunikasi sekunder. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Onong Uchjana Effendy bahwa, “Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.” (Effendy, 2003: 16).

(57)

berada ditempat yang relatif jauh atau dengan jumlah yang banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, internet, dan lain-lain adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Media kedua ini memudahkan proses komunikasi yang disampaikan dengan meminimalisir berbagai keterbatasan manusia mengenai jarak, ruang, dan waktu.

Menurut Onong Uchjana Effendy, “Pentingnya peran media, yakni media sekunder dalam proses komunikasi disebabkan oleh efisiensi dalam mencapai komunikan.” (Effendy, 2003: 17). Surat kabar, radio, atau televisi misalnya, merupakan media yang efisien dalam mencapai komunikan dalam jumlah yang amat banyak. Jelas efisien karena dengan menyiarkan sebuah pesan satu kali saja dapat tersebar luas kepada khalayak yang begitu banyak jumlahnya.

(58)

Ini berlainan dengan komunikasi bermedia, apalagi menggunakan media massa yang tidak memungkinkan komunikator mengetahui kerangka acuan khalayak yang menjadi sasaran komunikasinya dan dalam proses komunikasinya, umpan balik tidak berlangsung saat itu tetapi memerlukan waktu untuk menanggapinya.

Komunikasi sekunder ini merupakan sambungan dari komuniksi primer untuk menembus ruang dan waktu. Dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator harus mempertimbangkan sifat media yang akan digunakan. Penentuan media yang akan dipergunakan sebagai hasil pilihan dari sekian banyak alternatif perlu didasari atas pertimbangan mengenai siapa komunikan yang akan dituju.

Komunikan media surat, poster atau papan pengumuman akan berbeda dengan komunikan surat kabar, radio, televisi, atau film. Setiap media memiliki ciri atau sifat tertentu yang hanya efektif dan efisien untuk dipergunakan bagi penyampaian suatu pesan tertentu.

(59)

Media massa seperti surat kabar, radio, televisi, film, dan lain-lain memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain massif (massive) atau massal (massaal), yakni tertuju kepada sejumlah orang yang relatif banyak. Sedangkan media nirmassa atau media nonmassa seperti, telepon, surat, telegram, spanduk, papan pengumuman, dan lain-lain tertuju kepada satu orang atau sejumlah orang yang relatif sedikit.

2.2Tinjauan Tentang Makna 2.2.1 Pengertian Makna

(60)

dan spekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban yang salah.” (Fisher, 1986: 343).

Judul-judul buku seperti misalnya “The Meaning of Meaning” dan “Understanding Understanding” bersifat provokatif akan tetapi cenderung untuk lebih banyak berjanji dari pada apa yang dapat diberikannya. Barangkali alasan mengapa terjadi kekacauan konseptual tentang makna ialah adanya kecenderungan yang meluas untuk berpikir tentang makna sebagai konsep yang bersifat tunggal. Brodbeck (1963), misalnya, mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda. Penjelasan mengenai tiga konsep makna tersebut dikutip oleh Fisher, sebagai berikut:

(61)

Rubenstein berusaha untuk mengungkapkan hakikat maknayang diadaptasi padastudi bahasa. Brodbeck terutama memperhatikan makna istilah dalamteori ilmiah. Tujuannya berbeda, karena itu berbeda pula penjelasanj tentang makna itu. Dua buah contoh diatas menggambarkan adanya kekacauan konseptual secara filosofis atau pun empiris mengenai makna dari makna, tetapi tujuannya bukan untuk menemukan hakikat makna yang “sebenarnya” dari konsep makna itu. Pembahasan terdahulu ditujukan untuk menunjukan adanya fakta yang jelas mengenai makna merupakan konsep yang tersebar secara luas dan bermuka majemuk. Bergantung pada tujuan dan perspektif seseorang, konsep itu sendiri dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.

(62)

2.2.2 Makna dalam Komunikasi

Secara etimologi penjelasan mengenai definisi komunikasi telah banyak diarahkan pada suatu sumber yang sama mengenai asal mulanya yang berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Hal ini menunjukan satu karakteristik yang jelas dari makna yang relevan dengan komunikasi manusia adalah “kebersamaan”: makna yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya merupakan fenomena sosial.

Aubrey Fisher menjelaskan mengenai konsepsi makna dalam hubungannya sebagai inisiasi dalam komunikasi, bahwa “Makna, sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih daripada sekedar penafsiran atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak

pemahaman―aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki para

komunikator.” (Fisher, 1986: 346).

(63)

Aspek makna yang fundamental sebagaimana terdapat dalam komunikasi manusia adalah alat sosialnya―keumumannya atau konsnensus atau kebersamaannya dari makna-makna individual. Faham tentang makna bersama sebagaian besar memasuki setiap perfektif komunikasi manusia, tetapi hal ini tidak berarti bahwa tinjauan komunikasi manusia tentang “makna bersama” itu sama. Dalam kenyataannya, konsepsi tentang kebersamaan tersebut berbeda-beda diantara berbagai sudut penciptaan dan pemaknaannya.

2.3Tinjauan Tentang Pesan 2.3.1 Pengertian Pesan

Pengertian pesan dapat dilihat dari penjelasan Onong Uhjana Effendy yang menunjukan pemahamannya dalam paradigma Lasswell, bahwa “Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.” (Effendy, 2000: 18).

(64)

Selanjutnya Deddy Mulyana menjelaskan mengenai komponen dalam pesan, yakni “Pesan mempunya tiga komponenh: makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan.” (Mulyana, 2005: 63).

Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat mempresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah, dan sebagainya). Kata-kata memungkjinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dirumuskan secara nonverbal, seperti melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh (acungan jempol, anggukan kepala, senyuman, tatapan mata dan sebagainya), juga melalui musik, lukisan, patung, tarian, dan sebagainya.

2.3.2 Makna Pesan

(65)

1. Pesan sebagai isyarat

2. Pesan sebagai bentuk struktural 3. Pesan sebagai pengaruh sosial 4. Pesan sebagai penafsiran 5. Pesan sebagai refleksi diri

6. Pesan sebagai kebersamaan (commonality) (Fisher, 1986: 364).

1. Pesan sebagai isyarat

Suatu pesan ditransformasikan dalam titik-titik (saat-saat) penyandian dan pengalihan sandi sehingga pesan itu sendiri merupakan pikiran atau ide pada suatu tempat dalam sistem jaringan syaraf (neurophysiological) dari sumber/penerima dan, setelah penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka, ditransformasikan ke dalam rangkaian getaran udara (gelombang suara) dan sinar-sinar cahaya yang dipantulkan (secara visual). Alat pengalihan sandi pada sumber/ penerima mentransformasikan fenomena energi fisik itu kembali ke dalam kata petunjuk paragulistik, isyarat, dan pikiran. Tetapi, dalam bentuk energi fisik antara sumber/penerima, maka pesan itu bukanlah merupakan pikiran, bukan juga berupa kata-kata. Akan tetapi ia merupakan seperangkat isyarat (signals) fisik.

(66)

“Suatu pesan mungkin, umpamanya merupakan pikiran,… namun pikiran itu disampaikan tidak secara fisik.” (Fisher, 1986: 365)

Bilamana bentuk fisik dari pesan itu (yakni, isyarat tersebut) disandi, ia berubah menjadi pikiran kembali dan itu menjadi pesan. Cherry menjelaskan lebih lanjut yang dikutip oleh Fisher, bahwa:

“Pesan dalam bentuk fisik yang sebenarnya disampaikan melalui ruang (misalnya, gelombang udara, impuls elektris pada kawat telepon, isyarat radio atau televisi dalam atmosfir) lebih cocok untuk dinamakan suatu signal. Karena signal itu disandi atau dialih sandi, maka bentuknya menjadi pesan.” (Fisher, 1986: 365)

Karena itu, pesan dipandang sebagai bentuk dan lokasi pikiran, verbalisasi, dan seterusnya, dalam diri individu “pesan” yang terdapat dalam saluran di luar sumber/penerima dalam bentuk energi fisik dan lebih cocok untuk dipandang sebagai isyarat (signal). Pikiran sandi ke dalam isyarat, isyarat dialih sandi ke dalam pikiran. Atau, dinyatakan dengan cara lain, pesan sandi ke dalam pesan isyarat; isyarat dialih sandi ke dalam pesan.

2. Pesan sebagai bentuk struktural

(67)

“Stimulasi verbal (yang mencakup kata-kata atau lambang-lambang), stimulasi fisik (yang mencakup isyarat atau gerakan, ekspresi muka, dan sebagainya, dalam suatu interaksi tatap muka), dan stimuli vocal (yang mencakup petunjuk paralinguistic berupa kecepatan berbicara, kerasnya suara, inflesi, penekanan, aksen berbicara, dan sejenisnya, dalam interaksi tatap muka).” (Fisher, 1986: 366)

Dalam banyak hal, konseptualisasi pesan menurut Miller lebih banyak merupakan definisi konseptual; daftar sifat atau atribusi pesan yang teramati secara fisik menyingkapkan rupa pesan sebagaimana diamati melalui alat indra. Tetapi, definisi operasional itu sebenarnya tidak berusaha menggambarkan fungsionalisasi konsep dalam peristiwa komunikatif.

3. Pesan sebagai pengaruh sosial

Pandangan Steve King (1975: 32), seorang ahli komunikasi, tidak terlalu keras seperti pendapat Schachter. Namun demikian, King memang mengganggap pesan sebagai suatu bentuk yang disandi, yang memiliki secara yang tersirat di dalamnya pengaruh sosial. Fisher mengutip penjelasan King yang menyatakan, bahwa “Pesan itu, secara sederhana adalah perilaku pemberi pengaruh yang berhubungan dengan kebutuhan

Gambar

Tabel 1.1  Informan penelitian
Tabel 1.2  Jadwal Penelitian
Gambar 3.1  Lambang Kota Bandung
Gambar 3.2  Bendera Kota Bandung
+4

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang dimaksud dengan Desa Pakraman dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang menyebutkan

Table 2 illustrate the interpretation of the interpolation surfaces using the seven techniques mentioned. Here, these techniques were mapped using optimal parameters.

(e) Pengukuran dan penandaan diameter dan panjang bibit (f) Bibit R.mucronata pada naungan 25% (g) Bibit R.mucronata pada intensitas 0% (h) Pemanenan bibit (i) Akar bibit

Seperti pada penelitian ini mengangkat tema potensi gelatin domba yang bertujuan untuk mengetahui kualitas viskositas dan kekuatan gel gelatin kulit domba yang

Hasil: Hasil uji hipotesis I menggunakan Paired Sample t-test diperoleh nilai p<0,05 (p = 0,000) yang berarti pemberian perlakuan sit-up exercise dapat

Mengambil ibrah dari perjuangan Rasullullah SAW dalam dakwah Islam pada periode Mekah dan Madinah untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang.  Mengemukakan pendapat

Perhitungan hitungan profil muka air bertujuan untuk mempelajari perhitungan profil muka air dengan mengaplikasikannya dengan proyek nyata dan mengontrol tinggi tanggul

Berdasarkan analisis kelayakan teknis pada jaringan salah satu operator 2G/3G eksisting dengan menggunakan metode Coverage Estimation , dapat disimpulkan bahwa