• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 TAHUN 2012"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN

TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK

KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 090200487

SUCI KHARISMA SAABA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN

TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK

KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 090200487

SUCI KHARISMA SAABA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Adiministrasi Negara

NIP. 19600214987032002 Suria Ningsih, SH.,M.Hum

Pembimbing I

NIP. 195813166143911002

Zaidar, SH.M.,Hum

Pembimbing II

Affan Mukti, SH.M.,Hum NIP. 195711201986011002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “

Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan

Undang-Undang No. 2 TAHUN 2012

”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,

SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM Selaku Pembantu

Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Bapak

Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Suria Ningsih, SH., M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Zaidar, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

(4)

bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Affan Mukti, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk

serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya

Universitas Sumatera Utara.

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada

terhingga kepada Ayahanda dan, semoga kebersamaan yang kita jalani ini

tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013

Penulis

NIM : 090200487

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metodologi Penulisan ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan. ... 7

BAB II. GAMBARAN UMUM PENGADAAN TANAH ... 10

A. Pengaertian Pengadaan Tanah ... 10

B. Hak Atas Tanah Menurut UUPA ... 12

C. Landasan Hukum Pengadaan Tanah ... 31

BAB III. BENTUK-BENTUK PENGADAAN TANAH ... 45

A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ... 45

B. Pelaksanaan Tanah Untuk Kepentingan Swasta ... 52

C. Tata Cara Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan ... 53

(6)

A. Proses Musyawarah ... 58

B. Penetapan Bentuk Dan Besarnya Ganti Kerugian ... 62

C. Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dan Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Hambatan-Hambatan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Proses Pemberian Ganti Kerugian Untuk Kepentingan Umum ... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran. ... 76

(7)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA. Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi.

Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan hambatan-hambatan apa yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dimulai dengan adanya musyawarah antara masyarakat yang terkena proyek kepentingan umum dengan pihak pemerintah yang akan melakukan kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Apabila musyawarah telah tercapai maka tingkatan selanjutnya adalah penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah tersebut. Hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum adalah: Hambatan yang datang dari Pemerintah, Kekurangan dana dan Ganti rugi tanahnya belum selesai. Hambatan lainnya adalah hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek kepentingan umum, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh pemerintah setempat yang dianggap masih tidak layak. Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan.

(8)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2012

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA. Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi.

Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan hambatan-hambatan apa yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dimulai dengan adanya musyawarah antara masyarakat yang terkena proyek kepentingan umum dengan pihak pemerintah yang akan melakukan kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Apabila musyawarah telah tercapai maka tingkatan selanjutnya adalah penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah tersebut. Hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum adalah: Hambatan yang datang dari Pemerintah, Kekurangan dana dan Ganti rugi tanahnya belum selesai. Hambatan lainnya adalah hambatan yang timbul dari warga yang tanahnya terkena proyek kepentingan umum, adalah tidak ada kesepakatan mengenai nilai ganti ruginya yang diberikan oleh pemerintah setempat yang dianggap masih tidak layak. Melihat kondisi yang demikian, Pemerintah lebih memprioritaskan penyelesaian melalui musyawarah daripada jalur hukum. Hal ini dikarenakan kelompok yang Kontra mengancam akan mengajukan gugatan melalui PTUN atas masalah ini apabila tidak segera diselesaikan.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan

memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan

peningkatan kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Dengan memiliki cipta, rasa,

dan karsa, manusia telah mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk

meningkatkan kemakmuran baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi

yang akan datang. Dalam arti bahwa pemanfaatan sumber daya alam bagi

kebutuhan generasi sekarang juga mempertimbangkan dan memperhatikan

generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.

Hal tersebut sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Tanah

merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup

umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat

hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan

hidup umat manusia.

Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan

tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa

sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling

dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh

(10)

kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan

mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk

tanah atau fasilitas lain.

Pada dasarnya, secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada

perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti menjual

miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah

selama itu dikuasainya.1

Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalam bahwa tanah di

samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak

atas tanah tidak mutlak. Namun demikian negara harus menjamin dan

menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya

yang dijamin oleh undang-undang.

Hal ini berarti nilai ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak

yang melekat pada tanah tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas

tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak

berbeda itu. Namun demikian negara mempunyai wewenang untuk melaksanakan

pembangunan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan baik

dengan pencabutan hak maupun dengan pengadaan tanah.

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di

dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan

pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa

tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara

1

(11)

yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik

yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak

lainnya menurut UUPA.

Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah

ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala

keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian

ganti rugi. Sehingga apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk

dan besarnya ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian

dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.

Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sekarang ini

dituangkan dalam PeraturanPresiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang

mencabut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Hal ini dikarenakan,

Keppres No.55/1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam

rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.

Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional

khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat

dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya.

Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum haruslah tetap dijadikan landasan

sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Namun demikian berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini dalam

praktek pengadaan tanah bagi kepentingan umum hak dan kepentingan

(12)

pengertian serta sikap yang sama diantara pelaksanan termasuk badan pengadilan

dalam melaksanakan kebijakan yang dituangkan dalam peraturan tersebut,

sehingga timbul kesan seakan-akan hukum tidak atau kurang memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk

pembangunan bagi kepentingan umum.

Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memeperhatikan

peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan

terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah untuk

kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan ditempuh dengan

jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Apabila pengadaan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan

keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah

tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan

cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 1961.

Berdasarkan uraian di atas dan ketentuan-ketentuan yang ada, maka

penulis berkeinginan mengkaji permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul

“Tinjauan Yuridis Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi

(13)

1. Bagaimana proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum?

2. Hambatan-hambatan apa yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi

hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan

proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui proses/pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan

umum.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk

mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan

tanah dan proses pemberian ganti kerugiannya untuk kepentingan umum.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum

perdata dalam kaitannya dengan pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan.

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil

manfaatnya terutama dalam hal mengetahui dari pelaksanaan pengadaan tanah

bagi kepentingan umum.

E. Metodologi Penulisan

(14)

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini

adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu

suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis

atau bahan hukum yang lain.2

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data

sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti

KUH Perdata, PMDN No. 15 Tahun 1975, Keppres No. 55 Tahun 1993,

Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2005.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan

sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang

hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan

sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

2

(15)

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi

dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa

kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang

teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik

beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan

Undang-Undang No. 2 Tahun 2012” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran

penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya.

Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan

secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

(16)

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian

pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian

penulisan, serta sistematika penulisan.

Bab II. Gambaran Umum Pengadaan Tanah

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengertian

pengadaan tanah, hak atas tanah menurut UUPA, landasan hukum

pengadaan tanah menurut PMDN No. 15 Tahun 1975, Keppres No.

55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65

Tahun 2005.

Bab III. Bentuk-Bentuk Pengadaan Tanah

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang

secara umum dibahas mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan

umum, pengadaan tanah untuk kepentingan swasta dan tata cara

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan.

Bab IV. Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap proses

musyawarah, penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian, serta

hambatan-hambatan yang timbul dan upaya-upaya untuk mengatasi

hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengadaan tanah

(17)

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana

(18)

BAB II

GAMBARAN UMUM PENGADAAN TANAH

A. Pengertian Pengadaan Tanah

Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan

cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,

bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.3

Sebelumnya, di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun

pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal

tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1

Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun

2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005,

maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan

cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Selain Pengadaan tanah, perlu juga diketahui pengertian tentang

kepentingan umum, mengingat pengadaan tanah di Indonesia senantiasa ditujukan

untuk kepentingan umum. Memberikan pengertian tentang kepentingan umum

bukanlah hal yang mudah. Selain sangat rentan karena penilaiannya sangat

subektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga apabila tidak diatur

3

(19)

secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada

ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang-wenang dari pejabat

terkait. Namun, hal tersebut telah dijawab dalam Perpres No 36 Tahun 2005 yang

kemudian dirampingkan oleh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah ditentukan

secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu :

a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,

ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran

pembuangan air dan sanitasi;

b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,

lahar, dan lain-lain bencana;

e. Tempat pembuangan sampah;

f. Cagar alam dan cagar budaya;

g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama

pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum sedangkan yang

kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan

komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.

Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan

Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara

memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat

(20)

kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain

pemberian ganti kerugian. Dan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005 yang

dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan

tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau

menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda

yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut

Perpres No.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian

juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan

pencabutan hak atas tanah. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65

Tahun 2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan

untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang

melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan

tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga

dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.

B. Hak Atas Tanah Menurut UUPA

Sebelum masuk pada pembahasan berikut ini maka terlebih dahulu

diuraikan tentang pengertian hak atas tanah. Tanah dalam kehidupan manusia

mempunyai arti yang sangat penting, oleh karena sebagian besar kehidupan

manusia adalah bergantung kepada tanah.

(21)

dicadangkan untuk kehidupan dimasa yang akan datang, sebab tanah

merupakan tempat bermukim bagi umat manusia, di samping sebagai sumber

kehidupan bagi mereka yang mencari nafkah seperti petani, tanah juga

dipergunakan sebagai tempat persemayaman terakhir bagi orang yang

meninggal dunia.

Mengingat kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat disebabkan

pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi yang selalu membutuhkan

tanah maka diperlukan suatu pengaturan tentang penguasaan dan penggunaan

tanah, yang dengan singkat disebut Hukum Tanah.

Hukum Tanah di Indonesia saat ini adalah berdasarkan

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang ini tidak hanya

mengatur tanah saja akan tetapi termasuk di dalamnya bumi, air dan ruang

angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, maka Hukum agraria tersebut memberikan pengertian

bumi, air dan ruang angkasa sebagai berikut : " Bumi, selain permukaan bumi,

termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air, air

termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia, ruang

angkasa, ialah ruang di atas bumi dan air ".4

Dari uraian tersebut nampak bahwa Hukum Agraria meliputi Hukum

Tanah atau Hukum Tanah termasuk sebagian dari Hukum agraria. Berdasarkan

hak menguasai dari Negara, seperti yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3)

4

(22)

Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah

memberikan hak-hak atas tanah kepada seseorang atau kepada suatu badan

hukum.

Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundangan. Tanah adalah permukaan bumi, maka hak atas tanah itu adalah hak untuk mempergunakan tanahnya saja sedangkan benda-benda lain di dalam tanah umpamanya bahan-bahan mineral, minyak dan lain-lainnya tidak termasuk. Hal yang terakhir ini diatur khusus dalam beberapa peraturan perundangan lain, yaitu undangundang-undang tentang ketentuan pokok pertambangan. 5

Setelah hak atas tanah diberikan kepada seseorang maupun kepada

suatu badan hukum, maka terjadilah suatu hubungan hukum antara pemilik

tanah atau terhadap yang berhak atas tanah.

Dengan adanya hubungan hukum ini, maka yang mempunyai hak dapat

melakukan perbuatan hukum terhadap tanahnya seperti mengadakan jual-beli,

tukar-menukar, sewa-menyewa, hibah dan lain sebagainya.

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 bahwa yang dapat

mempunyai hak atas tanah secara penuh adalah warga negara Indonesia baik

laki-laki maupun perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat dan

hasilnya untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.

Berdasarkan uraian di atas, maka seseorang atau Badan Hukum yang

mempunyai suatu hak, oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dibebani

kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta

5

(23)

wajib pula memelihara termasuk untuk menambah kesuburan tanahnya dan

mencegah kerusakan tanah tersebut.

Untuk menjaga keamanan dan kepastian hukum hak atas tanah, maka

setiap orang yang memperoleh dan memiliki hak hendaknya mengusahakannya

agar dapat memiliki sertifikat hak atas tanah. Dengan demikian si

pemiliksertifikat hak atas tanah tersebut, akan lebih merasa aman dan tenang

untuk mempergunakan haknya.

Membicarakan hak-hak tanah ini maka kita harus meninjaunya dari

berbagai sudut hukum yang hidup di Indonesia, baik itu hukum adat, Perdata

dan Agraria.

1. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

Hak-hak atas tanah menurut hukum adat ini di Indonesia dapat kita lihat

seperti : Hak pertuanan dari persekutuan desa.

Hak pertuanan ini, yang dinamakan hak ulayat tidak melekat pada

perseorangan (individu), melainkan pada suatu persekutuan seperti desa di

Jawa. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht.6

Hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar maksudnya

warga luar masih ada kemungkinan untuk dapat mengenyam/menggarap tanah

ulayat tersebut dengan izin persekutuan serta telah membayar uang pemasukan

(mesi) dalam bahasa Jawa. Memang pada prinsipnya warga luar tidak boleh

mengenyam/menggarap tanah ulayat itu, kecuali dengan cara yang baru disebut

6

(24)

di atas.

Sedangkan berlaku ke dalam, persekutuan sebagai suatu keseluruhan

yang berarti semua warga persekutuan bersamaan sebagai kesatuan, hak ulayat

dimaksud memetik hasil dari pada tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan

binatang liar yang hidup di atasnya.

Yang menjadi objek hak ulayat ini adalah :

a. Tanah (daratan).

b. Air (perairan eperti misalnya kali, danau, pantai beserta perairannya). c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara luar (pohon, buah-buahan,

pohon-pohon kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya). d. Binatang yang hidup liar.7

Hak-hak yang dapat diperoleh seseorang warga dari satu persekutuan

hukum di dalam lingkungan tanah ulayatnya adalah :

a. Hak menebang kayu.

Setiap penduduk (warga) dapat menebang kayu di hutan-hutan dengan tidak

meminta izin dan atau memberitahukan kepada yang berwajib, kayu mana

akan dipergunakannya untuk kayu api atau perumahan.

b. Hak memungut hasil hutan.

Hasil hutan, seperti rotan, damar dan lain-lain dapat diperoleh oleh setiap

warga dengan cara dan syarat, sebagaimana pada hak menebang kayu.

c. Hak mengembalakan ternak.

Setiap warga berhak melepaskan ternaknya, tidak saja di atas tanah mentah,

tetapi juga di atas tanah-tanah yang telah diusahakan, umpamanya sawah,

tetapi pada waktu sawah itu tidak ditanami atau pada waktu kosong. Apabila

7

(25)

pemilik tidak mengizinkannya, maka dia harus membuat pagar di sekeliling

sawah tersebut.

d. Hak memburu.

Dengan tidak memerlukan izin dan juga tidak harus membayar ganti

kerugian, setiap warga dapat berburu dalam lingkungan tanah ulayat dari

suatu persekutuan hukum.

Hak-hak tersebut di atas sebenarnya belum/bukan hak atas tanah, tetapi

hak yang dapat diperoleh atas binatang-binatang dan tanam-tanaman, yang

hidup dan tumbuh liar di atas tanah ulayat. Jadi dalam hal ini untuk lebih jelas

mengenai hak atas tanah yang dapat diperoleh seorang warga dari persekutuan

hukum di dalam lingkungan tanah ulayat adalah dimulai dengan :

Hak-Hak Perorangan atas tanah :

a. Hak membuka tanah.

Untuk memperoleh hak ini pada umumnya diperlukan izin karena tanpa izin

dari yang berwajib perbuatan itu melanggar hukum dan pekerjaan yang

telah dimulai harus dihentikan. Pemberian izin biasanya hanya dengan lisan

saja.

b. Hak memungut hasil.

Hak memungut hasil, satu hak perseorangan atas tanah. Hak ini mempunyai

sifat sementara, dengan perkataan lain hanya dapat diperoleh untuk satu

tahun panen.

Apabila di atas tanah ini terdapat pohon kelapa (atau lontar Bali) yang

(26)

ini, karena dalam hukum adat hak atas pohon dipisahkan dari hak atas tanah,

yang mempunyai hak atas pohon ialah yang menanamnya dan hak ini dapat

sedemikian kuatnya sehingga menimbulkan hak atas tanah, di atas mana

pohon itu ditanam. Jadi apabila sebidang tanah ditanami rapat dengan

tanaman keras, pohon kelapa atau rambung umpamanya, maka hak atas

pohon-pohon rambung/kelapa ini menimbulkan hak atas tanahnya, karena

tanaman keras adalah satu tanda bekas dari pembukaan, yang masih

memberi hasil.

c. Hak Wenang Pilih.

Hak ini ialah hak pertama terhadap tanah, hak seseorang warga untuk

didahulukan dari yang lain mengusahakan, menguasai tanah. Haknya ini

tidak dapat dipertahankan apabila dilewatkan dengan begitu saja waktu

untuk menanam, karena seseorang warga yang lain dapat menuntut supaya

tanah tersebut diusahakan terus atau diberikan kepada yang menuntut untuk

diusahakannya.

d. Hak belengket atau hak wenang beli.

Hak seseorang untuk didahulukan dari orang lain mendapat kesempatan

membeli tanah pertanian/perumahan dan empang dengan harga yang sama

disebut hak belengket/hak wenang beli.

Hak ini diberikan kepada :

1) Sanak saudara untuk didahulukan dari yang bukan sanak saudara.

2) Teman sesama warga persekutuan dengan menyisihkan orang asing,

(27)

lain.

Jika yang tersebut di atas ini tidak ada yang berminat, barulah diberikan

kepada orang lain untuk membelinya.

e. Hak milik.

Dengan meninggalkan cara mengusahakan tanah hanya untuk satu tahun

panen saja (wissel bouw), sebagaimana pada hak memungut hasil, maka

terjadilah pengusahaan tanah yang lebih kekal oleh seseorang warga atas

tanah yang dapat disebut sebagai hak miliknya, jadi hak milik timbul

apabila sebidang tanah diusahakan terus-menerus dan/atau ditanami dengan

tanaman keras seluruhnya.

Menurut hukum adat, hak milik merupakan hak perseorangan atas tanah dan

merupakan hak yang paling pokok. Sekalipun hak ini merupakan hak yang

paling pokok, namun hak ini masih dapat dibatalkan apabila :

1) Tidak diusahakan terus, sehingga hapus lenyap segala bekas-bekas

tanda-tanda usaha manusia, kembali menjadi belukar dengan melewati

satu tingkatan dari cara menyatakan hak atas tanah.

2) Tidak ada lagi yang berhak atasnya, umpamanya apabila pemilik pergi

meninggalkan daerah persekutuan hukum.

3) Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh persekutuan

hukum.

f. Hak atas tanah perumahan.

Hak ini adalah hak setiap orang yang telah berumah tangga (kawin) atas

(28)

tempat tertentu. Dalam hal ini yang membutuhkannya harus meminta izin

kepada Kepala Persekutuan. Sesudah itu harus membebaskan tanah dari

segala beban, umpamanya membayar ganti kerugian utuk tanam-tanaman

keras kepada pemiliknya.

g. Hak Atas Tanah Jabatan.

Selama dalam masa jabatannya seorang warga diberikan sebidang tanah,

yaitu tanah jabatan. Dari tanah ini ia berhak dan dapat menarik keuntungan.

Hak yang diterangkan di atas ini ialah hak yang diperoleh dengan

mengadakan satu tindakan, perbuatan yang tegas, mengadakan ikatan

dengan tanah, yang di dalam aslinya dikuasai penuh oleh hak ulayat dari

satu persekutuan hukum.

Transaksi tanah yang dilakukan berdasarkan hak atas tanah :

a. Gadai

Penyerahan tanah dengan perjanjian bahwa pemilik dapat memperoleh

tanahnya kembali apabila uang yang dipinjam dalam jumlah yang serupa

dikembalikan. Yang menerima gadai dapat menarik keuntungan dari tanah

tersebut bagaikan seorang pemilik, terkecuali menjual lepas, dan apabila

pada suatu waktu juga memerlukan uang, maka tanah ini dapat

digadaikannya lagi.

b. Jual lepas.

Menjual tanah kepada orang lain, dimana si pembeli menyerahkan sejumlah

uang kepada si pemilik tanah/penjual, sedangkan si pemilik menyerahkan

(29)

c. Jual tahunan.

Penyerahan tanah dengan perjanjian, bahwa sesudah habis waktu yang

ditentukan, yaitu sesudah beberapa tahun panen, tanah dimaksud kembali

kepada pemilik tanpa ada sesuatu perbuatan hukum. Selama diserahkan

maka yang memberikan uang dapat menarik keuntungan dari tanah tersebut

yaitu memungut hasil.

Transaksi-transaksi yang dilakukan dan memiliki hubungan dengan

tanah:

a. Membela Tanah (Bola Pinang).

Pemilik tanah yang tidak berkesempatan untuk mengerjakan endiri tanahnya

itu menyerahkan kepada orang lain untuk diusahakannya, dengan ketentuan

bahwa hasil dari tanah tersebut dalam jumlah yang telah ditentukan terlebih

dahulu harus diserahkan kepada pemilik tanah, sedangkan sebagian lagi

menjadi bahagian dari orang yang mengerjakan tanah tersebut.

b. Hak sewa.

Apabila seseorang menempati atau mengusahakan tanah orang lain dengan

pembayaran sejumlah uang kepada pemiliknya dan dalam tempo yang

diperjanjikan terlebih dahulu. Perjanjian sewa ini dapat diputuskan bila

masa waktu yang ditentukan sudah habis.

c. Hak Jaminan.

Hak jaminan ialah memberikan tanah sebagai jaminan atas uang yang

dipinjam, hal mana harus diperbuat di muka yang berwajib. Hal ini tidak

(30)

sedangkan pada jaminan ini bendanya tetap dikuasai oleh pemiliknya, dan ia

dituntut harus melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, bila ia

tidak dapat melunasi hutangnya maka benda (tanah) jaminan dapat dirubah

misalnya hak gadai ataupun jual lepas untuk pelunasannya.

d. Hak menumpang

Hak ini diperoleh seseorang untuk mendiami rumah yang ada di atas tanah

orang lain, yang mana hak ini diperolehnya atas kemurahan hai dari si

pemilik tanah/rumah. Jadi dalam hal ini si penumpang tidak perlu

membayar sewa, tetapi yang menumpang harus memberikan bantuan

sepenuhnya kepada si pemilik tanah.

Hak perseorangan :

a. Hak Pakai

Apabila seseorang warga persekutuan meninggalkan daerah tempat

tinggalnya buat sementara, maka ia dapat memberikan kepada sanak

saudaranya ataupun teman sekampung untuk mengusahakan dan menjaga

tanahnya selama ia bepergian. Hak yang memperoleh izin untuk

mengusahakan tanah tersebut disebut hak pakai.

b. Grant Sultan.

Grant Sultan adalah suatu hak yang diberikan oleh Sultan kepada seseorang

yang termasuk kaula swapraja/kerabat sultan untuk mengusahakan tanah,

hak ini akan hapus bila yang memohon/meminta tidak menguasainya lagi.

c. Grant Controleur.

(31)

1) Orang yang tunduk kepada KUH Perdata,

2) Orang Indonesia rakyat Gouverment.

Sebenarnya Grent Contreleur hampir sama dengan Grant Sultan hanya

yang memberikan dan pendaftarannya di Kantor Contrloleur..

d. Grand Deli Mij.

Sehubungan yang disebut di atas mengenai Grant Controleur diterangkan

juga satu jenis hak atas tanah yang hanya terdapat di lingkungan kota

Medan yang disebut Grand Deli Mij. 8

Dari kata pemberian tidak dapat diketahui hak apa yang diberikan Deli Mij,

semula disangka bahwa Deli Mij akan melimpahkan sebagian dari hak yang

diperoleh : Grand Controleur. Tetapi kemudian disebut pergantian

sewa-menyewa. 9

Kalau kita perhatikan dari tiga jenis Grant di atas, bahwa Grant Sultan

itu adalah :

- Suatu hak yang diberikan oleh Sultan,

- Kepada seseorang yang termasuk kaula swapraja.

- Hak untuk mengusahakan tanah.

Perbedaan antara Grant Sultan dengan Grant Controleur adalah :

- Grant Controleur ini diberikan kepada orang yang tunduk kepada KUH

Perdata, dan kepada rakyat Indonesia (orang Government), serta pendaftaran

di Kantor Controleur.

8

Hatunggal Siregar, Hukum Tanah Menurut Hukum Adat, FH-Usu, Medan, 2005, hal. 16.

9

(32)

- Sedangkan hak yang diberikan dalam Grant Sultan adalah sama dengan hak

yang diberikan dalam Grant Controleur dan hanya sebagian saja yang

mengeluarkannya adalah sultan sebagai pemegang kekuasaan.

Grant sultan dan Grant Controleur ini membedakannya dengan Grant

Deli Mij adalah :

- Grant Deli Mij hanya terdapat di lingkungan kota Medan,

- Dan tidak jelas apa yang diberikan Deli Mij.

2. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Perdata

Dengan keluarnya UUPA No. 5 Tahun 1960, ketentuan-ketentuan dalam

Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan

hipotik, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Jadi jelasnya bahwa hak-hak

atas tanah yang diatur dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi setelah keluarnya

UUPA No. 5 tahun 1960.

Namun demikian untuk melihat perbandingan pengaturan hak-hak atas

tanah itu, maka penulis merasa perlu menguraikan selayang pandang hak-hak

atas tanah menurut KUH Perdata, terutama mengenai hak milik.

a. Hak Milik (Hak Eigendom).

Pasal 570 KUH perdata menentukan, bahwa hak milik adalah hak untuk

menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat

bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak

bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan

(33)

hak-hak orang lain, kesemuanya itu tak mengurangi kemungkinan akan

pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan

undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

Pasal 570 KUH Perdata ini menggambarkan hak eigendom sebagai suatu

hak milik yang mempunyai dua unsur :

1) Hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan dari sesuatu kebendaan itu,

2) Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual,

menukar, dan lain sebagainya.

Namun walaupun demikian dalam memperlakukan hak ini, undang-undang

masih menentukan pembatasan, dimana hak ini masih mungkin dicabut

demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang, tetapi

harus dengan memberi ganti kerugian kepada pemilik hak atas tanah yang

haknya tersebut dicabut.

b. Hak Servitut (pengabdian pekarangan).

Pengabdian pekarangan ini adalah suatu beban yang diberikan kepada

pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi

kemanfaatan pekarangan milik orang lain (Pasal 674 KUH Perdata).

c. Hak Opstal.

Hak opstal ialah hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung,

bangunan-bangunan ataupun tanam-tanaman di atas pekarangan orang lain

(Pasal 711 KUH Perdata). Hak opstal ini lazim juga disebut hak numpang

karang, hak ini dapat dialihkan kepada orang lain dan dapat dijadikan

(34)

d. Hak Erpacht.

Hak erpacht ini adalah hak usaha /hak kebendaan untuk menikmati hasil

dari sebidang tanah milik orang lain secara seluas-luasnya, dengan

kewajiban membayar setiap tahun sejumlah hasil bumi atau sejumlah uang

kepada pemilik tanah selaku pengakuan hak eigendom pemilik itu (Pasal

720 KUH Perdata).

e. Hak Memungut Hasil.

Hak memungut hasil ini adalah hak kebendaan dengan mana seorang

diperbolehkan menarik segala hasil-hasil dari sesuatu kebendaan milik

orang lain, seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan itu dan dengan

kewajiban memelihara sebaik-baiknya (Pasal 756 KUH Perdata).

f. Hak Pakai dan Hak mendiami.

Hak pakai dapat kita lihat di dalam Pasal 818 KUH Perdata, dikatakan

bahwa hak pakai adalah suatu hak kebendaan dengan memelihara sifat dan

bentuknya serta selaras dengan maksudnya dan mengambil hasil-hasil jika

ada untuk kebutuhan sendiri atau keluarganya.

Melihat uraian di atas nyata bahwa hanyalah si pemakai sendiri beserta

keluarganya yang mempunyai hak untuk menikmati hasil dari bendanya,

sedangkan orang lain sama sekali tidak boleh turut memungut hasilnya.

Sebagai kewajiban-kewajiban si pemakai hak disebutkan oleh Pasal 819

KUH Perdata adalah seperti berikut :

1) Mengadakan jaminan memakai barang sebaik-baiknya,

(35)

3) Memelihara barangnya seperti seorang kepala rumah tangga yang baik

(als goed huisvader).

4) Mengembalikan barangnya itu pada waktu berakhirnya hak memakai.

g. Bunga Tanah.

Yang dinamakan bunga tanah ialah suatu beban utang untuk dibayar baik

dengan uang, maupun dengan hasil bumi beban mana diikatkan oleh

seorang pembeli tanah pada tanah miliknya atau diperjanjikannya demi

kepentingan diri sendiri atau kepentingan pihak ketiga, tatkala itu dijual atau

dihibahkannya (Pasal 737 KUH Perdata).

h. Hak Hypotheek (Hipotik).

Hak hipotik adalah suatu hak kebendaan atas barang-barang tak bergerak,

yang dimaksudkan sebagai jaminan pembayaran kembali dari suatu hutang

dengan pendapatan penjualan barang tak bergerak itu (Pasal 1162 KUH

Perdata).

3. Hak Atas Tanah Menurut UU No. 5 Tahun 1960

Adapun hak-hak atas tanah yang diatur dalam pasal 16 UUPA yang

dapat diberikan kepada rakyat oleh negara ialah :

a. Hak milik.

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dijumpai oleh orang atas tanah dengan mengingat pasal 6 UUPA.

Terkuat dan terpenuh yang dimaksud disini adalah hak milik itu bukan

berarti merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak bisa diganggu

(36)

dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai dan lain sebagainya.

Walaupun sifatnya yang paling kuat dimiliki oleh seseorang, tetap terikat

pada ketentuan pasal 6 UUPA, yaitu tanah harus berfungsi sosial, artinya

bila kepentingan umum menghendaki, maka kepentingan pribadi harus

dikorbankan (tentu dengan jalan ganti kerugian yang layak).

b. Hak Guna Usaha.

Untuk hak ini merupakan hak yang baru diciptakan dalam Undang-Undang

Pokok Agraria, jadi tidak seperti hak milik yang telah dikenal sudah sejak

jaman dahulu kala sebab hak guna usaha dan hak guna bangunan semula

tidak dikenal oleh masyarakat kita sebab tidak ada persamaannya dalam

hukum adat dan kedua hak di atas itu untuk memenuhi keperluan

masyarakat moderen dewasa ini.

Yang dimaksud dengan hak guna usaha tercantum dalam pasal 28 ayat (1)

Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi : " Hak Guna Usaha adalah

hak untukmengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka

waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, dan dipergunakan oleh

perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

c. Hak Guna Bangunan.

Yang dimaksud dengan hak guna bangunan tercantum dalam pasal 35 ayat

(1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi :

(1)Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

(37)

jangka waktu paling lama 30 tahun.

(2)Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta

keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1)

dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun.

d. Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang

memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa

atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan

dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 41

Undang-Undang Pokok Agraria).

Dengan demikian hak ini merupakan hak tata tanah, baik tanah pertanahan

maupun tanah bangunan yang dapat diberikan pemerintah dan juga oleh

pemilik tanah, hak pakai ini tidak seperti hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan yang dapat digunakan atau dijadikan jaminan untuk hipotik

dan credietverband tetapi hak pakai ini dapat dijadikan jaminan untuk utang

karena mempunyai nilai ekonomi juga dapat dipindah tangankan.

e. Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan termasuk kepada hak yang bersifat sementara juga disebut

hak lainnya.

(38)

dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang lain.

Maka yang dimaksud dengan hak pengelolaan ialah hak khusus untuk

perusahaan-perusahaan milik pemerintah guna menyelenggarakan usaha

industrial estate, pembangunan perumahan dan perusahaan tanah pada

umumnya.

Untuk pemberiannya tidak disertai dengan penentuan jangka waktu yang

artinya tanah yang bersangkutan boleh dikuasai dan digunakan terus selama

masih diperlukan.

Dalam pembahasan ini selanjutnya perlu juga dilakukan pembahasan

tentang azas horizontal atau vertikal yang dianut oleh Undang-Undang Pokok

Agraria.

Hukum adat mengenal pemisahan horizontal sejalan dengan hukum

adat, maka UUPA juga mengenal pemisahan horizontal tersebut.

“Sebagai akibat dari azas horizontal maka suatu hak atas tanah tidak dengan

sendiri meliputi benda-benda yang ada di atasnya, berarti jika hak atas tanah

tersebut dibebani dengan hak ajaminan, maka benda – benda di atas tanah tidak

dibebani”.10

Di dalam ketentuan-ketentuan UUPA tentang cara memperoleh hak

milik tidak terdapat aturan tentang accessie vertikal. Kesan yang diperoleh dari

keadaan ini ialah bahwa UUPA sama sekali tidak menganut azas accessie

vertikal.

10

(39)

Surat Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 8 Pebruari 1964 Unda

9/1/14 menginstruksikan kepada PPAT untuk jangan membuat akta

pemindahan hak atas tanah tanpa sekaligus mengalihkan hak

bangunan-bangunan yang ada di atasnya. Para notaris tidak dibenarkan membuat akta

pemindahan hak atas bangunan tanpa disertai pemindahan hak atas tanahnya.

Surat edaran Departemen Agraria tanggal 10 Desember 1966 No.

DPH/364/43/66 yang ditujukan kepada Inspeksi Agraria Sumatera Utara di

Medan menyebutkan bahwa sepanjang mengenai atanah yang belum mendapat

sertifikat tanah dapat dilakukan ajual beli rumah tanpa tanah.

Dari kedua surat ini dapat disimpulkan bahwa Pemerintah di dalam

praktek tetap melihat masih diperlukan axxessie vertikal untuk hak atas tanah

yang bersertifikat, sedangkan untuk hak atas tanah yang tidak bersertifikat dapat

dilakukan pemisahan horizontal itu.

C. Landasan Hukum Pengadaan Tanah

1. PMDN No. 15 Tahun 1975

Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 tidak dikenal adanya istilah pengadaan

tanah melainkan pembebasan tanah. Menurut pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15

Tahun 1975 yang dimaksud pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan

hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya

dengan cara memberikan ganti rugi. PMDN No. 15 Tahun 1975 juga mengatur

pelaksanaan atau tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dan

(40)

Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk panitia

pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam pasal 2 PMDN No. 15/1975 untuk

kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus pemerintah hanya mengawasi

pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara para pihak yaitu pihak yang

membutuhkan tanah dengan pihak yang mempunyai tanah.

2. Keppres No. 55 Tahun 1993

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55 Tahun 1993,

yang dimaksud dengan adalah kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat.

Ketentuan ini hanya untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1),

dinyatakan bahwa: “pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan

Keputusan Presiden ini dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan

selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan”

Sehingga menurut Keppres No.55/1993, kriteria kepentingan umum,

dibatasi:

1. Dilakukan oleh pemerintah,

2. Dimiliki oleh pemerintah,

3. Tidak untuk mencari keuntungan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa:

Kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain:

a. Jalan umum, saluran pembuangan air.

b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.

(41)

d. Pelabuhan atau Bandara atau Terminal. e. Peribadatan.

f. Pendidikan atau sekolahan. g. Pasar Umum atau Pasar INPRES. h. Fasilitas Pemakaman Umum.

i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar.

j. Pos dan Telekomunikasi. k. Sarana Olah Raga.

l. Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya. m. Kantor Pemerintah.

n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Menurut Pasal 13 Keppres No. 55/1993 bentuk ganti kerugian yang

diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk

pembanguan bagi kepentingan umum adalah :

a. Uang.

b. Tanah pengganti.

c. Pemukiman kembali.

d. Gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, huruf b dan huruf c.

e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Sedangkan dalam Pasal 14, penggantian terhadap tanah yang dikuasai

dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang

bemanfaat bagi masyarakat setempat.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah untuk

kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang

dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat (2) menyatakan

bahwa Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya

(42)

wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya dilakukan dengan bantuan Panitia

Pengadaan Tanah Tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya

sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan

Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Dalam Pasal 7 Keppres No.55/1993, susunan panitia pengadaan tanah

terdiri dari:

1. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua merangkap

anggota

2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua

merangkap anggota

3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai anggota

4. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

bangunan, sebagai anggota

5. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

pertanian, sebagai anggota.

6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di mana rencana dan

pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota

7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana

dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota

8. Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian

Pemerintahan pada Kantor Bupati Walikotamadya sebagai Sekretaris I bukan

(43)

9. Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai

Sekretaris II bukan anggota

Panitia pengadaan tanah tersebut di wilayah kabupaten/kotamadya,

dibentuk oleh Gubenur. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Permenag

Agraria/Kepala BPN No.1/1994.

Tugas Panitia Pengadaan Tanah di dalam Pasal 8 Keppres No.55/1993,

yaitu:

1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan

benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan

dilepaskan atau diserahkan

2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan

dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya

3. Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak

atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah

mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut

5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi

Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk

dan/atau besarnya ganti kerugian

6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para

pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada

di atas tanah

(44)

Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres No. 55/1993 menyatakan bahwa

cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu : pertama pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah; dan kedua jual-beli, tukar-menukar dan cara lain yang

disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.

Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela.

Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur

dalam Keppres No.55/1993, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan

tanah untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih

dari 1 (satu) hektar, dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum.

Menurut Pasal 6 ayat (1) Keppres No.55/1993 menyatakan bahwa:

“pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia

Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I”,

sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “panitia Pengadaan Tanah dibentuk di

setiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres No.55/1993, pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan

musyawarah, yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan

tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan.

Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan antar para

pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang telah

disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Keppres

(45)

Berdasarkan Permenag Agraria/Kepala BPN No.1/1994, tatacara

pengadaan tanah dalam penetapan lokasi pembangunan adalah sebagai berikut:

1. Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan

penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum kepada

Bupati/Walikotamadya melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/

Kotamadya setempat. Jika tanah yang diperlukan terletak di 2 (dua wilayah

kabupaten/kotamadya, atau di wilayah DKI Jakarta, maka permohonan

diajukan kepada Gubenur melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Propinsi. Dimana permohonan tersebut harus dilengkapi keterangan

mengenai:

a. Lokasi tanah yang diperlukan;

b. Luas dan gambar kasar tanah yang diperlukan;

c. Penggunaan tanah pada saat permohonan diajukan;

d. Uraian rencana proyek yang akan dibangun, disertai keterangan mengenai

aspek pembiayaan, lamanya pelaksanaan pembangunan.

2. Diadakan penelitian mengenai kesesuaian peruntukkan tanah yang dimohon

dengan rencana Tata Ruang Wilayah. Jika sudah sesuai, maka

Bupati/Walikotamadya atau Gubernur memberikan persetujuan penetapan

lokasi pembangunan.

3. Untuk pengadaan tanah yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar, setelah

diterimanya persetujuan penetapan lokasi pembangunan, maka instansi

pemerintah tersebut mengajukan permohonan pengadaan tanah kepada Panitia

(46)

4. Selanjutnya dilakukan pelaksanaan pengadaan tanah, yaitu:

a. Panitia bersama-sama instansi pemerintah tersebut memberikan

penyuluhan kepada masyarakat yang terkena lokasi pembangunan

mengenai maksud dan tujuan pembangunan agar masyarakat memahami

dan menerima pembangunan yang bersangkutan,

b. Panitia bersama-sama instansi pemerintah tersebut menetapkan batas

lokasi tanah yang terkena pembangunan, selanjutnya melakukan kegiatan

inventarisasi mengenai bidang-bidang tanah, termasuk bengunan, tanaman

dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan.

c. Panitia mengumumkan hasil inventarisasi.

3. Perpres No. 36 Tahun 2005

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden No. 36/2005,

yang dimaksud dengan adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.

Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam Keppres nomor

55/1993 yang mengatur tentang kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat.

Hal ini ada perbedaan yang menyolok, berarti yang dimaksud dengan

kepentingan umum bukan lagi untuk seluruh lapisan masyarakat tetapi hanya

sebagian lapisan masyarakat saja. Dan Perpres No.36/2005 tidak memberikan

kriteria tegas tentang batasan kepentingan umum seperti Keppres No.55/1993.

Di dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 36/2005 dinyatakan bahwa :

Kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain :

a. Jalan umum, saluran pembuangan air;

(47)

irigasi;

c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau Bandara atau Terminal;

e. Peribadatan;

f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES; h. Fasilitas Pemakaman Umum;

i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar;

j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana Olah Raga;

l. Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;

m. Kantor Pemerintah; pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan/atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;

n. Fasilitas Tenatar Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;

o. Lembaga Pemasyarkatan dan Rumah Tahanan; p. Rumah Susun Sederhana;

q. Tempat Pembuangan Sampah; r. Cagar Alam dan Cagar Budaya; s. Pertamanan;

t. Panti Sosial;

u. Pembangkit, Transmisi dan distribusi Listrik.

Menurut Pasal 13 ayat (1) Perpres No. 36/2005 bentuk ganti kerugian yang

diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk

pembangunan bagi kepentingan umum adalah :

a. Uang;

b. Tanah pengganti;

c. Pemukiman kembali;

Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “dalam hal pemegang hak atas

tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

maka dapat diberikan konpensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(48)

diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi

masyarakat setempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 14.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Perpres No. 36/2005 pengadaan tanah untuk

kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan Panitia

Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Khusus untuk Panitia

Pengadaan Tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh

Gubernur, sebagaimana diatur dalam ayat (2).

Kemudian untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau

lebih Kabupaten/Kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah

Propinsi yang dibentuk oleh Gubernur, sedangkan pengadaan tanah yang terletak

meliputi wilayah dua atau lebih propinsi dilakukan dengan bantuan Panitia

Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas

unsur pemeritah dan unsur pemeritah daerah terkait.

Untuk susunan keanggotaannya Panitia Pengadaan Tanah yang dimaksud

dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat terkait.

Dalam Pasal 7 Perpres No.36/2005, dinyatakan:

Panitia pengadaan tanah bertugas:

1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya

3. Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan

4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut

(49)

6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah

7. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

8. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.”

Dengan berlakunya Perpres No.36/2005 maka ada sedikit perbedaan dalam

tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum, meskipun pada dasarnya

sama dengan Keppres No.55/1993. Menurut Pasal 2 ayat (1) Perpres No. 36/2005

menyatakan bahwa:

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah

Daerah dilaksanakan dengan cara :

a. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau

b. Pencabutan hak atas tanah.

Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa : “Pengadaan tanah selain bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain

yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres No.36/2005

bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan

oleh Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan

atau penyerahan hak atas tanah; dan Pencabutan hak atas tanah. Sedangkan

pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta

maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati

(50)

Sebelum diterbitkan peraturan pelaksanaan dari Perpres No.36/2005, maka

tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih berlaku berdasarkan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.1/1994 tentang ketentuan

pelaksanaan Keppres No.55/1993.

4. Perpres No. 65 Tahun 2005

Perpres No.65/2006 tidak melakukan perubahan mengenai pengertian

kepentingan umum yang ada di dalam Perpres No.36/2005. Di dalam Pasal 5

Perpres No.65/2006 dinyatakan bahwa:

Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:

a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta pi, dan terminal;

d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

e. tempat pembuangan sampah; f. cagar alam dan cagar budaya;

g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.”

Menurut Pasal 13 Perpres No.65/2006, bentuk ganti kerugian yang

diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk

pembangunan bagi kepentingan umum adalah:

a. uang

b. tanah pengganti;

c. pemukiman kembali;

Referensi

Dokumen terkait

Wah, saya tak akan pernah membayangkan bahwa ada begitu banyak orang berambut merah di negeri ini kalau saja bukan karena iklan itu.. Warna merahnya memang macam-macam ada yang

Untuk mendapatkan informasi mengenai minat orang tua terhadap Vaksin MR setelah adanya putusan MUI, maka disini terdapat beberapa narasumber yang bersedia untuk

Satuan ini merupakan perangkat pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan dan sebagai garda atau barisan terdepan

Tiap kondisi alarm akan dimonitor pada Vacuum dan Sistem Air ( Contohnya; Status Pompa yang digunakan,Jadwal perawatan, Pengering Tak Berfungsi, dan Temperatur Tinggi. Sistem

Klaten Materi Pecahan Melalui bantuan alat peraga benda konkrit tahun 2010/2011” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan media pembelajaran alat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada RSUP Persahabatan Jakarta Timur selaku instansi yang terkait mengenai faktor -faktor yang berhubungan

Proses pengolahan data dengan menggunakan metode Fuzzy Time Series (FTS) Average Based sama dengan perlakuan pada metode FTS standar namun jumlah interval yang

Sedangkan pengertian pelabuhan (port) menurut Bambang Triatmodjo ( 1996) adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang, yang dilengkapi dengan fasilitas