KABUPATEN BANYUWANGI ERA REFORMASI
POLITIK NASIONAL
ABD. QADIM HS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Jember Regency and Banyuwangi Regency in Reform Era of National Politic. Supervised by HADI S. ALIKODRA, HARIADI KARTODIHARDJO, dan SUMARDJO.
National park of Meru Betiri (TNMB) is 58,000 ha. Since 1960, more than 2,000 ha of national park of Meru Betiri (TNMB) has given to PT. New Sukamade Banyuwangi and PT. Bandealit Jember as Cultivation Rights Title/HGU. Through the Director General of PHPA Decree and Forestry Minister Decree No: 131/Kpts-II/1998, the government lengthened HGU of 2,155 ha in buffer zone of TNMB (Director General of PKA Decree No: 185/Kpts/DJ-V/1999). The lengthening of HGU in chaos national political condition triggered people to loot land of TNMB. This action occurred as a result of imbalance and scarcity of property right and narrow life space of community. Realizing chaos sociopolitical condition (2001-2003), TNMB invited national and local NGOs in order to take back looted/occupied land through rehabilitation program based on community development. Ramifications were social consequences of political co-operation of rehabilitation. Rehabilitation cooperation legalized access for planting. Impact of this cooperation was tenure issues lead to insecurity tenure for both parties. This study applied political ecology analysis to find that there was conflicts of access and natural resources benefits of and impact load caused by disparity of power, land ownership, and income between community groups in buffer villages with TNMB and community groups given access and privilages. This conflict triggered looting and occupation of land. The policy to legalize land distribution for planting resulted positive implication to economic people but negative to socio-culture people (local wisdom) and to ecological aspects (fail rehabilitation program) as results of conflict interests and treatment difference in rehabilitation.
(TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, HARIADI KARTODIHARDJO, DAN SUMARDJO.
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) memiliki luas 58.000 Ha. Sejak tahun 1960, lebih dari 2.000 Ha lahan dalam kawasan TNMB telah diberi HGU kepada PT. Sukamade Baru Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember karena faktor kesejarahan kawasan. Melalui SK Dirjen PHPA dan SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998), pemerintah telah mengeluarkan perpanjangan izin HGU kepada PT tersebut untuk kedua kalinya atas lahan dalam kawasan TNMB seluas 2.154 atau seluas 2.155 Ha pada zona penyangga (SK DirJend PKA No: 185/Kpts/DJ-V/1999). Izin HGU diberikan untuk masa pemanfaatan selama 25 tahun ke depan dan selanjutnya dapat diperpanjang lagi dalam kurun waktu yang sama (SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998).
Pemberian izin HGU kepada pihak minoritas dominan tersebut, telah menjadi preseden buruk yang mendorong masyarakat untuk menjarah dan mengokupasi lahan dalam kawasan TNMB. Tindakan itu terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan dan kelangkaan hak milik dan sempitnya ruang hidup masyarakat. Pengambilan-alihan kembali lahan yang terlanjur diokupasi oleh kelompok masyarakat ketika reformasi politik nasional berlangsung menjadi sesuatu yang tampaknya sulit dapat dilakukan sendiri oleh negara (Balai TNMB), dengan tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Berdasarkan pertimbangan situasi sosial politik di wilayah Tapal Kuda belum kondusif ketika itu (2001-2003), maka pihak Balai TNMB menggandeng LSM-L nasional dan lokal dalam rangka “mengambil kembali” lahan untuk direhabilitasi bersama kelompok masyarakat di 7 (tujuh) desa penyangga, melalui program rehabilitasi berbasis pemberdayaan masyarakat.
Masalah ramifikasi muncul pasca kesepakatan kerja-sama rehabilitasi melalui pembukaan akses dan hak menanam tanaman musiman dan tahunan berlangsung. Ramifikasi merupakan konsekuensi sosial politik yang terjadi dalam kerjasama rehabilitasi. Saat ini telah bergulir isu yang mengarah kepada “ketidakpastian tenurial“ (tenurial insecurity) baik pada pihak pengelola TNMB maupun pada pihak masyarakat desa penyangga TNMB. Tenurial insecurity terutama berkaitan dengan upaya, proses dan teknis “pengambilalihan kembali” lahan yang terlanjur didistribusikan kepada kelompok masyarakat, pasca program kerja-sama rehabilitasi berbasis pembukaan akses dan hak menanam dalam zona rehabilitasi yang telah berakhir Agustus 2008. Masalah lainnya adalah keberlanjutan peran dan fungsi serta pola hubungan antara organisasi petani rehabilitasi (OPR) dengan pihak Balai TNMB yang menginisiasi lahirnya OPR. Perhatian terhadap OPR menjadi penting, agar eksistensi OPR ke depan tidak berbalik menjadi kontra konservasi, karena merasa ditinggalkan oleh Balai TNMB.
hampir seluruh prosesnya lahir dari proses kesadaran (consciousness) bersama antara para pihak.
Berdasarkan analisis ekologi politik ditemukan adanya; 1. Konflik akses SDA yang mulai bersifat manifest, 2. Konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan, 3. Konflik yang bersifat laten yang dipicu oleh kesenjangan kekuasaan, keterbatasan kepemilikan tanah, dan kesenjangan pendapatan, 4. Perbedaan perlakukan dalam hal jenis bibit tanaman yang harus ditanam selama program kerja sama berlangsung (antara OPR VS PT. LDO Jember yang diberi HGU), bermuara pada gagalnya program rehabilitasi, sekalipun intervensi Balai TNMB sudah maksimal dan memakai simbol berbasis pemberdayaan masyarakat, dan 5. Distribusi lahan atau pemberian akases dan hak menanam tanaman dalam zona rehabilitasi bagi kelompok masyarakat desa penyangga tidak linier atau tidak serta merta diikuti dengan dukungan penegakan hukum dari kelompok masyarakat OPR. Artinya, eksistensi OPR tidak berkontribusi secara nyata dalam ikut menekan angka tindak pidana hutan (tipihut) yang terjadi dalam kawasan TNMB. Kebijakan distribusi lahan untuk membuka akses dan hak menanam tanaman dalam kawasan TNMB, berimplikasi positif pada aspek sosial ekonomi rumahtangga kelompok masyarakat desa penyangga. Di sisi lain, kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap aspek sosial budaya masyarakat (kearifan lokal) dan aspek ekologi (program rehabilitasi gagal).
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KABUPATEN BANYUWANGI ERA REFORMASI
POLITIK NASIONAL
ABD. QADIM HS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS...
2. Dr. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc...
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS...
Nama : Abd. Qadim HS
NRP : P062030101
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Hadi S. Alikodra, MS
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri Kabupaten Jember dan Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor.
Penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Tidak sempurna syukur seorang hamba kepada Allah Swt, tanpa rasa terima kasih kepada yang telah membantunya. Oleh karena itu, penulis wajib mengucapkan terima kasih yang sangat tulus dan tidak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr.Ir. H Hadi S Alikodra, MS sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini;
2. Prof. Dr. Ir. H Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Prof. Dr. Ir H Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku mantan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, beserta staf yang telah memberikan semangat, nasihat dan dukungan serta pelayanan akademik yang maksimal selama masa studi;
3. Rektor Universitas Islam Jember Drs. H. Achmad Zein, M.Pd beserta stafnya yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di SPS IPB;
4. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan dan berbagai layanan akademik kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di SPS program Doktor IPB;
5. Seluruh staf pengajar Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) SPS IPB dan staf layanan akademik yang telah banyak memberikan bantuan akademik bagi penulis selama menempuh pendidikan Doktor;
7. Keluarga Bapak/Ibu Haji Sullam (Sarongan) atas keramahan dan kebaikannya menyediakan tempat tinggal/ menginap dan menjadi keluarga baru bagi penulis selama melakukan penelitian di dua desa di Banyuwangi.
8. Bapak H. Sarbini dan Ibu Hj. St Hasanah (Almrh)), kakak dan adik-adik penulis yang telah membantu membangun fondasi keilmuan dan merawat serta mengawal cita-cita penulis dengan kiriman do’a yang tiada henti-hentinya kepada penulis;
9. Bapak Achamad Hadiroesmono (Alm) dan Ibu Hj. Kibtiyah (Mertua) yang terus mendorong dan memberi dukungan do’a, moral dan moril dan semangat untuk segera menyelesaikan tugas belajar;
10.Isteri tercinta Retno Handawiyah dan dua puteri kami: Rif’at Saidatul Hasanah Mataroakancilo dan Raziqa Malika Ilmi Mataroakancilo atas cinta, kasih sayang, dukungan moral, kesabaran dan pengertiannya yang tiada terkira selama mengikuti tugas belajar, menjadi semangat untuk menyelesaikan tugas belajar ini;
11.Keluarga besar Mas H. Sumadi dan Mbak Hj. Mariya Sumadi, memberi dukungan moral, semangat dan moril untuk segera menyelesaikan tugas belajar ini;
12.Sahabat-sahabat PCNU Kabupaten Jember, FPKB DPR-RI dan FPPP DPRD Kabupaten Jember yang telah banyak membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;
13.Kawan-kawan mahasiswa PSL angkatan 2003, 2004, 2005 dan 2006 atas kebersamaan, dukungan dan penerimaannya menjadi teman diskusi tentang topik-topik yang terkait dengan penelitian ini.
Peneliti berharaqp disertasi ini secara substantif akurat, dan dapat memicu peneliti dan para peminat masalah Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional lainnya, untuk menaruh penelitian lebih lanjut. Semoga Disertasi ini mendapat tanggapan dari khalayak akademis dan kaum intelektual yang berminat terhadap objek penelitian ini. Terima kasih atas doa dan kebaikan yang telah diberikan bapak, ibu, para sahabat dan keluarga kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas semua doa dan kebaikan bapak, ibu, para sahabat dan keluarga. Aamiin.
Bogor, Februari 2012
Abd. Qadim HS, lahir di Bima NTB pada tanggal 07 Desember 1967 adalah anak kedua dari 4 bersaudara dari ayah H. Sarbini dan ibu Hj. St Hasanah. Pendidikan SDN, SMPN 3 Bima dan SMAN 1 Bima diselesaikan di Kota Bima NTB. Pendidikan Sarjana Ilmu Pendidikan diperoleh dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember tahun 1992. Tahun 1995, melanjutkan pendidikan di PPs Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Program Studi Ilmu Lingkungan, dengan beasiswa dari Bapedal PCI Australia (Kontrol Polusi Jawa Timur), sebagai penggiat LSM-L Jawa Timur, selesai tahun 1998. Tahun 2003 diterima sebagai mahasiswa program Doktor (S3/BPPS) PS Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana (SPS) Institut Pertanian Bogor (IPB). Menikah dengan Dra. Retno Handawiyah tahun 1996 dan telah dikaruniai dua orang puteri yaitu : Rif’at Saidatul Hasanah Mataroakancilo (10 tahun), dan Raziqa Malika Ilmi Mataroakancilo (6 tahun).
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pemikiran ... 6
1.3 Permasalah Penelitian ... 10
1.4 Tujuan Penelitian ... 13
1.5 Manfaat Penelitian ... 13
1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19
2.1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Perspektif Ekologi Politik ... 19
2.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional ... 23
2.2.1 Sejarah gerakan konservasi ... 23
2.2.2 Kategori tujuan, manfaat dan permasalahan Taman Nasional ... 26
2.2.3 Konsep dan karakterisitk Taman Nasional ... 28
2.2.4 Rehabilitasi kawasan penyangga TNMB ... 31
2.3 Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 33
2.4 Hak-hak Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L ... 35
2.5 Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L .. 38
2.6 Aktor (Elite) dan Konflik dalam Pengelolaan SDA-L ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 43
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 43
3.2 Penentuan Substansi Penelitian ... 45
3.3 Paradigma Penelitian dan Posisi Peneliti ... 46
3.4 Rancangan Penelitian ... 48
3.5 Jenis dan Sumber Data ... 48
3.6 Penentuan Sampel ... 53
3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 55
3.8 Validitas dan Reliabilitas Data ... 57
3.9 Metode Analisis Data ... 58
3.9.1 Analisis efektivitas dan polarisasi implementasi kebijakan ... 60
3.9.2 Analisis akses dan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 62
3.9.3 Analisis kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 63
BAB IV KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN ... 65
4.1 Sejarah, Letak Geografis, Luas dan Batas Administratif ... 65
4.5 Keadaan Flora dan Fauna ... 70
4.5.1 Keadaan flora ... 70
4.5.2 Keadaan fauna ... 71
4.6 Kondisi Sosial Budaya dan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa-desa Penyangga TNMB ... 72
4.6.1 Jumlah penduduk ... 72
4.6.2 Tingkat pendidikan ... 74
4.6.3 Jenis mata pencaharian ... 75
4.7 Tata Guna dan Pemilikan Lahan ... 77
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79
5.1 Kebijakan pengelolaan TNMB dalam perspektif ekologi politik ... 79
5.1.1 Sumber-sumber politik pengelolaan TNMB sebagai sumber polarisasi dan konflik kepentingan aktor ... 79
5.1.1.1 Pola hubungan Balai TNMB dengan Pemerintah Kabupaten ... 81
5.1.1.2 Pola hubungan Balai TNMB dengan kelompok LSM-L ... 90
5.1.1.3 Pola hubungan Balai TNMB dengan masyarakat desa-desa penyangga ... 99
5.1.1.4 Pola hubungan Balai TNMB dengan PT. Perkebunan LDO dan Masyarakat Kebun ... 115
5.1.1.5 Pola hubungan PT. LDO Jember (PT. Sukamade dan PT. Bandealit) dengan masyarakat ... 120
5.1.1.6 Pola hubungan masyarakat dengan LSM: Kasus Desa Wonoasri ... 123
5.2 Kondisi Faktual dan Ramifikasi;... 129
5.2.1 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial budaya ... 132
5.2.2 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial ekonomi ... 136
5.2.3 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek ekologi ... 143
5.2.4 Kondisi faktual; dilema konservasi alam klasik versus konservasi alam populis dalam pemberdayaan masyarakat ... 153
5.2.5 Efektivitas penegakan Hukum Kehutanan dan Lingkungan ... 158
5.2.5.1 Efektivitas penegakan hukum ... 158
dalam pengelolaan TNMB ... 188
5.3 Dinamika dan ragam akses, hak dan kelembagaan masyarakat ... 200
5.3.1 Dinamika dan ragam akses masyarakat desa-desa penyangga ... 200
5.3.1.1 Akses sumberdaya hutan TNMB konvensional ... 200
5.3.1.2 Akses mafia pertambangan; ancaman pengelolaan TNMB ... 216
5.3.1.3 Gus Dur; Spirit akses pendudukan lahan ... 253
5.3.2 Dinamika dan ragam hak masyarakat desa-desa penyangga ... 257
5.3.2.1 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan hukum ... 257
5.3.2.2 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan teoritik ... 263
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 269
6.1 Kesimpulan ... 269
6.2 Saran Kebijakan ... 271
xiv
1 Perbedaan antara preservasi dengan konservasi ... 25
2 Kategori internasional kawasan hutan Taman Nasional berdasarkan tujuan pelestarian ... 27
3 Kegiatan yang dibolehkan (√) d an dilarang (X) d alam zon a tradisional taman nasional ... 29
4 Kegiatan-kegiatan yang dilarang (X) dalam berbagai kategori kawasan yang dilindungi ... 31
5 Desa-desa penyangga TNMB yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian ... 43
6 Tahapan penelitian yang dilakukan ... 45
7 Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian ... 49
8 Pokok penelitian, jenis dan sumber data ... 50
9 Pertemuan lokal tentang pengelolaan kawasan hutan di Jember yang diikuti ... 52
10 Distribusi responden untuk analisis implementasi kebijakan, akses, hak dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 56
11 Kriteria dan teknik pemeriksaaan keabsahan/validitas data dinamika akses, hak dan kelembagaan ... 57
12 Analisis wacana dan fenomena-fenomena penting yang diamati ... 59
13 Kelembagaan konservasi TNMB (Ketan Merah/OPR) bentukan Balai TNMB ... 64
14 Tipe ekosistem pada setiap zonasi TNMB ... 67
15 Sumberdaya air dalam kawasan TNMB ... 68
16 Potensi sumberdaya air sungai-sungai dalam kawasan TNMB ... 68
17 Jenis-jenis pemanfaatan sumberdaya air dalam kawasan TNMB ... 69
18 Jumlah penduduk dan kepala keluarga desa-desa penyangga TNMB ... 73
19 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di desa-desa penyangga TNMB ... 74
20 Jenis mata pencaharian penduduk desa-desa penyangga di sekitar TNMB ... 75
xv
sekitar TNMB ... 77
23 Sinergitas kerja-sama, konsolidasi dan interaksi antara Balai TNMB dengan para pihak dalam pengelolaan TNMB pasca penjarahan 1998/1999 ... 82
24 Kualitas interaksi, sumber konflik, kerjasama, kolaborasi dan
kontroversi antar aktor dalam pengelolaan kawasan TNMB 1999-2011 ... 85
25 Persebaran permukiman liar (illegal settlement) dalam kawasan
TNMB menurut pihak Balai TNMB ...….. 105
26 Nama-nama warga desa penyangga dan tempat tujuan perantauan
untuk mengubah nasib, sekarang mereka kembali ke desa
asalnya ... 107
27 Upah pekerja perkebunan PT. LDO Jember (PT. Bandealit Jember
dan PT. Sukamade Baru Banyuwangi) berdasarkan jenis
pekerjaan ... 114
28 Substansi nilai, sikap dan perilaku sosial budaya yang mengalami
pergeseran dan perubahan ...…...… 135
29 Manfaat program rehabilitasi (MPR) terhadap pendapatan kotor para petani di lahan rehabilitasi ... 137
30 Kenaikan standar upah harian di desa-desa Sarongan dan
Kandangan ... 138
31 Rerata biaya yang dikeluarkan oleh para petani dalam setiap kegiatan pertanian dan perladangan ... 139
32 Efektivitas kebijakan distribusi pemanfaatan lahan terhadap
peningkatan pendapatan ekonomi keluarga (rumah tangga) para petani ... 140
33 Manfaat distribusi lahan zona rehabilitasi terhadap peningkatan
pendapatan para petani ... 141
34 Kategori keberhasilan tumbuh dan persentase hidup tanaman hidup
tanaman pokok program rehabilitasi TNMB ... 144
35 Perbandingan rerata persentase hidup per jenis tanaman pokok dalam zona rehabilitasi ... 147
36 Perbandingan jumlah jenis dan persentase tanaman pokok dalam
zona rehabilitasi TNMB ... 147
37 Efektivitas kebijakan dilihat dari ketaatan para petani OPR
melaksanakan kewajiban dan mendapatkan hak rehabilitasi …... 150
38 Realisasi program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat
xvi
1995/1996-2000 ... 158
40 Akses illegal pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 di
dalam kawasan TNMB ... 159
41 Frekuensi pelanggran hutan dalam kawasan TNMB tahun
2000-2004 ... 160
42 Kasus pelanggaran hutan dan kerugian materi tahun 2000-2004
Balai TNMB ... 162
43 Indeks jenis kasus tindak pidana bidang kehutanan berdasarkan
penyidik tahun 2005-2009 di Balai TNMB ... 164
44 Efektivitas kebijakan dilihat dari dukungan, ketaatan dan
keterlibatan masyarakat dan OPR dalam membantu upaya
penegakan hukum ... 165
45 Kelembagaan intra masyarakat desa; perhatian dan kontribusi
pada masalah pengelolaan TNMB ... 172
46 Kontribusi dan deviasi fungsi dan peran kelembagaan konservasi
desa ... 174
47 Bantuan ternak dan peralatan dan pemberdayaan masyarakat yang
pernah diberikan oleh TNMB ... 181
48 Pelatihan, bantuan modal dan bibit dalam pemberdayaan
masyarakat yang pernah diberikan oleh TNMB ... 182
49 Kontribusi, fungsi dan peran para pemimpin nonformal desa-desa
penyangga dalam pengelolaan TNMB ... 187
50 Aktivitas pemimpin di desa-desa penyangga berkaitan dengan
pengelolaan dan pengambilan hasil hutan dalam kawasan TNMB ... 188
51 Peran dalam mekanisme akses para aktor berdasarkan teori
Ribbot dan Peluso (2003) ... 193
52 Identifikasi aktor, kepentingan, peran, kelemahan dan kekuatan
dalam implementasi kebijakan TNMB ... 194
53 Interaksi antara aktor institusional dalam perlawanan dan
pertarungan akses pengelolaan kawasan TNMB 1999/2009 ... 198
54 Akses pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 dalam
kawasan TNMB ... 203
55 Penggunaan waktu dan intensitas pemanfaatan kayu bakar dan
bambu oleh para aktor tingkat 1 (satu) di desa-desa penyangga TNMB ...
210
56 Lokasi pengambilan bambu oleh kelompok masyarakat desa
xvii
banyak diakses oleh warga masyarakat desa penyangga dari dalam kawasan TNMB ... 212
58 Daftar harga beberapa jenis bambu per satuan yang biasa diakses oleh aktor tingkat pertama di desa penyangga TNMB ... 216
59 Gerakan kontra akses tambang koalisi LSM-L dan organisasi
pencinta alam (OPA) Jember ... 231
60 Perubahan RTRW kabupaten Jember demi memuluskan akses
tambang di sekitar kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen ... 243
61 Tim Ahli Pemkab Jember yang melakukan studi kelayakan dan
legalisasi kegiatan pertambangan secara akademik ... 248
62 Proses akses lahan dalam kawasan TNMB ... 256
63 Luas lahan pendudukan dan jenis tanaman pokok yang dibagikan dan ditanam tahun 2002 dan 2003 ...
257
64 Hak-hak konkrit kelompok masyarakat desa-desa penyangga atas
sumberdaya hutan dan lahan TNMB yang sudah berjalan ... 260
65 Kesepakatan kegiatan rehabilitasi pada zona rehabilitasi TNMB
berdasarkan SK No: 947/Sek.01/VI-TNMB/2003 ……... 262
66 Hak-hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 263
67 Proses legalisasi hak berpartisipasi dalam kawasan rehabilitasi
xix
1 Histogram nilai penting biologi dan sosial ekonomi taman
nasional di Indonesia ... 2
2 Histogram perbandingan derajat total tekanan dan ancaman taman
nasional di Indonesia ... 5
3 Kerangka pemikiran penelitian ... 9
4 Desa-desa penyangga TNMB yang menjadi lokasi penelitian ... 44
5 Proses transisi, perpaduan dan saringan penampakan fenomena
berdasarkan interpretasi informan dan peneliti yang berbeda
selama proses penelitian, modifikasi dari Gőnner (2001) ... 56 6 Tahapan pelaksanaan penelitian ... 58
7 Bagan alir proses verifikasi dan analisis implementasi kebijakan
pengelolaan TNMB; Modifikasi dari Sugiono (2007) ... 61
8 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme
dan hubungan akses atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Ribot & Peluso 2003; Modifikasi dari Sugiono (2007) ... 62
9 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme
dan hubungan tenurial hak-hak atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Schlager & Ostrom 1992; Lynch 1995; FAO 2002; Modifikasi dari Sugiono 2007) ... 63
10 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme
dan interaksi kelembagaan masyarakat dalam kawasan TNMB; Sumber: Merton (1975), Horton & Hunt (1991); Cohen (1992); Ostrom (1992); Kartodihardjo (2006); Modifikasi dari Sugiono (2007) ... 64
11 Denah Rajekwesi ± tahun 1949 menurut tokoh masyarakat
Kampung Rajekwesi dan desa Sarongan, setelah terjadi penangkapan warga yang mengankut kayu jati oleh petugas PHPA April 2008, bahwa Rajekwesi bukan dalam kawasan TNMB (Dokumen Sejarah Kampung Rajekwesi Desa Sarongan,
2008) ... 111
12 Denah Rajekwesi ± tahun 1949-1950 menurut tokoh masyarakat
xx
dan masyarakat setempat ... 125
14 Dinamika pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB pada situasi
politik nasional chaos tahun 1995/1996-1999/2000 ... 160
15 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun
2000-2004 ...………... 161
16 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB selama
periode tahun 2005-2009 ... 164
17 Petugas TNMB sedang mengecek dan mengukur omtrek tunggak
kayu Garu barang bukti yang ditemukan di TKP ... 169
18 Pertarungan antara kelompok pro akses tambang (instrumen
negara) versus elemen kontra akses tambang dalam kawasan lindung dan konservasi TNMB ... 190
19 Demonstrasi masyarakat anti tambang pada kawasan konservasi
dan kawasan lindung di Jember (TNMB dan Paseban-P Nusa Barong) ... 192
20 Histogram dinamika akses SDH TNMB berdasarkan kasus
pelanggaran hutan tahun 1995/1996-2004 ... 204
21 Grafik jumlah akses ilegal kayu jati dan kayu rimba tahun
1995/1996-2008 (BKSDA, 1995-1998; BTNMB 1998-2009) ... 206
22 Pola interaksi antar aktor dalam mengakses sumberdaya hutan
TNMB ... 207
23 Pengambilan bambu oleh masyarakat untuk berbagai
keperluan ... 209
24 Akses rotan yang berhasil disita Balai TNMB (Dokumentasi
Balai TNMB) ... 211
25 Dinamika akses perburuan satwa dalam kawasan TNMB tahun
2005-2008 ... 213
26 Pertarungan akses industri pertambangan versus akses kayu dan
akses lapar lahan pada kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen dalam situasi ketidak-pastian politik ... 219
27 Akses dan hak pemanfaatan lahan ilegal oleh masyarakat ... 255
28 Pertarungan memperoleh hak dalam kawasan TNMB tahun
1999-2010 ...………... 259
29 Okupasi lahan oleh masyarakat di desa dan di desa
1. 1 Latar belakang
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), dari aspek Biological Importance Value (BIV) merupakan Taman Nasional terkaya nomor 1 (satu) dari 42 (empat puluh dua) Taman Nasional yang ada di Indonesia, dengan nilai BIV: 47 point (Gambar 1), peringkat kedua ditempati oleh TN Lorenzt, TN Danau Sentarum dan TN Karimun Jawa, dengan nilai BIV: 45 point, dan pada peringkat ketiga ditempati oleh TN Gunung Leuser, TN Komodo, TN Gunung Halimun Salak, TN TN Ujung Kulon, dan TN Sembilang, dengan nilai BIV: 42 point. TNMB dengan luas total 58.000 Ha merupakan Taman Nasional terluas di propinsi Jawa Timur, jika dibandingkan dengan 3 (tiga) Taman Nasional lainnya yang ada, yakni; (1) TN Bromo TS dengan luas 50.276,3 Ha, (2) TN. Alas Purwo dengan luas 43.420 Ha, dan (3) TN Baluran dengan luas 25.000 H (BAPEDDA 1997/1998).
Di lihat dari aspek Social Economic Importance Value (SEIV), urutan peringkat nilai sebagai berikut; peringkat pertama adalah TN Gunung Leuser dengan nilai SEIV: 48,5 point, peringkat kedua adalah TN Kerinci Sebelat dengan nilai SEIV: 47 ponit, peringkat ketiga ditempati oleh TN Danau Sentarum dengan nilai SEIV: 45 point, dan pada peringkat ke empat ditempati oleh TN Meru Betiri, TN Bukit Barisan, dan TN Wasur, dengan nilai SEIV: 42 point (RAPPAM 2004).
Gambar 1 Histogram nilai penting biologi dan sosial ekonomi Taman Nasional di Indonesia (RAPPAM 2004)
Kebijakan politik pengelolaan taman nasional era rezim Orde Baru --termasuk pengelolaan TNMB-- di satu sisi, demi perlindungan SDA-L yang ada di dalamnya, telah memotong dan merintangi akses (access) dan hak (rights) serta represif terhadap kelembagaan (institution) masyarakat sekitarnya. Pada sisi lain, dengan legalitas Surat Izin Hak Guna Usaha (HGU), ia memberi akses dan hak ekslusif terhadap kelompok minoritas dominan PT. Ledokombo Jember (PT. LDO) untuk memanfaatkan SDA-L dalam kawasan Taman Nasional.
Pembatasan dan kontrol atas akses dan hak-hak masyarakat lokal terhadap SDA-L merupakan bentuk-bentuk kekerasan ekologis (eco-violence) yang sering terjadi dalam praktik kebijakan pengelolaan SDA-L di banyak negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin (Salmi 2006). Pemberian akses dan hak eksklusif (private property) tersebut menunjukan inkonsistensi sekaligus keberpihakan UU No. 5/1990 dengan memeperdagangkan (tradable title) zona kawasan pada kelompok minoritas dominan. Dalam kebijakan pengelolaan TNMB, dengan mengandalkan argumentasi sejarah, akses dan hak privasi dapat diberikan kepada PT. Sukamade Baru Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember sebagai anak perusahaan PT. Ledokombo (LDO) Jember, untuk mengelola zona pemanfaatan khusus seluas 2.154 Ha (1994)1,2 atau zona penyangga 2.155 Ha (1999)3
1
SK DirJend PHPA Nomor: 68/KPTS/DJ-VI/1994, tanggal 30 April 1994
Akses dan hak ekslusif diberikan dan atau diperoleh seseorang atau suatu perseroan merupakan bentuk penghargaan serta pengendalian politik yang bermuara pada ketidak-adilan distribusi SDAL. Pengendalian atas SDA-L, dimaksudkan untuk menundukan masyarakat atau pengusaha ke dalam kendali sosial politik dan ekonomi pemerintah (Gorz 2002). Mitchell et al. (2003) menunjukkan bahwa akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang dapat menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak milik yang terkonsentrasi kepada kelompok kecil masyarakat, sehingga menimbulkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain, yang kemudian memicu lebih banyak akibat lain.
Ketidak-adilan akses, hak dan kelembagaan masyarakat atas SDA-L bersumber dari kebijakan politik pemerintah, yang berakumulasi dengan masalah rendahnya tingkat pendidikan, tekanan ekonomi dan penguasaan lahan yang sangat terbatas, pertumbuhan penduduk, serta stabilitas politik nasional dan lokal. Akumulasi masalah tersebut, ketika situasi politik nasional, regional atau lokal
chaos memicu masyarakat untuk terus menekan dan mengancam secara massif
eksistensi kawasan TNMB sebagai kawasan konservasi (Gambar 2). Perspektif politik konservasi ecofasisme, tekanan masyarakat adalah ancaman konservasi SDA-L yang harus ditekan melalui pengawasan (control) oleh institusi yang kuat (badan supranasional) (Dietz 1998). Kontrol dan penutupan akses yang kuat selama rezim Orde Baru berkuasa terhadap masyarakat desa-desa penyangga dalam pengelolaan kawasan TNMB telah mempersempit ruang gerak masyarakat; Sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa penyangga berada dalam kategori miskin kronis dengan penguasaan lahan yang sangat terbatas dan tidak merata.
2
HGU atas areal TNMB tersebut berdasarkan SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Sukomade Baru yang terletak di TNMB Kabupaten Banyuwangi, seluas 1.098 Ha; Dan SK Menhut No: 132/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Bandealit yang terletak di TNMB Kabupaten Jember, seluas 1.057 Ha, yang selanjutnya ditetapkan sebagai zona penyangga Taman Nasional, tanggal 23 Pebruari 1998. SK Menhut ini dikeluarkan berdasarkan Surat Persetujuan Menhut No: 1194/Menhut-II/1997 tanggal 7 Oktober 1997, tentang persetujuan pelepasan kawasan hutan bekas areal Perkebunan PT Sukamade Baru dan bekas areal perkebunan PT Bandealit.
Tingkat penguasaan lahan pertanian masyarakat
desa-3
desa penyangga TNMB di kabupaten Jember dan Banyuwangi rata-rata 1,020 Ha/KK.
Melemahnya kontrol pemerintahan rezim Orde Baru atas sejumlah kawasan hutan dan taman nasional secara nasional, mendorong banyak pihak
--terutama aparat penegak hukum, aparat keamanan, pengelola taman nasional,
birokrat dan pengusaha kayu lokal -- melakukan aksi ambil untung, dengan membayar tenaga masyarakat desa penyangga untuk menjarah kayu jati dan kayu rimba yang berada dalam kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen. Stabilitas politik nasional yang sangat labil dan perilaku aparat pemerintah seperti disebut di atas mendorong masyarakat desa penyangga untuk melakukan hal yang sama -- tidak sekedar sebagai tanaga bayaran-- dengan melakukan konsolidasi nilai dan aksi penjarahan dan okupasi lahan secara massal. Kebijakan politik dan situasi sosial politik tahun 1997 hingga 2003, dalam kasus pengelolaan TNMB, mengacu kepada perspektif ekologi politik Bryant (1992), merupakan situasi sosial politik yang tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan kausalitas dari tiga faktor utama, yakni sumber-sumber politik, kondisi dan ramifikasi. Salah satu dampak dari ketiga faktor tersebut adalah melemahnya kontrol badan supranasional dan bahkan badan supranasional memposisikan dirinya sebagai aktor penting dari melemahnya kontrol atas kawasan, sehingga menggiring dan memaksa kawasan TNMB masuk dalam kondisi dan kompleksitas politik perubahan lingkungan di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur.
masyarakat desa penyangga menjadi “memiliki sejumlah hak” atas lahan dalam kawasan rehabilitasi (Schlager dan Ostrom 1992).
Gambar 2 Histogram perbandingan derajat total tekanan dan ancaman taman nasional di Indonesia (RAPPAM 2004)
1. 2 Kerangka Pemikiran
Pengelolaan Taman Nasional –termasuk TNMB— dirancang dan dilaksanakan berdasarkan visi, misi dan strategi yang formulasinya disesuaikan dengan dinamika politik nasional, regional dan lokal. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru (1997/1998), Balai TNMB harus membuat formula baru mengenai pola hubungannya dengan para pihak, terutama kalangan LSM-L dan masyarakat sekitar kawasan yang menggantungkan hidupnya pada kawasan TNMB. Dinamika dan situasi sosial politik tersebut menunjukan pengaruhnya yang signifikan terhadap eksistensi kawasan dan kinerja Balai TNMB dalam mengelola kawasan.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 6186/Kpts-II/2002 , tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh Balai TNMB adalah ”menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut, maka TNMB menyusun Rencana Strategis (Renstra) berdasarkan Visi, yakni; ”terwujudnya pengelolaan TNMB secara optimal, lestari dan berkeadilan, yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat” (BTNMB 2007).
Terkait dengan masalah di atas, bahwa idea legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dimaksudkan untuk mendukung percepatan program rehabilitasi. Namun, pada praktiknya, rehabilitasi ternyata bukanlah sekedar aksi menanam an sich yang telah menjadi bagian dari hidup masyarakat agraris. Menanan bagi masyarakat desa sekitar kawasan memiliki beragam makna yang harus dicermati dalam banyak dimensi (dimensi nilai ekonomi, sosial politik, strategi bertahan dalam kawasan, solidaritas serta kuasa kelompok dan individu), untuk melawan ketidak-adilan akses dan hak atas SDA-L yang diterapkan oleh pemerintah. Pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat organisasi petani rehabilitasi/ kelompok tani rehabilitasi (OPR/ KetanMerah) sebagai syarat legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman juga dimaksudkan untuk mendukung percepatan rehabilitasi zona penyangga berbasis masyarakat. Namun eksistensi lembaga konservasi bentukan Balai TNMB tersebut tidak linier dengan program rehabilitasi, pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran hutan (tipihut) yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan.
Tekanan dan stigma sosial yang mengacu kepada sumber-sumber politik pengelolaan TNMB terhadap kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam mengakses dan mendapatkan hak-hak mereka atas potensi SDA-L, pengabaian sejarah dan keberlanjutan hidup masyarakat sekitarnya, serta secara nyata hanya berpihak kepada kelompok minoritas bermodal, bermuara pada timbulnya beragam resistensi sosial. Persaingan akses, dan hak antar aktor atau kelompok masyarakat untuk mendapatkan SDA-L dalam kawasan TNMB saat ini relatif tinggi. Fakta-fakta sosial dilapangan menunjukkan bahwa integrasi kepentingan antara pihak pengelola TNMB demi idealisme konservasi dengan masyarakat sekitar kawasan demi bertahan hidup (nyoon odi’ pada negaranya) dan pihak PT. Ledokombo (LDO) Jember demi kepentingan pragmatisme ekonomi, serta kepentingan para pihak lainnya pada eksistensi TNMB, dalam hal-hal yang mendasar belum berjalan secara optimal. Artinya, para pihak berjalan dengan pikiran dan kepentingannya masing-masing.
mendalami implementasi kebijakan, dinamika persaingan, jaringan dan pola-pola akses, hak dan kelembagaan masing-masing aktor atau kelompok masyarakat pada kasus pengelolaan TNMB era reformasi politik nasional menjadi sangat penting untuk dilakukan, sehingga tekanan dan ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan TNMB sebagai kawasan konservasi dapat dikelola secara positif. Situasi dan kondisi --saling klaim, sikap dan perilaku serta stigma kebijakan Balai TNMB-- telah mengganggu fokus dan kinerja konservasi Balai TNMB.4
4
Wawancara dengan tokoh masyarakat Rajekwesi Oktober 2007 di Dusun Rajekwesi
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian. PRA REFORMAS:
1. 60% hutan jati habis dibalak 2. Zona penyangga steril dari okupasi 3. Konflik kawasan: Laten
4. Pelanggaran hukum tinggi
ERA REFORMASI: 1. Penjarahan 40% sisa hutan jati 2. Konflik: ketidak-adilan akses & Hak 3. Lapar lahan (Okupasi lahan) 4. Stigma kebijakan
5. Institusi (OPR) Alat perlawanan. 6. Konflik klaim Kawasan
7. Penegakan Hukum ↓ : Okupasi lahan dan Pelanggaran Hutan
8. Deforestrasi zona rehabilitasi 9. Kerja sama & integrasi para pihak
KINERJA BTNMB
1. Rehabilitasi 2. PPM & Kemitraan 3. Penegakan hukum &
Kelembagaan Konservasi 4. Legalisasi okupasi
lahan zona
rehabilitasi Rusak
5. Hak kelola ekowitasa?
TUPOKSI TNMB (SK Menhut No: 6186/Kpts-II/2002): 1. Perlindungan, pengamanan &
pertahankan keutuhan kawasan serta potensi SDAHE
2. Pengawetan dan pemanfaatan potensi SDAHE berkelanjutan, 3. Pemberdayaan dan peningkatan
kesra/masy (program kemitraan) 4. Peningkatan kualitas SDM dan
manajemen kawasan 5. Bina wisata (BTNMB 2007)
EKOPOLITIK (Bryant 1992): 1. SUMBER POLITIK
Kebijakan negara
Peran dan tekanan negara & dunia pada LH
2. KONDISI
Konflik klaim & konflik sejarah kawasan
Penegakan Hukum : Okupasi & Tipihut
3. RAMIFIKASI
Konsekuensi politik (produk kebijakan)
Dampak sosekbud & LH kebijakan politik:
REKOMENDASI KEBIJAKAN: 1. Tata kuasa Rehabilitasi 2. Pendekatan Teknis
1. 3 Permasalahan Penelitian
TNMB ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 277/Kpts-VI/1997. Perubahan status menjadi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) membutuhkan waktu yang sangat panjang, yakni dari tahun 1938 dengan status sebagai hutan lindung hingga tahun 1997 atau lebih dari 70 (tujuh puluh) tahun. Sejak dulu hingga ditetapkannya sebagai Taman Nasional, TNMB terus menghadapi masalah internal maupun eksternal.
Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB yang diakses oleh masyarakat pasca penjarahan kayu jati dan kayu rimba dalam kawasan TNMB (1997-2003) dan pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat desa penyangga TNMB, dianggap sebagai solusi masalah terbaik untuk memperbaiki pola hubungan dengan kelompok masyarakat desa penyangga, guna mendukung gerakan rehabilitasi dan penegakan hukum dalam kasus tindak pidana hutan (tipihut).
Permasalahan akses dan hak menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB yang dilegalkan pada Agustus 2003 kepada kelompok masyarakat di 7 (tujuh) desa penyangga, saat ini mulai menimbulkan isu tenurial
yang mengarah kepada “ketidak-pastian tenurial“ (tenurial insecurity) bagi masyarakat desa penyangga dan juga bagi pihak pengelola TNMB sendiri.
Tenurial insecurity terutama berkaitan dengan upaya, proses dan teknis
“pengambil-alihan” lahan yang telah didistribusikan kepada warga masyarakat pasca program kerja-sama rehabilitasi berbasis kemitraan (pemberdayaan masyarakat)
Secara internal, Balai TNMB berhadapan dengan banyak masalah seperti, masalah profesionalisme dan kemampuan aparat atau sumberdaya manusia
(SDM) dalam menjaga dan mengelola kawasan, keterbatasan dalam melakukan sosialisasi kebijakan lembaga pada masyarakat desa-desa penyangga. Selain itu, juga keterbatasan sarana dan prasarana dalam mempertahankan keutuhan kawasan agar berfungsi optimal, penataan dan pembinaan daya dukung kawasan, pemanfaatan potensi kawasan, efektifitas pemeliharanan dan pemantauan pal batas zonasi yang belum maksimal dan belum jelas antara masing-masing zonasi karena keterbatasan dana, pembuatan batas luar kawasan dengan desa-desa penyangga belum ada atau belum dilakukan, pembagian zonasi di lapangan masih belum jelas dan batas-batas zonasi di lapangan ditentukan berdasarkan perbedaan vegetasi yang ada (bersifat imajiner), sehingga memungkinkan bagi masyarakat atau PT. Bandealit dan PT. Sukamade melakukan perluasan kawasan secara sepihak tanpa sepengetahuan pihak Balai TNMB.
Secara eksternal, Balai TNMB juga berhadapan dengan sejumlah masalah, seperti, konflik kepentingan yang bersifat laten antara idealisme konservasi pihak Balai TNMB dengan pragmatisme pihak PT. Ledokombo (PT LDO) yang membawahi PT. Bandealit dan PT. Sukamade. Kedua perusahaan perkebunan tersebut bertindak curang, merusak ekosistem hutan cadangan dengan menggerogoti batas kebun, menanam tanaman keras seperti PTPN, yang memicu kecemburuan masyarakat desa penyangga yang melakukan rehabilitiasi. Eksistensi PT. LDO sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi upaya konservasi TNMB, dan juga bagi perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa di sekitarnya. Keberadaan masyarakat pekerja di dua perusahaan tersebut juga mengancam keberlanjutan kawasan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi kinerja Balai TNMB. Terkait dengan eksistensi PT. Bandealit dan PT. Sukamade, pihak Balai TNMB telah mengajukan permohonan kepada Dirjen PHKA, melalui Surat No. 5.552.1/BTNMB.01/2008, untuk meninjau kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 132/Kpts-II/1998, serta izin Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. Bandealit Jember.
TNMB, baik Jember maupun Banyuwangi, mulai mencuat dampak dari masalah latent, yakni resistensi atas klaim legalitas huku m positif versus legalitas akses dan hak atas SDA-L berdasarkan fakta sejarah, seperti kasus Rajekwesi 2008. Masalah ini untuk sebagian besar sudah mengalami proses pembusukan, sebagai akibat perbedaan akses, hak dan perlakuan pemerintah terhadap masyarakat desa penyangga dengan pihak PT. Sukamade dan PT. Bandealit. Proses pembusukan ini sangat berbahaya bagi eksistensi Balai TNMB.
Dampak dari akumulasi masalah pengelolaan TNMB adalah tekanan dan ancaman berupa tindak pencurian flora dan fauna (non timber forest product) untuk kebutuhan domestik dan komersial, kebakaran hutan (forest fire), perburuan illegal (illegal hunting) dan pencurian kayu (illegal logging) yang setiap tahunnya cenderung mengalami kenaikan5
1. Bagaimanakah bentuk pola hubungan (relasi sosial), sumber-sumber politik, dan konflik kepentingan sebagai konsekuensi dari kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB dalam perspektif ekologi politik?
. Selain harus mengurai hubungan dengan PT. LDO dan masyarakat desa penyangga, masalah dukungan dari para pihak terkait juga masih relatif minim, konflik antara Balai TNMB dengan kelompok LSM-L, dan konflik antar LSM-L yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di beberapa desa penyangga TNMB. Dari banyak permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut :
2. Bagaimanakah kondisi faktual, ramifikasi, konsekuensi kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB dan respon para aktor, peran dan kepentingannya terhadap program rehabilitasi lahan okupasi TNMB berbasis PPM dalam perspektif ekologi politik?
3. Bagaimanakah ragam bentuk dinamika kepentingan akses, hak-hak dan kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB?
5
1. 4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis aspek yang terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri Jember Banyuwangi. Secara spesifik, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Menggali dan menganalisis bentuk pola hubungan (relasi sosial), sumber-sumber politik, dan konflik kepentingan sebagai konsekuensi dari kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB dalam perspektif ekologi politik;
2. Menganalisis kondisi faktual, ramifikasi, dan konsekuensi kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi serta respon para aktor, peran dan kepentingannya terhadap program rehabilitasi lahan okupasi TNMB berbasis PPM dalam perspektif ekologi politik;
3. Menganalisis bentuk-bentuk dinamika kepentingan akses, hak-hak dan kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB.
1. 5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak, sebagai berikut:
1. Memberi kontribusi keilmuan dan perluasan wawasan bagi para ilmuan, peneliti maupun praktisi yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman nasional yang memperhatikan aspek, sosial budaya, ekonomi masyarakat dan ekologi;
2. Meningkatkan kesadaran, kebanggaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNMB sebagai kawasan konservasi;
3. Pengembangan landasan kebijakan untuk meratifikasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan pengelolaan taman nasional, yang memenuhi rasa keadilan sosial, ekonomi dan kelestarian kawasan konservasi;
1. 6 Kebaruan (Novelty) Penelitian
Kebaruan (novelty) dan keaslian (originality) dari penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan, dapat dilihat dari fokus kajian sebagai berikut.
1. Penelitian tentang Private, Collective, and Centralized Institutional Arrangement for Managing Forest ”Commons” in Nepal, yang dilaksanakan oleh Acharya (2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi intreraksi masyarakat sekitar hutan dalam proses pembentukan kelembagaan masyarakat desa hutan. Rancangan kelembagaan yang bersifat homogen, untuk mengelola kehutanan masyarakat, dengan validitas yang kaku dan hanya satu-satunya untuk diterapkan dalam sebuah Negara, tidak direkomendasikan. Dengan kata lain, Kebijakan yang kaku, top down dan seragam (uniform) sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika sosial di internal masyarakat desa hutan. Rancangan kelembagaan yang direkomendasikan oleh Acharya (2005) adalah yang mempertimbangkan otonomi lokal dan variasi antar komunitas di wilayah yang berbeda-berbeda;
2. Penelitian tentang Regional Community Based Planning: The Challenge of Participation Environmental Governance, yang dilaksanakan oleh Whelan & Oliver (2005). Penelitian ini menunjukan bahwa kekuasaan, konflik dan pertukaran pengetahuan adalah sesuatu yang saling terkait dalam suatu kolaborasi pengelolaan sumberdaya alam regional ( Natural Resources Management) yang bersifat partisipasi publik;
Menuju pada perubahan di atas, diperlukan perubahan tata pemerintahan, termasuk redefinisi peran Negara, civil society dan pasar;
4. Penelitian tentang Public Participation in Community Forest Policy in Thailand: The Influence of Academics as Brokers, yang dilaksanakan oleh Zurcher (2005). Penelitian ini menyimpulkan beberapa point penting, yakni; 1. bahwa kemampuan masyarakat dalam mengartikulasi keinginan dan pendapatnya masih lemah dan atau terbatas, sehingga perannya seringkali lemah, tidak memiliki kekuatan dan pengaruh apa-apa dalam proses formulasi kebijakan, 2. bahwa konflik atas hak akses terhadap sumberdaya hutan pada tingkat lokal tidak akan mendapat perhatian yang luas secara nasional, jika tidak didukung oleh kelompok akademisi dan kaum intelektual yang mendukung ide pengelolaan lokal;
5. Penelitian tentang Institusi untuk mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove, Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Kabupatren Bekasi Provinsi Jawa Barat, yang dilakukan oleh Supaeri (2005). Penelitian ini menyimpulkan bahwa institusi yang dapat mengendalikan kerusakan hutan mangrove adalah kontrak yang sistematika penciptaan hingga penghapusannya memberikan kepastian hak, dan telah memperhitungkan biaya linkungan serta pilihan masyarakat dalam proses alokasi manfaatnya. Peraturan perundang-undangan bidang kepemilikan yang diimplementasikan ke dalam pengelolaan hutan mangrove memberikan insentif bagi terjadinya kebebasan akses pada kawasan huatn mangrove. Kecuali itu, hak pemilikan yang diterapkan dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove tidak memberikan kepastrian hak penguasaan lahan garapan, sehingga tidak mampu secara efektif mengendalikan kerusakan bahkan memberikan insentif terciptanya kebebasan akses;
6. Penelitian tentang Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) dilakukan oleh Pratiwi (2008). Penelitian ini menggunakan konsep Institutionalist Tenure Security dan konsep ekowisasta untuk mengkaji masalah Tenurial Insecurity
masyarakat sekitar atau di dalam kawasan TNGHS). Penetapan TNGHS tidak dilakukan berdasarkan persepsi kolektif masyarakat, sehingga kurang mendapat dukungan para pihak. Pearaturan penundang-undangan penetapan taman nasional dan implementasinya tidak dapat menjamin kepastian hak dan akses bagi masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan, keterbatasan sumberdaya dan masalah administrasi dan birokrasi pemabngunan. Pengembangan ekowisata dan institusinya dapat berperan sebagai solusi penyelesaian konflik ketidak-pastian akses;
7. Penelitian tentang Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah dilakukan oleh Lahandu (2007). Penelitian ini menggunakan konsep akses untuk mengkaji dampak kebijakan penetapan Tahura terhadap akses masyarakat dalam memperoleh SDA dalam kawasan Tahura. Dampak kebijakannya adalah terbatas atau menyempitnya ruang akses masyarakat pada sektor produksi SDA, yang bermuara pada konflik antara masyarakat versus pemerintah;
8. Penelitian tentang Konservasi Sumberdaya Alam di TN Gunung Merapi, Analisis Ekologi Politik oleh Kuswijayanti (2007). Penelitian ini menggunakan konsep akses untuk memetapakn mekanisme akses dan hak serta mengkaji konflik para pihak dalam penetapan kawasan Gunung Merapi sebagai Taman Nasional. Penetapan kawasan Gunung Merapi sebagai TNGM hanya menguntungkan kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan tambang pasir dan kawasan wisata alam, tetapi menimbulkan ketidak-pastian pada masyarakat yang di kawasan permukiman yang berstatus sebagai petani-peternak;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Perpektif Politik Ekologi
Kebijakan pelestarian nasional menurut MacKinnon et al. (1990) harus
mencakup suatu pernyataan mengenai tanggung-jawab bangsa terhadap
pemanfaatan sumberdaya milik bangsa secara berkelanjutan, termasuk
perlindungan wakil-wakil ekosistem, dan species melalui suatu program
pengelolaaan kawasan yang dilindungi. WCS secara garis besar memberikan
petunjuk umum mengenai isi dan tujuan yang perlu dirumuskan dalam kebijakan
pelestarian tiap-tiap negara, menekankan perlunya menggaris-bawahi kepentingan
pelestarian dan pengelolaan kawasan yang dilindungi dalam mengisi
pembangunan berkelanjutan6
Dalam pengelolaannya, Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan
Suaka Alam (KSA) menurut Saparjadi (1998) memiliki prinsip-prinsip dasar,
yakni; (1) prinsip komitment nasional, (2) prinsip irreversible, (3) prinsip manfaat .
Kebijakan dan program pemerintah di bidang pembangunan sumberdaya
alam dan lingkungan menurut Soetaryono (2004) dirancang untuk mendukung
antara lain, prioritas percepatan ekonomi dan memperkuat landasan
pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berkeadilan berdasarkan sistem
ekonomi kerakyatan. Hal tersebut dimaksudkan agar terwujudnya keseimbangan
dan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan.
Djayadiningrat (2001) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan, antara lain dimaksudkan; (1) memberi akses
kepada masyarakat adat dan lokal, (2) pola pemanfaatan sumberdaya alam harus
memberi kesempatan dan peran aktif masyarakat adat dan lokal, dan, (3) secara
simultan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya
alam secara berkelanjutan.
6
optimum, (4) prinsip subsidi silang, (5) prinsip pengakuan, apresiasi dan
partisipasi, (6) prinsip passing out, (7) prinsip pengalihan tekanan, dan (8) prinsip
kemandirian.
Pada praktiknya, Mitchell et al. (2003) menyatakan bahwa kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan selalu berhadapan dengan
empat masalah penting, yakni; (1) perubahan, (2) kompleksitas, (3)
ketidak-pastian, dan (4) konflik sumberdaya alam. Keempat masalah tersebut dapat
menjadi masalah sekaligus menjadi peluang bagi semua pihak. Ia akan menjadi
peluang ketika keempat masalah tersebut, proses interaksi dan hubungan
sebab-akibatnya dapat dipahami secara kritis serta mengetahui bagaimana menjadi agen
perubahan yang positif. Menurut Kartodihardjo & Jamtani (2006), implementasi
kebijakan politik lingkungan di Indonesia tidak dikelola secara komprehensif,
sehingga menimbulkan ketidak-amanan sumberdaya hutan, seperti banyaknya
penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidak-pastian usaha.
Ekologi politik sebagai konsep menurut Bryant (1992) dalam
Mitchell et al. (2003) telah dikembangkan untuk membantu memahami dimensi,
kondisi dan kompleksitas politik dari perubahan lingkungan, terutama di negara
berkembang. Ekologi politik dimaksudkan untuk menganalisis dan memahami
hubungan sebab-akibat yang lebih jauh daripada sekedar sistem bio-fisik dan
alami. Ekologi politik memiliki tiga dimensi penting, yakni:
1. Sumber politik; kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme global, yang kesemuanya memacu pentingnya tekanan nasional dan global terhadap masalah lingkungan;
2. Kondisi; konflik-konflik yang timbul dari perlawanan masyarakat lokal. Dimensi ini menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang untuk mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Pemahaman terhadap hal ini membutuhkan pemahaman terhadap latar belakang sejarah dan dinamika setiap konflik;
3. Ramifikasi; konsekuensi politik perubahan lingkungan, dengan penekanan pada dampak sosial-ekonomi dan proses politik.
Ketiga dimensi di atas, menurut Bryant & Bailey (2000) dipengaruhi atau
dimainkan oleh 5 (lima) aktor, yakni; state, businessmen, multilateral institution,
NGOs dan grassroots. Dalam konteks ini, negara memiliki fungsi ganda, yakni
sebagai aktor pengguna sekaligus sebagai pelindung SDA, dan sering mengalami
dan mendapatkan resistensi, karena; 1. Negara-negara di dunia mempersulit upaya
pemecahan masalah lingkungan, demi kepentingan pembangunan ekonomi,
lingkungan hidup sering kali dikorbankan, dan 2. Negara-negara di dunia selalu
tidak dalam kapasitas untuk memecahkan masalah lingkungan dalam berbagai
level.
Peet & Watts (1996) menyatakan bahwa ekologi politik adalah sebuah
pertemuan antara ilmu sosial yang berakar dari ekologi dan prinsip-prinsip politik
ekonomi. Tujuan studinya dalam membentuk “pergerakan yang muncul dari
tekanan dan pertentangan krisis dibawah produksi, memahami pemikiran oposisi
dan visi untuk hidup yang lebih baik dan perubahan kondisi politik, dan melihat
kemungkinan untuk memperluas isu-isu lingkungan ke dalam sebuah pergerakan
untuk pemberian hak kehidupan dan keadilan sosial.
Scott & Sullivan (2000) menyatakan ekologi politik mengidentifikasi
persoalan politik yang mendesak masyarakat ke dalam aktivitas yang
menyebabkan kerusakan lingkungan tanpa adanya alternatif peluang yang
meliputi permintaan dan pembangunan kembali narasi lingkungan yang sudah
mapan, terutama yang berkaitan dengan lingkungan internasional dan diskursus
pembangunan. Tujuannya adalah mengilustrasikan dimensi politik dalam narasi
lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk menunjukkan bahwa
gagasan yang mapan mengenai penurunan kualitas dan pemerosotan mungkin
bukan tren linier yang cenderung mendominasi.
Forsyth (2003) menyatakan ekologi politik, secara strukturalis adalah
ekplorasi hubungan antara kapitalisme dan atau kebijakan negara yang opresif
yang berdampak pada masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan. Ekologi
politik menurut Watts (2000) dalam Robbins (2004) adalah analisis kompleksitas
hubungan antara alam dan masyarakat melalui analisis menyeluruh yang
menimbulkan akses dan kontrol atas sumberdaya dan dampaknya bagi kesehatan
lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Tujuannya adalah menjelaskan
konflik lingkungan, terutama dalam hal memperjuangkan “pengetahuan,
Lebih lanjut Robbins (2004) megidentifikasi masalah lingkungan melalui
empat pendekatan, yakni;
1. Degradasi dan marginalisasi, bahwa isu perubahan lingkungan terjadi sebagai dampak
dari over eksploitasi, yang berujung pada kemiskinan (peminggiran dan pemiskinan);
2. Konflik lingkungan, bahwa konflik terjadi karena kelangkaan sumberdaya akibat
pemanfaatan dari negara, swasta dan elite sosial yang kemudian mempercepat konflik
antar kelompok (gender, kelas dan etnik);
3. Konservasi dan kontrol, bahwa kegagalan konservasi adalah akibat dari tercerabutnya
peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya, serta pengabaian mata pencaharian dan organisasi ekonomi mereka hanya karena untuk melindungi lingkungan, dan;
4. Identitas lingkungan dan gerakan sosial, bahwa gerakan sosial politik terkait dengan
upaya untuk mempertahankan mata pencaharian dan perlindungan lingkungan. Dalam semua proses di atas, kepentingan global dan kepentingan pemerintah untuk
mengawetkan lingkungan justeru membasmi sistem mata-pencaharian lokal, produksi, dan orgnaisasi sosial politik. Konservasi bagi pemerintah adalah untuk mensimplifikasi kontrol atas sumberdaya dan lansekap.
Hempel (1996) dalam Robbins (2004) menyatakan bahwa politik ekologi
adalah studi hubungan antara lembaga politik dan hubungan antara lembaga
politik dengan lingkungannya…berkaitan dengan dampak politik perubahan
lingkungan. Tujuan dari studi ini adalah menyelidiki dan menjelaskan tingkatan
masyarakat dan kebijakan politik regional di wilayah global, sebagai respon
terhadap penurunan kualitas lokal dan regional dan kelangkaan sumberdaya.
Konservasi lingkungan menurut Bryant dan Bailey (2000), jarang dilihat
sebagai upaya konservasi demi konservasi, tetapi ia telah diperalat untuk
mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Upaya konservasi sering digunakan
untuk kepentingan pertahanan dan alat kontrol negara atas rakyat dan lingkungan.
Negara tidak ingin kehilangan kontrol dan kewenangannya atas sumberdaya dan
lingkungan, sebagai bentuk penegasan hegemoni negara terhadap aktor lain.
Kontrol akses dan hak-hak masyarakat oleh negara (pemerintah), menurut
Anderson (1995) dalam Satria (2002) dilakukan dengan memberlakukan
controlled access regulation melalui; (1) pembatasan input (para pihak dengan
segenap kegiatan eksploitasinya), dan (2) pembatasan output berupa kuantitas
Escobar (1998) menyatakan bahwa diskursus konservasi dan
keanekaragaman hayati penting dilihat dari perpektif pergerakan sosial7
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, perilaku konservasi tersebut
mengalami ”pembelotan” ketika dunia Barat (Eropa) mengalami lompatan
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada abad
pencerahan (abad 16-18).
. Konsep
konservasi dan keaneka-ragaman hayati memang memiliki makna biofisik, namun
diskursus ini mendorong bagi munculnya suatu jaringan beragam aktor yang
kompleks, mulai dari organisasi internasional dan LSM Lingkungan sampai pada
komunitas lokal dan pergerakan sosial. Gerakan sosial (social movement) terhadap
kebijakan konservasi sedang terjadi secara massiv di negara-negara Dunia ke -3.
2. 2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional
2.2.1 Sejarah gerakan konservasi
Secara historis, gerakan konservasi dunia, sudah dimulai sejak tahun 252
SM, yang dipelopori oleh Raja Asoka di India. Dalam kebijakan politik
kerajaannya, Raja Asoka mengumumkan secara resmi tentang perlindungan
satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang
tercatat dari apa yang sekarang disebut kawasan yang dilindungi. Sementara itu,
penetapan tempat suci sebagai daerah perlindungan keagamaan atau taman buru
yang eksklusif belum lama berlangsung. Hal yang hampir sama, juga dilakukan
oleh Raja William I di Inggris pada tahun 1084 M, yang memerintahkan
penyiapan The Domesday Book, yakni suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah
penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik
Kerajaan yang digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi
pengelolaan dan pembangunan negaranya (MacKinnon, et.al, 1990).
7
Gerakan perlawanan masyarakat --dengan model yang berbeda-beda-- terhadap kebijakan konservasi telah terjadi di banyak negara. Gerakan Proceso de Commmunidades Negras (PCN: Process of Black Communitas) pada tahun 1980-an di Kolumbia Amerika Latin. Menurut Ecobar (1998), mereka berjuang melawan pembangunan, kapitalisme dan modernisasi yang merampas hak-hak hidup dan budaya, mengancam keaneka-ragaman hayati mereka. Gerakan perlawanan ini menunjukkan, bahwa; (1) Arus migrasi, investasi modal –pemerintah, pengusaha swasta (asing atau nasional)—ke wilayah mereka sudah pasti memicu konflik sosial, ekonomi dan sumberdaya, (2) Dalam implementasi kebijakan pembangunan ”pengelolaan SDA dan lingkungan”, pemerintah menganggap dukungan tokah lokal --yang terkooptasi—sebagai bukti dukungan mayoritas masyarakat, sehingga yang muncul adalah pseoudo-partisipasi, (3) investasi modal –pertambangan, agroindustri/agrofoerstry, dan proyek ekowisata skala besar-- ke wilayah atau daerah terjadi karena adanya kolusi dan menempatkan SDA sebagai alat transaksinya guna menopang kekuasaan pemerintah. Lebih sadis lagi, institusi keamanan dan pertahanan negara dijadikan alat untuk menekan gerakan perlawanan masyarakat.
Gardner dalam Yuliar et al. (1999) menyatakan bahwa
harus hidupnya nyaman dan tenang di dunia; Alam adalah budak yang fungsi dan
keberadaanya adalah untuk memuaskan kebutuhan manusia.
Dampak negatif dari kesombongan kemajuan IPTEK itu akhirnya harus
ditanggung sendiri oleh manusia. Kesadaran baru akan dampak buruk dari
tindakan eksploitatif ini menjadi awal mula gerakan pengawetan (presevation)
terhadap sisa-sisa hutan alam Eropa. Gerakan pengawetan (presevation) menurut
Dobson (2004) merupakan gerakan romantisme abad ke 18 dan 19 di seluruh
daratan Eropa, bereaksi terhadap apa yang mereka pandang sebagai dampak dari
industrialisasi cepat, yang menuntut dijalinnya kembali hubungan harmonis antara
manusia dengan alam. Penganut aliran romantik berpandangan bahwa alam adalah
sumber moral dan etika, sehingga menekankan perlunya kesatuan manusia dengan
alam, yang telah dihancurkan oleh industrialisasi.
Lebih tragis, Capra
(2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah power. Nilai dari pengetahuan
ditentukan oleh efek praksisnya dalam mendukung kekuasaan (politik).
Gerakan romantisme para bangsawan Eropa ini, kemudian berkembang
melalui penunjukan dan pengukuhan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai
cagar atau monumen alam. Tujuan pengukuhan tersebut agar mereka dapat
berdekatan dengan alam, menikmati liburan di dalam hutan sambil berburu dan
menikmati keindahan alam. Logika preservasi, dalam hal ini terjebak pada
perspektif arkeologis yang cendrung melihat sumberdaya alam hayati sebagai
sesuatu yang statis, sehingga aksi-aksi perlindungan hanya bertujuan untuk
mengawetkan sumberdaya alam. Hal ini berbeda dengan logika biologi, yang
melihat hutan dan segala isinya sebagai sesuatu yang dinamis dan terbarui.
Koreksi atas cara pandang logika preservasi itu menjadi awal munculnya
Tabel 1 Perbedaan antara preservasi dengan konservasi
No. Preservasi Konservasi
01 Logika :
Arkeologis (archaelogical logic) , mengelola alam sebagai SDA yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources)
Contoh: pengelolaan candi Borobudur sebagai warisan dunia yang harus dan hanya diawetkan
Biologi (Biological logic), mengelola alam sebagai SDA yang dapat diperbaharui (Renewable Resources)
Contoh: mengelola rusa sebagai satwa langka untuk diselamatkan dari kepunahan dan memanfaatkannya lagi bagi ummat manusia secara lestari 02 Sifat:
Statis, cenderung berkurang, baik kuantitas maupun kualitasnya
Dinamis, kualitas dan kuantitasnya dapat turun dan naik, tergantung pada baik atau buruknya pengelolaan
03 Aksi:
Diterapkan pada akhir abad ke 19
Melindungi perkebunan Belanda
Berdampak romantis dan utopis
Diterapkan pada pertengahan abad ke 20
Melestarikan kawasan dengan pendekatan ekosistem
Berdampak realistis/nyata
Sumber: Wiratno et al. (2004)
Di Indonesia, arsip tertulis tentang gerakan konservasi pada zaman
kerajaan Nusantara, sangat sulit ditemukan. Namun demikian, tidak berarti bahwa
di kepulauan Nusantara tidak ada gerakan konservasi, baik pada tingkat perilaku
budaya8
Oleh karena masyarakat itu berkewajiban mengamat-amati padang alang-alang di lereng gunung Ledjar, supaya jangan terbakar, maka haruslah ia bebaskan dari pembayaran pelbagai titisara (Baca: pajak). Selanjutnya masyarakat dilarang menebang pohon kayu dari hutan kekayu dan memungut telur penyu dan getan, karena larangan itu tidak berlaku padanya. Juga tidak seorang jua pun boleh
masyarakatnya maupun pada tingkat kebijakan politik Raja. Berdasarkan
Prasasti Malang, kebijakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, telah
dimulai pada tahun 1395 pada zaman kerjaan Majapahit. Dalam Prasasti Malang,
tertulis:
”Pemberitahuan kepada seluruh satuan tata negara si parasama di parasama sebelah timur Gunung Kawi, baik di timur atau di barat batang air (Berantas); diberitahukan kepada sekalian Wedana, Juru, Bujut, terutama kepada Pacatanda di Turen. Bahwa telah kita perkuat perintah Sri Paduka Batara Partama Iswara, yang ditanam di Wisnu bawana dan begitu pula perintah Sri Paduka yang di tanam di Kertabuana, berhubungan dengan kedudukan satuan tata negara si parasame Katiden yang meliputi sebelas desa.
8