VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK
STEFANUS HARI WIYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variabilitas Kesuburan Perairan
dan Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi Di Selat Lombok adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Stefanus Hari Wiyadi
ABSTRACT
STEFANUS HARI WIYADI. Fertility Variability and Water Conditions With Regard Oceanography at The Lombok Strait. Under direction of I WAYAN NURJAYA and FADLI SYAMSUDIN.
This study tried to understand the relationship between the variability of marine productivity and oceanographic condition in the Lombok Strait. We utilized Sea
Surface Temperature (SST) and Chlorophyll-a data during July 2002 – December
2009 taken from remote sensing satellite of Aqua MODIS NASA, wind data
during January 2002 – December 2009 from IFREMER Cersat, and Nutrient data
during January 2002 – December 2005 from NOAA and WOD-NODC. The study
areas divided by 4 (four) locations representing Flores sea (station 1), Northern part of Lombok strait (Station 2), Southern part of Lombok Strait (Station 3), and Indian Ocean side (Station 4). The result study showed spatial distribution of SST
are about 26 – 31 oC and Chlorophyll-a are about 0.1 – 0.95 mg/m³.The temporal
distribution of SST showed that during west monsoon have a warm temperature then during east monsoon the water have a cold temperature and also the temporal distribution of Chlorophyll-a have a high concentration during east monsoon and low concentration during west monsoon.We carried out the Empirical Orthogonal Function (EOF) and wavelet spectrum analysis to account for the main modes of the variability. The total variance of EOF mode 1 and 2 of SST explains 78 % for mode 1 and 8,4 % for mode 2 while Chlorophyll-a explains 32,4 % for mode 1 and 20,4 % for mode 2 of total variance. Spatial distribution at station 1 show sea surface temperature and chlorophyll is strongly influenced phenomenon semiannual influences, station 4 is influenced by the dominant influence of the phenomenon annual, while station 2 and 3 tend to be influenced phenomenon mixture of annual and semiannual. While the temporal distribution of show on the East season chlorophyll concentration tend to be hingh in the waters south of the Lombok Straits and West season chlorophyll relatively small concentrations, but relatively high chlorophyll concentrations appear only near the southeast coast island of Bali and western Lombok island. The index of marine productivity in this study has been established and found that at station 4 have high productivity rather then the others station occurred during months of June – September (dry season).
RINGKASAN
STEFANUS HARI WIYADI. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Selat Lombok. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan FADLI SYAMSUDIN.
Selat Lombok memiliki produktivitas perairan yang tinggi akibat adanya fenomena upwelling yang terjadi secara musiman di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia. Selain variasi musim, di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia juga ditemukan adanya variasi
interanual seperti El Nino Southtern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole
Mode (IODM), yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi perairan
Selat Lombok. Pengaruh musim serta fenomena ENSO dan IODM mempengaruhi parameter oseanografi seperti kelimpahan fitoplankton dan suhu permukaan di perairan Selat Lombok.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabilitas kesuburan perairan di Selat Lombok, mengkaji pola sebaran klorofil-a, SPL dan Nutrien (nitrat,fosfat dan silikat) secara spasial dan temporal di perairan Selat Lombok, mengetahui korelasi variabilitas kesuburan dan kondisi oseanografi perairan Selat Lombok.
Lokasi penelitian ini dilakukan di perairan Selat Lombok perairan yang menghubungkan antara P. Bali dan P. Lombok. Batas perairan yang diamati
adalah 7.5° LS – 9.5° LS dan 115.25° BT – 116.25° BT. Dengan 4 stasiun
pengamatan masing-masing stasiun 1 (7.75° LS, 115.75° BT) mewakili perairan Laut Flores, stasiun 2 (8.25° LS, 115.75° BT) mewakili Selat Lombok bagian utara, stasiun 3 (8.75° LS, 115.75° BT) mewakili Selat Lombok bagian selatan, stasiun 4 (9.25° LS, 115.75° BT) mewakili perairan Samudera Hindia.
Secara normal kisaran konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Lombok bervariasi mengikuti musim. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada musim timur akan meningkat dan pada musim barat akan menurun. Peningkatan klorofil-a pada musim timur berkaitan dengan fenomena upwelling di perairan Samudera Hindia. Adanya korelasi antara angin permukaan, suhu permukaan laut (SPL), konsentrasi klorofil-a dan nutrien (Nitrat, Fosfat dan Silikat), yang terlihat dari pengaruh pola musiman yaitu angin muson. Pada saat muson timur, SPL di perairan Selat Lombok mendingin terutama di bagian selatan perairan, hal ini diikuti dengan meningkatnya konsentrasi nutrien sehingga konsentrasi klorofil-a ikut meningkat, demikian pula sebaliknya pada saat musim barat suhu di permukaan perairan Selat Lombok cenderung lebih hangat dan konsentrasi klorofil yang relatif kecil.
Analisis Emphirical Orthogonal Function (EOF) dan spektrum Wavelet
menunjukkan mode utama variabilitas, total varian untuk suhu permukaan laut mode 1dan mode 2, sebesar 78% dan 8,4 %, sementara total varian untuk Klorofil pada mode 1 dan mode 2, sebesar 32,4% dan 20,4%. Sebaran spasial menunjukkan pada stasiun 1 suhu permukaan laut dan klorofil sangat dipengaruhi
oleh pengaruh musiman (semiannual), stasiun 4 dominan dipengaruhi oleh
pengaruh fenomena tahunan (annual), sedangkan stasiun 2 dan 3 cenderung
di perairan selatan Selat Lombok dan pada musim Barat konsentrasi khlorofil relative kecil tetapi konsentrasi klorofil relatif tinggi muncul hanya di dekat pesisir pantai Tenggara Pulau Bali dan barat Pulau Lombok. Indeks kesuburan perairan yang didapatkan menunjukkan bahwa pada stasiun 4 memiliki kesuburan perairan yang tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lain dan umumnya terjadi
selama bulan Juni – September.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK
STEFANUS HARI WIYADI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya Dengan
Kondisi Oseanografi di Selat Lombok.
Nama : Stefanus Hari Wiyadi
NRP : C551080161
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Dr. Ir. Fadli Syamsudin, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program studi
Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Variabilitas
Kesuburan Perairan dan Hubungannya Dengan Kondisi Oseanografi di Selat
Lombok”. Penelitian ini disususun dalam rangka penyelesaian tugas akhir sebagai
salah satu syarat kelulusan program pasca sarjana Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini, terutama kepada Dr. Ir. I
Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Fadli
Syamsudin, M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah penuh perhatian dan
kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya
penyusunan tesis ini. Selanjutnya, ungkapan terima kasih disampaikan kepada Dr.
Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Neviaty P.
Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang juga telah
memberikan masukan untuk menyempurnakan tesis ini. Di samping itu,
penghargaan yang terhormat penulis sampaikan kepada pimpinan dan jajaran staf
Mabes TNI AL serta pimpinan dan jajaran staf Korps Marinir yang telah
memberikan kesempatan, kepercayaan serta bantuan beasiswa kepada penulis
dalam melaksanakan masa studi. Terimakasih pula untuk istriku Aeutophia Dolfie
Gratia, serta kakak-kakak khususnya Dra. Elizabeth Sherly Widyana atas
dukungan moril dan materiil. Serta sahabat dan rekan-rekan kerja Syamsul
Hidayat, Agung Nugraha dan Pramudyo Dipo atas bantuannya selama
penyusunan tesis. Ungkapan terima kasih disampaikan pula untuk seluruh staf
administrasi Ilmu Kelautan IPB yang banyak membantu kelancaran studi dan
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan semangat dan motivasi sehinga terselesaikannya tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki keterbatasan dan belum
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan untuk
penyempurnaan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
kita semua dan kemajuan ilmu pengetahuan dibidang ilmu kelautan.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balikpapan pada tanggal
27 Mei 1973 dari ayah Petrus Hadi Suprajitno (Alm)
dan ibu Emma Suzanna (Alm). Penulis merupakan
putra ke-8 dari delapan bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di Sekolah
Dasar Bernardus 01 Semarang dan lulus pada tahun
1986, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama PL Domenico Savio Semarang dan lulus pada tahun 1989. Selanjutnya
penulis meneruskan ke Sekolah Menengah Atas Kolese Loyola Semarang dan
lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1994 penulis diterima pada program studi Ilmu
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN)
dan lulus pada tahun 1998. Pada Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa
(S2) Mayor Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dinas Pendidikan Markas Besar
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Disdikal Mabes TNI AL).
Penulis berdinas sebagai Perwira Marinir TNI AL sejak tahun 2000,
alumni Sekolah Perwira Prajurit Karier angkatan ke-7 (SEPA PK-7) tahun
1999/2000, hingga sekarang masih berdinas aktif sebagai Pama Pasmar-2 Korps
Marinir yang bermarkas di Jakarta.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………... xv
DAFTAR GAMBAR……….. ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN………..xviii
1. PENDAHULUAN………...…. 1
1.1. Latar Belakang ………1
1.2. Tujuan Penelitian ………... 2
1.3. Hipotesis ……….…. 3
1.4. Kerangka Pendekatan Masalah ………3
2. TINJAUAN PUSTAKA………....…. 4
2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Lombok……….. 4
2.2. Sirkulasi Permukaan Perairan di Selat Lombok………..…. 5
2.3. Produktivitas Primer dan Faktor yang Mempengaruhi.………... 5
2.3.1. Percampuran Vertikal ... . 6
2.3.2. Penetrasi Sinar Matahari ... 7
2.3.3. Kadar Nutrien ... 8
2.3.4. Suhu ... 9
2.3.5. Laju Tenggelam Fitoplankton ………. 12
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Sebaran Suhu Permukaan Laut ………….. .. 12
2.4.1. Angin dan Perubahan Musim ... 12
2.4.2. Upwelling ... 16
2.4.3. Pola Arus ... 17
2.5. Deteksi Klorofil dan Suhu Permukaan Laut ... 18
2.6. El Nino Southern Oscillation (ENSO) ... 20
xiii
3. METODE PENELITIAN ... 25
3.1. Lokasi Penelitian ... 25
3.2. Alat dan Data Penelitian ... 26
3.3. Metode Pengumpulan Data ... 26
3.3.1. Data Klorofil dan Suhu Permukaan Laut ... 26
3.3.2. Data Angin ... 27
3.3.3. Data Nutrien ... 27
3.4. Analisis Data ... 28
3.4.1. Metode Pengolahan Citra ... 28
3.4.2. Sebaran Temporal dan Spasial ... 28
3.4.3. Analisis Emperical Orthogonal Function (EOF) ... 29
3.4.4. Analisis Wavelet ... 31
3.4.4.1. Cross Wavelet Transform(XWT) ………. .. 31
3.4.4.2. Wavelet Transform Coherence(WTC) ………... 31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika ... 33
4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan laut (SPL)………. 33
4.1.2. Sebaran Ruang (Spasial) Klorofil ... 39
4.1.3. Sebaran Waktu (Temporal) Angin, SST, Klorofil dan Nutrien ... 49
4.2. Analisis Wavelet dan EOF (Emphirical Orthogonal Function) Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika ... 53
4.2.1. Analisis Wavelet ... 53
4.2.2. Analisis EOF ... 62
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... .. 69
5.1. Kesimpulan ... 69
5.2. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... . 71
xv
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk AquaMODIS... 19
2. SPL rata-rata bulanan pada bulan Januari – Juni di stasiun pengamatan ... 35
3. SPL rata-rata bulanan pada bulan Juli - Desember di stasiun pengamatan ... 36
4. Klorofil rerata bulanan pada bulan Januari – Juni di stasiun pengamatan ... 42
5. Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi SPL yang dominan ... 55
6. Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi klorofil yang dominan ... 57
7. Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi silang antara SPL dengan klorofil yang dominan ... 58
8. Periode dari fluktuasi koherensi SPL dengan klorofil ... 60
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan kerangka pendekatan masalah... 3
2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok... 4
3. Sistem Arus Lintas Indonesia (Arlindo) di perairan Indonesia. ... 17
4. Model sirkulasi Walker di S. Pasifik pada kondisi normal dan pada saat kondisi El Nino . ... 21
5. Pola perkembangan IODM. ... 23
6. Perbandingan kondisi IODM dan El Nino. ... 24
7. Peta lokasi penelitian... 25
8. Sebaran SPL bulanan rata-rata dari tahun 2002-2009... 34
9. Kontur standar deviasi (SD) suhu permukaan laut bulanan rata-rata ... 37
10. Sebaran klorofil bulanan rata-rata dari tahun 2002-2009. ... 40
11. Kontur standar deviasi (SD) klorofil bulanan rata-rata. ... 43
12. Kontur suhu vertikal bulan Januari - Desember. ... 47
13. Kontur standar deviasi suhu vetikal bulan Januari - Desember. ... 48
14. Diagram stick plot. ... 50
15. Spektrum densitas energi suhu permukaan laut (SPL) di stasiun 1 – 4 dan stasiun rata –rata dengan menggunakan analisis wavelet. ... 54
16. Spektrum densitas energi Klorofil antara stasiun 1 – 4 dan stasiun rata-rata dengan menggunakan analisis wavelet . ... 56
17. Spektrum densitas energi silang hubungan SPL dan klorofil dengan analisis wavelet.. ... 59
18. Koherensi dari densitas energi silang antara SPL dan klorofil. ... 61
xvii
20. Grafik temporal SPL dari 4 mode EOF. ... 64
21. Sebaran spasial klorofil Mode 1 dan Mode 2 hasil analisis EOF ... 65
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Syntax program Matlab untuk pengolahan wavelet……… ... 76
2. Syntax program Matlab untuk pengolahan EOF……… 77
3. Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun 1 ... ... 78
4. Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun 2 ... ... 80
5. Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun 3 ... ... 82
6. Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun 4 ... ... 84
7.Data suhu perkedalaman bulan Januari- Desember tahun 2002 - 2007…….. .. 86
1
1. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Selat Lombok merupakan perairan dalam dan dikenal sebagai daerah yang
mempunyai sistem arus yang kuat serta dipengaruhi oleh siklus musim. Selat ini
mempunyai peranan penting dalam Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan
memberikan sumbangan yang nyata bagi transpor massa air melalui selat. Arlindo
adalah arus yang mengalir dan menghubungkan Lautan Pasifik dan Lautan Hindia
melalui kepulauan Indonesia (Murray dan Arief,1988; Inoue dan Welsh,1993).
Arlindo mengalir di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan berperan sebagai
satu-satunya penghubung dua lautan di daerah tropis (lintang rendah).
Variabilitas kesuburan perairan di Selat Lombok sangat dipengaruhi oleh
perairan di sekitarnya terutama perairan selatan Jawa – Sumbawa. Sebaran
spasial maupun temporal sangat dipengaruhi oleh karakteristik massa air perairan
terutama suhu dan kandungan nutrien di permukaan perairan. Karakteristik massa
air sangat tergantung pada proses dinamika massa air seperti
upwelling,downwelling, transpor Ekman dan pola sirkulasi massa air permukaan.
Proses dinamika massa air dipengaruhi oleh pola dan kekuatan angin yang bertiup
di atas perairan tersebut.
Dari semua proses dinamika massa air, upwelling merupakan faktor utama
yang berperan terhadap tingginya konsentrasi klorofil-a, di lapisan permukaan
perairan. Selat Lombok memiliki produktivitas perairan yang tinggi akibat adanya
fenomena Upwelling yang terjadi secara musiman di perairan selatan Jawa yang
berhubungan dengan Samudera Hindia. Upwelling merupakan proses
terangkatnya massa air dalam yang kaya nutrien ke lapisan permukaan tercampur.
Pada Umumnya, sebaran nutrien di dalam perairan memperlihatkan tingginya
konsentrasi nutrien pada lapisan termoklin. Bila proses upwelling dapat terjadi
optimal dan didukung oleh dangkalnya lapisan termoklin, maka fenomena
upwelling sangat membantu dalam menyediakan nutrien dengan konsentrasi
tinggi pada lapisan permukaan tercampur. Pengaruh upwelling terhadap
peningkatan kesuburan perairan khususnya di selatan Jawa – Sumbawa sangat
dominan, menurut Hendiardi dkk, (1995) berdasarkan pengamatan di lokasi
musim timur selama periode Juli – September yang ditunjukkan pada konsentrasi
klorofil yang tinggi pada musim ini dibandingkan pada musim barat. Menurut
Hendiardi et al. (2004) menyatakan bahwa selama muson tenggara, transpor
Ekman di perairan sepanjang selatan Jawa menyebabkan upwelling. Pada bulan September konsentrasi klorofil di daerah upwelling selatan Jawa Timur berkisar
antara 0,6 – 1 mg/m³, sedangkan pada bulan Maret, saat tidak terjadi upwelling
konsentrasi klorofil di perairan selatan Jawa Timur umumnya rendah dengan
konsentrasi di bawah 0,1 mg/m³.
Selain variasi musim, di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan
Samudera Hindia juga ditemukan adanya variasi oleh pengaruh gaya penggerak
(remote forcing) seperti El Nino Equatorial Southern Oscillation (ENSO) dan
Indian Ocean Dipole Mode (IODM), yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi perairan Selat Lombok. Pengaruh musim dan fenomena kekuatan
remote forcing mempengaruhi parameter oseanografi seperti kelimpahan fitoplankton dan suhu permukaan di perairan Selat Lombok.
Dengan adanya informasi tentang variabilitas kesuburan di perairan ini
maka diharapkan dapat diketahui pola sebaran secara temporal dan spasial antara
khlorofil, SPL dan nutrien, serta korelasinya dengan kondisi oseanografi di
perairan tersebut.
1.2.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui variabilitas kesuburan perairan Selat Lombok
2. Mengkaji pola sebaran klorofil-a, SPL dan Nutrien (nitrat,fosfat dan
silikat) secara spasial dan temporal di perairan Selat Lombok.
3. Mengetahui korelasi variabilitas kesuburan dan kondisi oseanografi
3
1.3.Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Dinamika perairan Selat Lombok mempengaruhi variabilitas kesuburan.
2. Variabilitas Perairan Selat Lombok dipengaruhi faktor Remote Forcing
(perubahan iklim regional: ENSO dan IODM, ARLINDO).
1.4.Kerangka Pendekatan Masalah
Gambar 1. Bagan Kerangka Pendekatan Masalah
Data Suhu
sumber:
AquaMODIS- NASA dan NOAA
Sebaran Temporal dan Spasial
Analisis Wavelet (Spektrum densitas energi,
korelasi dan koherensi)
Variabilitas Kesuburan Perairan
Data Angin
sumber:
ifremer-cersat Data Klorofil
sumber:
AquaMODIS- NASA
Analisis EOF
(Spasial dan temporal)
Data Batimetri:
Sumber: SRTM30+ Data Nutrien
sumber:
NOAA dan WOD-NODC
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Lombok
Selat Lombok merupakan perairan yang menghubungkan antara Pulau
Bali dan Pulau Lombok juga merupakan perairan yang berkarakter unik dan
dinamis. Panjang selat dari utara ke selatan sekitar 60 km dengan lebar 40 km di
bagian utara dan menyempit menjadi sekitar 18 km di bagian selatan. Posisi
geografis selat Lombok di bagian utara berhubungan dengan Laut Jawa dan di
bagian selatan berhubungan dengan Samudera Hindia, dan merupakan selat yang
paling dalam dibandingkan dengan selat-selat di sekitarnya. Di bagian ujung
bagian selatan terdapat pulau Nusa Penida yang membagi selat lombok menjadi
dua yaitu Selat Badung di bagian Barat dan Selat Lombok di bagian Timur.
Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makasar oleh alur berkedalaman
600-1000 m sepanjang sisi timur Paparan Sunda, selat ini terletak di wilayah
transisi antara perairan Indonesia bagian barat dan bagian timur. Perairan
Indonesia bagian barat merupakan bagian dari Paparan Sunda yang berkedalaman
kurang dari 75 m dan dipengaruhi curah hujan yang tinggi sebesar 2-4 m/tahun
(ASEAN Sub-Commitee on Climatology,1982). Perairan Indonesia bagian timur
adalah perairan dalam dengan kedalaman air lebih dari 1000 m dan curah hujan
yang relatif rendah kurang dari 1,5 m/tahun. Adapun karakteristik dasar perairan
di Selat Lombok dapat dilihat pada Gambar 2.
5
2.2. Sirkulasi Permukaan Perairan di Selat Lombok
Selat-selat laut umumnya merupakan perairan semi tertutup yang
berhubungan dengan laut terbuka menyebabkan sistem dinamika perairan menjadi
kompleks. Demikian pula di Selat Lombok diketahui mempunyai sistem dinamika
kompleks yang dipengaruhi oleh pengaruh lokal maupun pengaruh skala besar
yang berasal dari Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Kondisi perairan Selat
Lombok dan karakteristik arus selatan Jawa dipengaruhi oleh siklus tahunan
Angin Muson. Perairan Selat Lombok dipengaruhi oleh angin Musim Timur (east
monsoon), dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi tekanan udara tinggi diatas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah diatas daratan Asia,
sehingga menyebabkan angin bergerak dari arah Timur ke Barat. Angin musim
berpengaruh terhadap sirkulasi air laut dan klimatologi seperti angin, curah hujan
dan lain sebagainya. Pada daerah khatulistiwa, saat musim timur maka curah
hujan sangat rendah sehingga mempengaruhi kadar salinitas dan kelimpahan
Fitoplankton (Arinardi et al., 1994).
Arief (1992) menyatakan bahwa arus di selat lombok merupakan sistem
arus kuat dengan arah cenderung ke arah selatan menuju Lautan Hindia. Pada
lapisan permukaan antara 0 – 100 m dipengaruhi kuat oleh angin musim dan
secara vertikal arus paling kuat dijumpai pada lapisan dengan salinitas rendah. Di
daerah ini salinitas minimum terjadi pada kedalaman diatas 300 m.
Sirkulasi air laut di sekitar Selat Lombok seperti di Flores pada lapisan
kedalaman 100 m dipengaruhi oleh sistem sirkulasi skala besar dari lautan Pasifik
dan Lautan Hindia. Pada lautan Hindia di daerah 50 km dari pantai selatan
Kepulauan Indonesia, sirkulasi arus didominasi oleh berkembangnya arus pantai
selatan Jawa yang menyebabkan upwelling/downwelling. Antara bulan Juli dan
Oktober, sirkulasi didominasi oleh aliran ke arah barat yang merupakan bagian
dari sistem arus katulistiwa Selatan di lautan Hindia (Wyrtki, 1961).
2.3. Produktivitas Primer dan Faktor yang Mempengaruhi
Fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan
produktivitas primer perairan, khususnya di laut terbuka. Produktivitas primer
adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu
dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai
jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum
dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat
kolom air per hari (gr C/cm²/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam
satu meter kubik per hari (gr C/m³/hari) (Levinton, 1982). Selain jumlah karbon
yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui
dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi
klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan
(Valiela, 1984).
Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai
faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik
adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, nutrien, suhu
permukaan laut dan laju tenggelam fitoplankton.
2.3.1. Percampuran Vertikal
Distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya berbeda menurut
waktu, dimana suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di
lain waktu mungkin lebih terkonsentrasi di bagian bawah kedalaman eufotik
(Steel dan Yentch, 1960 dalam Parsons et al., 1984). Khlorofil-a memiliki
hubungan yang sangat erat dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan
dengan besarnya biomassa fitoplankton. Fitoplankton merupakan tumbuhan
mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
sekitarnya, dimana dalam tropik level disebut sebagai produsen utama perairan.
Menurut Barnes dan Hughes (1988), pada fitoplankton terdapat pigmen
klorofil-a yang merupakan zat hijau daun yang terdapat dalam tumbuhan yang
mampu melakukan fotosintesis. Klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju
fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi radiasi menjadi energi
kimia. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan
keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana
konsentrasi maksimum klorofil-a adalah pada bagian di atas lapisan termoklin.
Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir
7
Menurut Amri (2002), dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di
perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada
muson Tenggara (musim Timur), dimana pada saat itu terjadi upwelling di
beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan
konsentrasi klorofil-a terendah dijumpai pada saat muson barat laut, dimana pada
saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling, sehingga nilai konsentrasi
nutrien di perairan lebih kecil.
Perairan Selat Lombok dapat dikatakan subur saat terjadi upwelling pada
musim timur. Tingginya konsentrasi nutrien di perairan ini mengakibatkan
terjadinya peningkatan jumlah fitoplankton. Hal ini disebabkan karena nutrien
yang mengandung nitrat dan fosfat sangat dibutuhkan bagi perkembangan
fitoplankton. Daerah dimana terjadi upwelling umumnya memiliki zat hara yang
lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya. Tingginya kandungan zat hara
akan merangsang pertumbuhan fitoplankton di lapisan permukaan. Perkembangan
Fitoplankton sangat erat hubungannya dengan tingkat kesuburan perairan,
sehingga proses naiknya air (upwelling) selalu dihubungkan dengan
meningkatnya produktivitas primer suatu perairan.
2.3.2. Penetrasi Sinar Matahari
Cahaya matahari sangat penting dalam kelangsungan proses fotosintesis
yang dilakukan oleh fitoplankton. Laju fotosintesis akan meningkat bila tingkat
intensitas cahaya tinggi dan akan menurun jika intensitas cahaya menurun. Pada
tingkat intensitas cahaya sedang, laju fotosintesis merupakan fungsi linier dari
intensitas cahaya. Namun di dalam kolom air di dekat permukaan air dimana
intensitas cahaya tertinggi, umumnya spesies fitoplankton menunjukkan
fotosintesis berlangsung pada suatu tingkat tertentu bahkan menurun.
Laju fotosintesis di permukaan adalah relatif kecil karena pengaruh cahaya
matahari yang terlalu kuat. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi mengakibatkan
jenuhnya proses fotosintesis sehingga lajunya tidak dapat ditingkatkan lagi.
Menurut Tomascik et al. (1997), menyatakan bahwa pada perairan tropis,
fotosintesis maksimum umumnya tidak di permukaan, tetapi ada di kedalaman
yang berkisar antara 5-30 m. Semakin dalam maka laju fotosintesis semakin
di bawah permukaan. Selanjutnya, di bawah Pmax laju fotosintesis akan menurun
secara proposal terhadap intensitas cahaya (Nontji, 2002).
2.3.3. Kadar Nutrien
Masuknya unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan,
khususnya N (nitrogen), P (fosfat), dan Si (silikat) umum dilihat sebagai faktor
pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan
komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dalam Pomeroy (1991) mengatakan
bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang
berperan sebagai faktor pembatas. Unsur-unsur utama yang dibutuhkan oleh
fitoplankton merupakan faktor pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut
Hecky dan Kilham (1988) dari ketiga unsur utama yaitu N, P, Si, pada perairan air
tawar, fosfat lebih menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila
dibandingkan dengan unsur yang lain, sedangkan di perairan laut, ketiga unsur
tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan, terutama
nitrogen.
Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan
nutrien di dalam kolom perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis
nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung dari klas atau jenis fitoplankton itu
sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Laju
pertumbuhan fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada.
Menurut Pomeroy (1991), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan
meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang
saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi pada
konsentrasi nutrien.
Nitrogen sangat dibutuhkan fitoplankton untuk mensintesa protein.
Menurut Parsons et al. (1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk
molekul-molekul nitrogen dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan
ammonia, dan beberapa senyawa nitrogen organik (asam amino dan urea). Fosfat
di laut berada dalam bentuk fosfat anorganik terlarut, fosfat organik terlarut dan
partikulat fosfat (Levinton, 1982; Parsons et al., 1984). Fitoplankton secara
normal dapat mengasimilasi secara langsung fosfat anorganik terlarut (ion
9
berperan didalam mentransfer energi dalam sel fitoplankton (misalnya dalam
phosphorylation) dan energi ADP (Adenosin Diphosphate) rendah menjadi ATP (Adenosin Triphosphate) tinggi (Tomascik et al., 1997).
Dari berbagai jenis nutrien, silikat meskipun dibutuhkan dalam jumlah
yang cukup besar namun bukan merupakan senyawa atau unsur utama yang
essensial bagi fitoplankton seperti fosfat dan nitrat. Karena silikat tidak terlalu
penting dalam komposisi protoplasma tumbuhan tetapi hanya berfungsi untuk
menyusun kerangka (shell) diatom dan cyst dari yellow-brown algae serta
berperan dalam sentesa DNA pada Cylindrotheca fusiform (Reid and Wood,
1976; Kennish, 1990 dalam Tubalawony, 2007). Meskipun demikian, jika
kandungan silikat terlarut dalam suatu perairan berkurang dapat menghambat laju
pembelahan sel dan menekan aktivitas metabolisme sel fitoplankton. Ketersediaan
silikat seringkali berdampak terhadap kelimpahan dan produktivitas fitoplankton
dan menjadi faktor pembatas bagi populasi fitoplankton lainnya. Artinya bila
ketersediaan silikat dalam perairan berada dalam konsentrasi yang cukup, maka
pertumbuhan fitoplankton, khususnya diatom akan meningkat dan mendominasi
perairan, dan sebaliknya jika konsentrasinya rendah maka kepadatan populasi
diatom akan rendah bila dibandingkan dengan kelompok fitoplankton lainnya
seperti dinoflagelata. Hal ini dinyatakan pula oleh Levinton (1982), bahwa
berkurangnya konsentrasi silikat di dalam perairan dapat membatasi pertumbuhan
populasi fitoplankton dan secara langsung akan terjadi suksesi spesies
fitoplankton ke arah spesies yang kekurangan silikat. Dengan demikian silikat
merupakan fakor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton diatom di dalam suatu
perairan.
2.3.4. Suhu
Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang
terkandung dalam suatu benda. Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa suhu
secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di
laut. Secara langsung, suhu berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik
dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum
fotosintesis (Pmax) dan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk
fitoplankton. Suhu air laut di permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang
yang diterima dari sinar matahari. Selain dipengaruhi oleh sinar matahari
perubahan suhu permukaan laut juga dipengaruhi antara lain oleh arus, keadaan
awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub (Laevastu dan Hela, 1970).
Menurut Bearman (2004), sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga
lapisan, yaitu: (1) lapisan permukaan tercampur (mixed surface layer) atau disebut
juga lapisan tercampur. Mekanisme utama pencampuran adalah olakan (turbulen)
oleh angin dan gelombang dengan ketebalan 200-300 m. Selain itu, di perairan
Indonesia proses percampuran juga ditentukan oleh aliran kuat pada perairan
dangkal atau dari selat-selat yang sempit dan percampuran oleh energi pasut
(Ffield and Gordon, 1996). (2) lapisan termoklin permanen pada kedalaman
300-1000 m dimana pada kedalaman ini terjadi penurunan suhu yang tajam. (3) lapisan
di bawah 1000 m sampai dasar laut dimana suhunya dingin dan relatif konstan.
Lapisan Termoklin merupakan lapisan antara massa air permukaan yang lebih
hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya.
Menurut Harvey (1982) Mendefinisikan bahwa lapisan Termoklin sebagai
lapisan massa air yang dilihat dari keadaan suhunya, dimana gradien suhu yang
dibentuk lebih dari 5°C per 100m. Adapun menurut Wyrtki (1964) dalam Lukas
dan Lindstrom (1991) kedalaman termoklin didefinisikan sebagai suatu
kedalaman atau posisi dimana gradien suhu yang terbentuk sebesar 0,02°C/meter.
Suhu permukaan laut di daerah tropik umumnya mengikuti pola musiman
karena banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor curah hujan, penguapan,
kelembaban dan suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari
(King, 1963; Nontji, 2002). Suhu permukaan laut berkisar antara 27°C -29°C, dan
menurun secara teratur sesuai dengan meningkatnya kedalaman. Pada kedalaman
lebih dari 1000 meter, suhu air laut relatif konstan dan umumnya berkisar antara
2°C - 4°C.
Oleh adanya angin, pada lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 50
-70 meter terjadi proses pengadukan, pada lapisan ini terdapat suhu hangat sekitar
28°C dan homogen. Percampuran vertikal karena pengaruh angin pada lapisan
permukaan hanya terjadi pada lapisan tipis yang homogen dan pada lapisan
11
penurunan. Lapisan dimana terjadi penurunan suhu yang tajam dengan
bertambahnya kedalaman disebut lapisan termoklin. Penurunan suhu
menyebabkan densitas air meningkat, dan karena pada lapisan termoklin ini
biasanya diikuti dengan peningkatan salinitas tinggi menyebabkan densitas air
juga meningkat tajam. Oleh karena itu air di sebelah atasnya sulit atau tidak bisa
bercampur dengan lapisan di bawahnya, sehingga lapisan ini biasa disebut lapisan
pegat (discontuinity layer), karena mencegah atau memegat percampuran air
antara lapisan diatas dengan lapisan dibawahnya (Nontji, 2002). Suhu permukaan
di perairan Indonesia berkisar antara 26°C - 30°C, Suhu pada lapisan termoklin
berkisar antara 9°C - 26°C dan pada lapisan dalam antara 8°C - 9°C (Soegiarto
dan Birowo, 1975; Nontji, 2002). Untuk tempat yang biasa terjadi Upwelling,
suhunya dapat turun sampai 25°C (Nontji, 2002).
Menurut Arief (1997), secara keseluruhan suhu di Selat Lombok berkisar
antara 6,9°C pada kedalaman 1000 m sampai 29,2°C di permukaan. Di perairan
Indonesia, suhu maksimum terjadi pada masa pancaroba I (April – Mei) dan
musim Pancaroba II (November). Tingginya intensitas penyinaran dan dengan
kondisi permukaan laut yang lebih tenang menyebabkan penyerapan ke dalam
kolom air lebih tinggi sehingga suhu air menjadi maksimun. Sebaliknya pada
musim barat (Desember-Februari) suhu mencapai minimum. Hal ini disebabkan
pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi.
Tingginya curah hujan berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan permukaan
laut yang lebih bergelombang, mengurangi penetrasi panas masuk ke dalam air
laut. Akibatnya suhu permukaan mencapai minimum.
Dalam berperan sebagai faktor pendukung produktivitas primer di laut,
suhu perairan berinteraksi dengan faktor lain seperti cahaya dan nutrien. Dalam
kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan kovarian
dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas, sebagai contoh: plankton pada
suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis,
enzim-enzim dan karbon yang besar, karena fitoplankton lebih efisien
menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi jika
sel-sel fitoplankton dapat menyesuaian dengan kondisi yang ada. Perubahan laju
terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat
sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat
pada suhu yang lebih tinggi.
2.3.5. Laju Tenggelam Fitoplankton
Grazing dan daya tenggelam fitoplankton dalam perairan juga mempunyai peranan dalam menentukan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan. Proses
pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton atau nekton akan menurunkan
kelimpahan fitoplankton dalam perairan. Tenggelamnya fitoplankton akan
menyebabkan terjadinya perubahan dalam distribusi fitoplankton secara vertikal,
laju tenggelamnya fitoplankton akan berkurang dengan meningkatnya densitas
perairan. Kuatnya stratifikasi perairan terutama pada lapisan termoklin, berakibat
pada fitoplankton yang tenggelam tidak dapat melewati lapisan termoklin
(Tomascik et al., 1997), hal inilah yang menyebabkan tingginya produktivitas
primer pada lapisan atas termoklin. Begitu pula sebaliknya, fitoplankton yang
sudah tenggelam hingga di bagian bawah lapisan eufotik akan sulit terangkat ke
lapisan permukaan kecuali bila terjadi pergerakan vertikal massa air.
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Sebaran Suhu Permukaan Laut
Faktor yang mempegaruhi perubahan SPL diantaranya adalah Angin, Arus
permukaaan laut, upwelling, pembekuan dan pencairan es di daerah kutub
(Laevastu dan Hela,1970 dalam Paulus 2006). Menurut Sverdrup (1942)
menyatakan bahwa kondisi SPL dipengaruhi oleh dinamika massa air laut yaitu
pola arus permukaan, upwelling, divergensi dan konvergensi, turbulensi dan
sirkulasi global lautan dari lintang tinggi ke lintang rendah dan sebaliknya.
Distribusi SPL di perairan Indonesia sangat dipengaruhi keadaan lingkungan
seperti arah dan kecepatan angin dan pola arus.
2.4.1 Angin dan Perubahan Musim
Sistem angin di daerah tropis sangat kompleks dengan adanya pola angin
musim yang disebut sistem muson (monsoon) yang dominan di Samudera Hindia.
Sistem muson terjadi karena pusat tekanan udara bergeser sesuai dengan
13
setahun. Menurut Wyrtki (1961), pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara
dipengaruhi oleh empat angin muson utama, yaitu:
1. Angin muson barat laut, yang terjadi pada bulan Desember, Januari dan
Februari.
2. Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara yang terjadi
pada bulan Maret, April dan Mei.
3. Angin muson tenggara, yang terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus.
4. Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut, yang terjadi
pada bulan September, Oktober dan November.
Pada musim barat, di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim
dingin dan di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada
saat ini, pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di
daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia
menuju daratan Australia, dan sebaliknya terjadi pada musim timur. Pada bulan
Maret-Mei dan September-November, arah angin tidak menentu.
Menurut Wyrtki (1961), secara umum pola angin muson di perairan Asia
Tenggara setiap bulannya adalah sebagai berikut:
Bulan Januari: muson timur laut (utara) terbentuk. Matahari di selatan
(Australia) dan pusat tekanan tinggi di Asia sehingga angin bertiup dari utara
terutama di atas Laut China dan Laut Andaman. Di Samudera Pasifik angin
muson timur laut ini bergabung dengan angin pasat timur laut. Di ekuator, angin
menjadi angin utara dan ketika sampai di belahan bumi selatan berbelok ke timur
menjadi angin muson barat laut. Tekanan udara Khatulistiwa di Samudera Hindia
pada posisi 100 LS, di sini ada angin pasat tenggara. Di pantai barat laut Australia,
angin pasat tenggara berbelok dan bertiup hampir sejajar garis pantai ke arah
timur laut.
Bulan Februari: Tekanan udara Khatulistiwa bergeser ke utara dan berada
di atas Jawa dan Nusa Tenggara. Antara Jawa dan Australia angin barat daya
berkembang sebagai cabang dari angin pasat tenggara. Di utara ekuator kondisi
tidak berubah namun kekuatan angin muson timur laut berkurang. Bulan Maret:
Laut Timor dan Laut Arafura angin barat laut tetap ada. Di atas Laut China angin
muson timur laut melemah.
Bulan April: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak cepat ke utara dan
berada di atas ekuator. Angin pasat tenggara tetap mencapai 50 LS dan bergerak
ke utara di Nusa Tenggara dan biasanya disebut angin muson tenggara. Di utara
ekuator di atas Laut China dan Laut Filipina, angin muson timur laut yang lemah
masih ada, sementara di atas Teluk Bengal angin muson barat daya bertiup dan
memulai/mengawali muson barat daya di Myanmar dan Thailand. Bulan Mei:
kondisi berubah total, angin muson timur laut di Laut China dan Laut Filipina
hilang dan digantikan oleh muson selatan di seluruh Asia Tenggara. Di selatan
ekuator, angin muson tenggara bertiup dan bergabung dengan angin pasat
tenggara Samudera Hindia, di ekuator, angin selatan tetap ada dan di utaranya
angin muson barat daya tetap bertiup. Di wilayah Filipina dan Laut Sulawesi
angin tetap lemah dan tidak beraturan.
Bulan Juni: sebaran berubah sedikit: angin menjadi lebih kuat bahkan
lebih kuat di atas Laut Arafura, Samudera Hindia, khususnya di Teluk Bengal.
Bulan Juli dan Agustus: angin muson selatan mencapai puncaknya. Pada
bulan-bulan ini pusat tekanan rendah di Asia dan tekanan tinggi di Australia dan
perbedaan tekanan antara keduanya mencapai titik tertinggi dan sirkulasi
mencapai kekuatan terbesarnya. Bulan September: di atas Formosa dan
Hongkong, angin muson timur laut yang pertama terbentuk, menandakan
pelemahan Asia bawah dan di wilayah muson selatan hanya mengalami
pengurangan kekuatan.
Bulan Oktober: Tekanan udara Khatulisiwa kemudian kembali bergeser
ke selatan. Pada pertengahan bulan, Tekanan udara Khatulistiwa terletak pada
garis lurus antara Teluk Bengal dengan New Guinea. Di sebelah utara garis ini,
muson timur laut masih ada, sebelah selatannya juga tetap terjadi angin muson
tenggara. Di antara ekuator dan 100 LS muson barat daya telah berbelok jauh
sehingga hampir menjadi angin barat. Bulan November: Tekanan udara
Khatulistiwa telah berada di selatan ekuator. Muson timur laut mengalami
intensifikasi terutama di atas Laut China. Di atas Samudera Hindia sistem muson
15
Bulan Desember: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak terus ke selatan
dan berada pada 50 LS. Angin muson timur laut mencapai puncak kekuatan di
atas Laut China, melewati ekuator sebagai angin utara dan secara temporer
mencapai Laut Jawa dan Nusa Tenggara. Di atas Laut Jawa angin barat masih ada.
Angin pasat tenggara Samudera Hindia mundur jauh ke selatan dan mencapai
lebih dari 100 LS. Di dekat barat laut pantai Australia angin selatan masih ada.
Meskipun secara umum pembagian waktu angin muson masih mengikuti
pola Wyrtki (1961), namun observasi yang dilakukan Susanto et al. (2007)
mengindikasikan bahwa waktu transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin
muson barat laut bertiup dari November-Maret, sementara angin muson tenggara
bertiup dari Mei-September. Musim transisi hanya pada April dan Oktober.
Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan
mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika di dalam perairan tersebut.
Menurut Clark et al. (1999) in Tubalawony (2007), kuatnya angin muson
mengakibatkan meningkatnya transpor Ekman, percampuran vertikal dan
tingginya bahang yang hilang akibat evaporasi sepanjang musim panas, sehingga
mengakibatkan terjadinya pendinginan suhu permukaan perairan, dan sebaliknya
bila angin menjadi lemah dimana percampuran massa air akan lemah dan bahang
yang hilang melalui evaporasi menjadi berkurang. Selain itu, kuatnya pengaruh
angin muson mengakibatkan perbedaan dinamika massa air yang bertanggung
jawab terhadap sirkulasi massa air permukaan, percampuran massa air dan
upwelling.
Kuatnya pengaruh angin muson dapat dilihat dalam bentuk aliran massa
air pada lapisan permukaan ke arah tenggara di sepanjang pantai barat daya
Sumatera dan ke arah timur di selatan Jawa hingga Sumbawa selama bertiup
angin muson barat laut, dimana arus ini merupakan percabangan Arus Sakal
Katulistiwa Samudera Hindia dan cabang arus ini dikenal sebagai Arus Pantai
Jawa (APJ) (Soeriaatmadja, 1957 in Wyrtki, 1961).
Menurut Susanto et al. (2001), terjadinya upwelling di sepanjang pantai
Jawa-Sumatera merupakan respons terhadap bertiupnya angin muson tenggara.
Upwelling di daerah ini berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober
perairan selatan Jawa Timur dan kemudian bermigrasi ke arah barat. Migrasi
upwelling tergantung pada perubahan musiman angin yang bertiup sepanjang
pantai dan perubahan lintang yang mempengaruhi parameter coriolis.
Di perairan Jawa-Sumbawa, tiupan angin muson tenggara menyeret
massa air permukaan ke arah barat dan oleh efek Coriolis massa air terbentuk
akan dibelokkan ke selatan meninggalkan pantai sehingga menyebabkan
penurunan muka laut dan kekosongan massa air permukaan di daerah pantai.
Kekosongan massa air tersebut akan diisi/digantikan oleh massa air di bawahnya.
Proses pengangkatan massa air dari lapisan bawah disebut upwelling. Upwelling
di perairan pantai berperan penting dalam proses biologis karena massa air lapisan
bawah kaya nutrien. Setelah selang beberapa waktu (time lag), tingginya
konsentrasi nutrien akan memicu pertumbuhan fitoplankton yang bertanggung
jawab dalam produktivitas primer di laut.
Sebaran temporal gesekan angin di daerah pantai mempengaruhi volume
transpor Ekman di lapisan permukaan. Menurut Purba (2009), kekuatan gesekan
angin di selatan Jawa-Sumbawa pada 1993-2002 mencapai puncak kekuatannya
ketika bertiup angin muson tenggara yaitu Juni-Agustus dimana gesekan angin di
bagian barat lebih kuat dibanding sisi timur. Di perairan Jawa Timur-Sumbawa,
gesekan angin bervariasi dalam arah zonal pada Juni dan Juli, sementara pada
Agustus-September bervariasi secara meridional.
2.4.2. Upwelling
Upwelling didefinisikan sebagai gerakan naiknya massa air dari lapisan
yang lebih dalam, dimana massa air tersebut mempunyai suhu yang rendah dan
salinitas yang tinggi serta membawa unsur-unsur hara yang kaya akan Fosfat dan
Nitrat ke permukaan. Massa air yang naik ke permukaan ini berasal dari lapisan
kedalaman antara 100-200 m, oleh karena itu daerah-daerah upwelling selalu
memberikan indikasi produktivitas plankton yang tinggi pada perairan tersebut
(Nontji, 2002). Dari nilai suhu dan salinitas yang diukur pada tempat yang sama
(posisi dan kedalaman yang sama) pada saat terjadi upwelling, diketahui bahwa
suhu akan lebih rendah dan salinitas akan lebih tinggi dibandingkan dengan
17
dapat turun sampai sekitar 25°C, hal ini disebabkan karena air yang dingin dari
lapisan bawah terangkat ke permukaan (Nontji, 1993).
Proses upwelling menyebabkan terjadinya penurunan suhu permukaan laut
dan tingginya kandungan unsur hara dibandingkan daerah sekitarnya. Dengan
melimpahnya unsur hara di perairan saat terjadinya upwelling akan merangsang
perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang erat kaitannya dengan
tingkat kesuburan perairan. Oleh karena itu proses terjadinya upwelling selalu
dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan
(Birowo dan Arief, 1983).
2.4.3. Pola Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh adanya gerakan
gelombang panjang. Menurut Ilahude dan Nontji (1990), di wilayah perairan
Indonesia mengalir sistem arus utama yang disebut Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO). Perairan Indonesia merupakan satu lintasan yang mentransfer massa
air yang hangat dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Gambar 3). Hal
ini menjadikan perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral
dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim.
Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia (Arlindo) di perairan
[image:35.595.104.486.465.712.2]2.5. Deteksi Klorofil dan Suhu Permukaan Laut
Pendeteksian konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dilakukan
dengan menggunakan kisaran cahaya tampak (visble) dan inframerah (infrared).
Warna air laut (ocean colour) menunjukkan spektrum radiasi cahaya dibawah
permukaan laut, sehingga penginderaan warna air laut digunakan untuk menduga
konsentrasi klorofil-a. Robinson (1985) membagi perairan menjadi dua kelompok
berdasarkan sifat optisnya, yaitu perairan tipe 1 dan perairan tipe 2. Perairan tipe
1 adalah perairan yang sifat optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini
biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi zona perairan
dangkal dan sungai. Untuk perairan tipe 2 lebih banyak didominasi oleh sedimen
tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances).
Pendugaan konsentrasi klorofil termasuk dalam tipe perairan 1, dimana pantulan
minimum terjadi pada panjang gelombang 0,44µm (biru) dan 0,66µm (merah).
Warna perairan yang terlihat melalui teknologi penginderaan jauh merupakan
hasil pembauran cahaya oleh permukaan perairan. Perairan yang produktif
berwarna hijau-biru atau merah, sedangkan perairan yang berwarna biru gelap
merupakan perairan dengan kesuburan rendah. (Stewart, 1985 dalam Fitriah,
2008).
Pengukuran suhu permukaan laut dari satelit dilakukan dengan radiasi
inframerah pada panjang gelombang 3-14µm. Pengukuran spektrum inframerah
yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu
pada lapisan permukaan (Robinson,1985). Salah satu cara untuk mendeteksi
konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut di suatu perairan adalah dengan
menggunakan citra MODIS.
Satelit Aqua yang membawa instrument MODIS (Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer) diluncurkan pertama kali tanggal 4 Mei 2002 dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua MODIS adalah satelit ilmu pengetahuan
tentang bumi yang dimiliki oleh NASA, dengan misi mengumpulkan informasi
tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer,
awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut dan di daratan dan salju
yang menutupi darata. Variabel yang juga diukur oleh satelit Aqua MODIS adalah
19
di lautan, serta suhu di udara, laut dan daratan. Data citra yang merupakan produk
MODIS khusus untuk perairan mencakup tiga hal penting yaitu warna perairan,
suhu permukaan laut dan produksi primer perairan melalui deteksi kandungan
klorofil.
Untuk menduga suhu permukaan laut (SPL) digunakan algoritma MODIS
yang menggunakan kanal 31 dan 32. Algoritma SPL adalah sebagai berikut:
Modis_SST = C1 + C2*T31 + C3*T31-32 + C4*(sec (θ)-1)*T31-32
Dimana: T31 , T32 = Brightness temperature dari kanal 31 dan kanal 32
θ = Sudut Zenith satelit
Konstanta C1, C2, C3 dan C4 dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Koefisien Kanal 31 dan 32 untuk AquaMODIS
Koefisien T30− T31 ≤ 0,7 T30 – T31 > 0,7
C1 1,11071 1,196099
C2 0,9586865 0,9888366
C3 0,1741229 0,1300626
C4 1,876752 1,627125
Menurut McClain dan Feldman (2004) dalam Meliani (2006) algoritma
yang digunakan sebagai standar dalam pengolahan citra satelit Aqua MODIS
untuk mendapatkan data klorofil-a di perairan secara global yaitu algoritma
OC3M (Ocean Cholorophyll 3-band algorithm MODIS). Persamaan algoritma
tersebut adalah sebagai berikut (O’Reilly et al., 2000):
OC3M: Ca = 100,283-2,753R + 1,475R² + 0,657R³ - 1,403R³
R = log10 Rrs 443 Rrs 490
550 550
Dimana: Ca : Konsentrasi Khlorofil-a (mg/m³)
R : Rasio reflektansi
Algoritma OC3M menggunakan rasio maksimum dari reflektansi kanal
443 nm dengan 550 nm dan kanal 490 nm dengan 550 nm untuk menentukan nilai
konsentrasi khlorofil-a di perairan. Data Modis level 3 untuk produk warna
perairan (ocean color) dan suhu permukaan laut dapat diperoleh pada situs
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/ . Data MODIS level 3 merupakan produk data
yang sudah diproses. Data tersebut sudah dilakukan koreksi atmosferik, yang
dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi yang
disebabkan oleh komponen atmosfer, komponen yang dikoreksi yaitu hamburan
rayleigh dan hamburan aerosol.
Selanjutnya pengolahan data yang dilakukan dari data citra level 3 dapat
diolah dengan program SeaDAS untuk dilakukan cropping daerah penelitian dan
mendapatkan data dalam ekstensi ASCII. Program SeaDAS (SeaWIFS Data
Analysis System), adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration), Amerika tahun 1997. Merupakan paket analis citra satelit secara komprehensif untuk memproses,
menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color
SeaWIFS (Sea –Viewing Wide Field –of- view Sensor). Dalam perkembangannya,
software seaDAS mempunyai kemampuan untuk memproses data satelit ocean
color lainnya termasuk diantaranya dari MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) versi terakhir Sea DAS yang sudah di release adalah SeaDAS versi 5.2.
2.6. El Nino Southern Oscillation (ENSO)
ENSO merupakan contoh variabilitas antar tahunan yang disebabkan
interaksi atmosfer-lautan di Samudera Pasifik (Dijkstra, 2008). Menurut Potemra
et al. (2003), ENSO merupakan fenomena anomali angin antara timur dan barat Samudera Pasifik yang menyebabkan perbedaan tinggi muka laut diantara kedua
sisi samudera.
Philander (1990) menyatakan bahwa El Nino merupakan suatu fase dari
ENSO dimana angin pasat Tenggara dan angin pasat Timur Laut melemah dan
seringkali berbalik arah. Peristiwa El Nino diawali dengan turunnya tekanan udara
di Pasifik Selatan bagian Timur dan bergesernya sirkulasi Walker ke arah
21
timur menguat. Massa air permukaan yang hangat, yang biasanya terdapat di
Samudera Pasifik bagian Barat menyebar ke arah Timur, terkadang sampai
140°BT. Dengan bergeraknya massa air permukaan yang hangat ke Timur akan
mengurangi gradien suhu permukaan laut zonal di sepanjang equator Pasifik, yang
akibatnya Angin Pasat juga semakin lemah dan El Nino semakin berkembang.
Menurut Quinn et al. (1978), fenomena El Nino memiliki siklus yang tidak teratur
dengan periode antara 2 sampai 7 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya
terdapat pula fase sebaliknya dari El Nino yang dinamakan La Nina, dimana
Angin Pasat di Samudera Pasifik bertiup dengan kuat.
Kondisi Normal
Kondisi El Nino
Gambar 4. Model Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik pada Kondisi Normal
[image:39.595.107.490.89.794.2]Salah satu parameter untuk menunjukkan fase El Nino atau La Nina adalah
Southern Oscillation Index (SOI). SOI adalah suatu indeks perbedaan tekanan
udara permukaan laut antara Darwin dan Tahiti yang kemudian dinormalkan
dengan standar deviasi (Trenberth, 1997). Beberapa penelitian penting tentang
feomena ENSO dan dampaknya terhadap karakteristik dan dinamika perairan di
barat Sumatera dan selatan Jawa telah dilakukan (Sprintall et al., 1999; Susanto et
al., 2001; Gordon et al., 2003; Susanto et al., 2007).
Philander (1990) menambahkan pula bahwa indeks SOI berkaitan dengan
kekuatan Angin Pasat Tenggara. Angin pasat merupakan angin yang paling stabil,
tetapi bervariasi dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, terutama di bagian
barat Pasifik. Diduga salah satu sumber utama penyebab variabilitas itu adalah
gelombang Madden-Julian di atmosfer. Ketika tekanan paras laut di Darwin lebih
besar daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI bernilai negatif dan Angin Pasat
Tenggara di Pasifik Selatan melemah. Bila selisihnya lebih kecil daripada negatif
1,5 maka periode ini disebut El Nino. Begitu pula dengan sebaliknya, bila tekanan
paras laut di Darwin lebih kecil daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI benilai
positif dan Angin Pasat Tenggara di Pasifik Selatan menguat dan periode ini
disebut La Nina.
2.7. Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
IODM merupakan suatu pola variabilitas internal Samudera Hindia
dimana SPL di bagian timur Samudera Hindia (pantai barat Sumatera) lebih
rendah daripada biasanya dan sebaliknya di bagian barat samudera terjadi anomali
SPL yang lebih tinggi dan diikuti dengan anomali angin dan presipitasi (Saji et
al., 1999). Hubungan spasial-temporal antara SPL dan angin mempengaruhi
presipitasi dan dinamika perairan.
IODM bersifat khas dan inheren di Samudera Hindia dan independen
terhadap El Nino Southern Oscillation (ENSO). Fenomena IODM dapat
menjelaskan kenapa saat Indonesia mengalami kekeringan tapi bagian timur
Afrika justru presipitasi berlebih. Proses perkembangan IODM ditunjukkan pada
23
Gambar 5. Pola perkembangan IODM (Saji et al., 1999)
Karakter IODM adalah adanya kondisi SPL yang berlawanan pada kedua
sisi Samudera Hindia. Karena perbedaan SPL pada kedua sisi sangat jelas, maka
IODM dapat diidentifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index (DMI) yang
menggambarkan perbedaan anomali SPL antara Samudera Hindia tropis bagian
barat (500 BT – 700 BT, 100 LS – 100 LU) dan Samudera Hindia tropis bagian
tenggara (900 BT – 1100 BT, 100 LS – katulistiwa). Korelasi antara dua nilai SPL
yang berbeda cukup besar (>70%). Hal ini mengindikasikan tingginya akurasi
DMI dalam menggambarkan IODM berdasarkan SPL.
IODM bersifat independen terhadap ENSO di Samudera Pasifik seperti
ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar tersebut ditampilkan kondisi anomali
SPL Pasifik bagian tengah dan timur (daerah Nino3) dan dibandingkan dengan
data DMI. Tahun-tahun kejadian IODM adalah 1961, 1967, 1972, 1994 dan 1997.
Pada tahun 1961 tidak ada El Nino; 1967 IODM terjadi bersamaan dengan La
Nina; 1972 dan 1997 IODM muncul bersamaan dengan El Nino. Korelasi antara
DMI dan Nino3 kecil (0.35) sehingga disimpulkan bahwa IODM bersifat
Gambar 6. Perbandingan kondisi IODM dan El Nino (Saji et al.,1999) Meskipun IODM sangat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi muson, namun
ternyata korelasi antara IODM dan tingkat presipitasi di wilayah Asia yang
dipengaruhi muson kecil. Hal ini disebabkan ada faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi IODM, seperti kecenderungan biennial yang bervariasi menurut
periode muson dan reduksi konveksi di zona konvergensi tropis (OTCZ). Pada
akhirnya disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang jelas antara IODM dan
sistem muson (Saji et al., 1999).
Bagi negara-negara di sekitar Samudera Hindia, terdapat dua anomali
pola cuaca selama IODM berlangsung. Pertama, anomali meningkatnya suhu
daratan dan tingginya curah hujan di laut di bagian barat Samudera Hindia dan
sebaliknya di sisi timur samudera. Kedua, meningkatnya curah hujan di atas
daratan Asia yang masih dipengaruhi angin muson yang meluas dari Pakistan
hingga bagian selatan China. Bahkan fenomena IODM terasa hingga Eropa, timur
laut Asia, utara dan selatan Amerika utara dan selatan Afrika. Bagi
wilayah-wilayah jauh ini, IODM berhubungan dengan anomali meningkatnya suhu daratan
dan berkurangnya curah hujan (Saji and Yamagata, 2003).
Pada saat terjadi IODM, angin pasat di ekuator Samudera Hindia bagian
timur yang bertiup ke arah timur menjadi lebih kuat dan lama dan menekan intrusi
arus khatulistiwa sehingga proses pendinginan lautan Indonesia berlangsung lebih
lama. Hal ini menyebabkan upwelling lebih kuat dan lapisan termoklin menjadi
lebih dangkal di barat Sumatera dan selatan Jawa (Saji et al., 1999). Hubungan antara SPL dan anomali kedalaman termoklin dapat dijelaskan dengan IODM
25
3. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Lombok perairan yang
menghubungkan antara P. Bali dan P. Lombok.Batas perairan yang diamati adalah
7.5° LS – 9.5° LS dan 115.25° BT – 116.25° BT. Dengan 4 stasiun pengamatan
masing-masing:
stasiun 1 : 7.75°LS, 115.75° BT ( mewakili perairan Laut Flores )
stasiun 2 : 8.25°LS, 115.75° BT ( mewakili Selat Lombok bagian Utara )
stasiun 3 : 8.75°LS, 115.75° BT ( mewakili Selat Lombok bagian Selatan)
stasiun 4 : 9.25°LS. 115.75° BT (mewakili perairan Samudera Hindia )
3.2. Alat dan Data Penelitian
Alat yang digunakan untuk penelitian ini berupa seperangkat komputer
yang dilengkapi dengan beberapa program berikut:
1. Microsoft Word 2007 dan Microsoft Excel 2007.
2. WinRAR 4.00 untuk mengekstrak citra level 3 konsentrasi khlorofil-a bulanan. 3. SeaDAS 5.2 (dengan sistem operasi Linux Ubuntu 9.10) untuk mendapatkan
nilai konsentrasi klorofil-a dalam bentuk ASCII dari citra level 3 konsentrasi
klorofil-a bulanan.
4. Surfer versi 9.0 untuk mendapatkan nilai interpolasi data klorofil, suhu permukaan laut dan nutrien terhadap data angin serta menampilkan sebaran
konsentrasi klorofil-a secara temporal dan spasial terhadap lintang dan bujur
selama periode penelitian dan standard deviasinya (8 tahun).
5. Ocean Data View (ODV) versi 4 untuk mengekstrak data angin dan nutrien (Phospat, Nitrat, Silikat) yang berformat NetCDF (.NC) menjadi format
dokumen (.txt) serta untuk menampilkan kontur suhu vertikal perkedalaman
dan standar deviasinya secara spasial dan temporal.
6. Grapher versi 7.1 untuk menampilkan stikplot tren hubungan antara faktor angin, suhu permukaan laut, klorofil, dan nutrient (nitrat, fosfat, silikat)
7. Matlab versi 7.7.0 untuk mengolah sebaran parameter SST, Khlorofil dan nutrien secara spasial dan temporal dengan software EOF, untuk melihat
spektrum densitas energi, korelasi dan koherensi antara parameter yang diukur
menggunakan software wavelet.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data-data
Khlorofil, Suhu permukaan laut (SST), Nutrien (Phosphat, Nitrat, Silikat), dan
angin yang diambil dari data penginderaan jauh citra satelit.
3.3. Metode Pengumpulan Data
3.3.1. Data Khlor