• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan perkembangan anter Solanum khasianum Clarke dalam kultur in-vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan dan perkembangan anter Solanum khasianum Clarke dalam kultur in-vitro"

Copied!
268
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANTER SOLANUM KHASIANUM

CLARKE

DALAM

KULTUR IN-Vf TRO

Jumlah obat-obatan yang berasal dari tumbuhan mencapai sekitar 25 persen dari seluruh obat-obatan yang dipakai di seluruh dunia (Fowler,

1983). Beberapa senyawa organik yang digunakan sebagai bahan obat sudah ada yang bisa dibuat secm sintetis, misalnya reserpin. Namun dalam proses sintetis ini masih dijumpai berbagai kendala. Senyawa organik yang

dibuat

secara

sintetis ada kalanya sulit dibuat murni, sehingga rnemerlukan

proses pengujian yang cucup lama dan cukup mahal sebelum bisa dipa-

wkan. Akibatnya biaya produksi menjadi tinggi sehingga harga jualnya pun menjadi tinggi. Reserpin sintetis yang diproduksi di Amerika Serikat ternya-

ta harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga reserpin produk alami

(Lewis dan Lewis, 1957). Atas dasar ha1 ini maka senyawa organik produk

alami nampaknya masih tetap lebih aman untuk digunakan dan harganya masih lebih murah dari pada p d u k sintetis

Solanwn khasimm Clarke dari suku terung-terungan (Solanaceae) merupakan salah satu tumbuhan penghasil solasodin. Solasodin digunakan

sebagai salah satu bahan dasar dalam pembuatan pi1 kontrasepsi. Penggu-

naan bahan dasar obat kontrasepsi ini sangat penting bagi Indonesia yang

sedang gencar menggalakkan program keluarga berencana. Untuk kelancar-

(141)

berswasembada dalam pengadaan bahan dasar tersebut. Kernandirian ini

juga rnempunyai arti membantu pemerintah dalam usaha menghemat &visa

negara. Berdasarkan keterangan dari

P.T.

Kimia Farma-Bandung dalam tahun 1992 Indonesia memerlukan sekitar 245 kg Levonorgestrel dan 49 kg Eithymal Estradiol yang bernilai sekitar Rp 4.6 milyar untuk pembuatan pi1 KB. Usaha Ire arah pengadaan bahan dasar tersebut di Indonesia

antara

lain telah dirintis oleh Balai Penelitian 'Emaman Rempah dan Obat (BALIlTRO) yang meagadakan kejasama dengan

PT.

Darya %a Laboratoria (Abdul- lah, 1985).

Solanum Wlasimwn Clarke merupakan tanaman pendatang dan dimasukkan ke Indonesia dari India pada tahun 1977 (Sudiarto, 1981;

Sudiarto dan Rosita, 1982). Secara morfologi takson yang ada di Indonesia dapat dibagi atas tiga fenotipe; yaitu fenotipe berduri jarang-lurus, fenotipe

berduri banyak-lurus dan fenotipe berduri banyak-bengkok. Dalam pengem-

bangannya sifat berduri ini dipandang merupakan salah satu hambatan dalam

pembudidayaannya karena mempersulit penanganannya dilapangan terutama

saat pemanenan buah. Demikian juga keragaman produksi buah

,

kan- dungan solasodin dan gangguan hama atau penyakit merupakan kendala yang

tak mudah diatasi.

Masalah yang perlu segera diatasi yaitu bahwa tanaman ini sangat

peka terhadap serangan bakteri Pseudomonas solanacearum. Usaha ke arah seleksi galur unggul sedang dilakukan oleh BALIlTRO bertempat di Kebun

Percobaan Manoko

-

Lembang.

Mengingat bahwa untuk pemuliaan tanaman tersebut diperlukan

keragaman genetik yang tinggi, maka usaha menambah keragaman genetik dan pemanfaatan kultur anter ("anther" atau kepala sari) atau kultur polen

("pollen" atau serbuk sari) akan sangat membantu program pengembangan

(142)

2. lhjuan Penelitian.

'lbjuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pertumbuhan dan

perkembangan anter atau polen Solanum khasianum Clarke dalam kultur in-

vitro yang pada akhirnya diharapkan mampu menghasilkan tanaman andro- gen yang akan sangat berguna dalam usaha pengembqannya.

3. Hipotesis.

Penelitian ini didasarkan pada teori totipotensi sel yang menyatakan

bahwa setiap sel tumbuhan pada dasarnya merupakan suatu unit yahg man-

din. Dalam stadium tertentu dan dalam kondisi kultur yang sesuai setiap sel

pada anter Sdanum Masianwn Clarke, termasuk polen, diharapkan mampu

(143)

11. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kegunaan Solanwn Wtasianwn Clarke.

Solanwn khasianwn Clarke adalah salah satu jenis terung-terungan

penghasil solasodin. Solasodin adalah senyawa organik dengan struktur

steroid tetapi bersifat alkaloid. Solasodin dapat dikonvenikan menjadi

derivat pregnan seperti halnya diosgenin. Kesamaan sifat ini menyebabkan solasodin dijadikan pengganti diosgenin sebagai bahan dasar dalam pem-

buatan &at kontrasepsi oral.

Kandungan solasodin tertinggi pada Solanwn khmianwn Clarke

terdapat pada lapisan b d i r ("mucilage") yang menyelaputi biji. Kandungan

s o l a d i n pada jenis m n g ini mencapai 2 persen sampai 2.85 persen dari berat kering buah (Saini, 1966; Chatte rjee dan Nandi, 1977). Lapisan lendir

ini sifatnya semakin lengket dan warnanya semakin coklat pada buah yang

semakin tua.

Karena lokasi solasodin ini sifatnya ekstraselular maka kadarnya

setdah buah mencapai tingkat kematangan tertentu tidak terlalu banyak

dipengaruhi oleh umur buah. Oleh karena itu saat pemanenan buah tidak

terlalu merupakan masalah yang kritis. Waupun demikian disarankan agar

buah dipanen pada saat kulit buah berwarna kuning kehijauan untuk menda-

(144)

2. Masalah-masalah dalam Pembudidayaan Solanwn Wtmianwn Clarke.

2.1. Adaptasi dan Produksi. Solanwn khasianwn Clarke termasuk tanaman yang mempunyai adaptasi yang baik terhadap jenis tanah dan

letak ketinggian tempat. Jenis tanaman ini dapat tumbuh mulai dari

dataran rendah sampai ice dataran tinggi yang mencapai sekitar 2000 m di atas permukaan laut (Chatterjee dan Nandi, 1977; Chaudhuri dan

Chatterjee, 1979; Sudiarto, 1981). Chaudhuri dan Chatterjee (1979)

mendapatkan bahwa kandungan solasodin pada umumnya lebih tinggi

pada tanaman dari dataran rendah dibandingkan dengan tanaman dari

dataran tinggi, tetapi ha1 ini tergantung pada musim. Chatterjee dan

Nandi (1977) menyatalcan bahwa pada musim hujan produksi buah ter-

tinggi didapatkan pada tanaman dari ketinggian sedang (500 m di atas

permukaan laut) sedangkan kadar solasodin tertinggi didapatkan pada

tanaman dari dataran tinggi (2 000 m di atas permukaan laut). Sudiarto

(198 1) mendapatkan bahwa baik pertumbuhan vegetatif maupun pmduk-

si buah dari Sdanwn khasianwn Clarke ternyata lebih baik pada tanaman di datatan tinggi daripada tanaman di dataran rendah. Muljati

(1988) mendapatkan kadar solasodin tertinggi sebesar 1.93 persen dari

berat kering buah pada tanaman yang dipupuk dengan boron dan temba-

ga di Kebun Percobaan Cimanggu-Bogor (200 m di atas permukaan laut). Sudiatso (4990) mencatat kadar solasodin tertinggi sebesar 2.37 persen dari berat kering buah pada tanaman di Pasir Sarongge-Cianjur

(sekitar 1000 m di atas permukaan laut) yang diberi perlakuan ethrel dan

pemupukan nitrogen.

2.2. Penyakit. Hal yang cukup berat diatasi dalam pembudidayaan

(145)

sering menyerang tanaman ini di lapangan adalah bakteri dan nematoda

(Sudiarto, 1981). Gangguan penyakit di lapangan bisa timbul kapan-

saja. Adakalanya gangguan penyakit tersebut baru mulai muncul pada

waktu tanaman mulai berbunga, yaitu pada umur selcitar tiga bulan terhi-

tung sejak biji disemaikan. 'haman yang sudah terserang bakteri

biasanya tidak mungkin pulih lagi. W e r i yang umum menyerang

tanaman di lapangan adalah Pseudomonas solanaceam.

2.3. Sifat berduri. Hal lain yang juga cukup menjadi kendala pada pembudidayaan Solanwn khasianum Clarke ialah terdapatnya duri-duri tajam pada hampir seluruh bagian vegetatif. Batang tanaman terung ini,

terutama pada pangkal batang, ditumbuhi duriduri kecii yang tajam. Pada gagang daun (petiole) dan pada tulang-tulang daun duriduri terse-

but lebih besar dan lebih panjang. Duri-duri ini terdapat baik pada permukaan atas maupun permukaan bawah daun. Pada fenotipe berduri

banyak jumlah dun pada satu permukaan daun berkisar antara 7 sampai

16 buah, sedangkan pada fenotipe berduri jarang berkisar antara 3 sampai 8 buah.

Rmyata puh bahwa jumlah duri ini dipengaruhi oleh umur tanaman dan intensitas penyinaran. Makin tua tanaman dan makin

tinggi intensitas cahaya matahari maka jumlah duri pun makin lebih

banyak. Pada fenotipe yang berduri bengkok, duri bengkok ini terutama

terdapat pada permukaan daun sebelah atas, pada bagian vegetatif

lainnya duri tersebut adakalanya agak lurus.

Duri yang paling mengganggu para pemanen buah adalah duri

(146)

perih. Apabila daun telah rontok pemanenan buah relatif mudah, tetapi

daun ini hanya rontok masal apabila tanaman telah terlalu tua atau ter-

serang penyakit. Penggunaan ethrel diketahui selain menstimulasi

menguningnya buah juga dapat meluruhkan daun (Sudiatso, 1990). Penggunaan bahan kimia perontok daun secara teknis memang me-

mungkinkan, tetapi

secara

ekonomis pada saat ini belum menguntung-

kan.

2.4. Pemuliaan. Solanurn khQsianwn Clarke yang didatangkan ke

Indonesia terdiri dari tiga fenotipe. Dari ketiga fenotipe ini kits belum bisa menggali informasi genetik yang memadai. Usaha ke arah ini baik

yang dilakukan oleh BALI'ITRO maupun oleh BPPT baru dalam taraf

awal.

3. Cara-cara Mendapatkan 'hnaman' Haploid.

nnaman haploid bisa diperoleh secara in-vim ataupun secara in-

vitro. Pierik (1987) menyebutkan cara-cara mendapatkan tanaman

haploid baik secara in-viw maupun

secara

in-vitro.

3.1. Secara in-vim tanaman haploid dapat diperoleh dengan beberapa

cara, yaitu:

3.1.1. Ginogenesis: yaitu perkernbangan dari sel telur yang tidak

dibuahi sebagai hasil persilangan antar jenis.

3.1.2. Androgenesis; yaitu perkembangan dari sel telur yang

mengalami eliminasi intinya dan inti ini digantikan oleh inti

(147)

3.1.3. Eliminasi genom; yaitu perkembangan zigot yang

mengalami eliminasi salah satu genomnya sebagai hasil

persilangan antar jenis atau antar marga.

3.1.4. Semigami; inti sel telur dan inti sel generatif polen

masing-masing berkembang secara mandiri yang akhimya

menghasilkan suatu kimera haploid.

3.1.5. Pemberian perlakuan kimiawi untuk mengeliminasi homo-

som.

3.1.6. Pemberian perlakuan kejutan dengan suhu tinggi atau suhu

rendah.

3.1.7. Iradiasi dengan sinar X atau sinar UV.

3.2.

Secara in-vitro tanaman haploid bisa diperoleh dengan beberapa cam, antara lain :

3.2.1. Kultur anter (kepala sari). Anter yang telah diisolasi

dari tanaman donor ditumbuhkan dalam medium buatan

secara aseptik.

3.2.2. Kultur polen (serbuk sari). Polen dalam tingkat perkem- bangan tertentu setelah diisolasi dari anter ditumbuhkan

dalam medium buatan secara aseptik.

3.2.3. Kultur perbungaan ("inflorescense"). Seluruh perbungaan

ditumbuhkan dalam medium buatan secara aseptik. Hal ini

terutama dilakukan pada jenis rumput-rumputan yang

(148)

3.2.4. Kultur embrio. Embrio hasil persilangan antar jenis atau antar marga biasanya mengalami eliminasi genom dan

tidak bisa berkembang dalam kondisi in-viw. Untuk

perkembangannya embrio tersebut ditumbuhkan secara aseptik dalam medium buatan.

3.2.5. Fertilisasi semu. Hasil fertilisasi semu antar marga bisa

berkembang dalam kultur buatan secara aseptik dan menghasilkan tanaman haploid.

3.2.6. Penumbuhan ovul yang tidak dibuahi dalam kultur buatan

secara

aseptik.

3.2.7. Kombinasi antara radiasi gamet dan kultur ovari.

4. Kultur Anter atau Polen.

Kultur anter rnerupakan salah satu cara untuk mendapatkan tanaman haploid secara in-vitro. Dalam kenyataannya dari kultur ini tidak hanya

tanaman haploid yang bisa dihasilkan, tetapi juga bisa muncul tanaman-

tanaman dengan tingkat ploidi yang lebih tinggi. Kenyataan ini ada

keuntungannya karena berarti memperkaya keragaman genetik tanaman

tersebut yang mungkin berguna dalam usaha pemuliaannya.

4.1 Faktor-faktor yang bemngaruh terhada~ keberhasilan kul tur an ter

atau polen. Suatu pertumbuhan dan perkembangan hayati baik

dalam kondisi in-viw maupun dalam kondisi in-virro merupakan

hasil interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Anter

sebagai organ tanaman merupakan gabungan dari jaringan sel-sel

somatik dengan sel-sel generatif. Secara fisik kedua macam jaring-

(149)

sulit dibedakan. Prinsip dalam kultur anter adalah menghambat

pertumbuhan dan perkembangan sei-sel somatik tetapi merangsang

pertumbuhan dan perkembangan sel-sel generatif. Hal ini dicajxii

dengan memanipulasi kondisi lingkungan secara empiris dan secara uji coba. Keberhasilan kultur anter ditentukan oleh banyak

faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:

4.1.1. Keraeaman tanaman donor. Berbagai percobaan klah

menunjukkan bahwa tanaman donor sangat menentukan

pertumbuhan dan perkembangan anter dalam kultur.

Keragaman donor bisa bersifat genetik bisa juga bersifat

fisiologis. Redenbaugh, West fall dan Karnosky (198 1)

melaporkan bahwa kemampuan membentuk kalus dari

anter UImus americana yang berasal dari empat macam genotip secara statistik berbeda nyata. Demikian juga Thuding dan Chay (1984) menyatakan bahwa pertumbuhan

dan perkembangan anter Brussica napus ssp.oleiftra dalam

kultur dipengaruhi genotipe dan kondisi tanaman donor.

Hal serupa juga dilaporkan pada kultur anter Arabidopsis

thaliaM (Gresshoff dan Doy, 1972a), Lycopersicon escu-

lentum (Gresshoff dan Doy, 1972b), Solanum tuberosum

(Dunwell dan Sunderland, 1973), Solanwn phureja dan

silangan-silangannya (Singsit dan Veilleux, 1989), Brussica

campcrrris (Keller, Raj hathy dan Lacapra, 1979, Oryza

sativa (Martin dan Millo, 1981), Prunus persica (Harn-

(150)

Fitch, 1984), ZFiticwn aestivwn (Jones dan Petolino, 1987). Solanwn spp. (Powell dan Uhrig, 1987). Hordewn vulgare (Powell, 1988) dan &paver somnivenun (Dieu dan Dunwell, 1988).

Di antara anter berbagai jenis tanaman, anter dari

suku Solanaceae termasuk paling tanggap terhadap perla-

kuan dalam kultur. Walaupun derniician ternyata anter dari

beberapa jenis dan galur Lycopersicon (Gresshoff dan Doy,

1972b) dan Solanwn (Dunwell dan Sunderland, 1973;

Singsit dan Veileux, 1989) ada yang kurang tanggap terha- dap berbagai perlakuan dalam kultur. Perbedaan daya

tanggap (respon) terhadap kondisi kultur tidak hanya terli-

hat antar jenis atau galur saja tetapi bisa terlihat antar

tangkai bunga. ~h'ien dan Kao (1983) melaporkan bahwa

kemampuan membentuk kalus dari anter yang berasal dari

bulir (spike) yang berbeda dari satu tanaman triticale

ternyata tidak sarna. Dunwell dan Cornish (1985) menda- patkan bahwa pada Brassica

napw

ssp. oleijiera kemam-

puan membentuk embrio dari bunga apikal lebih tinggi

daripada bunga aksilar.

4.1.2. Stadium anter atau polen. Pertumbuhan dan perkem-

bangan anter atau polen dalam kultur tergantung pada

stadium anter atau polen yang dikulturkan. Nitsch dan

(151)

stadium tetrad atau polen yang sudah tua ("maturew) tidak

bisa beregenerasi menjadi tanaman. Pembentukan pinak

tanarnan atau planlet ("plantlet") paling banyak dihasilkan

dari polen dalam stadium berinti satu ("uninucleate") yang

belum mengandung pati ("starch").

Hu dan Zeng (1984) menyimpulkan bahwa untuk

berbagai jenis serealia stadium polen yang tepat untuk dikulturkan adalah pada stadium awal sampai stadium akhir

berinti satu. Hal serupa juga dijumpai pada berbagai jenis

tanaman lain seperti Brassica campestris (Keller et al, 1975), Oryta sativa (Genovesi dan Magill, 1979; Rush,

1981; Mercy dan Zapata, 1987), Ulmus america (Reden-

baugh et al, 1981), Carica papaya (Tsay dan Su, 1985),

Prunm persica (Hammerschlag, 1983), Hordeum vulgare

(Wheatley, Marsolais dan Kasha, 1986), Brassica napus

(Thurfing dan Chay, 1984; Pechan dan Keller, 1988) dan

Zea mays (Coumans, Sohota dan Swanson, 1989).

Sunderland dan Roberts (1977), Reynolds (1 986),

Mercy dan Zapata (1986) masing-masing pada tanaman

Nkotiana tabacm, Sokanum carolinenre dan Oryza sativa mendapatkan bahwa sampai pada stadium berinti dua

("binucleate") polen dari tanaman-tanaman tersebut masih

mampu menghasilkan planlet dalam kultur. Pada tanaman

Arabidopsis thaliana dan Lycopersicon esculenrwn polen

dalam stadium berinti satu tidak mampu menghasilkan

kaius apalagi menghasilkan planlet. Pada kedua jenis

(152)

stadium meiosis-metafase pertama (Gresshoff dan m y ,

1972a, 1972b).

4.1.3.

Pra~erlakuan.

Praperlakuan yang diberikan terhadap

polenatauanter dimaksudkan untuk mempengaruhi pertum-

buhan dan perkembangannya dalam kultur. Praperlakuan

tersebut diharapkan mampu mengubah pola perkembangan

polen dari pola normal ke arah pembentukan embrio.

Praperlalcuan yang biasa diberikan pada umumnya berupa penyimpanan pada suhu rendah di tempat gelap (Sunder-

land dan Roberts, 1977; Genovesi dan Magill, 1979; Rush,

1981; Fitsch dan Moore, 1983).

Suhu penyimpanan yang biasa digunakan berkisar

antara 5°C sampai 13°C. Pada Pclpaver somnijienun L. perlakuan anter pada suhu 7°C selama 7 hari telah mening-

lcatkan jumlah antel yang tumbuh dan pembentukan kalus

rneningkat jadi dua kali lipat (Dieu dan Dunwell, 1988).

Powell (1988) mendapatkan bahwa jangka waktu perlakuan

dingin selama 21 hari pada suhu 4OC adalah yang optimum

bagi bulir Hordewn vulgare.

Menurut Marsolais, Swartz dan Kasha (1 984) perla-

kuan penyimpanan anter mticwn aestivurn pada suhu -5 _+

3°C sampai 10

+

2°C dianggap tidak perlu. Respon anter

dalam kultur malah dihambat pada perlakuan yang lebih

(153)

diberi perlakuan dingin selama 14 hari pada suhu 4°C.

Sharma dan Bhojwani (1985) melaporkan bahwa anter

Brassica junceu yang diperlakukan pada suhu 35°C selama

1-5

hari memberikan respon jauh lebih baik daripada yang

diperlakukan pada suhu 5°C selama

1-5

hari atau perlakuan

kon trot (25°C).

Sunderland dan Roberts (1977) menyimpan anter

N W a m tabacwn pada suhu 7-8°C selama 12 hari. Selan- jutnya kultur diinkubasikan selama 14 hari pada suhu 28°C

dalam keadaan gelap kemudian diinkubasikan dalam

keadaan terang pada suhu 25°C.

Powell dan Uhrig (1987) menyimpan anter Wanwn tuberoswndan Solanwn papita pada suhu 6°C atau 30°C selama 2 hari sebelum dikulturkan. Secara keseluruhan praperlakuan pada suhu 6°C memberikan jumlah pem- bentukan embrioid jauh lebih tinggi daripada praperlakuan

pada suhu

30°C.

Waupun demikian ternyata pemben-

tukan embrioid pada kedua praperlakuan suhu tersebut

tidalc berbeda nyata dengan kultur tanpa praperlakuan.

1.4. Komposisi medium. Pierik (1987) menyimpulkan bahwa

medium yang digunakan untuk kultur anter tergantung pada

jenis tanaman donor. Gresshoff dan Doy (1972b) menda-

p a t h dari 43 galur Lycopersicon esculenfwn hanya 3 galur saja yang bisa menghasilkan kalus dalam 2 macam

medium dasar yang dicobanya.

Di antara berbagai medium kultur nampaknya

(154)

paling umum digunakan. Medium Murashige dan Skoog

telah dipakai untuk kultur anter Solanwn tukroswn (Dunwell dan Sunderland, 1973), Nicotim tabucum (Sunderland dan

Roberts,

1977), Solanwn carolinense (Reynolds, 1986), Olym saiva (Martin dan Millo, 1981; Torrim dan Zapata, 1986), Loliwn multiJlonun (Dale, Thomas, Brettell dan Wemicke, 1981), Carica pcrpaya (Tsay dan Su, 1985) dan Hordewn vulgare (Powell, 1988).

Pada kultur anter jenis-jenis serealia medium yang sering

digunakan anatara lain adalah medium N6 (Genovesi dan Magill, 1979; Chien dan Kao, 1982; Huang, 1987; Jones

dan Petollino, 1987; Mercy dan Zapata, 1987).

Di antara garam-garam anorganik penyusun medium, garam nitrat dan amonium merupakan sumber nitrogen

yang sering sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anter dalam kultur. Guo dan Ouyang

(1988) menyatakan bahwa peningkatan kadar

KNO,

sampai

13 mM meningkatkan jumlah pembentukan kalus pada

kultur anter dari 4 kultivar Tnricwn aesrivum. Pening katan kadar

KNO,

j uga meningkatkan pembentukan planlet yang berwama hijau dan menurunkan pembentukan planlet yang albino. Apabila kadar

KNO,

melebihi 20 mM maka

induksi pembentukan kalus sangat menurun. Biddington,

Shuterland dan Robinson (1988) melaporkan bahwa anter

Brassica oleifera var.gemifara yang kurang tanggap terha- dap kondisi kultur ada harapan bisa membentuk embrio

(155)

kultur yang digunakan (medium

B5).

Nitsch dan Nitsch

(1969) men yatakan bahwa pada kultur anter Nicotiana tabacum var. Wisconsin 38, ion nitrat jauh lebih ber- pengaruh terhadap pembentuh planlet daripada ion

amonium.

Dari kelompok asam-asam organik diketahui bahwa

glutamin atau L-asparagin dengan konsentrasi 1 x 1 0 4 ~

sampai 3 x 1 0 " ~ dalam medium kultur dapat merangsang

pembentukan planlet. Sebaliknya L-arginin atau adenin

dengan konsentrasi 1 x 104M sampai 4x 104M bersifat

rnenghambat (Nitsch dan Nitsch, 1969). Keller et al (1975) juga melaporkan bahwa perkembangan embrioid

kultur anter Brassica campestris dirangsang oleh glutamin. Reinert dan Bajaj (1977) menyatakan bahwa kebutu-

han hara bagi kultur anter lebih sederhana daripada untuk

kultur polen. Dunwell dan Sunderland (1973) dalam

percobaan kultur anter Solanwn tuberoswn dalam enam macam medium dasar menyimpulkan bahwa komposisi

hara medium tidak terlalu kritis dalam menginduksi

pembentukan kalus. Dalam ha1 tersebut nampaknya yang

paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkem-

bangan anter dalam kultur adalah jenis dan konsentrasi zat

pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam medium.

Pembentukan kalus, pucuk, akar atau planlet tergantung pada macam, konsentrasi dan kornbinasi zat pengatur

(156)

Indol-3yl acetic acid (IAA) dengan konsentrasi

optimum 0.1 mgll merangsang pembentukan planlet pada

kultur anter Nicotiana tabacwn (Nitsch dan Nitsch, 1969).

Pada kultur anter Solanwn carolinense jumlah pemben-

tukan embrioid tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan

konsentrasi IAA sebanyak 10 mgll medium (Reynolds,

1986).

Naphth-lyl acetic acid (NAA) dengan konsentrasi

0.1 mg atau 0.5 mgll medium pada kultur anter Lycopersi-

con esculentwn ternyata menghambat pembentukan klorofil

(warna hijau) pada kalus dan juga menghambat difefensiasi

kalus (Gresshoff dan Doy, 1972b). Pada kultur anter

empat kultivar Orym sariva, Martin dan Millo (1981) melaporkan bahwa NAA dengan konsentrasi 0.2 mg atau 2.0 mg/l medium merangsang pembentukan planlet dan

pembentukan akar.

2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) pada kultur

anter Nicotiana tabucum ternyata dapat merangsang

pembentukan planlet (Nitsch dan Nitsch, 1969). Pada

kultur anter Oryta sariva pemberian 2,4-D sebanyak

0.2 mg atau 2.0 mgll medium merangsang pembentukan

katus, tetapi pada dua dari empat varietas padi yang dicoba

malah menghambat pembentukan organ (Martin dan Millo,

1981).

Guha, Iyer, Gupta dan Swaminathan (1970) menya-

t a b bahwa perkembangan dari kalus menjadi planlet pada

(157)

tanpa auksin. Gresshoff dan Doy (1972a) menyatakan

bahwa induksi kalus dari anter Arabidopsis thaliana memerlulcan konsentrasi auksin yang tinggi, sebaliknya

untuk pembentukan embrioid dan planlet diperlulcan kon-

sentrasi auicsin rendah.

Pada kultur anter Arabidopsis thaliana diferensiasi

dari kalus menghendaki konsentrasi kinetin yang tinggi

(10 mgll) sebaliknya pada kultur anter Lycopenicon escu-

lentum konsentrasi kinetin sebanyak itu malah mematikan kalus yang sudah terbentuk (Gresshoff dan Doy, 1972b).

Chien dan Kao (1983) menyatakan bahwa di antara zeatin,

kinetin dan 6-benzyladenine (BA) maka BA adalah yang

paling efektif dalam meranmgsang pembentulcan kalus dari

anter tetapi menghambat pembentukan kalus dari filamen.

Gibberellic acid (GA) pada konsentrasi 1 mgll

medium tidak meningkatkan pembentukan embrio tetapi

memacu pembentukan planlet pada kultur anter Nicotiana spp. (Nitsch dan Nitsch, 1969). Pada konsnetrasi lmgll medium, GA menyebabkan pemanjangan hipokdil abnor-

mal dan menghasilkan tanaman yang kurus serta klorosis.

Abscisic acid (ABA) dengan konsentrasi sampai

lo-' M (0.02 sampai 2.0 mgll) pada kultur anter Nicotiana

spp. tidak berpengaruh terhadap jumlah pembentukan planlet tetapi menghambat perkembangan planlet selan-

jutnya (Nitxh dan Nitsch, 1969). Mereka juga mela-

porkan bahwa pemberian ABA dengan konsentrasi 104 M

(158)

yang terbentuk lebih pendek dan lebih tebal daripada

perlakuan kontrol dan tetap tidak berkembang sampai

paling singkat dua bulan kemudian. Sebaliknya pada

kultur anter Oryta sufivu grOrino dan Zapata, 1986) pemahian A M dengan konsentrasi 4 x 106 M (0.8 mg/l) temyata meningicah berat segar kalus dan juga mening- katkan jumlah kalus yang menghasilkan planlet yang

b e m a hijau. Penggunaan ABA pada konsentrasi yang

lebih tinggi menghambat pertumbuhan kalus dan kalus

yang terbentuk lebih kompak serta berwarna putih. Kalus

semacam ini mempunyai harapan rnenghasilkan planlet

lebih tinggi daripada kalus yang longgar. Pembentukan

plank yang bewarna hijau secara nyata semakin mening-

kat pada perlakuan dengan konsentrasi ABA yang lebih

tinggi. Peningkatan pembentukan kalus dan planlet pada

kultur anter Olyta sariva sebagai akibat pemberian ABA

juga telah dikemukakan oleh Zapata, Aldemira, Novero,

Torrizo, Megaling, Mazaredo, Visperas, Lim dan Moon

(1986). Mereka mengemukakan bahwa jumlah pemben-

tukan kalus tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan

konsentrasi A M 20

-

30 mgll medium, sedangkan pem-

bentukan planlet tertinggi didapatkan pada perlakuan

dengan konsentrasi ABA sebanyak 10

-

20 mgll medium.

Gula dalam medium kultur tidak hanya berfungsi

sebagai pengatur tekanan osmotik tetapi juga merupakan

sumber karbohidrat yang efektif (Hu dan Zeng, 1984).

(159)

sumber gula terbaik dibanding dengan glukosa, maltosa

atau rafmosa. Mereka juga menyatakan bahwa anter Brassica cumpestris membutuhkan konsentrasi gula yang tirtggi bagi pertumbuhan dan perkembangannya dalam

kultur. Apabila konsentrasi gula dalam kultur kurang dari

6 persen (60 gll medium) maka tidak

akan

k h m t u k embrioid, sedangkan pada konsentrasi gula 2 persen ter- bentuk kalus dari filamen dan dinding anter. Peningkatan

konsentrasi gula dalam medium kultur temyata mengham-

bat pernbesaran set-sel somatik dan pembentukan kalus dari sel-sel somatik tetapi merangsang pembelahan sel dari

polen. Frekwensi pembentukan embrioid tertinggi dida-

patkan pada perlakuan dengan kandungan gula sebanyalc 10

persen (100 gll medium). Waupun demikian ternyata

perkembangan emhrioid selanjutn ya han ya bisa berlang-

sung &lam medium dengan kadar gula rendah (2 persen)

dan tanpa zat pengatur tumbuh. Sebali kn ya Redenbaugh et a1 (1981) rnendapatkan bahwa pembentukan planlet dihapioid pada kultur anter Ulmus amricana makin meningkat akibat interaksi antara kandungan gula dan zat

pengatur tumbuh dalam medium kultur.

Pierik (1987) menyatakan bahwa kandungan gula

dalam medium kultur pada umumnya berkisar antara 2

-

4

persen, tetapi untuk jenis-jenis tanaman tertentu kadar gula

ini bisa lebih tingggi. Hu dan Zeng (1984) mendapatkan

bahw untuk serealia kandungan gula tertinggi dalam

(160)

anter triticale pembentukan kalus jauh lebih baik pada perlakuan dengan kandungan gula 100 g/l dibanding

dewan kandungan gula 60 gll medium.

4.1.5. Rntuk fisik medium kultur. Bentuk fisik medium untuk

kultur anter bisa berbentuk padat bisa berbentuk a i r .

Medium bentuk cair antara lain telah digunakan pada

kultur anter Nicotiana tu6acum (Sunderland dan

Roberts,

1973, Sorghum bicolor (Rose, Dunwell clan Sunderland, 1986), Oryza sativa (Mercy dan Zapata, 1987) dan Wti- cum aesrivwn (Huang, 1987; Jones dan Petolino, 1988).

Pescitelli, Mitchell, Jones, Pareddy dan Petdim

(1989) untuk pertama kalinya berhasil meregenemilcan

tanaman dari mikrospora jagung yang diisolasi. Pada

percobaannya didapatkan bahwa pembentukan embrioid

dalam medium c$r jauh lebih tinggi daripada dalam

medium semi padat.

Jones dan Petolino (1988) mendapatkan pada kultur

anter lkiticum aestivum jumlah pembentukan embrio dalam

medium cair sebanyak dua kali lipat dalam medium padat.

Walaupun kmikian ternyata jumlah planlet hasil regenera- si dari embrio yang terus menerus ditumbuhkan dalam

medium cair jauh lebih rendah daripada dalam medium

padat. Oleh sebab itu medium cair hanya digunakan untuk

merangsang embriogenesis dan pemben tukan kalus.

Perkembangan selanju tnya sampai pembentu kan planlet

(161)

4.1.6. pen~inara~. Sinar bagi tumbuhan berperan dalam proses fotosintesis yang selanjutnya mempengaruhi kegiatan

metabolism. Selain itu sinar juga mengatur metabolik

yang berarti mengatur perkembangan suatu unit melalui

sistem pigmen, hormon atau mekanism lainnya. Oleh

sebab itu pengaturan lama penyinaran, intensitas penyinar-

an dan kualitas sinar dapat digunakan untuk memanipulasi proses pertumbuhan dan perkembangan unit turnbuhan.

Sunderland dan Dunwell (1977) menyatakan bahwa

kultur anter bisa langsung disinari sejak awal atau setelah

melalui masa induksi singkat dalam kondisi gelap. Pada

kultur anter Nicotiana tabucum perlakuan gelap selama 14

hari pada suhu 2S°C sebelum perlakuan terang membexikan tingkat keberhasilan paling tinggi (Sunderland dan Roberts; 1977). Demikian juga pada kultur anter Carica papaya, Tsay dan Su (1985) mendapatkan tingkat pembentukan

kalus yang tinggi pada perlakuan gelap, sedangkan pem- bentukan embrio dan planlet juga dirangsang pada perla-

b a n dengan intensitas penyinaran yang rendah (1.500

Iuks). Pada kultur anter U h u s m r i c a n a , Redenbaugh et a1 (1981) mendapatkan bahwa kultur yang terus menerus diinkubasikan di tempat gelap menghasilkan tingkat kalus

haploid yang lebih tinggi (15.9 96) daripada kultur yang

dipindahkan dari tempat gelap ke tempat terang dengan

lama penyinaran 16 jam sehari; sedangkan kultur yang

terus menerus mendapat penyinaran 16 jam sehari

(162)

(1987) mendapatkan bahwa anter dari beberapa genotipe

mticwn aestivwn membutuhkan penyinaran harian yang

lebih panjang (16 jam) sedangkan beberapa genotipe

lainnya membutuhkan penyinaran harian yang lebih pendek

(12 jam) baik untuk pembentukan embrio maupun untuk

pembentukan planlet.

Pada umumnya pembentukan kalus atau pemben-

tulcan akar menghendaki kondisi gelap, sedangkan pemben-

tukan pucuk atau planlet menghendaki kondisi terang

(Gresshoff dan Doy, 1972a, 1972b; Martin dan Millo,

1981; Dieu dan Dunwell, 1988). Waupun demikian

ternyata pembentukan embrio ataupun plankt pada kultur

anter Digitalis obscura bisa tejadi dalam kondisi gelap

apabila medium kultur mengandung IAA atau IBA (Bermudez, Cornejo dan Segura, 1985).

4.1.7.

&&,-I.

Setiap reaksi metabolik dicirikan oleh koefisien

suhu. Perubahan suhu mempengaruhi perimbangan masing-

masing reaksi. Dampak lain dari perimbangan tersebut

antara lain akan terlihat dalam wujud pertumbuhan dan

perkembangan. Manipulasi suhu kultur untuk mem-

pengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anter dapat

dimulai sejak praperlakuan, tetapi dapat juga hanya selama

kultur diinkubasikan.

Suhu inkubasi pada kultur anter dari beberapa jenis

tanaman pada umumnya berkisar pada 2S°C (Guha et al, 1970; Genovesi dan Magill, 1979 Redenbaugh et al, 198 1 ;

(163)

siang hari yang lebih tinggi daripada malam hari (Nitsch dan Nitsch, 1981) bisa juga suhu masa induksi yang berbe- da dari suhu masa inkubasi selanjutnya (Sunderland dan Roberts, 1977; Hammerschlag, 1983). Induksi punbentu- kan kalus biasanya dilakukan pada suhu rendah disertai kedaan gelap, sedangkan embriogenesis dan pembentukan planlet dilakulcan pada suhu lebih tinggi dan dalam keadaan terang (Rush, 1981). Nitsch dan Nitsch (1969) menginku-

basikan kultur poien N W a n a tabacum pada suhu 28°C siang hari dan 22°C pada malam hari. Sunderland dan Roberts (1977) melaporkan bahwa suhu terbaik untuk masa

induksi dan masa inkubasi bagi kultur polen Nicotiana tabacum adalah pada suhu 2S°C. Pada kultur anter Prunus persica suhu inkubasi untuk pembentukan kalus paling baik adalah pada suhu tetap 26°C dengin pemindahan kultur ke

dalam medium segar setiap tiga minggu sekali (Ham- merschhg, 1983).

Menurut Huang (1987) kulktur anter 'Ifiticurn aes- tivum yang diinkubasikan selama 8 hari pada suhu 3S°C atau 30°C &lum diinkubasikan pada suhu 25°C mengha- silkan kalus dan planlet jauh lebih banyak daripada yang

t e ~ s menerus diinkubasikan pada suhu 25°C. Rose et a1 (1986) melaporkan bahwa pembentukan kalus pada suhu

inkubasi 33°C jauh lebih baik daripada suhu inkubasi 25"C,

28°C atau 38°C bagi kultur anter Sorghum bicolor. Pada anter yang tidak diberi prapedakuan dingin malah hanya

anter yang diinkubasikan pada suhu 33°C saja yang

(164)

4.2.

.

Pertumbuhan dan

perkembangan anter atau polen dalam kultur merupalcan hasil interaksi antara faktor genetik dengan faktor luar. Sacara teori polen hapbid

akan

menghasilkan tanaman haploid, tetapi

karena

pengaruh faktor luar polen tersebut dalam pertumbuhan

dan

perkermbangannya bisa mengalami endomitosis sehingga b i n

memunculkan individu-individu dengan tingkat ploidi yang

berbeda.

Sel-se4 somatik dari anter pun dapat tumbuh dan berkem-

bang menjadi tanaman. 'haman yang tumbuh dari kultur mu-

ngkin berasd tidak dari satu sel tetapi berasal dari beberapa sel dengan tingbt ploidi yang berbeda.

4.2.1. Tinekat ploidi. Konsekuensi dari interaksi antara faktor

genetik dengan faktor luar dalam kultur anter bisa mengha-

silkan terbentuknya tanaman-tanaman dengan tingkat ploidi

yang berbeda. Keragaman tersebut akan diperbesar apabila

sel-se4 somatik turut berkembang menjadi tanaman.

Pada kultur anter Oryu sarivu, Martin dan Millo

(1981) medapatkan bahwa semua planlet yang dihasilkan

adaiah haploid; Genovesi dan Magill (1979) mendapatkan

40 penen planlet haploid dan 60 persen diperkirakan diploid; sedangkan Mercy dan Zapata (1986) mendapatkan

hasil 42.1 persen haploid, 56.4 persen diploid dan 1.5

persen polyploid.

Marsolais er a1 (1984) mendapatkan 18 tanaman

haploid dan 1 tanaman diploid pada kultur anter Triricwn

(165)

et a1 (1975) mendapatkan 1 tanaman haploid

,

20 tanaman diploid, 2 tanaman tetraploid dan 2 tanaman heksaploid. Pada kultur anter Brassica juncea semua @anlet yang terbentuk adalah haploid (Sharma dan Bhoj wani, 1985).

'Emaman yang diregenerasikan dari anter Digitalis

purpurea temyata sebanyak 50 persen haploid, selebihnya diploid atau tetraploid (Bermudez et al, 1985). Dieu dan Dunwell (1988) dari percobaannya mendapatkan hasil regenerasi anter Papaver somnijienun sebanyak 1 tanaman haploid, 60 tanaman diploid dan 2 tanaman haplo-diploid. Redenbaugh et a1 (1981) dari kultur anter Ulmw america- M (4x = 56) mendapatkan kalus dihaploid sebanyak 0

-

38 persen tagantung pada medium kultur yang digunakan.

Gresshoff dan Doy (1972a, 1972b) mendapatkan semua tanaman hasil regenerasi dari kultur anter Arabidopsis thaliana dan Lycopersicon esculentwn adalah haploid.

Singsit dan Veileux (1989) pada kultur anter dari galur dan silangan-silangan antar jenis Solanwn phureja yang diploid mendapatkan 29 tanaman monoploid di

antam 91 tanaman yang berhasil diregenerasikan dari

9.465 anter yang dikulturkan. Pescitelli et a1 (1989) mendapatkan bahwa di antara tanaman yang diregenerasi-

kan dari kultur polen jagung ternyata ada yang bisa meng- hasilkan biji yang berarti teiah terjadi penggandaan jumlah

krornosom.

4.2.2. Mutan. Selain kelainan tingkat ploidi, planlet yang diha-

silkan dari kultur anter juga bisa menampakkan kelainan

(166)

kultur anter sangat rendah (Sunderland dan Dunwell, 1977). Untuk meningkatkan jumlah mutan bisa dilakukan

dengan penyinaran sinar gamma pada kuncup bunga yang

akan

dikulturkan atau pada saat planlet mulai muncul dari anter. Pembentukan mutan juga bisa dirangsang dengan

bahan kimia mutagenik seperti ethyl methane sulphonate

(EMS)

pada kultur suspensi.

4.3. .Manfaat kultur anter. Kultur anter sebagaimana umumnya kultur

jaringan dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Dalam pemu-

liaan tanaman kultur anter merupakan sumber keragaman genetik, sumber keragaman karakter dan juga dapat digunakan sebagai

jalan pintas dalam pembentuh galur murni.

4.3.1. Kera~aman iumlah kromosom. Kromosom dalam sel

diploid berada dalam pasangan-pasangan homolog.

Masing-masing anggota pasangan diwariskan dari tanaman

induk melalui penggabungan inti polen dan inti sel telur. Demikian juga gen-gen yang mengontrol suatu karakter

berada dalam pasangan-pasangan yang disebut alel. Dalam proses meiosis terjadi lagi segregasi kmmosom yamg

berarti juga segtegasi gen.

Keragaman jumlah kromosom pada tanaman andro-

gen (Keller et al, 1975; Bajaj

,

1983; Hu dan Zeng, 1984; Mercy dan Zapata, 1986; Dieu dan Dunwell, 1988)
(167)

memiliki sifat yang sama. Owen, Veileux, Heynes dan

Heynes (1988) mendapatkan bahwa tanaman-tanaman

androgen monoploid dari Solanurn phureja memperlihatkan

pertKdaan

yang sangat nyata dalam ha1 berat umbi dan

jumlah umbi yang dihasilkan dalam lingkungan tumbuh

yang sama.

4.3.2. Seleksi karakter. m a m a n monoploid mempermudah

seleksi

kmna penampilan fenotipe dari

tanaman

tersebut merupakan reflelcsi dari sifat genotipenya (Owen et al, 1988). Pada tanaman monoploid tidak a& sifat yang terse- lubung karena tidak ada dominasi gen. Ekspresi gen resesif

akan

muncul dan timbulnya mutasi mudah dilihat (Mercy

dan Zapata, 1986). Tmnaman padi haploid hasil dari h l t u r

anter dilaporkan berbatang lebih pendek, berdaun lebih

pendek dan lebih sempit, lebih banyak anakan, bermalai

lebih pendek dengan percabangan lebih sedikit dan ukuran

bulirnya lebih Icecil (Mercy dan Zapata, 1986).

Tingkat munculnya sifat resesif dalam populasi

tanaman androgen jauh lebih tinggi daripada dalam popula-

si tanaman

F2

(Hu dan Zeng, 1984). Dalam populasi

F2

silangan gandum berbutir merah dengan gandum berbutir putih, perbandingan tanaman berbutir merah dengan

tanaman berbutir putih adalah 3.1 banding 1; dalam popu-

lasi H2 perbandingan tersebut rnenjadi 0.8 banding 1.

Sifat berbutir putih yang merupakan sifat resesif semakin

tinggi tingkat pemunculannya dalam populasi tanaman

androgen. Chien dan Kao (1983) pada kultur anter triti-

(168)

(bulai). Hunter (1985) melaporkan bahwa jumlah tanaman

albino pada kultur anter Hordewn vulgan jauh lebih banyak daripada tanaman yang hijau: sedangkan

Rose

et a1 (1973) dari kultur anter Sorghum bicolor hanya mendapat-

kan 4 tanaman yang kesemuanya albino.

4.3.3. Pembentukan galur mumi. Pembentukan galur murni

dengan cara pembuahan sendiri dan seleksi pada ketunm- annya sangat memakan waktu. Galur murni yang mantap

sebagai turunan dari suatu hasil silangan baru akan dida- patkan padagenerasi keenam (Hu dan Zeng, 1984) bahkan mungkin baru pada generasi kesepuluh @epaepe, Nitsch,

Godard dan Pemes, 1977) apabila dilakukan dengan cara konvensional. Melalui teknik kultur anter dan penggan-

dam kromosom, galur murni yang mantap sudah bisa didapatkan pada generasi kedua (Hu dan Zeng, 1984).

Mereka melaporkan bahwa suatu varietas tembakau sudah

bisa dilepas untuk tujuan produksi dalam jangka waktu tiga tahun sejak anter dikulturkan.

Salahsatu teknik pmggandaan kromosom adalah

dengan penggunaan kolkisin. Griesbach (198 1) mengocok protokorm anggrek dalam medium Murashige-Skoog cair

yang diberi kolkisin sebanyak 50 mgll medium. Lama

pengocokan sepuluh hari dengan kecepatan kocokan 50 putaran permenit. Selanjutnya protokorm dipindahkan ke

dalam medium padat. Dengan teknik ini sekitar 50 persen tanaman yang ditumbuhkan dari biji tanaman diploid

(169)

Perlakuan kolkisin juga bisa diberikan terhadap

planlet yang barn muncul dari anter atau diberikan pada

ketiak daun pada planlet yang dewasa dengan rnengguna-

kan campuran kolkisin &%an lanolin (Bajaj, 1983).

Penggandaan jumlah kromosom juga bisa w a d i

(170)

1. Bahan dan Alat

1.1. Bahan tanaman. Biji Solanum Wurrianwn Clarke diperdeh dari kebun percobaan Balai Penelitian m a m a n Rempah dan Obat di Mano-

ko-Lembang. Biji krsebut masing-masing berasal dari tiga fenotipe

tanaman yaitu fenotipe berduri banyak-bengkok, fenotipe berduri banyak-

lurus dan fenotipe berduri jarang-lurus. Dalam penelitian ini hanya

bunga dari fenotipe berduri jarang yang dipakai sedangkan dari fenotipe

lainnya hanya &dar untuk pembanding.

Biji disemaikan dalam baki plastik atau dalam kantumg -kantung

plastik kecil yang berisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan

perbandingan 2:l. Setelah berumur dua bulan semai dipilih dan dipin- dahkan Ire dalam kantung plastik hitam berukuran 40 x 60 cm yang diisi campuran tanah dan pupuk kandang seperti medium untuk penyemaian biji. Ke dalam campuran tanah tersebut juga ditambahkan pupuk TSP dan KC1 masing-masing sebanyak 100 g serta urea sebanyak 150 g per kantung tanaman. Pupuk

TSP

dan KC1 diberikan pada waktu pemin-

dahan semai, sedangkan urea diberikan dua kali yaitu pada waktu pemin-

dahan semai sebanyak setengahnya dan sisanya diberikan sebulan kemu-

dim.

Tanaman ditempatkan di tempat terbuka atau pun dibawah naungan

atap plastik. Daerah penanaman dipilih di kompleks IPB Baranangsiang

(171)

1.2. ,&than kimia Bahan-bahan kimia penyusun medium kultur terdiri

dari bahan-bahan himia dengan mutu analitik, demikian pula zat pengatur

tumbuh yang dlgunalcan. Sukrosa yang digunakan berupa s u h s a mutu

teknis yang berwarna putih bersih. Medium padat dibuat dengan

menambahkan 0.6 persen Difco Bacto Agar. Pada kebanyakan perm- baan ini medium dasar yang digunakan dibuat dalam sediaan pekat

yang

d i b e k u b . Penambahan zat pengatur tumbuh, bahan otganik lain, gula, agar dan pengukuran keasaman medium dilakukan pada saat medium

akan disterilkan.

Alkohol telatis 70 p e r m digunakan untuk mengelap tangan, rnernbersihkan kotak kultur ("laminar flow cabinet") dan menyemprot semua alat yang akan dimasukkan ke dalam kotak kultur. Untuk mensu- cihamakan bahan tanaman digunakan sodium hypochloride dengan merek

dagang Clorox atau Bayclean y,ang mengandung bahan aktif sodium

hypochloride (NaCtO) sebesat 5.25 persen.

1.3. Alat-alat. Wmgai wadah kultur digunakan tabung kultur berukur-

an 10 x 160 mm, 20 x 200 mm, 250 x 200 mm, tabung Ehrlenmeyer atau botol bundar berbagai ukuran bahkan juga botol selai, tergantung

pada keperluannya. Alat-alat lainnya yang digunakan dalam pengerjaan

kultur aniara lain pinset ukuran 10 cm baik berujung lengkung maupun berujung lurus, pinset ukuran 30 cm, jarum Ose, kaca pembesar dan

cawan petri.

1.4. Sterilisasi bahan dan alat. Bunga yang akan digunakan sebagai

(172)

dingin dicuci bersih d q a n air ledeng yang diberi beberapa tetes sabun

cair seperti tween atau teepol. Setelah dibilas bersih dengan air jedeng dan akuades bunga krsebut disterilkan dalam larutan clorox 25 persen selama 20 sampai 30 menit. Selanjutnya lamtan clorox dibuang dan bunga dibilas beberapa kali &ngan akuades yang telah disttrilkan.

Kecuali pekerjaan pencucian bunga dengan air ledeng, semua peketjaan

sterilisasi bunga sampai pembuatan kultur anter dilakukan dalam

kondisi

suci hama di dalam

kotak

steril ("laminar flow cabinet").

Medium kultur disterilkan &ngan jalan dipanaskan di dalam auto-

clav pada suhu sekitar 121°c dengan tekanan uap 15-16 psi (sekitar 1.5 kg/cm2) selama 30 menit. Demikian juga alat-alat yang digunakan dalam

pengejaan kultur disberilkan dengan jalan pemanasan di dalam autoclav atau dibakar dulu sampai pijar di atas nyala api lampu spiritus. Alat-alat- lainnya yang tidak tahan panas ,api dan tidak berhubungan langsung

&%an medium atau bahan tanaman disterilkan dengan cara dibilas

dengan alkohol70 persen.

Metoda Penelitian

2.1. Temoat. P d i h a r a a n tanaman sebagai sumber eksplan dilakukan

di lingkungan Jurusan Agronomi-Fakultas Pertanian-Institut Pertanian

Bogor dan di limgkungan Puslitbang Biologi di Bogor. Kegiatan

pembuatan kultur anter dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan

Jurusan Budidaya Pertanian-Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor,

Laboratorium Anggrek Kebun Raya Bogor dan Laboratorium Treub-

(173)

2.2.

e

n

.

Penentuan stadium polen dilakukan dengan

cara

pewarnaan umtuk melihat inti polen. Untuk maksud tersebut contoh

bunga diukur dulu panjangnya sebelum anternya dikeluarkan untuk

dipedwi stadium polennya. Panjang bunga diukur dari ujung bunga

sampai ke batas pertemuan antara pangkal dasar bunga yang menggem- bung dengan gagang bunga yang mulai mengecil. Pewarna

aceto-car-

min, acetwrcein atau campuran fastgreen dengan giemsa digunakan

untuk mewamai inti polen. Berdasarkan hasil pemeriksaan stadium

polen maka dicari hubungan antara panjang bunga dengan stadium polen.

Anter yang berasal dari berbagai ukuran panjang bunga (berbagai stadium polen), yaitu ukuran 2 mm sampai 9 atau 10 mm (bunga

mekar), dikulturkan secara in-vitro untuk melihat kemungkinan pertum- buhannya dan perkembangannya. Sebagai medium kultur digunakan

medium MS dengan konsentrasi NAA sebanyak 0.5 mgll, kinetin 1 mg/l,

sukrosa 20 gll dan agar 6 gll. Pemilihan medium MS sebagai medium kultur didasarkan pada kenyataan bahwa medium tersebut paling umum

digunakan untuk mengkulturkan eksplan dari berbagai jenis tanaman

termasuk dari suku terung-terungan (Dunwell dan Sunderland, 1973;

Sunderland dan Roberts, 1977; Reynolds, 1986). Kowalczyk, Macken-

zie dan Cocking (1983) telah berhasil meregenerasikan tunas dari daun

,

(174)

Percwn

1.

Pengaruh Komposisi Dasar dan Bentuk Fisik Medium Kultur terhadap Pertumbuhan dan Per- kernbangan Anter dalam Kultur.

Dalam percabaan penjajagan tehukti bahwa anter mampu

membentuk kalus ddam medium Murashlge &

Skoog

(MS).

Berda- sarkan hasil penjajagan dan studi pustaka maka dicobakan untuk mag-

kulturkan anter dalam beberapa medium kultur yang sudah baku. Susunan peroobaan adalah dua faktorial dengan rancangan percobaan

;beak Iengkap (RAL). Faktor pertama berupa empat macam komposisi

dasar medium kultur yaitu medium Murashige & Skoog (MS), medium

MS dengan konsentrasi ham makro setengahnya (MS1/2), medium Nitsch dan Nitsch (N) yang dimodifikasi dan medium

Gresshoff & Doy (GD). Komposisi medium dapat dilihat dalam Ethel Lampiran 1. Faktor kedua adalah bentuk fisik medium kultur yaitu bentuk padat {dengan penambahan agar) dan bentuk cair (tanpa agar

tetapi diberi kertas penyangga).

Ke

daiam medium ditambahltan sukrosa (mutu teknis) sebanyak 30 g/l, NAA sebanyak 0.01 mg/l dan kinetin sebanyak 0.1 mgll medium. Medium padat dibuat *an menambahkan agar Difco Bacto sebanyak 6

gll medium sedangkan pada medium cair dipasang penyangga terbuat dari kertas saring. Keasaman medium kultur ditentukan sekitar 5.8

sebelum disterilkan dalam autoclave pada tekanan 15 psi selama 25

menit. Sebagai wadah digunakan tabung kultur (test tube) ukuran 1 x 16

(175)

Bunga yang bemkuran antara 4.5

-

5.0 mm setelah disimpan

selama 48 jam pada suhu sekitar 10' C disterilkan dalam larutan clorox

25 persen selama 25 menit. Anter dikulturkan dalam tabung kultur.

Tiap tabuing berisi satu anter. Tiap perlakuan terdiri atas sepuluh

duplilcat dan masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Kultur diletak-

kan pada rak dengan penyinaran 16 jam t e m g dan 8 jam gelap. Sumber cahaya berasal dari dua buah lampu tabung 40 watt yang terletak 50 cm di atas dasar rak. Suhu mangan berkisar sekitar 31' C pada s i q hari dan 26' C pada malam hari.

Pengamatan dilakukan selama tiga bulan. Unsur-unsur yang

diamati meliputi perubahan warna dari anter, jumlah anter yang berha- sil tumbuhlberkembang, bentuk pertumbuhanlperkembangan

dari

ankr dan morfolcgi bentuk pertumbuhanlperkemb~an anter.

Analisis data kuantitatif disesuaikan dengan rancangan percobaan dan keadaan data.

Percobaan 2, Pengaruh Konsentrasi NAA dan Kinetin terhadap

Pertumbuhan dan Perkembangan Anter dalam

Medium Kultur MS.

Dari hasil Peroobaan 1 didapatkan bahwa pembentukan kalus

terbanyak didapatkan dalam medium MS dan GDl dalam bentuk padat.

Waupun demikian tidak satu pun dari kalus yang terbentuk menghasil-

kan bentuk pertumbuhan lain selain dari kalus. Atas dasar ini dicoba

penggunaan auksin dan sitokinin dalam usaha memanipulasi kondisi

(176)

Susunan percobaan adalah dua faktorial dengan rancangan acak

lengkap (RAL). Sebagai medium kultur dipilih medium MS

.

Faktor pertama adalah lima taraf konsentrasi NAA, yaitu 0, 0.05, 0.10, 0.25

dan 050 mgll medium hltur. Faktor kedua adalah empat taraf konsen-

trasi kinetin, yaitu 0, 0.10, 0.50 dan 1.00 mg/l medium kultur. Ke dalam medium ditambahkan sukrosa sebanyak 30 g/l d m agar sebanyak 6 d l . Keasaman medium ditentukan sekitar 5.8. Sebagai wadah diguna- kan botol bulat volume 50 ml yang masing-masing diisi 8 ml medium

hlturdan ditutupdengan kertas aluminum. Medium disterilkandalam auto-

clave pada tekanan 15 psi selama 25 menit.

Bunga yang berubran 4.5

-

5 mm setelah disimpan pada suhu 10'' C selama 48 jam disterilkan dalam larutan clorox 25 persen selama 25 menit. Anter dikeluarkan dari bunga dan dikulturkan dalam botol

kultur yang berisi 8 ml medium kultur. Tiap perlakuan terdiri atas sepuluh duplikat dan masing-masing perlakuan diulang dua M i . Kultur diletakkan pada ralc yang mendapat penyinaran 16 jam terang dan 8 jam gelap dari dua buah lampu tabung 40 watt yang terietak 50 cm diatas dasar rak. Suhu ruangan berkisar anma 26°C

-

3@ C.

Pengamatan dilakukan selama tiga bulan. Unsur unsur yang

diamati meliputi perubahan warna dari anter, jumlah anter yang berha-

sil tumbuh /betkernbang, bentuk pertumbuhan /perkembangan dari an ter

dan morfologi bentuk pertumbuhan/perkembangan an ter.

Analisis data kuantitatif disesuaikan dengan rancangan percobaan

(177)

Percobaan 3. Pengaruh Konsentrasi NAA dan Kinetin terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anter dalam

Medium Kultur MS112.

Dari Percobaan 2 diketahui bahwa anter hanya membentuk kalus

apabila dalam medium terdapat auksin (NAA), tetapi sejauh yang diarnati

tidak ada tanda bahwa kalus bisa meregenerasikan tanaman. Atas dasar

ini maka dicoba peningkatan konsentrasi NAA dan kinetin sedangkan

sebagai medium Icultur digunakan medium MS1/2 dengan harapan

penurunan hara makro bisa mengubah pola perkembangan kalus.

Konsemntrasi NAA yang dicoba adalah 0.10, 0.25, 0.50, 1.00 dan 2.00

mg/l yang dikombinasikan dengan kinetin pada konsentfasi 0.10, 0.50,

1.0

Gambar

Gambar 13. Hubungan antara Konsentrasi NAA dengan Rata-rata Jumlah
Gambar 15. Pengaruh Intedcsi antara NAA dengan Kinetin terhadap
Gambar 17. Hubungan Antara Konsentrasi Kinetin dengan Rata-rata Jumlah
Gambar 21. Hubungan antara Konsentrasi Glutamin dengan Rata-
+7

Referensi

Dokumen terkait

“Untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan angket ini, peneliti tidak harus bertemu langsung dengan subyek tetapi cukup dengan mengajukan pertanyaan atau pemyatan

Sebelum melakukan tindakan penelitian, terlebih dahulu pada awal penelitian peneliti melakukan pra tindakan yaitu berdiskusi dengan kepada teman sejawat yang

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui pengaruh bauran pemasaran secara bersama ± sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan konsumen menggunakan kartu simpati

Tugas seorang guru di sekolah hanyalah memberikan jalan kepada siswa agar mampu belajar mandiri, pendekatan problem posing berlatar cooperative learning dalam

Selain itu, dibutuhkan pula upaya untuk dapat mengelola penyimpanan data citra dalam ukuran yang besar (biasanya menggunakan teknologi RAID ), dan menjamin penyimpanan data

Oleh karena itu, perlu adanya suatu upaya pemanfaatan produksi perikanan di Indonesia, dan dalam upaya tersebut perlu mempertimbangkan faktor-faktor biologis (jenis dan

Namun tetap saja bahwa sebagian besar perpustakaan perguruan tinggi masih harus mengatasi berbagai masalah dengan koleksi yang masih kurang untuk memberikan pelayanan yang baik

Kebijakan hutan di Indonesia era Jokowi adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement To The United