• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN HASIL TAMBAK PERIKANAN

DI DALAM DAN DI LUAR KAWASAN MANGROVE

(KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI JAWA TIMUR)

LIVIA AZARINE WISYANDA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Perbandingan Hasil Tambak

Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove: Kabupaten Probolinggo,

Propinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2013

(4)
(5)

RINGKASAN

LIVIA AZARINE WISYANDA. Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur). Dibimbing Oleh AKHMAD FAUZI dan BENNY OSTA NABABAN.

Luas area mangrove di Indonesia kini kian berkurang akibat perkembangan pembangunan daerah pesisir, terutama sebagai tambak perikanan. Mangrove yang ada biasanya ditebang habis kemudian lahan tersebut dijadikan tambak. Kelestarian mangrove yang terganggu tersebut juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah memperkenalkan pola pengelolaan tambak tumpangsari, yakni suatu bentuk budidaya perikanan tambak dimana di lahan tersebut tetap dipertahankan ataupun ditanam kembali sejumlah mangrove. Keberadaan mangrove di kawasan tambak tersebut akan memberikan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas tambak.

Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, merupakan desa pesisir dimana para petaninya membuat tambaknya berada di dalam kawasan mangrove, yakni di tengah maupun di pinggir tambak. Untuk melihat bagaimana keberadaan mangrove berpengaruh terhadap produktivitas tambak, atau seberapa besar keuntungan tambak dari adanya mangrove, maka tambak yang berada di lokasi Desa Curahsawo akan dibandingkan dengan tambak yang berada di lokasi Desa Sukokerto. Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, merupakan desa pesisir yang secara geografis terletak bersebelahan dengan Desa Curahsawo, sehingga lebih kurang memiliki kondisi lingkungan yang sama. Mangrove yang ada di Desa Sukokerto hanya tersisa sedikit, yakni kurang dari lima persen dari seluruh wilayah pesisirnya.

Berdasarkan hasil analisis kelayakan yang dilakukan, diperoleh bahwa nilai kriteria kelayakan usaha tambak yang berada di kawasan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berada di luar kawasan mangrove tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai kriteria kelayakan usaha tambak Desa Curahsawo seperti NPV sebesar Rp 45.799.888,16, BCR sebesar 1,39, IRR sebesar 67%, dan payback period selama 2 tahun 5 bulan. Untuk Desa Sukokerto, nilai-nilai tersebut adalah NPV sebesar Rp 4.523.615, BCR sebesar 1,11, IRR sebesar 14%, dan payback period selama 7 tahun 11 bulan. Meskipun kedua lokasi memenuhi syarat kelayakan, nilai kriteria kelayakan tambak yang berada di kawasan mangrove jauh lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan yang berada di luar kawasan mangrove, terlebih dalam jangka panjang. Selain itu, untuk mengetahui tingkat kesejahteraan petani sebagai produsen, dilakukan perhitungan surplus produsen. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh bahwa nilai surplus produsen Desa Curahsawo sebesar Rp 7.631.792. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan surplus produsen Desa Sukokerto, yakni sebesar Rp 2.687.010. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kesejahteraan petani tambak dalam kawasan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani tambak di luar kawasan mangrove.

(6)

NABABAN.

COMPARISON ANALYSIS OF FISHERY FARMING IN MANGROVE AREA

WITH FISHERY FARMING IN NO-MANGROVE AREA, PROBOLINGGO, EAST JAVA

Wisyanda, Livia Azarine1), Akhmad Fauzi2), dan Benny Osta Nababan3)

ABSTRACT

Mangroves in Indonesia are decreasing in number because of several causes, while the main cause of the mangrove conversion is mostlyfishery farming.Fishery farming areas in coastal areas are usually cleared from mangroves, as a result, so many loss, local communities couldn’ttake direct nor indirect benefits from the existence of mangroves. So, Government introduces a more environment-friendlier way of fishery farming, which is silvo-fishery farming (fishery mangrove in mangrove area), but it’s not well informed to all of farmers, and there is no quantitative prove abouthow much this silvo-fishery farming better than the old way (the full conversion of mangroves). The article examines whether or not the silvo-fishery farming is better than the old way and how much is the difference.By using feasibility analysis and producer’s surplus analysis, the results indicate that although the old way of fishery farming is also viable and creates benefits, it is so not as much as the silvo-fishery would gives.

Keyword: Mangrove, coastal silvo-fishery farming Probolinggo, East Java.

1

Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, H44080035, Semester 10

2

Dosen Pembimbing I Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Prof, Dr, Ir, M.Sc

3

(7)
(8)

ANALISIS PERBANDINGAN HASIL TAMBAK PERIKANAN DI

DALAM DAN DI LUAR KAWASAN MANGROVE

(KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI JAWA TIMUR)

LIVIA AZARINE WISYANDA H44080035

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(9)
(10)

Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam

dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo,

Jawa Timur)

Nama : Livia Azarine Wisyanda

NIM : H44080035

Disetujui

Diketahui

Tanggal Lulus:

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Pembimbing I

Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si Pembimbing II

Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

(11)
(12)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang atas berkat dan

rahmatNya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun ucapan terima

kasih ingin penulis sampaikan atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini,

yakni kepada:

1. Orang tua, bapak, Ir. H. Yahya Agusman, M.Si, dan ibu, Dra. Hj. Putry

Wisni Wardhani. Adik-adik, Vito Demasyanda dan Dissa Alithia

Wisyanda. Terima kasih atas segala-galanya. Atas bantuannya, atas

kesabarannya, atas perhatian dan kasih sayangnya. Terlebih, maaf atas

segala-galanya.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc sebagai dosen pembimbing I, dan

Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing II,

yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr sebagai dosen penguji utama yang juga

sebagai dosen pembimbing akademik, dan Bapak Novindra, SP, M.Si

sebagai dosen penguji wakil departemen.

4. Pak Bambang, Pak Khairul, Pak Wahono, Pak Sumarno, dan aparat

pemerintahan Kota dan Kabupaten Probolinggo lainnya. Terima kasih

banyak atas waktu dan bantuannya.

5. Nova, Sari, dan teman-teman di ESL lainnya yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu. Rina, qq. Terima kasih atas semuanya.

6. Mbak sofi, mbak putri, mbak aam, dan staf departemen ESL lainnya, juga

semua orang yang ikut membantu dan tidak dapat disebutkan di sini.

(13)
(14)

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

dan hidayahNya, skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur)” dapat diselesaikan. Inti dari skripsi ini adalah melihat perbandingan hasil dari usaha tambak tumpangsari, yakni tambak

yang berada di dalam kawasan mangrove, dengan usaha tambak yang tidak berada

dalam kawasan mangrove. Hasil tambak yang berada di dalam kawasan mangrove

akan lebih besar dari tambak yang tidak ada mangrovenya sehingga akan berujung

pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tentunya juga kelestarian

lingkungan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai panduan untuk

melaksanakan penelitian lebih lanjut dan juga bermanfaat bagi kepentingan

berbagai kalangan. Sekian dari penulis, kritik serta saran yang membangun

diharapkan untuk hasil yang lebih baik. Terima kasih.

Bogor, Juli 2013

(15)
(16)

PERNYATAAN ……….… i

RINGKASAN …..……….. ii

LEMBAR PENGESAHAN ….………... iii

DAFTAR TABEL ………..………….………..….…… ix

DAFTAR GAMBAR ………... x

DAFTAR LAMPIRAN ...……….……….. xi

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ………..…… 1

1.2. Perumusan Masalah ………..……… 4

1.3. Tujuan Penelitian .…...………..…… 5

1.4. Manfaat Penelitian ………..….. 5

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ……….……… 6

II. TINJAUAN PUSTAKA …...……….. 7

2.1. Ekosistem Mangrove ..……….…... 7

2.1.1. Definisi Mangrove …...……… 7

2.1.2. Tumbuhan Mangrove ..……… 7

2.1.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ...……….. 9

2.1.4. Produk dan Jasa dari Mangrove …...……… 12

2.2 Tambak Tumpangsari ...……….……… 14

2.3. Analisis Biaya dan Manfaat ……….. 17

2.4. Surplus Produsen …..……….... 17

2.5. Penelitian Terdahulu ……..……….. 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN …..……….……… 21

IV. METODE PENELITIAN ……...……… 23

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..……….. 23

4.2. Jenis dan Sumber Data …..……….………... 23

4.3. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Jumlah Sampel …. 23 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data .…….…….………….. 24

4.4.1. Mengkaji Pendapatan dan Peranan/Partisipasi Masyarakat dalam Menjaga Kelestarian Mangrove….. 24

4.4.2. Mengkaji Perbandingan Kelayakan Pola Tambak dalam Kawasan Mangrove (Tumpangsari) dengan di Luar Kawasan Mangrove (Model Lama) …...…….….. 24

(17)

5.2. Keadaan Umum Desa Sukokerto ………. 30

5.3. Kondisi Perikanan dan Potensi Mangrove Kabupaten Probolinggo ………. 31

5.4. Karakteristik Responden ……….. 39

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 35

6.1. Pandangan dan Peranan Masyarakat Terhadap Kelestarian Mangrove di Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto …………. 35

6.2. Perbandingan Kelayakan Finansial Tambak Dalam Kawasan Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove ……….. 41

6.3. Analisa Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Tambak Dalam Kawasan Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove ……….…. 44

VII. SIMPULAN DAN SARAN ………... 46

7.1. Simpulan ………... 46

7.2. Saran ………. 47

DAFTAR PUSTAKA …….……….……….…………. 48

LAMPIRAN …….……….……….… 51

(18)

ix 2. Luasan mangrove tiap negara dan proporsinya terhadap luasan

mangrove global ……….……….….. 2 3. Produk dan jasa hutan mangrove ...……….. 13 4. Luas ekosistem mangrove propinsi jawa timur tahun 2010 menurut

(19)

x

2. Peningkatan Luas Lahan Budidaya Tambak Per Tahunnya ……….. 3

3. Manfaat Mangrove Bagi Kehidupan ……….. 12

4. Perbandingan Tambak Model Lama dengan Tambak Tumpangsari ... 14

5. Bentuk Tambak Tumpangsari Pola Parit ………... 16

6. Bentuk Tambak Tumpangsari Pola Komplangan ……….. 17

7. Surplus Produsen ……… 19

8. Kerangka Pemikiran Operasional ………. 22

9. Data Produktivitas Bandeng, Udang Vannamei, dan Udang Werus Kabupaten Probolinggo ………. 39

10. Pendapat Responden Desa Curahsawo Terhadap Kondisi Mangrove di Lingkungannya ………..……….. 35

11. Pendapat Responden Desa Curahsawo Mengenai Manfaat Mangrove ……….……….. 36

12. Pentingnya Keberadaan Mangrove Bagi Responden Desa Curahsawo ………. 36

13. Partisipasi Responden Desa Curahsawo Dalam Mengikuti Penyuluhan ……… 37

14. Partisipasi Responden Desa Curahsawo Dalam Penanaman Mangrove ……….. 37

15. Pendapat Responden Desa Sukokerto Terhadap Kondisi Mangrove di Lingkungannya ………. 38

16. Pendapat Responden Desa Sukokerto Mengenai Manfaat Mangrove ……….. 38

17. Partisipasi Responden Desa Sukokerto Dalam Mengikuti Penyuluhan ……… 39

(20)

xi

2. Hasil Pengolahan Data Analisis Usaha Tambak….……….. 54

3. Cashflow Analisis ……… 60

4. Karakteristik Responden...……… 64

5. Dokumentasi Penelitian ………... 67

(21)
(22)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sejak dulu mangrove telah dimanfaatkan secara luas dan eksploitatif di

sebagian besar negara yang ditumbuhi mangrove. Banyaknya studi dan literatur

yang ada memperlihatkan keberadaan mangrove yang terus berkurang setiap

waktunya di tiap belahan dunia. Tabel 1 memperlihatkan estimasi terhadap luasan

mangrove yang dilakukan oleh FAO dan dapat terlihat bahwa penurunan pada

luasan mangrove terus terjadi sejak tahun 1980 hingga tahun 2005 di tiap belahan

dunia.

Tabel 1. Estimasi luasan mangrove per wilayah di dunia (tahun 1980-2005)

Wilayah Estimasi Terkini

1980 1990 Perubahan 1980-1990

Afrika 3243 1997 3670 3428 24 -0,6 Sumber: FAO (2007)

Dalam studi estimasi luasan mangrove global yang dilakukan oleh FAO

tersebut (2007), sebagai negara, Indonesia memiliki area mangrove terluas di

seluruh dunia, yakni sebesar 19% dari total luasan mangrove yang ada di dunia,

yakni sebesar 3.062.300 ha, diikuti oleh Australia 10%, Brazil 7%, Nigeria 7%,

Meksiko 5%, Malaysia 4%, Kuba 4%, Myanmar 3%, Bangladesh 3%, India 3%,

dan sisanya adalah 35% yang merupakan gabungan dari negara-negara lainnya

(23)

Tabel 2. Luasan mangrove tiap negara dan proporsinya terhadap luasan mangrove

global

No. Negara Luas Mangrove (ha) Proporsi terhadap Luasan

Mangrove Dunia (%)

1. Indonesia 3.062.300 19

2. Australia 1.451.411 10

3. Brazil 1.012.376 7

4. Nigeria 997.700 7

5. Meksiko 882.032 5

6. Malaysia 564.971 4

7. Kuba 545.805 4

8. Myanmar 518.646 3

9. Bangladesh 476.215 3

10. India 446.100 3

11. Lainnya 5.747.433 35

Sumber: FAO (2007)

Luasan mangrove saat ini telah mengalami degradasi karena berbagai

sebab. Disebutkan oleh Soemartono (2002) dalam Kustanti (2011) bahwa hasil

studi yang ada menunjukkan bahwa degradasi hutan mangrove di Indonesia dalam

kurun waktu 11 tahun (tahun 1982 sampai 1993) yang terjadi sebesar 47,92%.

Menurut LPP Mangrove Indonesia (2004), hutan mangrove telah mengalami

degradasi atau penurunan luas hingga mencapai 200.000 ha per tahunnya. Dapat

terlihat juga angka penurunan jumlah area mangrove di Indonesia dari tahun 1980

hingga 2005 berdasarkan data dari FAO pada tahun 2007 (Gambar 1).

Sumber: FAO (2007)

Gambar 1. Penurunan luas area mangrove di indonesia

Eksploitasi sumber daya alam daerah pesisir hutan mangrove menjadi

tidak terelakkan dan tak terkendali. Tindakan eksploitasi yang berlebihan dan

tidak memikirkan kepentingannya secara jangka panjang tersebut akan sangat 2005, 2.900.000

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

L

u

as Area Mangrove

(Ha)

(24)

merugikan, merusak ekosistem mangrove maupun habitat yang terkait dengan

ekosistem tersebut. Pantai akan terancam erosi dan abrasi, terjadinya intrusi air

laut yang dapat mengakibatkan pencemaran air tanah di wilayah pesisir. Tekanan

serius pada fungsi ekologis hutan mangrove tersebut terjadi karena berbagai faktor,

yakni seperti pembangunan daerah pesisir yang semakin pesat, pertumbuhan

penduduk lokal yang tinggi di wilayah pesisir, pertambangan, konversi lahan

menjadi kolam garam dan pertanian, ataupun pemanfaatan yang berlebihan dari

hutan itu sendiri, namun penyebab yang paling menentukan dalam beberapa tahun

terakhir ini adalah meluasnya konversi hutan mangrove menjadi kolam budidaya

atau tambak (Aksornkoae et al, 1986 dalam Barbier, 2004).

Lebih dari 50% kebutuhan ikan dunia akan dipasok dari budidaya

perikanan air tawar maupun air laut. Menurut laporan FAO (2011), saat ini ikan

hasil budidaya adalah sumber protein hewani yang paling cepat pertumbuhannya.

Dari tahun 2000 hingga 2008, tingkat pertumbuhannya sebesar 60%, yakni dari

32,4 juta ton menjadi 52,5 juta ton. Gambar 2 menunjukkan potensi lahan

pertambakan di Indonesia yang mencapai 682.857 ha pada tahun 2010, dengan

grafik yang cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Seiring dengan

adanya kemajuan dalam teknologi, potensi yang tersedia diperkirakan melebihi

angka tersebut (Sadi, 2006).

Sumber: BPS (2011)

Gambar 2. Peningkatan luas lahan budidaya tambak per tahunnya

Proporsi luas hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak pun

diperkirakan sangat besar dan terus meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada

beberapa daerah dengan kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol,

seperti di kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan 2010, 682,857

0 200,000 400,000 600,000 800,000

2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012

L

u

as L

a

han B

udi

daya

(Ha)

(25)

luas konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak pada tahun 1992 sebesar

15.000 ha, kemudian pada tahun 1998 sebesar 40.000 ha, dan pada tahun 1999

mencapai 85.000 ha (Santoso, 2002 dalam Sadi, 2006).

Menanggapi masalah tersebut, Departemen Kehutanan memperkenalkan

pola Silvofishery atau yang dapat disebut juga pola tumpangsari. Jika masyarakat menerapkan pola tumpangsari yang merupakan pola pemanfaatan gabungan

antara tambak dengan mangrove, maka kelestarian mangrove dapat terjaga tanpa

mengabaikan kesejahteraan masyarakat secara umum dan dalam hal ini petani

tambak pada khususnya.

1.2. Perumusan Masalah

Tambak tumpangsari merupakan bentuk pengelolaan tambak dengan

mempertahankan ataupun menanam kembali sejumlah tanaman mangrove. Tujuan

utamanya adalah meningkatkan penghasilan petani tambak dari peningkatan

produktivitas tambak yang merupakan hasil dari fungsi jasa lingkungan

keberadaan mangrove itu sendiri. Desa Curahsawo merupakan desa yang

berlokasi di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur.

Desa Curahsawo merupakan daerah pesisir dimana mangrove yang ada masih

baik sehingga tambak yang ada di daerah tersebut dikelola sebagai tambak

tumpangsari dengan komoditas polikultur udang-bandeng. Desa tersebut juga

pernah mendapat kalpataru untuk lingkungan mangrovenya. Meski begitu, masih

banyak masyarakat, khususnya petani tambak, yang tidak tahu bagaimana

pengaruh mangrove terhadap tambaknya.

Untuk itu, perlu diketahui bagaimana manfaat keberadaan mangrove

terhadap produktivitas tambak, yakni dengan membandingkan produktivitas

tambak yang berada di dalam kawasan mangrove dengan tambak yang tidak

berada di dalam kawasan mangrove. Desa yang merupakan lokasi untuk tambak

yang berada di luar kawasan mangrove adalah Desa Sukokerto, Kecamatan

Sukokerto, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Desa Sukokerto

terletak hampir bersebelahan dengan Desa Curahsawo, sehingga dengan asumsi

bahwa kondisi lingkungan kurang lebih sama, tambak yang juga dikelola dengan

(26)

tambak polikultur udang-bandeng dari Desa Curahsawo, yang nantinya akan

terlihat seberapa besar pengaruh adanya mangrove terhadap produktivitas tambak.

Dalam hal ini, perumusan masalah dapat disimpulkan menjadi beberapa

pertanyaan berikut:

1. Bagaimana pendapat dan partisipasi masyarakat mengenai upaya

pelestarian kawasan mangrove?

2. Bagaimana perbandingan pendapatan dan kelayakan dari tambak yang

berada di dalam kawasan mangrove dengan yang di luar kawasan

mangrove?

3. Bagaimana perbandingan surplus yang diterima petani tambak dari adanya

mangrove?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menjawab semua perumusan masalah, yakni:

1. Mengetahui pendapat dan partisipasi masyarakat mengenai upaya

pelestarian ekosistem mangrove.

2. Mengetahui hasil dari perbandingan pendapatan dan kelayakan antara

tambak tumpangsari (berbasis lingkungan dan berada dalam kawasan

mangrove) dengan pola lama (tanpa mangrove)

3. Mengetahui perbedaan surplus yang diterima oleh petani tambak dari

adanya mangrove dengan yang tidak ada mangrove.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat untuk berbagai hal, antara lain:

a. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana

untuk memperoleh tambahan pengetahuan untuk pengembangan ilmu

pengetahuan.

b. Bagi akademisi, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

masukan atau referensi untuk melakukan penelitian berikutnya.

c. Bagi pembuat kebijakan, rekomendasi dari hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan dalam menentukan atau

membuat kebijakan pengelolaan yang lebih baik. Dalam hal ini, penentuan

kebijakan demi kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelestarian ekosistem

(27)

d. Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan

solusi yang lebih baik dalam pemanfaatan kawasan mangrove sebagai

areal pertambakan yang ramah lingkungan dan peningkatan produksi

tambak masyarakat.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun batasan-batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan hanya dalam ruang lingkup Desa Curahsawo,

Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur dan

Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi

Jawa Timur.

2. Responden merupakan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai

petani tambak yang berdomisili di Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto.

3. Manfaat dari keberadaan mangrove yang dihitung adalah yang berdampak

langsung terhadap produktivitas tambak. Dalam hal ini, tidak menghitung

secara moneter manfaat tidak langsung yang lainnya maupun manfaat

langsung dari mangrove tersebut, yakni tidak dilakukan valuasi nilai

ekonomi total terhadap hutan mangrove yang ada.

4. Berdasarkan data dari Bank Indonesia pada tahun 2012, suku bunga yang

digunakan adalah 10%, yang merupakan suku bunga pinjaman.

5. Beberapa asumsi digunakan dalam penelitian ini, yakni seperti harga input

dan output yang digunakan dalam perhitungan analisis yang dilakukan

didasarkan pada harga yang berlaku pada saat penelitian dilakukan dan

konstan selama umur proyek, sumber modal seluruhnya berasal dari

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove

Pengetahuan dasar mengenai hutan mangrove sangat diperlukan guna

mengenali hutan mangrove itu sendiri. Selain pengertian yang meliputi biologi

hutan mangrove, diperlukan juga pemahaman mengenai pengertian ekologi

tempat tumbuh hutan mangrove. Perencanaan pengelolaan hutan mangrove akan

lebih optimal dalam aplikasinya jika telah diketahui secara pasti potensi yang ada

di dalamnya, tidak hanya potensi biotik, namun juga faktor abiotik beserta

lingkungannya.

2.1.1. Definisi Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun

untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.

Sedangkan dalam bahasa portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk manyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kustanti, 2011). Tomlinson (1986) dalam FAO (2007)

mengartikan mangrove sebagai hutan atau vegetasi pesisir yang berada atau

tumbuh di lingkungan eustaria yang dapat ditemui di garis pantai tropika dan

subtropika yang bisa memiliki fungsi-fungsi sosial ekonomi dan lingkungan.

Walsh (1974) dalam Kustanti (2011) mencoba menjelaskan perbedaan

pengembangan komunitas mangrove di dunia dengan membedakan lima

persyaratan mendasar bagi mangrove untuk tumbuh, yaitu suhu tropik, daratan

alluvial, pantai yang tidak bergelombang besar, salinitas, dan tingkat pasang surut air laut. Kelima faktor lingkungan tersebut mempengaruhi pembentukan dan

luasan mangrove, komposisi jenis, zonasi, karakteristik, struktural lanila, dan

fungsi ekosistem itu sendiri.

2.1.2. Tumbuhan Mangrove

Menurut Kustanti (2011), mangrove berkaitan dengan tumbuhan tropik

yang komunitas tumbuhannya di daerah pasang surut, sepanjang garis pantai,

muara, laguna (danau pinggir laut) yang dipengaruhi pasang surut. Mangrove

(29)

lingkungan tertentu. Flora dalam mangrove terdiri dari pohon, epifit, liana, alga,

bakteri, dan fungi. Komunitas flora di hutan mangrove dapat dikelompokkan

menjadi dua kategori, yakni flora inti mangrove (flora yang mempunyai peran

ekologi utama dalam formasi mangrove) dan flora peripheral (flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi hutan mangrove, tetapi juga flora

tersebut berperan penting dalam formasi hutan lainnya).

Mangrove dapat juga diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan

vegetasi dominan penyusunnya, yaitu kelompok mayor, minor, dan asosiasi

mangrove. Pengertian masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

1. Kelompok mayor (vegetasi dominan) merupakan komponen yang

memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki

sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk

mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Komponen penyusunnya berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan,

hanya terjadi di hutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi

tidak pernah meluas sampai ke dalam komunitas daratan. Di Indonesia,

mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Rhizopora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorhiza, B. cylinrica, B. parvifolia, B. sexagula, Ceriops tagal, Kandelia candel, Xylacarpus granatum, dan X.moluccensis. 2. Kelompok minor (vegetasi marjinal) merupakan komponen yang tidak

termasuk elemen yang menyolok dari tumbuhan-tumbuhan yang mungkin

terdapat di sekeliling habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni.

Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan mangrove yang tumbuh pada

pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada rawa

air tawar, pantai, daratan landai, dan lokasi-lokasi mangrove lain yang

marjinal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, jenis ini tidak terbatas pada

(30)

3. Kelompok asosiasi mangrove merupakan komponen yang jarang

ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang

sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuhan-tumbuhan

darat.

Flora mangrove sebenarnya akan tumbuh dengan lebih baik jika tidak

dipengaruhi oleh kadar garam air. Mereka akan lebih cepat tumbuh dan menjadi

lebih tinggi jika tumbuh di air tawar. Namun mangrove dapat beradaptasi sesuai

dengan lingkungan yang dihadapi sehingga dapat tumbuh baik. Adapun secara

umum, adaptasi vegetasi mangrove adalah sebagai berikut:

1. Terhadap kadar oksigen rendah, yaitu dengan perakaran yang khas.

Akarnya berbentuk cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk

mengambil oksigen dari udara, serta akar bertipe penyangga atau tongkat

yang mempunyai lentisel.

2. Terhadap kadar garam tinggi, yaitu dengan memiliki sel-sel khusus dalam

daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Berdaun tebal dan kuat

untuk mengatur keseimbangan garam, serta daun yang memiliki stomata

khusus untuk mengurangi penguapan. Sering didapati pada beberapa jenis

yang terdapat kristal garam halus pada permukaan daunnya.

3. Terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, yaitu dengan

mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk

jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon dan mengambil

unsur hara serta sedimen.

2.1.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Keberadaan vegetasi dan fauna yang terdapat di hutan mangrove

merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial,

ekonomi, dan lingkungan. Potensi yang diperoleh dari ekosistem hutan tersebut

berupa hasil hutan kayu, non kayu, jasa dan lingkungan. Keanekaragaman potensi

tersebut sudah lama dimanfaatkan untuk kehidupan manusia baik secara langsung

(31)

Adapun fungsi hutan mangrove dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni:

1. Fungsi biologis/ekologis

Hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem terdiri dari komponen biotik

dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari dari vegetasi mangrove yang

meliputi pepohonan, semak, dan fauna. Sedangkan komponen abiotik yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove adalah

pasang surut air laut, lumpur berpasir, ombak laut, pantai yang landai,

salinitas laut, dan lain sebagainya.

Selama ini, hutan mangrove memiliki nilai penting, yakni sebagai kunci

utama dalam penyediaan makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar

mangrove, seperti udang, kepiting, ikan, burung, dan juga mamalia.

Mangrove merupakan daerah mencari makan bagi organisme-organisme

yang ada di dalamnya, dan karena kerapatannya, memungkinkan untuk

melindungi kehidupan organisme di dalamnya sehingga hutan mangrove

sering dijadikan tempat bagi pemijahan hewan-hewan, juga sebagai

nursery ground, terutama bagi anak udang, anak ikan, dan biota laut lainnya.

2. Fungsi fisik

Hutan mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari

gelombang besar, angin kencang, dan badai. Selain itu, mangrove juga

dapat melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur, mencegah intrusi air

laut, dan juga memperangkap sedimen. Menurut Kusmana et al. (2003), fungsi fisik keberadaan hutan mangrove adalah menjaga garis pantai dan

tebing sungai dari abrasi/erosi agar tetap stabil, mempercepat perluasan

lahan, mengendalikan intrusi air laut, melindungi daerah yang berada di

belakang hutan mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang,

dan juga mengolah limbah organik.

3. Fungsi sosial dan ekonomi

Upaya pengelolaan sumber daya hutan mangrove secara lestari hendaknya

sudah memperhatikan inisiatif lokal masyarakat sekitar hutan. Hal ini

dimaksudkan sebagai upaya proteksi terhadap kemungkinan perusakan

(32)

apabila masyarakat di sekitar hutan mangrove dilibatkan dan diberi akses

untuk mengelola hutan dengan tetap memperhatikan kelestariannya.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove antara lain

adalah dalam hal pertukaran pendapat dalam penentuan kebijakan,

konsultasi kebijakan dan teknis pelaksanaan pengelolaan, dan penentuan

keputusan tingkat tinggi. Peran serta masyarakat sekitar secara aktif akan

memberikan dampak positif dalam upaya pengelolaan dan pengamanan

hutan mangrove karena dalam diri masyarakat yang terlibat akan timbul

rasa memiliki, sehingga akan timbul juga kepedulian untuk menjaga

kelestarian mangrove tersebut. Selain itu, pemenuhan kebutuhan

masyarakat terhadap hasil hutan dan jasa mangrove dapat memberikan

kontribusi dalam upaya peningkatan kondisi ekonomi dan sosial

masyarakat di sekitar hutan sehingga kesejahteraan masyarakat pun

terjamin.

Manfaat hutan mangrove dapat dilihat sebagai kegunaannya yang dapat

diberikan atau dimanfaatkan bagi kehidupan manusia (Gambar 3). Aneka

kegunaan hutan mangrove tersebut dapat dibedakan berdasarkan tingkatan

ekosistem. Tingkatan ekosistem yang pertama adalah berdasarkan tingkat

komponen ekosistem sebagai primary biotic component atau komponen utama biotik. Adapun Kusmana (2003) membagi manfaat hutan mangrove sebagai

berikut:

1. Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan:

a. Lahan tambak, lahan pertanian, dan kolam garam

Lahan mangrove di beberapa daerah di Indonesia banyak yang

dikonversi menjadi areal pertambakan tradisional udang dan bandeng,

(33)

Sumber: Green Coast (2011)

Gambar 3. Manfaat mangrove bagi kehidupan

b. Lahan pariwisata

Potensi ekosistem hutan mangrove sebagai lahan pariwisata

menawarkan keindahan alam dari hasil-hasil yang bisa diandalkan.

2. Tingkat komponen ekosistem sebagai Primary Biotic component: a. Flora mangrove

Keberadaan flora mangrove dari vegetasi tumbuhan bawah sampai

dengan pepohonan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan

masyarakat.

b. Fauna mangrove

Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri atas lima kelas,

yaitu mamalia, reptilian, aves, amphibi, dan pisces. Manfaat ekonomi

yang bisa langsung diambil seperti dari adanya ikan, udang, kepiting,

burung, dan lainnya.

2.1.4. Produk dan Jasa dari Mangrove

Beranekaragam produk dan jasa dapat dihasilkan dari keberadaan hutan

(34)

manfaat, baik secara keseluruhan ekosistem maupun komponen ekosistem.

Sedangkan jasa yang dihasilkan dari keberadaan hutan mangrove sesuai dengan

fungsi bioekologi, sosial ekonomi, dan manfaat, baik secara ekosistem

keseluruhan maupun secara komponen ekosistem (Tabel 3). Nelayan, petani, dan

masyarakat daerah pada umumnya memanfaatkan kayu mangrove seperti untuk

bahan bangunan, kayu bakar, kail, dan lainnya dan produk non-kayu mangrove

seperti untuk pakan ternak, alkohol, gula, obat-obatan, dan madu (FAO, 2007).

Tabel 3. Produk dan jasa hutan mangrove

Bahan Bakar (Fuel)

Kayu Bakar (Fuelwood) Batu Bara (Charcoal)

Konstruksi (Construction)

Kayu sebagai bahan bangunan (Timber, scaffolding) Konstruksi (Heavy construction)

Alat Pertambangan (Mining props) Pembuatan Kapal (Boat-building)

Perikanan (Fishing)

Kail Pancing (Fishing stakes)

Kapal untuk memancing (Fishing boats)

Tempat Perlindungan Ikan (Fish-attracting shelters)

Tekstil (Textile, leather)

Benang Sintetis (Synthetic fibres (rayon)) Bahan Pewarna Kain (Dye for cloth) Tannin

Produk Alami Lainnya (Other natural products)

Ikan (Fish)

Fauna lainnya (Other fauna)

Makanan dan Obat-obatan (Food, drugs and beverages)

Gula (Sugar) Alkohol (Alcohol)

Minyak Goreng (Cooking oil) Cuka (Vinegar)

Pengganti Teh (Tea substitute) Sayuran (Vegetables (fruit/leaves))

Pertanian (Agriculture)

Pakan Ternak (Fodder)

Barang Rumah Tangga (Household items)

Lem (Glue)

Minyak Rambut (Hairdressing oil) Alu (Rice mortar)

Mainan (Toys)

Korek Api (Match sticks)

Produk Hutan Lainnya (Other forest products)

Kotak Pengemasan (Packing boxes) Obat-obatan (Medicines)

(35)

2.2. Tambak Tumpangsari

Tambak tumpangsari, merupakan bentuk dari kebijakan pendekatan

perhutanan sosial, yaitu suatu model pengembangan tambak ramah lingkungan

yang memadukan antara hutan/pohon (sylvo) dengan budidaya perikanan (fishery). Menurut Kementerian Kehutanan (2004), sistem tumpangsari tambak tersebut merupakan suatu teknik pembuatan tanaman hutan mangrove, yang pada

pelaksanaannya pada areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan.

Tambak tumpangsari tersebut dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem

pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara

langsung seperti diilustrasikan pada Gambar 4.

Sumber: Green Coast (2011)

Gambar 4. Perbandingan tambak model lama dengan tambak tumpangsari

Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial

merupakan suatu konsep untuk membantu masyarakat di sepanjang jalur pantai

dengan meningkatkan pendapatan ekonominya sehingga diharapkan dapat

(36)

multi guna baik untuk perikanan maupun kehutanan (Soewardi, 1994 dalam Sadi,

2006). Tumpangsari merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, terdiri

atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan

penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.

Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman

mangrove yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha

menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani

1993).

Dengan pola ini, diharapkan ada kerja sama yang saling menguntungkan

antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai petambak penggarap

dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan

alternatif aplikasi dari sistem tumpangsari ini. Dalam sistem empang parit, tambak

yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi

hutan mangrove, dengan luas parit 20% dan mangrove 80%, atau parit 40% dan

mangrove 60% dari luas anak petak. Semakin besar proporsi hutan mangrove,

nilai ekologi yang diberikan pun akan semakin besar bagi lingkungan, tetapi

sebaliknya akan mengurangi nilai ekonomi dari hasil tambak pada tingkat tertentu.

Adapun luas anak petak tambak berkisar antara 0,3 - 3 ha.

Sistem ini secara konvensional sudah dilakukan sejak tahun 1968 namun

baru dikembangkan secara semi konvensional sejak tahun 1986 (Departemen

Kehutanan dan Perkebunan 1999). Jenis utama yang dapat diusahakan dalam

budidaya perikanan tambak tumpangsari adalah bandeng, mujair, blanak dan hasil

tambahan lain seperti udang dan kepiting (Sukardjo, 1989 dalam Sadi, 2006).

Ketahanan tambak tumpangsari tergantung dari jenis tanaman mangrove dan

periode pertumbuhannya. Jenis mangrove yang ditanam adalah Bakau

(Rhizoppora mucronata) dan Api-api (Avecennia marina) dengan jarak tanam yang dianjurkan adalah 3x3 meter, tetapi dalam praktiknya Perum Perhutani

masih memberikan kelonggaran untuk jarak tanam 5x5 meter dan lainnya.

Manfaat dari pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial

dengan sistem tumpangsari dengan pola empang parit adalah (1) meningkatkan

persentase keberhasilan tanaman mangrove di atas 80% dengan jenis ikan yang

(37)

dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melibatkan Dinas Kelautan dan

Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Perum Perhutani; (3)

meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama yang tergabung dalam KTH; (4)

gangguan terhadap keamanan dan kelestarian mangrove menurun; (5) adanya

pengakuan dari dunia internasional terhadap keberhasilan program perhutanan

sosial payau (Perum Perhutani, 1993 dalam Sadi, 2006).

Kartasubrata (1988) dalam Tresnowati (2003) menjelaskan bahwa sistem

tumpangsari merupakan suatu pola agroforestry yang berasal dari Burma dan dirancang sebagai pendekatan pemerintah untuk membina tanaman hutan dengan

biaya murah. Sistem tersebut diterapkan pada pengelolaan hutan mangrove dalam

program perhutanan sosial, dimana para petani dapat memelihara ikan dan udang

yang sekaligus merehabilitasi kembali hutan mangrove. Kesejahteraan petani

meningkat sementara hutan mangrove pun tetap lestari.

Bentuk tambak tumpangsari ini bermacam-macam dan pada dasarnya

terdiri atas pematang, saluran keliling (caren) dan pelataran. Pelataran tersebut

adalah tempat tumbuhnya tanaman mangrove. Pola tumpangsari yang popular

diantara pola yang sudah ditetapkan oleh Perum Perhutani sejak tahun 1989 terdiri

atas:

1. Pola parit, yaitu bentuk dengan saluran keliling tempat memelihara ikan

dan udang berda di luar wilayah pelatarn tanaman mangrove (Gambar 5).

Sumber: Tresnowati (2003)

Gambar 5. Bentuk tambak tumpangsari pola parit Pintu Air

Caren

Saluran Air

xxxxxxx Tanaman Mangrove

xxxxxxx

(38)

2. Pola komplangan, yaitu bentuk dengan saluran tempat memelihara ikan

dan udang berada di pinggir.

Sumber: Tresnowati (2003)

Gambar 6. Bentuk tambak tumpangsari pola komplangan

2.3. Analisis Biaya dan Manfaat

Analisis Biaya dan Manfaat atau Benefit-Cost Analysis (BCA) merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran keuntungan atau kerugian,

serta kelayakan suatu kegiatan usaha. Tujuan utama dari BCA adalah untuk

menentukan proyek atau kebijakan yang efektif dan efisien dalam penggunaan

sumber daya. Salah satu kriteria yang perlu dilakukan adalah Net Present Value (NPV), yaitu rasio antara penjumlahkan manfaat yang telah didiscounting per jumlah biaya yang telah didiscountingkan, sehingga proyek yang ada nanti akan menggambarkan penggunaan sumber daya yang efisien. Kriteria lainnya adalah

Benefit-Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP).

2.4. Surplus Produsen

Menurut Fauzi (2006), salah satu hal yang krusial dari ekonomi

sumberdaya alam adalah bagaimana surplus dari sumberdaya alam dimanfaatkan

secara optimal. Pada dasarnya konsep surplus menempatkan nilai moneter

terhadap kesejahteraan dari masyarakat dari mengekstrasi dan mengkonsumsi

sumberdaya alam. Surplus juga merupakan manfaat ekonomi yang tidak lain

adalah selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Green (1992) dalam Fauzi

(2006) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur

Pintu Air Caren

xxxxxxx Tanaman Mangrove

xxxxxxx Tanggul

(39)

manfaat sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan

sumber daya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya. Surplus

ekonomi yang dimaksud tersebut adalah rente sumberdaya (resource rent), surplus konsumen, dan surplus produsen.

Rente sumberdaya merupakan surplus yang bisa dinikmati oleh pemilik

sumberdaya dan merupakan selisih antara jumlah yang diterima dari pemanfaatan

sumberdaya dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya,

sedangkan surplus konsumen sama dengan manfaat yang diperoleh masyarakat

dari mengkonsumsi sumberdaya alam dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan

untuk mengkonsumsi barang tersebut. Namun perhitungan surplus yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah surplus produsen.

Salah satu tujuan penting dalam ekonomi adalah dapat menghitung atau

menilai adanya keuntungan dan kerugian yang dialami masyarakat, yang

berhubungan dengan harga pasar (Callan & Thomas, 2000). Dari sisi penawaran

(supply) dalam pasar, pengukuran yang digunakan untuk menghitung kesejahteraan adalah surplus produsen. Surplus produsen merupakan alat yang

digunakan untuk mengukur adanya peningkatan keuntungan bersih yang diterima

oleh produsen yang didapat dari adanya kelebihan penawaran (excess supply), atau menurut Fauzi (2006), surplus produsen tidak lain adalah pembayaran paling

minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk

memproduksi barang x. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus

yang bisa diperoleh oleh pemilik sumber daya atau aset yang produktif pada saat

pendapatan dari sumber daya melebihi biaya pemanfaatannya. Kelebihan itu

(40)

Sumber: Fauzi (2006)

Gambar 7. Surplus produsen

Berdasarkan Gambar 7, surplus produsen diperlihatkan sebagai daerah C,

yakni daerah di atas kurva penawaran dan di bawah garis harga P2. Surplus

produsen dapat diukur dari kehilangan dari sisi manfaat dan kehilangan dari

produsen atau pelaku ekonomi (Tuwo, 2011). Petani yang memiliki tambak dalam

kawasan mangrove dikatakan akan memiliki surplus produsen yang lebih besar

dari yang di luar kawasan mangrove karena beberapa manfaat tambahan yang

didapat dari mangrove.

2.5. Penelitian Terdahulu

Luasan kawasan hutan mangrove mempengaruhi produksi perikanan

budidaya. Semakin luas kawasan hutan mangrove, semakin besar produktivitas

perikanan. Hasil penelitian Turner (1977) dalam Tuwo (2011) menunjukkan

bahwa pembangunan 1 Ha tambak ikan pada hutan mangrove alamiah akan

menghasilkan ikan dan udang sebanyak 287 kg setiap tahunnya. Berkurangnya

satu hektar hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang

di lepas pantai per tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan luas hutan

mangrove dapat menyebabkan penurunan produktivitas perikanan tangkapan.

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada beberapa wilayah yang

hutan mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan

tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara

lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk

F

B Rp

x P0

MC = C’(x)

P2

X0

X1

E P1

C

U’(x) A

(41)

pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan

(Ditjen RLPS, 2002 dalam Sadi, 2007).

Dalam penelitian Gunawan dan Anwar (2005), disampaikan bahwa air

tambak yang berlokasi di luar ekosistem mangrove mengandung Merkuri 16 kali

lebih tinggi dari air perairan hutan mangrove alamiah, dan 14 kali lebih tinggi dari

air tambak yang hutan mangrovenya masih baik atau tambak tumpangsari. Hal

tersebut disebabkan oleh salah satu fungsi ekosistem hutan mangrove, yakni

sebagai penyerap logam berat sehingga tidak masuk ke dalam jaring makanan.

Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Tresnowati (2003), didapat

bahwa menurut 93% masyarakat, mangrove dapat mengurangi pembelian pakan

atau obat untuk pengelolaan tambak. Selain itu, manfaat ekologi dari mangrove

lainnya yang dirasakan oleh masyarakat adalah sebagai pencegah banjir dengan

menahan gelombang pasang, menghemat pembuatan tanggul, juga mengurangi

intrusi air laut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gambe (2007), pada

tingkat suku bunga 12% diperoleh nilai NPV tambak, yang dikelola dengan sistem

tumpangsari di Desa Jayamukti, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat, sebesar

Rp 36.911.275, kemudian memiliki nilai BCR sebesar 2,55, dan IRR sebesar

145,99%. Kegiatan pengelolaan tambak tersebut juga menghasilkan nilai

pendapatan sebesar Rp 22.028.000 atau sebesar 87,23% dari total pendapatan

rumah tangga petani tambak di desa tersebut.

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang

ada sebelumnya adalah lokasi penelitian, waktu dilakukannya penelitian, dan

metode analisis yang digunakan. Metode analisis tambahan yang digunakan pada

penelitian ini adalah surplus produsen, dimana surplus produsen akan

memperlihatkan tingkat kesejahteraan dari sisi petani dari adanya penerapan

(42)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Salah satu jenis ekosistem wilayah pesisir, yakni ekosistem mangrove,

sudah dimanfaatkan oleh manusia sejak dulu. Salah satu bentuk pemanfaatan yang

ada adalah untuk budidaya perikanan tambak. Mangrove-mangrove ditebang habis

dan lahannya dibersihkan untuk dijadikan tambak, dimana tambak tersebut bisa

disebut tambak model lama (berada di luar kawasan mangrove). Mangrove tidak

lestari di kawasan yang tambaknya dikelola dengan model tersebut. Dalam jangka

panjang, bentuk pemanfaatan tersebut akhirnya akan merugikan masyarakat

sendiri.

Untuk itu pemerintah memiliki alternatif pemanfaatan kawasan mangrove

yang lebih ramah akan lingkungan sekitar, yakni pola pemanfaatan tambak

tumpangsari (berada di dalam kawasan mangrove). Tambak tumpangsari

merupakan bentuk pemanfaatan lahan sebagai pertambakan, namun tetap

mempertahankan ataupun menanam kembali tanaman mangrove yang ada,

sehingga tidak hanya pendapatan petani tambak yang meningkat tapi kelestarian

lingkungan mangrove pun terjaga. Sayangnya hal tersebut belum tersosialisasikan

dengan baik di kalangan masyarakat, terutama para petani tambak.

Oleh karena itu, dengan menggunakan analisis biaya-manfaat, akan

dibandingkan hasil dari tambak model lama, yakni yang tidak berada dalam

kawasan mangrove tersebut, dengan tambak tumpangsari, yang berada dalam

kawasan mangrove. Selain itu akan terlihat pula perbedaan surplus yang diterima

olah petani tambak, dimana surplus produsen tersebut juga akan menunjukkan

tingkat kesejahteraan dari masyarakat. Pada akhirnya, hasil dari penelitian ini

nantinya akan dijadikan bahan untuk membuat rekomendasi, yang secara khusus

untuk daerah penelitian dan secara umum untuk lingkungan mangrove lainnya,

untuk adanya perbaikan atau peningkatan kualitas lingkungan mangrove dan

kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Berikut adalah kerangka pemikiran

(43)

Gambar 8. Kerangka pemikiran operasional Ekosistem Mangrove

Tambak Tumpangsari Di Dalam Kawasan

Mangrove

Pendapatan Petani di Dalam Kawasan

Mangrove

Surplus Produsen

Tambak Konvensional

Pendapatan Petani di Luar Kawasan

Mangrove

Perbandingan

Analisis Biaya Manfaat Pandangan

Petani Mengenai Mangrove

Kesejahteraan Masyarakat

Rekomendasi Penelitian Analisa Deskriptif

Budidaya Perikanan Tambak

Di Luar Kawasan Mangrove

(44)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap dua lokasi. Lokasi yang pertama adalah

Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, yang merupakan lokasi desa dimana

tambak berada di lingkungan mangrove yang cukup baik. Lokasi yang kedua

adalah Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan. yakni lokasi desa dimana lahan

mangrove hanya sedikit, yakni sekitar lima hektar, karena dikonversi menjadi

lahan untuk pertambakan (Lampiran 1). Kedua desa tersebut termasuk ke dalam

wilayah Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur dan merupakan daerah

yang berbatasan langsung dengan laut namun dibatasi oleh hutan mangrove.

Penelitian untuk memperoleh data primer dilakukan selama bulan Mei 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer

merupakan data yang diperoleh dari hasil kuisioner dan pertanyaan yang diberikan,

dengan dipandu, kepada masyarakat sekitar, yakni berupa data usaha tambak,

pendapat mengenai keberadaan mangrove di sekitar lingkungan tambak, dan

lainnya. Data sekunder merupakan data yang didapat dari literatur-literatur seperti

data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Laporan Monografi Desa, dan lainnya.

4.3. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Jumlah Sampel

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapang di lokasi

penelitian. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan bantuan kuisioner

yang telah disiapkan sebelumnya. Studi pustaka juga dilakukan untuk

mengumpulkan data sekunder yang dibutuhkan untuk menunjang penelitian, baik

dari penelitian-penelitian terdahulu maupun data-data dari instansi yang terkait

seperti Perum Perhutani, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan lainnya.

Pemilihan reponden dilakukan dengan metode purposive sampling, yakni dengan memilih responden-responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani

tambak. Penentuan jumlah sampel responden yang digunakan dalam penelitian ini

ditentukan dengan menimbang jumlah populasi petani tambak yang ada dan

berdasarkan yang dikemukakan Gay bahwa dalam penelitian sosial ekonomi

(45)

orang (Wardiyanta, 2006). Untuk itu, dalam penelitian ini jumlah responden yang

digunakan adalah sebanyak 30 orang.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, akan digunakan dua jenis analisis, yakni analisis

kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk

menganalisis data mengenai hasil dari tambak, bagaimana kelayakan usaha

tambak, surplus produsen dari petani tambak, dan kemudian bagaimana jika

dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan pola tumpangsari pada

tambaknya. Data tersebut akan dianalisa secara kuantitatif dengan surplus

produsen dan analisis biaya manfaat. Analisis kualitatif dilakukan dengan

menganalisa data secara deskriptif, dalam hal ini, data yang didapat mengenai

pandangan dan pendapat masyarakat mengenai keberadaan mangrove di sekitar

tempat tinggalnya tersebut.

4.4.1. Mengkaji Pendapat dan Partisipasi Masyarakat dalam Menjaga Kelestarian Mangrove

Peranan atau partisipasi merupakan suatu proses dimana pemangku

kepentingan saling mempengaruhi dan berbagi kekuasaan pada inisiatif-inisiatif

pembangunan, keputusan-keputusan, dan sumber daya-sumber daya yang

berpengaruh terhadap mereka. Dalam praktiknya, partisipasi memiliki

bermacam-macam tahapan, salah satunya adalah tahapan pelaksanaan. Tahapan pelaksanaan

merupakan tahap yang paling penting dari suatu kegiatan dan wujud nyatanya

digolongkan menjadi tiga, yakni partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran,

sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek. Dengan

menggunakan analisis deskriptif, akan diperlihatkan bagaimana pendapat

masyarakat mengenai keadaan mangrove yang ada.

4.4.2. Mengkaji Perbandingan Kelayakan Pola Tambak dalam Kawasan Mangrove dengan di Luar Kawasan Mangrove

Kelayakan ekonomi dari pola tambak tersebut dapat dilihat dari

perhitungan nilai NPV, BCR, IRR, dan payback period. Kegiatan perikanan tambak dikatakan layak apabila nilai yang didapat sesuai dengan syarat nilai

kelayakan kriteria-kriteria tersebut. Menurut Gittinger (1986), ukuran arus uang

(46)

atau NPV. Ukuran ini tak lebih dari nilai sekarang dari manfaat neto tambahan

atau arus uang tambahan.

NPV juga dihitung dengan terlebih dahulu mencari selisih antara nilai

sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya atau

juga dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan

oleh penanaman investasi. NPV juga merupakan nilai diskonto dari selisih

manfaat dan biaya untuk setiap aliran keluar masuknya uang yang juga berarti

keuntungan bersih pengusahaan pada saat ini (Soekartawi, 1995). Dalam analisa

finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk

individu. Secara matematis, menurut Gittinger (1976) rumus dari NPV adalah:

NPV = ∑ ..…………... (1)

Keterangan:

Bt = Penerimaan petani pada tahun ke-t (Rp)

Ct = Biaya yang dikeluarkan petani pada tahun ke-t (Rp)

i = Suku bunga (%)

t = Tahun kegiatan

n = Umur proyek

Proyek tersebut layak jika kriteria NPV adalah lebih besar dari nol atau

positif. Dalam hal ini, jika proyek memenuhi kriteria NPV, berarti akan ada

peningkatan dalam kesejahteraan sosial. Selain NPV, ada beberapa alternatif

kriteria lainnya, misalnya Benefit-Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP). Kriteria kelayakan BCR merupakan kriteria yang menggambarkan rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan

manfaat bersih yang bernilai negatif. Suatu proyek dapat dikatakan layak apabila

nilai BCR yang didapat adalah sama dengan atau lebih besar dari satu. Secara

matematis, rumus BCR dapat dituliskan sebagai berikut:

∑ ………. (2)

Keterangan:

Bt = Penerimaan petani pada tahun ke-t (Rp)

Ct = Biaya yang dikeluarkan petani pada tahun ke-t (Rp)

i = Suku bunga (%)

t = Tahun kegiatan

(47)

Kriteria yang berikutnya adalah IRR. Tingkat pengembalian internal atau

IRR merupakan cara lain penggunaan arus manfaat neto tambahan untuk

mengukur manfaat proyek, yakni dengan mencari tingkat diskonto yang dapat

membuat manfaat sekarang neto dari arus manfaat neto tambahan atau arus uang

tambahan sama dengan nol (NPV=0). Tingkat tersebut adalah tingkat bunga

maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumber daya yang digunakan

karena proyek membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi dan investasi

dan proyek baru sampai pada tingkat pulang modal (Gittinger, 1986). Suatu

proyek atau kegiatan investasi dikatakan layak apabila IRR ≥Opportunity Cost of Capital atau Discount Rate yang digunakan. Besaran yang dihasilkan dari perhitungan ini adalah dalam satuan persentase. Secara matematis dapat dituliskan

sebagai berikut:

….…………(3)

Keterangan:

IRR = Internal Rate of Return (%)

i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif (%)

i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%)

NPV1 = NPV positif (Rp)

NPV2 = NPV negatif (Rp)

Adapun kriteria yang digunakan selanjutnya adalah payback period (PP). Kriteria PP merupakan kriteria yang digunakan untuk menunjukkan jangka waktu yang diperlukan biaya investasi untuk kembali. Menurut Gitingger (1986), PP merupakan adalah jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi modal yang ditanamkan, dihitung mulai dari permulaan proyek sampai dengan arus nilai neto produksi tambahan sehingga mencapai jumlah keseluruhan investasi modal yang ditanamkan. Kriteria payback period berguna untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan cashflow. Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk diusahakan. Secara matematis, PP dapat dituliskan sebagai berikut:

PP I ………..………..… (4)

Keterangan:

PP = Payback Period (Tahun ke-) I = Biaya Investasi (Rp)

(48)

4.3.3. Menganalisis Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Pola Tambak Dalam Kawasan Mangrove dengan di Luar Kawasan Mangrove

Menurut Fauzi (2006), pada dasarnya konsep surplus menempatkan nilai

moneter terhadap kesejahteraan dari masyarakat dari mengekstraksi dan

mengkonsumsi sumber daya alam. Surplus juga merupakan manfaat ekonomi

yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumber daya alam. Green (1992)

dalam Fauzi (2006) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk

mengukur manfaat sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena

pemanfaatan sumber daya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya.

Menurut Fauzi (2006), secara matematis besaran surplus produsen dapat diukur

berdasarkan:

PS x xC x C x ……… (5)

Keterangan:

PS = Surplus produsen (Producer’s Surplus) (Rp)

xC’(x) = Pembayaran minimum yang dapat diterima produsen (Rp) C(x) = Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi barang x (Rp)

Surplus produsen tersebut tidak lain adalah pembayaran paling minimum

yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi

barang x. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa

diperoleh oleh pemilik sumber daya atau aset yang produktif pada saat pendapatan

dari sumber daya melebihi biaya pemanfaatannya. Untuk mengestimasi surplus

produsen, diperlukan data variabel biaya-biaya produksi dan pendapatan yang

diterima dari barang (Djajanigrat 2011). Penerimaan yang diterima oleh petani

tersebut adalah yang diperoleh dari petani dari hasil produksi tambak

masing-masing. Secara matematis, dapat dilihat dalam rumus berikut:

PSm = Pim.xim – Cm ……… (6)

Keterangan:

PS = Surplus produsen tambak (Rp) Pi = Harga komoditas i (Rp)

xi = Komoditas i (kg)

C = Biaya produksi tambak (Rp)

(49)

V. GAMBARAN UMUM

Penelitian dilakukan di dua desa dalam Kabupaten Probolinggo, Propinsi

Jawa Timur, yakni Desa Curahsawo yang berada di Kecamatan Gending, dan

Desa Sukokerto yang berada di Kecamatan Pajarakan. Secara geografis,

Kecamatan Gending berbatasan langsung dengan Kecamatan Pajarakan yang juga

berbatasan langsung dengan Selat Madura, sehingga secara umum keduanya

memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama. Desa Curahsawo digunakan

sebagai lokasi untuk menganalisa tambak yang berada dalam kawasan mangrove,

sedangkan sebagai pembandingnya Desa Sukokerto digunakan untuk

menganalisis tambak yang berada di luar kawasan mangrove. Adapun berdasarkan

Laporan Monografi Desa (2011) dari masing-masing desa, didapat data yang akan

diuraikan selanjutnya berikut.

5.1. Keadaan Umum Desa Curahsawo

1. Luas dan Letak Geografis

Desa Curahsawo merupakan desa atau kelurahan yang termasuk ke dalam

wilayah administratif Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo.

Propinsi Jawa Timur. Desa Curahsawo tersebut merupakan desa pantai

yang terletak lebih kurang 180 km dari Surabaya dan 10 km dari ibukota

Kabupaten Probolinggo.

Luas keseluruhan wilayah Desa Curahsawo adalah 555.427 ha, yang

terbagi atas tiga dusun, yakni Dusun Karang Anyar, Dusun Krajan, dan

Dusun Tambak, lalu ada tiga rukun warga (RW), dan enam rukun tetangga

(RT).

Adapun batas-batas wilayah Desa Curahsawo sendiri meliputi:

Utara : Selat Madura Barat : Desa Tamansari Dringu

Selatan : Desa Banyuanyar Timur : Desa Pajurangan

2. Topografi dan Iklim

Desa Curahsawo berada pada ketinggian 4 m di atas permukaan laut. Suhu

maksimum di desa tersebut adalah 31ºC sedangkan suhu minimumnya

(50)

79 hari dan banyaknya curah hujan per tahun adalah 150 hari. Secara

umum, tanah di wilayah Curahsawo memiliki kemiringan sekitar 8-14%,

dan tergolong cukup asam karena memiliki pH sekitar 5,5 hingga 5,9.

Lahan di Desa Curahsawo dipergunakan untuk berbagai peruntukan

seperti tanah sawah seluas sekitar 45,460 ha, tanah hutan seluas 362 ha.

Selain itu juga sebagai tanah keperluan fasilitas umum seluas 3 ha, tanah

keperluan fasilitas sosial seluas 1,950 ha, kemudian yang terutama dalam

hal ini, tanah basah yaitu tambak seluas 102,363 ha.

3. Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah penduduk Desa Curahsawo adalah 1.638 orang, dengan jumlah

laki-laki sebanyak 846 orang dan perempuan sebanyak 792 orang. Jumlah

rumah tangga yang ada adalah sebanyak 469 kepala keluarga. Dengan

jumlah penduduk 1.638 orang dan luas 5,55 km2, maka kepadatan

penduduk Desa Curahsawo adalah sekitar 295 orang per km2 .

Sebagian besar mata pencaharian utama dari penduduk Desa Curahsawo

adalah buruh tani. Selain itu, mata pencaharian utama penduduk desa

lainnya adalah petani, buruh, pedagang, PNS, TNI, nelayan, dan lainnya.

Dalam hal ini, petani tambak yang ada berjumlah 47 orang.

4. Sarana dan Prasarana Daerah

Untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, ada pula sarana pembangunan

seperti koperasi sebanyak satu buah, toko/kios/warung sebanyak 18 buah,

bank sebanyak satu buah, kemudian beberapa jenis usaha seperti industri

kecil dan rumah tangga sebanyak tiga buah, rumah makan/warung makan

sebanyak lima buah, perdangangan sebanyak tiga buah, dan usaha

angkutan sebanyak satu buah. Adapun sarana umum lainnya yang dapat

digunakan oleh masyarakat adalah tempat ibadah seperti masjid sebanyak

dua buah dan musholla sebanyak sembilan buah.

Sarana pendidikan yang ada di Desa Curahsawo terdiri dari taman

kanak-kanak swasta sebanyak dua buah dengan jumlah murid sebanyak 116

orang dan tenaga pengajar sebanyak sembilan orang, kemudian ada

sekolah dasar negeri sebanyak satu buah dengan jumlah siswanya

(51)

juga sekolah dasar swasta sebanyak satu buah yang memiliki siswa

sebanyak 127 orang dengan tenaga pengajar sebanyak 12 orang.

5.2. Keadaan Umum Desa Sukokerto

1. Luas dan Letak Geografis

Desa Sukokerto merupakan salah satu desa atau kelurahan yang termasuk

dalam wilayah Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi

Jawa Timur. Desa ini memiliki luas 344,780 ha yang terdiri dari lima

dusun, yakni Dusun Pandean, Dusun Sukunan, Dusun Krajan, Dusun

Lumbang, dan Dusun Kancoan, kemudian enam RW dan 21 RT. Desa

Sukokerto berbatasan dengan Desa Panembangan dan Desa Sukomulyo

dari kecamatan yang sama di bagian timur, Desa Karanggeger di bagian

barat, Desa Pajarakan Kulon di bagian selatan, dan desa ini juga

berbatasan dengan Selat Madura di bagian utara seperti Desa Curahsawo.

2. Topografi dan Iklim

Secara umum, tanah di wilayah Sukokerto memiliki karakteristik yang

mirip dengan yang ada di wilayah Curahsawo, yakni tanah yang cukup

asam dengan pH sekitar 5,5 hingga 6 dan kemiringan antara 8% sampai

12%. Desa ini juga ada pada ketinggian sekitar 3 m di atas permukaan laut

dan bertemperatur rata-rata 32ºC, memiliki rata-rata curah hujan pada

musim penghujan 7-9 mm per tahun dan 3-6 mm per tahun pada musim

kemarau.

Sebesar 60% lahan yang ada di wilayah Sukokerto digunakan sebagai

sawah tadah hujan, sisanya dipergunakan untuk peruntukkan lainnya

seperti untuk perumahan dan pekarangannya, tegalan, kuburan, gedung

sekolah, kantor desa, dan lain-lain.

3. Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah penduduk Desa Sukokerto adalah 2.846 jiwa, dengan jumlah

laki-laki sebanyak 1.387 jiwa dan perempuan sebanyak 1.459 jiwa. Jumlah

kepala keluarga yang ada adalah sejumlah 988. Kepadatan penduduk Desa

Sukokerto, dengan jumlah penduduk 2.846 orang dan luas 3,44 km2,

adalah sekitar 827 orang per km2 dan hal tersebut menunjukkan bahwa

(52)

Curahsawo yang kepadatannya hanya 295. Hal tersebut mungkin dapat

menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat kerusakan mangrove yang

ada, yakni lahan mangrove dijadikan peruntukkan yang lain seperti tempat

tinggal dan kegiatan ekonomi lainnya untuk menunjang kehidupan

masyarakat.

Penduduk Desa Sukokerto memiliki pekerjaan yang beragam, dimana

mayaoritas masyarakatnya bekerja sebagai pedagang, yakni sebanyak 238

orang, kemudian buruh tani sebanyak 203 orang, dan petani sebanyak 101

orang. Sisanya merupakan TNI, polri, sopir, PNS, tukang bangunan,

pekerja industri, dan lainnya.

4. Sarana dan Prasarana Daerah

Sarana perekonomian yang ada di Desa Sukokerto cukup banyak tersedia

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar yakni seperti pasar yang

berjumlah satu buah, took/kios/warung sebanyak 112 buah, kemudian ada

usaha tukang las, tukang patri, servis mobil, servis motor, servis elektronik,

warung internet (warnet), dan lain-lain yang semuanya berjumlah total 21

unit.

5.3. Kondisi Perikanan dan Potensi Mangrove Kabupaten Probolinggo

Berdasarkan data yang didapat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)

Propinsi Jawa Timur dalam laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)

Propinsi Jawa Timur, dengan menggunakan citra landsat TM-5, dapat diketahui

luas mangrove di beberapa kota di Jawa Timur pada tahun 2010 yang dapat dilihat

dalam Tabel 4.

Tabel 4. Luas ekosistem mangrove propinsi jawa timur tahun 2010 menurut citra landsat tm-5

No. Lokasi Mangrove Luas (Ha)

1. Kota Surabaya 378,19

2. Kab. Sidoarjo 1.236,42

3. Kab. Pasuruan 294,40

4. Kota Pasuruan 79,20

5. Kab. Probolinggo 267,65

6. Kota Probolinggo 38,94

7. Kab. Situbondo 96,93

Gambar

GAMBARAN UMUM ……………………………………………...
Tabel 1. Estimasi luasan mangrove per wilayah di dunia (tahun 1980-2005)
Tabel 2. Luasan mangrove tiap negara dan proporsinya terhadap luasan mangrove
Gambar 3. Manfaat mangrove bagi kehidupan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rekam Medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan

Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (b)

pembelajaran ini diukur dengan lembar penilaian kemampuan guru merencanakan pembelajaran. Setiap komponen dinilai dengan skala 1- 3. Kelengkapan komponen dalam RPP seperti KI,

12) Khusus untuk barang milik Pusat dalam hal ini Departemen Lain kalau sudah ada aturan/petunjuk dari Departemen yang bersangkutan, maka

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kandungan nutrisi dan pengaruh subtitusi tepung usus ayam sebagai pengganti sumber protein hewani pada pakan buatan

Dengan mengetahui bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal dapat membantu perusahaan makanan dan minuman dalam menentukan bagaimana seharusnya

tuntutan sertifikasi guru hanya mengajar minimal 24 jam pelajaran seminggu, tanpa menakar lebih rinci apa yang dilakukan guru selama 24 jam pelajaran tersebut,