• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Pembentukan Afiks Dalam Tuturan Bahasa Indonesia Pada Anak Autisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gangguan Pembentukan Afiks Dalam Tuturan Bahasa Indonesia Pada Anak Autisme"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

71 Lampiran 2

BIODATA ANAK

1. Nama : Fahlevi Tarigan

Umur : 9 Tahun

Agama : Islam

Alamat : Komplek Setia Budi Nama orang tua : Anwar Tarigan Pekerjaan orang tua : Kontraktor

2. Nama : Aiga Kartika

Umur : 12 Tahun

Agama : Islam

Alamat : Jl. Gatot subroto, Titi Papan Nama orang tua : Eli

Pekerjaan orang tua : Pengusaha jual Rotan

3. Nama : Jolyn Junawi

Umur : 8 Tahun

Agama : Budha

Alamat : Jalan Kapten Muslim Nama orang tua : Juki Junawi

(3)

68

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Hendra Eriyanto. 2014. “Kosakata Kerja Bahasa Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik : Analisis Psikolinguistik Behaviorisme”.

(Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak

Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Girsang, Jenni Rukia. 2013. “Gangguan Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme”. (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Gustianingsih. 2009. “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Penyandang Autism Spectrum Disorder”. (Disertasi). Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera utara.

(4)

69

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik, Edisi keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan

Infleksional). Bandung: Refika Aditama.

Rajagukguk, Adrina M. 2012. “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca”. (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Ramlan, M. 1983. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono. Salliyanti. 2011. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Medan: Bartong Jaya. Simanjuntak, Mangantar. 2009. Pengantar Neuropsikolinguistik. Medan:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

(5)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sekolah Autisme Tali Kasih, Jalan Sei Alas No.18 Telp. (061) 4523643 Medan.

3.1.2 Waktu Penelitian

Peneliti merencanakan melakukan penelitian ini selama satu bulan setelah proposal disetujui. Sebagai data awal peneliti sudah melakukan observasi terlebih dahulu terhadap anak autisme yang berada di sekolah tersebut.

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini diperoleh dari tuturan bahasa Indonesia lisan anak autisme yang berusia 8-13 tahun yang berada di Sekolah Tali Kasih. Anak autisme yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah empat orang, yaitu: Fahlevi Tarigan (9tahun), Aiga Kartika (12tahun), dan Jolyn Junawi (8tahun).

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

(6)

20

berafiks yang dituturkan oleh anak autisme. Sumber data penelitian ini adalah anak-anak penderita autisme usia 8-13 tahun.

Setelah dilakukan observasi, dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai pengamat partisipan yang telah diketahui kehadirannya oleh subjek penelitian. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode simak. Metode simak merupakan penyimakan yang dilakukan dalam pengumpulan data, yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Sebagai pelengkap untuk mengumpulkan data yang lebih akurat dan sesuai yang diharapkan oleh peneliti, maka peneliti juga menggunakan metode cakap. Metode cakap adalah berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993: 137).

(7)

21

Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang akurat melalui tuturan anak autisme tersebut. Teknik catat adalah pengambilan data dengan cara mencatat pada kartu data (Sudaryanto, 1993: 135). Peneliti mencatat data-data yang telah terkumpul untuk selanjutnya dianalisis..

Penelitian melakukan ketekunan pengamatan, konsultasi dengan pembimbing, dan diskusi dengan teman sejawat untuk menjaga keabsahan data.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah semua data-data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya peneliti melakukan aktivitas analisis data penelitian dengan cara identifikasi data untuk dapat menyajikan hasil analisis data, dan menarik simpulan. Data dalam penelitian dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah metode padan referensial, alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa.

(8)

22

ataupun peneliti didampingi terapis dengan jawaban yang diinginkan akan menunjukkan adanya pembentukan afiks pada kata yang diucapkan. Sesuai jawaban tersebut kemudian dapat dilihat gangguan pembentukan afiks apa saja yang terjadi pada tuturan anak autisme dan jawaban apa saja yang menyimpang dari yang diinginkan peneliti karena keterbatasan bahasa anak autisme tersebut.

Analisis data untuk menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini menerapkan teori morfologi pembagian afiks oleh Verhaar (2001) dan teori gangguan berbahasa oleh Haron (1997). Dalam menjawab rumusan masalah kedua, peneliti menerapkan teori gangguan berbahasa oleh Abdul Chaer (2009) tentang afasia yang selanjutnya dihubungkan ke dalam teori neurolinguistik tentang hubungan kerusakan bahasa pada syaraf otak oleh Wernicke dan Broca (Simanjuntak, 2008).

Analisis data dapat dilihat yaitu pada contoh dialog percakapan antara peneliti dengan Fahlevi (Flv) dan Aiga (Ag) di bawah ini:

1) Peneliti : Kamu sedang apa?

2) Peneliti : Halo adik! (sambil menggerakkan tangan)

Apa kabar?

(9)

23

Coba ikuti kakak, sebutkan berjalan.(mengucapkan dengan

pelan dan jelas)

Ag : Bejala.

Peneliti : Ya bagus. (sambil bertepuk tangan)

Contoh percakapan data (1) dan (2) dapat dilihat bahwa Flv dan Ag dapat memahami pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti. Data (1) menunjukkan bahwa Flv mengatakan diri yang seharusnya dijawab dengan berdiri. Pada kata

berdiri menunjukkan adanya prefiks ber- + diri. Pembubuhan awalan atau prefiks

ber- pada kata berdiri melibatkan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Dalam

tuturan anak autisme Flv menunjukkan telah terjadi penghilangan unsur ber- pada kata berdiri. Berdasarkan atas teori Haron (1997), gangguan seperti itu termasuk gangguan berbahasa yang disebut omission (penghilangan unsur bahasa/unsur prefiks dalam penelitian). Hal ini menunjukkan bahwa Flv tidak dapat membentuk prefiks ber- dalam tuturannya seperti anak normal berusia 8-13 tahun, yang pembentukan prefiksnya sudah sempurna.

(10)

24

(a) dalam teori Verhaar(2001) yaitu prefiks atau awalan ber-. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa tidak terjadi gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

Pada data (1) dan (2), bila dihubungkan dengan jenis gangguan afasia yang diderita anak autisme melalui gangguan pembentukan afiks tesebut, maka Flv dan Ag termasuk penderita afasia jenis afasia motorik subkortikal atau afasia Broca

subkortikal, yaitu gangguan berbahasa dengan hilangnya kemampuan mengutaran

isi pikiran karena terputus sehingga perkataan yang diucapkannya tidak sempurna atau juga tidak keluar sama sekali. Akan tetapi, masih mungkin bisa mengeluarkan isi pikiran melalui jalur lain dengan membeo (Chaer, 2009: 157). Analisis ini sekaligus menjawab masalah no. 2 dalam rumusan masalah penelitian ini.

Contoh analisis data di atas merupakan gambaran cara kerja peneliti dalam mengolah data penelitian yang telah terkumpul. Teknik lanjutan yang digunakan peneliti dalam menganalisis data selanjutnya yaitu dengan teknik hubung banding memperbedakan (teknik HBB). Peneliti akan menganalisis data yang diperoleh dengan menghubungkan kata berafiks yang diucapkan anak autisme dengan kata berafiks yang diucapkan anak normal dan menemukan perbedaan diantara keduanya.

(11)

25

sama bahkan tertinggal dengan anak normal yang berusia 5 tahun. Berikut ini diuraikan dalam bentuk tabel pengujaran kata berafiks anak normal usia lima tahun dalam buku ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia (Dardjowidjojo, 2000) dengan anak autisme pada usia antara 8-13 tahun.

Anak Normal (Echa) Anak Autisme

(1) Echa mengucapkan /berdiri/ menjadi /beldiri/. Sudah dapat membentuk prefiks ber-, walau fonem /r/ masih diucapkan /l/. (2) Echa mengucapkan /berjalan/

menjadi /beljalan/. Sudah dapat membentuk prefiks ber-, walau fonem /r/ masih diucapkan /l/.

(1) Anak autisme mengucapkan kata /berdiri/ menjadi /diri/. Belum dapat membentuk prefiks ber-.

(2) Anak autisme mengucapkan kata /berjalan/ menjadi /jala/ menjadi /jalan/ menjadi /bejala/. Sudah mulai dapat membentuk prefiks ber-, tetapi masih pada tahap membeo.

Tabel di atas menjelaskan bahwa kemampuan membentuk afiks pada anak normal usia lima tahun dan anak autisme yang berusia 8-13 tahun sangat berbeda. Anak normal, yang diwakili oleh Echa dapat membentuk afiks dan dapat memahami ujaran pada usia lima tahun, sedangkan anak autisme yang berusia 8-13 tahun masih tidak dapat membentuk afiks dengan sempurna dan masih membutuhkan bimbingan, serta anak autisme juga masih membeo untuk mengucapkan kata berafiks.

3.5 Metode dan Teknik Penyajian Data

(12)

26

penyajian formal dan penyajian informal. Metode penyajian analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian informal. Sudariyanto, (1993: 145) metode penyajian informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa; walaupun dengan peristilahan yang teknis sifatnya.

(13)

27 BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Gangguan Pembentukan Afiks dalam Tuturan Bahasa Indonesia pada Anak Autisme

Pembentukan afiks dalam suatu kata pada anak normal usia 8-13 tahun sudah sempurna, tetapi pada anak autisme pada usia 8-13 tahun belum dapat membentuk afiks dengan sempurna karena terjadi gangguan berbahasa disebabkan keterbelakangan mental dan sosial pada anak autisme. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan tingkat pemahaman yang berbeda-beda pada anak autisme pada usia yang berbeda.

Berdasarkan hasil percakapan menunjukkan bahwa anak autisme cenderung tidak fokus melihat peneliti saat bertanya yang menyebabkan peneliti cenderung bertanya lebih dari sekali pertanyaan yang sama dan terapisnya juga sering menyuruh anak autisme untuk fokus melihat peneliti saat bertanya. Pertanyaan yang diajukan peneliti secara umum dapat dipahami oleh anak autisme tersebut dengan bantuan para terapis dan beberapa pancingan yang dilakukan peneliti.

4.1.1 Gangguan Pembentukan Prefiks

(14)

28

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Fahlevi, selanjutnya disebut Flv.

(3) Peneliti : Fahlevi, kakak itu sedang apa? (sambil menunjuk teman

peneliti yang sedang menulis)

Flv : Memulis (sambil melihat ke arah teman peneliti, selanjutnya

melihat terapisnya)

Peneliti : Bagus. Fahlevi pintar (sambil bertepuk tangan)

Berdasarkan data (3) diketahui bahwa Flv dapat membentuk prefiks men-dengan baik sesuai men-dengan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) men-dengan menunjukkan orang yang sedang menulis. Flv mengucapkan menulis dengan

memulis diucapkan dengan baik. Pada kata memulis menunjukkan adanya

pembentukan prefiks men- + tulis, tetapi fonem n pada menulis berubah menjadi fonem m. Maka, tidak menunjukkan adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(4) Flv : Ngintip kakak.(menunjuk ke salah satu ruangan)

Peneliti : Kakak siapa yang mengintip?

Flv : Kak Aiga mana? Ngintip kakak. (melihat Aiga sudah

masuk kembali ke ruangan)

Berdasarkan data (4) menunjukkan bahwa Flv tidak dapat membentuk prefiks meng- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Flv mengucapkan ng- dalam kata ngintip. Seharusnya, kata ngintip diucapkan dengan mengintip. Flv secara tiba-tiba mengucapkan kata ngintip dengan jelas ketika melihat Ag mengintip di depan pintu melalui ruangannya. Setelah melakukan pengulangan dengan mengulang kata mengintip, tetapi Flv tetap tidak mengucapkan kata

ngintip menjadi mengintip. Maka, menunjukkan terjadi gangguan berbahasa

(15)

29

penghilangan unsur me- pada unsur meng- dalam kata mengintip sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(5) Peneliti :Fahlevi punya kakak?

Flv :Kakak Manda, kak Manda gak ikut.

Peneliti : Oh,enggak ikut ya kakak Manda. Fahlevi anak ke-berapa?

Flv : dua.

Peneliti : Kedua ya. Coba sebutkan sekali lagi?

Flv : Kedua, kakak Manda Levi. (maksudnya yang pertama kak Manda

dan Levi yang kedua)

Berdasarkan data (5) menunjukkan bahwa Flv dapat membentuk prefiks ke- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan cara membeo. Pada pertanyaan awal, Flv mengucapkan kata kedua menjadi dua dan setelah adanya pengulangan peneliti mengucapkan kata kedua dengan benar, setelah itu Flv dapat dengan benar mengucapkan kata kedua. Maka, tidak menunjukkan adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(6) Peneliti : Fahlevi tinggal serumah dengan kak Manda?

Flv : Rumah sama tinggal kak Manda. (rumah tempat tinggalnya sama

dengan kak Manda)

Peneliti : Oh, iya serumah sama kak Manda. Coba sebutkan serumah?

Flv : seumah, bu.

Peneliti : coba sebutkan seribu?

Flv : seibu.

Berdasarkan data (6) menunjukkan bahwa Flv dapat memahami dengan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Flv mengucapkan kata serumah menjadi

seumah dan seribu menjadi seibu, walaupun fonem r yang berada di tengah kata

(16)

30

ada penghilangan fonem r di depan kata. Jadi, disimpulkan Flv tidak dapat membentuk fonem r di tengah kata seribu. Dilihat dari data (6) di atas, tidak menunjukkan adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(7) Peneliti : Fahevi malu gak sama kakak?

Flv : Kakak sapa? kakak Manda. (kakak Flv adalah kak Manda)

Peneliti : Kakak Manda pemalu ya?

Flv : Malu kak Manda Levi pakai baju. (maksudnya kak Manda malu

kalau melihat Flv sewaktu pakai baju)

Peneliti : Oh iya, pemalu Levi kalau dilihat kak Manda waktu pakai baju. Coba sebutkan pemalu!

Flv : Pemalu, bu.

Berdasarkan data (7) diketahui bahwa Flv dapat membentuk prefiks pen-

+ malu dalam kata pemalu sesuai dengan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001).

Peneliti memberikan pertanyaan awal dengan kata malu, kemudian memunculkan kata pemalu. Terakhir, peneliti menyuruh Flv untuk menyebutkan kata pemalu. Flv dapat mengucapkan kata pemalu dengan benar dengan cara membeo, walaupun sebenarnya Flv memahami arti dari pemalu tersebut. Maka, dari data (7) tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(17)

31

karena Flv tidak dapat membentuk dan memahami arti dari kata yang dilekati prefiks memper- tersebut.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Aiga, selanjutnya disebut Ag.

(8) Peneliti : Aiga, coba lihat kakak! Kakak sedang melakukan apa ini?(sambil

memukul tangan peneliti)

Ag : Memukul tangan kakak.

Peneliti : Bagus, pintar Aiga! (sambil bertepuk tangan)

Berdasarkan data (8) diketahui bahwa Ag dapat membentuk prefiks men- dengan baik sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) tentang pembagian afiks. Ag menjawab pertanyaan peneliti dengan benar. Ag mengucapkan kata

memukul menjadi memukul dengan sempurna. Maka, pada Ag menunjukkan tidak

terjadi gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(9) Peneliti : Aiga, kalau sapu digunakan untuk apa?

Ag : Untuk nyapu lantai.

Peneliti :Oh, untuk menyapu?(mengatakan dengan jelas dan pelan)

Ag : Iya, untuk meyapu lantai.

Berdasarkan data (9) diketahui Ag telah menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dengan baik, walaupun jawabannya tidak sempurna membentuk prefiks men-. Ag membentuk prefiks men- + sapu dalam kata

menyapu sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan mengucapkan kata

nyapu. Seharusnya, kata nyapu diucapkan dengan menyapu. Setelah melakukan

pengulangan untuk mengatakan kata menyapu, Ag dapat mengucapkan kata

(18)

32

dalam kata meyapu. Maka, menunjukkan tidak terjadi gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(10) Peneliti : Aiga mempunyai kipas angin di dirumah?

Ag : punya kak.

Peneliti : Kalau kipas anginnya hidup itu bagaimana tandanya?

Ag : mutar ada anginnya.

Peneliti : Oh, iya berputar ya?

Ag : Iya, beputar kencang anginnya dingin.

Berdasarkan data (10) diketahui bahwa Ag dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Saat ditanya kalau kipas angin hidup bagaimana tandanya, yang terjadi adalah Ag menjawab mutar. Seharusnya kata tersebut berputar sehingga menunjukkan adanya pembentukan prefiks ber- dengan melibatkan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) tentang pembagian afiks. Akan tetapi, setelah dilakukan pemancingan berulang dengan menyebutkan kata berputar dengan benar, Ag dapat mengucapkan ulang kata berputar menjadi beputar. Ag sudah dapat membentuk prefiks ber- dengan membeo walaupun fonem r dalam kata

berputar. Hal tersebut menunjukkan tidak ada gangguan berbahasa sesuai yang

dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(11) Peneliti : Aiga, takut tidak sama bu Rina?

Ag : Enggak. Ibu Rina baik, cantik.

Peneliti : Oh, berarti Aiga bukan penakut ya?

Ag : Ih kakak ini lah! Kakak kira Aiga kucing, penakut!

Peneliti : Oh, kucing yang penakut.

(19)

33

awal dengan mengatakan kata takut dan penakut, selanjutnya Ag membandingkan bahwa penakut itu adalah Kucing. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan prefiks pen- Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(12) Peneliti : Aiga mempunyai adik?

Ag : Adik Fikri . (sambil melihat terapisnya)

Peneliti : Adik Aiga anak ke-berapa?

Ag : Kedua (sambil melihat terapisnya menunjukkan dua jari dan

mendiktekannya)

Berdasarkan data (12) diketahui Ag dapat membentuk prefiks ke- dengan baik sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001), walaupun masih dengan arahan terapisnya karena Ag tidak memiliki pengetahuan akademik tentang menentukan urutan. Ag dapat mengucapkan kata kedua dengan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan prefiks ke- Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(13) Peneliti : Ag suka memperbanyak boneka?

Ag : Suka. Boneka Ag banyak di rumah. Ada panda, ada hello kitty.

Peneliti : Oh, banyak ya boneka Ag. Coba katakan memperbanyak!

Ag : mempebanyak.

Berdasarkan data (13) diketahui bahwa Ag dapat membentuk prefiks

memper- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan cara membeo. Ag

(20)

34

(14) Peneliti : Aiga, coba lihat ini uang berapa? (sambil menunjukkan uang

seribu)

Ag : uang seribu, kak.

Peneliti : Bagus. Pintar Aiga.(sambil bertepuk tangan)

Aiga, kalau sepulang sekolah apa yang Aiga lakukan?

Ag : Tidur, Aiga suka tidur.

Peneliti : Coba sebutkan sepulang!

Ag : Sepulang sekolah.

Berdasarkan data (14) diketahui bahwa pada kata seribu dan sepulang Ag sudah dapat membentuk prefiks se- + ribu, se- + pulang sesuai kategori (a) tentang prefiks se- dalam teori Verhaar(2001). Walaupun Ag belum bisa membaca, Ag mampu mengucapkan kata seribu saat ditanya oleh peneliti dengan menunjukkan uang seribu. Saat peneliti menanyakan apa yang dilakukan Ag

sepulang sekolah?, Ag menjawab tidur karena dia suka tidur. Ag juga dapat

mengucapkan kata sepulang dengan baik walaupun dengan membeo. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan prefiks se- Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(21)

35

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Jolyn, selanjutnya disebut Jln.

(15) Peneliti : Jolyn, dedi kamu kalau pagi pergi kemana?

Jln : Keja (mengikuti kata terapisnya mengatakan bekerja)

Peneliti : Coba ulangi sekali lagi, bekerja!

Jln : Kerja (dengan suara yang sangat pelan)

Berdasarkan data (15) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata bekerja menjadi keja menjadi kerja. Jln belum dapat membentuk prefiks ber- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan terjadinya penghilangan unsur ber- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Penghilangan unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut

omission (penghilangan unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang

dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(16) Peneliti : Jolyn kalau ibadah melakukan apa?

Terapis : Ngapain Jolyn? Berdoa! Katakan!

Jln : Doa (berbicara ketika terapisnya menyuruh)

Peneliti : Katakan sekali lagi Jolyn, berdoa!

Jln : Doa.

(22)

36

(penghilangan unsur bahasa/unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(17) Peneliti : Jolyn tidak suka berbicara ya? Jolyn pemalu ya?

Jln : Iya.

Terapis : Jolyn tidak suka berbicara kak. Pemalu dia. Iya Jolyn?

(mengelus-elus kepala Jln) Lihat kak Nila, jangan lihat ibu!

Peneliti : Jln coba katakan, pemalu!

Jln : Pemalu. (dengan suara yang sangat pelan)

Berdasarkan data (17) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dibantu oleh terapisnya. Jln mengucapkan kata pemalu menjadi pemalu, walaupun peneliti harus benar-benar mendengarkan apa yang Jln katakan karena suaranya sangat pelan. Jln sudah dapat membentuk prefiks pen- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan tidak ada terjadi gangguan berbahasa sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(18) Peneliti : Jolyn anak ke-berapa?

Jln : Ketiga. (memperhatikan jari terapis yang membentuk tiga jari)

(23)

37

(19) Peneliti : Jolyn, untuk apa kegunaan mata?

Terapis : Untuk melihat kakak. Katakan!

Jln : Utuk maliha. (mencoba mengikuti apa yang dikatakan peneliti)

Berdasarkan data (19) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata melihat menjadi

maliha. Jln belum dapat membentuk prefiks men- sesuai kategori (a) dalam teori

Verhaar(2001). Jln mengubah bentuk prefiks men- menjadi ma- dan terjadi penghilangan fonem t di akhir kata. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pertukaran unsur men- menjadi ma- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Pertukaran unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut substitussion (pertukaran unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(20) Peneliti : Jolyn sudah pandai membaca?

Jln : Belum. (melihat ke arah terapisnya)

Terapis : Belum kak, Jolyn masih belajar fonem. Katakan seperti itu Jolyn!

Jln : Jolyn masih ajar huluf. (sambil mengerang karena mulai bosan)

Peneliti : Coba ikuti kakak, katakan membaca!

Jln : Baca.

Berdasarkan data (20) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata membaca menjadi

baca. Jln belum dapat membentuk prefiks men- sesuai kategori (a) dalam teori

(24)

38

(penghilangan unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(21) Peneliti : Jolyn cantik ya?

Jln : Jolyn canti (mengulang yang dikatakan peneliti)

Peneliti : Secantik bu Endang ya?

Terapis : Iya dong kak. Jolyn cantik seperti bu Endang. Jolyn katakan

secantik! (mengarahkan dengan pelan-pelan)

Jln : Iya. Sasantik.

Berdasarkan data (21) diketahui bahwa Jln dapat menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti dan tetap dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata

secantik menjadi sasantik. Jln belum dapat membentuk prefiks se- sesuai kategori

(a) dalam teori Verhaar(2001) dengan sempurna. Jln mengganti fonem e menjadi a pada prefiks se- dan mengubah fonem c menjadi s mengikuti fonem yang diucapkannya sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pertukaran unsur se- menjadi sa- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Pertukaran unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut

substitussion (pertukaran unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai

yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa. Berdasarkan data (15-21) dapat disimpulkan bahwa Jln dapat membentuk prefiks pen- dan ke- dengan benar walaupun harus dengan arahan dan membeo. Pembentukan prefiks men- pada kata melihat bertukar menjadi maliha dan pada kata membaca, prefiks men- hilang menjadi baca. Pembentukan prefiks ber- juga hilang pada kata bekerja, berdoa menjadi keja, doa. Pembentukan prefiks se- bertukar menjadi sa- pada kata secantik. Jln tidak bisa membentuk prefiks

(25)

39

pertanyaan peneliti dengan arahan dan bimbingan dari terapis dan peneliti. Kata-kata berafiks yang peneliti tanyakan merupakan Kata-kata-Kata-kata yang umum yang diketahui oleh Jln agar mudah dipahaminya. Jln termasuk pada anak autisme yang susah diajak komunikasi verbal karena susah untuk fokus terhadap orang yang berada di sekitarnya dan Jln juga tidak suka berbicara.

4.1.2 Gangguan Pembentukan Sufiks

Data-data berikut merupakan percakapan antara peneliti dengan anak autisme yang bernama Flv Tarigan (9 tahun), Ag Kartika (12 tahun), dan Jln Junawi (8 tahun), serta didampingi oleh terapis anak autisme tersebut yang memeroleh data-data berupa sufiks (pembubuhan belakang) antara lain -an, -wan, -ku, -mu, -nya sebagai berikut.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Fahlevi, selanjutnya disebut Flv.

(22)Peneliti : Fahlevi suka mainan?

Flv : Motoran, Mobilan

Peneliti : Oh, Fahlevi suka motoran dan mobilan ya?

Flv :Motorannya rusak, dilakban ayah.

Berdasarkan data (22) diketahui bahwa Flv sudah dapat membentuk sufiks -an sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001) dengan baik dan mengerti dengan apa yang diucapkannya. Flv dapat mengucapkan kata motoran dan

mobilan menjadi motoran dan mobilan dengan benar. Hal tersebut menunjukkan

(26)

40

gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(23)Peneliti : Fahlevi tahu apa itu wartawan?

Flv : Apa itu bu? (bertanya mengarah kepada terapisnya)

Peneliti : Coba Fahlevi sebutkan wartawan?

Flv : Wawantawan

Berdasarkan data (23) diketahui bahwa Flv belum mengetahui apa arti wartawan. Flv dapat membentuk sufiks –wan sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Flv membentuk sufiks –wan pada kata wartawan menjadi

wawantawan. Akan tetapi, Flv menambahkan unsur –wan di tengah kata. Hal

tersebut menunjukkan terjadi penambahan unsur –wan di tengah kata ketika Flv membentuk sufiks –wan. Penambahan unsur –wan tersebut pada kata

wawantawan termasuk dalam gangguan berbahasa yang disebut addition

(penambahan unsur bahasa/ unsur sufiks dalam penelitian) sesuai dengan yang dinyatakan Haron (1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(24)Peneliti : Fahlevi sedang apa?(sambil melihat Fahlevi yang sedang

memegang pulpen)

Flv :Pupen masukin, bu Tini susah masuknya ini.(mencoba

memasukkan pulpen ke dalam kantong celananya) Peneliti : Oh susah masuknya pulpennya ke dalam kantong Levi.

Berdasarkan data (24) diketahui bahwa Flv sudah dapat membentuk sufiks -nya dengan baik sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Flv mengucapkan kata masuknya saat dia mengungkapkan bahwa pulpen yang akan dimasukkan ke

(27)

41

sufiks -nya Flv tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(25)Peneliti : Fahlevi, ini baju siapa? (sambil menunjuk baju Levi)

Flv : Baju Levi, baju ibu Tini. (sambil memegang bajunya dan baju

bu Tini)

Peneliti : Ini pulpenmu, Levi? Coba sebutkan pulpenmu!

Flv : Iya. Pupenmu

Berdasarkan data (25) diketahui bahwa Flv sudah dapat membentuk sufiks -mu dengan baik sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Flv mengucapkan kata pulpenmu menjadi pupenmu, walaupun fonem l di tengah kata hilang. Sufiks –mu diucapkannya untuk menunjukkan pengulangan yang disebutkan peneliti sebagai kata ganti orang kedua tunggal. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -nya Flv tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(26)Peneliti : Ini baju kak Manda ya yang Levi pakai? (sambil memegang baju

Flv)

Flv : Bukan, gak muat Levi baju kakak Manda.

Peneliti : Coba katakan baju Levi dengan bajuku!

Flv : Baju Levi dengan bajuku.

(28)

42

tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (22-26) dapat disimpulkan bahwa Flv dapat membentuk sufiks –an, -wan, -nya, -ku, dan –mu dengan baik. Akan tetapi pada pembentukan sufiks –wan, Flv melakukan penambahan unsur –wan di tengah kata dan Flv juga tidak memahami arti –wan tersebut pada kata dermawan. Pemancingan diberikan oleh peneliti agar Flv membentuk sufiks yang diinginkan peneliti. Sebagian sufiks dibentuk oleh Flv dengan cara membeo dan sebagian lagi dibentuk oleh Flv sendiri. Flv termasuk anak autisme yang suka berbicara, apalagi berbicara hal-hal yang baru dilakukannya atau baru dilihatnya. Oleh karena itu, Flv sering mengalihkan pembicaraan pada topik lain ketika dia tidak fokus memperhatikan peneliti dan ketika peneliti sedang lengah.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Aiga, selanjutnya disebut Ag.

(27)Peneliti : Aiga tahu tidak kalau tempat orang bermain bola kaki dimana?

Ag : lapangan bola.

Peneliti : Bagus, Aiga pintar! (sambil mengelus kepala Aiga)

Berdasarkan data (27) diketahui bahwa Ag sudah dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang di sekitarnya. Dilihat dari jawaban Ag atas pertanyaan yang diajukan peneliti tentang nama tempat orang bermain bola, Ag menjawab

lapangan bola. Ag dapat membentuk sufiks –an pada kata lapangan dengan benar

(29)

43

berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(28)Peneliti : Aiga suka nonton TV ya?

Ag : Itu infotiment ember itu kak!

Peneliti : Kalau yang suka tanya-tanya di TV itu apa namanya?

Ag : Wartawan itu.

Penelti : Oh. Kenapa ember infotiment-nya?

Ag : Iyalah, itu gosipin selebriti kak. Itu namanya gak boleh, pantang.

Peneliti : Bagus, Aiga pintar ya. (sambil mengelus kepala Aiga)

Berdasarkan data (28) diketahui bahwa Ag dapat menjawab pertanyaan peneliti dengan baik. Saat ditanya suka menonton TV, Ag menghubungkannya dengan acara infotiment selebriti yang menggosipkan artis-artis. Oleh karena itu, peneliti bertanya lagi?, Ag menyebutkan kata wartawan. Ag sudah dapat membentuk membentuk sufiks –wan pada kata wartawan dengan benar sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -ku Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(29)Peneliti : Sikapnya Flv bagaimana Aiga?

Ag : Sikapnya Levi sombong, Aiga panggil-panggil di kereta gak

lihat dia.

Peneliti : Oh, Levi tidak dengar suara Aiga berarti. Levi tidak sombong kok.

Ag : Iya gak dengar dia. Sombong.

(30)

44

-ku Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(30)Peneliti : Aiga, tahu tidak peragawati itu apa?

Ag : Selebriti itu kak.

Peneliti : Kayakmana itu Aiga? Seperti model itu ya?

Ag : Iya, pakai baju cantik-cantik.

Peneliti : Coba sebutkan apa tadi?

Ag : Peragawati

Berdasarkan data (30) diketahui bahwa Ag dapat membentuk sufiks –wati dengan mengucapkan kata peragawati sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001) dan memahami pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks –wati Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(31)Peneliti : Aiga, gurumu siapa namanya ?

Ag : Ibu Rina, Aiga sayang bu Rina.

Peneliti : Coba sebutkan, guruku dan gurumu!

Ag : Guruku, gurumu.

(31)

45

terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (27-31) dapat disimpulkan bahwa Ag dapat membentuk sufiks –an, -ku, -mu, -nya, -wan, dan –wati dengan baik dan mengerti arti dari kata-kata yang diucapkannya, walaupun harus ada pemancingan yang diberikan oleh peneliti agar Ag membentuk sufiks yang diinginkan peneliti. Sebagian sufiks dibentuk oleh Ag dengan cara membeo dan sebagian lagi dibentuk oleh Ag sendiri.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Jolyn, selanjutnya disebut Jln.

(32)Peneliti : Jolyn suka mainan apa?

Terapis : Boneka. Katakan Jolyn!

Jln : Boneka.(menirukan bu Endang)

Peneliti : Coba tirukan mainan!

Jln : manain

(32)

46

dalam penelitian) sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(33)Peneliti : Jolyn coba sebutkan bajumu!

Jln : Bajumu

Terapis : Mana bajumu Jolyn?

Jln : Ini.

Peneliti : Katakan bajuku, bajunya!

Jln : Bajuku (sangat pelan)

Peneliti : Katakan Bajunya!

Jln : Bajunya

Berdasarkan data (33) diketahui bahwa Jln dapat membentuk sufiks –mu,

-ku, dan –nya dengan baik sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001)

walaupun masih membeo. Jln mengucapkan bajuku menjadi bajuku, bajumu menjadi bajumu, bajunya menjadi bajunya dengan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks –ku, -mu, -nya Jln tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(33)

47

dengan Jln, peneliti harus dibantu oleh terapis Jln yaitu bu Endang yang telah menemaninya selama 6 tahun.

4.1.3 Gangguan Pembentukan Infiks

Data-data berikut merupakan percakapan antara peneliti dengan anak autisme yang bernama Flv Tarigan (9 tahun), Ag Kartika (12 tahun), dan Jln Junawi (8 tahun), serta didampingi oleh terapis anak autisme tersebut yang memeroleh data-data infiks (pembubuhan tengah/ unsur infiks dalam penelitian) antara lain -em- dan -el- sebagai berikut.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Fahlevi, selanjutnya disebut Flv.

(34)Peneliti : Fahlevi, coba sebutkan ini jari apa? (menunjukkan jari telunjuk)

Flv : Jari apa, jari tunjuk

Peneliti : Coba ulang dengan pelan, telunjuk!

Flv : Telujuk.

(34)

48

Berdasarkan data di atas, disimpulkan bahwa Flv hanya dapat membentuk infiks –el- dengan cara membeo, sedangkan untuk infiks –em- tidak dapat membentuknya sama sekali dan tidak mengerti makna kata yang tersisip -em- di dalamnya.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Aiga, selanjutnya disebut Ag.

(35)Peneliti : Aiga, coba katakan kakak kenapa kalau kedinginan terus

tubuhnya seperti ini? (menunjukkan orang yang kedinginan dan tubuh gemetar)

Ag :Kedinginan, gemetar badan kakak.

Peneliti : Aiga pintar (sambil bertepuk tangan)

Berdasarkan data (35) diketahui bahwa Ag dapat menjawab pertanyaan peneliti dengan baik melalui pancingan memperagakan hal yang dimaksudkan oleh peneliti. Ag membentuk infiks –em- sesuai kategori (c) dalam teori Verhaar(2001) dengan mengucapkan kata gemetar. Hal tersebut menunjukkan tidak terjadi gangguan berbahasa seperti yang dikatakan Haron(1997).

(36)Peneliti : Aiga, sewaktu Aiga mencuci boneka banyak busanya ya?

Ag : Banyak busanya.

Peneliti : Terus, yang bulat seperti balon di busanya itu apa?

Ag : gelembung air. Pecah dia pas Aiga pegang.

Peneliti : Iya benar. Bagus Aiga. (sambil menunjukkan dua jempol)

(35)

49

mengucapkan kata gelembung. Hal tersebut menunjukkan tidak terjadi gangguan berbahasa seperti yang dikatakan Haron(1997).

Berdasarkan data (35-36) disimpulkan bahwa Ag dapat membentuk infiks

em- dan -el- dengan baik. Hal tersebut karena kata-kata gemetar dan gelembung

sering didengarnya di kehidupan sehari-harinya.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Jolyn, selanjutnya disebut Jln.

(37)Peneliti : Jolyn coba katakan, gemuruh!

Jln : Gemuluh

Berdasarkan data (37) diketahui bahwa Jln mampu membentuk infiks –em- sesuai kategori (c) dalam teori Verhaar(2001) pada kata gemuruh menjadi

gemuluh dengan cara membeo walaupun fonem r berganti menjadi l, tetapi Jln

tidak mengerti arti dari kata tersebut. Hal tersebut menunjukkan tidak terjadi gangguan berbahasa seperti yang dikatakan Haron(1997).

Berdasarkan data di atas disimpulkan bahwa Jln hanya dapat membentuk infiks -em- dengan cara membeo dan tidak mengetahui makna kata yang terdapat infiks -em- tersebut, sedangkan untuk infiks -el- tidak dapat membentuknya sama sekali dan tidak mengerti makna kata yang tersisip -el- di dalamnya.

4.1.4 Gangguan Pembentukan Konfiks

(36)

50

memeroleh data-data berupa konfiks (pembubuhan depan dan belakang) antara lain men-kan, men-i, ke-an, memper-i sebagai berikut.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Fahlevi, selanjutnya disebut Flv.

(38)Peneliti : Fahlevi, coba lihat kakak! Kakak sedang apa ini? (sambil mem-

peragakan melambaikan tangan)

Flv : Dadah. (melihat ke arah peneliti)

Peneliti : Selain itu namanya apa kalau tangannya di atas?

Flv : Apa bu? (bertanya kepada terapisnya)

Terapis : Melambaikan tangan. Ikuti!

Flv : Melabaikan tangan.

Berdasarkan data (38) diketahui bahwa Flv belum dapat membentuk konfiks

me-kan sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001) secara langsung, tetapi

harus dengan membeo. Pengetahuan Flv tentang yang diperagakan oleh peneliti hanya sampai pada pengucapan kata dadah. Setelah terapis menyuruh ikuti mengucapkan kata melambaikan, Flv baru dapat membentuk konfiks men-kan dengan mengucapkan kata melabaikan walaupun fonem m pada kata lambai hilang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan konfiks me-kan Flv tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(39)Peneliti : Fahlevi, mobilan kamu pernah rusak?

Flv : Patah dia, gak ada pintunya.

Peneliti : Patah pintunya. Terus, Fahlevi tidak memperbaiki mobilannya?

Flv : Dilakban ayah pintunya.

Peneliti : Oh iya. Coba ikuti kakak! Sebutkan memperbaiki!

Flv : Mebaiki

Berdasarkan data (39) diketahui bahwa Flv belum dapat membentuk konfiks

(37)

51

peneliti melakukan pemancingan agar Flv mengucapkan kata memperbaiki, Flv tidak mengucapkannya. Setelah peneliti melakukan pengulangan dengan menyuruh Flv mengikuti menyebutkan kata memperbaiki dengan benar, Flv juga tidak dapat membentuk konfiks memper-i dengan cara membeo. Akan tetapi, Flv mengucapkan kata mebaiki. Unsur mper- hilang pada afiks memper, hanya tinggal unsur me-. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan konfiks

memper-i Flv mengalami gangguan menjadi me-i. Terjadi penghilangan unsur

per- yang termasuk ke dalam gangguan berbahasa omission (penghilangan unsur bahasa/ unsur konfiks dalam penelitian) sesuai dengan yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(40)Peneliti : Fahlevi bisa menaiki tangga?

Flv : Nai sampe atas Levi.

Peneliti : Oh, naiknya sampe ke atas ya. Coba sebutkan menaiki!

Flv : Menaki taga rumah Levi.

Berdasarkan data (40) diketahui bahwa Flv belum dapat membentuk konfiks

men-i sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001) secara langsung. Saat peneliti

melakukan pemancingan agar Flv mengucapkan kata menaiki, Flv tidak mengucapkannya. Setelah peneliti melakukan pengulangan dengan menyuruh Flv mengikuti menyebutkan kata menaiki dengan benar, Flv baru dapat membentuk konfiks men-i dengan cara membeo. Flv mengucapkan kata menaiki menjadi

menaki. Fonem i hilang pada kata naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa

(38)

52

(41)Peneliti : Fahlevi, coba katakan bagaimana keadaan wajah ibu Tini?

Flv : Ibu Tini cantik.

Peneliti : Pintar, coba ikuti sebutkan keadaan!(mengatakan dengan lambat dan jelas)

Flv : Kedaan

Berdasarkan data (41) diketahui bahwa Flv belum dapat membentuk konfiks

ke-an sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001) secara langsung. Flv

mengucapkan kata keadaan menjadi kedaan dengan membeo, menunjukkan bahwa Flv dapat membentuk konfiks ke-an pada kata kedaan walaupun fonem a sesudah suku kata ke hilang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan konfiks ke-an Flv tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (38-41) dapat disimpulkan bahwa Flv dapat membentuk konfiks men-kan, men-i, dan ke-an dengan cara membeo, tetapi masih memahami konteks pembicaraan dari kata yang melekat konfiks tersebut di dalamnya. Walaupun sebenarnya untuk arti sesungguhnya dari setiap konfiks tersebut tidak diketahui oleh Flv. Flv tidak dapat membentuk konfiks memper-i pada kata

memperbaiki dengan benar. Flv mengucapkannya hanya dengan mebaiki dan

menghilangkan unsur mper-. Flv sama sekali tidak dapat membentuk konfiks

memper-kan dan tidak mengerti makna atau arti kata yang dilekati konfiks

memper-kan.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Aiga, selanjutnya disebut Ag.

(42)Peneliti : Aiga, coba lihat kak sedang apa? (sambil memperagakan

(39)

53

Ag : Kenalan sama ibu Rina.

Peneliti : Kalau Aiga baru masuk sekolah, terus Aiga melakukan apa kepada teman-teman?

Ag : Aiga mepekenalkan diri.

Peneliti : Bagus, Aiga pintar. (sambil bertepuk tangan)

Berdasarkan data (42) diketahui bahwa Ag dapat membentuk konfiks

memper-kan sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001) dengan mengucapkan

kata memperkenalkan menjadi mepekenalkan. Ag menghilangkan fonem m dan r pada afiks memper-, tetapi tetap tidak menghilangkan bentuk konfiks memper-kan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(43)Peneliti : Aiga, coba lihat kakak sedang apa? (sambil memasukkan buku ke

dalam tas)

Ag : memasukan buku dalam tas kakak.

Berdasaarkan data (43) diketahui bahwa Ag dapat membentuk konfiks men-kan sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001) dengan mengucapkan kata

memasukan. Ag menghilangkan fonem k pada suku kata terakhir kata

memasukkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ditemukan gangguan

berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(44)Peneliti : Aiga, kalau kakak makan cabai yang pedas sekali, kemudian

kakak nanti bisa kenapa?

Ag : Kakak kepedasan pasti.(sambil memperagakan orang

yang sedang kepedasan)

(40)

54

Berdasarkan data (44) diketahui bahwa Ag dapat membentuk konfiks ke-an sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001). Ag mengucapkan kata

kepedasan dengan benar melalui pancingan arahan yang diberikan oleh peneliti.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(45)Peneliti : Aiga, bapak pandai tidak mengendarai mobil?

Ag : Pandai, bapak ngantar Aiga.

Peneliti : Coba sebutkan mengendarai!

Ag : Mengendarai

Berdasarkan data (45) diketahui bahwa Ag dapat membentuk konfiks men-i sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001). Ag mengucapkan kata

mengendarai dengan benar walaupun harus melalui pancingan berupa

pertanyaan-pertanyaan dan mengucapkan kata yang benar agar Ag mengikutinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(46)Peneliti : Aiga suka mempelajari apa kalau belajar sama bu Rina?

Ag : Warna-warna

Peneliti : Selain itu apa lagi?

Ag : Pelajari angka-angka

Peneliti : Coba ikuti katakan mempelajari!

Ag : Mepelajari

Berdasarkan data (46) diketahui bahwa Ag dapat membentuk konfiks

memper-i sesuai kategori (d) dalam teori Verhaar(2001). Ag mengucapkan kata

mepelajari dengan benar walaupun harus melalui pancingan berupa

(41)

55

membeo. Ag menghilangkan fonem m setelah suku kata me yang seharusnya

mempelajari. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ditemukan gangguan

berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (42-46) dapat disimpulkan bahwa Ag dapat membentuk konfiks men-kan, men-i, memper-kan, memper-i dan ke-an dengan baik. Ag juga mengerti arti dari kata-kata yang diucapkannya, walaupun harus ada pemancingan yang diberikan oleh peneliti agar Ag membentuk konfiks yang diinginkan peneliti. Sebagian konfiks dibentuk oleh Ag dengan cara membeo dan sebagian lagi dibentuk oleh Ag sendiri.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Jolyn, selanjutnya disebut Jln.

(47) Peneliti : Jolyn sayang sama bu Endang?

Jln : Sayang (sambil dipeluk oleh bu Endang/terapisnya)

Peneliti : Harus saling menyayangi ya sama bu Endang!

Terapis : Iya kak, kita saling menyayangi ya Jolyn? Katakan menyayangi! (mengajari dengan pelan agar Jln mengikuti)

Jln : Meyayangi

(42)

56

Berdasarkan data (47) disimpulkan bahwa Jln hanya mampu membentuk konfiks men-i dengan kata-kata umum yang sering didengarnya dan dipahaminya, sedangkan untuk membentuk konfiks men-kan, memper-kan, memper-i, dan ke-an, Jln tidak dapat membentuknya maupun memahami artinya. Hal tersebut disebabkan karena ketidaksukaan Jln untuk berbicara sehingga kemampuan berbicaranya sangat kurang.

4.2 Hubungan Gangguan Pembentukan Afiks dalam Bahasa Indonesia dengan Afasia yang Diderita Anak Autisme

(43)

57

Afasia selalu dikaitkan dengan kelainan di pusat berbahasa yang berada di hemisfer otak sebelah kiri. Kelainan afasia Broca ditandai dengan adanya kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyusun pikiran, perasaan, dan kemauan menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain; bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan sering mengucapkan kata yang tidak dimengrti orang lain; apabila bertutur menggunakan kalimat yang singkat dan monoton; dapat mengerti dan dapat merespon rangsangan yang diterimanya, tetapi mengalami kesulitan untuk mengekspresikannya melalui komunikasi verbal.

Afasia merupakan sejenis penyakit yang disebabkan oleh kerusakan saraf otak dengan melumpuhkan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi. Hal penting yang menandakan seseorang menderita afasia adalah keterbatasan dalam komunikasi secara pertuturan, kesukaran memahami percakapan orang lain, dan kesukaran untuk membaca dan menulis. Anak autisme dalam penelitian ini menderita afasia motorik atau afasia Broca terlihat jelas ditandai dengan sulitnya mereka untuk berbahasa dengan baik dan benar melalui alat artikulasinya, juga mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis.

(44)

58 4.2.1 Afasia Motorik Subkortikal

Afasia motorik subkortikal merupakan afasia yang terjadi karena adanya

kerusakan pada bagian bawah lapisan korteks, maka semua perkataan masih utuh di dalam gudang Broca. Namun, perkataan tidak dapat dikeluarkan karena hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Akan tetapi, melalui jalur lain berupa pancingan dengan membeo perintah masih dapat disampaikan dengan ekspresi verbal. Penderita afasia motorik subkortikal tidak terganggu pengertian bahasa verbal dan visualnya, dan ekspresi visual pun tetap berjalan (Chaer, 2009: 157).

Ciri- ciri afasia motorik subkortikal antara lain sebagai berikut. 1. Bicara tidak lancar atau terputus.

2. Dapat menyebutkan kata dengan benar dengan cara membeo. 3. Tampak sulit memulai berbicara.

4. Kalimatnya singkat (hanya 5 kata atau kurang perkalimat) dan monoton. 5. Kemampuan menulis dan bahasa terganggu.

6. Kesalahan parafasia.

7. Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat yang berupa sintaksis komplek).

8. Gramatika bahasa kurang, tidak komplek. 9. Ekspresi visual normal.

(45)

59

kegagalan untuk memahami bahasa lisan, sedangkan kerusakan pada medan Broca mengakibatkan kegagalan atau kesulitan dalam memproduksi bahasa. Kerusakan pada Medan Broca inilah yang ada dalam pembahasan penelitian ini karena penyakit afasia yang menjadi pokok pembahasan berupa afasia motorik atau Broca yang berhubungan langsung dengan medan Broca pada otak.

Menurut Geschwind (dalam Simanjuntak, 2008: 194) kompetensi linguistik memerlukan kerjasama beberapa medan (areas) korteks. Apabila sebuah kata terdengar, sensasi dari telinga kanan akan diterima oleh korteks pendengaran utama di lobus temporal, tetapi kata ini tidak akan dipahami sebelum sensasi (signal) ini diproses di medan Wernicke yang sangat berdekatan dengan korteks pendengaran utama. Representasi kata yang diucapkan harus dikirimkan dan diteruskan dari medan Wernicke ke medan Broca, melalui fasikulus busur

(arcuate fasciculus), yaitu sebuah bundel serat syaraf yang menghubungkan

medan Wernicke dengan medan Broca. Di medan Broca, kata ini akan merangsang sebuah rancangan kata terperinci untuk artikulasi kata, dan rancangan kata ini akan disampaikan ke permukaan korteks motor. Korteks motor akan menggiatkan otot-otot bibir, lidah, laring dan sebagainya untuk mengeluarkan bunyi ujaran. Jadi, pada penderita afasia motorik subkortikal mengalami kerusakan pada medan Broca sehingga proses kompetensi linguistik tersebut juga terganggu.

(46)

60

prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks. Akan tetapi, mereka masih dapat berkomunikasi verbal dan memahami percakapan yang diarahkan peneliti kepada mereka dengan bantuan oleh terapis mereka.

Percakapan peneliti dengan Flv, Ag, dan Jln yang menjelaskan ciri-ciri hubungan gangguan afiks dengan afasia motorik subkortikal yang diderita ketiganya dapat dilihat sebagai berikut.

a. Berdasarkan data (1,3-8), (22-36), (34), dan (38-41), disimpulkan bahwa Flv menderita afasia motorik subkortikal yaitu terganggunya ekspresi verbal untuk mengutarakan isi pikiran melalui alat artikulator, tetapi masih memungkinkan dengan cara membeo. Sebagai salah satu contoh, dapat dilihat pada data (6) dalam percakapan antara peneliti dengan Flv di pembahasan sebelumnya. Pada percakapan data (6) diketahui bahwa Flv mengatakan berturut-turut Rumah sama tinggal kak Manda; seumah; seibu dengan singkat berdasarkan pertanyaan yang diberikan peneliti. Hal itu menunjukkan adanya gangguan berbahasa yang terjadi pada Flv. Flv dapat membentuk prefiks se-dengan membeo. Flv mengutarakan isi pikirannya se-dengan kalimat singkat dan monoton. Ciri-ciri penderita afasia motorik subkortikal yang dimiliki Flv berdasarkan hasil pengamatan peneliti antara lain:

1. Flv tidak dapat secara spontan untuk membentuk afiks dan harus dengan membeo. Hal itu pun, tidak semua afiks dapat dibentuk Flv dengan membeo.

(47)

61

diucapkan oleh Flv pun dominan monoton dan sering mengulang kata yang sama.

3. Flv berbicara tidak lancar dan jarang mengucapkan kata-kata dengan sempurna.

4. Flv mengalami kesulitan untuk memulai pembicaraan dengan orang lain. 5. Bahasa yang diucapkan Flv jarang sekali sesuai dengan tata bahasa yang

benar.

6. Pemahaman Flv untuk berkomunikasi dengan orang lain lumayan baik, dilihat dari pengertian bahasa Flv dengan dapat menjawab pertanyaan peneliti dan dapat merespon petunjuk yang diarahkan.

7. Kemampuan membaca dan menulis Flv masih sangat kurang.

8. Ekspresi visual Flv berjalan normal ditandai dengan adanya bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang dapat dilakukan oleh Flv.

(48)

62

1. Ag masih mengalami kesulitan dalam membentuk afiks yang sebagian masih dibentuknya dengan cara membeo. Dalam hal ini, Ag sudah mulai mengalami perkembangan dalam mengucapkan bahasa dengan benar dilihat dari sudah banyak kata-kata yang dapat dikuasai Ag dan diucapkannya dengan benar.

2. Ag sering membentuk kalimat yang singkat. Kalimat yang diucapkan oleh Ag pun dominan monoton dan sering mengulang kata yang sama. 3. Ag berbicara tidak lancar dan jarang mengucapkan kata-kata dengan

sempurna.

4. Bahasa yang diucapkan Ag jarang sekali sesuai dengan tata bahasa yang benar.

5. Pemahaman Ag untuk berkomunikasi dengan orang lain sudah baik, dilihat dari respon-respon yang diberikan Ag berdasarkan percakapan antara peneliti.

6. Kemampuan membaca dan menulis Ag masih belum bisa sama sekali. 7. Ekspresi visual Ag berjalan normal ditandai dengan adanya bahasa tubuh

dan ekspresi wajah yang dapat dilakukan oleh Ag dengan baik.

(49)

63

penderita afasia motorik subkortikal yang dimiliki Jln berdasarkan hasil pengamatan peneliti antara lain:

1. Jln masih mengalami kesulitan dalam membentuk afiks dan masih harus dengan cara membeo dari terapisnya untuk mengucapkan suatu kata. Jln sebenarnya memahami apa yang dikatakan orang lain kepadanya, tetapi Jln mengalami kesulitan untuk menyampaikan isi pikirannya dengan kata-kata.

2. Jln sering membentuk kalimat yang singkat. Kalimat yang dibentuk Jln hanya terdiri atas 5 kata dan bahkan kurang dari 5 kata. Kalimat yang diucapkan oleh Jln dominan monoton.

3. Jln berbicara tidak lancar, tersendat dan jarang mengucapkan kata-kata dengan sempurna.

4. Bahasa yang diucapkan Jln tidak sesuai dengan tata bahasa yang benar. 5. Pemahaman Jln untuk berkomunikasi dengan orang lain tidak terlalu

baik, dilihat dari respon-respon yang diberikan Jln berdasarkan percakapan antara peneliti.

6. Kemampuan membaca Jln belum bisa sama sekali dan dalam menulis masih belajar menulis huruf dan angka.

7. Ekspresi visual Jln berjalan normal ditandai dengan adanya bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang dapat dilakukan oleh Jln.

(50)

64

sehingga maknanya tidak dapat dipahami oleh orang lain. Contohnya, Jln mengucapkan mainan menjadi manain.

Berdasarkan analisis pembahasan terhadap data-data di atas menunjukkan bahwa kemampuan membentuk afiks bahasa Indonesia pada anak autisme berusia 8-13 tahun sangat jauh tertinggal daripada kemampuan membentuk afiks bahasa Indonesia pada anak normal berusia 8-13 tahun. Anak normal sudah dapat membentuk afiks dengan baik, lengkap, dan benar dalam bahasanya. Pembentukan prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks sudah dikuasai dengan sempurna oleh anak normal berusia 8-13 tahun, sedangkan belum dikuasai dengan sempurna pada anak autisme berusia 8-13 tahun. Berikut ini diuraikan dalam bentuk tabel beberapa pengujaran kata berafiks anak normal usia 5tahun dalam buku ECHA

Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia (Dardjowidjojo, 2000) dengan anak

autisme pada usia antara 8-13 tahun.

Anak Normal (Echa) Anak Autisme

1. Prefiks

a. Echa mengucapkan /membaca/ menjadi /membaca/, /menulis/ menjadi /menulis/. b. Echa mengucapkan /pemalu/ menjadi

/pemalu/.

c. Echa mengucapkan /seribu/ menjadi /seribu/.

1. Prefiks

(51)

65 d. Echa mengucapkan /kedua/ menjadi

/kedua/. 2. Sufiks

a. Echa mengucapkan /mainan/ menjadi /mainan/.

3. Infiks

a. Echa mengucapkan /gemuruh/ menjadi /gemuluh/, mengucapkan /gelembung/ menjadi /gelembung/.

4. Konfiks

a. Echa mengucapkan /menyayangi/ menjadi /meyayangi/ dan mengucapkan /mempelajari/ menjadi /mempelajali/.

b. Anak autisme mengucapkan /pemalu/ menjadi /pemalu/ dengan membeo. c. Anak autisme mengucapkan /seribu/

menjadi /seibu/. Ada penghilangan fonem r di tengah kata.

d. Anak autisme mengucapkan /kedua/ menjadi /kedua/, tetapi masih ada dengan membeo.

2. Sufiks

a. Anak autisme mengucapkan /mainan/ menjadi /manain/ dengan membeo (usia 8tahun), dan mengucapkan /motoran/ menjadi /motoran/ (usia 9tahun).

3. Infiks

a. Anak autisme mengucapkan /gemuruh/ menjadi /gemuluh/ dengan membeo dan mengucapkan /gelembung/ menjadi /gelembung/ (usia 12tahun).

4. Konfiks

a. Anak autisme mengucapkan

(52)

66 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh peneliti di lapangan, dapat ditarik simpulan bahwa anak autisme usia 8-13 tahun yaitu Flv, 2, dan 3 memiliki kemampuan yang berbeda dalam membentuk afiks. Semakin besar usia, semakin berkembang baik kemampuan pembentukan afiks sejalan dengan banyaknya bimbingan yang telah diberikan oleh terapis dan orang tua mereka. Pembentukan prefiks dan sufiks paling banyak dikuasai anak autisme daripada pembentukan infiks dan konfiks. Anak autisme usia tersebut mengalami gangguan berbahasa berupa afasia motorik subkortikal serta gangguan berbahasa seperti omission (penghilangan unsur bahasa), substitussion (pertukaran unsur bahasa), dan

addition (penambahan unsur bahasa) dalam pembentukan afiks.

(53)

67 5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi ilmu kebahasaan, khususnya untuk penelitian tentang gangguan pembentukan afiks dalam bahasa Indonesia yang berkaitan dengan bidang ilmu morfologi dan neurolinguistik, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang pembentukan afiks apa yang dapat dibentuk oleh anak autisme pada umumnya. Peneliti mengharapkan akan bertambahya para peneliti bahasa untuk melakukan penelitian atau pengkajian lainnya terhadap anak autisme.

(54)

8 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Afiks dalam Bahasa Indonesia

Putrayasa (2008: 5) mengatakan afiks adalah bentuk linguistik yang pada suatu kata merupakan unsur langsung dan bukan kata atau pokok kata, yang memiliki kemampuan melekat pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Ramlan (1987 : 56) mengatakan bahwa setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatika selalu melekat pada satuan lain.

Chaer (2008: 23) mengatakan morfem afiks adalah morfem yang tidak dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata, tetapi hanya menjadi unsur pembentuk dalam proses afiksasi. Dalam proses afiksasi sebuah afiks diimbuhkan pada bentuk dasar sehingga hasilnya menjadi sebuah kata.

Jadi, afiks ialah suatu bentuk terikat apabila ditambahkan pada suatu bentuk lain akan mengubah makna gramatikalnya dan membentuk kata baru. Afiks disebut juga imbuhan. Misalnya, pada kata menulis, mainan, dan sadarkan terdapat afiks men-, -an, dan –kan.

2.1.2 Gangguan Berbahasa

(55)

9

berbahasa (language disorder) dipakai sebagai istilah umum yang luas untuk melukiskan perilaku berbahasa tertentu yang abnormal, dan kekurangan perilaku lainnya yang dialami seorang anak yang berlainan atau menyimpang dari perilaku anak-anak yang seumur dengannya (Simanjuntak, 2009: 248).

Chaer (2009: 148) menjelaskan gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Gangguan akibat faktor medis adalah gangguan baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara, sedangkan gangguan akibat faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.

2.1.3 Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa Indonesia, sebagaimana tersirat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan bahasa negara sebagaimana dinyatakan dalam UUD RI 1945 Bab XV Pasal 36.

Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tulisan. Tuturan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang lazim dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia terutama dalam percakapan.

(56)

10

balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku tetapi juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya (Salliyanti, 2011: 5).

2.1.4 Autisme

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘auto’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autisme dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).

Kata autisme mengacu pada gangguan atau kelainan. Autisme pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner (Simanjuntak, 2009: 249). Ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri.

(57)

11

mereka memerlukan layanan pedidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.

Jadi, anak autisme merupakan penyandang autisme yang mengalami masalah gangguan perkembangan otak yang memengarungi banyak fungsi, terutama memengaruhi fungsi komunikasi verbalnya.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks (Putrayasa, 2008: 5). Proses pengafiksan dapat dibedakan menjadi (1) pembubuhan depan, dengan melibatkan prefiks atau awalan, (2) pembubuhan akhir, dengan melibatkan sufiks atau akhiran, (3) pembubuhan tengah, dengan melibatkan infiks atau sisipan, dan (4) pembubuhan terbelah dengan melibatkan konfiks (Cahyono, 1995: 110).

Menurut Verhaar (2001 : 107-108) afiks dalam proses afiksasi ada 4 macam, yaitu:

(58)

12

b. Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang disebut “ sufiksasi”. Contoh: sufiks {-an}, seperti dalam akhiran dan tuntutan, {-wan} dan {-wati} seperti dalam wartawan dan wartawati; {-ku}, {-mu} dan {-nya} seperti dalam mainanku, mainanmu dan mainannya.

c. Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam proses yang namanya “infiksasi”. Contoh: infiks {-el-} dalam kata telunjuk; dan {-em-} dalam kata gemetar.

d. Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks, yang diimbuhkan untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya, dalam proses yang dinamai “konfiksasi, atau “simulfiksasi”, atau “ambifiksasi”, atau “sirkumfiksasi”. Contoh: konfiks {men-kan}, {memper-kan}, {men-i}, {memper-i} seperti dalam menyembelihkan, mempermainkan, menduduki, dan memperingati; {ke-an}seperti dalam keindahan, ketinggian.

2.2.2 Neurolinguistik

Gambar

Tabel di atas menjelaskan bahwa kemampuan membentuk afiks pada anak normal

Referensi

Dokumen terkait

 Dapat menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi (TIK, multimedia, macromedia flash, dll) dengan pendekatan pendidikan lingkungan (alat peraga dari bahan bekas, dari

 Spectral features: In this study colour features and gray level co-occurrence matrix (GLCM) based texture features are considered to measure the pixel similarity

BERITA ACARA PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Pada hari ini ……..…………. Tanggal ….……….. Bulan …………...…..

Adding a high resolution visible light camera (VIS) with a high quality lens very close to the TIR camera, in the same stabilized rig, allows us to do accurate geoprocessing

Jadi oleh sebab timbulnya perubahan tahanan akibat adanya medan luar, maka sistem tersebut bisa diaplikasikan sebagai sensor magnet tanpa menggunakan arus seperti pada metoda

Informatika Fakultas Ilmu Komputer Universitas Kuningan setiap rencana kegiatannya ditetapkan dalam rapat anggota yang dilaksanakan oleh.. Himpunan Mahasiswa, dipimpin

Permasalahan yang dihadapi saat ini diantaranya adalah disparitas wilayah dalam penyediaan dan kebutuhan energi, pemanfaatan EBT belum dapat meningkat secara signifikan,

Siswa dengan keterampilan operasi hitung rendah yaitu siswa yang mendapat nilai tes perkalian dan pembagian kurang dari 70, dalam mengerjakan soal matematika