HIGIENE SANITASI PEMBUATAN DAN ANALISIS KEBERADAAN TAWAS SERTA PENGAWASAN DAN DISTRIBUSI IKAN ASIN
KOTA SIBOLGA TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh :
NIM : 081000033 SRI WAHYUNI PASARIBU
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HIGIENE SANITASI PEMBUATAN DAN ANALISIS KEBERADAAN TAWAS SERTA PENGAWASAN DAN DISTRIBUSI IKAN ASIN
KOTA SIBOLGA TAHUN 2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
NIM. 081000033 SRI WAHYUNI PASARIBU
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judul :
HIGIENE SANITASI PEMBUATAN DAN ANALISIS KEBERADAAN TAWAS SERTA PENGAWASAN DAN DISTRIBUSI IKAN ASIN
KOTA SIBOLGA TAHUN 2012
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :
SRI WAHYUNI PASARIBU NIM. 081000033
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 10 Juli 2012 dan Dinyatakan
Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
Ir. Evi Naria, M.Kes
NIP.19680320 199303 2 001 NIP. 19491119 198701 1 001 Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH
Penguji II Penguji III
dr. Taufik Ashar, MKM
NIP.19780331 200312 1 001 NIP.19681101 199303 2 005 Ir, Indara Chahaya S, Msi
Medan, Juli 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
ABSTRAK
Ikan asin merupakan bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan garam dalam jumlah tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan daya simpan ikan. Selain itu produsen ikan asin juga menggunakan tawas yang memiliki fungsi yang sama dengan garam. Untuk 1 ton ikan penggunaan garam sebanyak 300 Kg dan tawas 50 Kg. Produsen ikan asin adalah orang yang menghasilkan ikan asin yang pada umumnya telah beproduksi 5-10 tahun dan mampu menghasilkan ikan asin 5-10 ton perbulan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui higiene sanitasi dan analisis keberadaan tawas serta pengawasan dan distribusi ikan asinyang diproduksi di Kota Sibolga.
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode survei untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi pembuatan ikan asin di Kota Sibolga. Selain itu penelitian ini juga menganalisis keberadaan tawas pada ikan asin dan melihat pengawasan dan distribusi ikan asin Kota Sibolga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada prinsip higiene sanitasi produsen ikan asin di Kota Sibolga tidak memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011 yaitu pada prinsip penyimpanan bahan baku, pengolahan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan dan penyajian ikan. Sedangkan pada prinsip pemilihan bahan baku sudah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011. Dari26 sampel ikan asin yang diperiksa di laboratorium ditemukan 10 sampel yang positif mengandung tawas.
Berdasarkan hasil tersebut, diharapkan produsen ikan asin meningkatkan higiene sanitasi dalam proses pembuatan ikan asin. Pengawasan lintas sektor juga perlu ditingkatkan, terutama Dinas Kesehatan Kota Sibolga mengenai higiene sanitasi makanansehingga dapat memenuhi syarat kesehatan.
ABSTRACT
Saltedfishwas afoodstuff made fromfishthatwere driedandpreserved
byaddingsalt,which aimedtoincrease fish’s durable time. Beside adding salt, the producersalsousedalumwhohas thesame function as salt. 1tonof fish has used saltas much as300 Kgand50Kgalum. Saltedfishproducerswerethose whoproducedsaltedfish, which generally has5-10 years in production andcould produce10tons ofdried fishper month.
This study aimed todetermine the hygiene sanitation, the analysis of alum presence control and the distribution ofsalted fish which produced inSibolga.
This study used asurveymethodtofinda hygienesanitation descriptioninsaltedfishmanufacture in Sibolga. In addition, this study also analyzed thepresence ofaluminsaltedfishandsaw thecontrol and distribution ofsalted fish in Sibolga.
The study results showedthatthehygienesanitationprinciples ofsaltedfishproducersinSibolgawere notqualified the requirements
accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011,namelytheprinciple of raw materials storage,
processing, foodstorage, transportationand fish presentation.Whileinraw
materialselectionprinciple was qualified the health requirements
accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011.From26samplesof salted fish, 10samples were found
positive foralum.
Based on the results, saltedfishproducerswere expected toimprove
thehygienesanitationin dried fish making process. Cross-sector
supervisionalsoneeded to improve, especially Health
DepartmentSibolgaonfoodhygienesanitationso that could qualifiy all the health requirements.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : SRI WAHYUNI PASARIBU
Tempat/tanggal lahir : Sibolga, 17 September 1990
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah
Jumlah bersaudara : 4 Orang
Alamat rumah : Jl. M. H. Samosir No. 14 Sibolga
Riwayat Pendidikan
Tahun 1996-2002 : SD No. 152977 Sarudik
Tahun 2002-2005 : SLTP Al-Muslimin Pandan
Tahun 2005-2008 : MA N. 1 Sibolga
Tahun 2008-2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
Riwayat Organisasi
1. Anggota Departemen Pergurua Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda HMI
Komisariat FKM USU Periode 2009-2010.
2. Anggota Departemen Keuangan dan Perlengkapan HMI Komisariat FKM
USU Periode 2009-2010.
3. Anggota Bidang Administrasi dan Kesekretariatan PHBI FKM USU Periode
2009-2010.
5. Bendahara Umum KOHATI FKM USU Periode 2010-2011.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segenap rasa syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT,
karena dengan limpahan karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Higiene Sanitasi Pembuatan dan Analisis Keberadaan Tawas Serta Pengawasan dan Distribusi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012” yang merupakan salah satu wujud persembahan penulis atas kesempatan yang diperoleh
selama ini di dalam proses pembelajaran.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Ali Nauli Pasaribu dan
Ibunda Nuriati Sitompul, S.Pd yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan
penuh kasih dan sayang dan tidak henti-hentinya memberikan dukungan, nasihat dan
doa kepada penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan yang penulis dapatkan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai
dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan sumbangan
pikiran dengan ikhlas untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada
3. Dr. Dr. Wirsal Hasan, MPH selaku dosen pembimbing II yang juga telah
meluangkan waktu dan sumbangan pikiran dengan ikhlas untuk memberikan
bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku dosen Penasehat Akademik yang
telah membimbing penulis selama melaksanakan perkuliahan di FKM USU.
5. Seluruh dosen dan staf pegawai FKM USU, khususnya departemen Kesehatan
Lingkungan.
6. Bapak Alhamra selaku Kepala Laboratorium Makanan Minuman Hasil
Pertanian (MMHP) Balai Riset Standarisasi Industri Medan yang telah banyak
membantu penulis dalam melaksanakn penelitian.
7. Drs. Firmansyah Hulu, Apt. M.Kes selaku Kepala Bidang Farmasi dan Alat
Kesehatan Dinask Kesehatan Kota Sibolga yang telah banyak membantu
penulis dalam melaksanakn penelitian.
8. dr. H. Emir Taris Pasaribu Sp.B (K) Onk dan Hj. Suciati Lubis selaku orang
tua penulis selama menjalani proses perkuliahan dan juga kepada seluruh
keluarga besar Pasaribu yang telah memberikan kasihsayang, perhatian dan
doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Untuk adik-adikku tersayang Yuni Syarah Pasaribu, Parlindungan Nauli
Pasaribu, Afrizar Nauli Pasaribu dan Fadhil yang telah memberikan doa, cinta
dan semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Kalian motivasi ku
untuk menjadi lebih baik.
10.Sahabat-sahabat terbaikku, Anak-Anak Tapanuli (Mpit, Lista, Syafni, Mba’
dan Zul yang telah memberikan saran, semangat, doa, perhatian dan
menemani hari-hari penulis sebagai pengalaman yang luar biasa dan tidak
akan terlupakan. Tak lupa kepada kakanda-kakanda ku, kak Ulfa, kak Juni,
kak Putri, kak Linda yang juga telah memberikan semangat dan doa buat
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.Keluarga besar HMI Komisariat FKM USU, Kohati FKM USU, Ex PHBI
FKM USU, dan adik-adik stambuk 2009-2010 yang telah memberikan warna
disetiap hari-hari penulis.
12.Teman-teman seperjuangan 2008 khususnya Peminatan Kesehatan
Lingkungan yang telah mengisi hari-hari penulis selama melaksanakn
perkuliahan.
13.Buat kak Juli, bu Lili dan pegawai perpustakan FKM USU yang juga menjadi
teman penulis dan memberikan doa, bantuan dan semangat.
14.Kepada semua pihak yang telah banyak terlibat dan membantu penulis selama
menjalankan aktivitas perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari tulisan dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan
sehingga membutuhkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhir kata,
penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juli 2012
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ... ii
Abstrak ... iii
Daftar Riwayat Hidup ... v
Kata Pengantar ... vi
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar ... xvi
Daftar Lampiran ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Higiene Sanitasi Makanan ... 7
2.1.1. Pengertian Higiene ... 7
2.1.2. Pengertian Sanitasi ... 7
2.1.3. Higiene Sanitasi Makanan ... 9
2.2. Prinsip Hgiene Sanitasi Makanan ... 10
2.2.1. Prinsip I : Pemilihan Bahan Baku Makanan ... 10
2.2.2. Prinsip II : Penyimpanan Bahan Baku Makanan ... 10
2.2.3. Prinsip III : Pengolahan Makanan ... 12
2.2.4. Prinsip IV : Penyimpanan Makanan jadi ... 12
2.2.5. Prinsip V : Pengangkutan Makanan ... 13
2.2.6. Prinsip VI : Penyajian Makanan ... 14
2.3. Metode Pengawetan Makanan ... 14
2.4. Ikan Asin ... 17
2.4.1. Definisi Ikan Asin ... 17
2.4.2. Tahap-Tahap Pembuatan Ikan Asin ... 17
2.5. HACCP ... 21
2.5.1. Analisis Bahaya pada Ikan Asin ... 24
2.5.2. Diagram HACCP Pembuatan Ikan Asin ... 26
2.6. Bahan Tambahan Makanan ... 27
2.6.1. Definisi Bahan Tambahan Makanan ... 27
2.6.3. Jenis Bahan Tambahan yang Tidak Diizinkan ... 30
2.6.4. Bahan Pengawet ... 31
2.6.5. Dampak Penggunaan Bahan Pengawet yang Tidak Diizinkan Terhadap Kesehatan ... 34
2.7. Tawas ... 35
2.7.1. Karakteristik Tawas ... 35
2.7.2. Fungsi dan Kegunaan Tawas ... 37
2.7.3. Mekanisme Toksisitas Tawas ... 39
2.7.4. Mengurangi Tawas pada Makanan ... 42
2.8. Kerangka Konsep ... 44
BAB III METODE PENELITIAN ... 45
3.1. Jenis Penelitian ... 45
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 45
3.2.2. Waktu Penelitian ... 46
3.3. Populasi dan Sampel ... 46
3.3.1. Populasi ... 46
3.3.2. Sampel ... 46
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 47
3.4.1. Data Primer ... 47
3.4.2. Data Sekunder ... 47
3.5. Pelaksanaan Penelitian ... 47
3.5.1. Pengambian Sampel dan Pengiriman ke Laboratorium ... 47
3.5.2. Cara Pemeriksaan Tawas pada Ikan Asin dengan Metode Reaksi Pengendapan ... 48
3.5.3. Cara Pemeriksaan Tawaspada Ikan Asin dengan Metode EDTA ... 49
3.6. Definisi Operasional ... 51
3.7. Aspek Pengukuran ... 53
3.8. Analisa Data ... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 55
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55
4.1.1. Geografi ... 55
4.1.2. Demografi ... 56
4.2. Hasil Penelitian ... 56
4.2.1. Karakteristik Produsen Ikan Asin ... 57
4.2.2. Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pada Produsen Ikan Asin ... 58
4.2.3. Penggunaan Tawas Pada Proses Pembuatan Ikan Asin ... 66
4.2.4. Pengetahuan Produsen Tentang Pemakaian Tawas pada Ikan Asin ... 68
4.2.5. Hasil Pemeriksaan Keberadaan Tawas Pada Ikan Asin ... 66
4.2.7. Pengawasan Dinas Kesehatan Kota Sibolga Terhadap Tempat Produksi dan Hasil Produksi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun
2012 ... 68
BAB V PEMBAHASAN ... 70
5.1. Karakteristik Produsen Ikan Asin ... 70
5.2. Observasi Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pembuatan Ikan Asin ... 72
5.2.1. Pemilihan Bahan Baku Ikan Asin ... 72
5.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Ikan Asin ... 73
5.2.3. Pengolahan Bahan Baku Ikan Asin ... 74
5.2.4. Penyimpanan Ikan Asin Sudah Jadi ... 77
5.2.5. Pengangkutan Ikan Asin ... 77
52.6. Penyajian Ikan Asin ... 78
5.3. Gambaran Higiena Sanitasi Pembuatan Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012 ... 79
5.4. Pemakaian dan Keberadaan Tawas Pada Proses Pembuatan Ikan Asin ... 80
5.5. Daerah Tujuan Distribusi Ikan Asin Kota Sibolga ... 84
5.8. Pengawasan Dinas Kesehatan Kota Sibolga Terhadap Tempat Produksi dan Hasil Produksi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012 ... 85
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 88
6.1. Kesimpulan ... 88
6.2. Saran ... 89
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Persyaratan Mutu Aluminium Sulfat ... 36
4.1. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Umur Produsen Di Kota Sibolga
Tahun 2012 ... 57
4.2. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Kota
Sibolga Tahun 2012 ... 57
4.3. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Lama Usaha Di Kota Sibolga
Tahun 2012 ... 57
4.4. Distribusi Produsen Ikan Asin yang Pernah Mendapat Pelatihan Di Kota
Sibolga Tahun 2012 ... 58
4.5. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Jumlah Produksi/bulan Di Kota
Sibolga Tahun 2012 ... 58
4.6. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pemilihan Bahan Baku Ikan Asin
Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 59
4.7. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Penyimpanan Bahan Baku Ikan
Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 60
4.8. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pengolahan Bahan Baku Ikan
Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 61
4.9. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Penyimpanan Ikan Asin Yang
4.10. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pengangkutan Ikan Asin Di Kota
Sibolga Tahun 2012 ... 63
4.11. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Penyajian Ikan Asin Di Kota
Sibolga Tahun 2012 ... 64
4.12. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pemakaian Tawas Pada Proses
Pembuatan Ikan Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 65
4.13. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pengetahuan Produsen Tentang
Pemakaian Tawas Pada Ikan Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 66
4.14. Hasil Pemeriksaan Keberadaan Tawas Pada Ikan Asin Kota Sibolga Tahun
2012 ... 67
4.15. Hasil Pemeriksaan Kadar Tawas Pada Ikan Asin Kota
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Skema Pembuatan Ikan Asin ... 21
Gambar 2.2. HACCP Pembuatan Ikan Asin ... 26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Observasi Higiene Sanitasi Pembuatan Ikan Asin
di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 90
Lampiran 2. Lembar Kuesioner Pembuatan Ikan Asin di Kota Sibolga
Tahun 2012 ... 93
Lampiran 3. Lembar Wawancara Pengawasan ... 96
Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU ... 97
Lampiran 5. Surat Keteragan Selesai Penelitian dari Balai Riset Standarisasi Industri
Medan ... 99
Lampiran 6. Hasil Analisa Laboratorium Tawas Pada Ikan Asin
Kota Sibolga Tahun 2012 ... 100
Lampiran 7. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/PER/IX/1988
Tentang Bahan Tambahan Makanan ... 101
Lampiran 8. Standar Nasional Indonesia No. 0032 Tahun 2011 ... 107
Lampiran 9. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Menkes/SK/VI/2011
Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga ... 109
Lampiran 10.Analisa Data Statistik Tentang Higiene Sanitasi dan Penggunaan Tawas
Pada Proses Pembuatan Ikan Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 117
ABSTRAK
Ikan asin merupakan bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan garam dalam jumlah tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan daya simpan ikan. Selain itu produsen ikan asin juga menggunakan tawas yang memiliki fungsi yang sama dengan garam. Untuk 1 ton ikan penggunaan garam sebanyak 300 Kg dan tawas 50 Kg. Produsen ikan asin adalah orang yang menghasilkan ikan asin yang pada umumnya telah beproduksi 5-10 tahun dan mampu menghasilkan ikan asin 5-10 ton perbulan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui higiene sanitasi dan analisis keberadaan tawas serta pengawasan dan distribusi ikan asinyang diproduksi di Kota Sibolga.
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode survei untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi pembuatan ikan asin di Kota Sibolga. Selain itu penelitian ini juga menganalisis keberadaan tawas pada ikan asin dan melihat pengawasan dan distribusi ikan asin Kota Sibolga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada prinsip higiene sanitasi produsen ikan asin di Kota Sibolga tidak memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011 yaitu pada prinsip penyimpanan bahan baku, pengolahan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan dan penyajian ikan. Sedangkan pada prinsip pemilihan bahan baku sudah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011. Dari26 sampel ikan asin yang diperiksa di laboratorium ditemukan 10 sampel yang positif mengandung tawas.
Berdasarkan hasil tersebut, diharapkan produsen ikan asin meningkatkan higiene sanitasi dalam proses pembuatan ikan asin. Pengawasan lintas sektor juga perlu ditingkatkan, terutama Dinas Kesehatan Kota Sibolga mengenai higiene sanitasi makanansehingga dapat memenuhi syarat kesehatan.
ABSTRACT
Saltedfishwas afoodstuff made fromfishthatwere driedandpreserved
byaddingsalt,which aimedtoincrease fish’s durable time. Beside adding salt, the producersalsousedalumwhohas thesame function as salt. 1tonof fish has used saltas much as300 Kgand50Kgalum. Saltedfishproducerswerethose whoproducedsaltedfish, which generally has5-10 years in production andcould produce10tons ofdried fishper month.
This study aimed todetermine the hygiene sanitation, the analysis of alum presence control and the distribution ofsalted fish which produced inSibolga.
This study used asurveymethodtofinda hygienesanitation descriptioninsaltedfishmanufacture in Sibolga. In addition, this study also analyzed thepresence ofaluminsaltedfishandsaw thecontrol and distribution ofsalted fish in Sibolga.
The study results showedthatthehygienesanitationprinciples ofsaltedfishproducersinSibolgawere notqualified the requirements
accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011,namelytheprinciple of raw materials storage,
processing, foodstorage, transportationand fish presentation.Whileinraw
materialselectionprinciple was qualified the health requirements
accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011.From26samplesof salted fish, 10samples were found
positive foralum.
Based on the results, saltedfishproducerswere expected toimprove
thehygienesanitationin dried fish making process. Cross-sector
supervisionalsoneeded to improve, especially Health
DepartmentSibolgaonfoodhygienesanitationso that could qualifiy all the health requirements.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam dan tersedia cukup merupakan
persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem
pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin
berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (UU RI No. 7
Tahun 1996).
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004, pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang
tidakdiolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau
minuman.
Berdasarkan definisi dari WHO(Chandra, 2007), makanan adalah semua
substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air dan obat-obatan. Makanan
merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Menurut
Notoadmojo (2003) ada tiga fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia, yaitu
untuk pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak,
sumber energi dan mengatur metabolisme dan keseimbangan air, mineral dan cairan
tubuh lainnya (Mulia, 2005).
Menurut Chandra (2007) adakalanya makanan yang dikonsumsi menjadi
suatu makanan menjadi berbahaya bagi kesehatan manusia, antara lain kontaminasi
yang disebabkan oleh parasit, mikroorganisme, zat kimia, bahan-bahan radioaktif,
dan toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Dan makanan yang pada dasarnya
telah mengandung zat berbahaya. Untuk mencegah kontaminasi makanan dengan
zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan diperlukan penerapan higiene dan
sanitasi makanan (Sumantri, 2010).
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak
dikonsumsimasyarakat, mudah didapat, dan harganya yang murah. Ikan juga
memiliki manfaat bagi manusia di antaranya sebagai sumber energi, membantu
pertumbuhan dan pemeliharan tubuh, memperkuat daya tahan tubuh, juga
memperlancar proses fisiologis dalam tubuh. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata
daging ikan terdiri atas air (60-84%), protein (18-30%), lemak (0,1-2,2%),
karbohidrat (0,0-1%), dan vitamin dan mineral. Kebutuhan setiap manusia akan
protein hewani sangat bervariasi, tergantung pada umur, jenis kelamin dan aktivitas
(Adawyah, 2008).
Menurut Adawyah (2008) selain kelebihan yang dimiliki ikan, ikan juga
memiliki kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi pada daging ikan (80%), pH
tubuh ikan yang mendekati normal, dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh
enzim autolosis yang menyebabkan daging menjadi lunak, sehingga menjadi media
yang baik untuk perkembangbiakan bakteri pembusuk. Oleh karena itu, diperlukan
proses pengolahan untuk menambah nilai gizi, rasa, bentuk/struktur maupun daya
tahan ikan. Salah satu cara untuk memperpanjang daya awet ikan adalah dengan
nasional, ikan asin merupakan salah satu produk perikanan yang mempunyai
kedudukan penting, hampir 65% produk perikanan masih diolah dan diawetkan
dengan cara penggaraman.
Penggunaan tawas pada makanan digunakan sebagai bahan pemutih, terutama
pada ikan asin. Tujuannya agar ikan asin terlihat putih bersih, sehingga dapat
meningkatkan nilai jual. Dimana ciri-ciri ikan asin yang memakai tawas yaitu ikan
asin tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu 25ºC, bersih cerah dan tidak
berbau khas ikan asin, tidak dihinggapi lalat dan daging ikan terlihat kompak dan
tidak mudah hancur (Nurrahman, 2002).
Dampak asupan tawas dalam jangka panjang bagi kesehatan akan
mengakibatkan kerusakan organ detoksifikasi hati dan ginjal, dikarenakan tawas itu
sendiri mengandung unsur logam yang akan dapat merusak fungsi hati dan ginjal
manusia (Haribi, 2009).
Sibolga merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi utama
perekonomian yang bersumber dari perikanan.Produksi ikan hasil laut Sibolga
mengalami peningkatan sebesar 27,50% dari tahunsebelumnya yaitu 40.956,06
tonditahun 2008 menjadi 52.217,67 ton ditahun 2009 (Dinas Perikanan Kota
Sibolga/Fishery Office of Sibolga).
Hasil perikanan dari Sibolga ini selain dikonsumsi oleh masyarakat di
Provinsi Sumatera Utara juga dikirim ke beberapa kota baik di Sumatera dan juga
Jawa. Hasil perikanan yang dikirim ke luar daerah berupa pengasinan.Pengolahan
Produk perikanan Kota Sibolga, baik dalam bentuk ikan segar maupun ikan olahan
memiliki peranan yang sangat besar dalam memajukan perekonomian daerah.
Berdasarkan survei awal, ikan asin yang diproduksi dibeberapa tempat
produksi ikan asin di Sibolga secara kualitas dapat bertahan lama hingga bisa
bertahan dalam waktu 1 bulan, kondisi fisik ikan juga putih bersih sehingga tidak
banyak lalat yang menghinggapinya, dan daging ikan tidak mudah hancur . Hal ini
tidak sesuai dengan kondisi ikan asin yang seharusnya, dimana kondisi ikan asin yang
seharusnya hanya bisa bertahan kurang dari satu bulan pada suhu 25˚C, banyak
dihinggapi lalat, daging ikan mudah hancur dan kondisi fisik tidak putih bersih
(Widyaningsih, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan terhadap higiene
dan sanitasi pembuatan ikan asin oleh instansi terkait dan juga pemeriksaan terhadap
hasil produksi ikan asin dibeberapa tempat produksi ikan asin di tanah air, salah
satunya adalah di Kota Sibolga yang merupakan daerah dengan tingkat produksi ikan
asin yang cukup tinggi dan cakupan distribusi/pemasarannya juga cukup luas.
1.2. Perumusan Masalah
Ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan asin di Sibolga
secara kualitas tidak rusak dalam waktu 1 bulan, kondisi fisik ikan juga putih bersih
sehingga tidak banyak lalat yang menghinggapinya, dan daging ikan tidak mudah
hancur. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi ikan asin yang seharusnya, dimana
kondisi ikan asin yang seharusnya banyak dihinggapi lalat, kondisi fisik ikan tidak
putih bersih melainkan berwarna kekuning-kuningan, hanya bisa bertahan kurang dari
perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran higiene sanitasi pembutan ikan asin
dan analisa keberadaan tawas pada ikan asin di Kota Sibolga.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui higiene sanitasi pembuatan dan analisis keberadaantawas
serta pengawasan dan distribusi ikan asin Kota Sibolga tahun 2012.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik produsen ikan asin di Kota Sibolga.
2. Untuk mengetahui higiene sanitasi pembuatan ikan asin di Kota Sibolga.
3. Untuk mengetahui pemakaian tawas pada ikan asin di Kota Sibolga.
4. Untuk mengetahui pengetahuan produsen ikan asin tentang pemakaian tawas
pada ikan asin
5. Untuk mengetahui keberadaan tawas pada ikan asin di Kota Sibolga.
6. Untuk mengetahui distribusi ikan asin Kota Sibolga
7. Untuk mengetahui pengawasan Dinas Kesehatan Kota Sibolga terhadap
tempat-tempat produksi ikan asin dan hasil produksinya.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi produsen ikan asin di Kota Sibolga berhubungan
dengan higiene sanitasi pembuatan ikan asin yang sesuai dengan Permenkes
RI No. 1096/MENKES/PER/VI/2011.
2. Memberikan informasi kepada produsen mengenai dampak penggunaan bahan
3. Sebagai informasi bagi konsumen untuk mengetahui keamanan
mengkonsumsi ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan
asin di Kota Sibolga.
4. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan memperluaspengetahuan tentang
penggunaan bahan tambahan makanan yang sesuai dengan Permenkes
722/Menkes/Per/IX/1988.
5. Memberi informasi dan bahan masukan bagi Dinas Kesehatan danBadan
POM dalam hal program pengawasan makanan tentang keberadaa tawas pada
ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan asin di Kota
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Higiene Sanitasi Makanan 2.1.1. Pengertian Higiene
Menurut Depkes (2004) higiene adalah upaya kesehatan dengan cara
memelihara dan melindungi kebersihan individu subjeknya seperti mencuci tangan
dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring
untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk
melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan.
Sedangkan menurut Widiyati (2002) Higiene adalah usaha pencegahan
penyakit yang menitikberatkan pada kesehatan perorangan atau manusia beserta
lingkungan.
2.1.2. Pengertian Sanitasi
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi
kebersihan lingkungan dari subjeknya. Misalnya, menyediakan air yang bersih untuk
keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah
agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).
Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitikberatkan
pada kegiatan dan tindakan yang diperlukan untuk membebaskan makanan dan
sebelum diproduksi, proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada
saat makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. Selain itu
sanitasi makanan bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian makanan dan
untuk menyelamatkan makanan agar tetap bersih, sehat dan aman (Sumantri, 2010).
Menurut Chandra (2006) sanitasi makanan merupakan upaya-upaya yang
ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya
keracunan dan penyakit pada manusia, dengan demikian, tujuan upaya sanitasi
makanan, antara lain :
a. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan.
b. Mencegah penularan wabah penyakit.
c. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat.
d. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan.
Menurut Mulia (2005), sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan oleh
tiga faktor yaitu :
a. Faktor fisik terkait dengan kondisi ruangan yang tidak mendukung
pengamanan makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik dan
temperatur udara yang panas dan lembab. Untuk menghindari kerusakan
makanan yang disebabkan oleh faktor fisik, maka perlu diperhatikan
susunan dan konstruksi dapur serta tempat penyimpanan makanan.
b. Faktor kimia terkait karena adanya zat-zat kimia yang digunakan unutk
mempertahankan kesegaran bahan makanan.
c. Faktor mikrobiologi terkait karena adanya bakteri perusak makanan yang
2.1.3. Higiene Sanitasi Makanan
Ditinjau dari ilmu kesehatan lingkungan istilah higiene dan sanitasi
mempunyai tujuan yang sama yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lain, yaitu mengupayakan cara hidup sehat sehingga terhindar dari penyakit. Tetapi
dalam penerapannya memiliki arti yang berbeda, usaha sanitasi menitikberatkan pada
faktor-faktor lingkungan hidup manusia, sedangkan higiene lebih menitikberatkan
pada individu (Sumantri, 2010).
Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang,
tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit
atau gangguan kesehatan. Persyaratan higiene sanitasi adalah ketentuan-ketentuan
teknis yang ditetapkan terhadap produk makan dan restoran, personal dan
perlengkapannya yang meliputi persyaratan bakteriologis, kimia dan fisika (Depkes,
2003).
Dalam upaya higiene dan sanitasi makanan terdapat beberapa tahapan yang
harus diperhatikan (Chandra, 2006) :
a. Keamanan dan kebersihan produk makanan yang diproduksi.
b. Kebersihan individu dalam pengolahan produk makanan.
c. Keamanan terhadap penyediaan air.
d. Pengolahan pembuangan air limbah dan kotoran.
e. Perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama proses pengolahan,
f. Pencucian dan pembersihan alat perlengkapan.
2.2. Prinsip Higiene Sanitasi Makanan
Prinsip higiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat faktor
yaitu tempat/bangunan, peralatan, orang dan bahan makanan. Terdapat 6 (enam)
prinsip higiene sanitasi makanan yaitu (Depkes, 2004) :
2.2.1. Prinsip I : Pemilihan Bahan Baku Makanan
Bahan makanan mentah atau baku merupakan dasar untuk dapat
menghasilkan makanan yang baik. Oleh karena itu bahan makanan harus diamankan
dari terjadinya kerusakan seperti pecah atau busuk serta terjadinya pencemaran dari
asal bahan atau dari lingkungan. Pilihlah bahan makanan yang masih segar, masih
utuh, tidak retak atau pecah, dan bebas dari pencemaran, terutama makanan yang
cepat membusuk seperti daging, ikan, telur dan susu. Kualitas bahan baku makanan
yang baik dapat dilihat melalui ciri-ciri fisik dan mutunya dam hal bentuk, warna,
kesegaran, bau, dll.
2.2.2. Prinsip II : Penyimpanan Bahan Baku Makanan
Bahan makanan yang digunakan dalam proses produksi baik bahan baku,
bahan tambahan maupun bahan penolong, harus disimpan dengan cara penyimpanan
yang baik karena kesalahan dalam penyimpanan dapat berakibat penurunan mutu dan
keamanan makanan (Depkes, 2004).
Penyimpanan bahan baku makanan bertujuan untuk mencegah bahan makanan
makanan, atau diletakkan begitu saja, tergantung dari jenis bahan makanan itu
sendiri.
Menurut Sumantri (2010) cara penyimpanan bahan makanan yang memenuhi
syarat higiene sanitasi makanan adalah :
a. Penyimpanan harus dilakukan ditempat khusus (gudang) yang bersih dan
memenuhi syarat.
b. Barang-barang disusun dengan baik sehingga mudah diambil, tidak memberi
kesempatan serangga atau tikus untuk bersarang, terhindar dari lalat atau tikus
dan untuk produk yang mudah busuk atau rusak agar disimpan pada suhu
yang dingin.
Syarat-syarat penyimpaan bahan makanan menurut Depkes RI (2003), yaitu :
1. Penyimpanan bahan mentah dengan suhu tertentu
a. Ketebalan dan bahan padat tidak lebih dari 10 cm
b. Kelembaban penyimpanan dalam ruangan : 80-90%
2. Penyimpanan makanan terolah, makanan tertutup sebaiknya disimpan dalam
suhu 10˚C
3. Penyimpanan makanan jadi
a. Terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan
lainnya.
b. Makanan cepat busuk disimpan dalam suhu 4˚C.
c. Makanan cepat busuk untuk penggunaan dalam waktu lama (lebih dari 6
4. Bila bahan makanan disimpan di gudang, cara penyimpanannya tidak
menempel pada lantai, dinding atau langit-langit dengan ketentuan sebagai
berikut :
- Jarak makanan dengan lantai : 15 cm
- Jarak makanan dengan dinding : 5 cm
- Jarak makanan dengan langit-langit : 60 cm
5. Tidak tercampur antara makanan siap untuk dimakan dengan bahan makanan
mentah. Bahan makanan disimpan dalam aturan sejenis, disusun dalam
rak-rak sehingga tidak mengakibatkan rusaknya bahan makanan. Bahan makanan
yang masuk lebih dahulu merupakan yang pertama keluar, sedangkan bahan
makanan yang masuknya belakangan terakhir dikeluarkan atau disebut dengan
sistem FIFO.
2.2.3. Prinsip III : Pengolahan Makanan
Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah
menjadi makanan siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti
prinsip-prinsip higiene sanitasi (Depkes, 2004).
Tujuan pengolahan makanan agar tercipta makanan yang memenuhi syarat
kesehatan, mempunyai cita rasa yang sesuai serta mempunyai bentuk yang
merngundang selera. Dalam proses pengolahan makanan harus memenuhi
persyaratan kesehatan higiene sanitasi terutama menjaga kebersihan peralatan yang
digunakan, tempat pengolahan serta kebersihan penjamah makanan.
Penyimpanan makanan merupakan akhir dari proses pengolahan makanan,
sehingga harus terhindar dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan.
Hal-hal yang diperhatikan dalam menyimpan makanan :
a. Makanan yang disimpan harus diberi tutup
b. Tersedia tempat khusus untuk menyimpan makanan
c. Makanan tidak boleh disimpan dekat dengan saluran air
d. Apabila disimpan di ruangan terbuka hendaknya tidak lebih dari 6 jam dan di
tutup agar terhindar dari serangga dan binatang lain.
e. Lemari penyimpanan sebaiknya tertutup dan tidak berada tanpa kaki
penyangga atau di pojok ruangan agar tidak mudah dijangkau oleh tikus,
kecoa, dan hewan lainnya.
2.2.5. Prinsip V : Pengangkutan Makanan
Pengangkutan makanan yang sehat akan sangat berperan didalam mencegah
terjadinya pencemaran makanan. Pengangkutan makanan tergantung jenis bahan
makanan yang akan diangkut yang memeiliki dua tujuan, yaitu agar bahan makan
tidak sampai tercemar oleh zat-zat yang membahayakan dan agar bahan makanan
tidak sampai rusak. Pencemaran makanan masak lebih tinggi risikonya dari pada
pencemaran bahan makanan. Dalam proses pengangkutan makanan banyak pihak
yang terkait mulai dari persiapan, pewadahan, orang, suhu dan kenderaan
pengangkutan itu sendiri.
1. Wadah yang dipergunakan harus baik, permukaan masih utuh dan memadai
ukurannya dengan makanan yang diisikan dan tidak terlampau penuh.
Sehingga makanan tidak mudah tumpah atau sulit menutupnya.
2. Setiap wadah makanan harus ditutup dengan baik dan tidak dibuka selama
pengangkutan dan persiapan pengangkutannya.
3. Pengangkutan makanan yang melewati daerah kotor harus dihindari.
4. Kenderaan untuk mengangkut makanan tidak dipergunakan untuk
mengangkut keperluan lainnya.
2.2.6. Prinsip VI : Penyajian Makanan
Proses terakhir adalah penjualan/penyajian makanan. Teknik penyajian
makanan untuk konsumen memiliki berbagai cara, asalkan sesuai dengan higiene
sanitasi yang baik. Penggunaan pembungkus seperti plastik, kertas atau box plastik
harus dalam keadaan bersih dan tidak berasal dari bahan-bahan yang dapat
menimbulkan racun. Makanan disajikan pada tempat yang bersih, menggunakan
peralatan yang bersih, penyaji makanan berpakain bersih, menggunakan penutup
kepala, tangan penyaji tidak boleh kontak lansung dengan makanan yang disajikan.
2.3. Metode Pengawetan Makanan
Menurut Mukono (2006), ada beberapa macam pengawetan yang dikenal,
yaitu :
a. Cold storage, membekukan bahan makanan. Untuk ini bahan makanan
diletakkan dalam ruangan dengan suhu antara -10˚C-0˚C. Bahan makanan
yang dibekukan biasanya daging atau ikan.
b. Freeze, menempatkan bahan makanan dalam ruangan dengan suhu 0˚C,
yang biasanya dilakukan pada susu, keju, dan mentega.
c. Cool storage, menempatkan bahan makanan dalam ruangan dengan suhu
tertentu, misalnya untuk telur antara (10˚C -15˚C), buah-buahan (15˚C
-20˚C), serta makanan dalam kaleng (20˚C).
2. Mengasinkan
Penggasinan/penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak
dilakukan diberbagai negara, termasuk Indonesia. Proses tersebut
menggunakan garam sebagai media pengawet, baik yang berbentuk kristal
maupun larutan. Penggaraman dilakukan untuk menarik air dari jaringan
daging ikan sehingga protein daging akan menggumpal dan sel daging ikan
akan mengerut. Selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam kedalam
tubuh ikan dan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan karena adanya
perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapat melarutkan kristal
garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan
dari dalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan. Lama
kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan semakin lambat
dengan menurunnya konsentrasi garam dalam tubuh ikan. Bahkan dapat
cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan protein serta pengerutan
sel-sel tubuh ikan, sehingga sifat dagingnya berubah (Adawyah, 2008).
Penambahan garam tersebut bertujuan untuk mendapatkan kondisi
tertentu yang memungkinkan enzim atau mikroorganisme yang tahan garam
(halotoleran) beraksi menghasilkan produk makanan dengan karakteristik
tertentu.
Kadar garam yang tinggi menyebabkan mikroorganisme yang tidak tahan
garam akan mati. Kondisi selektif ini memungkinkan mikroorganisme yang
tahan garam dapat tumbuh. Pada kondisi tertentu, penambahan garam
berfungsi sebagai pengawet, karena kadar garam yang tinggi menghasilkan
tekanan osmotik yang tinggi dan aktivitas air yang rendah. Kondisi ekstrem
ini akan menyebabkan kebanyakan mikroorganisme tidak dapat hidup
(Estiasih, 2009).
Ikan yang telah mengalami proses penggaraman, akan mempunyai daya
simpan tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau menghentikan
reaksi autolisis (pemecahan sendiri) dan membunuh bakteri yang terdapat
dalam tubuh ikan.
3. Mengeringkan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang
dikandung melalaui penggunaan energi panas dari sumber alami (matahari)
hingga batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di
dalamnya (Winarno, 1993).
Menurut Estiasih (2009), pengeringan merupakan metode pengawetan
dengan cara pengurangan kadar air dari bahan pangan sehingga daya simpan
menjadi lebih panjang. Perpanjangan daya simpan terjadi karena aktivitas
mikroorganisme dan enzim menurun sebagai akibat dari air yang dibutuhkan
untuk aktivitasnya tidak cukup. Pengeringan bukan merupakan produk
sterilisasi yang mematikan mikroorganisme. Agar produk yang sudah
dikeringkan menjadi awet, kadar air harus dijaga agar tetap rendah sehingga
dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
4. Memaniskan, bahan yang digunakan adalah zat gula. Tujuannya untuk
mempersulit hidupnya bakteri, karena bakteri sukar hidup pada konsentrasi
gula yang tinggi.
5. Menambahkan beberapa zat kimia tertentu.
2.4. Ikan Asin
2.4.1. Definisi Ikan Asin
Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan
dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan banyak garam dengan jumlah
tinggi.Dengan metode pengawetan ini daging ikan yang biasanya membusuk dalam
waktu singkat dapat disimpan di suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan,
walaupun biasanya harus ditutup rapat (Adawyah, 2008).
Ikan asin merupakan salah satu produk pengawetan ikan tradisional yang
memperpanjang masa simpan ikan karena ikan mudah dan cepat sekali mengalami
pembusukan. Proses pembuatan ikan asin adalah penggaramaan dan pengeringan
(Widyaningsih, 2006).
2.4.2 Tahap-Tahap Pembuatan Ikan Asin
Pada mulanya usaha-usaha yang dilakukan dalam pengolahan ikan dilakukan
secara tradisional dengan memanfaatkan proses alami yaitu dengan menggunakan
sinar matahari, dengan menjemur ikan dibawah terik matahari dengan tujuan untuk
mengurangi kandungan air yang ada dalam daging ikan, sehingga ikan menjadi
kering dan awet.Sama halnya yang dilakukan oleh pengolah ikan di Kota Sibolga.
Proses pengolahan dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari
(Adawyah, 2008).
Menurut Melisa (2009) dari Djarijah adapun tahap-tahap pembuatan ikan asin
adalah :
1. Bahan mentah :
a. Ikan ukuran besar, sedang atau kecil.
b. Garam murni (NaCl)
2. Alat-alat yang digunakan
a. Tong penggaraman yang kedap air
b. Penutup tong terbuat dari papan dan pemberatnya
c. Pisau
d. Timbangan
e. Keranjang plastik
3. Prosedur pengolahan
a. Untuk ikan-ikan yang besar (kakap, tenggiri, dll)
Ikan yang masih segar dibelah punggungnya, buang isi perut dan
insang. Cuci dengan air bersih hingga bersih dari darah dan lendir.
Kumpulkan dalam keranjang plastik kemudian tiriskan beberapa
saat. Setelah ditiris timbang beratnya. Timbang garam kemudian
hancurkan sebanyak 20-25% dari berat ikan yang akan digarami.
Taburkan garam secukupnya kedalam tong penggaraman,
kemudian susun ikan diatas taburan garam kembali dan demikian
seterusnya hingga terletak diantara dua lapisan garam.
b. Untuk ikan-ikan sedang (layang, kembung, mujair)
Ikan sedapat mungin dibuang isi perutnya dan insang tanpa
membelah perutnya, cuci dengan air bersih hingga bebas dari
darah dan lendir. Tiriskan dan timbang beratnya, timbang garam
seberat 15-20% dari berat ikan bersih. Isikan garam kedalam
rongga perut ikan, kemudian sisanya diaduk dengan ikan dalam
tong penggaraman. Diatas tumpukkan ikan diberi penutup papan
dan beban secukupnya. Ikan dibiarkan dalam tong selama 24 jam.
Selesai penggaraman ikan diangkat dari tong dan cuci dengan air
bersih sampai bebas dari kotoran dan garam yang melekat, lalu
ditiriskan beberapa saat, kemudian ikan diatur di atas rak
penjemur sambil sekali-sekali diaduk. Dengan panas yang baik,
c. Untuk ikan-ikan kecil
Ikan dicuci dengan air bersih tanpa dibuang isi perut dan insang.
Masukkan kedalam keranjang plastik dan ditiriskan, lalu
ditimbang. Garam ditimbang sebanyak 5-10% dari berat ikan yang
akan digarami. Ikan dan garam diaduk sampai rata dalam tong
penggaraman. Ikan dibiarkan selama 24 jam. Ikan yang telah
digarami dicuci seperti biasa, kemudian dijemur diatas rak
penjemur selama 1-2 hari.
Ikan dan hasil perikanan yang lain merupakan bahan pangan yang mudah
membusuk, maka proses pengolahan yang dilakukan bertujuan untuk menghambat
atau menghentikan aktivitas zat-zat dan mikroorganisme perusak atau enzim-enzim
yang dapat menyebabkan kemunduran mutu dan kerusakan ikan. Selain itu
pengolahan juga bertujuan untuk memperpanjang daya tahan produk olahan hasil
perikanan (Adawyah, 2008).
Untuk mengurangi kerugian, pengolah mengambil jalan pintas menggunakan
bahan-bahan kimia seperti pestisida, pemutih, dan formalin. Bahan-bahan yang
berbahaya bagi kesehatan ini digunakan sebagai pengawet tambahan untuk mencegah
pembusukan.
Penggunaan pemutih/tawas oleh paraprodusen ikan asin dikarenakan
penggunaan tawas memiliki fungsi yang sama dengan larutan garam, selain untuk
menghambat pertumbuhan mikroba, juga menjadikan ikan lebih putih dan kenyal.
pengeringan ikanmasih sangat tergantung dari cuaca. Kalaumusim hujan,
pengeringan bisa berhari-hari.Jika proses penjemurankurang sempurna, bahan
makanan akanmudah ditumbuhi jamur, mudah penyok dan hancur. Dengan
membubuhkan tawas, maka ikan tidak ditumbuhi jamur dan lebih awet dan membuat
tampilanfisik ikan tidak cepat rusak.
Penggunaan tawas oleh paraprodusen ikan asin juga cukup mudah,
cukupditambahkan pada saat proses perendamanikan asin dengan terlebih dahulu
menghaluskannya sehingga menyerupai serbuk yang lebih mudah larut dalam air. Hal
ini dikarenakan siat tawas yang mudah larut dalam air. Jika dicampurkandengan ikan,
tawas denganmudah terserap oleh daging ikan. Tawas terlebih dahulu dihancurkan
menjadi serbuk, kemudian dicampurkan dengan larutan garam yang sudah terlebih
dahulu dicampurkan dengan ikan.
Gambar 2.1. Skema Pembuatan Ikan Asin :
Seleksi Ikan
Pencucian Ikan Mentah
Penggaraman
(Penggaraman kering dan penggaraman basah)
Pencucian Ikan Setelah Penggaraman
2.5. HACCP (Hazard Analyisis Critical Control Point)
Sistem manajemen keamanan pangan dikembangkan oleh beberapa kawasan
di dunia dengan rujukan pada prinsip yang dikembangkan oleh Codex Alimentarius
Commission-World Health Organization (Thaheer, 2005). Semakin meningkatnya
tuntutan konsumen akan keamanan makanan yang akan dikonsumsi, maka perlu
dilakukan upaya untuk mengidentifikasi dan menganalisis HACCP dalam proses
pengolahan makanan (Sumantri, 2010).
Sistem HACCP didasarkan pada ilmu pengetahuan dan sistematika,
mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk menjamin keamanan
pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem
pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian
besar pengujian produk akhir. HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai produksi
mulai dari produsen utama bahan baku pangan, penanganan, pengolahan, distribusi,
hingga sampai ketangan konsumen. Selain meningkatkan keamanan pangan,
penerapan HACCP dapat membantu inspeksi lembaga berwenang dan memajukan
perdagangan internasional, melalui peningkatan kepercayaan pangan (Sumantri,
2010).
Packing
Menurut Sumantri (2010), tujuan HACCP adalah meningkatkan kesehatan
masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan makanan dan
penyakit melalui makanan (food born disease). Tujuan khusus HACCP :
a. Mengevaluasi cara produksi makanan.
b. Memperbaiki cara produksi makanan.
c. Memantau dan mengevaluasi penangan, pengolahan, dan sanitasi.
d. Meningkatkan inspeksi mandiri.
Prinssip sistem HACCP yang diadopsi dari SNI 01-4852-1998 sesuai dengan
Codex terdiri dari tujuh prinsip, yaitu (Thaheer, 2005 ) :
Prinsip 1 : Melaksanakan analisa bahaya yaitu membuat daftar bahaya yang
mungkin terdapat pada tahapan produksi, mulai dari bahan masuk
hingga akhir produksi. Analisis bahaya merupakan evaluasi secara
sistematik pada makanan dan bahan baku untuk menentukan
risiko. Risiko keamanan pangan yang harus diperiksa meliputi
aspek keamanan kontaminasi bahan kimia, aspek keamanan
kontaminasi fisik, dan aspek keamanan kontaminasi biologis
termasuk didalamnya mikrobiologi.
Prinsip 2 : Menentukan titik kendali kritis
Prinsip 3 : Menetapkan batas kritis
Prinsip 4 : Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian titik kendali
Prinsip 5 : Menetapan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil
pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tidak
dalam kendali.
Prinsip 6 : Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem
HACCP bekerja secara efektif
Prinsip 7 : Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan
penerapannya.
Titik pengendali kritis (Critical Control Point) merupakan titik dimana
potensi bahaya dengan risiko tinggi tidak dikehendaki dan titik dimana potensi
bahaya tersebut dapat dikendalikan. Titik pengendalian kritis dapat berupa bahan
mentah, lokasi, praktek, prosedur, atau pengolahan dimana pengendalian dapat
diterapkan untuk mencegah atau mengurangi bahaya. Titik pengendalian kritis terbagi
2 yaitu :
a. Titik pengendalian kritis I (CCP 1) : titik dimana bahaya dapat
dihilangkan.
b. Titik pengendali kritis II (CCP II) : titik dimana bahaya dapat dikurangi
2.5.1. Analisis Bahaya pada Ikan Asin
Analisis bahaya pada ikan asin, yaitu terdiri atas :
1. Bahaya biologis yang dapat dihilangkan (CCP 1) dengan pemanasan.
2. Bahaya kimia yang berasal dari penggunaan bahan tambahan makanan.
Bahan kimia sukar dihilangkan dan kadarnya harus di bawah batas yang
3. Bahaya fisik tidak boleh, antara lain : pecahan gelas dan logam, potongan
kerikil, tulang, kayu, plastik, bagian tubuh, seperti kuku, rambut, sisik dan
bulu. Dan dapat dihilangkan pada saat pencucian (CCP 1).
Bagan Keputusan/Penentuan Titik Pengendalian Kritis (CCP), yaitu :
Pertanyaan-pertanyaan diajukan terhadap bahan baku :
Pertanyaan 1 : Apakah mungkin bahan baku (ikan basah) mengandung bahaya pada
tingkat yang tidak dapat diterima ?
Ya
Pertanyaan 2 : Apakah pengolahan termasuk cara penggunaan oleh konsumen dapat
menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai pada tingkat yang
dapat diterima ?
Ya Titik pengendalian kritis (CCP 2)
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk setiap tahap pengolahan.
Pertanyaan 3 : Apakah komposisi atau struktur produk antara/jadi penting untuk
mencegah meningkatnya bahaya sampai pada tingkat yang tidak
dapat diterima ?
Pertanyaan 4 : Apakah pada tahap penggaraman, bahaya dapat muncul atau
bertambah sampai pada tingkat yang dapat diterima.
Ya
Pertanyaan 5 : Apakah pengolahan selanjutnya yaitu pemasakan termasuk cara
penggunaan oleh konsumen dapat menjamin hilangnya/kurangnya
bahaya sampai pada tingkat yang dapat diterima ?
Ya Titik Pengendalian Kritis (CCP 1)
2.5.2. Diagram HACCP pembuatan ikan asin
Ikan asin
Garam Ikan basah
Tiriskan dan timbang beratnya Disiangi dan dibilas
dengan air
Penggaraman CCP 1 = tindakan
Gambar 2.2. HACCP Pembuatan Ikan Asin 2.6. Bahan Tambahan Pangan
2.6.1. Definisi Bahan Tambahan Pangan
Sejak pertengahan abad ke 20 ini, peranan bahan tambahan pangan (BTP)
khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan
teknologi bahan tambahan pangan sintesis. Banyaknya bahan tambahan pangan
dalam bentuk murni dan tersedia secara komersil dengan harga relatif murah akan
mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan pangan yang berarti
meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu.
Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi pangan
penggunaanya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai
penerus pembangunan bangsa(Yuliarti, 2007).
Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang
akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi, dan
lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan keamanan pangan (food safety)
dan pembangunan gizi nasional (fooyange nutrient ) merupakan bagian integral dari
kebijakan pangan nasional, termasuk penggunaan bahan tambahan pangan.
Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 772/Menkes/Per/IX/88 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi dalam pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan tambahan yang ditambahkan
kedalam makanan untuk memengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan
tambahan makanan itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak (Yuliarti, 2007).
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah untuk dapat
meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat
bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan
(Cahyadi, 2008).
Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila :
a. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam
b. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah
atau yang tidak memenuhi persyaratan.
c. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan
dengan cara produksi yang baik untuk pangan.
d. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjdai dua golongan
besar, yaitu (Cahyadi, 2008) :
1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam
makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dengan maksud
untuk dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu
pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan
yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara
tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat
perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan
ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang
sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau
penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang
konsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah
residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan
rodentisida), antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklik.
Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori BTP (Yuliarti,
1. BTP yang bersifat aman dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati.
2. BTP yang digunakan dengan dosis tertentu dan telah ditetapkn dosis
maksimumnya.
3. BTP yang aman dan dosis yang tepat, serta telah mendapatkan izin
beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang telah
dilengkapi dengan sertifikat aman.
2.6.2. Jenis Bahan Tambahan yang Diizinkan
Sedangkan menurut BPOM telah menetapkan beberapa Bahan Tambahan
Pangan yang dapat digunaknan, yaitu :
1. Pengawet : asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, natrium
benzoat, dan nisin.
2. Pewarna : tetrazine.
3. Pemanis : aspartaman, sakarin dan siklamat.
4. Penyedap rasa dan aroma : monosodium glutamat.
5. Antikempal : aluminium silikat, magnesium karbonat, trikalsium
fosfat.
6. Antioksidan : asam askorbat, alpa tokoferol.
7. Pengemulsi, pemantap, dan pengental : lesitin, sodium laktat, dan
potasium laktat.
2.6.3. Jenis Bahan Tamabahan yang Tidak Diizinkan
Beberapa bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan dalam makanan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/per/88 di antaranya :
2. Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt)
3. Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC)
4. Dulsin (Dulcin)
5. Kalium Klorat (Potassium Chlorate)
6. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
7. Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
8. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
9. Formalin (Formaldehyde)
10. Kalium Bromat (Potassium Bromate)
Adapun menurut Peraturan menteri Kesehatan RI No.
1168/MenKes/Per/X/1999, selain Bahan Tambahan diatas. Masih ada tambahan
kimia lain yang dilarang, yakni rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow
(pewarna kuning), dan kalsium bromat (pengeras).
2.6.4. Bahan Pengawet
Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling
tua penggunaanya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk
mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan
menggunakan garam, asam, dan gula juga telah dikenal. Kemudian digunakan bahan
pengawet, untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba, sehingga pangan
tetap awet seperti semula.
Bahan pengawet adalah bahan yang pada umumnya digunakan untuk
mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat
yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya
pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan
atau memperbaiki tekstur (Cahyadi, 2008).
Bahan pengawet adalah bahan yang berfungsi dapat membantu dan
mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroorganisme pembusuk, baik
bakteri, kapang maupun khamir (ragi) dengan cara menghambat, mencegah, dan
memberhentikan proses pembusukan. Contoh bahan pengawet antara lain asam
benzoat, sulfit, metasulfit, nisin, asam sorbat, asam propionat, gula, asam asetat,
alkohol, cuka, gliserin, bumbu-bumbu. Daya pengawet dari bahan-bahan tersebut
sangat tergantung pada konsentrasi komposisi bahan pangan (pH) serta jenis mikroba
yang akan dicegah pertumbuhannya (Winarno, 1993).
Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (Narto, 2011) :
1) GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami,
sehingga aman dan tidak berefek recun sama sekali. Contohnya
penggunaan amilum sebagai pengental.
2) ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan
hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.
3) Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya seperti
boraks, formalin, dan rhodamin-B.
Pengawet yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan
natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat sering
digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman, seperti sari buah,
minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap, dll.
Secara ideal, bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba
yang penting dan kemudian memecah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya
dan tidak toksik. Bahan pengawet akan memengaruhi dan menyeleksi jenis mikroba
yang dapat hidup pada kondisi tertentu.
Zat pengawet terbagi atas dua, yaitu :
1. Zat pengawet anorganik
Zat pengawet anorganik yang sering dipakai adalah sulfit, hidrogen
peroksida, nitrat, dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2,
garam Na atau K sulfit. Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding
sel mikroba sehingga membentuk senyawa yang tidak dapat
difermentasi oleh enzim mikroba.
2. Zat pengawet organik
Zat pengawet organik lebih banyak digunakan dari pada yang
anorganik, karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik
digunakan baik dalam bentuk asam maupun garamnya. Zat kimia yang
sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam sorbat, asam
propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida.
Terdapat beberapa persyaratan untuk bahan pengawet kimia, selain
persyaratan yang dituntut untuk semua bahan tambahan pangan, antara lain
a. Memberi arti ekonomis dari pengawetan (menguntungkan)
b. Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang lain tidak
mencukupi atau tidak tersedia.
c. Memperpanjang umur simpan dalam pangan.
d. Tidak menurunkan kualitas (warna, cita rasa, dan bau) bahan pangan
yang diawetkan.
e. Mudah dilarutkan.
f. Aman dalam jumlah yang diperlukan.
g. Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan
h. Tidak bereaksi membentuk senyawa kompleks yang bersifat lebih
toksik.
Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai
berikut (Cahyadi, 2008):
a. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang
bersifat patogen maupun yang tidak patogen.
b. Memperpanjang umur simpan pangan.
c. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan
pangan yang diawetkan.
d. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas
rendah.
e. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang
salah atau tidak memenuhi persyaratan.
2.6.5. Dampak Penggunaan Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan Terhadap Kesehatan
Penggunaan bahan tambahan pangan khususnya pengawet dalam pangan
harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif
untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan
lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba
perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih
banyak ditemukan penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk
digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin.
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan
bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang
bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan
lainnya maupun mikroba non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan
pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya
adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan
pangan yang dikonsumsi. Penggunaan bahan tambahan yang beracun atau BTP yang
melebihi batas akan membahayakan kesehatan masyarakat, dan berbahaya bagi
pertumbuhan generasi yang akan datang (Cahyadi, 2008).
Dampak penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif bagi
masyarakat. Bahan kimia yang sering kita kenal sebagai bahan tambahan pangan
seperti pengawet, pewarna, pengental, dan penyedap rasa pun dapat menjadi racun
terjadi mulai dari sakit kepala, gangguan pencernaan, kerusakan ginjal sampai kanker
(Yuliarti, 2007).
2.7. Tawas
2.7.1. Karakteristik Tawas
Tawas adalah garam rangkap sulfataluminium sulfat yang dalam bahasa
Indonesia Kalium Aluminium Sulfat dengan rumus berdasarkan Kodeks Makanan
Indonesia, yaitu AlK(SO4)2.12H2O, ada juga Natrium Aluminium Sulfat atau
NaAl(SO4)2. Tawas adalah senyawa anorganik berbentuk cair yang tidak berwarna
hingga berwarna sedikit kecoklatan yang bersifat higroskopis berupa bubuk, butiran
atau bongkahan. Tawas dihasilkan dengan mereaksikan logam aluminium (Al) dalam
larutan basa kuat. Bentuk tawas berupa kristal dan ada yang sudah dijadikan bubuk
warna putih dengan rasa adstringen/sepat, sedikit manis-asin, tembus cahaya, bersifat
menguatkan warna, pada pH 5,0-7,5 kelarutannya sangat rendah sehingga dapat
mengendapkan koloid, titik leburnya 93˚C dan titik didihnya 200˚C. Tawas memilki
aroma yang cukup menyengat dan bersifat antibakteri. Bentuk tawas ini sendiri mirip
dengan gula batu, bentuknya berupa bongkahan seperti kristal berwarna putih,
Kemudian dihaluskan hingga menyerupai garam agar lebih cepat larut.
Tawas banyak digunakan dalam industri-industri (kimia) dan banyak juga
dalam usaha penjernihan air.Jenis tawas lainnya adalah seperti Tawas Natrium untuk
bahan pengembang roti, Tawas Kalium untuk pengolah limbah, Tawas Besi untuk
penyamakan kulit dan bahan pewarna. Tawas juga digunakan untuk bahan dasar
deodorant atau juga dioleskan langsung pada ketiak untuk menghindari bau badan.
Tabel 2.1. Persyaratan Mutu Aluminium Sulfat
No. Parameter Satuan Persyaratan
Padat Cair
1. Bobot jenis 20 ˚C - - Min 1,3
2. pH - Min 3,0 Min 3,0
3. Bagian tidak larut dalam air % (b/b) Maks 0,5 Maks 0,25
4. Aluminium Oksida, Alumina, AL2O3 % (b/b) Min 17 Min 8
5. Besi, Fe % (b/b) Maks 0,01 Maks 0,01
6. Timbal, Pb % (b/b) Maks 10 Maks 10
7. Arsen, As % (b/b) Maks 2 Maks 2
2.7.2. Fungsi dan Kegunaan Tawas
Tawas adalah bahan kimia yang termasuk dalam golongan desinfektan yang
berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri penyebab berbagai penyakit. Tawas
digunakan dalam industri kosmetik sebagai bahan penghilang bau badan. Tawas
berfungsi mencegah tumbuh kembangnya bakteri pada ketiak manusia.
Di dalam public health, khususnya oleh PDAM tawas ini biasa digunakan
untuk penjernih air. AlK(SO4)2.12H2O (tawas) yang biasa digunakan untuk
mengendapkan kotoran dalam air dipakai untuk merontokkan kotoran pada ikan
berukuran besar yang sudah mulai rusak.Ikan asin yang mengandung zat berbahaya
tersebut, biasanya tidak di hinggapi lalat, tidak gampang patah dan agak keras,
Tawas dalam bentuk larutan bersifat asam yang dapat menurunkan pH