• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stasiun

Lokasi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

1 9.97 6.64 9.83 11.09 12.83 18.30 16.44 22.73 21.45 16.22 13.08 8.98

2 5.84 7.86 10.92 8.66 15.66 30.09 17.05 18.03 19.95 22.59 13.33 5.27

3 5.79 7.82 9.63 7.99 10.95 13.68 17.36 12.97 11.86 7.68 6.61 7.89

4 8.33 6.44 6.68 9.51 11.30 9.84 9.85 12.12 8.35 17.97 9.03 6.56

Indeks Kesuburan = (SST rerata perbulan/SD SST perbulan)+(Klorofil rerata perbulan/SD Klorofil perbulan)+EOF mode 1 (SST) + EOF mode 2 (SST) + EOF mode 1 (Klorofil) + EOF mode 2 (Klorofil)

Ket :

IK = Indeks kesuburan T = Suhu rata-rata perbulan

SdT = Standar deviasi suhu perbulan selama 8 tahun

Cl = Klorofil rata-rata perbulan

SdCl = Standar deviasi Klorofil perbulan selama 8 tahun

EOF1T = Variabilitas SPL dari analisis EOF mode 1

EOF2T = Variabilitas SPL dari analisis EOF mode 2

EOF1Cl = Variabilitas Klorofil dari analisis EOF mode 1

EOF2Cl = Variabilitas Klorofil dari analisis EOF mode 2

Warna kuning = subur tertinggi (nilai indeks kesuburan terendah) Warna merah = tidak subur (nilai Indeks kesuburan tertinggi)

ABSTRACT

STEFANUS HARI WIYADI. Fertility Variability and Water Conditions With Regard Oceanography at The Lombok Strait. Under direction of I WAYAN NURJAYA and FADLI SYAMSUDIN.

This study tried to understand the relationship between the variability of marine productivity and oceanographic condition in the Lombok Strait. We utilized Sea

Surface Temperature (SST) and Chlorophyll-a data during July 2002 – December

2009 taken from remote sensing satellite of Aqua MODIS NASA, wind data

during January 2002 – December 2009 from IFREMER Cersat, and Nutrient data

during January 2002 – December 2005 from NOAA and WOD-NODC. The study

areas divided by 4 (four) locations representing Flores sea (station 1), Northern part of Lombok strait (Station 2), Southern part of Lombok Strait (Station 3), and Indian Ocean side (Station 4). The result study showed spatial distribution of SST

are about 26 – 31 oC and Chlorophyll-a are about 0.1 – 0.95 mg/m³.The temporal

distribution of SST showed that during west monsoon have a warm temperature then during east monsoon the water have a cold temperature and also the temporal distribution of Chlorophyll-a have a high concentration during east monsoon and low concentration during west monsoon.We carried out the Empirical Orthogonal Function (EOF) and wavelet spectrum analysis to account for the main modes of the variability. The total variance of EOF mode 1 and 2 of SST explains 78 % for mode 1 and 8,4 % for mode 2 while Chlorophyll-a explains 32,4 % for mode 1 and 20,4 % for mode 2 of total variance. Spatial distribution at station 1 show sea surface temperature and chlorophyll is strongly influenced phenomenon semiannual influences, station 4 is influenced by the dominant influence of the phenomenon annual, while station 2 and 3 tend to be influenced phenomenon mixture of annual and semiannual. While the temporal distribution of show on the East season chlorophyll concentration tend to be hingh in the waters south of the Lombok Straits and West season chlorophyll relatively small concentrations, but relatively high chlorophyll concentrations appear only near the southeast coast island of Bali and western Lombok island. The index of marine productivity in this study has been established and found that at station 4 have high productivity rather then the others station occurred during months of June – September (dry season).

RINGKASAN

STEFANUS HARI WIYADI. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Selat Lombok. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan FADLI SYAMSUDIN.

Selat Lombok memiliki produktivitas perairan yang tinggi akibat adanya fenomena upwelling yang terjadi secara musiman di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia. Selain variasi musim, di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia juga ditemukan adanya variasi

interanual seperti El Nino Southtern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole

Mode (IODM), yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi perairan

Selat Lombok. Pengaruh musim serta fenomena ENSO dan IODM mempengaruhi parameter oseanografi seperti kelimpahan fitoplankton dan suhu permukaan di perairan Selat Lombok.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabilitas kesuburan perairan di Selat Lombok, mengkaji pola sebaran klorofil-a, SPL dan Nutrien (nitrat,fosfat dan silikat) secara spasial dan temporal di perairan Selat Lombok, mengetahui korelasi variabilitas kesuburan dan kondisi oseanografi perairan Selat Lombok.

Lokasi penelitian ini dilakukan di perairan Selat Lombok perairan yang menghubungkan antara P. Bali dan P. Lombok. Batas perairan yang diamati

adalah 7.5° LS – 9.5° LS dan 115.25° BT – 116.25° BT. Dengan 4 stasiun

pengamatan masing-masing stasiun 1 (7.75° LS, 115.75° BT) mewakili perairan Laut Flores, stasiun 2 (8.25° LS, 115.75° BT) mewakili Selat Lombok bagian utara, stasiun 3 (8.75° LS, 115.75° BT) mewakili Selat Lombok bagian selatan, stasiun 4 (9.25° LS, 115.75° BT) mewakili perairan Samudera Hindia.

Secara normal kisaran konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Lombok bervariasi mengikuti musim. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada musim timur akan meningkat dan pada musim barat akan menurun. Peningkatan klorofil-a pada musim timur berkaitan dengan fenomena upwelling di perairan Samudera Hindia. Adanya korelasi antara angin permukaan, suhu permukaan laut (SPL), konsentrasi klorofil-a dan nutrien (Nitrat, Fosfat dan Silikat), yang terlihat dari pengaruh pola musiman yaitu angin muson. Pada saat muson timur, SPL di perairan Selat Lombok mendingin terutama di bagian selatan perairan, hal ini diikuti dengan meningkatnya konsentrasi nutrien sehingga konsentrasi klorofil-a ikut meningkat, demikian pula sebaliknya pada saat musim barat suhu di permukaan perairan Selat Lombok cenderung lebih hangat dan konsentrasi klorofil yang relatif kecil.

Analisis Emphirical Orthogonal Function (EOF) dan spektrum Wavelet

menunjukkan mode utama variabilitas, total varian untuk suhu permukaan laut mode 1dan mode 2, sebesar 78% dan 8,4 %, sementara total varian untuk Klorofil pada mode 1 dan mode 2, sebesar 32,4% dan 20,4%. Sebaran spasial menunjukkan pada stasiun 1 suhu permukaan laut dan klorofil sangat dipengaruhi

oleh pengaruh musiman (semiannual), stasiun 4 dominan dipengaruhi oleh

pengaruh fenomena tahunan (annual), sedangkan stasiun 2 dan 3 cenderung

dipengaruhi fenomena campuran antara musiman dan tahunan, sedangkan sebaran temporal menunjukkan pada musim Timur konsentrasi khlorofil cenderung tinggi

di perairan selatan Selat Lombok dan pada musim Barat konsentrasi khlorofil relative kecil tetapi konsentrasi klorofil relatif tinggi muncul hanya di dekat pesisir pantai Tenggara Pulau Bali dan barat Pulau Lombok. Indeks kesuburan perairan yang didapatkan menunjukkan bahwa pada stasiun 4 memiliki kesuburan perairan yang tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lain dan umumnya terjadi

selama bulan Juni – September.

1

1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Selat Lombok merupakan perairan dalam dan dikenal sebagai daerah yang mempunyai sistem arus yang kuat serta dipengaruhi oleh siklus musim. Selat ini mempunyai peranan penting dalam Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan memberikan sumbangan yang nyata bagi transpor massa air melalui selat. Arlindo adalah arus yang mengalir dan menghubungkan Lautan Pasifik dan Lautan Hindia melalui kepulauan Indonesia (Murray dan Arief,1988; Inoue dan Welsh,1993). Arlindo mengalir di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan berperan sebagai satu-satunya penghubung dua lautan di daerah tropis (lintang rendah).

Variabilitas kesuburan perairan di Selat Lombok sangat dipengaruhi oleh

perairan di sekitarnya terutama perairan selatan Jawa – Sumbawa. Sebaran

spasial maupun temporal sangat dipengaruhi oleh karakteristik massa air perairan terutama suhu dan kandungan nutrien di permukaan perairan. Karakteristik massa

air sangat tergantung pada proses dinamika massa air seperti

upwelling,downwelling, transpor Ekman dan pola sirkulasi massa air permukaan. Proses dinamika massa air dipengaruhi oleh pola dan kekuatan angin yang bertiup di atas perairan tersebut.

Dari semua proses dinamika massa air, upwelling merupakan faktor utama yang berperan terhadap tingginya konsentrasi klorofil-a, di lapisan permukaan perairan. Selat Lombok memiliki produktivitas perairan yang tinggi akibat adanya fenomena Upwelling yang terjadi secara musiman di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia. Upwelling merupakan proses terangkatnya massa air dalam yang kaya nutrien ke lapisan permukaan tercampur. Pada Umumnya, sebaran nutrien di dalam perairan memperlihatkan tingginya konsentrasi nutrien pada lapisan termoklin. Bila proses upwelling dapat terjadi optimal dan didukung oleh dangkalnya lapisan termoklin, maka fenomena upwelling sangat membantu dalam menyediakan nutrien dengan konsentrasi tinggi pada lapisan permukaan tercampur. Pengaruh upwelling terhadap

peningkatan kesuburan perairan khususnya di selatan Jawa – Sumbawa sangat

dominan, menurut Hendiardi dkk, (1995) berdasarkan pengamatan di lokasi

2

musim timur selama periode Juli – September yang ditunjukkan pada konsentrasi

klorofil yang tinggi pada musim ini dibandingkan pada musim barat. Menurut

Hendiardi et al. (2004) menyatakan bahwa selama muson tenggara, transpor

Ekman di perairan sepanjang selatan Jawa menyebabkan upwelling. Pada bulan September konsentrasi klorofil di daerah upwelling selatan Jawa Timur berkisar antara 0,6 – 1 mg/m³, sedangkan pada bulan Maret, saat tidak terjadi upwelling konsentrasi klorofil di perairan selatan Jawa Timur umumnya rendah dengan konsentrasi di bawah 0,1 mg/m³.

Selain variasi musim, di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia juga ditemukan adanya variasi oleh pengaruh gaya penggerak (remote forcing) seperti El Nino Equatorial Southern Oscillation (ENSO) dan

Indian Ocean Dipole Mode (IODM), yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi perairan Selat Lombok. Pengaruh musim dan fenomena kekuatan

remote forcing mempengaruhi parameter oseanografi seperti kelimpahan fitoplankton dan suhu permukaan di perairan Selat Lombok.

Dengan adanya informasi tentang variabilitas kesuburan di perairan ini maka diharapkan dapat diketahui pola sebaran secara temporal dan spasial antara khlorofil, SPL dan nutrien, serta korelasinya dengan kondisi oseanografi di perairan tersebut.

1.2.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui variabilitas kesuburan perairan Selat Lombok

2. Mengkaji pola sebaran klorofil-a, SPL dan Nutrien (nitrat,fosfat dan

silikat) secara spasial dan temporal di perairan Selat Lombok.

3. Mengetahui korelasi variabilitas kesuburan dan kondisi oseanografi

1.3.Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Dinamika perairan Selat Lombok mempengaruhi variabilitas kesuburan.

2. Variabilitas Perairan Selat Lombok dipengaruhi faktor Remote Forcing

(perubahan iklim regional: ENSO dan IODM, ARLINDO). 1.4.Kerangka Pendekatan Masalah

Gambar 1. Bagan Kerangka Pendekatan Masalah

Data Suhu sumber: AquaMODIS- NASA dan NOAA

Sebaran Temporal dan Spasial

Analisis Wavelet (Spektrum densitas energi,

korelasi dan koherensi)

Variabilitas Kesuburan Perairan Data Angin sumber: ifremer-cersat Data Klorofil sumber: AquaMODIS- NASA Analisis EOF (Spasial dan temporal)

Data Batimetri: Sumber: SRTM30+ Data Nutrien sumber: NOAA dan WOD-NODC Indeks Kesuburan Perairan

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Lombok

Selat Lombok merupakan perairan yang menghubungkan antara Pulau Bali dan Pulau Lombok juga merupakan perairan yang berkarakter unik dan dinamis. Panjang selat dari utara ke selatan sekitar 60 km dengan lebar 40 km di bagian utara dan menyempit menjadi sekitar 18 km di bagian selatan. Posisi geografis selat Lombok di bagian utara berhubungan dengan Laut Jawa dan di bagian selatan berhubungan dengan Samudera Hindia, dan merupakan selat yang paling dalam dibandingkan dengan selat-selat di sekitarnya. Di bagian ujung bagian selatan terdapat pulau Nusa Penida yang membagi selat lombok menjadi dua yaitu Selat Badung di bagian Barat dan Selat Lombok di bagian Timur.

Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makasar oleh alur berkedalaman 600-1000 m sepanjang sisi timur Paparan Sunda, selat ini terletak di wilayah transisi antara perairan Indonesia bagian barat dan bagian timur. Perairan Indonesia bagian barat merupakan bagian dari Paparan Sunda yang berkedalaman kurang dari 75 m dan dipengaruhi curah hujan yang tinggi sebesar 2-4 m/tahun (ASEAN Sub-Commitee on Climatology,1982). Perairan Indonesia bagian timur adalah perairan dalam dengan kedalaman air lebih dari 1000 m dan curah hujan yang relatif rendah kurang dari 1,5 m/tahun. Adapun karakteristik dasar perairan di Selat Lombok dapat dilihat pada Gambar 2.

2.2. Sirkulasi Permukaan Perairan di Selat Lombok

Selat-selat laut umumnya merupakan perairan semi tertutup yang berhubungan dengan laut terbuka menyebabkan sistem dinamika perairan menjadi kompleks. Demikian pula di Selat Lombok diketahui mempunyai sistem dinamika kompleks yang dipengaruhi oleh pengaruh lokal maupun pengaruh skala besar yang berasal dari Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Kondisi perairan Selat Lombok dan karakteristik arus selatan Jawa dipengaruhi oleh siklus tahunan

Angin Muson. Perairan Selat Lombok dipengaruhi oleh angin Musim Timur (east

monsoon), dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi tekanan udara tinggi diatas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah diatas daratan Asia, sehingga menyebabkan angin bergerak dari arah Timur ke Barat. Angin musim berpengaruh terhadap sirkulasi air laut dan klimatologi seperti angin, curah hujan dan lain sebagainya. Pada daerah khatulistiwa, saat musim timur maka curah hujan sangat rendah sehingga mempengaruhi kadar salinitas dan kelimpahan Fitoplankton (Arinardi et al., 1994).

Arief (1992) menyatakan bahwa arus di selat lombok merupakan sistem arus kuat dengan arah cenderung ke arah selatan menuju Lautan Hindia. Pada

lapisan permukaan antara 0 – 100 m dipengaruhi kuat oleh angin musim dan

secara vertikal arus paling kuat dijumpai pada lapisan dengan salinitas rendah. Di daerah ini salinitas minimum terjadi pada kedalaman diatas 300 m.

Sirkulasi air laut di sekitar Selat Lombok seperti di Flores pada lapisan kedalaman 100 m dipengaruhi oleh sistem sirkulasi skala besar dari lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Pada lautan Hindia di daerah 50 km dari pantai selatan Kepulauan Indonesia, sirkulasi arus didominasi oleh berkembangnya arus pantai

selatan Jawa yang menyebabkan upwelling/downwelling. Antara bulan Juli dan

Oktober, sirkulasi didominasi oleh aliran ke arah barat yang merupakan bagian dari sistem arus katulistiwa Selatan di lautan Hindia (Wyrtki, 1961).

2.3. Produktivitas Primer dan Faktor yang Mempengaruhi

Fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan, khususnya di laut terbuka. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik

6

dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (gr C/cm²/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (gr C/m³/hari) (Levinton, 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Valiela, 1984).

Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, nutrien, suhu permukaan laut dan laju tenggelam fitoplankton.

2.3.1. Percampuran Vertikal

Distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya berbeda menurut waktu, dimana suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di lain waktu mungkin lebih terkonsentrasi di bagian bawah kedalaman eufotik

(Steel dan Yentch, 1960 dalam Parsons et al., 1984). Khlorofil-a memiliki

hubungan yang sangat erat dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton. Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dimana dalam tropik level disebut sebagai produsen utama perairan.

Menurut Barnes dan Hughes (1988), pada fitoplankton terdapat pigmen klorofil-a yang merupakan zat hijau daun yang terdapat dalam tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi radiasi menjadi energi kimia. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi maksimum klorofil-a adalah pada bagian di atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh angin muson.

Menurut Amri (2002), dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson Tenggara (musim Timur), dimana pada saat itu terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan konsentrasi klorofil-a terendah dijumpai pada saat muson barat laut, dimana pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling, sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil.

Perairan Selat Lombok dapat dikatakan subur saat terjadi upwelling pada musim timur. Tingginya konsentrasi nutrien di perairan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah fitoplankton. Hal ini disebabkan karena nutrien yang mengandung nitrat dan fosfat sangat dibutuhkan bagi perkembangan fitoplankton. Daerah dimana terjadi upwelling umumnya memiliki zat hara yang lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya. Tingginya kandungan zat hara akan merangsang pertumbuhan fitoplankton di lapisan permukaan. Perkembangan Fitoplankton sangat erat hubungannya dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga proses naiknya air (upwelling) selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan.

2.3.2. Penetrasi Sinar Matahari

Cahaya matahari sangat penting dalam kelangsungan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Laju fotosintesis akan meningkat bila tingkat intensitas cahaya tinggi dan akan menurun jika intensitas cahaya menurun. Pada tingkat intensitas cahaya sedang, laju fotosintesis merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya. Namun di dalam kolom air di dekat permukaan air dimana intensitas cahaya tertinggi, umumnya spesies fitoplankton menunjukkan fotosintesis berlangsung pada suatu tingkat tertentu bahkan menurun.

Laju fotosintesis di permukaan adalah relatif kecil karena pengaruh cahaya matahari yang terlalu kuat. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi mengakibatkan jenuhnya proses fotosintesis sehingga lajunya tidak dapat ditingkatkan lagi.

Menurut Tomascik et al. (1997), menyatakan bahwa pada perairan tropis,

fotosintesis maksimum umumnya tidak di permukaan, tetapi ada di kedalaman yang berkisar antara 5-30 m. Semakin dalam maka laju fotosintesis semakin meningkat hingga mencapai maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter

8

di bawah permukaan. Selanjutnya, di bawah Pmax laju fotosintesis akan menurun secara proposal terhadap intensitas cahaya (Nontji, 2002).

2.3.3. Kadar Nutrien

Masuknya unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan, khususnya N (nitrogen), P (fosfat), dan Si (silikat) umum dilihat sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dalam Pomeroy (1991) mengatakan bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang berperan sebagai faktor pembatas. Unsur-unsur utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan faktor pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky dan Kilham (1988) dari ketiga unsur utama yaitu N, P, Si, pada perairan air tawar, fosfat lebih menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila dibandingkan dengan unsur yang lain, sedangkan di perairan laut, ketiga unsur tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan, terutama nitrogen.

Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan nutrien di dalam kolom perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung dari klas atau jenis fitoplankton itu sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Laju pertumbuhan fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada. Menurut Pomeroy (1991), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi pada konsentrasi nutrien.

Nitrogen sangat dibutuhkan fitoplankton untuk mensintesa protein.

Menurut Parsons et al. (1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk

molekul-molekul nitrogen dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan ammonia, dan beberapa senyawa nitrogen organik (asam amino dan urea). Fosfat di laut berada dalam bentuk fosfat anorganik terlarut, fosfat organik terlarut dan

partikulat fosfat (Levinton, 1982; Parsons et al., 1984). Fitoplankton secara

normal dapat mengasimilasi secara langsung fosfat anorganik terlarut (ion

berperan didalam mentransfer energi dalam sel fitoplankton (misalnya dalam

phosphorylation) dan energi ADP (Adenosin Diphosphate) rendah menjadi ATP (Adenosin Triphosphate) tinggi (Tomascik et al., 1997).

Dari berbagai jenis nutrien, silikat meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang cukup besar namun bukan merupakan senyawa atau unsur utama yang essensial bagi fitoplankton seperti fosfat dan nitrat. Karena silikat tidak terlalu penting dalam komposisi protoplasma tumbuhan tetapi hanya berfungsi untuk

menyusun kerangka (shell) diatom dan cyst dari yellow-brown algae serta

berperan dalam sentesa DNA pada Cylindrotheca fusiform (Reid and Wood,

1976; Kennish, 1990 dalam Tubalawony, 2007). Meskipun demikian, jika kandungan silikat terlarut dalam suatu perairan berkurang dapat menghambat laju pembelahan sel dan menekan aktivitas metabolisme sel fitoplankton. Ketersediaan silikat seringkali berdampak terhadap kelimpahan dan produktivitas fitoplankton dan menjadi faktor pembatas bagi populasi fitoplankton lainnya. Artinya bila ketersediaan silikat dalam perairan berada dalam konsentrasi yang cukup, maka pertumbuhan fitoplankton, khususnya diatom akan meningkat dan mendominasi perairan, dan sebaliknya jika konsentrasinya rendah maka kepadatan populasi diatom akan rendah bila dibandingkan dengan kelompok fitoplankton lainnya seperti dinoflagelata. Hal ini dinyatakan pula oleh Levinton (1982), bahwa berkurangnya konsentrasi silikat di dalam perairan dapat membatasi pertumbuhan populasi fitoplankton dan secara langsung akan terjadi suksesi spesies fitoplankton ke arah spesies yang kekurangan silikat. Dengan demikian silikat merupakan fakor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton diatom di dalam suatu perairan.

2.3.4. Suhu

Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang

terkandung dalam suatu benda. Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa suhu

secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di laut. Secara langsung, suhu berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax) dan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal

Dokumen terkait