TOBACCO FARMING IN EASTLAMPUNGREGENCY By
Erzia Estariza
This study aims to analyze the following aspects of tobacco farming in East Lampung : (1) partnership (2) production’s efficiency (3) factors that influence technical efficiency of tobacco farm ing, and (4) farmer’s income.
The research islocated in East Lampung Regency by selecting purposively two subdistricts as center of tobacco production namely Batanghari Nuban and Purbolinggo. From each of subdistricts one village is chosen, village with the
most tobacco’s farmers, Tegal Gondo Village and Sukaraja Nuban Village. Sixty respondents of tobacco farmers were taken with simple random sampling. First purpose is answered by using qualitative descriptive analysis, the second purpose using frontier production function, the third purpose using multiple linear
regression analysis and the fourth purpose is answered by using income analysis.
The results showed that: (1) tobacco farming in East Lampung Regency was implemented in partnership with PT Export Leaf Indonesia as a core-plasma partnership, (2) tobacco farming in East Lampung Regencyis technically not efficient with average technical efficiency of tobacco farming in East Lampung Regency is 73,85% and the most of farmers in the range of 80-90% technical efficiency, (3) The factors that significantly influence in technical efficiency of tobacco farming in East Lampung Regency were farming experience, formal education, counseling frequency, and spacing of tobacco planting, (4) tobacco farming in East Lampung Regency is profitable because it has R/C value of 1.85 with income Rp 21,046,199.79.
ABSTRAK
ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI TEMBAKAU DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Oleh Erzia Estariza
Penelitian ini bertujuan untuk :(1) mengkaji kemitraan yang terjadi pada usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur, (2) menganalisis efisiensi produksi usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur, (3) mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur, dan (4) mengetahui besarnya pendapatan usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur yaitu di kecamatan sentra produksi tembakau yaitu Kecamatan Purbolinggo dan Kecamatan Batanghari Nuban. Dari masing-masing kecamatan dipilih satu desa yang memiliki populasi petani tembakau terbanyak yaitu Desa Tegal Gondo dan Desa Sukaraja Nuban. Jumlah responden sebesar 60 orang petani tembakau yang diambil dengan menggunakan metode acak sederhana (Simple Random Sampling). Untuk
menjawab tujuan pertama menggunakan analisis deskriptif kualitatif, tujuan kedua menggunakan fungsi produksi frontier, tujuan ketiga menggunakan analisis
regresi linier berganda serta tujuan keempat dijawab menggunakan analisis pendapatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur dilaksanakan secara kemitraan dengan PT Eksport Leaf Indonesia dengan pola kemitraan inti-plasma, (2) usahatani tembakau di
Kabupaten Lampung Timur belum efisien secara teknis, efisiensi teknis usahatani di Kabupaten Lampung Timur yaitu sebesar 73,85% dan sebagian besar petani berada pada kisaran efisiensi teknis 80-90%, (3) faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur yaitu
pengalaman usahatani, pendidikan formal, frekuensi penyuluhan dan jarak tanam, (4) usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur merupakan usahatani yang menguntungkan karena memiliki nilai R/C lebih dari satu yaitu sebesar 1,86 dengan pendapatan sebesar Rp 21.046.199,79.
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan
bagian dari pembangunan nasional. Secara umum posisi sektor perkebunan dalam
perekonomian nasional mempunyai fungsi ganda. Selain bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan petani juga terkait dengan upaya untuk membuka
kesempatan kerja, peningkatan eksport, pemenuhan kebutuhan bahan baku
industri dalam negeri serta pemerataan pembangunan dan penciptaan
pertumbuhan ekonomi regional suatu daerah. Era baru pertanian ke depan
menghendaki orientasi pada pencapaian nilai tambah, pendapatan, serta
kesejahteraan petani sebagai acuan utama dalam pembangunan pertanian melalui
peningkatan dalam usahatani (Hafsah, 2003).
Fauziyah (2010) mengemukakan bahwa dalam pembangunan pertanian sumber
daya alam, sumberdaya manusia teknologi dan kelembagaan merupakan empat
faktor penggerak ( four prime movers). Keempat faktor tersebut merupakan syarat
kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang
dikehendaki, artinya apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau
performance tertentu yang dikehendaki seperti produksi tembakau dan
kesejahteraan petani tidak akan dapat terwujud.
Tanaman perkebunan disebut sebagai komoditas masa depan yang menjanjikan
dan memiliki berbagai keuntungan. Salah satu tanaman perkebunan yang
memiliki nilai komersial adalah tanaman tembakau. Umumnya tembakau cocok
ditanam di daerah yang beriklim panas atau sedang sehingga dapat menghasilkan
jenis-jenis tembakau yang istimewa dengan keadaan setempat. Meskipun
tembakau termasuk tropis, daerah penanamannya sangat luas, mulai dari daerah
panas seperti Indonesia, sampai daerah yang beriklim dingin seperti Norwegia.
Tembakau juga merupakan jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang
sangat tinggi.
Pada sektor agroindustri menunjukkan bahwa produksi rokok Indonesia yang
berbahan baku tembakau selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dewasa ini merokok bukan hal yang dilakukan
oleh kaum laki-laki namun para wanita dan remaja sehingga berdampak adanya
permintaan dalam jumlah besar dengan kata lain juga akan memacu peningkatan
permintaan tembakau dalam jumlah besar.
Kebutuhan tembakau untuk industri rokok sangat besar, hal ini akan berdampak
pada perkembangan perekonomian rakyat khususnya bagi petani tembakau
maupun masyarakat yang bergerak di bidang perkebunan, perdagangan maupun
industri rokok. Sesuai dengan proses pengolahannya, mayoritas tembakau rakyat
merupakan tembakau rajangan yang diusahakan oleh petani sedangkan tembakau
(PTPN X), perusahaan swasta asing seperti PT Ekspor Leaf Indonesia serta
perusahaan rokok tertentu dalam areal yang relatif terbatas.
Dalam perkembangannya tanaman tembakau diusahakan secara cukup meluas
oleh petani rakyat baik di Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur) dan di Luar Jawa
(Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan) yang kemudian sekarang mulai
dikembangkan di Lampung. Pengusahaan tembakau oleh petani rakyat terutama
ditujukan untuk ekspor. Luas areal tanaman perkebunan rakyat dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Luas areal tanaman perkebunan rakyat Provinsi Lampung tahun 2011 (ha)
Jenis Tanaman
Komposisi Luas Areal (ha)
TBM TM TR Jumlah
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Lampung 2011
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa luas areal tanaman tembakau menempati urutan
kedua terendah setelah kopi arabika. Hal ini mengindikasikan bahwa luasan areal
tembakau di Lampung masih tergolong rendah apabila kita bandingkan dengan
luasan areal tanaman perkebunan lainnya. Selain itu tingkat permintaan tembakau
yang dimiliki oleh Provinsi Lampung, pemerintah mencanangkan upaya
pengembangan tanaman tembakau di beberapa kabupaten di Provinsi Lampung .
Kondisi petani tembakau yang sangat lemah, baik dalam hal manajemen dan
profesionalisme, serta terbatasnya akses terhadap permodalan, teknologi dan
jaringan pemasaran, maka diperlukan peran serta pengusaha besar (pemilik
modal) untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam bentuk
kemitraan. Oleh karena itu pengembangan usahatani tembakau di Provinsi
Lampung dikelola secara kemitraan. Menurut Hafsah (2003), kemitraan usaha
merupakan suatu bentuk kerjasama yang tepat untuk mengatasi permasalahan.
Dampak dari program kemitraan diharapkan tidak hanya menguntungkan para
pelaku ekonomi atau perusahaan saja, melainkanjuga harus membawa dampak
positif bagi seluruh kehidupan petani. Hubungan kemitraan diharapkan dapat
menyelesaikan segala permasalahan, seperti dalam hal permodalan, teknologi,
saprodi, penetapan harga serta pemasaran hasil dengan mendapat bantuan dari
pihak luar.
Kemitraan yang terjalin diartikan sebagai kerjasama yang sinergis antara dua
belah pihak untuk melaksanakan suatu kegiatan usahatani tembakau. Hasilnya,
para pemasok dan petani yang menjadi mitra telah senantiasa sanggup memasok
tembakau yang berkualitas bagi fasilitas produksi perusahaan pengelola. Program
kemitraan PT Export Leaf Indonesia (ELI) bertujuan untuk membantu para petani
mengembangkan usaha pertanian tembakau berkualitas yang berkesinambungan.
Kondisi Provinsi Lampung sangat cocok untuk ditanami tembakau. Tembakau
ditanam di areal persawahan. Sehingga pada saat petani padi sawah tidak
mendapat jatah air untuk bercocok tanam padi sawah, maka lahan sawah tersebut
dapat dimanfaatkan untuk budidaya tembakau. Oleh karena itu pengembangan
tembakau secara kemitraan ini diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan
petani yang biasanya hanya menanam tanaman palawija serta kacang-kacangan
pada saat musim kemarau. Luas areal dan produksi menurut kabupaten dan kota
di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas areal dan produksi menurut kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2011 (ha)
Kabupaten/Kota Luas Areal (ha) Produksi Daun Kering Tembakau (ton)
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2011
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa Kabupaten Lampung Tengah memiliki
areal tembakau terluas yaitu dengan luas areal sebesar 162 ha kemudian
dilanjutkan oleh Kabupaten Lampung Timur yang memiliki luas areal sebesar 159
ha. Namun dari segi produksi Kabupaten Lampung Timur memiliki tingkat
produksi tertinggi yaitu sebanyak 145 ton dan urutan produksi tertinggi kedua
yaitu Kabupaten Lampung Tengah dengan tingkat produksi sebanyak 140 ton.
Disamping itu wilayah Lampung Timur juga sangat sesuai untuk budidaya
tembakau. Kabupaten Lampung Timur sudah mengembangkan tembakau di
Kabupaten Lampung Timur adalah salah satu dari 6 kabupaten wilayah
pengembangan tembakau di Provinsi Lampung yang animo masyarakat untuk
menanam tembakau sangat besar hal ini dapat diketahui dari data perkembangan
areal pada musim tanam tahun terakhir 2011 meningkat sampai 112% (159 ha)
dibandingkan empat tahun yang lalu yaitu tahun 2009 (75 ha). Namun disisi lain
produktivitas tembakau masih tergolong rendah yaitu sebesar 0,78 ton per hektar
sedangkan kebijakan pemerintah atas sasaran intensifikasi tembakau yaitu sebesar
1,2 ton per hektarnya (Larsito,2005).
Rendahnya produktivitas tembakau rakyat secara teknis dipengaruhi oleh berbagai
faktor produksi iklim cara budidaya serta keterbatasan modal / pendapatan petani
sehingga petani belum mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien.
Menurut Prabowo (2007), untuk memperoleh pendapatan bersih suatu usahatani
atau bisnis harus dapat menguasai modal dan pada umumnya usaha tani
memerlukan investasi modal yang cukup besar dibandingkan bisnis lain (non
pertanian) untuk mendapatkan tingkat pendapatan yang sama karena alasan ini
proses memperoleh modal menjadi sangat penting dan pendapatan didasarkan atas
produksi dan harga yang normal.
Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sangat baik
dikembangkan di Kabupaten Lampung Timur dalam mensejahterakan petani. Hal
itu yang membuat pemerintah Kabupaten Lampung Timur bekerjasama dengan
PT Eksport Leaf Indonesia sejak 4 tahun lalu untuk mengembangkan
komoditasyang cukup menjanjikan tersebut. Usahatani yang dilakukan oleh petani
Meskipun pada saat ini sudah dikeluarkan kampanye anti rokok seperti yang
tertuang dalam PP No. 81/ 1999 tentang pengaruh rokok bagi kesehatan, PP
No.38 / 2000 yang merupakan penyempurnaan dari PP No. 81/ 1999, serta PP No.
19 / 2003 tentang pembatasan kadar nikotin dalam rokok, namun bagi petani
tembakau di Kabupaten Lampung Timur keadaan ini tidak menyurutkan mereka
untuk tetap menanam tembakau, bahkan dari tahun ke tahun ada kecenderungan
terjadi peningkatan luas areal tanam selama penggalakkan budidaya tembakau di
Lampung. Ini terjadi karena menurut persepsi para petani menanam komoditas
tembakau lebih menguntungkan dibandingkan dengan menanam komoditas lain
(Dinas Perkebunan, 2012).
B. Perumusan Masalah
Kabupaten Lampung Timur merupakan produsen tembakau terbesar di Provinsi
Lampung dengan luas areal dan produksi cukup besar daripada wilayah kabupaten
lain. Usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur merupakan hasil kerja
sama antara PT Export Leaf Indonesia (ELI) dengan petani mitra. Ditinjau dari
pengembangan areal serta total produksi tembakau di Kabupaten Lampung Timur
pada beberapa tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa animo petani dalam usahatani tembakau masih cukup besar .
Namun produktivitas yang dihasilkan masih tergolong rendah apabila
dibandingkan dengan sasaran kebijakan pemerintah mengenai intensifikasi
tembakau. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa produksi tembakau di
Kabupaten Lampung Timur belum efisien. Produktivitas yang rendah
Berdasarkan kondisi tersebut, maka dibutuhkan cara untuk meningkatkan
produktivitas yaitu dengan meningkatkan tingkat efisiensi penggunaan
faktor-faktor produksi pada usahatani tembakau.
Dari segi ekonomi, ciri yang sangat penting pada petani kecil adalah terbatasnya
sumberdaya dasar tempat ia berusahatani. Pada umumnya, petani hanya
menguasai sebidang lahan kecil, kadang-kadang disertai ketidakpastian dalam
pengelolaannya. Lahannya sering tidak subur dan terpencar-pencar dalam
beberapa petak. Bersamaan dengan itu, petani juga tidak dapat menentukan harga
karena harga hanya dapat ditentukan oleh perusahaan yang bermitra dengan para
petani, sehingga berpengaruh terhadap areal serta pendapatan dari usaha tani
tembakau rakyat.
Luas areal tanaman tembakau disesuaikan dengan kebutuhan tembakau oleh
perusahaan pengelola dan diharapkan terjadi keseimbangan antara jumlah
kebutuhan dengan jumlah produksi tembakau, sehingga dengan demikian akan
memperbaiki harga tembakau dan tingkat pendapatan petani tembakau. Oleh
karena itu, peran kemitraan antara PT Export Leaf Indonesia (ELI) dengan petani
mitra tembakau juga diharapkan lebih mampu menciptakan perbaikan pendapatan
dan kesejahteraan petani mitra. Dengan demikian dapat diambil manfaat yang
sesungguhnya dari hadirnya kemitraan untuk dapat memperbaiki kesejahteraan
petani yang bermitra dengan PT Export Leaf Indonesia (ELI).
Dalam upaya pengembangan tembakau selain menghadapi permasalahan seperti
produktivitas rendah, harga faktor produksi (upah tenaga kerja, harga bibit, harga
tembakau berfluktuasi tidak menentu, cara budidaya yang kurang maju, serta
terbatasnya penguasaan lahan garapan usahatani yang tersedia. Oleh karena itu
petani dituntut untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang terbatas secara
efisien.
Permasalahan mengenai produktivitas terkait dengan efisiensi. Efisiensi dapat
mempengaruhi tingkat produksi dengan menunjukkan pada seberapa besar output
maksimum dapat dihasilkan dari tiap atau kombinasi input yang tersedia. Petani
dapat dikatakan efisien jika menghasilkan output dengan kuantitas yang sama
tetapi penggunaan input yang lebih sedikit dari petani lainnya atau menggunakan
kuantitas dan kombinasi yang sama tetapi menghasilkan output yang lebih banyak
dari petani lainnya.
Teknik budidaya yang dilakukan petani, termasuk penggunaan dari faktor-faktor
produksi mempengaruhi efisiensi teknis dari suatu usahatani. Jika semakin tinggi
efisiensi petani, maka inefisiensinya semakin kecil. Adanya pengaruh terhadap
efisiensi ini terlihat dari kondisi terdapatnya gap atau kendala yang membuat
petani tidak mampu memperoleh output yang seharusnya diperoleh dari kegiatan
usahatani. Jadi, perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
efisiensi. Jika efisiensi tinggi maka pendapatan yang diterima petani semakin
maksimal. Meningkatnya produktivitas ini, maka berpengaruh pada penerimaan
dan pendapatan yang petani peroleh. Oleh karena itu penelitian tentang efisiensi
produksi tembakau sangat relevan untuk dilakukan.
(1) Bagaimana kemitraan yang terjadi pada usahatani tembakau di Kabupaten
Lampung Timur?
(2) Bagaimana efisiensi produksi usahatani tembakau di Kabupaten Lampung
Timur?
(3) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani
tembakau di Kabupaten Lampung Timur?
(4) Berapa besarnya pendapatan petani tembakau di Kabupaten Lampung Timur?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah :
(1) Mengkaji kemitraan yang terjadi pada usahatani tembakau di Kabupaten
Lampung Timur.
(2) Menganalisis efisiensi produksi usahatani tembakau di Kabupaten Lampung
Timur.
(3) Mengkaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis
usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur.
(4) Menghitung besarnya pendapatan usahatani tembakau di Kabupaten
Lampung Timur.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan oleh penelitian ini adalah:
(2) Sebagai pertimbangan bagi instansi terkait dalam penentuan kebijakan dan
pengambilan keputusan.
(3) Sebagai pembanding dan referensi bagi peneliti lain yang melakukan
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A.Tinjauan Pustaka
1. Usahatani Tembakau ( Nicotiana tabaccum L)
Tanaman tembakau merupakan tanaman berakar tunggang yang tumbuh tegak ke
pusat bumi. Akar tunggangnya dapat menembus tanah kedalaman 50- 75 cm,
sedangkan akar serabutnya menyebar ke samping. Selain itu, tanaman tembakau
juga memiliki bulu-bulu akar. Perakaran akan berkembang baik jika tanahnya
gembur, mudah menyerap air,dan subur. Tanaman Tembakau memiliki bentuk
batang agak bulat, agak lunak tetapi kuat, makin ke ujung, makin kecil. Ruas-ruas
batang mengalami penebalan yang ditumbuhi daun, batang, tanaman bercabang
atau sedikit bercabang. Pada setiap ruas batang selain ditumbuhi daun, juga
ditumbuhi tunas ketiak daun, diameter batang sekitar 5 cm. Daun tanaman
tembakau berbentuk bulat lonjong (oval) atau bulat, tergantung pada varietasnya.
Daun yang berbentuk bulat lonjong ujungnya meruncing, sedangkan yang
berbentuk bulat, ujungnya tumpul. Daun memiliki tulang-tulang menyirip, bagian
tepi daun agak bergelombang dan licin. Lapisan atas daun terdiri atas lapisan
palisade parenchyma dan spongy parenchyma pada bagian bawah. Jumlah daun
Tanaman tembakau pada umumnya tidak menghendaki iklim yang kering ataupun
iklim yang sangat basah. Angin kencang yang sering melanda lokasi tanaman
tembakau dapat merusak tanaman (tanaman roboh) dan juga berpengaruh terhadap
mengering dan mengerasnya tanah yang dapat menyebabkan berkurangnya
kandungan oksigen di dalam tanah. Untuk tanaman tembakau dataran rendah,
curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, sedangkan untuk tembakau dataran tinggi,
curah hujan rata-rata 1.500-3.500 mm/tahun. Penyinaran cahaya matahari yang
kurang dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang baik sehingga
produktivitasnya rendah. Sehingga, lokasi untuk tanaman tembakau sebaiknya
dipilih di tempat terbuka dan waktu tanam disesuaikan dengan jenisnya. Suhu
udara yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tembakau berkisar antara 21-32,30
derajat celcius. Tanaman tembakau dapat tumbuh pada dataran rendah ataupun di
dataran tinggi bergantung pada varietasnya. Ketinggian tempat yang paling cocok
untuk pertumbuhan tanaman tembakau adalah 0 - 900 mdpl (Cahyono,1998).
Secara umum pedoman teknis budidaya tembakau tidak jauh berbeda pada tiap
jenisnya. Pada proses pengolahan tanah dilaksanakan dengan menggunakan alat
pertanian berupa hand Tractor minimal 2x pembajakan untuk mempersiapkan
media terbaikbagi proses penanaman tembakau dengan menjaga kesuburan tanah.
Empat puluh lima hari sampai dengan lima puluh hari (45 s/d 50) setelah benih
ditabur, bibit ditanam pada tanah gulud dan di lahan yang telah dipilih dengan
luasan yang sesuai dan perlu diketahui sebelum penanaman bibit perlu diadakan
pemangkasan, agar tidak terjadi stagnasi. Jarak tanam yang digunakan adalah 115
x 55 cm. Pada tahapan penanaman ini dilakukan pemupukan I dengan
digunakan pupuk fertila dengan dosis 10 gr/batang. Pemupukan ke II dengan
umur tanaman 21 hari dilakukan Pemupukan dengan KNO3 dengan dosis 5
gr/batang.
Setelah dilakukan pemupukan, kemudian tahap selanjutnya yaitu pembumbunan.
Pembumbunan adalah proses yang dilakukan untuk tanah tetap gembur,sebagai
persiapan media tumbuh yang baik bagi tanaman tembakau dan sekaligus untuk
membersihkan tanaman pengganggu (gulma). Adapun sistim irigasi (pengairan)
yang tepat sangat penting dalam menjamin kualitas clan tingkat produktifitas
tembakau virginia. Pengendalian hama penyakit juga sangat penting untuk
dilakukan dalam budidaya tembakau. Pengendalian hama terpadu dilaksanakan
sesuai kondisi tanaman yang ada dengan memprioritaskan penggunaan Bio
pestisida dengan pengawasan secara berkala, terhadap residu pestisida baik pada
tanaman tembakau virginia. Adapun penggunaan pestisida dan bahan kimia bisa
digunakan tergantung serangan hama yang ada.
Setelah 3-4 bulan ditanam di ladang, tembakau siap dipanen. Bagi berbagai jenis
tembakau, terdapat beberapa metode panen. Dua metode yang paling lazim
diterapkan adalah – priming, yaitu di mana tembakau dipanen secara berurutan
dalam beberapa tahap, mulai dari daun yang berada di dekat permukaan tanah
yang matang lebih dulu, lalu ke bagian yang lebih atas setelah matang. Potensi
hasil produksi tembakau yaitu sebesar 1,75- 2,25 ton/ha daun kering.
Tembakau dapat dijual dalam wujud kering oven atau pengomprongan
(Curing). Curing merupakan proses biologis yaitu melepaskan kadar air dari daun
menentukan kualitas akhir daun yang didapat, dan kecakapan si petani berperan
penting dalam mendapatkan cita rasa khas masing-masing jenis tembakau.
Tembakau Virginia dikeringkan melalui proses yang disebut flue curing yaitu
tembakau digantung dalam omprong pengering khusus untuk mengeringkan
airnya (Abdullah, 2002).
2. Konsep Kemitraan
Menurut Partomo dan Soejoedono (2002), kemitraan usaha adalah hubungan kerja
sama usaha di antara berbagai pihak yang sinergis, bersifat sukarela dan
berdasarkan prinsip saling membutuhkan, saling mendukung dan saling
menguntungkan, dengan disertai pembinaan dan pengembangan UKM oleh usaha
besar. Martodireso dan Suryanto (2002) menyatakan bahwa kemitraan usaha
pertanian merupakan salah satu instrumen kerja sama yang mengacu kepada
terciptanya suasana keseimbangan, keselarasan, dan keterampilan yang didasari
saling percaya antara perusahaan mitra dan kelompok melalui perwujudan sinergi
kemitraan, yaitu terwujudnya hubungan yang saling membutuhkan, saling
menguntungkan dan saling memperkuat.
Menurut Mardikanto (2009), kemitraan adalah kerjasama yang sinergis antar dua
atau lebih pihak untuk melaksanakan suatu kegiatan. Kerjasama tersebut
merupakan pertukaran sosial yang saling memberi, bersifat timbal balik dan saling
menerima. Kemitraan yang sinergis berjalan jika semua informasi, teknologi,
kelembagaan, input, pasar, dan risiko kegagalan berlangsung transparan.
dalam tatanan yang seimbang dan berlangsung dua arah. Pada tatanan bisnis,
program kemitraan agribisnis, melibatkan petani plasma, organisasi kelompok
tani, dan perusahaan inti. Pemerintah berperan sebagai regulasi dan fasilitasi,
sedangkan tiga pihak yang disebut terdahulu berperan kunci dalam pembangunan
kemitraan agribisnis.
Hafsah (2003), menyatakan bahwa tujuan kemitraan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan kemitraan adalah meningkatkan pendapatan usaha kecil dan
masyarakat, meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan,
meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat, meningkatakan
pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, memperluas kesempatan
kerja, meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Kemudian Hafsah (2003)
menyatakan bahwa manfaat kemitraan adalah segala sesuatu atau hasil yang
didapat perusahaan atau petani (tembakau) dari pelaksanaan kemitraan tersebut,
seperti peningkatan ketrampilan, pengetahuan, pendapatan, serta peningkatan
hasil produksi.
Keberhasilan program kemitraan dapat dilihat dari berbagai sisi. Dari sisi persepsi
petani, kemitraan yang berhasil adalah kemitraan yang mampu meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Dari sisi persepsi perusahaan inti dan petani
plasma, kemitraan yang berhasil adalah jika menguntungkan dan membuat usaha
agribisnis mereka berkelanjutan. Dari sisi persepsi pemerintah, kemitraan yang
berhasil adalah apabila kemitraan tersebut mampu menggerakkan kegiatan
Pola kerjasama melalui kemitraan usaha yang berjalan di sektor tananam pangan
selama ini ada beberapa macam dan penerapannya disesuaikan dengan
perusahaan, petani dan kondisi daerah setempat. Hafsah (2003) menyatakan
bahwa secara umum pola kemitraan yang berkembang di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi :
(1) Pola Inti Plasma
Pola inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra
usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Perusahaan inti
menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
manampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi, sedangkan kelompok
mitra usaha plasma memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan
persyaratan yang telah disepakati sehingga hasil yang diciptakan harus
mempunyai daya kompetitif dan nilai jual yang tinggi.
(2) Pola Subkontrak
Pola subkontrak merupakan pola hubungan kemitraan antara perusahaan
dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan
oleh perusahaan sebagai bagian dari komponen produksinya. Pola subkontrak
memiliki kecenderungan mengisolasi produsen kecil sebagai subkontrak pada
suatu bentuk hubungan monopoli dan monopsoni, terutama dalam hal
penyediaan bahan baku dan pemasaran.
(3) Pola Dagang Umum
Pola dagang umum merupakan pola kemitraan di mana perusahaan
yang diperlukan oleh perusahaan. Pola kemitraan ini memerlukan struktur
pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik perusahaan besar maupun
perusahaan kecil. Sifat dari kemitraan ini pada dasarnya adalah membeli dan
menjual produk dari kelompok mitra petani.
(4) Pola Keagenan
Pola keagenan merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan di mana
usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha
menengah atau usaha besar sebagai mitranya.
(5) Pola Waralaba
Pola waralaba merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra
usaha dengan perusahaan mitra usaha di mana perusahaan memberikan hak
lisensi, merek dagang, maupun saluran distribusi perusahaanya kepada
kelompok mitra usaha sebagai penerima waralaba yang disertai dengan
hubungan bimbingan manajemen.
3. Konsep Usahatani
Menurut Soekartawi (1995), ilmu usahatani biasanyadiartikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir
faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga
memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu
usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan,
mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi
semaksimal mungkin. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa tujuan akhir dari
usahatani adalah memperoleh pendapatan setinggi-tingginya. Salah satu manfaat
dari análisis usahatani ini adalah untuk memperkirakan perkembangan bisnis
komoditas ini di masa depan.
Suatu usahatani dikatakan berhasil atau tidak diketahui dari besarnya pendapatan
atau keuntungan yang diperoleh. Besarnya tingkat perolehan pendapatan petani
dari usahataninya merupakan keberhasilan petani dalam mengkombinasikan
penggunaan faktor-faktor produksi. Faktor produksi merupakan korbanan yang
diberikan pada tanaman tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik.
Faktor-faktor produksi ini akan menentukan besar kecilnya produksi yang
dihasilkan (Mubyarto, 1989). Faktor-faktor produksi merupakan benda atau jasa
yang disediakan oleh alam atau dihasilkan oleh manusia dan digunakan untuk
menghasilkan berbagai macam barang atau jasa. Faktor-faktor produksi yang
umum digunakan di bidang pertanian antara lain lahan, benih, pupuk, pestisida,
tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Usahatani yang baik adalah usahatani yang bersifat efisien, mempunyai
produktivitas yang tinggi dan bersifat terus menerus. Menurut Mubyarto (1989),
produktivitas dan produksi pertanian yang tinggi dapat dicapai melalui dua cara,
yaitu:
a) Perbaikan alokasi sumberdaya yang dimiliki petani termasuk penggunaan
lahan, tenaga kerja, serta penyempurnaan kombinasi usahatani. Tinggi
petani. Pada tingkat biaya dan harga produk yang sama, maka keuntungan
akan lebih tinggi apabila produktivitasnya tinggi.
b) Memperkenalkan sumberdaya baru dalam bentuk modal dan teknologi.
Teknologi baru dapat berupa jenis tanaman dan sarana lainnya yang dapat
digunakan dalam proses produksi. Suatu teknologi baru dapat diterima
petani jika mampu memberikan keuntungan yang berarti, dan dengan
penerapan teknologi akan meningkatkan keuntungan petani.
4. Konsep Produksi
Produksi merupakan suatu proses untuk merubah faktor produksi (input) menjadi
produk (output). Secara lebih luas, produksi diartikan sebagai suatu proses
pengombinasian penggunaan faktor produksi dan sumber daya untuk
menghasilkan suatu produk berupa barang atau jasa (Arifin, 1995). Hubungan
antara faktor produksi dengan produk yang dihasilkan merupakan hubungan
fungsional yang disebut sebagai fungsi produksi. Fungsi produksi dinyatakan
dalam bentuk persamaan matematika sederhana sebagai :
Y = f (X1, X2, X3, ..., Xn) ... (1)
dimana : Y = Jumlah produk yang dihasilkan X1, ..., Xn = Faktor-faktor produksi
f = Fungsi yang menunjukkan hubungan dari perubahan input menjadi output
Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi logaritma yang umum
digunakan untuk menduga fungsi produksi dan dinilai lebih sesuai untuk
logis. Keistimewaan dari fungsi produksi Cobb-Douglas antara lain adalah
penyelesaiannya relatif mudah dan dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk
satuan linier, pendugaan garis menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus
merupakan besaran elastisitas produksi, dan jumlah besaran elastisitas tersebut
juga merupakan tingkat besaran return to scale. Fungsi produksi Cobb-Douglas
memiliki kelemahan karena sering terjadi multikolineritas, yaitu selang
kepercayaan menjadi lebih besar sehingga mengakibatkan uji hipotesis menjadi
lemah. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi multikolinearitas, yaitu :
mencari informasi pendahuluan, mengeluarkan satu atau lebih variabel
pengganggu, transformasi tabel, dan penambahan data baru.
Dalam perhitungan ekonomi usahatani dikenal tiga macam produk, yaitu produk
total (PT), produk rata-rata (PR), dan produk marginal (PM). Produk total (PT)
adalah jumlah produk (hasil yang diperoleh dalam proses produksi) yang
diproduksi selama periode waktu tertentu, dengan menggunakan semua faktor
produksi yang dibutuhkan dalam proses produksi. Produk rata-rata (PR) adalah
perbandingan antara produk total dengan input produksi. Produk marginal (PM)
adalah perubahan produksi (output) karena kenaikan satu-satuan faktor produksi
(input). Secara grafik, hubungan antara PT, PR, dan PM dinyatakan dalam kurva
Gambar 1. Hubungan antara PT, PR, dan PM Sumber : Soekartawi, 1990
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa terdapat tiga tahapan produksi, yaitu :
Daerah I : terjadi kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing return to
scale), di mana nilai dari elastisitas produksi lebih dari satu (Ep > 1), dan daerah
ini termasuk daerah irrasional karena penggunaan faktor produksi masih dapat
ditingkatkan lagi untuk menambah hasil (output/produksi).
Daerah II : terjadi kenaikan hasil berkurang (diminishing return to scale), di
mana nilai dari elastisitas produksi lebih besar dari nol tetapi lebih kecil dari satu
(0 < EP <1). Ketika unit tambahan suatu input variabel ditambahkan pada
input tetap setelah suatu titik tertentu, produk marjinal input variabel akan
menurun. Daerah ini termasuk daerah rasional, karena produksi optimal tercapai
pada daerah tersebut.
Daerah III : terjadi penurunan hasil (decreasing return to scale), di mana nilai
dari elastisitas produksi kurang dari nol (Ep < 0), dan termasuk daerah irrasional,
karena peningkatan penggunaan faktor produksi justru menyebabkan hasil
produksi menurun.
Mubyarto (1989) menjelaskan bahwa efisiensi produksi adalah banyaknya hasil
produksi fisik yang diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi. Dalam
melakukan usahatani, seorang petani akan berfikir bagaimana ia mampu
mengalokasikan sarana produksi (input) yang dimiliki seefisien mungkin untuk
dapat memperoleh produksi yang maksimal. Dalam ilmu ekonomi, cara berfikir
demikian sering disebut dengan pendekatan memaksimumkan keuntungan atau
profit maximization.
Di lain pihak, manakala petani dihadapkan pada keterbatasan biaya dalam
melaksanakan usahataninya, maka mereka juga tetap mencoba bagaimana
meningkatkan keuntungan tersebut dengan kendala biaya usahatani yang ia miliki,
yang jumlahnya terbatas. Suatu tindakan yang dapat dilakukan adalah bagaimana
memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan menekan biaya produksi
sekecil-kecilnya. Pendekatan seperti ini dikenal dengan istilah meminimumkan
biaya atau cost minimization.
5. Konsep Efisiensi Produksi
Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud dengan efisiensi adalah usaha untuk
menghasilkan output tertentu dengan menggunakan input minimal (minimisasi)
atau menggunakan input tertentu untuk menghasilkan output yang maksimal
(maksimisasi). Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara
dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainya apabila menghasilkan output
yang lebih tinggi nilainya untuk tingkatan korbanan yang sama atau dapat
mengurangi input untuk memperoleh output yang sama, jadi konsep efisiensi
merupakan suatu konsep yang relatif.
Fungsi produksi frontier menggambarkan produksi maksimum yang dapat
dihasilkan untuk sejumlah masukan produksi yang dikorbankan. Model produksi
frontier dimungkinkan menduga atau memperkirakan efisiensi relatif suatu
kelompok atau usahatani tertentu yang didapatkan dari hubungan antara produksi
dan potensi produksi yang dapat dicapai. Karakteristik yang cukup penting dari
model produksi frontier untuk menduga efisiensi teknik adalah adanya pemisahan
dampak dari goncangan peubah eksogen terhadap keluaran melalui kontribusi
ragam yang menggambarkan efisiensi teknik.
Gambar 2. Tiga komponen efisiensi dalam fungsi produksi frontier Sumber : Soekartawi,1994
Q’ = produksi frontier
Q” = produksi aktual tingkat petani
OQ’’/OQ’ = Efisiensi Teknis (ET) OQ’/OQ
OQ’/OQ* = Efisiensi Ekonomi (EE)
Keterangan :
Q’ = produksi frontier
Q” = produksi aktual tingkat petani Q* = produksi pada efisiensi ekonomis
X = input usahatani
OQ”/OQ’ = efisiensi teknis
OQ;/OQ = efisiensi harga
OQ’/OQ* = efisiensi ekonomi
Secara ekonomi keadaan yang paling efisien adalah keadaan keuntungan
maksimum. Keadaan tersebut tercapai pada saat titik A (Gambar2), yaitu pada
penggunaan input sebesar 0X1* dan produk yang dicapai sebesar OQ*.
Penggunaan input sebesar OX1’, bilaproduksi yang dicapai OQ’ (titik B), maka
dapat dikatakan bahwa usahatani yang dilakukan petani dalam keadaan price
inefficient sebab penggunaan input masih dapat ditingkatkan agar efisiensi
ekonomi tercapai, dalam hal ini petani mempertimbangkan input – output rasio.
Pada keadaan tersebut usaha petani dalam keadaan efisien secara teknis, karena
produksinya yang dihasilkan tinggi, yaitu dapat mencapai fungsi produksi
frontiernya. Penggunaan input sebesar OX1’, produk yang dicapaisebesar OQ”
(titik C), maka usahatani dalam keadaan economic inefficient, yaitu terjadi
technical inefficient karena produksi rendah, dan terjadi price inefficient karena
sebenarnya penggunaan input terlalu sedikit.
Menurut Widodo (1989), mengukur efisiensi dapat dilakukan dengan cara
membandingkan antara produksi dengan fungsi produksi frontiernya. Kelebihan
pendekatan fungsi produksi frontier adalah dapat menduga tingkat efisiensi pada
apabila petani mampu memperoleh produksi yang lebih tinggi mendekati fungsi
frontiernya.
Menurut Soekartawi (1994), fungsi produksi frontier adalah hubungan fisik
antara faktor produksi dan produksi pada frontier yang posisinya terletak pada
garis isokuan. Garis isokuan merupakan tempat kedudukan titik-titik yang
menunjukkan titik kombinasi penggunaan masukan produksi yang optimal.
Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar3.
Gambar 3. Ukuran efisiensi menurut cara Farrel
UU’ adalah garis isokuan. Semua titik yang terletak di garis tersebut adalah titik
yang menunjukkan bahwa di titik tersebut terdapat produksi yang maksimum.
Garis PP’ adalah garis biaya, maka setiap titik yang berada di garis tersebut adalah
menunjukkan biaya optimal yang dapat digunakan untuk memberi input X1 dan X2
untuk mendapatkan produksi yang optimum. Usahatani di titik B adalah usahatani
yang efisien secara teknis, tetapi bukan merupakan usahatani yang efisien secara
harga. Usahatani yang dilakukan di titik C merupakan usahatani yang tidak efisien
Fungsi frontier diklasifikasikan sebagai deterministic non parametric frontier
dimana nilai X mempunyai nilai tertentu dan tidak stokastik. Pada konsep
deterministic non parametric frontier berlaku anggapan bahwa perbandingan
faktor produksi dan produksi dapat diturunkan langsung melalui teknik linier
programing. Kelemahannya jika terdapat pengamatan yang ekstrim, maka data
akan mengganggu. Persamaan konsep non deterministik parametrik frontier :
a
iX
ibieuLogYi = Logai + biLogXi + u
Dimana u > 0
Pada konsep berlaku anggapan bahwa Y pada persamaan adalah diperlakukan
lebih kecil dari f(X) sehingga
Yi < aiXibieu atau Y < f(X)
Dengan demikian besaran a dan b dapat diduga dengan menggunakan linier
programing.
Timmer (1971) dalam Soekartawi (1994) mengembangkan pendapat Farrel yang
mengukur efisiensi pada masing-masing individu yang diamati dengan rumus :
i
Y ^ i Y ET
Keterangan :
ET : tingkat efisiensi teknis (produksi)
Yi : produksi aktual ke-i
Untuk menduga fungsi produksi frontier, maka diasumsikan bahwa fungsi
produksinya berbentuk sebagai berikut :
m
atau dalam bentuk logaritma natural :
m
= elastisitas untuk output ke j
Xij = kuantitas penggunaan input ke-j untuk usahatani ke i Ei = kesalahan-kesalahan (error)
Produksi frontier merupakan produksi potensial suatu usahatani, dengan demikian
produksi frontier besarnya selalu lebih besar atau paling tidak sama dengan
produksi aktual. Misalnya produksi aktual adalan Yai, maka :
y1≥ yi ...……..………. . (11)
yi
Oleh karena ada n usahatani, maka persamaan (14) dapat ditulis menjadi :
i j
Apabila persamaan (15) dibagi dengan n, maka diperoleh :
j
= rerata output aktual
Karena n dan ŷ a adalah suatu konstanta, maka dapat dihilangkan dari struktur
program linier yang digunakan untuk mengestimasi koefisien-koefisien fungsi produksi.
Teknik yang digunakan untuk meminimalkan persamaan (16) adalah linier
programming sebagai berikut :
Diminimalkan :
Yi = hasil produksi aktual usahatani ke-i
bo dan bi adalah parameter yang diduga
Seluruh variabel ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma. Output frontier
diperoleh dengan cara memasukkan penggunaan input-input kedalam fungsi
produksi frontier :
Efisiensi teknis masing-masing dihitung dengan rumus (Soekartawi, 1994)
persen
ETi = tingkat efisiensi teknis (produksi) usahatani ke-i
Yi = produksi aktual usahatani ke-i
Formulasi hipotesis yang digunakan sebagai berikut :
Ho : ET = 1 (rata-rata efisiensi teknis sama dengan satu) berarti usahatani yang
dilakukan sudah efisien secara teknis.
H1 : ET ≠ 1 (rata-rata efisiensi teknis tidak sama denga satu) berarti usahatani
yang dilakukan belum efisien secara teknis.
6. Faktor – Faktor Penentu Efisiensi
Dalam kenyataan sering terjadi senjang produktifitas antara produktifitas yang
seharusnya dengan produktifitas yang dihasilkan oleh petani. Senjang
produktifitas tersebut dikarenakan adanya faktor yang sulit untuk diatasi manusia
(petani) seperti teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan
lingkungan misalnya iklim. Perbedaan hasil yang disebabkan oleh 2 faktor
tersebut menyebabkan senjang produktifitas antara hasil penelitian dengan
potensial suatu usahatani. Selain itu, senjang produktifitas biasanya juga terjadi
antara produktifitas potensial usahatani dengan produktifitas yang dihasilkan oleh
petani. Faktor utama yang menyebabkan senjang produktifitas tersebut
diantaranya: (1) adanya kendala biologis misalnya perbedaan varietas, masalah
tanah, serangan hama, perbedaan kesuburan dan sebagainya, dan (2) karena
kendala sosial ekonomi misalnya perbedaan besarnya biaya dan penerimaan
usahatani, kurangnya biaya usahatani, harga produksi, kebiasaan dan sikap,
kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan, adanya faktor ketidakpastian, resiko
berusahatani dan sebagainya (Soekartawi, 2002). Model yang menjelaskan
Gambar 4. Perbedaan hasil antara hasil lembaga penelitian dan hasil yang dicapai usahatani
Sumber : Soekartawi, 2002
Pada kenyataannya, senjang produktivitas ini terjadi karena adanya faktor yang
sulit diatasi oleh petani, seperti teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan
perbedaan lingkungan (misalnya, iklim). Karena dua faktor tersebut amat sulit
diatasi petani maka perbedaan hasil yang disebabkan kedua faktor itu
menyebabkan senjang produktivitas dari hasil-hasil penelitian dan dari potensial
suatu usahatani. Hal tersebut sering pula disebut dengan istilah “senjang
produktivitas pertama”. Selanjutnya, dikenal pula “senjang produktivitas kedua”
(yield gap II), yaitu perbedaan produktivitas dari suatu potensial usahatani dan
dari apa yang dihasilkan oleh petani.
Ada 2 faktor utama yang menyebabkan terjadinya yield gap II, antara lain:
pengganggu, serangan hama penyakit, masalah tanah dan kesuburannya, dan
lain-lain.
2) Kendala sosial-ekonomi, misalnya perbedaan besarnya biaya dan penerimaan
usahatani, kurangnya biaya usahatani yang didapatkan dari kredit, harga produksi,
kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan petani, adanya
faktor ketidakpastian, risiko usahatani, dan sebagainya.
Kedua kendala tersebut yaitu kendala biologi dan kendala sosial-ekonomi
seringkali berbeda untuk daerah yang satu dengan daerah lainnya. Sifatnya sangat
lokal dan spesifik atau sangat kondisional sekali. Situasi pertanian di dataran
tinggi akan berbeda dengan situasi pertanian di dataran rendah, demikian pula
halogya pertanian di daerah pasang-surut akan sangat berbeda dengan pertanian di
daerah persawahan, dan sebagainya.
Senjang produktivitas akan semakin lebar manakala terjadi in-efisiensi teknis dan
in-efisiensi harga. Senjang produktivitas dapat pula terjadi manakala petani tidak
berupaya mengejar keuntungan yang tinggi. Kalau prinsip-prinsip efisiensi
usahatani benar-benar diperhatikan oleh petani, ditambah dengan upaya
memanfaatkan kesempatan ekonomi maka persoalan meningkatkan produksi
bukan lagi merupakan masalah pokok dalam usaha pertanian. Masalah lainnya
tergantung pada keberhasilan petani atau produsen untuk memasarkan produknya.
Ada dua pendekatan untuk menguji sumber efisiensi teknis (tehnical
efficiency/TE) dan sekaligus sumber ketidakefisienan. Pertama merupakan
merupakan prosedur dua langkah. Langkah pertama, meliputi estimasi nilai
efisiensi (atau efek inefisiensi) untuk petani secara individu, sesudah
mengestimasi fungsi produksi frontier. Kedua, melakukan estimasi model regresi
dimana nilai efisiensi (inefisiensi yang diestimasi) dinyatakan sebagai fungsi
variabel sosio-ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi inefisiensi. Metode lain
adalah prosedur satu langkah, di mana efek inefisiensi dalam frontier yang dibuat
model dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menerangkan
inefisiensi produksi seperti dalam model (Coelli et al., 1998).
Hasil dari analisis fungsi produksi frontier ini yaitu akan diketahui faktor-faktor
apa saja berpengaruh terhadap efisensi teknis usahatani tembakau. Dengan
melakukan analisis fungsi produksi frontier akan terlihat tingkat efisiensi dari
masing-masing petani. Hasil ini dapat digunakan untuk pengambilan keputusan
pengkombinasian input-input usahatani yang optimal serta melihat faktor efisiensi
teknis yang mempengaruhi usahatani. Faktor-faktor tersebut diuji dengan
menggunakan metode statistik menurut Coelli (1998) yaitu :
Keterangan :
Y = efisiensi usahatani S1 = skala usaha (ha)
S2 = umur (th)
S3 = pendidikan petani (th)
S4 = pengalaman petani (th)
S5 = jarak tanam (cm)
7. Konsep Pendapatan
Menurut Hernanto (1994), besarnya pendapatan yang akan diperoleh dari suatu
kegiatan usahatani tergantung dari beberapa faktor yang mempengaruhinya,
seperti luas lahan, tingkat produksi, intensitas, pertanaman, dan efisiensi
penggunaan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan usahatani, petani berharap
dapat meningkatkan pendapatannya sehingga kebutuhan hidup sehari-hari dapat
terpenuhi. Harga dan produktivitas merupakan sumber dari faktor ketidakpastian,
sehingga bila harga dan produksi berubah, maka pendapatan yang diterima petani
juga berubah (Soekartawi, 1994).
Dalam pendapatan usahatani ada dua unsur yang digunakan, yaitu unsur
penerimaan dan unsur pengeluaran dari usahatani tersebut. Penerimaan adalah
hasil perkalian jumlah produk total dengan satuan harga jual, sedangkan
pengeluaran atau biaya adalah nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain
yang dikeluarkan pada proses produksi tersebut. Produksi berkaitan dengan
penerimaan dan biaya produksi. Penerimaan yang diterima petani masih harus
dikurangi dengan biaya produksi, yaitu keseluruhan biaya yang dipakai dalam
proses produksi tersebut (Mubyarto, 1989).
Menurut Hernanto (1994), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan
usahatani:
(a) Luas usaha, meliputi areal pertanaman.
(b) Tingkat produksi, yang diukur lewat produktivitas/ha dan indeks
pertanaman.
(d) Intensitas perusahaan pertanaman.
(e) Efisiensi tenaga kerja.
Soekartawi (1995) menyatakan bahwa biaya usahatani adalah semua pengeluaran
yang dipergunakan dalam usahatani. Biaya usahatani dibedakan menjadi dua,
yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya
tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang akan dihasilkan, sedangkan
biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh volume
produksi.
Secara matematis pendapatan usahatani dapat ditulis sebagai:
– – ... (18)
dimana :
π = pendapatan (Rp)
Y = hasil produksi (Kg)
Py = harga hasil produksi (Rp)
Xi = faktor produksi (i = 1,2,3,….,n)
Pxi = harga faktor produksi ke-i (Rp) BTT = biaya tetap total (Rp)
Untuk mengetahui usahatani menguntungkan atau tidak secara ekonomi
dapat dianalisis dengan menggunakan nisbah atau perbandingan antara
penerimaan dengan biaya (Revenue Cost Ratio R/C). Secara matematis R/C dapat
dirumuskan sebagai:
dimana :
R/C = nisbah penerimaan dan biaya PT = penerimaan Total (Rp) BT = biaya Total (Rp)
Kriteria pengambilan keputusan adalah:
(a) Jika R/C > 1, maka usahatani mengalami keuntungan, karena
penerimaan lebih besar dari biaya.
(b) Jika R/C < 1, maka usahatani mengalami kerugian, karena
penerimaan lebih kecil dari biaya.
(c) Jika R/C = 1, maka usahatani mengalami impas, karena penerimaan sama
dengan biaya.
8. Konsep Risiko Usahatani
Hampir setiap hari petani-petani dihadapkan pada kondisi usahatani dan hasil
produksi yang tidak pasti. Kejadian ini memiliki dampak yang signifikan terhadap
usahatani. Sebagai contoh : kondisi kurang hujan atau hujan terlalu besar, kondisi
tanaman-tanaman terserang penyakit dan hama yang menyebabkan kerusakan,
sehingga secara alami pertanian seringkali dianggap sebagai bagian dari alam.
Kondisi pasar yang dihadapi oleh petani juga sering mengandung ketidakpastian.
Ketika harga pasar tinggi petani tidak memiliki produk untuk dijual, sebaliknya
ketika petani berada dalam fase panen mereka menghadapi harga pasar yang
rendah. Harga dari komoditas pertanian sebagain besar tergantung pada kekuatan
pertanian dicirikan dengan kondisi yang penuh risiko dan ketidakpastian
(Debertin 1986).
Risiko merupakan kemungkinan kejadian yang akan menimbulkan dampak
kerugian. Dalam menjalankan suatu usahatani, setiap keputusan selalu
mengandung risiko. Oleh sebab itu kejelian menanggapi dan meminimalisir risiko
merupakan hal wajib yang harus dilakukan. Terutama agribisnis yang merupakan
usaha dengan makhluk hidup sebagai objek usaha akan sangat membutuhkan
penanganan risiko yang efektif. Risiko dalam agribisnis diantaranya risiko
produksi, disini dapat dilihat dalam hal produk yaitu produk tersebut gagal panen,
dan rendahnya kualitas produk. Risiko produksi di sektor pertanian lebih besar
dibandingkan dengan sektor non pertanian karena pertanian sangat berpengaruh
oleh alam seperti cuaca, hama penyakit, suhu, kekeringan, dan banjir. Risiko
berubah secara regional dan tergantung pada jenis dan kualitas tanah, iklim, dan
penggunaan irigasi. Hampir setiap proses produksi khususnya produksi pertanian,
risiko memainkan peranan yang sangat penting dalam keputusan penggunaan
input, yang pada akhirnya berpengaruh pada produktivitas (Just and Pope,1979).
9. Konsep Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi
informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat
sehingga dapat membuat keputusan yang benar. Kegiatan tersebut dilakukan oleh
seseorang yang disebut penyuluh pertanian (Van Den Ban dan Hawkins, 1999).
penyuluh pertanian merupakan agen bagi perubahan perilaku petani, yaitu
mendorong petani mengubah perilakunya menjadi petani dengan kemampuan
yang lebih baik dan mampu mengambil keputusan sendiri, yang selanjutnya akan
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Melalui peran penyuluh, petani
diharapkan menyadari akan kebutuhannya, melakukan peningkatan kemampuan
diri, dan dapat berperan di masyarakat dengan lebih baik.
Penyuluhan pertanian merupakan pendidikan nonformal bagi petani beserta
keluarganya agar mereka mau dan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka. Sebagai pendidikan nonformal, penyuluhan pertanian mempunyai potensi
yang besar untuk memperluas jangkauan pendidikan bagi masyarakat pedesaan
karena terbatasnya pendidikan formal yang ada dan pada waktu yang sama dapat
meningkatkan produktivitas serta kualitas usahatani dalam meningkatkan standar
hidup mereka.
Penyuluh pertanian kaitannya dengan pelaksanaan tugas dalam pembangunan
pertanian seringkali diungkapkan sebagai ujung tombak. Hal ini berarti ujung
tombaklah yang harus membawa dan menggerakkan bagian-bagian lainnya kearah
sasaran penyuluhan. Oleh karena itu kemampuan para penyuluh pertanian menjadi
sangat penting dalam membuka sasaran agar seluruh batang dari tombak turut
mengena sasaran. Seorang penyuluh membantu para petani di dalam usaha
mereka meningkatkan produksi dan mutu hasil produksinya guna meningkatkan
kesejahteraan mereka. Oleh karena itu penyuluh mempunyai banyak peran, antara
lain penyuluh sebagai pembimbing petani, organisator dan dinamisator, pelatih
pertanian. Para penyuluh juga berperan sebagai agen pembaruan yang membantu
petani mengenal masalah-masalah yang mereka hadapi dan mencari jalan keluar
yang diperlukan.
10. Kajian Penelitian Terdahulu
Wianno (2008) menganalisis usahatani tembakau di Desa Kali Anget, Kecamatan
Banyu Glugur, Kabupaten Situbondo. Dalam penelitian ini di dapat bahwa rata-rata
per kilogram tembakau di daerah penelitian adalah sebesar Rp10.000,00 dengan
rata-rata produksi per hektar 1.348,18 Kg, sehingga dalam setiap hektarnya akan
menghasilkan penerimaan sebesar Rp 13.481.818,00 dengan total biaya yang
dikeluarkan sebesar Rp 5.939.566. Jadi dapat dihitung pendapatan bersih petani
tambakau di Desa Kali Anget dalam setiap hektarnya yaitu Rp 7.542.252,00.
Perhitungan R/C pada penelitian ini yaitu 2,3. Sehingga setiap mengeluarkan biaya
sebesar 1 kali maka akan menghasilkan penerimaan sebesar 2,3 kali, jadi jika
mengeluarkan biaya sebesar Rp 1000.000,00 maka akan menghasilkan penerimaan
sebesar Rp 2.300.000,00.
Suginingsih (2005) meneliti tentang pendapatan dan efisiensi usahatani tembakau
voor oogst . Dalam penelitian ini didapat bahwa rata-rata produksi per hektar
2.048,13 kg, sehingga akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 49.155.017,00,
dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 14.561.713,00. Jadi dapat
dihitung pendapatan bersih petani tembakau di Desa Karang Budi rata-rata per
hektar yaitu Rp 34.593.304,00. Perhitungan R/C pada penelitian ini yaitu 3,40
sehingga usahatani tembakau di Desa Karang Budi, Kecamatan Gapura,
Fauziyah (2010) menganalisis tentang efisiensi teknis dan faktor-faktor yang
mempengaruhi efisiensi usahatani tembakau di Kabupaten Pamekasan. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat 4 jenis input yang berpengaruh
positif terhadap produksi tembakau yaitu bibit, pupuk urea, pupuk TSP dan pupuk
kandang. Analisis return to scale diperoleh sebesar 0,78 yang menunjukkan bahwa
produksi tembakau berada pada daerah decreasing return to scale. Terdapat 4
faktor yang berpengaruh terhadap inefisiensi usahatani tembakau yaitu
pendidikan, pendapatan lain, penyuluhan pertanian dan kontrak. Nilai efisiensi
teknis yang dicapai oleh petani tembakau berada pada kisaran 0,55 sampai 0,99
dengan rata-rata sebesar 0,78 dan sebagian besar petani berada pada kisaran
efisiensi teknis antara 0,70 sampai 0,89.
Ihsannudin (2010) meneliti tentang risiko usahatani tembakau di Kabupaten
Magelang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko usahatani tembakau jenis
Temanggung lebih tinggi dibandingkan jenis Muntilan karena tingginya curah
hujan, keadaan lahan dan harga jual rendah. Hasil analisis menunjukkan risiko
produksi tembakau jenis Temanggung dan Muntilan mengalami perbedaan.
Usahatani tembakau jenis Temanggung memiliki risiko yang lebih besar,
dikarenakan ditanam gunung dengan curah hujan yang tinggi. Tembakau jenis
Temanggung yang dibudidayakan pada lereng gunung memiliki permasalahan
B.Kerangka Pemikiran
Proses produksi tembakau dapat dikatakan sebagai cara, metode, teknik,
pelaksanaan produksi dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi yang tersedia.
Produksi terjadi hanya apabila sejumlah unsur-unsur produksi telah
dikombinasikan. Penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien merupakan hal
yang mutlak ada dalam proses produksi untuk keberhasilan produksi karena
keuntungan maksimum hanya akan tercapai dengan mengkombinasikan
faktor-faktor produksi secara efisien dan mencapai hasil yang maksimal. Peningkatan
produksi tembakau akan dapat meningkatkan pendapatan usahatani jika
kombinasi input-input yang digunakan optimal. Faktor-faktor produksi yang
diduga berpengaruh terhadap produksi tembakau adalah luas lahan, bibit, pupuk
KNO3, pupuk dolomite, pupuk fertila, obat-obatan, dan tenaga kerja.
Tujuan akhir dari suatu usahatani adalah memperoleh keuntungan yang
maksimum. Keuntungan merupakan selisih antara biaya dan penerimaan.
Besarnya keuntungan yang diterima petani ditentukan oleh harga hasil produksi
dan harga input. Oleh sebab itu, semakin tinggi harga yang diterima petani maka
semakin tinggi keuntungan petani. Keuntungan petani dapat ditingkatkan melalui
peningkatan kegiatan produksi, sedangkan produksi dapat ditingkatkan melalui
perbaikan penggunaan faktor produksi.
Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas
areal dan produksi terbesar dalam membudidayakan tanaman perkebunan
tembakau di daerah Provinsi Lampung dengan kondisi alam yang mendukung
dengan sistem kemitraan dengan PT Export Leaf Indonesia (ELI). Kerjasama ini
diharapkan dapat meningkatkan produksi tanaman tembakau di Kabupaten
Lampung Timur dan memenuhi permintaan di pasar dunia. Kondisi yang sesuai
untuk usahatani tembakau ditunjang dengan semakin luasnya areal pengembangan
tembakau seharusnya membuat produktivitas tembakau di Kabupaten Lampung
Timur dalam memproduksi tembakau juga besar, namun kondisi sebenarnya
adalah produktivitas tembakau masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan
produktivitas kebijakan pemerintah sasaran intensifikasi tembakau. Produktivitas
yang rendah ini mengindikasikan bahwa terdapat permasalahan dalam usahatani
tembakau di Provinsi Lampung. Dengan adanya produktivitas yang relatif rendah
ini maka akan berpengaruh terhadap pendapatan yang akan diperoleh oleh petani.
Untuk itu perlu diketahui/dikaji bagaimana efisiensi produksi usahatani tembakau.
Teknik budidaya yang dilakukan petani, termasuk penggunaan dari faktor-faktor
produksi juga mempengaruhi efisiensi teknis dari suatu usahatani. Faktor-faktor
yang diduga berpengaruh terhadap efisiensi teknis usahatani tembakau yaitu skala
usaha, umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, penyuluhan pertanian,
jarak tanam serta risiko. Faktor-faktor ini dirunut dari teori Gomes mengenai
senjang produktivitas dimana perbedaan hasil II disebabkan karena kendala
biologi (varietas, tanaman pengganggu, hama penyakit, masalah tanah dan
kesuburannya) dan kendala sosial ekonomi (biaya dan penerimaan, kredit,
kebiasaan dan sikap, pengetahuan, kelembagaan, ketidakpastian, risiko). Pada
lokasi penelitian usahatani tembakau dilakukan secara kemitraan sehingga
varietas yang digunakan adalah seragam. Kendala sosial ekonomi yaitu kebiasaan
penyuluhan pertanian, pengetahuan dicerminkan dari tingkat pendidikan, serta
variabel risiko.
Semakin tinggi efisiensi petani, usahatani yang dilakukan akan semakin efisien
dan mampu memberikan hasil yang optimal. Sehingga perlu diteliti mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi, karena apabila efisiensi tinggi maka
pendapatan yang diterima petani semakin tinggi. Pendapatan yang diperoleh oleh
petani dapat menjadi ukuran kesejahteraan petani tembakau. Selain itu dirasa
sangat perlu untuk dilakukan penelitian mengenai efisiensi produksi tembakau di
wilayah Kabupaten Lampung Timur ini sebagai daerah pengembangan baru dan
apakah usahatani tembakau menguntungkan bagi petani. Kerangka pemikiran
analisis efisiensi produksi dan pendapatanusahatani tembakau disajikan pada
Gambar 5. Kerangka pemikiran analisis efisiensi produksi dan pendapatan usahatani tembakau di Kabupaten Lampung Timur
Faktor Produksi 6. Pupuk Dolomite (X6) 7. Tenaga Kerja (X7)
4. Pengalaman Berusahatani 5. Penyuluhan Pertanian 6. Risiko
7. Jarak Tanam Harga Faktor
Produksi
PT Eksport Leaf Indonesia
Kemitraan Tembakau
Petani Tembakau Pengembangan Tembakau
C. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
(1) Diduga penggunaan faktor-faktor produksi secara teknis pada usahatani
tembakau di Kabupaten Lampung Timur belum efisien.
(2) Diduga skala usaha, umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani,
penyuluhan pertanian, risiko dan jarak tanam berpengaruh terhadap
III. METODE PENELITIAN
A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional
Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan
untuk menciptakan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan
penelitian, didefinisikan sebagai berikut :
Usahatani adalah himpunan sumber-sumber alam yang terdapat di tempat yang
diperlukan untuk produksi seperti tanah, air, perbaikan-perbaikan yang telah
dilakukan di atas tanah itu, sinar matahari, bangunan, dan lain sebagainya.
Kemitraan adalah adanya kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah
atau dengan usaha besar disertai oleh pembinaan dan pengembangan
berkelanjutan oleh usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip
saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan.
Produksi tembakau adalah jumlah output atau hasil panen tanaman tembakau yang
berupa daun kering dari luas lahan petani per musim tanam yang diukur dalam
satuan ton.
Produktivitas tembakau adalah hasil produksi per satuan luas lahan yang
digunakan dalam berusahatani tembakau. Produktivitas diukur dalam satuan ton
Luas lahan adalah tempat yang digunakan oleh petani untuk melakukan usahatani
tembakausecara monokultur selama satu musim tanam yang diukur dalam satuan
hektar (ha).
Benih tembakau adalah benih yang ditanam petani selama satu kali periode
produksi untuk menghasilkan produksi tembakau, diukur dalam satuan gram (gr).
Pupuk fertila adalah pupuk NPK dengan kandungan N: 8%, P:15%, K: 19%
dilengkapi dengan hara makro sekunder dan mikro yang diformulasikan khusus
untuk dipakai di tanaman tembakau yang diukur dalam satuan kilogram (kg).
Pupuk KNO3 adalah pupuk Kalium Nitrat yang diformulasikan dari bahan alami
dari tambang sumber Nitrat dan Kalium dari Chille. Mengandung nitrogen dalam
bentuk nitrat dan kalium yang mudah larut. KNO3 tidak memproduksi air
berlebihan pada daun tembakau yang diukur dalam satuan kilogram (kg).
Pupuk fertiphos adalah pupuk majemuk untuk mengoptimalkan penyerapan fosfat
pada tanaman tembakau yang diukur dalam satuan kilogram (kg).
Pupuk dolomit adalah pupuk yang berperan dalam transportasi fosfat pada
tanaman guna meningkatkan efisiensi serapan tanaman serta keseimbangan unsur
essensial yang dibutuhkan tanaman tembakau yang diukur dalam satuan kilogram
(kg).
Umur panen adalah jumlah hari/umur tembakau yang diusahakan tersebut di
Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dicurahkan dalam proses produksi
dalam satu kali musim tanam. Satuan ukuran yang digunakan adalah Hari Kerja
Pria (HKP). Tenaga kerja mesin, wanita, hewan, dan anak-anak dikonversikan ke
dalam HKP berdasarkan tingkat upah yang berlaku.
Upah tenaga kerja merupakan jumlah upah tenaga kerja yang dikeluarkan oleh
petani untuk membayar tenaga kerja yang diukur dalam satuan rupiah per HKP
(Rp/HKP).
Skala usaha adalah luas lahan yang digunakan oleh petani untuk usahatani
tembakau yang dinyatakan dalam hektar (ha).
Umur adalah usia responden dari awal kelahiran sampai pada saat penelitian
dilaksanakan. Umur responden diukur dalam satuan tahun.
Tingkat pendidikan adalah jumlah tahun sukses responden mengikuti pendidikan
formal. Lamanya pendidikan yang telah ditempuh oleh responden diukur dalam
tahun.
Pengalaman berusahatani adalah lamanya petani berusahatani yang dinyatakan
dalam tahun.
Penyuluhan Pertanian adalah pemberdayaan petani melalui kegiatan pendidikan
non formal di bidang pertanian. Penyuluhan diukur dari intensitas kedatangan
petani dalam setiap kegiatan penyuluhan.
Risiko adalah besarnya penyimpangan produksi dari produksi yang diharapkan pada
Jarak tanam merupakan pengaturan pertumbuhan dalam satuan luas. Jarak tanam
sangat erat kaitannya dengan jumlah tanaman yang akan dihasilkan.Jarak tanam
diukur sebagai variabel boneka (dummy). 1 = sesuai anjuran perusahaan, 0=tidak
sesuai anjuran perusahaan.
Biaya produksi adalah biaya pemakaian faktor-faktor produksi yang dikeluarkan
untuk kegiatan usahatani dalam satu kali musim tanam yang diukur dalam nilai
satuan rupiah (Rp).
Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang besar-kecilnya
tidak tergantung dari besar-kecilnya output yang diperoleh yang diukur dalam
satuan rupiah (Rp).
Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk usahatani yang besarnya
dipengaruhi oleh perolehan output dan berhubungan langsung dengan jumlah
produksi, merupakan biaya yang dipergunakan untuk memperoleh faktor produksi
berupa tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida yang diukur dalam satuan rupiah
(Rp).
Biaya angkut panen adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut tembakau
yang telah dipanen ke perusahaan mitra yang diukur dalam satuan rupiah (Rp)
Biaya transport adalah biaya yang dikeluarkan petani untuk membeli saprodi dari
perusahaan yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya solar adalah biaya yang dikeluarkan petani untuk solar sebagai bahan bakar
Biaya bahan bakar oven adalah biaya yang dikeluarkan petani untuk bahan bakar
dalam mengeringkan tembakau menggunakan oven dengan batubara sebagai
bahan bakarnya yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Bunga adalah besarnya bunga yang harus dikeluarkan petani atas modal yang
telah dipinjamkan oleh perusahaan yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani secara langsung dalam
proses produksi atau usahatani. Contohnya : biaya pembelian benih, pupuk,
pestisida, upah tenaga kerja dari luar keluarga diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani tetapi tidak
dalam bentuk modal tunai, tetapi dalam bentuk penggunaan faktor produksi dari
dalam keluarga dan dihitung dalam satuan rupiah (Rp).
Harga tembakau adalah nilai tukar tembakau di tingkat petani setelah penanganan
pascapanen, diukur dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/Kg).
Harga benih adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh petani untuk
membeli benih guna keperluan usahatani tembakau, diukur dalam satuan rupiah
per kilogram (Rp/Kg).
Harga pupuk adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh petani untuk
membeli pupuk guna keperluan usahatani tembakau, diukur dalam satuan rupiah