DAFTAR PUSTAKA
Ababil, Jufri Bulian. 2006. Menjaga Anak Indonesia. Medan: Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak.
Azhar, Fadhil & Iswan Kaputra. 2012. Pendampingan Pemberdayaan
Masyarakat. Medan: BITRA Indonesia.
Bungin, Burhan. 2013. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
_____________. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak). Bandung:
Penerbit Nuansa.
Johnson, Victoria. 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:
Research, Education, and Dialogue (REaD) Book.
Kolip, Usmman & Elly M. Setiadi. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Maliki, Zainuddin. 2012. Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gadjah
Moloeng, Lexy J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Narwoko, Dwi & Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Prinst, Darwin. 1997. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Purwoko, Herudjati & Hendrarti. 2008. Aneka Sifat Kekerasan. Jakarta: PT.
Indeks.
Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Rozaki, Abdur dkk. 2009. Mengembangkan Gampong Peduli Hak Anak.
Yogyakarta: IRE (Institute for Research and Empowerment).
Saripudin, Didin. 2010. Interpretasi Sosiologi Dalam Pendidikan. Bandung:
Karya Putra Darwati.
Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
Soemitro, Irma Setyowati.1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi
Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung:
PT. Refika Aditama
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Wirawan. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Zeitlin, Irving. 1995. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori
Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Zubaedi. 2013. Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Rujukan dari Internet:
http://www.google.com/search?q=jumlah+anak+jalanan+tahun+2011+di+kota+m
Diakses pada tanggal 12 November 2015, pukul 22.00 WIB.
Diakses pada tanggal 16 November, pukul 10.30 WIB.
Rujukan berupa Jurnal :
Itsnaini, Mursyid. 2010. Pemberdayaan Anak Jalanan Oleh Rumah Singgah
Kawah di Kelurahan Klitren, Gondokusuma, Yogyakarta. Fakultas Ushuluddin,
Studi Agama Dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga.
Suharto, Edi. 2006. Filosofi Dan Peran Advokasi Dalam Mendukung Program
Pemberdayaan Masyarakat.
Rujukan berupa Dokumen :
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Tahun 2002).
Riset atau Penelitian:
Kaji Ulang Situasi Anak Jalanan Kota Medan dan Pengembangan Program Aksi,
diterbitkan PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) bekerjasama dengan
KNH (Kinder Not Hilfe) Germany, 2011.
Rujukan berupa Skripsi atau Tesis:
Mutiara Ginting. 2014. Kehidupan Pekerja Anak Penyusun Batu Bata di Jalan
Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Tesis (S-2)
Tidak Diterbitkan. Medan. Program Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode
studi kasus (case study). Peneliti memilih penelitian studi kasus karena penelitian
studi kasus berusaha menggambarkan kehidupan dan tindakan-tindakan manusia
secara khusus pada lokasi tertentu dengan kasus tertentu. Studi kasus merupakan
penelitian yang penelaahannya kepada suatu kasus dilakukan secara intensif,
mendalam dan mendetail. Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok,
institusi atau masyarakat. Penelitian kualitatif sebagai pendekatan yang dapat
menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati (Moleong, 2006).
Penelitian kualitatif berorientasi pada upaya memahami fenomena secara
menyeluruh. Dengan demikian, penneliti akan memperoleh data atau informasi
yang diinginkan.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SKA-PKPA (Sanggar Kreativitas Anak –
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) yang berlokasi di Jl. TB. Simatupang Gg.
Wakaf II No. 3 (belakang Terminal Pinang Baris), Medan. Adapun penentuan
(purposive) karena SKA berfokus melayani anak jalanan dan didasarkan pada
pertimbangan bahwa SKA-PKPA ini masih dikunjungi dan mengunjungi anak
jalanan serta masih melakukan pendampingan kepada anak jalanan secara
terencana dan terprogram.
3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang akan dijadikan sebagai objek
kajian dalam penelitian. Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi yang diteliti
oleh objek penelitian (Sugiono, 2007:68). Adapun yang menjadi unit analisis
dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang mengalami tindak kekerasan.
3.3.2. Informan
Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian
sebagai perilaku, dan selain itu juga orang-orang yang menjadi sumber informasi
yang aktual dan dapat dipercaya kebenarannya tentang permasalahan penelitian
yang sedang diangkat. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini
adalah:
1. Koordinator atau Pembina SKA-PKPA.
2. Pekerja sosial atau relawan yang bekerja di SKA-PKPA.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam
penelitian karena tujuan utamanya adalah mendapatkan data. Dalam penelitian ini
teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
3.4.1. Pengumpulan Data Primer
Data primer merupakan data yang diambil dari sumber data pertama di
lapangan. Teknik pengumpulan data primer adalah peneliti melakukan kegiatan
langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti. Adapun teknik data dilakukan dengan cara :
a. Observasi. Observasi merupakan kemampuan seorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan
panca indera lainnya. Dalam hal ini peneliti dapat melihat secara langsung.
b. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2009:186).
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam. Wawancara
mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan informan, dimana percakapan di dalamnya bersifat terbuka dan
tidak baku.
3.4.2. Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder ialah data yang diperoleh dari sumber kedua yang
diharapkan dapat membantu memberi keterangan atau data pelengkap. Teknik
pengumpulan data sekunder ialah pengumpulan yang dilakukan melalui penelitian
studi kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung data yang diperoleh dari
buku-buku, hasil penelitian, makalah, artikel, jurnal, majalah, dan hasil laporan
yang relevan dengan objek yang peneliti teliti. Studi pustaka ini merupakan salah
satu hal atau langkah yang harus dilakukan peneliti, selain itu tujuan utama dari
studi pustaka ialah mencari referensi-referensi untuk membangun suatu kerangka
berpikir, sehingga dapat memperoleh pendalaman yang lebih luas.
3.5. Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan suatu tahap pengolahan data, setelah data
terkumpul dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya.
Maka akan dilakukan pengolahan, analisis, penafsiran data yang diperlukan dari
lapangan tadi berupa hasil observasi dan wawancara, kemudian peneliti akan
menyederhanakan dan mengedit agar lebih mudah untuk dipahami. Data yang
telah terkumpul, kemudian akan disusun lagi sedemikian rupa, kemudian data
lebih jelas memperoleh hasil yang lebih mendalam dan meluas sesuai teori yang
relevan. Pada akhirnya peneliti akan menyusun sebagai laporan akhir penelitian
ini. Proses ini sudah dilakukan sejak proposal penelitian dibuat, hingga akhir
penelitian akan menjadi sebuah laporan penelitian yang memiliki ciri kualitatif.
3.6. Jadwal Kegiatan
No Kegiatan
Bulan ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Observasi √
2 ACC judul Penelitian √
3 Penyusunan proposal penelitian √ √
4 Seminar proposal √
5 Revisi proposal √
6 Penelitian lapangan √ √ √
7 Pengumpulan dan pengolahan data √ √ √
8 Bimbingan/laporan akhir √ √ √
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Keadaan Geografis
Terminal Terpadu Pinang Baris merupakan terminal perhubungan darat
kedua terbesar yang ada di kota Medan setelah Terminal Terpadu Amplas. Jika
Terminal Terpadu Amplas sebagai pintu masuk kota Medan dari arah tenggara,
maka terminal Pinang Baris ini khusus menampung bus-bus antar provinsi dan
dalam provinsi yang masuk ke kota Medan dari arah barat seperti Aceh, kota
Pangkalan Brandan, Binjai, Stabat, Brastagi dan sekitarnya. Terminal ini terletak
di Kecamatan Medan Sunggal di kelurahan Pinang Baris. Terminal ini dibangun
diatas lahan dengan luas total 33.430 m². Di terminal Pinang Baris ini terdapat 48
unit loket bus, 34 unit bangunan kios, 8 unit toilet, tempat parkiran yang mampu
menampung 500 unit angkutan, 400 unit bus antar kota, dan bangunan utama
(induk) yang berfungsi sebagai kantor, ruang tunggu dan telepon umum.
Kondisi ekonomi masyarakat yang tinggal di terminal Pinang Baris lebih
banyak masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah dan sering sekali disebut
sebagai Komunitas Miskin Kota (KMK). Kawasan terminal Pinang Baris
memiliki status yang sama dengan terminal Amplas sebagai lokasi bekerja bagi
anak-anak jalanan yang memanfaatkan terminal Pinang Baris sebagai tempat mereka
mencari uang. Anak-anak yang bekerja di terminal Pinang Baris ini kebanyakan
bekerja sebagai tukang sapu angkot ataupun bus. Namun ada juga anak-anak yang
bekerja sebagai pengamen, penjual asongan, kernek angkot atau bus, dan juga
pengantar air minum (galon).
4.1.2. Sejarah Berdirinya SKA-PKPA
Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) didirikan pada
tanggal 21 Oktober 1996 di Medan oleh sejumlah aktivis LSM, dosen dan
mahasiswa untuk menyikapi realita anak dan perempuaan pada saat itu. Melihat
realita bahwa masih banyak anak yang dilanggar dan terabaikan haknya, dan
menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan
salah, diskriminasi, bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak
menunjukkan kurang memadainya perlindungan terhadap anak, padahal anak
belum cukup mampu melindungi dirinya sendiri. Anak membutuhkan
perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat dan pemerintah.
Lembaga ini dicita-citakan bisa independen, memegang teguh prinsip
pertanggungjawaban publik, mengedepankan peluang dan kesempatan partisipasi
pada anak dan perempuan, menghargai dan memihak prinsip dasar hak anak serta
PKPA memiliki visi dan misi. Visi PKPA adalah terwujudnya kepentingan
terbaik bagi anak, sedangkan misinya adalah advokasi kebijakan yang diperlukan
untuk meningkatkan kesejahteraan danperlindungan anak serta menegakkan
hak-hak anak. Yayasan PKPA melaksanakan berbagai program pemenuhan dan
perlindungan hak-hak anak dan perempuan di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh,
serta program emergency di berbagai provinsi Indonesia. Adapun
program-program reguler yang dilakukan yaitu advokasi litigasi dan non litigasi,
rehabilitasi dan reintegrasi, pendidikan informal dan non formal, pelatihan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap, layanan kesehatan,
penelitian, publikasi, pengembangan partisipasi anak, kesiapsiagaan bencana serta
program tanggap darurat dalam situasi bencana. Guna implementasi program
tersebut, PKPA membentuk Divisi dan Unit diantaranya Divisi Informasi dan
Dokumentasi (INDOK), Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Divisi
Pendidikan dan Latihan (Diklat), Unit Pusat Pengaduan Anak (PUSPA), Pusat
Informasi Kesehatan Reproduksi dan Gender (PIKIR), dan Sanggar Kreativitas
Anak (SKA). Dari enam divisi dan unit yang telah dibentuk, Sanggar Kreativitas
Anak (SKA) adalah unit layanan yang menangani anak-anak jalanan.
Unit layanan Sanggar Kreativitas Anak (SKA) dibentuk pada tahun 1998
di Pinang Baris, Medan. Berawal dari PKPA menggelar pekan anak jalanan,
bermain, makan-makan dan belajar. Kegiatan inilah yang menjadi awal
pembentukan rumah singgah. SKA pada awalnya adalah rumah singgah yang
fokus pendampingan anak jalanan yang berada di terminal Pinang Baris. Namun
pada tahun 1999 nama rumah singgah diganti menjadi Sanggar Kretivitas Anak
(SKA). Di sanggar inilah mulai diadakan pendidikan informal dan perpustakaan
mini untuk anak-anak jalanan. Sanggar ini secara khusus mendampingi dan
mengembangkan program pencegahan dan penggalian bakat-bakat yang dimiliki
oleh anak jalanan.
Beberapa program pencegahan dan pengembangan bakat yang dilakukan
oleh SKA-PKPA adalah:
a) Sekolah Sepak Bola (SSB) Scorpions.
Sekolah sepak bola terbentuk karena melihat mahalnya biaya yang harus
dibayar kepada pihak pengelola sekolah sepak bola yang mengakibatkan banyak
anak jalanan yang merasa untuk dapat bersekolah sepak bola hanyalah sebuah
mimpi (angan-angan). Sekolah sepak bola terbentuk berawal dari kerjasama
dengan sekolah bola Sinar Sakti. Anak jalanan dampingan SKA diterima sebagai
siswa di sekolah tersebut. Setelah melihat kemampuan anak-anak jalanan yang
bermain sepak bola sudah bagus, maka diputuskanlah untuk mendirikan sekolah
sepak bola sendiri.
Medan. Untuk bulan dan tanggal pastinya terbentuk abang gak ingat dek karena memang udah cukup lama dan abang juga masih setahun lebih kerja disini. SSB ini sebenarnya ada bukan saja untuk sekedar hobby anak-anak laki-laki yang tidak tersalurkan, tapi cara untuk anak-anak supaya memiliki kemampuan atau skill untuk masa depannya yang lebih baik (Hery, staff SKA)”.
Nama Scorpions diambil dari nama binatang yang berbisa. Nama ini
menjadi kekuatan bagi anak-anak untuk dapat mematikan lawannya
dipertandingan. Selama SSB Scorpions berdiri, telah banyak melakukan berbagai
perlombaan baik bersifat persahabatan, kompetisi lokal ataupun resmi dari
pemerintah. SSB Scorpions pernah menjadi juara I di Turnamen Sekolah Sepak
Bola Anak se-SUMUT pada tahun 2006. SSB Scorpions saat ini mengalami
kemajuan di dalam beberapa teknik bermain bola dan berencana akan mengikuti
pertandingan di bulan Oktober. Walaupun saat ini, Sekolah Sepak Bola belum
memiliki lapangan sendiri dan masih bekerjasama dengan beberapa lembaga yang
lain ataupun pribadi.
“Untuk Sepak Bola kita disini dilatih dan ditanggungjawabi sama bang Hery aja dek. Gak ada yang lain, karena hanya bang Hery satu-satunya pekerja laki-laki di SKA. Latihannya itu gak setiap hari dek, dalam seminggu 1-2 kali di lapangan dekat kampung lalang, atau terkadang di daerah binjai. Cuman sekarang yang jadi masalahnya, banyak anak jalanan yang awalnya mau ikut, ternyata gak datang-datang dan sulit dicari. Padahal mereka udah tau kalau di sanggar ada sekolah sepak bola gratis. Anak jalanan ini berpikir lebih baik mereka cari uang daripada harus ikut-ikut main bola (Hery, staff SKA).”
Awal terbentuknya studio musik karena melihat banyaknya anak jalanan
(laki-laki dan perempuan) yang menjadi pengamen sebagai pilihannya yang utama
untuk mendapatkan uang dari setiap orang pengguna jalan. Walapun sebenarnya,
tidak semua anak jalanan yang menjadi pengamen memiliki suara ataupun
permainan musik yang baik. Tetapi dari anak jalanan tersebut ada yang memiliki
kemampuan bermain musik dan suara yang bagus, dan bisa menjadi kemampuan
untuk masa depan yang lebih baik. Melihat potensi anak-anak ini, SKA pada
akhirnya menyediakan ruangan khusus (studio musik) bagi anak jalanan yang
memiliki bakat dalam musik.
“Kalau untuk studio musik, lebih banyak anak-anak yang laki-laki datang untuk latihan di studio. Beberapa anak belajar main drum sendiri. Studio musik ini ada untuk menampung dan mengembangkan bakat mereka yang memang senang dengan musik. Dilatih supaya punya modal untuk lebih baik (Lia, Koordinator SKA).”
Saat ini studio musik di SKA sudah jarang untuk digunakan dikarenakan
jarangnya anak yang datang. Pernah juga terjadi, ketika anak-anak diizinkan
latihan, anak-anak tidak latihan di dalam ruangan, tetapi menghirup lem di dalam
studio. Pada akhirnya, diputuskanlah untuk tidak membuka studio musik secara
bebas, hanya ketika akan latihan saja ruangan akan dibuka.
c) Sanggar Tari dan Teater.
Kegiatan sanggar tari dan teater dilakukan khusus untuk anak-anak yang
pada sore hari di SKA, sedangkan untuk teater latihan dilakukan ketika ada
event-event terntu . Sanggar tari dan teater hanyalah salah satu cara untuk menyalurkan
kemampuan anak-anak khususnya perempuan untuk memberikan mereka modal
untuk masa depan mereka. Terkait dengan sanggar tari, anak-anak perempuan
yang mengikuti sanggar akan dilatih untuk merias wajah sendiri ketika akan
tampil di dalam perlombaan maupun pertunjukkan.
“Ada beberapa program yang kami mau usulkan ditahun ini dek terkait sanggar tari, supaya anak-anak yang ikut di sanggar lebih baik dan maju. Rencananya kami mau mengusulkan untuk les merias wajah (make up) biar bisa dandan wajahnya sendiri saat mau manggung. Tapi ada batas umurnya dek. Kemungkinan besar yang akan diajari dari usia 12 tahun ke atas. Kita juga rencananya mau buat uji panggung sebelum mereka tampil, atau minimal tampil dua minggu sekali di panggung kecil untuk melatih percaya diri mereka. Penontonnya anak-anak jalanan aja dan dilakukan di sanggar aja (Lia, Koordinator SKA).”
d) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) didirikan awal tahun 2007. Tujuan
dibentuknya sekolah non-formal PAUD di SKA untuk melakukan pencegahan
perkembangan anak jalanan sejak usia dini. Anak-anak diharapkan bisa mengenal
pendidikan sejak kecil, bukan malah sebaliknya mengenal dunia jalanan seperti
yang dialami oleh beberapa anak dari keluarga yang hidup di jalanan maupun
tinggal di jalanan. PAUD juga ada untuk merealisasikan hak anak atas pendidikan
terutama anak-anak yang tidak mampu membayar atau membiayai sekolah
“PAUD sebenarnya hanyalah cara dari sekian banyak cara untuk mencegah anak-anak menjadi anak jalanan/turun ke jalanan. Rata-rata yang sekolah di PAUD ini anak-anak yang memang rentan menjadi anak jalanan. Anak-anak itu ada yang kakak atau abangnya yang anak jalanan juga. Anak-anak ini mau datang pagi-pagi ke sini dengan kondisi belum mandi dan masih kumal. Tapi walaupun gitu, kami senang karena mereka semangat untuk datang bermain dan belajar disini. Gak bisa dipungkiri juga dek, mengurus dan mengajari mereka kita harus lebih ekstra dibandingkan mengajar anak biasa. Karena mereka memang sudah hidup di lingkungan yang tidak sehat, yang mungkin saja mempengaruhnya setelah besar nanti. Tapi kita tetap harus berusaha supaya meminimalisir anak-anak yang turun ke jalanan ini (Lia, Koordinator SKA)”.
4.2. Profil Informan
Dalam penelitian ini ada 8 (delapan) orang yang menjadi informan
penelitian, diantaranya 5 (lima) orang anak jalanan yang pernah mengalami
kekerasan dan 3 (tiga) orang yang bekerja SKA-PKPA. Berikut ini adalah profil
seluruh informan penelitian, yaitu:
4.2.1. Anak Jalanan
4.2.1.1. JB. Sagala (Laki-laki - 15)
JB. Sagala merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. JB berumur 15
tahun pada saat ini. JB bersuku Batak Toba dan beragam Kristen. Ia berasal dari
Tebing Tinggi, namun saat ini ia sudah bertempat tinggal di daerah Terminal
Pinang Baris. JB bekerja sebagai tukang sapu angkot di terminal Pinang Baris.
umum 64. JB saat ini sudah tidak bersekolah lagi, karena keinginan diri sendiri
dan pengaruh dari teman-temannya. JB hanya menempuh pendidikan sampai
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja. JB lahir dari kedua orangtua yang
sudah berpisah. Ayah JB adalah seorang dokter di daerah Tebing Tinggi. Ayah JB
sudah menikah sebanyak 7 (tujuh) kali dan Ibu JB adalah wanita ke-enam yang
dinikahi oleh ayahnya.
JB memiliki 3 (tiga) saudara tiri. Ibu dan ayah JB bercerai tanpa
perceraian yang resmi. Ibu JB memilih meninggalkan ayah JB dan memilih
pulang ke rumah orang tua ibunya di Padang. Ibunya membawa kakak JB ke
Padang, sedangkan JB ditinggalkan untuk tinggal bersama ayahnya di Tebing
Tinggi. Namun, ketika ayah JB kembali menikah lagi, JB seperti diabaikan atau
diasingkan dan akhirnya ia pergi untuk mengikuti kakaknya dan istri pertama
ayahnya tinggal di Medan, tepatnya di Terminal Pinang Baris. Ayah JB baru saja
meninggal satu bulan yang lalu karena sakit, namun JB tidak datang melihat
pemakaman ayahnya. Sedangkan hubungan JB dengan ibunya sudah tidak ada
komunikasi lagi.
Ibu JB sulit untuk dihubungi karena sudah tinggal di Padang. JB mengenal
kehidupan jalanan dari lingkungan di sekitarnya. JB memilih untuk bekerja
sebagai tukang kernek angkot karena mudah mendapatkan uang. Kakak dan ibu
walaupun sudah dilarang dan diancam oleh kakak dan ibunya, JB pernah
sembunyi-sembunyi menghirum lem dan menggunakan sabu-sabu karena diajak
oleh supir angkot. Kakak dan ibunya tau kalau JB hanya menggunakan rokok saja.
4.2.1.2. S. Sitorus (Laki-laki - 16)
S. Sitorus merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ia baru saja
bekerja sebagai tukang sapu angkot di terminal Pinang Baris. Sebelum menjadi
tukang sapu angkot, S bekerja sebagai pengamen di jalanan. Ketika mengamen di
jalan, S bersama teman-temannya pernah terkena razia oleh Satpol PP. Ia di
tangkap dan dibawak ke kantor. Saat di kantor, S langsung di pukuli dan di hukum
berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan memegang telinga. S. Sitorus beragama
Kristen dan bersuku Batak Toba. Ia sudah sejak lahir tinggal di daerah terminal
Pinang Baris. S. Sitorus lahir dari keluarga yang sudah bercerai. Ayah S adalah
seorang preman yang sudah sering masuk penjara karena kasus pembunuhan dan
ayahnya suka memukulnya karena memiliki emosi yang tinggi. S pernah dipukuli
oleh ayahnya tanpa sebab dengan menggunakan tali pinggang sampai seluruh
badan S berdarah, karena takut ayahnya akan memukulinya lebih parah lagi, S
memilih kabur dan tidak tinggal beberapa hari di rumah.
Saat ini S tinggal bersama dengan ibunya dan ayah tirinya di daerah
terminal Pinang Baris. S sudah tidak bersekolah lagi. Ia hanya menempuh
sekolah karena memiliki absen yang banyak. Saat ini bukan hanya S saja yang
bekerja dijalanan dan tidak bersekolah lagi, tetapi adik kandungnya juga tidak
bersekolah dan memilih untuk bekerja di jalanan bersama dengannya. Ibu S tidak
pernah melarangnya untuk melakukan apapun yang ia inginkan.
4.2.1.3. RI. Manik (Laki-laki - 15)
RI. Manik adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia sudah lama tinggal
di daerah terminal Pinang Baris. RI bekerja sebagai tukang sapu angkot di
terminal Pinang Baris. RI tinggal bersama kedua orangtuanya. RI beragama Islam
dan bersuku Batak dan Padang. Ibu RI bekerja sebagai tukang sapu angkot,
sedangkan ayahnya saat ini bekerja sebagai kuli bangunan. RI sudah tidak
bersekolah lagi saat ini. Ia hanya menempuh pendidikan sampai kelas 5 Sekolah
Dasar (SD). RI tidak lagi bersekolah karena tidak adanya biaya untuk membiayai
pendidikannya.
Ayah RI adalah seseorang yang menggunakan sabu-sabu. Ayahnya tidak
pernah memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Uang yang didapatkan ayah RI digunakan untuk membeli sabu-sabu dari
temannya. RI dan ayahnya tidak memiliki hubungan yang harmonis. RI hanya
akan berbicara kepada ayahnya jika ia rasa perlu untuk berbicara. RI bekerja
sebagai tukang sapu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya setiap hari. RI
Jika RI tidak membawakan nasi untuk ayahnya, maka ayah RI akan memukul RI.
Ia sering di pukul karena tidak membawa nasi dari warung neneknya ketika
pulang ke rumah.
4.2.1.4. AP (Perempuan - 13)
AP adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ia tinggal di daerah terminal
Pinang Baris bersama keluarganya. Ibu AP bekerja sebagai penyetrika pakaiaan,
sedangkan Ayahnya bekerja sebagai supir angkot. Ayah AP tidak setiap hari pergi
bekerja. Ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Ayah dan ibu AP
sering bertengkar karena masalah sifat ayahnya yang malas bekerja. Abang AP
sudah tidak bersekolah lagi dan bekerja sebagai tukang sapu angkot.
AP saat ini masih bersekolah dan duduk di kelas 6 (enam) SD. Abang AP
sudah tidak bersekolah lagi karena tidak adanya biaya dan bekerja sebagai tukang
sapu angkot di terminal Pinang Baris. AP tidak memiliki banyak teman di
lingkungan rumah maupun di sekolah. AP sering sekali di ejek oleh
teman-temannya sebagai perempuan yang tidak benar. AP di ejek karena AP pernah
mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh saudaranya sendiri (paman).
4.2.1.5. YL (Perempuan – 18)
YL adalah anak pertama dari empat (4) bersaudara. YL tinggal di sekitar
daerah terminal Pinang Baris. Ibu YL bekerja sebagai tukang setrika dan cuci
baju, sedangkan ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan. YL sangat takut
dengan ayahnya karena ayahnya sering memarahinya dan memukulnya jika ia
pulang malam. YL pernah kabur dari rumah karena dipukul oleh ayahnya. YL
pernah mengalami kekerasan seksual (pemerkosaan) pada saat berumur 15 tahun.
YL diperkosa oleh seorang oknum aparat pemerintahan dan dibawak kabur ke
daerah Pemantang Siantar selama 4 (empat) bulan. Sejak kejadian itu, YL tidak
lagi melanjutkan pendidikannya sampai sekarang. Saat ini YL sudah memiliki
seorang anak laki-laki yang berumur ± 3 (tiga) tahun.
4.2.2. Pekerja atau Staff SKA-PKPA
4.2.2.1. Camelia Nasution (Koordinator SKA-PKPA)
Camelia atau sering dipanggil kak Lia merupakan koordinator atau
pembina di SKA-PKPA. Kak Lia sudah lama bekerja di SKA. Ia bertugas sebagai
pengkoordinir semua pekerja staff project/staff PKPA, membuat rencana kerja
bulanan ataupun tahunan, serta sebagai advokasi akses layanan kesehatan bagi
anak jalanan dan advokasi kebijakan kota Medan menuju kota layak anak. Kak
Lia dapat juga dikatakan sebagai asisten PKPA khusus di unit SKA. Kak Lia
4.2.2.2. Dewita Pebriani (Staff SKA-PKPA)
Dewita Pebriana atau sering dipanggil kak Dewi merupakan staff
PKPA bagian penjangkauan anak. Kak Dewi sudah satu tahun bekerja di
SKA-PKPA. Ia khusus melakukan kunjungan dan pendataan anak jalanan di lokasi anak
bekerja ataupun tinggal, melakukan kunjungan kepada keluarga anak-anak untuk
konseling bahkan penyadaran, dan juga tempat pencarian dan penyelamatan anak
dampingan yang hilang kontak, serta perlindungan awal anak korban kekerasan.
4.2.2.3. Sumaryani (Staff SKA-PKPA)
Sumaryani atau sering dipanggil kak Sumi adalah staff SKA-PKPA bagian
pengembangan ekonomi yang bertugas untuk membuat dan memastikan profil
ekonomi keluarga anak jalanan, bahkan mencari peluang alternatif
usaha/pekerjaan anak jalanan remaja yang telah mendapatkan pendidikan
vicational training. Kak Sumi sudah bekerja di PKPA selama 6 tahun, namun
bekerja di SKA-PKPA masih satu tahun. Kak Sumi merupakan staff pindahan dari
4.3. Karakteristik Anak Jalanan di Terminal Terpadu Pinang Baris
Anak jalanan yang berada di terminal Pinang Baris yang masih berstatus
sekolah masih cukup banyak yaitu 48,2%, sedangkan yang sudah putus sekolah
yaitu 49,8%, dan yang sama sekali tidak pernah sekolah ialah 2,3%. Dalam
kenyataannya rata-rata anak jalanan hanya mampu menamatkan pendidikannya
sampai di jenjang Sekolah Dasar (SD), bahkan tidak sedikit jumlah anak jalanan
yang berhenti sekolah sebelum tamat SD. Jumlah anak jalanan yang ada di
terminal pinang baris sendiri sebanyak 118 anak jalanan. Anak jalanan di daerah
ini memiliki pekerjaan utama sebagai tukang sapu angkot atau bus kota. Anak
jalanan yang ada di terminal Pinang Baris ini memiliki beberapa sifat atau
karakteristik yang terlihat yaitu memandang orang lain yang tidak hidup di
jalanan seperti mereka sebagai orang-orang yang dapat dimintai uang, mandiri,
terlihat kotor di dalam berpakaian dan tidak memiliki ketakutan untuk berbicara
kepada siapapun selama mereka di jalanan.
4.3.1. Status Anak Jalanan di Terminal Pinang Baris
Dari 5 (lima) anak jalanan yang menjadi informan, 3 (tiga) diantaranya
adalah anak yang memiliki kategori anak yang bekerja di jalanan (children of the
street). Mereka masih mempertahankan hubungan dengan orang tua ataupun
keluarga, karena sebagian besar anak-anak ini masih tinggal bersama orang tua
untuk memberikan uang hasil kerja mereka kepada ibu ataupun ayahnya.
Walaupun tidak semua uang hasil bekerja diserahkan ke ayah atau ibunya. Salah
seorang anak jalanan mengaku sangat menyayangi ibunya. Inilah hasil wawancara
dari anak jalanan tersebut.
“Aku sayang kali sama mamakku kak. Cuman dia yang peduli sama ku. Keg tadi ku bilang kak, walaupun bapak kerja tapi uangnya kan dipakek dia untuk nyabu. Udah pernah lagi di depanku bapak keg gitu. Gara-gara itulah mamak jadi harus kerja tukang sapu angkot. Aku pulang ke rumah karena mamak ajanya kak. Kasihan mamak gak ada yang bantuin, jadi tiap hari ku kasihlah uang untuk beli beras. Walaupun mamak gak minta, tapi aku senang ngasihnya. Sebagian lagi uangnya ku buat main warnet kak (RI, 15)”.
Sedangkan 2 (dua) anak jalanan lainnya merupakan kategori anak yang
rentan menjadi anak jalanan (vurnerable to be street children). Anak-anak ini
masih tinggal dan berhubungan dengan keluarganya dan salah satu dari mereka
masih bersekolah. Mereka berdua adalah anak-anak yang memang hidup di sekitar
ataupun keluarga yang bekerja di jalanan dan sudah putus sekolah. Seperti yang di
sampaikan oleh salah satu informan pada saat wawancara.
masih pengen kak terus sekolah, tapi ya gitu. Gak tau kak gimana ke depannya.
Bukan hanya AP yang mengalami pengaruh dari lingkungan atau keluarga
yang bekerja di jalanan. Seorang informan juga mengaku hampir terpengaruh
dengan kehidupan di sekitar terminal Pinang Baris.
“Kalau aku kan kak, hanya tamatan SMP-nya kak. Dulu waktu masih 15 tahun, hanya sebentarnya aku ngerasain jadi anak SMA gitu. Sekolah sampe kelas satu kak, itupun cuman satu semester aja kak. Teman-temanku banyak di terminal ini kak. Kami mau pulang itu keseringan jam-jam 9 atau 10 malam kak, main-main dulu sama mereka. Bapak marah sih memang, tapi ya gitu kak, akunya terus keg gitu. Lagian sepulang sekolahnya aku keg gitu kak. Apalagi mamak dan bapak kan kerja. Manalah mereka tau-tau itu kak. Cuman ya keg gitu, akhirnya gara-gara keseringan, jadi bapak bukan hanya marahin aja tapi mukul. Kar’na takut dipukul bapak lagi, aku kabur dari rumah ke tempat kawan. Eh, kar’na kabur itu aku malah jadi keg gini kak. Nyesal juga sih kak pernah mau bergaul dengan mereka., kalau tau bakal keg gini (YL, 18)”.
4.3.2. Faktor Penyebab Anak di Jalanan
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan anak-anak turun ke jalanan.
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah masalah kemiskinan.
Berdasarkan data yang di dapat dari SKA-PKPA diketahui bahwa yang
menyebabkan anak turun ke jalanan adalah karena permasalah ekonomi. Kondisi
keluarga anak jalanan yang digolongkan dalam keadaan miskin, memaksa anak
semua anak jalanan di paksa untuk secara langsung untuk pergi kejalanan, tetapi
anak-anak melihat bahwa orang tua mereka tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan keluarga mereka. Jumlah beban anggota keluarga yang lebih
tinggi dibandingkan pendapatan orangtua, dimana mayoritas orang tua anak
jalanan bekerja di sektor formal seperti supir angkot, pemulung, tukang bangunan
dan sebagainya.
Keluarga juga tidak mampu mengelola keuangan untuk melihat prioritas
pengeluaran. Misalnya biaya rokok dan membeli sabu-sabu menjadi kebutuhan
utama yang rutin untuk masuk ke dalam daftar pengeluaran dan pada akhirnya
mengabaikan atau mengorbankan biaya pendidikan dan kebutuhan anak yang lain.
Berikut adalah hasil wawancara dari anak jalanan yang mengaku hidup di jalanan
karena kondisi keluarga yang sudah tidak mampu lagi.
“Aku ke jalanan kak gaknya disuruh mamak atau ayah. Tapi memang aku kasihan lihat mamak kerja sendiri jadi tukang sapu dan itupun uangnya gak cukup untuk makan kami kak. Kalau ayah memang kerja kak, tapi uangnya untuk beli sabu-sabu kak. Gak ada ayah kasih uang ke mamak. Malah mamak sering dimarahi kak. Makanya aku milih kerjalah jadi tukang sapu kak. Mamak juga gak pernah nanya atau apapunlah kak tentang aku milih jadi keg gini (RI, 15)”.
Kemiskinan bukanlah faktor yang berdiri sendiri sebagai penyebab anak
turun ke jalanan. Baik buruknya keluarga memberikan dampak yang besar
keluarga selalu dipenuhi dengan konflik yang serius sehingga dapat menyebabkan
keretakkan keluarga yang pada akhirnya terjadinya perceraian, maka sering sekali
terjadi banyak kesulitan yang akan terjadi pada anggota keluarga tersebut,
terkhusus anak-anak. Bukan itu saja, dimana peran orang tua juga tidak berjalan
sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin
keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi
keluarganya. Keadaan ini membuat anak merasa ditelantarkan dan adanya
ketidakpastian. Orang tua yang bercerai/berpisah mengakibatkan anak menjadi
tertekan dan merasa terluka. Berikut adalah hasil wawancara dari anak jalanan
yang orang tuanya telah berpisah.
“Bapak dan mamak udah bercerai waktu aku kecil kak. Aku lupalah kapan pastinya. Tapi memang, mamak udah gak tahan lagi sama bapak karena bapak suka kali nikah kak. Udah 7 kali dia nikah. Mamak orang ke 6 yang dinikahi bapak. Karena bapak nikah lagi, mamak gak terima kak. Jadi mamak milih pigi bawak kakakku ke Padang dan aku di tinggal sama bapak. Tapi waktu bapak udah nikah, aku gak nyaman kak di rumah. Bapak udah punya anak lagi dari mamak tiri, aku keg gak dipedulikan lagi sampe dibiarkanlah aku pigi ke Medan kak nyusul kakak. Itupun gak ada di carinya. Lebih baguslah aku disini kak walaupun gak sekolah dan kerja di terminal daripada harus balek ke sana lagi. Percuma juga kak. Mamak ataupun bapak mana pernah nyariin aku. Mamak aja ku telepon, nomernya gak nyambung lagi. Terakhir ku dengar, bapak katanya udah meninggal kak. Aku belum tau kak mau kesana atau enggak (JB, 15)”.
Lingkungan juga memiliki pengaruh yang cukup besar yang dapat
mempengaruhi perkembangan anak, terlebih jika orang tua membiarkan
anak-anaknya meninggalkan sekolah dan menikmati kehidupan di jalanan. Lingkungan
terminal Pinang Baris yang banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki
perilaku negatif yang dapat membuat anak terpengaruh. Berikut adalah hasil
wawancara dari anak jalanan yang pergi ke jalanan karena pengaruh dari teman.
“Aku udah lama kak di jalanan ini. Sebenarnya mamak gak adanya nyuruh aku ke jalanan gitu kak. Tapi karena ku lihatnya kawanku ngamen dan sapu-sapu angkot kak. Diajaklah aku kak ikut kerja, daripada aku dirumah dan gak ada kerjaan. Aku pun udah gak sekolah lagi kak, jadi kerjalah aku kak. Waktu mamak tau aku kerja keg gitu, biasa aja sih kak reaksi mamak. Malah adik ku sekarang juga udah gak sekolah dan kerja keg aku juga. Kalau anak-anak di terminal ini kak hampir semuanya anak jalanan. Apalagi keluarganya pada bisa dibilang miskinlah kak. Gak bisa bayar uang sekolah. Jadi mamak pun keg mamak-mamak yang lain. Gak ngelarang gitu (S, 16)”.
4.4. Pelaku dan Bentuk Kekerasan Pada Anak Jalanan
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan
sekolah tetapi juga terjadi di lingkungan sosial terutama bagi anak-anak jalanan.
Anak-anak jalanan harus terus bertahan hidup dengan kemampuan dan caranya
sendiri karena di jalanan anak-anak menghadapi beragam konflik dan ancaman
kekerasan. Tindak kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun. Mulai dari keluarga
anak jalanan itu sendiri, sesama anak jalanan, supir di terminal, aparat
Dalam penelitian UNICEF pada tahun 2005 yang mengenai kekerasan
terhadap anak di mata anak Indonesia, hasil konsultasi anak tentang kekerasan
terhadap anak di 18 Provinsi dan Nasional menyebutkan bahwa pelaku tindak
kekerasan terhadap anak antara lain terdiri dari keluarga anak, guru di sekolah,
aparat pemerintahan, majikan/mandor di tempat anak bekerja. Seperti yang
dinyatakan oleh salah seorang anak jalanan yang pernah terkena razia aparat
Satpol PP. Ketika melakukan razia, Satpol PP sering menggunakan kekerasan.
“Aku pernah kak di pukuli dan di tendangi sama Satpol PP. Waktu itu aku lagi ngamen, terus mereka datang langsung ngejar karena aku kabur dan waktu tertangkap mereka langsung tarik bajuku dan pukuli aku di jalan itu baru dinaikkan aku ke mobilnya. Waktu di kantor, aku langsung di hukum lagi di suruh berdiri dengan satu kaki, terus tanganku dua-duanya megang telinga kak. Aku di suruh berdiri keg gitu lama kali kak. Kalau goyang dikit atau kakiku turun langsung di pukuli kak. Sakit sih badanku, lebam-lebamlah kak. Cuman gak berani aku bilang sama mamak. Ku bilang aja aku jatuh, padahal udah ditendangi aku semalaman. Aku juga gak berani lagi jadi pengamen kak, karena kata bapak itu kalau mereka tangkap aku lagi, bakal lebih parah lagi dibuatnya (S, 16)”.
Orangtua yang seharusnya memiliki peran yang paling besar untuk
melindungi keluarganya, malah orangtua kerap sekali menjadi pelaku kekerasan
terhadap anak jalanan. Seperti yang dialami oleh informan yang sering dipukuli
oleh ayahnya di rumah.
kak. Gak tertebak emosinya kapan. Tapi aku selalu di pukul bapak kalau aku gak bawak nasi yang keg ku bilang tadi kak. Jadi nenek itukan punya warung nasi, jadi selalulah aku di suruh minta nasi untuk bapak padahal bapak gak ada ngasih uang untuk beli. Manalah mau nenek ngasih gratis terus kak, apalagi nenek tau bapak gak ngasih uang untuk kebutuhan kami. Aku paling gak suka kak di suruh keg gitu, karena setiap aku ke sana pasti kenak marahi nenek aku kak, dibentak-bentaknya. Terus pulanglah aku gak bawak nasi, dipukuli bapaklah aku karena di bilang gitu aja gak bisa. Sampe pernah aku di pukul pakek tali pinggang kak. Sampe pernah sekali aku gak pulang ke rumah kak karena malas gak suka lihat bapak, tapi kasihan mamak. Jadi pulanglah aku kak dan sampe sekarang kalau ketemu bapak di rumah gak ku cakapi kalau itu gak perlu kak (RI, 15)”.
Hal yang sama juga dialami oleh anak jalanan yang lain. Berikut hasil
wawancaranya.
Berbeda dengan RI dan S, seorang anak jalanan merasa sudah diabaikan
atau ditelantarkan oleh orangtuanya. Orangtua merupakan seseorang yang
harusnya bertanggung jawab dan memberikan perhatian yang layak terhadap
proses tumbuh-kembang anak.
“Aku udah gak pernah lagi komunikasi sama bapak, mamak ataupun kakak kandungku kak. Mereka itu udah punya hidup masing-masing kak. Buktinya aja aku gak pernah dihubungi ataupun dicariin. Sejak bapak nikah lagi itulah kak, aku udah mulai diabaikan bapak. Malah waktu aku milih pergi dari rumah, bapak gak nyariin sampe kakakku yang sekarang tempat aku tinggal, dia yang ngasih tau bapak aku di medan. Percuma dia dokter kak, buktinya itu gak menjamin hidupku kan? Lagian mungkin pun sekarang mereka udang gak nganggap aku lagi anaknya. Tapi yaudahlah kak, minggu lalu ada yang telepon ngasih tau bapak udah meninggal. Aku sih biasa aja kak, gak terlalu berpengaruh sama kek aku dulu dibiarkan dia kak. Gak berpengaruh juga di hidupnya kak. Pokoknya kek gitulah kak, aku udah gak mau tau lagilah tentang bapak mamak karena gara-gara mereka aku kek gini. Mungkin, kalau gak baik kian kakak dan istri pertama bapak ini, mungkin udah di usir aku kak (JB, 15)”.
Anak jalanan juga rentan untuk mengalami kekerasan seksual terkhusus
anak perempuan. Kekerasan seksual terhadap anak jalanan bukanlah hal yang baru
untuk kita dengar. Seperti yang dialami oleh salah seorang anak perempuan yang
mengalami kekerasan seksual, dimana ia dipaksa untuk berhubungan seks tanpa
persetujuan darinya. Kekerasan itu dilakukan oleh seorang aparat pemerintahan.
kerumah dan pigilah sama kawan. Waktu kami jalan-jalan dikenalilah aku kak sama si lelaki ini. Dia udah berumurlah kak, punya istri juga. Tapi aku gak curiga karena kami rame-rame kak sama temanku yang lain. Dibawaklah kami naik mobilnya kak dan makan-makan. Rupanya setelah itu dibawaknyalah aku ke kost-kost’an gitu kak di daerah Siantar sana, diancam dan dipaksanya. Takut aku kak karena badannya besar dan gemuk, seram lagi kak waktu marah. Setelah itu, dibawaknya aku kabur kak selama empat bulan kak. Setelah empat bulan itu ku berani-beranikan telepon orang mamak karena udah gak tahan lagi aku kak. Terus pigi aku kak sembunyi-sembunyi balek ke Medan untuk pulang kak (YL, 18)”.
Hal yang serupa juga dialami oleh seorang informan yang lain. Namun, jika
YL pelakunya adalah aparat pemerintahan. Informan ini dilakukan oleh
keluarganya sendiri (paman). Berikut hasil wawancaranya.
4.4.1. Dampak Terjadinya Kekerasan Pada Anak Jalanan
Kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat mengakibatkan dampak
yang buruk secara fisik, psikis dan bahkan secara sosial. Secara fisik seperti
mengakibatkan luka-luka di sekitar daerah tubuh atau semua kerusakkan yang
terlihat nyata oleh panca indra kita. Kekerasan fisik yang berlangsung
terus-menerus atau dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan dapat
meninggalkan bekal luka serius secara fisik, bahkan dapat mengakibatkan
kematian. Namun, dari semua anak jalanan yang menjadi informan dalam
penelitian ini, tidak ada bekas luka yang sampai menimbulkan cedera serius,
seperti perngakuan dari salah seorang informan anak jalanan.
“Bapak gak tiap hari kak mukulin aku. Terkadang dia baik kali kak, tapi kayak tadi kak, kalau bapak nyuruh ambil nasi ke tempat nenek terus nenek gak ngasih. Aku dipukulah kak. Terkadang dimarahi aja. Masih mending dimarahi kak, ini dipukulnya. Bapak gak tertebak kak kapan baik, kapan enggak. Paling kalau dia lagi makek ajalah kak aman-aman. Paling memar-memar kak, terus seminggu lagi udah hilangnya itu. Udah kebal juga badanku ini kak. Jadi gak terlalu terasa lagi sih (RI, 15)”.
Jika dampak secara fisik terlihat secara nyata oleh panca indra, berbeda
dengan dampak secara psikis. Dampak secara psikis sulit diidentifikasi karena
tidak meninggalkan luka yang nyata secara fisik, namun meninggalkan luka yang
tersembunyi yang termanifestasikan atau menimbulkan rasa takut atapun rasa
tidak aman di dalam diri, pendendam, kurangnya rasa percaya diri, depresi,
seksual dapat membuat anak tersebut menjadi takut untuk menikah, trauma akibat
eksploitasi seksual yang dialaminya. Jika dalam waktu jangka panjang dapat
menimbulkan perubahan perilaku di dalam diri anak tersebut. Sedangkan secara
sosial, anak-anak yang mengalami kekerasan tanpa ada penanganan atau
penanggulangan terhadap masalah yang dialaminya, anak-anak tersebut dapat
menarik diri dari lingkungannya, sulitnya berkomunikasi dengan orang lain,
menutup diri dari pertemanan dan menjadi sulit untuk mempercayai orang lain. Ini
juga yang sedang terjadi oleh salah seorang anak jalanan yang mengalami
kekerasan seksual sampai saat ini, seperti yang dikatakan oleh salah seorang staff
SKA-PKPA.
4.5. Advokasi SKA-PKPA Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan
Umumnya anak jalanan berasal dari keluarga-keluarga miskin. Anak
jalanan sering sekali dipandang negatif oleh masyarakat karena sering sekali
berperilaku negatif dan merugikan banyak orang yang ada di sekitarnya. Mereka
terbiasa hidup tanpa aturan apapun, berkelahi bahkan berbicara yang tidak baik.
Anak-anak ini berpikir bahwa hidup di jalanan menjanjikan karena mudah untuk
mencari uang dan melupakan bahwa mereka tidak jarang menghadapi resiko
kekerasan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Anak jalanan tetaplah anak-anak
yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan. Walaupun banyak anak
jalanan yang tidak mengerti apa yang menjadi hak mereka sebagai seorang anak.
Anak jalanan merasa bahwa ketika mereka mengalami kekerasan di jalanan,
misalnya di palak oleh preman, dipukuli oleh Satpol PP, dan bahkan jika dirumah
mereka dipukul yang dilakukan oleh keluarganya, serta ketika mereka harus
bekerja dan tidak sekolah lagi (drop out) adalah hal wajar. Seperti yang
dinyatakan oleh seorang anak jalanan.
kami kak. Yang penting kami itu masih hidup belum masuk rumah sakit aja kak (S, 16)”.
Jika kekerasan pada anak terkhusus anak jalanan terus dilakukan, maka
anak jalanan akan terbiasa dengan pola hidup kekerasan. Anak jalanan bahkan
akan menerapkan tindakan kekerasan tersebut dalam masyarakat sekitar. Sebab
itu, harus ada upaya untuk melindungi dan menyadarkan mereka akan apa yang
bisa dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain kepada mereka dan sebaliknya.
Upaya yang dilakukan terkait dengan kekerasan pada anak jalanan ini adalah
dengan melakukan pendekatan advokasi. Advokasi merupakan pendekatan
sistematis dan terorganisir yang dilakukan oleh individu atau organisasi dalam
rangka mendapatkan solusi atas permasalahan dan/atau sengketa dan/atau
kebijakan yang berpotensi menciptakan ketidakadilan dan merugikan masyarakat.
Dalam melakukan advokasi harus ditetapkan tujuan yang akan dicapai (Azhar,
2012:24).
Melakukan advokasi berarti bertindak sebagai pembela, penengah,
perantara atau penghubung. Advokasi saat ini sudah dilakukan oleh banyak LSM,
salah satunya PKPA. Misi PKPA adalah advokasi kebijakan yang diperlukan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak serta menegakkan
hak-hak anak baik secara litigasi maupun non-litigasi. Anak jalanan juga perlu
mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak. Untuk
khusus yang menangani permasalahan anak jalanan termasuk mengenai kekerasan
pada anak jalanan. Seperti yang diungkapkan oleh koordinator SKA-PKPA.
“Sanggar ini ada khusus menangani anak jalanan dek. Sebenarnya bukan hanya di daerah Terminal Pinang Baris saja, tetapi juga daerah terminal Amplas, Klambir, Semalingkar, Ayahanda juga. Hanya saja kami berfokus ke anak-anak yang di terminal ini karena lebih banyak di sini anak-anak jalanan yang memang sudah turun ke jalanan. Untuk yang di daerah lain kebanyakan masih status rentan anak jalanan dan strateginya mendampingi keluarganya, supaya anak-anak tersebut tidak turun ke jalanan (Lia, Koordinator SKA-PKPA)”.
Bagi PKPA, anak jalanan merupakan korban. Anak jalanan menerima
keadaan yang menyakitkan ataupun menyengsarakan hidup mereka baik secara
fisik maupun non-fisik dimana keadaan tersebut diluar kehendak mereka.
Advokasi yang dilakukan sebenarnya tidaklah besifat netral karena lebih
menekankan pada pembelaan korban. Dalam melakukan advokasi, SKA
menyadari beberapa hal yang mereka rasa perlu untuk diperhatikan, yaitu
pertama,menyadari bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan anak jalanan mulai
dari intimidasi, kekerasan dan konflik dalam keluarga mereka adalah hal yang
harus terus diperjuangkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat maupun hukum. Kedua,pelanggaran ataupun kejahatan terhadap
hukum yang dilakukan anak jalanan tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi
persoalan dalam masyarakat. Ini karena kegiatan advokasi dilakukan untuk
dimaksudkan supaya anak jalanan mampu untuk mengorganisir dirinya sendiri,
sehingga jika ada persoalan yang akan muncul dapat dicegah. Advokasi tidak
selamanya diselesaikan melalui jalur hukum, namun juga dengan cara penyadaran.
Dalam melakukan advokasi kepada anak jalanan, terkhusus dalam
penanggulangan kekerasan yang terjadi pada mereka tidaklah mudah. Karena sifat
advokasi yang tidaklah netral tadi dan berpihak kepada anak jalanan, maka dalam
pengerjaannya menghadapi beberapa kekuasaan yang sangat kuat yang mungkin
akan dapat dengan mudah mematahkan kegiatan advokasi. Seperti halnya yang
pernah dilakukan oleh SKA di dalam menangani kasus kekerasan seksual
(pemerkosaan) yang dialami oleh seorang anak jalanan yaitu YL. SKA melakukan
advokasi litigasi namun juga non-litigasi dalam kasus YL. Bukan hanya berperan
sebagai pembela yang membela anak jalanan tersebut supaya mendapatkan
keadilan secara hukum, tetapi juga pada akhirnya menjadi penhubung antar
keluarga karena terjadinya konflik baik dari keluarga anak jalanan maupun pelaku
yang adalah aparat pemerintahan yang memiliki jabatan dan sudah berkeluarga.
pelakunya, kami langsung siapkan berkas dan melaporkannya ke polisi atas nama PKPA dek. Walaupun pasti akan banyak masalah yang harus dihadapi karena yang dilawan adalah salah satu aparat pemerintahan. Dan memang benar, berkas kami lama dan harus tiap minggu memastikan ke polsek apa berkasnya sudah di proses atau belum. Mereka menyuruh kami sabar karena pelaku ini adalah salah seorang yang memiliki jabatan dan perlu waktu jika ingin di proses dek. Karena ia juga adalah orang yang cukup ditakuti dek, tapi itu katanya (Lia, koordinator SKA-PKPA)”.
Hal ini juga diperkuat oleh ibu YL yang mengaku bahwa proses hukum
anaknya sangat lama. Berikut hasil wawancara dengan ibu YL.
“Gimana ya dek, kasus anak ibu ini panjang prosesnya. Masalahnya dia ada jabatan pulak di situ, dan dikenal cukup takut orang-orang sama dia. Capeklah dek harus terus bolak-balik hanya mastikan laporan itu di proses atau belum. Bapaknya aja sampe sering bolos kerja kar’na harus kek gitu (Ibu YL)”.
Jika kita melihat dari pernyataan di atas, maka posisi atau kedudukan
tertentu di dalam masyarakat mampu membuat seseorang tunduk bahkan takut.
Adanya kekuasaan yang dimilikinya membuat ia mampu memaksakan
kemauannya meskipun mendapatkan perlawanan. Sama halnya yang di katakan
oleh Dahrendorf yang menyatakan bahwa wewenang dan kekuasaan yang berbeda
dapat menjadi faktor yang menentukan terjadinya konflik. Kekuasaan selalu
memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai.
Kelompok yang menduduki posisi otoritas memiliki kepentingan untuk
kasus berjalan seperti ini, akhirnya SKA-PKPA mengambil keputusan untuk
melapor atas nama PKPA bukan lagi keluarga korban. SKA-PKPA pada akhirnya
mengumpulkan lebih banyak bukti karena ini adalah kasus pemerkosaan anak di
bawah umur. Sebelum kasus YL ini disidangkan, keluarga dari pihak pelaku tidak
terima atas kejadian ini. Seperti yang diungkapkan oleh ibu YL.
“Sulit kali dek kalau melawan orang yang berpangkat ini. Mungkin, kalau SKA-PKPA gak bantu kami, pasti kasusnya gak di proses dek. Apalagi mamak dan istri si laki-laki itu datang ke rumah. Mereka marah-marah karena kami melapor ke polisi dan mereka ajak berdamai sebenarnya dek. Mereka mau bayar 20 atau 25 juta, ibu udah agak lupa. Tapi uang itu dicampakkan istrinya itu ke dinding dan disuruhnya ibu ambil. Ibu gak maulah dek. Bukan soal duit sekarang, tapi keadilan untuk anak sekarang (Ibu YL)”.
Konflik yang terjadi antara keluarga anak jalanan dan pelaku kekerasan
memang menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya keretakan hubungan antar
kelompok yang bertikai sampai saat ini. Bukan itu saja, pihak pelaku juga
mengancam keselamatan korban, seperti pernyatan YL.
“Setelah dijatuhkan hukuman penjara kak, laki-laki itu ngancam saya. Katanya lihat aja kalau nanti aku udah keluar dari sini. Agak takut si kak sebenarnya, tapi untung aja sekarang udah pindah rumah aku kak. Jadi dia gak tau rumahku yang baru (YL, 18)”.
Namun konflik juga menimbulkan dampak positif, dimana konflik
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami konflik
“Sejak kejadian ini kak, hubungan aku sama bapak jadi dekat kak. Dulu itu aku takut kali sama bapak kar’na bapak sering marah. Itulah juga yang buat aku takut bilangkan kak. Tapi sekarang beda kak. Dari awal proses sampai udah selesai kasusnya, bapak gak kek dulu lagilah kak. Lebih ramah dan enal diajak biacara (YL, 18)”.
SKA-PKPA di dalam mencegah kembali terjadinya kekerasan pada anak
jalanan pada akhirnya melakukan pendekatan advokasi kepada anak-anak jalanan
mencakup kegiatan upaya membangun kesadaran anak jalanan. Namun, di dalam
melakukan ini semua SKA-PKPA tidak dapat sendiri melakukan pendekatan
strategi advokasi, mereka memerlukan yang lain untuk mampu menolong mereka
untuk maksimal di dalam melakukan proses advokasi. Karena itu SKA-PKPA
memperluas jaringan, baik itu perseorangan, kelompok atau organisasi yang
memiliki kesamaan visi dan misinya bersedia terlibat dalam proses advokasi.
SKA-PKPA bekerjasama dengan KNH (Kinder Not Hilfe) dari Jerman
untuk mengadakan pertemuan Komite Penasihat Anak yang bertujuan untuk
berkonsultasi dengan anak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik
mengenai mereka, serta memotivasi dan mendukung anak melaksanakan rencana
aksi dan melakukan advokasi untuk meningkatkan kehidupan mereka. Pertemuan
ini bukan hanya untuk memastikan apa yang menjadi pandangan mereka tentang
diri mereka sendiri, tetapi juga pada akhirnya memastikan setiap saran mereka
akan di dengar dalam Konferensi Global yang rencananya akan diadakan di
Penasihat Anak ini sudah dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali. Workshop ini
hanyalah cara untuk anak-anak jalanan dapat menyadari apa yang menjadi hak
mereka. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan anak jalanan yang
mengikuti pertemuan tersebut.
“Ternyata kak aku baru sadar kalau ternyata yang dilakukan Satpol PP itu gak benar kak, dan yang dilakuin bapak juga. Bahkan seharusnya mereka itu dihukumkan kak karna udah mukuli anak-anak yang ngamen sampe memar. Nangkap memang wajar, tapi dipukuli ternyata gak wajar kak. Seharusnya aku sekolah kak, bukan kerja kek gini. Biar tau aku kan kak. Aku jadi pengen sekolah sih, tapi mungkin tahun depanlah kak masuk. Kemarin kakak sanggar nanya lagi ke aku, mau atau enggak sekolah biar di bantu. Jadi aku jawab iya kak. Sebenarnya udahnya beberapa kali kakak itu nanya, tapi aku jawab enggak (S, 16)”.
Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh anak jalanan lainnya yang
mengikuti pertemuan komite anak. Berikut adalah hasil wawancaranya.
“Rupanya diterlantarkan itu termasuk kekejaman orangtua ya kak. Aku pikir itu cuman urusan pribadi kek gitu-gitu aja. Rupanya enggak kak (JB, 15)”.
Jika anak-anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan menyadari
bahwa mereka tidak bisa diperlakukan seperti itu dan tidak meninggalkan trauma
yang berkepanjangan. Namun berbeda dengan seorang anak jalanan yang pernah
mengalami kekerasan yaitu AP. AP masih mengalami dampak secara psikis yang
sulit untuk dilepaskannya. Ia menjadi anak yang tertutup dan sulit untuk
yang dialami AP tidak diproses secara hukum karena pihak keluarga tidak mau
untuk memperpanjang masalah, walaupun pada akhirnya anak mengalami taruma
yang cukup besar. Keluarga AP bisa dikatakan adalah keluarga yang tidak terlalu
mempedulikan anak-anaknya. Melihat kondisi keluarga AP maupun AP, sampai
saat ini hal yang dapat dilakukan SKA-PKPA masih terus melakukan pendekatan
advokasi kepadanya dengan cara konseling (penyadaran) akan apa yang menjadi
haknya sebagai seorang anak yang harus dilindungi. Seperti yang diungkapkan
oleh salah seorang staff SKA-PKPA.
“AP itu tertutup sekali dek. Dia hanya akan cerita sama orang yang memang dia yakin untuk cerita. Karena memang masalah dia ini sekampung ini tau dek karna disini sedikit aja ada masalah, langsung kesebar. Ditambah lagi kasusnya kan gak di proses dek. Kemarin kami mau proses, tapi keluarganya gak mau dek dan diselesaikan secara kekeluargaan. Cuman sekarang udah agak berubah dia itu dek, udah mau ngomong dan senyum sama orang sedikit-sedikit (Dewi, staff SKA-PKPA)”.
Penanggulangan kekerasan pada anak jalanan tidak dapat hanya
melibatkan anak itu sendiri tetapi juga keluarga. Banyaknya anak jalanan di jalan
membuat SKA-PKPA pada akhirnya melakukan usaha pendampingan yang
bertujuan untuk memahami anak, mengenali mereka secara mendalam mengenai
kehidupan anak jalanan dan pada akhirnya mampu memberikan penyadaran akan
hak mereka sebagai anak bahkan penyadaran terhadap kekerasan yang mereka
Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa banyaknya anak jalanan yang
harus didampingi membuat pendampingan kepada setiap anak jalanan kurang
maksimal. Staff yang khusus menangangi anak jalanan tidak seimbang dengan
anak-anak jalanan yang didampingi. Anak-anak jalanan yang ada di Terminal
Pinang Baris ini juga tidak terlalu banyak yang mengalami kekerasan di tahun ini,
karena sudah dilakukannya penertiban preman terminal di awal tahun 2016
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut beberapa kesimpulan
yang telah didapat, yaitu anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain.
Anak jalanan tumbuh dengan berbagai latar belakang sosial seperti anak broken
home ataupun anak-anak yang lari dari berbagai problema keluarga maupun
masyarakat, serta anak-anak yang harus membantu ekonomi keluarganya. Akan
tetapi sesungguhnya peran orangtua anak jalanan tidak berperan secara maksimal,
ini dapat kita lihat saat orangtua anak mendukung dan membiarkan anaknya
bekerja di jalanan.
Keberadaan anak di jalanan beresiko mengalami kekerasan terhadap diri
mereka sendiri. Anak-anak jalanan harus bertahan hidup dengan kemampuan dan
caranya sendiri. Tidak heran pada akhirnya jika anak-anak jalanan seperti terlihat
sebagai anak yang nakal yang pada akhirnya sulit mendapatkan simpatik dari
masyarakat. Kekerasan terhadap anak jalanan tidak hanya terjadi di lingkungan
keluarga dan sekolah tetapi juga di lingkungan sosial. Tindak kekerasan dapat
berada di sekitar jalanan seperti preman, supir dan bahkan aparat pemerintahan.
Orangtua tidak lagi sebagai tempat pelindung dan yang mengayomi anak, karena
saat ini banyak orangtua yang tidak berpikir panjang untuk melakukan kekerasan
pada anaknya sendiri.
Anak jalanan mengalami kekerasan, baik secara fisik, psikis, kekerasan
seksual, bahkan penelantaran anak. Berbagai kekerasan yang dialami anak jalanan
ini menimbulkan dampak secara fisik, psikis bahkan sosial. Sayangnya, anak
jalanan yang mengalami tindakan kekerasan tersebut takut dan malu untuk
melaporkan apa yang mereka alami kepada pihak yang berwenang. Banyak
kekerasan yang dialami oleh anak jalanan dan hak-hak dasar anak untuk hidup
dan tumbuh berkembang secara optimal yang telah dirampas oleh lingkungan
mereka harusnya dapat dikembalikan secara optimal. Namum, untuk menarik
anak-anak dari jalanan bukanlah hal yang mudah karena semakin lama seseorang
berada di jalanan maka semakin sulit untuk menariknya dari jalanan.
Anak jalanan telah melakukan banyak penyesuaian sikap perilaku sebagai
upaya mereka untuk menghadapi kekerasan di jalanan dan juga bahaya yang
lainnya. Anak jalanan bukan tidak memiliki peluang untuk mengubah nasibnya.
Mereka masih berpeluang untuk mengubah nasibnya melalui belajar dan
pendekatan yang didasarkan rasa empati, bukan dengan cara pemaksaan apalagi
dilindungi dari tindak kekerasan. Masyarakat banyak berharap terhadap
pemerintah yang memiliki suatu kebijakan akan permasalahan anak jalanan.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberikan perlindungan
kepada anak jalanan, tetapi upaya tersebut tidak terealisasi dengan baik.
Masalah anak jalanan bukanlah masalah yang hanya menjadi fokus
pemerintah saja, tetapi tanggung jawab bersama. Inilah yang pada akhirnya
melahirkan LSM, termasuk PKPA yang membangun suatu unit khusus yang
menangani anak jalanan yaitu SKA. Di dalam penanggulangan anak-anak yang
mengalami kekerasan, SKA tidak langsung melakukan upaya pemberdayaan
karena menyadari bahwa anak-anak yang berada di jalanan tidak mengerti dan
memahami apa yang menjadi hak mereka. Anak jalanan merasa bahwa mereka
tidak memiliki tempat untuk mereka bercerita tentang apa yang terjadi pada
mereka. Untuk itulah, SKA berpikir untuk hadir secara langsung dan dekat setiap
harinya dengan anak jalanan, dan cara pertama adalah membangun sanggar tepat
di dekat mereka bekerja.
Salah satu cara SKA dalam menanggulangi kekerasan pada anak jalanan
adalah melalui pendekatan advokasi. Pendekatan advokasi bukanlah hal yang baru
untuk dilakukan oleh para LSM termasuk SKA-PKPA. Di dalam mengadvokasi,
SKA-PKPA tidak dapat melakukannya sendiri. Perlunya jaringan yang kuat untuk
khususnya anak yang mengalami kekerasan. Oleh sebab itu, SKA-PKPA
bekerjasama dengan KNH Germany untuk menanggulangi masalah yang terjadi
pada anak jalanan. Advokasi selalu berawal dari adanya issu yang diperjuangkan
dengan cara mempromosikan pengembalian hak-hak mereka.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini ialah:
1) Keluarga merupakan agen pertama atau institusi dasar yang menjadi
pengaruh sangat besar dalam tumbuh kembang anak. Keluarga yang tidak
harmonis baik antara orangtua dan anak maupun antara ayah dan ibu
memberikan pengaruh yang buruk bagi kehidupan anak-anak. Sebagi
keluarga yang juga berperan sebagai pelindung, sudah seharusnya
menjalankan nilai dan fungsi keluarga secara benar dengan cara
memberikan perhatian atau kasih sayang kepada anak bukan melakukan
kekerasan kepada anak.
2) Jika anak diizinkan untuk terlibat di dalam menolong perekonomian
keluarga bukan berarti keluarga dapat membiarkan anak tidak bersekolah
lagi, namun harus mendorong anak untuk bersekolah dan tidak
membiarkan anak menjadi putus sekolah. Orangtua ataupun keluarga
memiliki tanggung jawab di dalam membiayai dan mendukung pendidikan
3) SKA-PKPA lebih mengenal anak-anak jalanan yang mengalami kekerasan
dan memperhatikan database anak jalanan yang mengalami kekerasan,
supaya penanganan anak jalanan yang mengalami kekerasan dapat
dilakukan lebih baik lagi.
4) SKA-PKPA meningkatkan komunikasi dan berkerjasama dengan
pemerintah bahkan lembaga lain untuk berupaya menangani permasalahan
anak jalanan, khususnya anak-anak yang mengalami kekerasan.
5) Meningkatkan perlindungan kepada anak jalanan melalui advokasi
sehingga dapat mencegah anak jalanan mengalami kekerasan di jalanan
serta bekerjasama antara pemerintah, LSM dan masyarakat untuk
melakukan upaya penyediaan pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak
jalanan.
6) Memperlakukan anak jalanan hanya sebagai objek program dan
kepentingan hanya akan mengakibatkan nasib anak jalanan akan tetap
sengsara sepanjang hidupnya.
7) Masyarakat perlu mengubah cara pandang, cara berpikir dan sikap
terhadap anak jalanan. Tidak satupun anak jalanan yang bercita-cita
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Advokasi
Istilah advokasi sering sekali dihubungkan dengan profesi hukum.
Menurut bahasa Belanda, advocaat atau advocateur adalah pengacara atau
pembela. Banyak orang menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja
pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan
pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini
kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai
advokasi. Advokasi seoalah-olah merupakan urusan sekaligus monopoli dari
organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Karena itu
tidak mengherankan jika advokasi sering diartikan sebagai kegiatan pembelaan
kasus di pengadilan. Namun jika kita mengacu pada kata advocate dalam bahasa
Inggris, pengertian advokasi akan menjadi luas, tidak hanya berarti to defend
(membela), melainkan pula to promote (mengemukakan atau memajukan), to
create (menciptakan) dan to change (melakukan perubahan).
Istilah advokasi dapat merujuk kepada dua pengertian, yaitu pertama,
pekerjaan atau profesi dari seorang advokat dan kedua, perbuatan atau tindakan
pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud (Edi Suharto,
Mansour Faqih dkk, mengartikan advokasi sebagai usaha sistematis dan
terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan
dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).
Institut Advokasi Washington DC, mengartikan advokasi sebagai usaha
terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi
untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang
bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata.
Webster’s New Collegiate Dictionary, memberikan pengertian advokasi
sebagai tindakan atau protes untuk membela atau memberi dukungan.
Jika kita melihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa advokasi
lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan
mendesak perubahan dengan memberikan dukungan dan pembelaan terhadap
kaum lemah (miskin,terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang
menjadi korban ketidakadilan. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang
diharuskan untuk melakukan advokasi.
Secara umum alasannya ialah: (a) karena kita selalu diperhadapkan dengan
persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan, (b) keserakahan, kebodohan,
dan kemunafikan semakin tumbuh subur di sekitar kita, (c) yang kaya semakin
kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Dari beberapa alasan inilah