• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG MERAPI BER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG MERAPI BER"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG MERAPI BERDASARKAN SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL

(THE MANAGEMENT OF MERAPI VOLCANO DISASTER BASED ON THE NATIONAL DISASTER MANAGEMENT SYSTEM)

Sarwidi

Anggota Pengarah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Guru Besar pada FTSP UII

Email: sarwidi@yahoo.com

ABSTRAK

Hampir sepanjang waktunya, Gunung Merapi memberikan manfaat yang luar biasa bagi sekitarnya. Lereng Gunung Merapi terkenal dengan kesuburan tanahnya karena guyuran abu Gunung Merapi. Selain padi, tanaman salak, dan pisang serta berbagai tanaman tmbuh sangat subur di sebagian besar lereng Gunung Merapi. Karena kesuburan tanahnya, bidang peternakan juga menjadi berkembang, diantaranya adalah peternakan sapi perah yang dikelola oleh beberapa koperasi di Boyolali dan kaliurang Sleman. Pasir dan batuan hasil erupsi Gunung Merapi juga sangat terkenal karena bermutu tinggi untuk bahan konstruksi. Selain itu di lereng Gunung Merapi juga terdapat beberapa tempat untuk tempat peristirahatan dan rekreasi yang cukup terkenal, diantaranya adalah wilayah Kaliurang Yogyakarta dan sekitarnya. Namun demikian, pada sisi yang lain, pada waktu-waktu tertentu Gunung Merapi memberikan ancaman bencana di wilayah sekitarnya, Ancaman primer Gunung Merapi berupa awan panas yang keluar dari kawanya dan dapat menjangkau wilayah pemukiman di lerengnya. Ancaman sekundernya adalah abu vulkanis serta lahar hujan yang dapat menimbulkan gangguan dan banjir lahar dingin yang dapat menyapu wilayah di sekitar sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi. Untuk mempertahankan dampak positif Gunung Merapi dan menekan dampak negatif Gunung Merapi, maka penanggulangan bencana dengan pendekatan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara sistematis agar tercapai hasil yang maksimum. Makalah ini memaparkan secara singkat tentang penanggulangan bencana Gunung Merapi yang sesuai dengan Sistem Nasional Penangulangan Bencana sebagaimana yang tertuang dalam UU RI No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia. Pemaparan ini bukan merupakan program formal institusi baik BNPB maupun UII, tetapi lebih bersifat opini individual penulis selaku Pengarah BNPB serta sebagai akademisi UII dan warga lereng Gunung Merapi. Dengan harapan, makalah ini dapat digunakan sebagai bahan masukan semua fihak yang terkait dengan penanggulangan bencana (PB) ataupun pengurangan risiko bencana (PRB) Gunung Merapi.

Kata kunci: penanggulangan bencana, Merapi, risiko, BNPB

PENDAHULUAN

(2)

Namun demikian, pada sisi yang lain, Gunung Merapi memberikan ancaman yang dapat menyebabkan bencana di wilayah lerengnya pada waktu-waktu tertentu. Ancaman Gunung Merapi yang telah menimbulkan bencana misalnya pada beberapa peristiwa erupsi terakhir pada tahun 1994, 2006, dan 2010 baru-baru ini yang dapat dilihat secara jelas karena terdokumentasi dengan baik. Ancaman primer Gunung Merapi berupa awan panas yang keluar dari kawahnya dan dapat menjangkau wilayah pemukiman di lerengnya dan dapat menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Serangkaian erupsi Gunung Merapi yang diawali pada tanggal 26 Oktober 2010 hingga mencapai puncak letusan terbesar 5 November 2010 menyebabkan kerusakan dan kerugian yang besar di empat kabupaten yaitu Magelang, Boyolali, Klaten, dan Sleman. Serangkaian erupsi tersebut menelan korban sebanyak 386 dengan jumlah pengungsi 399408 pada puncak masa pengungsian (BNPB, 2010b). Pengungsi yang mendekati jumlah 400 ribu tersebut belum termasuk pengungsi mandiri yang tinggal di rumah kerabat dan handai taulan yang sempat teramati oleh beberapa kelompok relawan, misalnya FOREKA (Forum Relawan Kaliurang), yang diperkirakan mencapai ribuan orang. Ancaman sekunder Gunung Merapi berupa abu vulkanis serta lahar hujan yang dapat merusak tanaman dan mengganggu kesehatan serta dapat menimbulkan banjir lahar dingin yang pernah menyapu wilayah di sekitar sungai-sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi. Banjir lahar dingin dasyat yang telah menerjang wilayah sekitar kali Putih dan pemukiman Jumoyo, Magelang, Jawa Tengah yang dimulai pada akhir Desember 2010 yang lalu. Kerugian akibat bencana primer dan sekunder Gunung Merapi 2010 mencapai beberapa triliun rupiah dan akan dihitung secara rinci pada bulan Maret 2011 (www.bnpb.go.id).

Untuk mempertahankan dampak positif Gunung Merapi dan menekan dampak negatif Gunung Merapi, penanggulangan bencana dengan pendekatan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara sistematis agar tercapai hasil yang maksimum. Pemaparan berikut ini adalah penanggulangan bencana Gunung Merapi yang sesuai dengan Sistem Nasional Penangulangan Bencana yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 (UU RI No 24/2007) tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia. Pemaparan berikut ini bukan merupakan program formal institusi BNPB maupun UII, tetapi lebih bersifat opini secara individual penulis selaku Pengarah BNPB, akademisi UII, dan warga masyarakat lereng Gunung Merapi. Pemaparan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan semua fihak yang terkait dengan penanggulangan bencana (PB) ataupun pengurangan risiko bencana (PRB) Gunung Merapi.

LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

(3)

Berasarkan undang-undang tentang penanggulangan bencana tersebut, tujuan penanggulangan bencana di Indonesia adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh, menghargai budaya local, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta, mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan, serta menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

PENERAPAN SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK GUNUNG MERAPI

UU RI No. 24/2007 adalah landasan bagi pembentukan sistem (system building) penanggulangan bencana di Indonesia. Setiap upaya penanggulangan bencana di Indonesia harus berpedoman pada Sistem Nasional Penanggulangan Bencana, agar hasil dari upaya tersebut maksimum. Sistem penanggulangan bencana tersebut terdiri atas beberapa subsistem, yaitu legislasi, kelembagaan, pendanaan, perencanaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan penyelenggaraan. Penjelasan subsistem-subsistem tersebut beserta dengan penerapan yang dapat dilakukan untuk penanggulangan bencana Gunung adalah sebagai berikut ini.

Legislasi

Serangkaian perundangan dan peraturan sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan penanggulangan bencana yang optimal, baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Di tingkat nasional, setelah UU RI No 24/2007 diterbitkan, serangkaian peraturan turunannya yang sudah dan harus dibentuk antara lain adalah serangkaian peraturan pemerintah (PP), peraturan Presiden (Perpres), serta peraturan menteri (Permen) atau peraturan kepala lembaga (Perka). Serangkaian UU perlu dibuat dan disinkronkan antara lain adalah yang terkait dengan penataan ruang. Salah satu dasar legislasi krusial diterbitkan sebagai turunan implementasi UU No 24/2007 adalah Peraturan Presiden (Perpres) No 8/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam hal penanggulangan bencana Gunung Merapi, serangkaian legislasi tersebut sangat penting karena ada ketegasan negara dalam mengatur penanggulangan yang sistematis untuk segala macam bencana, termasuk bencana akibat letusan gunung api.

(4)

Merapi yang lebih focus mengani bencana, yaitu 2 BPBD di Provinsi DIY dan Jawa Tengah, serta 4 BPBD di Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali.

Dalam implementasi penanggulangan bencana di tingkat daerah, Peraturan Daerah (Perda) yang harus disusun antara lain adalah yang terkait dengan pembentukan BPBD dan yang terkait dengan penanggulangan bencana secara umum serta serangkaian Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbub), dan Peraturan Walikota (Perwal) yang terkait dengan penanggulangan bencana. Kelengkapan legislasi yang terkait dengan implementasi penanggulangan bencana Gunung Merapi di tingkat daerah di sekeliling Gunung Merapi akan menentukan tingkat keberhasilan penanggulangan bencana Gunung Merapi. Kelengkapan legislasi yang dibutuhkan misalnya adalah Perda tentang pembentukan BPBD serta Pergub yang terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan penanggulangan bencana di tingkat Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY, serta Perbub dan Perwal terkait di tingkat Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, dan Kotamadya Yogyakarta.

Kelembagaan

Sebagai penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan di tingkat nasional, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sesuai Pepres No 8/2008 tentang BNPB. Segera setelah terbentuknya BNPB, pemerintah daerah berkewajiban membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang dilaksanakan melalui koordinasi dengan BNPB sesuai dengan Permendagri No. 26/2008 tentang Pedoman Organisasi serta Tata Kerja BPBD di tingkat provinsi serta kabupaten dan kota. BNPB bertanggungjawab kepadan Presiden, BPBD tingkat provinsi bertanggung jawab kepada Gubernur, dan BPBD tingkat Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Badan Penanggulangan Bencana (BNPB dan BPBD) teridiri atas unsur pengarah dan unsur pelaksana. Unsur pengarah terdiri atas unsur pengarah dari masyarakat professional dan unsur pengarah dari pejabat pemerintah. Unsur pengarah dari masyarakat professional BNPB dipilih melalui proses seleksi yang ketat yang ujungnya dilakukan uji kepatutan dan kelayakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk diserahkan kepada Presiden untuk mendapatkan surat pengangkatan.

(5)

Gunung Merapi setiap 3 6 tahun, pengalaman akan lebih cepat terakumulasi dan pengembangan dalam bidang PB maupun PRB dalam banyak aspek akan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pengembangan berdasarkan pengalaman tersebut pada akhirnya akan banyak memberikan kontribusi pada masyarakat baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Aspek yang terkait dengan pengembangan kapasitas kelembagaan beserta dengan kapasitas masyarakat misalnya adalah aspek sumber daya manusia (SDM) dalam birokrasi (sebagai unsur pengarah atau sebagai unsur pelaksana) maupun SDM di luar birokrasi pemerintahan.

Pendanaan

Biaya untuk mendukung kegiatan rutin BPB (Badan Penanggulangan Bencana: BNPB/BPBD) berasal dari DIPA yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Biaya Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Biaya Daerah (APBD). Dalam keadaan kritis bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat menggunakan Dana Siap Pakai (On Call) untuk tingkat nasional serta Dekon untuk tingkat provinsi dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk tingkat kabupaten/kota. Selain itu penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat menggunakan dana yang bersumber dari masyarakat secara individu maupun lembaga, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional asalkan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Subsistem pendanaan yang penting menjadi menjadi pertimbangan dalam penanggulangan bencana Gunung Merapi adalah tentang kuantitas dana dan kualitas penggunaanya. Mengingat erupsi Gunung Merapi itu tidak hanya bendampak lokal, tetapi dapat berdampak secara nasional dan internasional, maka kuantitas pendanaan penanggulangan bencana Gunung Merapi haruslah mencukupi dengan menggali berbagai macam sumber dana. Penggunaan sumber dana penanggulangan bencana Gunung Merapi juga harus efektif, transparan, dan akuntabel. Pendanaan penanggulangan bencana Gunung Merapi yang sistematik ini menjadi tantangan yang menarik ke depan untuk dikembangkan oleh semua fihak yang terkait, misalnya melalui penggunaan teknologi informasi yang optimal dengan SDM yang mumpuni maupun melalui berbagai inovasi.

Perencanaan

Agar upaya penanggulangan bencana dapat berjalan maksimal, perencanaan penanggulangan bencana yang terpadu sangat diperlukan, yaitu melalui pemaduan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam perencanaan kegiatan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, baik yang berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RJP), Rencana Jangka Menengah (RJM), maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan.

(6)

di K/L terkait. Di tingkat provinsi, dokumen perencanaan penanggulangan bencana dibuat dalam bentuk Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov)/BPBD serta Rencana Aksi Daerah (RAD) PRB Provinsi oleh Pemprov/BPBD dan Forum PRB di tingkat provinsi. Di tingkat kabupaten/kota, dokumen perencanaan penanggulangan bencana dibuat dalam bentuk Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot)/BPBD serta Rencana Aksi Daerah (RAD) PRB Provinsi oleh Pemkab/Pemkot dan Forum PRB di tingkat kabupaten/kota.

Ke depan, perencanaan penanggulangan bencana Gunung Merapi harus lebih terarah dan terpadu. Dengan berbagai pengalaman oleh berbagai fihak-fihak yang terkait, baik secara personal maupun institusional, yang dilandasi dengan berbagai teori PB/PRB terkini, para pakar dan aktor PB / PRB dapat lebih mengarahkan perencanaan penanggulangan bencana Gunung Merapi ke depan dengan berbagai macam media komunikasi dan informasi. Selanjutnya, keterpaduan perencanaan penanggulangan bencana Gunung Merapi dapat dilakukan menggunakan sistem perencanaan terpadu dan benjenjang dalam berbagai koordinasi yang dituangkan dalam RPB daerah dan RAD PRB serta Renas PB dan RAN PRB. Rencana penanggulangan bencana Gunung Merapi harus dimasukkan dalam RPB daerah dan RAD PRB untuk Provinsi DIY dan Jateng serta Kabupaten/Kota Sleman, Magelang, Klaten, Boyolali, dan Yogyakarta, RPB daerah disusun oleh masing-masing Pemda dua provinsi dan lima kabupaten/kota tersebut, dan RAD PRB disusun oleh masing-masing Pemda bersama-sama dengan masing-masing Forum PRB di dua provinsi dan lima kabupaten/kota itu. Selanjutnya aspek penting rencana penanggulangan bencana Gunung Merapi juga harus dimasukkan dalam Renas PB dan RAN PRB serta rencana sektoral penanggulangan bencana di kementerian dan lembaga (K/L).

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Salah satu asas penanggulangan bencana di Indonesia adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), yaitu bahwa dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal. Dengan demikian, proses penanggulangan bencana, baik pada tahap prabencana, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana dapat dipermudah dan dipercepat (Kemenristek, 2007).

Dalam praktek, unsur seni ataupun budaya juga menentukan kelancaran dan keberhasilan penanggulangan bencana. Dengan demikian, IPTEK dalam penanggulangan bencana dimodifikasi menjadi IPTEKS, karena memasukkan unsur S (seni atau kebudayaan), misalnya dalam memasukkan secara tepat unsur kearifan lokal dan budaya atau karakteristik masyarakat lokal. Namun demikian, perlu ditekankan bahwa penerapan unsur S dalam penanggulangan bencana harus tepat, mengingat bahwa penerapan penanggulangan bencana oleh masyarakat dengan pendekatan yang bertentangan dengan logika yang berujung pada hambatan dan bahkan kegagalan penanggulangan bencana telah banyak ditemui, demikian pula yang sebaliknya.

(7)

Gunung Merapi dan sekitarnya, pengembangan teknologi deteksi dini erupsi Gunung Merapi melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan dan pembuatan bangunan/rumah tahan gempa yang sekaligus dapat digunakan untuk perlindungan sementara terhadap awan panas Gunung Merapi, misalnya RULINDA® Merapi (Sarwidi, 2005; Sarwidi, 2008), pengembangan teknologi peralatan penyelamatan korban awan panas Gunung Merapi, pengembangan teknologi tenda dan hunian sementara (huntara) yang efektif untuk lereng Gunung Merapi, pengembangan teknologi pertanian dan kehutanan yang efektif di lereng Gunung Merapi, serta pengembangan sistem informasi dan komunikasi bencana Gunung Merapi (misalnya oleh kelompok Jalin Merapi CRI, Kumunitas Balerante, CEVEDS International dan FOREKA). Kultur dan karakteristik masyarakat lereng Gunung Merapi dan sekitarnya juga harus diakomodasi dalam strategi penangulangan bencana Gunung Merapi agar tercapai hasil yang maksimum.

Penyelenggaraan

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai dengan siklus bencana yang secara garis besar terdiri atas tiga tahap, yaitu prabencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. BNPB/BPBD bertindak selaku koordinator dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana dan pasca bencana. BNPB/BPBD menjalankan fungsi komando dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap tanggap darurat. Untuk penanggulangan bencana letusan gunung berapi sebagaimana kasus bencana Gunung Merapi, ada dua subtahapan kritis di luar masa tanggap darurat yang penangannya harus mirip dengan penanganan saat tanggap darurat, yaitu subtahap siaga darurat pada tahap prabencana dan subtahap awal rekoveri pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.

Upaya penetapan kebijakan yang berisiko timbulnya bencana Gunung Merapi harus dilakukan pada semua tahapan penanggulangan bencana dengan melakukan perbaikan secara terus menerus. Penyelenggaraan penanggulangan bencana Gunung Merapi pada tahapan prabencana berlangsung baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

(8)

(Sumardani, 2010). Di tingkat perguruan tinggi, pendidikan serta kajian yang terkait dengan penanggulangan bencana Gunung Merapi dapat ditemui misalnya pada Program Unggulan Kemendiknas dalam bidang Manajemen Rekayasa Kegempaan di Magister Teknik Sipil Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (MRK UII) serta pada PSBA UGM dan CEEDEDS UII.

Pengurangan risiko bencana (PRB) Gunung Merapi dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana, yang meliputi pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana sebagaimana disebutkan dalam subsistem perencanaan di muka, pengembangan budaya sadar bencana, peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana, dan penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana Gunung Merapi dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini oleh BPPTK Kementerian ESDM, dan mitigasi bencana. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana. Peringatan dini dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana Gunung Merapi.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana Gunung Merapi pada saat tanggap darurat meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya, penentuan status keadaan darurat bencana, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, kebutuhan dasar, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. Dalam status keadaan darurat bencana telah ditetapkan BNPB/BPBD mempunyai kemudahan akses yang meliputi pengerahan sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai, dan karantina, perizinan, pengadaan barang/jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang, penyelamatan, dan komando untuk memerintahkan sektor/lembaga. Hal tersebut sudah mulai dilaksanakan dalam penangangan darurat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang lalu (BNPB, 2010b)

(9)

KESIMPULAN

UURI No. 24/2007 adalah landasan bagi pembentukan sistem (system building) penanggulangan bencana di Indonesia. penanggulangan bencana Gunung Merapi harus berpedoman pada Sistem Nasional Penanggulangan Bencana agar tercapai hasil yang maksimum. Perbaikan secara terus menerus dalam penanggulangan bencana di segala aspek harus dilakukan sesuai dengan perubahan acaman, dinamika masyarakat, perubahan jaman, serta perubahan situasi dan kondisi riil di lapangan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) UII dan Program Magister Teknik Sipil FTSP UII terutama pada Program Unggulan Kemendiknas untuk bidang Manajemen dan Rekayasa Kegempaan atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan gagasan dalam bentuk makalah ini serta dalam bentuk presentasi. Terimakasih juga disampaikan kepada rekan-rekan di BNPB dan CEVEDS International serta MUSEGA SWD dan FOREKA yang telah membantu mengumpulkan data dan informasi guna penyusunan makalah dan presentasi.

REFERENSI

BNPB

2010-BNPB (

Desember 2010 pukul 24.00 WIB oleh Posko Aju BNPB di Jl. Kenari No. 14A, Yogyakarta).

ian Ristek dan Teknologi)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi serta Tata Kerja BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah)

Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Sarwidi RULINDA®Merapi: An Intermediate Solution For an Urgent Need ( Preparation for constructing RULINDA Merapi Type: UII-SWD-HH-MO-SM-M1, UII-SWD-HH-MO-SM-M2,

UII-SWD-HH-MO-SM-Seminar organizied by JICA and Sabo Center in Graha Saba UGM ,Yogyakarta, August 2, 2005

RULINDA® Merapi

The Development of Disaster Reduction Hyperbase (DRH), organized by NIED Japan, BNPB, and ITB. Jakarta 5 Maret 2008

National Plan Of Disaster Management (RENAS PB), 2010

Built Environment (1-ICSBE) by Faculty of Civil Engineering and Planning, Islamic University of Indonesia (UII), Yogyakarta, Indonesia. ISBN: 978-979-96122-9-8 (Edited by: Teguh, Tanaka, and Gokcekus)

(10)

dengan BPBD Seluruh Provinsi/Kabupaten/Kota, yang diselenggarakan oleh BNPB di Jakarta, 28 Februari 2011.

Negeri I Pakem, Yogyakarta 29 Mei 2010 oleh MUSEGA SWD (Wadah Perintisan Museum Gempa Prof. Dr. Sarwidi) yang didukung oleh Pemkab Sleman dan Pemprov DIY.

Referensi

Dokumen terkait

Munculnya tindakan tidakan negatif dikalangan pelajar dan masyarakat,seperti tawuran antar pelajar, mudah marah, tidak tertib, mencontek saat ujian, melakukan tindak korupsi,

e-learning sudah dapat diterima akan tetapi masih perlu perbaikan pada kategori desain, pada kategori tersebut memiliki respon terendah yakni sebesar 40%, para siswa

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitan ini adalah data mengenai kemampuan merumuskan hipotesis fisika peserta didik dalam tiga jenis hipotesis, yaitu

Jumlah individu dan kepadatan populasi burung rangkong badak ( Buceros rhinoceros ) di Ekosistem Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan sangat dipengaruhi oleh kondisi

Dari Hasil perhitungan z-score untuk memprediksi financial distress pada empat perusahaan kosmetik atas laporan keuangan periode 2009-2011 didapatkan bahwa PT

b) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/56/DPbS Tanggal 9 Desember 2005 tentang Laporan Tahunan, Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan serta Laporan Tertentu dari Bank

Setelah melewati tahapan analisis, desain, pengkodean dan pengujian mengenai proses perekaman data medis pasien rawat jalan pada UPTD Puskesmas Semplak Bogor, maka

Terapi individu sosialisai dalam penelitian ini terbukti efektif untuk diterapkan dalam perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia selama proses penyembuhan pasien