• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Quality of Nata de Madoe from Kinds of Fermentation Medium Based Rejected Honey

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Quality of Nata de Madoe from Kinds of Fermentation Medium Based Rejected Honey"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

MUTU NATA DE MADOE HASIL FERMENTASI

ACETOBACTER XYLINUM PADA MEDIA

BERBAHAN DASAR MADU AFKIR

SKRIPSI

REGINA MORINA SIMANGUNSONG

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

i

RINGKASAN

Regina Morina Simangunsong D14080290. 2012. Mutu Nata de Madoe Hasil Fermentasi Acetobacter xylinum pada Media Berbahan Dasar Madu Afkir.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. B. N. Polii, S.U.

Pembimbing Aggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M. Si.

Madu adalah salah satu jenis pangan yang sangat lengkap kandungan nutrisinya dan kini telah diketahui tidak kurang dari 181 macam zat atau senyawa dalam madu. Madu memiliki sifat higroskopis yang tinggi, yaitu sangat mudah menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara sehingga memicu peningkatan kadar air madu. Semakin tinggi kadar air dapat mempercepat kerusakan madu sebab memicu pertumbuhan khamir dalam madu.

Suatu kasus menarik di penjual yaitu ditemukan sejumlah besar madu hutan afkir yang disimpan di dalam jeriken. Madu hutan afkir ini adalah madu yang tidak laku di pasaran yang ditarik kembali kemudian sebagian dikirim ke peternak untuk dijadikan pakan lebah dan sebagian disimpan di dalam gudang. Karakteristik madu hutan afkir ini adalah adanya perubahan warna yang semakin gelap, aroma yang kurang sedap, rasa yang menjadi asam dan sedikit pahit, kadar air yang sangat tinggi tetapi kadar gula dari madu hutan afkir ini cukup tinggi (72%). Oleh sebab, itu madu hutan afkir ini dapat menggantikan air kelapa dalam pembuatan nata serta tidak perlu penambahan sukrosa sebagai sumber karbohidrat.

Pembuatan nata de madoe merupakan suatu diversifikasi produk yang menunjukkan bahwa madu hutan afkir yang hendak dijadikan pakan lebah dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dengan cara fermentasi oleh bakteri nata yaitu Acetobacter xylinum. Pengolahan madu hutan afkir menjadi nata de madoe diharapkan dapat memberikan pilihan pada konsumen dalam pemenuhan kebutuhan pangan fungsional bagi tubuhnya.

Pembuatan nata de madoe tidak dapat dihasilkan dari madu saja tapi harus dibantu dengan penambahan nutrisi lain seperti air kelapa sebagai media tumbuh alami Acetobakter xylinum dan whey. Hal ini disebabkan adanya zat anti mikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk nata.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2012 di Laboratorium Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari cara pemanfaatan madu hutan afkir untuk mendapatkan produk nata dengan kualitas fisik dan kimia yang memenuhi persyaratan serta diterima oleh panelis.

(3)

ii kekenyalan dan warna nata), karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat makanan) dan tingkat kesukaan (warna, aroma, rasa, kekenyalan dan kesan secara keseluruhan). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola searah (4x1) dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah media fermentasi (madu hutan afkir, madu hutan afkir whey, madu hutan afkir air kelapa dan madu hutan afkir whey air kelapa). Pada penilaian sensori sebelum disajikan nata direndam terlebih dahulu dengan larutan madu dengan kadar gula 15% dan 20%.

Perbedaan media fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rendemen, ketebalan, kekenyalan dan warna nata. Mutu kimia nata terbaik yaitu nata de madoe pada media madu afkir air kelapa adalah sebagai berikut : kadar air 96,4%, kadar abu 0,18%, kadar serat kasar 0,4%, kadar lemak 1,56%, kadar protein 0,9% dan kadar serat makanan 0,11%. Uji hedonik menunjukkan bahwa nata de madoe direndam dengan larutan madu kadar gula 15% lebih disukai dibandingkan dengan nata de madoe direndam dengan larutan madu kadar gula 20% tetapi dari semua sampel yang disajikan panelis lebih menyukai nata de coco komersil dengan kadar gula 15%.

Madu hutan afkir dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata dengan bantuan nutrisi tambahan berupa air kelapa dan whey. Nata terbaik dihasilkan dari media fermentasi madu hutan afkir ditambah air kelapa dengan nilai serat makanan sebesar 0,11% memenuhi standar nata dalam kemasan yaitu maksimal 4,5%. Panelis menyukai produk nata de madoe yang direndam larutan madu dengan kadar gula 15%.

(4)

iii

ABSTRACT

The Quality of Nata de Madoe from Kinds of Fermentation Medium Based Rejected Honey

Simangunsong, R. M., B. N. Polii and H. C. H. Siregar

Nata is a jelly formed fermented food product from Acetobacter xylinum. Nata has properties such as low calorie, able to facilitate healthy digestion, and consisted of 98% water content. Nata generaly made from water coconut, but in this research nata made from other material that had high sugar content such as honey and so it called nata de madoe. Honey contain essential elements for the body and easily fermented so that reducing honey shelf life. Founded an interesting case in public there are a large amount of honey was returned from the market. This rejected honey content glucose 72%, that can be replaced coconut water as material for nata without the addition of sucrose, but to fulfill nitrogen needed, ammonium sulfate was added. Observing parameters are the physical characteristic and chemical characteristics and test sensory. The variance analyze showed that different fermentation medium influenced significally (P<0,01) to rendemen, thickness, hardness and colour of nata. The best appearance from different media is media rejected honey with coconut water, result analysis proksimat are 96,4 water content, 0,18 ash content, 0,4% crude fiber, 1,56 fat, 0,9% protein and 0,11% dietary fiber. Sensory test showed that nata de madoe soak in 15% honey solution was more preferred than in 20% honey solution but less than commercial nata de coco in 15% sugar solution.

(5)

iv

MUTU NATA DE MADOE HASIL FERMENTASI

ACETOBACTER XYLINUM PADA MEDIA

BERBAHAN DASAR MADU AFKIR

REGINA MORINA SIMANGUNSONG D14080290

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Peternakan Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

v

Judul : Mutu Nata de Madoe Hasil Fermentasi Acetobacter xylinum pada Media Berbahan Dasar Madu Afkir

Nama : Regina Morina Simangunsong NRP : D14080290

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

( Ir. B. N. Polii, SU) ( Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si.) NIP : 19480402 198003 2 001 NIP : 19620617 199003 2 001

Mengetahui, Ketua Departermen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

( Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP : 19591212 198603 1 004

(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1989 di Pematang Siantar.

Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Mangatur

Simangunsong dan Riama Tambunan.

Penulis menyelesaikan pendidikan kanak-kanak di TK Santa Theresia Balige

pada tahun 1994, pendidikan dasar di SD Katolik Sanfrancesco Balige lulus pada

tahun 2001, pendidikan menengah pertama di SLTP Budhi Dharma Balige lulus pada

tahun 2004, pendidikan menengah atas di SMA Santo Thomas 2 Medan lulus pada

tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi

Produksi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut

Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur SNMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan di IPB, Penulis aktif di beberapa kegiatan

kemahasiswaan yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen (2008-2012), Komisi Literatur

(2011), Persekutuan Okumene Protestan dan Katolik (POPK) pada tahun

2009-2011, Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) pada tahun

2009-2011 sebagai anggota divisi keprofesian unggas, Gerakan Mahasiswa Kristen

Indonesia (2011-2012), Ikatan Anak Siantar dan Sekitarnya (IKANMASS)

2008-2012. Penulis mengikuti program BEST (Building Entrepreneur Student Training)

Fakultas Peternakan. Penulis aktif dibidang olah raga menjadi tim basket putri

Fakutas Peternakan menjadi pemenang juara II basket putri tahun 2009, juara II

basket putri tahun 2010 dan juara I basket putri tahun 2012 tingkat Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga penerima dana penelitian untuk

progran kreatifitas mahasiswa (PKM-P) Whey Kefir. Penulis juga menjadi asisten

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala

berkat dan karunia-Nya yang tiada pernah berkesudahaan sehingga Penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Mutu Nata de Madoe Hasil Fermentasi Acetobacter xylinum pada Media Berbahan Dasar Madu Afkir”, yang merupakan

salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.

Madu hutan afkir selama ini hanya dipergunakan untuk formulasi pakan

lebah. Setelah diteliti ternyata madu hutan afkir memiliki kandungan nutrisi yang

cukup tinggi untuk dijadikan suatu produk bahan makanan seperti cuka madu dan

tidak menutup kemungkinan menjadi produk nata karena memiliki kandungan gula

cukup tinggi. Gula pada pembentukan nata diubah oleh Acetobacter xylinum

menjadi selulosa ekstraseluler. Hasil uji trial and error menunjukkan bahwa

pembuatan nata dari madu hutan afkir kurang bagus hasilnya sehingga diteliti

beberapa media fermentasi yang dapat menghasilkan nata yang mutunya lebih baik

dengan penambahan amonium sulfat sebagai nutrisi tambahan untuk pertumbuhan

Acetobacter xylinum.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2012 di Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas tentang karakteristik

fisik, kimia dan tingkat kesukaan nata de madoe yang berasal dari media fermentasi

yang berbeda yaitu madu hutan afkir, madu hutan afkir ditambah whey, madu hutan

afkir ditambah air kelapa dan madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa serta

madu segar sebagai kontrol.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan

dan masih jauh dari sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi masyarakat luas, khususnya bagi dunia peternakan serta pembaca pada

umumnya.

Bogor, September 2012

(9)

viii

Starter Nata (Acetobacter xylinum)……….. 9

Amonium Sulfat.………. 12

Sifat Kimia Madu Hutan Afkir………. 18

Kadar Gula………. 18

(10)

ix

Kadar air……… 18

Kadar abu………... 19

Kadar Hidroksimetilfurfural (HMF)……….. 19

Kemurnian dan Viabilitas Starter A.xylinum……….... 20

Pengenceran Madu Afkir………... 21

Kemurnian dan Viabilitas starter A. xylinum………... 33

(11)

x

KESIMPULAN DAN SARAN……….. 52

Kesimpulan………. 52

Saran………... 52

UCAPAN TERIMAKASIH……….. 53

DAFTAR PUSTAKA……… 54

(12)

xi

DAFTAR TABEL

1. Komposisi Kimia Madu………... 4

2. Standar Nasional Mutu Madu Indonesia……….. 5

3. Kondisi Optimum untuk Memproduksi Nata pada Media Air Kelapa…. 6 4. Standar Mutu Produk Nata Dalam Kemasan……… 7

5. Komposisi Whey dan Air Kelapa………. 9

6. Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue……….. 15

7. Sifat Kimia Madu Hutan Afkir yang Digunakan………. 32

8. Rendemen Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan……… 34

9. Nilai pH Media Fermentasi yang Digunakan………... 36

10. Karakteristik Fisik Nata de Madoe………... 36

11. Karakteristik Kimia Nata de Madoe………. 42

12. Uji Hedonik Nata de Madoe Terhadap Warna, Aroma, Rasa, Kekenyalan dan Kesan Secara Keseluruhan……… 48

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

1. Mekanisme Pembentukan Selulosa oleh Acetobacter xylinum………… 11

2. Ikatan β (1-4) antar Unit Glukosa pada Selulosa………. 14

3. Acetobacter xylinum yang Digores pada Media MRSA………... 20

4. Proses Pembuatan Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan……… 22

5. Bagan Penelitian………...……….... 23

6. Penetrometer ………..………... 25

7. Chromameter Minolta CR-310……….... 26

8. Nata yang Terkontaminasi Khamir………...……… 31

9. Morfologi Acetobacter xylinum……… 33

10. Hasil Nata yang Dihasilkan dari Penelitian Pendahuluan dengan Kadar Gula (a) 15%, (b) 20% dan (c) 25%... 34

11. Nilai Rataan Rendemen dari Kelima Media Fermentasi………….……. 37

12. Nilai Rataan Ketebalan Nata dari Kelima Media Fermentasi……….…. 38

13. Nilai Rataan Kekenyalan Nata dari Kelima Media Fermentasi………... 39

14. Warna Nata yang Dihasilkan dari Media Fermentasi (a) Madu Hutan Afkir, (b) Madu Hutan Afkir Whey, (c) Madu Hutan Afkir Air Kelapa, (d) Madu Hutan Afkir Whey Air Kelapa dan (e) Madu Segar... 41

15. Kadar Air Nata de Madoe………. 43

16. Kadar Abu Nata de Madoe………... 44

17. Kadar Serat Kasar Nata de Madoe………... 45

18. Warna Sampel (a) Nata de Madoe dan (b) Nata de Coco Komersil…… 48

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Analisis Ragam Rendemen Penelitian Pendahuluan………. 60

2. Hasil Analisis Ragam Rendemen Penelitian Lanjutan Nata de Madoe... 60

3. Hasil Analisis Ragam Ketebalan Nata de Madoe... 60

4. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Nata de Madoe………... 61

5. Hasil Analisis Nilai Lightness Nata de Madoe……… 61

6. Hasil Analisis Ragam Nilai a Nata de Madoe……….. 62

7. Hasil Analisis Ragam Nilai b Nata de Madoe………. 62

8. Hasil Analisis Ragam Nilai ºHUE Nata de Madoe……….. 62

9. Hasil Analisis Ragam Warna pada Uji Hedonik Nata………. 63

10. Hasil Analisis Ragam Aroma pada Uji Hedonik Nata………. 63

11. Hasil Analisis Ragam Rasa pada Uji Hedonik Nata………... 63

12. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan pada Uji Hedonik Nata………. 63

13. Hasil Analisis Ragam Kesan Secara Keseluruhan pada Uji Hedonik Nata……….. 64

14. Hasil Uji Analisis Proksimat Nata de Madoe Hedonik……… 64

15. Form Uji ………..……… 65

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Madu telah dikenal dan dikonsumsi manusia sejak berabad tahun yang lalu.

Manusia menyadari bahwa mengkonsumsi madu dapat menjaga kondisi tubuh agar

tetap sehat karena madu merupakan salah satu jenis pangan yang memiliki nutrisi

yang sangat lengkap dan telah diketahui 181 macam zat atau senyawa yang

terkandung di dalamnya.

Madu memiliki komponen nutrisi yang sangat lengkap, sebagian besar terdiri

atas gula dan enzim kompleks yang memungkinkan terjadi beberapa reaksi

biokimia. Reaksi ini dapat mempengaruhi kualitas madu sehingga terjadi perubahan

komposisi, rasa, aroma, viskositas dan warna.

Madu juga memiliki sifat higroskopis yang tinggi yaitu sangat mudah

menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara

sehingga memicu peningkatan kadar air madu. Kadar air yang tinggi dapat memicu

pertumbuhan khamir seperti Zygosaccharomyces dalam madu sehingga mempercepat

kerusakan madu .

Ditemukan suatu kasus menarik di tingkat penjual madu yaitu terdapat

sejumlah besar madu hutan afkir yang tidak laku lagi di jual. Madu afkir tersebut

tidak banyak dimanfaatkan. Sebagian dari madu tersebut ada yang dikembalikan ke

peternak untuk diformulasikan lagi sebagai pakan lebah dan sisanya hanya dibiarkan

tersimpan di jeriken dan di tumpuk di gudang. Karakteristik madu hutan afkir adalah

warna yang semakin gelap, aroma kurang sedap, rasanya asam, sedikit pahit, kadar

gulanya tinggi lebih dari 70% dan kadar air lebih dari 29%. Kadar gula madu hutan

afkir cukup tinggi sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai sumber

karbon bagi Acetobacter xylinum.

Madu hutan afkir banyak yang tidak dimanfaatkan, sehingga perlu dicarikan

solusi untuk meningkatkan nilai tambahnya. Salah satu upaya cara pemanfaatan

madu hutan afkir adalah pembuatan nata de madoe melalui proses fermentasi gula

menjadi selulosa dengan bantuan A. xylinum dengan penambahan amonium sulfat

sebagai sumber nitrogen.

Nata merupakan produk makanan hasil fermentasi yang kaya akan serat,

(16)

2 fermentasinya. Selulosa yang dibentuk oleh bakteri A. xylinum mengandung air

sekitar 98%, kadar serat kasar sekitar 2,5%. Kandungan seratnya yang tinggi

menyebabkan nata sangat membantu dalam proses fisiologis tubuh, yaitu untuk

memperlancar pencernaan. Nata juga tergolong makanan rendah kalori dan tidak

mengandung kolesterol sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes.

Nata pada mulanya dibuat dari air kelapa dan dikenal dengan nama nata de

coco. Perkembangan industri yang semakin pesat menghasilkan produk nata yang

bervariasi. Nata tidak lagi hanya berbahan dasar air kelapa tetapi dapat dibuat dari

bahan lain seperti sari buah yang cukup mengandung gula seperti nenas dengan nama

nata de pina, tomat dengan nata de tomato, coklat dengan nata de cacao, whey

dengan nata de whey dan madu dengan nata de madoe. Prinsip proses pengolahan

semua nata tersebut sama yaitu memanfaatkan A. xylinum dalam proses

fermentasinya hanya saja media fermentasinya yang berbeda.

Beberapa percobaan sebelumnya diketahui bahwa pertumbuhan A. xylinum

pada madu hutan afkir kurang bagus sehingga perlu dicari solusi memperbaiki

kualitas nata yang dihasilkan antara lain dengan diberikan campuran air kelapa dan

whey sebagai sumber nutrisi tambahan. Air kelapa merupakan media fermentasi

alami A. xylinum sedangkan whey merupakan produk peternakan hasil ikutan olahan

keju yang masih mempunyai kandungan nutrisi cukup banyak. Whey telah diteliti

sebelumnya dapat menghasilkan nata dengan kualitas baik sehingga hal ini dapat

membantu pertumbuhan A. xylinum dalam pembuatan nata de madoe. Pembuatan

nata de madoe diharapkan dapat menambah peluang pengembangan industri rumah

tangga.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mencari cara pemanfaatan madu hutan afkir untuk

pembentukan produk nata dengan mutu fisik dan kimia yang memenuhi persyaratan

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Madu

Madu adalah zat pemanis alami yang diproduski oleh lebah madu dari nektar

tanaman atau sekresi bagian lain dari tanaman atau ekresi dari insekta pengisap

tanaman, yang dikumpulkan, diubah dan dikombinasikan dengan zat tertentu dari

lebah kemudian ditempatkan, dikeringkan, lalu disimpan dalam sarang hingga

matang (Codex, 1989). Standar Nasional Indonesia (2004) mendefinisikan madu

adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang dihasilkan oleh

lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar) atau bagian lain dari tanaman

(ekstra floral nektar) atau eksresi serangga.

Lebah memproduksi madu dengan bahan nektar yang merupakan cairan

mengandung gula yang disekresikan oleh kelenjar nektari tanaman. Selain nektar,

lebah madu juga menggunakan nambur madu (honeydew) sebagai bahan baku madu.

Nambur madu merupakan ekskreta serangga yang mengisap cairan floem

(Sihombing, 2005).

Madu biasanya digolongkan berdasarkan sumber nektarnya. Madu

monoflora digolongkan sebagai madu yang bersumber dari nektar yang didominasi

oleh satu jenis tanaman (bunga) seperti madu randu, madu karet, madu lengkeng dan

madu kaliandra. Apabila sumber nektar dari berbagai jenis tanaman, maka madu

yang dihasilkan digolongkan sebagai madu multiflora, misalnya madu Nusantara,

madu Kalimantan dan madu Sumba. Perbedaan sumber nektar merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi karakteristik madu (Sihombing, 2005)

Madu memiliki sifat higroskopis yang tinggi, yaitu sangat mudah menyerap

air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara sehingga

memicu peningkatan kadar air madu. Kadar air yang semakin tinggi dapat

mempercepat pertumbuhan khamir dalam madu. Secara alami madu mengandung

khamir yang bersifat osmofilik yang dapat tumbuh pada medium dengan aktivitas air

rendah, yaitu 0,62-0,65 (Fardiaz, 1992). Semakin banyak madu menyerap air maka

kualitas mutunya semakin rendah sehingga dapat dikategorikan sebagai madu afkir.

Zat yang terkandung dalam madu sangat kompleks dan kini telah diketahui

tidak kurang dari 181 macam zat atau senyawa dalam madu. Komposisi madu

(18)

4 faktor-faktor eksternal seperti cuaca dan iklim (Sihombing, 2005). Komposisi kimia

madu tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Madu

No Komposisi Satuan Rataan Kisaran Nilai

1 Air % 22,9 16,6-37,0

2 Fruktosa % 29,2 12,2-60,7

3 Glukosa % 18,6 6,6-29,3

4 Sukrosa % 13,4 1,4-53,0

5 Asam bebas A 41,31 10,33-62,21

6 Lakton A 1,80 0,0-8,98

7 Total asam A 43,07 11,31-62,20

8 Abu % 1,14 0,06-14,68

9 Nitrogen % 0,113 0,0-0,668

10 pH - 3,92 3,60-5,34

11 HMF mg/kg madu 37,1 4,1-187,9

Sumber : Siregar (2002)

Jenis gula yang dominan dalam madu adalah levulosa dan dekstrosa.

Levulosa dan dekstrosa mencakup 85-90% dari karbohidrat. Sisanya adalah

komponen lain (protein, mineral, dan vitamin) dalam jumlah sedikit (5%). Protein

yang terkandung dalam madu antara lain terdiri atas albumin, globulin, dan protease.

Mineral dalam madu terdapat 18 unsur mineral esensial dan 19 unsur non-esensial.

Mineral yang terkandung dalam madu adalah fosfor, kalium, kalsiun, besi dan

natrium sebagai mineral yang dominan (Sihombing, 2005).

pH madu dipengaruhi oleh kandungan asam organik dan asam non organik.

Asam organik yang dominan dalam madu adalah asam glukonat yang merupakan

hasil perombakan glukosa oleh enzim. Asam organik lainnya adalah asam asetat,

butirat, sitrat, format, laktat, malat, oksalat, glukosa-6-fosfat, proglutamat, dan 2-

atau 3-fosfogliserat. Asam organik ini sangat menentukan citarasa, aroma dan daya

tahan madu terhadap mikroorganisme (Sihombing, 2005).

Setiap negara memiliki standar mutu madu tersendiri untuk layak dipasarkan

dan dikonsumsi masyarakat. Standar mutu madu di Indonesia dicantumkan dalam

(19)

5 Tabel 2. Standar Nasional Mutu Madu Indonesia

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Aktivitas enzim diastase Diastase Number Maksimal 3

2 Hidroksimetilfurfural (HMF) mg/kg Maksimal 50

3 Air % Maksimal 22

4 Gula Pereduksi % b/b Maksimal 65

5 Sukrosa % b/b Maksimal 5

6 Keasaman ml NaOH 1 N/kg Maksimal 50

7 Padatan yang tak larut air % b/b Maksimal 0,5

8 Abu % b/b Maksimal 0,5

Sumber : SNI 01-3545-2004

Kadar HMF di Indonesia maksimal 50% tetapi sering ditemui madu dengan

kadar HMF diatas standar. Hal ini disebabkan kadar air madu di Indonesia cukup

tinggi sehingga diperlukan perlakuan untuk mengurangi kadar air madu tersebut

dengan pemanasan. Pemanasan madu di masyarakat banyak yang tidak terkontrol

sehingga memicu peningkatan kadar HMF yang berakibat penurunan kualitas madu

dan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Nata

Istilah nata diduga berasal dari bahasa Spanyol yaitu nadir yang berarti

berenang, Nata juga berasal dari bahasa Latin yaitu nature, yang berarti

terapung-apung. Nata merupakan produk fermentasi dihasilkan oleh bakteri Acetobacter

xylinum pada substrat yang mengandung gula. Gula dimanfaatkan untuk aktivitas

metabolisme dan membentuk polisakarida yang dikenal dengan extracellular

sellulosa berbentuk gel (Setiani, 2007). Hidayat et al. (2006) menyatakan bahwa

nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada

permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah masam. Sedangkan

menurut Alaban (1961) nata adalah selulosa bakteri dengan tekstur agak kenyal padat

dan mempunyai konsistensi yang tegas dan kokoh, hasil sintesa gula oleh A. xylinum

dan berwarna putih dan transparan.

Nata dapat dibuat dari air kelapa, nenas, whey susu, whey tahu, tomat, lidah

buaya, rumput laut, ubi, dll. Nama dagang nata mengacu pada bahan baku yang

(20)

6 fermentasinya, seperti nata de coco untuk produk dari air kelapa, nata de pina dari

limbah nenas, nata de soya dari limbah tahu dan dari limbah keju dikenal dengan

nama nata de whey, nata de aloe dari lidah buaya, nata de tomato dari tomat, nata de

gracillaria dari bahan dasar rumput laut (Suryani et al., 2007).

Keberhasilan pembentukan nata dipengaruhi dari faktor intrinsik dan

ekstrinsik. Faktor intrisik berupa kemampuan hidup (viabilitas) A. xylinum dalam

mengubah glukosa menjadi selulosa, pH, sumber nitrogen dan sumber karbon

(Pambayun, 2006). Faktor ekstrinsik berupa kondisi fermentasi (suhu dan

kelembapan) suhu optimum A.xylinum 28 °C, lama fermentasi, ketinggian media

dalam wadah, luas permukaan wadah, ukuran wadah dan kebersihan lingkungan

fermentasi. Semakin tinggi media dan semakin lama waktu inkubasi akan

menghasilkan nata yang tebal (Darmajana, 2004). Kondisi optimum untuk

memproduksi nata dari air kelapa tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi Optimum untuk Memproduksi Nata pada Media Air Kelapa

Parameter Alaban (1961) Lapuz et al. (1967)

Sumber karbon Sukrosa (5-8%) Glukosa dan sukrosa (5%)

Sumber nitrogen Nitrogen organik Amonium fosfat

Keasaman (pH) 4 – 5 5,0 – 5,5

Suhu 28 – 32OC 28OC

Asam cuka glacial 2 – 4% -

Starter 10 – 20% -

Lama inkubasi 15 hari 15 hari

Menurut Moat dan Foster (1988), pembentukan selulosa oleh A. xylinum

memerlukan gula sebagai unsur utama, protein dan lemak sebagai senyawa

perantara, serta mineral sebagai penstimulasi dalam pembentukan selulosa.

Nata tergolong sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet

karena nilai gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga mengandung serat

yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis sehingga dapat

memperlancar pencernaan. Nata mengandung kalori yang rendah sehingga aman

(21)

7 Badan Standarisasi Nasional 01-4317-1996 menetapkan kriteria-kriteria mutu

yang harus dipenuhi dalam produksi nata dalam kemasan sebagaimana disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Standar Mutu Produk Nata dalam Kemasan

No Komponen Satuan Persyaratan

1 Keadaan

- Bau - Normal

- Rasa - Normal

- Warna - Normal

2 Bobot tuntas % Min.50

3 Jumlah gula (dihitung sebagai sukrosa) % Min. 15

4 Serat makanan % Maks. 4,5

5 Pewarna tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995

6 Pengawet Sesuai SNI 01-0222-1995

Sumber : SNI 01-4317-1996

Nata dipercaya dapat mencegah tubuh dari serangan kanker kolon karena erat

kaitannya dengan sifat kimianya yaitu makanan berserat tinggi dan rendah kalori

serta ampuh melangsingakan tubuh. Konsumsi serat yang teratur dan seimbang

setiap hari di kolon akan difermentasi oleh bakteri kolon yang baik menjadi asam

lemak rantai pendek yang berfungsi sebagai anti kanker, asam lemak ini akan

mengikat asam empedu yang bersifat karsiogenik dan selanjutnya asam ini akan

dibuang bersamaan dengan feses (Metcalfe, 1994).

Panen nata dilakukan setelah 14 hari fermentasi. Hasbullah (2001)

menyatakan bahwa nata akan mengalami kerusakan oleh mikroba pencemar jika

fermentasi tetap dilanjutkan setelah batas akhir waktu optimum pertumbuhan nata.

Bahan Pembuatan Nata Media

Madu afkir. Madu afkir adalah madu yang telah menurun kualitasnya baik dari segi fisik dan kimia. Penurunan kualitas madu disebabkan adanya rekasi

biokimia oleh mikroorganisme pada madu seperti Zygosaccharomyces dan

penyimpanan madu yang sangat lama dengan kondisi suhu penyimpanan yang tidak

(22)

8 meningkat (Damanhuri, 2005). Winarno (1982) menyatakan bahwa kadar HMF

dapat menjadi indikator kerusakan madu oleh pemanasan yang berlebihan atau

karena pemalsuan dengan gula invert. Semakin lama penyimpanan madu semakin

tinggi kadar HMF madu tetapi kenaikan kadar HMF tergantung pada suhu

penyimpanan.

Air Kelapa. Air kelapa adalah bagian dari buah kelapa yang dihasilkan dari endosperma cair. Air kelapa yag berupa cairan jernih mengisi kurang lebih tiga per

empat bagian rongga sebelah dalam buah kelapa (Freemond dan Ziller, 1996).

Jumlah air kelapa yang terkandung di dalam satu buah kelapa tua sekitar 300 ml

yang dipengaruhi oleh ukuran kelapa, varietas, kematangan dan kesegaran kelapa

(Tenda, 1992).

Air kelapa matang mempunyai nilai pH 4,88 ± 0,05 dengan Aw 0,995 ±

0,003 (Walter et al., 2009). Nilai pH akan menurun selama penyimpanan.

Berdasarkan penelitian Mashudi (1993), penundaan penggunaan air kelapa

berpengaruh terhadap mutu nata de coco yang dihasilkan. Penundaan pemakaian air

kelapa lebih dari sembilan hari sudah tidak dapat menghasilkan nata sedangkan bila

kurang dari sembilan hari masih memungkinkan menghasilkan nata tetapi sudah

berkurang kualitasnya dibandingkan air kelapa segar. Hal ini diduga karena air yang

telah ditunda terlalu lama komposisinya sudah banyak berkurang akibat telah

mengalami fermentasi yang mengkontaminasi air kelapa. Selain itu air kelapa yang

penggunaannya ditunda lama, pHnya akan semakin turun sehingga berada diluar

selang yang memungkinkan A. xylinum untuk dapat hidup.

Whey. Whey merupakan produk samping pembuatan keju yang masih

mengandung komponen nutrisi berupa protein, laktosa dan mineral (Scott, 1986).

Whey memiliki warna kuning kehijauan yang berasal dari riboflavin yakni pigmen

yang larut dalam air yang terdapat dalam susu. Komposisi utama whey berupa

laktosa (4-7%) dan protein (0,6-1,0%). Komposisi lainnya seperti, -laktalbumin, β

-laktoglobulin dan mineral (Marshall, 2004).

Media pembuatan nata tidak hanya dari air kelapa, whey sebagai hasil ikutan

pengolahan keju juga dapat menghasilkan nata apabila difermentasikan dengan A.

(23)

9 dengan starter A. xylinum dapat menghasilkan nata de whey. Perbandingan

komposisi antara whey dan air kelapa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Whey dan Air Kelapa

Komponen Whey Air Kelapa * Whey **

---( % )---

Air 93 91.23 94,35

Lemak 0,36 0.15 0,11

Abu/mineral 0,53 1.06 0,54

Protein 0,85 0.29 0,49

Gula pereduksi - 2,08 1,15

Laktosa 5 - -

Sumber : Pescuma et al. (2008), * Woodroof (1979), ** Walstra dan Jennes (1984)

Whey dapat digolongkan menjadi beberapa jenis asam atau enzim yang

digunakan dalam pembuatan keju. Whey manis diperoleh dari metode koagulasi

yang menggunakan enzim sedangkan whey asam diperoleh dari metode koagulasi

yang menggunakan asam

Starter Nata (Acetobacter xylinum)

Starter merupakan syarat terpenting pada proses fermentasi. Demikian pula

dengan pembuatan nata de madoe, penggunaan starter merupakan syarat mutlak.

Starter adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi

dengan kriteria sehat dan aktif, sifat yang sesuai, digunakan dalam jumlah rendah

dibandingkan jumlah medium fermentasi dan bebas kontaminasi. Pembuatan nata de

madoe menggunakan starter A. xylinum.

Bakteri A. xylinum termasuk golongan acetobacter yang mempunyai ciri-ciri

antara lain Gram negatif, berbentuk batang pada media asam, berbentuk kapsul pada

media basa, panjang 2-10µm, lebar 0,5-1,0µm, obligat aerobik, nonmotil.

Acetobacter xylinum tidak berspora, membentuk asam dari glukosa, mampu

mengoksidasi asam asetat, dapat membentuk rantai ataupun tunggal, membentuk

lendir yang menyelubungi sel dan tumbuh pada permukaan medium (Lapuz et al.,

1967). Acetobacter xylinum tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi

(24)

10 suhu kematian (thermal death point) (Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan

Industri Sumatera Barat, 2002).

Acetobacter xylinium memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan spesies

lain, seperti: A. aceti, A. orleanensis dan A. liquefaciens. Acetobacter xylinum

memiliki kelebihan dari spesies acetobacter lainnya yaitu jika ditumbuhkan pada

media yang mengandung gula maka bakteri ini akan memecah gula untuk mensintesa

suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (Brown, 1996).

Thimann (1964) menyatakan bahwa A. xylinum jika ditumbuhkan pada

media yang mengandung gula, dapat mengubah sampai 19% gula menjadi selulosa.

A. xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang tersedia dalam media dan

dapat membentuk suatu lapisan yang mengambang di permukaan substrat.

Acetobacter xylinum dapat membentuk suatu lapisan yang mencapai beberapa

sentimeter pada permukaan substrat cair tempat hidupnya, bakteri itu sendiri

terperangkap di dalam massa fibril yang dibuatnya.

Selulosa yang dihasilkan A. xylinum berbeda dengan selulosa yang dihasilkan

tumbuhan. Selulosa dari A. xylinum merupakan selulosa murni tanpa ada campuran

hemiselulosa, pektin dan lignin (Backdahl et al., 2006). Selulosa pada tumbuhan

merupakan sintesis selulosa dengan glukosa-diphospat sedangkan selulosa yang

dibentuk oleh A. xylinum merupakan sintesis selulosa dengan urasil diphospat.

Pembentukan selulosa oleh A. xylinum memerlukan gula sebagai unsur

utama, protein dan lemak sebagai senyawa perantara, serta mineral sebagai

penstimulasi dalam pembentukan selulosa (Moat dan Foster, 1988). Keshk dan

Someshima (2006) menyatakan selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum mempunyai

kapasitas penyerapan air yang tinggi.

Selulosa yang dihasilkan A. xylinum dibentuk dari glukosa menjadi glukosa

6-fosfat (Glu6P) dengan bantuan enzim glukokinase, Glu6P diubah menjadi

glukosa-1-phospat (Glu1P) dengan enzim fosfoglukomutase, selanjutnya dengan

bantuan enzim uridil transferas diubah menjadi uridin-5 diphospat glukosa

(UDP-5Glu) sehingga terbentuklah selulosa dengan bantuan enzim sintetase selulosa dalam

(25)

11 Mekanisme pembentukan selulosa yang dihasilkan A. xylinum dapat dilihat

pada Gambar 1.

Glukosa ATP

Glu-6P ADP

(fosfoglukomutase)

Glu-1P UTP

UDP-5Glu P

Senyawa perantara (rantai lipid dan rantai protein)

Selulosa

(β-1, 4-D-Glu)n

Gambar 1. Mekanisme Pembentukan Selulosa oleh Acetobacter xylinum (Moat dan Foster, 1998)

Kondisi optimum untuk memproduksi nata pada media air kelapa

membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10-20% (Alaban, 1961). Isti (2005)

menyatakan bahwa kondisi optimum untuk memproduksi nata rumput laut.

membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10%.

Nilai pH medium pertumbuhan A. xylinum merupakan salah satu faktor

penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk. Nilai pH

optimum untuk pertumbuhan A. xylinum adalah 5,4-6,3 (Pambayun, 2006). Hasil

penelitian Embuscado et al. (1994) menemukan bahwa hasil selulosa tertinggi

diperoleh pada pH 4,5 sedangkan menurut Masaoka et al. (1993) pH optimum untuk

produksi selulosa adalah 4,0-6,0.

Jumlah populasi starter A. xylinum juga menetukan kualitas nata yang

dihasilkan. Jumlah bakteri yang dibutuhkan dalam pembuatan produk fermentasi

yaitu 1,0 x 108 cfu/ml (Makinen dan Bigret, 1998). Saxenaa (2001) menyatakan

bahwa starter dengan jumlah koloni 5,5 x 105 cfu/ml telah cukup untuk

menumbuhkan nata dengan ketebalan 0,8 cm.

Pertumbuhan A. xylinum diawali dengan timbulnya kekeruhan setelah

fermentasi 24 jam pada suhu kamar. Di permukaan medium akan terbentuk suatu

(26)

12 bertahap dan lapisannya akan lebih kompak. Apabila lapisan diganggu dengan

guncangan maka lapisan akan terlepas dari dinding wadah fermentasi dan akan

tenggelam, kemudian akan terbentuk lapisan baru pada permukaan media.

Amonium Sulfat

Amonium sulfat merupakan pupuk buatan berbentuk kristal dengan rumus

kimia (NH4)2SO4 yang mengandung unsur hara nitrogen dan belerang, yang juga

disebut sebagai pupuk Zwavelzuur Ammoniak (ZA). Indrarti dan Rahmi (2008)

menyatakan bahwa amonium sulfat adalah sumber nutrisi yang diperlukan bakteri

dalam proses fermentasi untuk membentuk selulosa.

Amonium sulfat bersifat tidak higroskopis dan baru akan menyerap air bila

kelembapan nisbi mencapai 80% pada suhu 30 °C. Amonium sulfat sangat

membantu pertumbuhan A. xylinum pada proses pembuatan nata. Kandungan

nitrogen dalam SNI 02-1760.2005 minimal 20,8%. Kandungan Nitrogen yang tinggi

dapat dimanfaatkan A. xylinum untuk bertahan hidup dan mampu merombak gula

menjadi selulosa lebih banyak. Menurut Wijaningsih (1999), ammonium sulfat

sebagai sumber nitrogen akan dipecah menjadi komponen yang lebih sederhana dan

melalui transformasi aktif komponen ini akan masuk ke dalam sel untuk selanjutnya

digunakan sebagai bahan dasar untuk biosintesis protein, sehinggga pertumbuhan

dan perkembangan A. xylinum dapat dipercepat.

Penambahan amonium sulfat juga meningkatkan jumlah polisakarida yang

terbentuk, merangsang aktivitas bakteri dalam mensintesis bioselulosa (selulosa yang

dihasilkan dari bakteri), meningkatkan rendemen bioselulosa serta meningkatkan

kekuatan tarik dan modulus elastisitas bioselulosa. Semakin meningkatnya kerapatan

dari serat-serat selulosa dapat meningkatkan interaksi fibril selulosa yang terbentuk

sehingga menghasilkan ikatan hidrogen intra dan interfibrilar yang kuat dan akan

memberikan peningkatan sifat mekaniknya. Penambahan ammonium sulfat ini harus

terkontrol karena apabila penggunaan amonium sulfat yang berlebihan akan

menurunkan pH secara drastis sehingga menyebabkan kondisi fermentasi menjadi

terlalu asam dan rendemen nata yang dihasilkan juga menurun (Rosario, 1978).

Berbagai penelitian menyatakan bahwa persentase kadar penambahan

amonium sulfat sebesar 0,5%. Berdasarkan hasil penelitian Setiani (2007)

(27)

13 gracilaria sp (nata rumput laut) tertinggi, dengan rendemen 43,80% dan ketebalan

1,97cm. Indrarti dan Rahmi (2008) juga menyatakan dalam penelitiannya

menggunakan amonium sulfat 0,5% untuk pertumbuhan dan sifat mekanik

bioselulosa dengan medium kulit pisang, ketebalan bioselulosa yang diperoleh

sebesar 2,2 cm dan rendemen bioselulosa sebesar 57,15%. Ketebalan nata tertinggi

dihasilkan oleh nata dengan penambahan ammonium sulfat 0,45%-0,5% (Jaganath et

al., 2008).

Nata dengan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen sebenarnya tidak

terlalu membahayakan karena ketika sudah menjadi nata, amonium sulfat tidak lagi

berbentuk amonium sulfat. Unsur nitrogen yang terdapat pada amonium sulfat telah

difermentasi oleh A. xylinum (Kholifa, 2010).

Serat Makanan

Serat kasar berbeda dengan serat makanan. Serat kasar adalah komponen

sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat selanjutnya dihidrolisis

dengan basa kuat sehingga terjadi kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa

85%. Sementara itu serat makanan adalah bahan makanan yang meliputi semua jenis

polisakarida dan lignin serta beberapa jenis oligosakarida yang tahan terhadap yang

enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh

sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al., 1999).

Polisakarida terdiri atas polisakarida yang dapat dicerna dan tidak dapat

dicerna. Polisakarida yang dapat dicerna biasanya terdapat pada pati dan beberapa

jenis glikogen dalam daging. Polisakarida yang tidak dapat dicerna pada umumnya

berupa pembentuk tekstur dalam bahan pangan, khususnya pangan nabati (Winarno,

2008). Beberapa contoh polisakarida yang tidak dapat dicerna antara lain selulosa,

hemiselulosa dan inulin.

Selulosa merupakan polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan β (1-4) yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim amilase. Meskipun selulosa bersifat

resistan terhadap pencernaan manusi, bakteri yang terdapat pada usus besar mampu

memetabolisme serat dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (asam asetat,

(28)

14 Gambar 2. Ikatan β (1-4) antar Unit Glukosa pada Selulosa (Jalili et al., 2001)

Serat makanan tidak dapat dicerna oleh enzim manusia, tetapi sebagian

komponen serat larut air dapat difermentasi oleh bakteri usus menghasilkan produk

yang dapat diserap dan dimetabolis menjadi energi (Bender, 2003). Serat makanan

tidak tercerna dapat memperbesar volume feses dan menimbulkan efek laksatif serta

mempercepat pembuangan feses sehingga mengurangi resiko pembentukan kanker

kolon.

Sistem Notasi Warna

Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik dan objektif untuk

menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Sistem notasi warna ini

dinyatakan dalam notasi (simbol) huruf atau angka. Banyak sistem notasi warna

yang telah dikembangkan diantaranya, yaitu sistem notasi International Commision

on Illumination (I.C.I), sistem notasi Munsel dan sistem notasi Hunter (Andarwulan,

2011).

Sistem notasi I.C.I didasarkan pada prinsip bahwa semua jenis warna dapat

dibentuk dari tiga warna dasar, yaitu merah (λ = 720 nm), hijau (λ = 520 nm) dan biru (λ = 380 nm). Sistem notasi Munsel pengukuran warna didasarkan pada pengamatan warna secara subjektif, dimana notasi warna didasarkan pada tiga atribut

subjektif warna, yaitu warna kromatik (hue), kecerahan (value) dan intensitas warna

(chroma atau saturation). Warna kromatik meliputi warna monokromatik yang terdiri

dari warna pelangi dan warna campurannya, seperti warna ungu-merah, ungu-biru,

hijau mudah, biru muda dan lain-lain. Kecerahan (value) menyatakan warna

akromatik yang berkisar dari warna hitam pekat sampai putih bersih. Nilai intensitas

warna (chroma) berkisar dari nilai tidak berwarna sampai warna penuh (Andarwulan,

(29)

15 Sistem notasi Hunter dikembangkan oleh Hunter pada tahun 1952. Sistem

notasi warna Hunter dicirikan dengan tiga parameter warna, yaitu warna kromatik

(hue) yang ditulis dengan notasi a, intensitas warna dengan notasi b dan kecerahan

dengan notasi L. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (lightness) dari hitam (0)

sampai putih (100). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna

akromatik puith, abu-abu dan hitam (Andarwulan, 2011). Notasi a menyatakan warna

kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk

warna merah, nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b

menyatakan warna warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif)

dari 0 dampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk

warna biru. Berdasarkan nilai a dan b dapat dihitung derajat Hue dengan rumus

sebagai berikut :

°Hue = tan -1

Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue

Warna Kisaran nilai °Hue

Merah-ungu 342 – 18

Merah 18 – 54

Kuning – merah 54 – 90

Kuning 90 – 126

Kuning – hijau 126 – 162

Hijau 162 – 198

Hijau – biru 198 – 234

Biru 234 – 270

Biru – ungu 270 – 306

Ungu 306 – 342

Sumber : Hutching (1999)

Pengukuran warna dengan sistem notasi warna Hunter dilakukan secara

objektif menggunakan kolorimeter fotoelektrik yang disebut dengan kolorimeter

Hunter. Pengukuran warna dengan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan,

(30)

16 mudah, notasinya dapat diterjemahkan atau dikonversikan dengan sistem notasi lain,

seperti I.C.I dan alat pengukur warna relatif sederhana sehingga harganya relatif

rendah.

Penilaian Sensori

Cara penilaian suatu bahan pangan dibagi menjadi dua cara yaitu secara

objektif dan subjektif. Pengujian objektif merupakan suatu pengujian menggunakan

alat atau instrument dan faktor manusia dapat diabaikan, sehingga pengukurannya

lebih objektif. Pengujian secara subjektif (uji organoleptik) adalah pengujian dengan

bantuan panca indera manusia untuk menilai karakteristik mutu yang bertujuan

mengetahui sifat-sifat cita rasa makanan serta daya terima terhadap masyarakat.

Pengujian secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan uji hedonik

(kesukaan) dan uji mutu hedonik (Damayanthi dan Mudjajanto, 1998).

Warna. Warna faktor utama yang sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual. Penerimaan warna

suatu bahan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis dan aspek sosial

masyarakat penerima. Warna dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau

kematangan (Winarno, 2008). Warna dapat berasal dari pigmen alami bahan pangan

itu sendiri, reaksi Maillard, reaksi karamelisasi, reaksi senyawa organik dengan udara

dan penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik.

Rasa. Tekstur dan konsistensi suatu bahan pangan akan mempengaruhi cita rasa yang timbul. Perubahan tekstur dan konsistensi bahan dapat mengubah rasa dan

bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan

terhadap olfaktori dan kelenjar air liur. Gerakan lidah akan mempercepat timbulnya

respon terhadap rasa. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia,

suhu, konsentrasi dan interakasi dengan komponen rasa lain (Winarno, 2008).

Aroma. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma suatu produk atau komoditi baik berupa pangan maupun nonpangan. Kepekaan pembauan lebih tinggi

dari pencicipan. Aroma atau bau dapat dikenali apabila berbetuk uap dan

molekul-molekul baunya menyentuh silia sel olfaktori dan diteruskan ke otak dalam bentuk

impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori sehingga bau dapat dideteksi

(31)

17

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juni 2012, di

Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,

Laboratorium Research, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Analisis

proksimat dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas

Peternakan Institut Pertanian Bogor dan analisis serat makanan dilaksanakan di Balai

Besar Industri Agro.

Materi

Bahan yang digunakan untuk pembuatan nata de madoe adalah madu hutan

afkir, madu segar, whey, air kelapa, starter A. xylinum diperoleh dari pabrik nata de

coco Ciampea, amonium sulfat, akuades, H2SO4, NaOH, HCl, MRSA, NaCl

NaHSO3, Zn(CH3COO)).2H2O dan K4Fe(CN)6.3H2O

Peralatan yang digunakan dibagi atas dua bagian, yaitu: peralatan dalam

proses pengolahan (loyang plastik segi empat, kain saring, aluminium foil, plastik

wrap, gelas ukur, laminar air flow, stirrer, mikropipet, timbangan, hotplate,

pengaduk, termometer dan panci) dan peralatan untuk pengujian analisis (pH meter,

hand refractometer, gelas ukur, jangka sorong, penetrometer, chromameter, tabung

reaksi, cawan porselin, cawan aluminium, labu Kjedhal, labu Erlemeyer, vortex dan

spektrofotometer ). Peralatan untuk uji organoleptik adalah form uji hedonik, gelas

dan sendok.

Prosedur

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari madu

afkir, memeriksa kemurnian dan viabilitas starter A. xylinum dan menentukan

konsentrasi gula yang tepat dengan cara pengenceran sebagai media untuk

pembuatan nata de madoe. Hasil terbaik dari penelitian pendahuluan ini akan

digunakan dalam penelitian lanjutan. Sifat kimia madu hutan afkir yaitu kadar gula,

(32)

18

Sifat Kimia Madu Hutan Afkir

Kadar gula madu afkir (Badan standardisasi nasional, 2006). Kadar gula madu afkir diukur dengan menggunakan hand refractometer. Air diteteskan satu

tetes di atas prisma refraktometer untuk menentukan titik nol atau digunakan sebagai

koreksi. Madu hutan afkir diteteskan di permukaan prisma hand refraktrometer.

Jangan sampai terbentuk gelembung. Prisma ditutup kemudian hasilnya dilihat di

hand refractrometer.

Nilai pH (Badan standardisasi nasional, 1992). Sampel madu hutan afkir sebanyak 10 ml disiapkan dalam wadah. pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer

pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dilap dengan tisu, selanjutnya

dicelupkan ke dalam sampel madu hutan afkir. Nilai pH ditentukan setelah pH meter

menunjukkan angka yang stabil.

Kadar air (Association of official analytical chemist, 1999). Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung di dalam satu satuan nata de madoe yang

dinyatakan dalam persen. Analisis kadar air pada prinsipnya menguapkan air yang

terkandung dalam bahan dengan cara pengeringan oven pada suhu 105 °C sampai

diperoleh berat yang tetap. Prosedur kerja analisis kadar air sebagai berikut: cawan

aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C selama satu jam. Cawan

didinginkan di desikator dan ditimbang. Nata de madoe dihancurkan dan diambil

sampel lima gram dan ditempatkan pada cawan. Cawan yang berisi sampel nata

dimasukkan ke oven bersuhu 105 OC selama tiga jam. Cawan didinginkan di

desikator lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar air = x 100%

Keterangan :

a = berat sampel (g)

b = berat sampel kering + cawan (g)

(33)

19

Kadar Abu (Association of official analytical chemist, 1999). Kadar abu merupakan jumlah residu anorganik yang terkandung dalam satu satuan berat nata.

Kadar abu nata de madoe diperoleh dengan cara sebagai berikut: cawan porselen

dibakar dalam tanur kemudian didinginkan dalam deksikator dan ditimbang. Nata

dihaluskan kemudian ditimbang tiga gram dan diletakkan dalam cawan porselen

tersebut. Cawan dibakar di kasa pembakar Bunsen sampai tidak berasap lagi,

kemudian dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 550 oC. Pengabuan dilakukan

sampai berat cawan konstan selama ± 12 jam. Cawan didinginkan di desikator

selama 30 menit lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus:

Kadar abu = x 100%

Keterangan :

W = bobot contoh sebelum diabukan (g)

W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan (g)

W2 = bobot cawan (g)

Kadar Hidroksimetilfurfural (Badan standardisasi nasional, 2004). Kadar Hidroksimetil-furfural (HMF) diukur dengan alat spektrofotometer dengan panjang

gelombang 284 nm dan 336 nm. Tahap pertama, larutan Carez I (15 g ferosianida

K4Fe(CN)6.3H2O dilarutkan dengan akuades dan diencerkan sampai 100 ml) dan

laruran Carez II (30g seng asetat Zn(CH3COO)).2H2O dilarutkan dengan akuades

dan diencerkan sampai 100 ml) dipersiapkan.

Sebanyak lima gram sampel madu ditimbang dalam labu ukur 50 ml,

kemudian ditambahkan akuades sampai larutan dalam labu ukur mencapai kurang

lebih 25 ml. Sebanyak 0,5 ml Larutan Carez I ditambahkan ke dalam labu ukur

kemudian diaduk. Tahap selanjutnya larutan Carez II ditambahkan ke dalam labu

ukur kemudian diaduk kembali. Volume campuran ditepatkan hingga tanda tera

dengan akuades, kemudian disaring dengan kertas saring abu.

Filtrat hasil penyaringan dipipet lima ml ke dalam dua tabung reaksi

berukuran 18 x 150 ml. Tabung pertama ditambahkan lima ml akuades, sedangkan

tabung kedua (pembanding) ditambahkan lima ml NaHSO3 0,2%. Campuran diaduk

rata dengan menggunakan vortex. Tahap berikutnya sampel diukur absorbannya

dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 284 nm dan 336

(34)

20 diencerkan dengan akuades dan larutan standar NaHSO3 0,1%. Perhitungan kadar

HMF dirumuskan sebagai berikut :

Kadar HMF = (A284 –A336) x 14,97 x 5 / berat sampel

Keterangan :

A284 = absorbansi pada 284 nm

A336 = absorbansi pada 336 nm

14,97 = faktor koreksi

Kemurnian dan Viabilitas Starter Acetobacter xylinum (modifikasi Agustrianingsih, 2007)

Pemeriksaan kemurnian dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopis dengan

bantuan pewarnaan Gram untuk pengamatan morfologi starter yang digunakan.

Pemeriksaan kemurnian starter bertujuan untuk menghindari kontaminasi yang

berasal dari lingkungan. Pemeriksaan kemurnian starter A. xylinum, terlebih dahulu

ditumbuhkan pada media de-Man Rogosa Sharp Agar (MRSA) kemudian diinkubasi

pada suhu 37 °C selama 24-48 jam (Gambar 3). Object glass terlebih dahulu

difiksasi di atas Bunsen, kemudian isolat A. xylinum diambil dari media MRSA

dengan menggunakan ose steril diletakkan pada Object glass lalu dihomogenkan

dengan akuades satu tetes, selanjutnya difiksasi di atas api atau di udara sampai

kering. Zat warna pertama yang diberikan adalalah Gentiant violet yang ditambah

dengan zat warna Lugol masing-masing selama satu menit lalu dicuci dengan air

mengalir. Setelah itu diberikan Aseton alkohol selama 20 detik dan segera dicuci

dengan air mengalir. Zat warna terakhir yakni Safranin yang diberikan selama satu

menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di udara. Selanjutnya di

amati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali dan menggunakan minyak

emersi.

(35)

21 Pemeriksaan viabilitas starter dilakukan dengan cara menghitung jumlah

populasi starter kerja yang akan digunakan dalam penelitian dengan metode spread

plate. Pengenceran tujuh kali dilakukan untuk setiap satu ml sampel starter A.

xylinum. Perhitungan cawan dimulai dari pengenceran ke tiga sampai pengenceran

ke tujuh. Satu ml dari setiap pengenceran dipipet dan dituangkan ke cawan petri yang

telah disterilkan secara duplo. Lima belas ml MRSA dituangkan ke cawan petri,

dihomogenkan dengan gerakan angka delapan dan dibiarkan selama 15 menit sampai

media mengeras. Cawan petri kemudian dibalikkan dan diinkubasi pada suhu 37 °C

selama 24-48 jam. Populasi starter harus memenuhi syarat minimal jumlah bakteri

dalam pembuatan produk fermentasi, yaitu 1,0 x 108 cfu/ml (Makinen dan Bigret,

1998).

Pengenceran Madu Afkir (Chemistry, 2011)

Pengenceran dilakukan untuk memperoleh kadar gula terbaik yang mendukung

pertumbuhan Acetobacter xylinum. Perhitungan pengenceran kadar gula total 15%,

20% dan 25% diperoleh dengan rumus:

V1 x M1 = V2 x M2

Keterangan :

V1 = volume madu afkir (ml)

M1 = kadar gula yang diketahui (72%)

V2 = volume pengencer (100ml)

M2 = kadar gula (15%, 20%, 25%)

Pembuatan nata de madoe dilakukan sesuai Gambar 4. Proses pembuatan nata

de madoe pada penelitian pendahuluan ini diawali dengan penyaringan madu hutan

afkir. Madu diencerkan dengan akuades hingga kadar gula sebesar 15%, 20% dan

25% kemudian diautoclave pada suhu 115 °C selama tiga menit. Madu yang telah

disterilkan dituang ke wadah fermentasi yang juga telah disterilkan dan didinginkan

pada suhu berkisar 28-32 °C. Starter A. xylinum diinokulasi sebanyak 10% dan

ditambahkan amonium sulfat 0,5%. Larutan madu hutan afkir difermentasi selama

14 hari kemudian nata de madoe dipanen dan dihitung persentase rendemennya

dengan cara berikut:

Rendemen =

(36)

22 Gambar 4. Proses Pembuatan Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan

Hasil nata terbaik diperoleh dari nilai rendemen tertingi. Hasil rendemen nata

yang terbaik dari ketiga pengenceran digunakan sebagai bahan untuk penelitian

lanjutan.

Penelitian Utama

Pembuatan nata de madoe menggunakan pengenceran yang terbaik dari

penelitian pendahuluan. Proses pembuatan nata de madoe pada penelitian utama

hampir sama dengan penelitian pendahuluan. Namun media fermentasi yang

digunakan berbeda, yaitu: madu hutan afkir, madu hutan afkir ditambah whey, madu

hutan afkir ditambah air kelapa, madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa dan

madu segar sebagai kontrol.

Ratio perbandingan media fermentasi diperoleh dari hasil try and error

sebelum penelitian lanjutan ini, yakni: madu hutan afkir ditambah whey (2:1) v/v ,

madu afkir ditambah air kelapa (2:1) v/v dan madu hutan afkir ditambah whey dan

(37)

23 Gambar 5. Bagan Penelitian

Nata yang dipanen kemudian dicuci dengan air tiga kali kemudian di rebus

selama 30 menit dan didiamkan satu malam kemudian dicuci kembali dan direbus

selama 15 menit tanpa menggunakan penutup agar aroma asam dari nata terlepas ke

udara bebas. Nata de madoe yang dihasilkan diuji sifat fisik, sifat kimia dan tingkat

kesukaannya. Nata de madoe yang diuji tingkat kesukaanya terlebih dahulu

direndam pada larutan madu berkadar gula 15% dan 20% sehingga nata yang diuji

tidak terasa hambar.

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

(RAL) dengan tiga kali pengulangan. Perlakuan yang diberikan adalah media

fermentasi yang berbeda yaitu madu hutan afkir, madu hutan afkir ditambah whey,

madu hutan afkir ditambah air kelapa dan madu hutan afkir ditambah whey dan air

kelapa terhadap rendemen nata de madoe. Media fermentasi madu segar dijadikan

(38)

24 Model matematikanya menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai

berikut:

Yij= µ + αi+ εij

Keterangan :

Yij = Nilai Pengamatan rendemen nata de madoe dengan media fermentasi ke-i pada ulangan ke-j

µ = Nilai rataan dari rendemen nata de madoe

αi = Pengaruh media fermentasi pada taraf ke-i

εij = Pengaruh galat percobaan dengan media fermentasi pada taraf ke-i dan

ulangan ke-j. i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3

Data sifat fisik dianalisis dengan analisis keragaman dan perlakuan yang

berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Tukey untuk melihat perbedaan di antara

perlakuan.

Analisis nonparametrik dilakukan terhadap hasil uji sensori dengan

menggunakan adalah Kruskal Wallis (Steel dan Torrie, 1995).

H =

Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i T = jumlah pengamatan seri dalam ulangan H = statistik Kruskal-Wallis

H’ = H terkoreksi

Apabila hasil analisis Kruskal Wallis berpengaruh nyata dilakukan uji

perbandingan (Multiple Comparison) untuk melihat perbedaan di antara perlakuan,

yaitu dengan rumus (Steel dan Torrie, 1995) :

Ri – Rj > < Z /2p

Keterangan :

Ri = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j k = jumlah perlakuan

(39)

25

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati meliputi : (a) karakteristik fisik yaitu rendemen,

ketebalan, kekenyalan dan warna, (b) karakteristik kimia meliputi kadar air, kadar

abu, serat kasar, protein kasar, lemak kasar, dan serat pangan, (c) tingkat kesukaan.

Karakteristik Fisik

Rendemen (Association of official analytical chemist, 1999). Rendemen nata adalah berat nata yang dihasilkan dari tiap satuan volume media fermentasi yang

digunakan, dinyatakan dalam persen. Rendemen nata ditentukan dengan metode

gravimetri dan dinyatakan dalam berat per volume (w/v). Rendemen nata dihitung

dengan rumus:

Rendemen =

x 100%

Ketebalan ( Modifikasi dari Yoneda, 2003). Ketebalan adalah rataan tebal nata yang diperoleh dari hasil perubahan glukosa menjadi selulosa oleh A. xylinum.

Ketebalan nata diukur pada lima tempat yang berbeda yaitu pada masing-masing

ujung segiempat dan bagian tengahnya.dengan menggunakan jangka sorong digital

ditusukkan pada permukaan hingga mencapai dasar nata. Angka yang ditunjukkan

oleh jangka sorong menunjukkan tebal nata. Ketebalan dihitung dengan rumus

sebagai beikut :

Ketebalan =

Keterangan : t (1-5) = tebal

Kekenyalan ( Modifikasi dari Yoneda, 2003). Kekenyalan adalah daya tahan nata untuk pecah akibat gaya tekan. Kekenyalan nata diukur dengan menggunakan

Penetrometer (Gambar 6). Sampel dipotong kotak dengan ukuran 8x8 cm.

Pengukuran kekenyalan dilakukan dengan menusukkan jarum penetrometer ke nata.

(40)

26 Kekenyalan nata diperoleh dari rata-rata penusukan pada lima tempat yang

berbeda. Angka yang ditunjukkan oleh jarum Penetrometer menunjukkan

kekenyalan nata. Satuan pengukuran dinyatakan dalam mm/detik dari berat yang

diberikan. Kekenyalan dihitung dengan rumus sebagai beikut :

Kekenyalan =

Keterangan :

k (1-5) = kekenyalan nata

Warna (Hutching, 1999). Warna adalah kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh nata. Analisis warna dilakukan dengan menggunakan

sistem notasi warna Hunter dengan alat Chromameter Minolta CR-310 (Gambar 7).

Chromameter dikalibrasi terlebih dahulu mengunakan pelat standar warna

putih (L=97,15; a=5,35; b=3,37) kemudian dilanjutkan dengan pengukuran warna

sampel. Sistem warna yang digunakan adalah sistem L, a, b.

Gambar 7. Chromameter Minolta CR-310

Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, kemudian ditekan tombol start

maka akan diperoleh nilai L, a dan b dari sampel. Hasil pengukuran dikonversi ke

dalam sistem Hunter dengan notasi L menyatakan parameter kecerahan dari hitam

(0) sampai putih (100). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau

dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah, nilai –a (negatif)

dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik

campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 dampai +70 untuk warna

kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Berdasarkan nilai a

dan b dapat dihitung derajat Hue dengan rumus sebagai berikut :

°Hue = tan -1

Selanjutnya warna produk ditetapkan berdasarkan °Hue yang diperoleh,

(41)

27

Karakteristik Kimia

Karakteristik kimia meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar

protein, kadar lemak dan kadar serat pangan. Karakteristik kimia dilakukan secara

komposit di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan serta Balai Besar Industri

Agro dan dianalisis secara deskriptif. Prinsip kerja kadar air dan kadar abu sama

halnya dengan metode kadar air dan kadar abu pada penelitian pendahuluan.

Kadar Serat Kasar (Association of official analytical chemist, 1999). Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan

dengan asam dan alkali mendidih, dan terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan

pentosan (Apriyantono et al., 1989). Kadar serat kasar diperoleh dengan cara sebagai

berikut : sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram dimasukkan ke labu Erlenmyer 500

ml kemudian ditambahkan H2SO4 25 % sebanyak 50 ml dan didihkan selama 30

menit. Campuran tersebut ditambahkan 50 ml larutan NaOH 3,25% kemudian

didihkan 30 menit. Campuran disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas

saring yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Endapan pada kertas

saring dicuci dengan H2SO4 1,25%, air panas dan etanol 96%, selanjutnya ditimbang

dan dikeringkan pada suhu 105 oC. Endapan dan kertas saring yang telah kering

didinginkan dalam desikator selama 30 menit, selanjutnya ditimbang. Kadar serat

kasar dapat dihitung dengan rumus :

Kadar serat kasar =

x 100% Keterangan :

W = Bobot sampel (g)

W1 = Bobot endapan pada kertas saring (g)

W2 = Bobot abu (g)

Kadar Protein (Association of official analytical chemist, 1999). Protein merupakan molekul polipeptida berukuran besar yang disusun oleh lebih dari 100

buah asam amino yang berikatan satu sama lain secara kovalen dan dalam urutan

yang khas yang disebut ikatan peptida. Penetapan protein pada prinsipnya didasarkan

oksidasi bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia. Kadar protein

diperoleh dengan cara sebagai berikut : Sampel nata de madoe dihaluskan dan

diambil sampel lima gram. Sampel dimasukkan ke labu Kjehdal dan ditambahkan

Gambar

Tabel 1.  Komposisi Kimia Madu
Tabel 2.  Standar Nasional Mutu Madu Indonesia
Tabel 3.  Kondisi Optimum untuk Memproduksi Nata pada Media Air Kelapa
Tabel 4.  Standar Mutu Produk Nata dalam Kemasan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan Karya Inovasi Pembelajaran Proses suatu pembelajaran dibutuhkan media untuk lebih mudah diterima oleh peserta didik dalam memahami materi pembelajaran. Dalam

Topik penelitian dalam makalah ini adalah otomatisasi sistem rekomendasi anotasi yang akan menghasilkan daftar subyek-subyek dari taksonomi sebagai kandidat anotasi

Penulisan tugas akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi strata satu (S1) pada jurusan Tehnik Informatika Universitas

Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan

Positioning yang ingin dicapai dari usaha VeeOwnism Arte ini adalah sebagai penyedia barang yang unik untuk dapat diberikan sebagai hadiah dan tidak dimiliki oleh

ini adalah jumlah rata-rata selama satu bulan seluruh kapal barang dan kapal penumpang berbendera Indonesia yang membawa air balas serta memiliki berat lebih dari 400GT

Self-disclosure secara umum merupakan suatu proses pembukaan informasi mengenai diri sendiri kepada pasangan atau orang lain yang memiliki tujuan dalam arti

H5 : Kesadaran merek, persepsi kualitas, harga, dan citra merek berpengaruh signifikan positif terhadap kepuasan konsumen pada produk sepatu Buccheri