Penelitian Pendahuluan
Madu afkir sebagai bahan baku yang digunakan adalah madu hutan yang telah ditarik kembali dari pasaran karena telah mengalami perubahan fisik seperti kadar air tinggi, warna berubah menjadi cokelat pekat, viskosistas semakin encer, aroma semakin asam dan rasanya semakin pahit. Madu hutan afkir tersebut tidak banyak dimanfaatkan. Sebagian dari madu tersebut ada yang dikembalikan ke peternak untuk dijadikan lagi sebagai pakan lebah dan sisanya hanya dibiarkan tersimpan di jeriken dan di tumpuk di gudang.
Pengujian trial and error dilakuan sebelum penelitian pendahuluan. uji trial and error tersebut menunjukkan bahwa madu dapat dijadikan nata hanya saja perlu ditambahkan nutrisi lain serta keadaan lingkungan harus diperhatikan. Beberapa hasil uji trial and error menghasilkan nata yang terkontaminasi oleh bakteri selain A. xylinum. Hal ini disebabkan lingkungan fermentasi tidak steril, seperti kertas penutup wadah fermentasi tidak disterilkan terlebih dahulu sehingga mikroba dari kertas tersebut mengkontaminasi nata yang dihasilkan, wadah fermentasi hanya disterilkan dengan air panas dalam satu menit. Hal tersebut ternyata tidak maksimal dalam membunuh mikroba patogen. Contoh nata yang terkontaminasi oleh khamir dapat dilihat pada Gambar 8 .
Gambar 8. Nata yang Terkontaminasi Khamir
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari madu afkir, memeriksa kemurnian dan viabilitas starter A. xylinum dan menentukan konsentrasi gula yang tepat. Konsentrasi gula yang tepat dilakukan dengan cara pengenceran sebagai media untuk pembuatan nata de madoe.
32
Sifat Kimia Madu Hutan Afkir
Madu hutan afkir yang diperoleh untuk bahan baku pembuatan nata de madoe memiliki kadar gula yang cukup tinggi. Kadar gula pada media nata berpotensi sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri A. xylinum. Pembuatan nata pada umumnya menambahkan sukrosa atau glukosa sebagai sumber karbon sedangkan pada nata de madoe tidak diperlukan lagi karena bakteri pembentuk nata dapat memanfaatkan glukosa yang masih banyak terdapat pada madu hutan afkir. Sifat kimia madu hutan afkir yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Sifat Kimia Madu Hutan Afkir yang Digunakan
Komponen Satuan Nilai
Kadar gula % 72
pH - 3,986
Kadar air % 29,48
Kadar abu % 0,32
HMF mg/kg 400
Madu hutan afkir yang digunakan memiliki nilai pH sebesar 3,986. Berdasarkan nilai pH tersebut maka pembuatan nata tidak menambahkan cuka glasial yang pada umumnya sebagai bahan tambahan dalam pembuatan nata untuk menurunkan pH media fermentasi serta pH tersebut telah memenuhi standar optimum pertumbuhan A. xylinum. pH media fermentasi A. xylinum optimum pada pH sekitar 4- 5 (Alaban, 1961).
Kadar air dari madu hutan afkir ini 29,48 %. Kadar air madu dipengaruhi oleh sifat higroskopis madu yang tinggi, yaitu sangat mudah menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara. Kadar air yang semakin tinggi dapat mempercepat pertumbuhan khamir seperti Zygosacharmoycess dalam madu sehingga menyebabkan terjadinya fermentasi. Kadar abu total madu hutan afkir adalah 0,32%. Kadar abu yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam madu hutan afkir masih terdapat mineral yang dapat mesntimulasi pertumbuhan A. xylinum. Mineral yang terkandung dalam madu adalah fosfor, kalium, kalsiun, besi dan natrium sebagai mineral yang dominan (Sihombing, 2005).
33 Kadar HMF madu hutan afkir yang digunakan sebagai bahan baku nata de madoe 400 mg/kg. Kadar ini diluar standar batas kadar HMF madu Indonesia. Berdasarkan SNI 01-3545-2004, standar kadar HMF maksimal adalah 50 mg/kg. kadar HMF madu hutan afkir yang tinggi dikarenakan madu tersebut telah mengalami penyimpanan yang lama pada suhu ruang. Penyimpanan yang lama pada suhu ruang meningkatkan kadar HMF yang mengakibatkan perubahan warna menjadi lebih coklat sehingga kurang disukai serta dapat bersifat karsiogenik. HMF madu hutan afkir di luar batas standar kemungkinan juga dikarenakan madu telah mengalami pemanasan ketika dilakukan pengurangan kadar air.
Kemurnian dan Viabilitas Starter Acetobacter xylinum
Hasil pengamatan terhadap isolat A. xylinum menunjukkan bahwa bakteri ini berbentuk batang dan termasuk golongan Gram negatif. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Lapuz et al. (1967), bahwa A. xylinum termasuk golongan bakteri Gram negatif dan berbentuk batang. Morfologi A. xylinum dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Morfologi Acetobacter xylinum
Hasil hitungan cawan menggunakan metode spread plate menunjukkan total populasi awal A. xylinum sebesar 7,48 x 108 cfu/ml. Jumlah tersebut telah memenuhi syarat minimal jumlah bakteri yang dibutuhkan dalam pembuatan produk fermentasi yaitu 1,0 x 108 cfu/ml (Makinen dan Bigret, 1998). Saxenaa (2001) menyatakan bahwa starter dengan jumlah koloni 5,5 x 105 cfu/ml telah cukup untuk menumbuhkan nata dengan ketebalan 0,8 cm.
Pengenceran Madu Hutan Afkir
Pengenceran madu hutan afkir bertujuan untuk mengatur kadar gula yang akan digunakan sebagai media pembuatan nata de madoe. Pengenceran yang dilakukan sebanyak tiga macam yaitu madu hutan afkir dengan kadar gula 15%, 20%
34 dan 25%. Parameter yang diamati pada penelitian pendahuluan yaitu rendemen dari nata de madoe. Hasil rendemen nata de madoe pada penelitian pendahuluan ini dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rendemen Nata de Madoe pada Penelitian Pendahuluan Peubah yang
diamati
Kadar Gula
15 % 20% 25%
Rendemen (%) 22,905±0,078a 18,450±0,85b 17,25±1,46b
Keterangan : Superskrip a, b menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Analisis ragam menunjukkan bahwa pengenceran madu hutan afkir dengan kadar gula 15%, 20% dan 25% berpengaruh nyata pada rendemen nata de madoe (p<0,05). Nata de madoe dengan pengenceran kadar gula 20% dan 25% memiliki rendemen (w/v) yang nyata lebih rendah daripada pengenceran madu hutan afkir 15%. Rendemen yang tinggi pada kadar gula 15% disebabkan pada kadar gula ini bakteri A. xylinum masih mampu mengubah gula menjadi selulosa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Thimann (1964) bahwa Acetobacter xylinum maksimal 19% dapat mengubah gula menjadi selulosa. Hasil nata yang diperoleh dari penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil Nata yang Dihasilkan dari Penelitian Pendahuluan dengan Kadar Gula (a) 15%, (b) 20% dan (c) 25%
Rendemen hasil pengenceran madu dengan kadar gula 20% dan 25% lebih rendah karena kadar gula terlalu tinggi. Sesuai dengan konsep osmosis, penam-bahan konsentrasi gula yang tinggi dapat meningkatkan tekanan osmosis media,
35 sehingga terjadi plasmolisis pada sel-sel bakteri (Indrarti dan Rahmi, 2008). Atih (1979) menyatakan bahwa penambahan gula terlalu banyak kurang menguntungkan, karena selain mengganggu aktivitas bakteri, juga terlalu banyak gula yang diubah menjadi asam dan menurunkan pH secara drastis serta gula terbuang. Pengenceran madu hutan afkir dengan kadar gula 15% dipilih sebagai pengenceran yang terbaik karena menghasilkan rendemen yang tertinggi serta mampu menekan penggunaan madu hutan afkir sebagai bahan baku.
Pembuatan nata de madoe pada penelitian pendahuluan menggunakan A. xylinum sebanyak 10%. Berdasarkan hasil penelitiannya Alaban (1961) menyatakan bahwa jumlah inokulasi starter A. xylinum sesuai dengan kondisi optimum untuk memproduksi nata yaitu sebanyak 10-20%. Hal ini juga diperjelas kembali melalui penelitian Isti (2005) yang menyatakan bahwa kondisi optimum untuk memproduksi nata de Eucheuma sp. (nata dari rumput laut) membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10%.
Penambahan amonium sulfat harus terukur karena tidak selamanya dapat meningkatkan selulosa dan ketebalan nata. Penggunaan amonium sulfat yang berlebihan akan menurunkan pH secara drastis sehingga menyebabkan kondisi fermentasi menjadi terlalu asam dan rendemen nata yang dihasilkan juga menurun (Rosario, 1978). Amonium sulfat yang digunakan sebanyak 0,5% (w/v). Hasil penelitian Setiani (2007) menunjukkan bahwa penambahan amonium sulfat 0,5% (w/v) menghasilkan rendemen dan ketebalan nata gracilaria sp (nata dari rumput laut) tertinggi, dengan rendemen 43,80 % dan ketebalan 19,7mm. Indrarti dan Rahmi (2008) dalam hasil penelitiannya menggunakan amonium sulfat 0,5% untuk pertumbuhan dan daya tarik selulosa pada medium kulit pisang. Ketebalan selulosa yang diperoleh sebesar 22 mm dan rendemen selulosa sebesar 57,15%. Jaganath et al. (2008) menyatakan bahwa ketebalan nata tertinggi dihasilkan oleh nata dengan penambahan ammonium sulfat 0,45-0,5%
Penelitian Utama
Penelitian utama ini didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan. Jumlah starter A. xylinum yang ditambahkan sebanyak 10% dan penambahan amonium sulfat 0,5%. Sama seperti penelitian pendahuluan, tidak ada penambahan asam asetat glasial karena media fermentasi berada pada pH optimum untuk pertumbuhan A.
36 xylinum adalah 4,0-6,0 (Masaoka et al., 1993). pH media tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai pH Media Fermentasi yang Digunakan
Media Fermentasi Nilai pH
Madu hutan afkir 3,986
Madu hutan afkir + whey 4,59
Madu hutan afkir + air kelapa 4,052
Madu hutan afkir + whey + air kelapa 4,340
Madu segar * 4,014
Keterangan : * madu segar sebagai kontrol
pH media fermentasi madu afkir tidak dinaikkan pH nya karena mendekati nilai pH optimum A. xylinum. Penilaian yang diamati meliputi karakteristik fisik, karakteristik kimia dan penilaian sensori.
Karakteristik Fisik
Pengamatan terhadap karakteristik fisik nata de madoe meliputi rendemen, ketebalan, kekerasan dan warna nata. Karakteristik fisik nata de madoe dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Fisik Nata de Madoe Peubah
yang diamati
Madu Afkir Madu Afkir +Whey Madu Afkir+Air Kelapa Madu Afkir +Whey+Air Kelapa Madu Segar (Kontrol) Rendemen (%) 26,22±0,91b 32,48±2,61a 38.028±1,72a 37,30±2,81a 16,35±0,78 Ketebalan (mm) 5,356±0,31c 7,992±0,803b 11,075±0,21a 9,881±1,197a 2,42±0,27 Kekenyal-an(mm/s) 6,533±0,32b 7,567±0,21a 5,033±0,153c 6,567±0,31b 2±0,17 Warna L 43,92±0,70a 42,21±0,18ab 37,19±1,33c 41,00±0,73b 60,92±0,05 a 7,35±0,13 6,66±0,06 7,38±0,62 6,78±0,09 0,63±0,01 b 16,78±0,32a 14,38±0,07b 13,05±1,51b 12,90±0,34b 8,40±0,01 O H 66,43±0,06a 65,20±0,10a 60,50±0,87c 62,33±0,40b 85,77±0,06 Keterangan : superskrip a,b,c yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nilai
37
Rendemen
Rendemen nata diukur setelah fermentasi selama 14 hari. Hal ini dilakukan karena jika fermentasi tetap diteruskan, nata mengalami kerusakan seperti lubang kecil dan terdapat jamur yang dicirikan dengan adanya miselium di permukaan nata. Hal ini menandakan adanya mikroorganisme pencemar. Nilai rataan rendemen dari perlakuan media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Nilai Rataan Rendemen dari Kelima Media Fermentasi. Superskrip a dan b yang berbeda menunjukkan perbedaan nilai peubah sangat nyata (P<0,01).
Hasil analis sidik ragam menunjukkan bahwa media fermentasi yang dapat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rendemen nata de madoe. Media fermentasi madu hutan afkir air kelapa menghasilkan rendemen tertinggi yaitu 38,03% (w/v) sedangkan rendemen terendah dihasilkan oleh media fermentasi madu hutan afkir sebesar 26,22 (w/v).
Rendemen nata pada media fermentasi madu hutan afkir ditambahan air kelapa tertinggi dikarenakan air kelapa merupakan bahan utama dan medium asal dari A. xylinum yang digunakan dalam penelitian ini. Penggunan bahan baku media fermentasi yang sama dengan media asalnya mempersingkat waktu adaptasi, sehingga A. xylinum pada media ini lebih cepat tumbuh dibandingkan pada keempat media fermentasinya.
Rendemen nata pada media fermentasi madu hutan afkir terndah dikarenakan madu hutan afkir tidak diberikan nutrisi tambahan sehingga pertumbuhan A. xylinum dalam media ini lebih lambat. Berbeda halnya dengan rendemen nata dari media fermentasi madu segar. Rendemen nata pada media fermentasi madu segar paling
26.22b 32.48a 38.03a 37.30a 7,93 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Madu afkir Madu afkir
Whey
Madu afkir air kelapa
Madu afkir whey air kelapa Madu segar (kontrol) Rende men (% )s
38 rendah dari keempat media fermentasi. Hal ini diduga oleh adanya zat anti mikroba yang terkandung dalam madu segar sehingga menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk nata yaitu A. xylinum. Sesuai dengan pernyataan Truchado et al. (2009), menyatakan bahwa madu segar memiliki aktivitas air yang rendah (serta terdapat zat antimikroba seperti ekstrak methanol, penolik (methyl syringate) dan asam syringic yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba.
Madu dapat menjadi agen anti mikroba karena nilai awnya rendah sekitar 0,5-0,6 (Graham, 2000). Aw madu yang sangat rendah mengakibatkan madu sangat jenuh (supersaturated) sehingga disebut medium hiperosmotik. Jika organisme bersel satu masuk ke dalam medium ini perbedaan tekanan osmosis yang sangat besar mengakibatkan mikroorganisme kehilangan cairan, serta didukung oleh dehidrasi yang akan membunuh mikroorganisme tersebut. Banyak spesies mikroorganisme yang dihambat oleh madu, seperti khamir yang mampu hidup pada aw berkisar 0,8-0,9, bakteri hidup pada aw 0,9 dan kapang mampu hidup pada aw 0,6-0,7 (Winarno, 2008).
Ketebalan
Ketebalan nata yang diperoleh berkorelasi positif dengan rendemen yang dihasilkan, semakin besar rendemen nata yang dihasilkan semakin tebal nata yang diperoleh. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media fermentasi yang berbeda sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap ketebalan nata yang dihasilkan. Nilai rataan ketebalan nata dari kelima media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Nilai Rataan Ketebalan Nata dari Kelima Media Fermentasi. Superskrip a, b dan c yang berbeda menunjukkan perbedaan nilai peubah sangat nyata (P<0,01). 5.36c 7.99b 11.08a 9.88ab 2,42 0 2 4 6 8 10 12
Madu afkir Madu afkir
Whey
Madu afkir air kelapa Madu afkir whey airkelapa Madu segar (kontrol) K et ebal an nat a (m m )
39 Ketebalan nata de madoe yang dihasilkan cenderung meningkat seiring dengan adanya nutrisi tambahan seperti protein, lemak, mineral dan vitamin dari air kelapa maupun whey yang mampu menstimulasi perubahan gula menjadi selulosa oleh A. xylinum. Pembentukan selulosa oleh A. xylinum memerlukan gula sebagai unsur utama, protein dan lemak sebagai senyawa perantara, serta mineral sebagai penstimulasi dalam pembentukan selulosa (Moat dan Foster, 1988).
Ketebalan nata pada media kontrol paling rendah dari keseluruhan media fermentasi. Hal ini disebabkan tidak adanya penambahan nutrisi yang memicu pertumbuhan A. xylinum, selain itu madu segar masih mengandung zat anti mikroba yang dapat menghambat pertumbuhan A. xylinum.
Kekenyalan
Kekenyalan nata disebabkan oleh serat yang dibentuk A. xylinum yang berasal dari bahan baku maupun bahan tambahan media fermentasi yang digunakan. Struktur fibril dari serat yang membentuk jaringan akan menangkap air dan menyebabkan struktur nata menjadi seperti agar (Rosario, 1978). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kekenyalan nata sangat nyata dipengaruhi oleh media fermentasi (P<0,01). Nilai rataan kekenyalan nata yang dihasilkan dari kelima media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Nilai Rataan Kekenyalan Nata dari Kelima Media Fermentasi. Superskrip a, b dan c yang berbeda menunjukkan perbedaan nilai peubah sangat nyata (P<0,01).
6.53b 7.57a 5.03c 6.57b 2,00 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Madu afkir Madu afkir
whey
Madu afkir air kelapa madu afkir whey airkelapa Madu segar (kontrol) K ekeny al an m m /s
40 Perbedaan kekenyalan yang dihasilkan tiap media diduga disebabkan oleh perbedaan jenis bahan baku. Nur (2009) menyatakan bahwa kandungan protein yang terdapat dalam medium turut menentukan tingkat kekenyalan serta lama fermentasi dan sumber nitrogen yang digunakan juga mempengaruhi kekenyalan nata yang dihasilkan.
Kekenyalan tertinggi dihasilkan oleh nata dengan media fermentasi madu hutan afkir whey yaitu sebesar 7,57 (mm/s) dan kekenyalan terendah dihasilkan oleh nata dengan media fermentasi madu hutan afkir. Hal tersebut dikarenakan nilai pH media fermentasi tertinggi (4,590) sehingga kekenyalan yang dihasilkan lebih tinggi dari media fermentasi lainnya. Sesuai dengan pernyataan Silva et al. (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi pH maka reaksi antara protein dan pelarut semakin rendah yang menyebabkan terjadinya jaringan (struktur) tiga dimensi dimana gaya tarik menarik dan tolak menolak yang terjadi tidak seimbang. Struktur dari jaringan ini semakin longgar yang dapat memerangkap air dalam jumlah yang besar sehingga dapat meningkatkan kekenyalan produk.
Faktor lain dari kekenyalan yaitu protein. Media fermentasi madu hutan afkir ditambah whey mengandung protein yang lebih tinggi dari air kelapa. Protein jika dipanaskan akan terdenaturasi sehingga mampu mengurangi kelarutannya yang mengakibatkan adanya penggumpalan dan pengendapan. Diduga endapan protein saat pemanasan terperangkap dalam matriks selulosa nata sehingga nata yang dihasilkan lebih kenyal.
Kekenyalan nata dari madu segar sangatlah rendah. Hal ini disebabkan karena nata yang dihasilkan oleh madu segar sangat tipis sehingga kekenyalan yang dihasilkan juga rendah dan dapat diduga bahwa di dalam media fermentasi madu segar terdapat zat anti mikroba yang dapat menghambat pertumbuhan A. xylinum mengubah gula menjadi selulosa, sehingga komponen dan struktur selulosa nata belum kompak.
Warna
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat chromameter. Warna nata yang yang dihasilkan dari kelima media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 14.
41
Gambar 14. Warna Nata yang Dihasilkan dari Media Fermentasi (a) Madu Hutan Afkir, (b) Madu Hutan Afkir-Whey, (c) Madu Hutan Afkir-Air Kelapa, (d) Madu Hutan Afkir-Whey-Air Kelapa dan (e) Madu Segar
Nilai L, a, b dan °Hue
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kecerahan nata yang dihasilkan. Nilai kecerahan tertinggi diperoleh media fermentasi madu hutan afkir (43,92) sedangkan nilai kecerahan terendah diperoleh media fermentasi madu hutan afkir ditambah air kelapa (37,19) seperti yang tercantum pada Tabel 10. Hal ini dapat diduga bahwa kecerahan tergantung pada media fermentasi awal. Media fermentasi madu segar lebih cerah dibandingkan dengan madu afkir yang telah mengalami perubahan menjadi lebih gelap.
Peningkatan ratio air kelapa pada media fermentasi madu sangat nyata (P<0,01) menurunkan nilai kecerahan nata (41,00 menjadi 37,19). Pensterilan media fermentasi pada suhu 115 °C selama tiga menit sebelum diinokulasi A. xylinum mengakibatkan terjadinya reaksi Mailard dan karamelisasi gula. Peningkatan suhu dapat meningkatkan reaksi pencoklatan, sehingga menghasilkan warna produk yang lebih gelap (Williams, 1976). Kadar gula air kelapa lebih besar dari whey (Tabel 9) sehingga kecerahan yang dihasilkannya juga lebih rendah.
Rataan nilai a dari seluruh perlakuan menghasilkan nilai positif yang menunjukkan bahwa warna nata de madoe yang dihasilkan berada di daerah merah. Nilai a dari media fermentasi madu hutan afkir, madu hutan afkir-whey, madu hutan afkir-air kelapa dan madu hutan afkir-whey-air kelapa menghasilkan nilai yang hampir sama sehingga tidak ada pengaruh dari bahan tambahan terhadap nilai a.
Rataan nilai b dari seluruh perlakuan menghasilkan nilai yang positif menunjukkan bahwa warna nata de madoe yang dihasilkan warna kuning. Analisis
42 sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media fermentasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai b nata yang dihasilkan.
Warna nata yang dihasilkan oleh kelima media fermentasi berkisar 60,50–
85,77 °H yang berarti berwarna merah kekuningan karena berada dalam kisaran 54º-90 °H dalam tabel kategori warna menurut kisaran nilai derajat Hue. Warna nata pada media fermentasi madu segar lebih mengarah ke warna kuning sedangkan ke empat media fermentasi lainnya merah kekuningan. Warna–warna yang muncul ini merupakan warna hasil campuran dari warna madu dengan adanya reaksi Maillard dan karamelisasi gula akibat pemanasan madu pada saat pembuatan nata de madoe.
Karakteristik Kimia
Analisis sifat kimia nata de madoe meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan kadar serat pangan. Karakteristik kimia nata de madoe dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Karakteristik Kimia Nata de Madoe dari Kelima Media Fermentasi
Peubah Madu Afkir Madu Afkir+Whey Madu Afkir+Air Kelapa Madu Afkir+Whey+Air Kelapa Madu Segar --- (%) --- Kadar air 99,86 96,29 96,4 96,77 97,71 Kadar abu 0,14 0,16 0,18 0,21 0,13 Kadar serat kasar 0,1 0,51 0,4 0,22 0,58 Kadar lemak - - 1,56 - - Kadar protein - - 0,9 - - Kadar serat makanan - - 0,11 - -
Kadar air, kadar abu dan kadar serat kasar nata yang dihasilkan dianalisis pada kelima media fermentasi, sedangkan analisis kadar protein, kadar lemak dan kadar serat makanan hanya dilakukan pada media yang menghasilkan nata dengan kualitas fisik (rendemen, ketebalan dan kekompakan selulosa) terbaik. Karakteristik fisik yang terbaik diperoleh dari media fermentasi madu afkir ditambah air kelapa.
43
Kadar Air
Air yang terdapat pada nata berasal dari mediumnya. Kadar air merupakan jumlah air total yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar air nata de madoe dapat dilihat pada Gambar 15. Kandungan air nata de madoe yang diperoleh sangat tinggi. Kadar air media madu hutan afkir berkisar antara 99,86% sampai 96,29 % sedangkan kadar air dari madu segar yang dijadikan konrol lebih tinggi (97,91%). Hal ini sesuai dengan pendapat Keshk dan Someshima (2006) menyatakan selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum mempunyai kapasitas penyerapan air yang tinggi.
Gambar 15. Kadar Air Nata de Madoe
Gambar 15 menunjukkan media fermentasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada kadar air nata yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mashudi (1993) bahwa faktor yang turut menentukan kadar air nata adalah jumlah gula yang ditambahkan, semakin tinggi gula yang ditambahkan maka kadar air akan semakin tinggi pula. Gula akan memperlonggar serat dalam nata, sehingga air akan terperangkap dalam struktur serat selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum. Penelitian ini menggunakan kadar gula yang sama yaitu 15% sehingga kadar air yang diperoleh relatif sama pada kelima perlakuan.
Kadar Abu
Kadar abu terdiri atas unsur-unsur anorganik atau mineral. Proses pengabuan menguraikan zat-zat organik menjadi air dan CO2. Kadar abu pada nata de madoe yang dihasilkan berasal dari kandungan mineral yang terdapat pada bahan baku.. Madu segar memiliki kadar abu sebesar 0,169% (Sihombing, 2005), madu afkir
99,86 96,29 96,4 96,77 97,71 94 95 96 97 98 99 100 101
Madu afkir Madu afkir whey Madu afkir air
kelapa Madu afkir whey airkelapa Madu segar Kadar Air (%)
44 0,32% (hasil analisis), whey 0,54% (Walstra dan Jennes, 1984) dan air kelapa 1,06% (Woodroof, 1979).
Kadar abu nata de madoe yang dihasilkan pada media fermentasi madu hutan afkir berkisar 0,14%-0,21% sedangkan pada media fermentasi madu sebesar 0,13% Kadar abu nata dari media fermentasi madu segar hasilnya paling rendah karena kadar mineral bahan bakunya juga rendah. Kadar abu tertinggi diperoleh oleh media fermentasi madu hutan afkir ditambah whey dan air kelapa. Hal ini diduga bahwa kandungan mineral bahan baku awalnya lebih tinggi yaitu adanya gabungan mineral dari madu hutan afkir, whey dan air kelapa.
Gambar 16. Kadar Abu Nata de Madoe
Kadar abu nata de madoe semakin rendah dibandingkan dari kadar abu bahan baku media fermentasi awal. Hal ini menunjukkan bahwa mineral bahan baku awal telah digunakan bakteri dalam proses metabolisme selulosa.
Kadar Serat Kasar
Serat merupakan salah satu jenis zat gizi yang sangat diperlukan bagi kesehatan manusia. Ada dua macarm serat yaitu serat kasar (crude fiber) dan serat makanan (dietary fiber). Serat kasar merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel tumbuhan yang terdiri dari lignin serta polisakarida seperti selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia (Irwansyah,