/Tf'y
$2
@f
MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN
DALAM
PEMBUATAN
PlNDANG TONGKOL
Oleh
IDA AYU IRASTINA DANUR
F
25.02231993
F A K U L T A S TEKNOLOGI P E R T A N I A N i N S T l T U T PERTANIAN B O G O R
Ida Ayu Irastina Danur. F25.0223. Mempelajari Metode Reduksi Kadar Histamin Dalam Pembuatan Pindang Tongkol. Di bawah bimbingan Suliantari dan Sutrisno Koswara.
Pemindangan merupakan salah satu bentuk olahan ikan
secara tradisional yang cukup populer di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena ikan pindang mempunyai citarasa
yang spesifik sehingga dapat diterima oleh masyarakat
Indonesia.
Masalah yang dihadapi dalam pembuatan ikan pindang
adalah terbentuknya suatu senyawa yang dapat menyebabkan
keracunan yaitu biogenik amin akibat sanitasi yang buruk
selama pengolahan maupun penyimpanan.
Biogenik amin adalah senyawa amin yang terbentuk
sebagai hasil proses dekarboksilasi asam amino bebas yang
terdapat di dalam tubuh ikan. Senyawa biogenik amin yang
paling sering terbentuk pada ikan pindang adalah hista-
min. Senyawa ini terbentuk akibat proses dekarboksilasi
histidin yang banyak terdapat di dalam tubuh ikan oleh
enzim dekarboksilase mikroba.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara
terbaik yang dapat mengurangi kadar histamin dalam
pembuatan ikan pindang tongkol dengan cara mengendalikan
histamin, yaitu: konsentrasi garam, lama pemasakan dan
cara serta lama penyimpanan produk akhir.
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu peneli-
tian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Dalam. peneli-
tian pendahuluan dilakukan survei lapangan tentang cara
pengolahan ikan pindang di daerah Pelabuhan Ratu (Jawa
Barat), cara penanganan dan penyimpanan produk jadi di
berbagai pasar di daerah Bogor serta menganalisa
konsentrasi histamin pada produk pindang tongkol yang
diambil dari pasar.
Pada penelitian lanjutan dilakukan pembuatan ikan
pindang tongkol dengan memodifikasi metoda yang diperoleh
dari lapangan. Analisa yang dilakukan adalah kadar air,
kadar abu, kadar lemak, kadar protein, histamin, kadar
garam, pH, TVN dan TMA serta nilai kecernaan protein
secara vitro.
Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan
kadar abu dan kadar garam serta. penurunan kadar air
dengan semakin lamanya waktu pemasakan dalam suasana
bergaram. Selain itu dengan semakin lamanya waktu penyim-
panan pindang menyebabkan peningkatan nilai TVN dan TMA
serta penurunan daya cerna.
Konsentrasi garam yang tinggi dan lamanya waktu
pemasakan dapat meningkatkan ketahanan produk dari
rekontaminasi mikroba pembentuk histamin selama penyim-
zat-zat gizi makanan. Pembentukan histamin dapat diken-
dalikan dengan memperhatikan kesegaran bahan baku dan
sanitasi selama pengolahan dan penyimpanan pindang.
Berdasarkan penelitian diperoleh cara pembuatan
pindang yang terbaik dengan memperhatikan faktor yang
dapat menekan pembentukan histamin tanpa mengabaikan
komposisi gizi yang terkandung di dalamnya adalah dengan
menggunakan konsentrasi garam 20% dan lama pemasakan 60
menit dengan catatan kesegaran bahan baku dan kebersihan
selama pengolahan dan penyimpanannya harus diperhatikan.
Lama pgnyimpanan pindang yang baik adalah tidak
lebih dari dua hari dan pindang disimpan dalam keadaan
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN
DALAM PEMBUATAN PINDANG TONGKOL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Jurusan TEKNOLOGI PANGAN DAN GI21
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
IDA AYU IRASTINA DANUR
F25.0223
1993
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAXULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN
DALAM PEMBUATAN PINDANG TONGKOL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Jurusan TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
IDA AYU IRASTINA DANUR
F25.0223
Dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1969
di Jakarta
Tanggal lulus : 13 Mei 1993
Disetujui
Ir. Sutrisno Koswar
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena penulis telah berhasil menyelesaikan penyu-
sunan skripsi ini.
Dalam melakukan penelitian maupun penulisan skripsi
ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dra. Suliantari, MS dan Ir. Sutrisno Koswara selaku
Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu-
nya untuk memberikan bimbingan dan saran yang sangat
berharga kepada penulis.
2. Drh. Slamet Ma'oen selaku dosen penguji yang telah
meluangkan waktunya untuk menguji penulis.
3. Pak Wahid, Pak Basri, Pak Mu1 dan Pak Ganda yang
telah membantu penulis selama melakukan penelitian di
laboratorium.
4. Bapak dan Ibu tercinta yang menjadi kekuatan moril
penulis.
5. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam
penyelesaian tugas akhir ini yang tidak dapat dise-
butkan satu persatu.
Bogor, Mei 1993
DAFTAR IS1
Halaman
KATA PENGANTAR
...
ivDAFTAR IS1
...
vDAFTAR TABEL
...
viiDAFTAR GAMBAR
...
viiiDAFTAR LAMPIRAN
...
ixI
.
PENDAHULUAN...
1I1
.
TINJAUAN PUSTAKA...
4A
.
STRUKTUR IKAN TONGKOL...
4B
.
PROSES PEMINDANGAN...
5C
.
HISTAMIN...
10D
.
GARAM SEBAGAI PENGAWET...
17I11
.
METODA PENELITIAN...
21...
A.
BAHAN 21 B.
ALAT...
22...
C.
METODE 22...
D.
RANCANGAN PERCOBAAN 3 1 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN...
3 4 A.
PENELITIAN PENDAHULUAN...
3 4 1.
Survei Lapang Tentang Cara Pengolahan Pindang di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat) 3 4 2.
Tata Cara Penanganan dan Penjualan Pro- duk Jadi Ikan Pindang pada Berbagai Pa- sar di Daerah Bogor...
39 3.
Penghitungan Konsentrasi Histamin dari...
B.
PENELITIAN LANJUTAN...
.
1 Kadar Air
2
.
Kadar Abu...
3
.
Kadar Garam...
4.
Kadar Lemak...
5
.
Kadar Protein...
6
.
Nilai pH...
...
.
7 Kadar TVN
8
.
Kadar TMA...
9
.
Daya Cerna In Vitro...
DAFTAR TABEL Halaman Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
1. Kadar asam amino bebas beberapa jenis
ikan
...
152. Kandungan histamin beberapa jenis pro-
duk ikan
...
173. Komposisi garam dapur, dianalisa di La-
...
boratorium kimia organik IPB 18
4. Kandungan histamin dari beberapa pin-
dang
...
40 [image:10.541.52.465.116.481.2]5. Komposisi kimia ikan tongkol segar dan
...
ikan pindang tongkol pasar 41
6. Rata-rata kadar air pada perlakuan lama
pemasakan dan cara penyimpanan
...
447. Rata-rata kadar lemak pada perlakuan
lama pemasakan dan lama penyimpanan
...
5 18. Rata-rata pH pada perlakuan lama pema-
sakan
...
559. Rata-rata kadar TVN pada perlakuan lama
pemasakan dan lama penyimpanan
...
5 610. Rata-rata daya cerna pada perlakuan la-
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
1. Tipe penyebaran daging merah
...
52. Reaksi pembentukan histamin
...
113. Skema pembuatan ikan pindang tongkol
..
244. Histogram hubungan antara lama pema- sakan dan lama penyimpanan terhadap
kadar air pada konsentrasi garam 20%... 42
[image:11.541.54.459.147.457.2]5. ist tog ram hubungan antara lama pemasak- an dan lama penyimpana terhadap kadar
...
air pada konsentrasi garam 25% 42
6. is tog ram hubungan antara lama pemasak- an dan lama penyimpanan terhadap kadar abu
...
477. Histogram hubungan antara lama pemasak-
an dan lama penyimpanan terhadap kadar garam
...
498. Histogram hubungan antara lama pemasak-
an dan lama penyimpanan terhadap kadar protein
...
53DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
...
Lampiran 1
.
Data kadar a i r 7 1...
.
Lampiran 2 Data kadar abu 73
...
.
Lampiran 3 Data kadar garam 75
...
Lampiran 4
.
Data kadar lemak 77...
Lampiran 5
.
Data k a d a r p r o t e i n 79...
Lampiran 6
.
Data pH 8 1Lampiran 7
.
Data kadar TVN...
83Lampiran 8
.
Data kadar TMA...
85Lampiran 9
.
Data daya c e r n a i n v i t r o...
87Lampiran 10
.
Data kadar h i s t a m i n...
89Lampiran 11
.
S i d i k ragam d a t a k a d a r a i r...
9 1 Lampiran 1 2.
S i d i k ragam d a t a kadar abu...
93Lampiran 1 3
.
S i d i k ragam d a t a kadar garam...
94Lampiran 1 4
.
S i d i k ragam d a t a kadar lemak...
95Lampiran 1 5
.
S i d i k ragam d a t a kadar p r o t e i n....
96Lampiran 16
.
S i d i k ragam d a t a n i l a i pH...
98Lampiran 17
.
S i d i k ragam d a t a kadar TVN...
99Lampiran 18
.
S i d i k ragam d a t a kadar TMA...
100Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi
sumber daya perikanan yang cukup besar. Luas wilayah
perairan teritorial Indonesia saat ini sekitar 3.1 juta
km2 dengan potensi sumber daya perikanan sebesar 4.5 juta
ton/tahun. Dengan diakuinya Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dalam Konvensi Hukum Laut 1 9 8 2 serta diterbitkannya
Undang-undang No. 5 tahun 1 9 8 3 tentang ZEE Indonesia,
maka luas perairan Indonesia menjadi sekitar 5.8 juta km 2
dengan potensi sumber daya lestari sebesar 6.6 juta
ton/tahun.
Dengan potensi perikanan yang cukup besar itu, maka
ikan menjadi salah satu sumber protein hewani yang cukup
penting. Namun karena sifat hasil perikanan yang cepat
mengalami kebusukan dan tidak semua masyarakat Indonesia
dapat mengkonsumsi ikan segar, maka perlu adanya pe-
nanganan dan pengolahan lebih lanjut dari hasil perikanan
agar tidak mudah membusuk atau rusak.
Dewasa ini, dari rata-rata total hasil tangkapan
perikanan, baru sekitar 47% yang dikonsumsi dalam keadaan
segar, sedangkan sisanya diolah dalam berbagai bentuk
olahan. Pengolahan ikan yang paling banyak dilakukan di
Indonesia adalah secara tradisional, yaitu dalam bentuk
penggaraman (dan pengeringan), pemindangan, pengasapan
Pemindangan merupakan salah satu teknik pengolahan
dan pengawetan ikan yang cukup populer di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena ikan pindang umumnya disukai dan
diterima masyarakat mengingat citarasanya yang spesifik.
Dan menurut data Statistik Hasil Perikanan Indonesia
(1984), pengolahan ikan menjadi pindang mempunyai ke-
cenderungan yang terus mengingkat dari tahun ke tahun
Daya awet ikan pindang pada umumnya relatif rendah,
yaitu berkisar 2-7 hari walaupun ada pula beberapa ikan
pindanq yang dapat awet sampai satu bulan. Hal ini dise-
babkan karena walaupun pengolahan pindang telah dilakukan
dengan proses pemanasan tetapi tidak dikemas dalam wadah
yang bersih dan kedap udara sehingga mudah mengalami
penurunan mutu.
Daya awet yanq rendah dan sanitasi pindang yang
buruk dapat mengakibatkan terbentuknya senyawa-senyawa
yang tidak dikehendaki (terutama biogenik amin) yang
dapat mengakibatkan keracunan. Biogenik amin adalah
senyawa amin yang terbentuk sebagai hasil dari proses
dekarboksilasi asam amino bebas yang terdapat di dalam
tubuh ikan. Asam amino histidin, tirosin, triptofan dan
fenilalanin jika mengalami proses dekarboksilasi akan
menghasilkan senyawa-senyawa biogenik amin, yaitu hista-
min, tiramin, triptamin dan feniletilamin.
Senyawa biogenik amin yang paling sering terbentuk
akibat proses dekarboksilasi histidin yang banyak terda-
pat di dalam tubuh ikan oleh enzim histamin dekarboksi-
lase mikroba.
Menurut Food and Drug Administration (FDA, 1982),
keracunan histamin yang berbahaya akan timbul apabila
seseorang mengkonsumsi makanan dengan kandungan histamin
50 mg/lOO g bahan atau lebih. Gejala-gejala keracunan
histamin ditandai dengan rasa terbakar pada tenggorokan,
muntah-muntah, pusing, bibir bengkak, kejang, mual, muka
dan leher kemerah-merahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter-
parameter yang memegang peranan penting dalam pembentukan
histamin, menentukan metoda pengolahan pindang yang
paling efektif serta mengetahui cara penyimpanan dan lama
penyimpanan maksimal yang masih dapat dilakukan untuk
mendapatkan produk yang aman dikonsumsi dengan cara
mengendalikan dan menekan faktor-faktor pendorong terben-
tuknya histamin seperti konsentrasi garam, lama pema-
11. TINJAUAN PUSTAKA
A. STRUKTUR IKAN TONGKOL
Ikan tongkol termasuk ke dalam ordo Percomorphi,
famili Scombroidae, genus Euthynnus dan species
thvnnus affinis. Ciri-ciri umum species ini antara
lain bentuk badan yang memanjang seperti torpedo, tak
bersisik kecuali pada korselet dan garis rusuk, ber-
warna biru kehitaman pada bagian atas, putih pada
bagian bawah dan tot01 hitam di antara bagian dada dan
bagian perut (Anonim, 1979).
Berdasarkan daerah penangkapan dan besarnya, ikan
tongkol termasuk ke dalam golongan pelagik besar yaitu
jenis ikan besar yang hidup di permukaan air laut
(Hadiwiyoto, 1983)
.
Daging ikan tongkol rata-rata mengandung 71.70%
air, 26.00% protein, dan 1.0% lemak (Zaitsev et al.,
1969). Komposisi ikan dapat bervariasi antar spesies,
antar individu dalam satu spesies dan antar bagian-
bagian dari satu individu ikan. Variasi ini dapat
disebabkan karena pengaruh beberapa faktor, antara
lain umur, laju metabolisme dan aktivitas pergerakan
ikan (Stansby, 1963).
Secara umum daging ikan dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu daging putih dan daging merah. Daging
kadar lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan
daging merah (Stansby, 1963). Daging merah mempunyai
kandungan lemak yang lebih tinggi karena terdapat "lateral lineu tempat urat syaraf yang dilindungi lemak (Ma1 oen, 1984)
.
Berdasarkan penyebaran daging merah, ikan dapat digolongkan menjadi tiga tipe yaitu "codu, "mackerelw dan "frigate mackerel" tergantung pada spesies ikan
(Gambar 1) (Suzuki, 1981). Untuk ikan tongkol, poLa
penyebaran daging merahnya mengikuti tipe "frigate mackerel".
[image:17.562.74.473.170.563.2]A. TICodll B. "Mackereln C. "Frigate mackerel"
Gambar 1. Tipe penyebaran daging merah ikan
(Suzuki, 1981)
.
B. PROSES PEMINDANGAN
Pindang merupakan hasil olahan ikan dengan cara kombinasi perebusan atau pemasakan dengan penggaraman. Pindang digolongkan ke dalam hasil olahan tradisional.
Menurut Ilyas (1979), azas dari pengolahan tradisional
menciptakan perubahan-perubahan tertentu pada produk,
yang dapat menghambat proses penurunan mutu yang
menjurus kepada pembusukan bahan mentah akibat kegi-
atan-kegiatan enzimatis, kimiawi dan mikrobiologis.
Perlakuan-perlakuan yang diberikan meliputi perlakuan
fisik atau kimiawi seperti penambahan atau perendaman
dalam larutan garam dan atau bahan-bahan organik
lainnya, sehingga dihasilkan produk olahan atau awetan
yang memiliki ciri khusus dalam rupa, flavor, bau dan
tekstur atau konsistensi yang mempunyai daya tarik
tersendiri bagi konsumen.
Menurut Clucas (1982), pemindangan adalah proses
perebusan ikan dalam air garam pada temperatur dan
tekanan normal sehingga dapat menguraikan protein dan
enzim serta membunuh beberapa bakteri pada daging ikan
sehingga proses pembusukan ikan dapat dikurangi.
Pindang mempunyai rupa, flavor, bau dan tekstur
serta keawetan yang khas, bervariasi sesuai dengan
jenis ikan, kadar garam, dan lama perebusan yang
semuanya berkaitan dengan teknik dan prosedur pemin-
dangan yang dilakukan. Jenis-jenis ikan yang umum
dipindang adalah jenis ikan pelagis seperti layang,
selar, japu, tembang, lemuru, kembung, tuna, cakalang,
tongkol, cucut dan petek (Nasran, 1980).
Menurut Suparno et al. (1979) dan Hadiwiyoto
pindang rasanya asin, tetapi pemindangan tidak dapat
digolongkan sebagai penggaraman ikan yang dilakukan
untuk mendapatkan produk yang dikenal sebagai ikan
asin. Perbedaan spesifik antara pemindangan dan peng-
garaman adalah adanya proses perebusan di dalam pemin-
dangan (Hadiwiyoto, 1983).
Ditinjau dari cara perebusan ikan dalam suasana
bergaram, dalam prakteknya pemindangan ini dapat
dibedakan atas dua kelompok, yaitu pemindangan garam
(pindang badeng) dan pemindangan air garam atau yang
lebih dikenal dengan sebutan pindang naya.
Pada pemindangan air garam, ikan yang sudah siap
dipindang disusun dalam wadah keranjang (naya)
.
Tiapnaya hanya berisi tiga sampai lima ekor ikan. Beberapa
naya disusun menjadi satu lalu dimasukkan ke dalam
larutan garam yang telah dididihkan selama setengah
sampai satu jam. Sedangkan pemindangan dengan garam
dilakukan dengan cara menyusun ikan yang telah siap
dipindang ke dalam wadah paso.
Di antara susunan ikan tersebut ditaburi garam.
Setelah paso penuh, kemudian diisi air secukupnya dan
dipanaskan selama empat sampai enam jam (Hadiwiyoto,
1983). Umumnya pada pindang badeng, wadah perebus
langsung digunakan sebagai wadah penjualan produk di
Pindang badeng dapat memiliki daya awet yang
lebih lama pada suhu kamar, hingga sekitar 1
-
3 bulanapabila disimpan dengan baik dalam keadaan tetap
tertutup rapat dalam wadah. Penampakan produk ini
biasanya kurang bersih dan mengkilap, karena pada
permukaannya terdapat endapan-endapan lemak dan
kotoran hasil rebusan. Bentuk fisik ikan kadang-kadang
tidak utuh dan bengkok-bengkok. Rasanya lebih asin dan
aromanya hampir mendekati aroma ikan kaleng. Tekstur-
nya empuk, lebih kompak, padat dan kesat.
Pindang cue atau naya umumnya memiliki daya awet
yang relatif singkat (pada suhu kamar), yaitu sekitar
dua sampai tiga hari (Nitibaskara, 1980). Produk ini
umumnya mempunyai penampakan yang lebih bersih dan
mengkilap, sedangkan warna spesifik jenis ikan masih
kelihatan. Bentuk fisik dari ikan lebih baik, yaitu
utuh dan tidak retak. Rasanya tidak terlalu asin dan
aromanya hampir seperti ikan rebus biasa, teksturnya
lebih kenyal dan lembab.
Garam yang masuk ke dalam daging ikan dapat
mencegah atau mengurangi kegiatan bakteri. Konsentrasi
garam antara 6-101 dalam jaringan ikan akan mencegah
aktivitas bakteri pembusuk, dan dapat mengurangi kadar
air dalam tubuh ikan selama proses penggaraman
Kemungkinan adanya rekontaminasi oleh mikroba
juga dapat terjadi selama pengemasan, penyimpanan dan
distribusi. Berdasarkan cara-cara pengolahan dan
penjualan selama ini tidak mungkin dapat dihindari
adanya kontaminasi produk karena adanya kebiasaan
mengangin-anginkan produk di udara terbuka, cara
pengemasan serta penggunaan peralatan dan tempat yang
tidak higienis (Ilyas dan Hanafi, 1978).
Jenis-jenis kerusakan yang terdapat pada pindang
badeng umumnya disebabkan oleh infestasi jamur dan
bakteri halofilik. Sedangkan jenis kerusakan pada
pindang naya (pindang cue) umumnya disebabkan oleh
bakteri pembusuk dan pembentuk lendir (Anonim, 1988).
Saat proses pembusukan berlangsung, produk umumnya
didominasi (90%) oleh bakteri Micrococcus
z.
(Heru-wati et al., 1985).
Pada kondisi di daerah tropis seperti Indonesia,
umumnya terlihat bahwa produk pindang yang masih
berkadar air tinggi dan berkadar garam rendah akan
segera mengalami pelendiran di samping tumbuhnya
kapang (Ilyas dan Hanafiah, 1978).
Dari hasil penelitian mengenai daya awet pindang,
diketahui bahwa produk ini sangat cepat membusuk
terutama disebabkan karena adanya pertumbuhan kapang
(Suparno et al., 1979). Sedangkan menurut Ichinoe,
pada produk-produk perikanan dari Jepang dan Asia
Tenggara adalah dari genus Eurotium sp.
Menurut Hadiwiyoto (1983), hasil pemindangan air
garam biasanya tahan kira-kira tiga sampai empat hari.
Sedangkan hasil pemindangan garam tahan kira-kira enam
sampai tujuh hari setelah paso dibuka.
C . HISTAMIN
Kimata (1961) dalam Orejana (1984) menyatakan
bahwa adanya histamin pada daging ikan berkaitan
dengan "Scombroid Poisoning", sehingga histamin dapat
digunakan sebagai indikator adanya suatu toksin dalam
tuna, mackerel (kembung) dan ikan-ikan sejenis tuna
lainnya. Istilah "Sc~mbroid~~ adalah merupakan istilah
yang umum digunakan untuk menyebut ikan yang secara
alami telah mengandung senyawa toksin. Termasuk ke
dalam kelompok ini adalah ikan tongkol, kembung,
cakalang, tuna, bonito dan skipjack.
Ikan uscombroid8v segar seperti tuna, cakalang,
kembung dan sejenisnya pada hakekatnya tidak mengan-
dung histamin dalam otot dagingnya, tetapi setelah
terjadi pembusukan atau dekomposisi ikan ini mengan-
dung histamin (Pan, 1984). Geiger (1948) dan Geiger et
al. (1945)
dalam
Kimata (1961) menunjukkan bahwa ikansegar mengandung histamin sangat sedikit tetapi jum-
pembusuk pada tuna dan "scombroid" lainnya kadang-
kadang disertai dengan pembentukan histamin dalam
tingkat tinggi pada jaringan ikan yang dapat dimakan
(Hillig, 1950 dalam Taylor, 1983).
Ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu
histidin bebas dan histidin terikat dalam protein.
Yang dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin
hanya histidin bebas (Kimata, 1961). Sedangkan menurut - ----
Pan (1984), ikan-ikan yang suka berpindah-pindah
seperti tuna, cakalang dan kembung, jaringan ototnya
mengandung histidin bebas yang tinggi. Kadar asam
amino bebas pada beberapa jenis ikan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Histamin pada ikan dibentuk melalui proses dekar-
boksilasi histidin oleh enzim yang secara alami
terdapat dalam jaringan ikan atau oleh aktivitas
bakteri. Pembentukan histamin oleh enzim yang terdapat
secara alami dalam jaringan daging ikan berlangsung
selama proses autolisis. Proses dekarboksilasi histi-
din menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 2.
CH -CH-COOH
I
= I
-
dekarboksilase histidinI
I - ( ~ * ~ ) 2-NH2L
Histidin Histamin
[image:23.544.62.471.573.635.2]Menurut Kimata (1961), jumlah histamin yang
dikandung oleh ikan dipengaruhi oleh jumlah bakteri
yang terdapat pada ikan tersebut. Jumlah histamin
umumnya meningkat sesuai dengan tingkat kebusukan
ikan. Banyak bakteri yang dilaporkan menghasilkan
enzim histidin dekarboksilase, tetapi hanya Proteus
morsanii, Klebsiella ~neumoniae dan Havnia alvei yang
baru diketahui menghasilkan histamin dalam jumlah yang
cukup berarti (jumlah yang dapat menyebabkan kera-
cunan)
.
Autolisis daging mulai berlangsung secara bioki-
mia segera setelah ikan mati, terutama pada daging di
sekitar rongga perut. Setelah fase rigor mortis, enzim
dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada rasa,
warna, tekstur, bau dan rupa ikan (Ilyas, 1983)
Bakteri pembentuk histamin umumnya lebih banyak
terdapat pada jaringan otot, insang dan jeroan. Isi
jeroan mungkin merupakan sumber dari bakteri ini
karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari
mikroorganisme (Shewan, 1962).
Kecepatan proses autolisis dipengaruhi oleh suhu.
Pada suhu rendah proses autolisis dapat diperlambat
tetapi tidak dapat dihentikan sama sekali. Aktivitas
enzim dapat dikontrol dan dikendalikan dengan cara
atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan pada suhu
tertentu (Ilyas, 1983)
.
Aktivitas bakteri pembentuk histamin dipengaruhi
oleh suhu dan waktu inkubasi. Tiap-tiap spesies mem-
punyai suhu optimum yang berbeda (Behling dan Taylor,
1982). Selain itu, menurut Kimata dan Kawai (1953)
dalam
Kimata (1961) produksi histamin dipengaruhi pHlingkungan. Bakteri yang mendekarboksilasi histidin
aktif pada suasana asam (Kimata dan Kawai dalam
Kimata, 1961). Menurut laporan Igarashi dalam Kimata
(1961), histamin tidak diproduksi pada suhu lebih dari
30°c dan suhu optimalnya adalah 27-28O~.
Menurut Taylor dan Speckhard (1983), bakteri yang
memproduksi histamin tidak berhasil diisolasi dari
ikan tuna beku, dengan demikian pembekuan dapat
menghambat pembentukan histamin. Pada jaringan ikan
yang "dithawingH, produksi histamin terhambat. Hal ini
dapat disebabkan oleh rusaknya bakteri pembentuk
histamin selama proses pembekuan dan thawing (Kimata,
1961). Sedangkan pemanasan 60°c akan membunuh bakteri
pembentuk histamin sehingga mencegah pembentukan
senyawa tersebut (Hibiku dan Simidu, 1959).
Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas
enzim sangat rendah bila dibandingkan dengan histamin
yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses
oleh suhu dan pH lingkungan. Di bawah kondisi optimum
jumlah maksimum histamin yang dihasilkan melalui
autolisis tidak melebihi 10-15 mg/100 g daging
(Kimata, 1961)
.
Pembentukan histamin setiap species berbeda,
tergantung pada kandungan histidinnya (Tabel I), tipe
dan banyaknya bakteri yang mengkontaminasi, serta suhu
pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi
mikroba (Pan, 1984). Menurut Staruskiewez (1977) dalam
Orejana (1984), jumlah histamin yang terbentuk dalam
otot daging dapat berbeda-beda tergantung dari spe-
cies, komposisi bakteri, penanganan dan penyimpanan
ikan.
Behling dan Taylor (1982) melaporkan bahwa bak-
teri penghasil histamin dapat dikelompokkan menjadi
spesies yang mampu memproduksi histamin dalam jumlah
besar (lebih dari 100 mg/lOO ml) dalam Tuna Fish
Infusion Broth (TFIB) pada suhu di atas 1 5 O ~ , lama
inkubasi kurang dari 24 jam dan spesies yang mempro-
duksi histamin dalam jumlah kecil (kurang dari 25
mg/100 ml) setelah diinkubasi pada suhu 30°c selama
lebih dari 48 jam. Dari hasil penelitian ini maka
P. morqanii, K, pneumoniae dan
E-
aeroqenes termasuk-
penghasil histamin yang banyak, sedangkan H, alvei,
E. coli dan C, freundii menghasilkan sedikit histamin.
Tabel 1. Kadar asam mino bebas beberapa jenis ikan
*B
(mg/loo g)
.
Jenis ikan Asam
amino Tongkol Cakalang Tuna bermata
(Euthvnnus (Katsuwonus besar (Thun-'
af f inis) pelamis)
-
nus obesus)Taurin 6 5
Aspartat 3
Threonin 10
Serin 6
Prolin 8
Glutamat 2 0
Glisin 10
Alanin 2 6
Va 1 in 9
Metionin 6
Ileusin 5
Leusin 9
Tirosin 4
Fenilalanin 3
Lisin 48
Histidin 1090
* ) Sumber : Konosu dan Yamaguchi (1982)
Makanan dengan kandungan histamin yang tinggi
dapat menimbulkan reaksi alergi atau keracunan yang
gejala-gejalanya antara lain sakit kepala, kejang,
mual, muka dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-
gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir
membengkak, badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller
et al., 1982).
Henry (1960) membagi tingkat keracunan histamin
menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. keracunan tingkat lemah apabila mengkonsumsi 8-40
2. keracunan sedang apabila mengkonsumsi 70-1000 mg
histamin
3. keracunan kuat apabila mengkonsumsi 1500-4000 mg
histamin
Menurut FDA (Food and Drug Administration, 1982)
keracunan histamin yang berbahaya akan terjadi apabila
seseorang mengkonsumsi makanan dengan kandungan hista-
min lebih dari 50 mg/100 g.
Amerika Serikat menetapkan jumlah maksimum hista-
min yang boleh dikandung oleh ikan tuna adalah
20 mg/100 g daging. Swedia menganjurkan bahwa batas
maksimum jumlah histamin yang boleh terdapat pada ikan
yang akan dijual adalah 20 mg/100 g daging, sedangkan
Switzerland membuat undang-undang batas maksimum
histamin di dalam produk ikan yang dikalengkan yaitu
10 mg/100 g ikan dan dalam undang-undang sementara
Chekolowakia ditetapkan bahwa batas maksimum histamin
dalam makanan adalah 40 mg/100 g yang diturunkan
menjadi 20 mg/100 g.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai
Penelitian Teknologi Perikanan mengenai kandungan
histamin pada beberapa jenis produk ikan yang terdapat
di pasar-pasar di Jakarta dan sekitarnya, ternyata
pada beberapa jenis produk melebihi batas maksimum
kandungan histamin yang direkomendasikan oleh FDA
Tabel 2. Kandu~gan histamin pada beberapa jenis produk ikan )
.
Jenis Produk Histamin (mg % )
Jambal (Tachvsurus Peda (Rastrelliqer Petis
Terasi
Saus ikan lokal Saus ikan Taiwan Udang kering Dendeng udang Cumi-cumi asin Pindang kembung Pindang tongkol
*
) Hasil penelitian BPTP, Jakarta (1984)D. GARAM SEBAGAI PENGAWET
Menurut Zaitsev et. al. (1969), secara umum garam
terdiri dari 39.39% natrium dan 60.61% klorida, di
dalam pengolahan ikan biasanya garam digunakan sebagai
bahan pengawet dan pemberi rasa. Sebagai pengawet,
kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu ikan.
Terdapatnya zat-zat lain yang tercampur dalam garam
(terutama garam-garam magnesium, sulfat, kotoran dan
lain-lain) menimbulkan akibat yang kurang baik pada
produk penggaraman (Moeljanto, 1982).
Garam dapat mengandung kurang lebih 90% NaCl dan
kandungan yang lain berupa Ca, Mg dan Fe dalam bentuk
garam-garam klorida. Komposisi garam dapur dapat
[image:29.541.75.460.90.306.2]18
Tabel 3. Komposisi garam dapur * )
Jenis analisa Kadar ( % )
Air Ca Mg NaCl Kotoran
* ) Joedawinata (1976)
Menurut Frazier dan Westhoff (1978), garam seba-
gai bahan pengawet berfungsi menaikan tekanan osmotik,
sehingga menyebabkan terjadinya plasmolisis pada sel
mikroorganisme, dehidrasi dan bersifat racun akibat
terbentuknya ion klorida, serta menyebabkan sel
mikroorganisme menjadi peka terhadap C02- Konsentrasi
garam yang tinggi dalam larutan atau adonan dapat
menghambat kegiatan enzim proteolitik.
Penggaraman merupakan kombinasi dari proses
fisika dan kimia, yaitu penetrasi garam ke dalam ja-
ringan daging ikan dan keluarnya air dari jaringan
yang menghasilkan perubahan berat. Pada ikan yanq
mengalami penggaraman, penurunan berat menunjukkan
berhasilnya proses penggaraman, karena merupakan hasil
reaksi antara garam dan ikan (Voskresenky
,
1965 ;Zaitsev et. al., 1969).
Menurut Silliker et. al. (1980), penambahan garam
pada bahan makanan akan menurunkan nilai aktivitas
[image:30.547.76.468.96.257.2]garam tersebut, sehingga air tidak dapat lagi digunakan
sebagai media reaksi dan aktivitas mikroba. Menurut
Zaitsev et. al. (1969), garam tidak hanya menyebabkan
plasmolisis, tetapi juga dapat menghambat aktivitas.
enzim dalam mengubah inti protein.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi efekti-
vitas penggaraman adalah konsentrasi garam, kemurnian
garam, suhu penggaraman, ketebalan daging ikan dan
kesegaran ikan (Moeljanto, 1982).
Enzim-enzim yang terdapat di dalam daging ikan
terdenaturasi oleh konsentrasi garam yang tinggi
sehingga kehilangan fungsi enzimatiknya (Winarno,
1983). Sehingga proses autolisis oleh aktivitas enzim
hidrolitik dapat dihindari.
Tarr (1962) dan Zaitsev (1969) menyatakan bahwa
pemanasan dengan suhu yang lebih besar dari 60'~ pada
setiap proses pemasakan akan menyebabkan terjadinya
denaturasi protein dan keluarnya air dari daging ikan,
dan ha1 ini juga merupakan penghambat penetrasi garam
ke dalam daging ikan.
Namun Klaveren dan Legendre (1957)
a
dalamBorgstrom (1957) menyatakan bahwa penggunaan garam
yang terlalu tinggi konsentrasinya juga dapat menye-
babkan produk memiliki rasa pahit yang tajam, tekstur
banyaknya Ca dan Mg dalam produk dari garam yang dipa- kai.
111. METODE PENELITIAN
1. Pindang
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini
ikan tongkol abu yang diperoleh dari Pasar Kebon
Jahe. Sedangkan garam yang digunakan juga dibeli di
Pasar Anyar dengan merk "Flipperw yang merupakan
garam dapur beryodium.
Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jerami kering yang digunakan sebagai alas
pada waktu pemasakan pindang, juga diperoleh dari
Pasar Anyar.
2. Bahan kimia.
Bahan kimia yang digunakan meliputi NaOH, HC1,
Na2C03, TCA, H2S04, formaldehid, HgO, K2S04, alko-
hol, metil merah, metilen biru, KOH, resin Amber-
lite, CH3COOH, CH3COONa, asam asetat, p-nitroani-
lin, NaN02, methanol, petroleum benzen, AgN03 serta
K2Cr03, enzim pepsin dan pankreatin serta kertas
saring Whatman 42 diperoleh dari laboratorium PAU,
AP4 dan laboratorium jurusan TPG, atau dari toko
B. ALAT
Alat-alat yang digunakan diperlukan adalah panci
untuk memasak pindang (badeng) yang dibeli dari pasar
di Pelabuhan Ratu, kompor gas, baskom, seperangkat
alat gelas, alat destruksi dan destilasi, tanur, oven,
soxhlet, pH-meter, timbangan, desikator, alat sentri-
fuge serta buret dan shaker.
C . METODE
penelitian ini meliputi dua tahap yaitu peneli-
tian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada peneli-
tian pendahuluan dilakukan :
a. survei lapang tentang cara pengolahan ikan pindang
di daerah Pelabuhan Ratu.
b. survei lapang tentang tata cara penanganan dan pe-
nyimpanan produk ikan pindang di berbagai pasar di
daerah Bogor (Pasar Anyar, Pasar Gunung Batu, Pasar
Ramayana serta Pasar Bogor).
c. Analisis kandungan histamin pada berbagai jenis
produk pindang yang ada di pasar.
Sedangkan pada penelitian lanjutan dilakukan pem-
buatan ikan pindang tongkol secara higienis dengan
metode yang dimodifikasi dari survei lapang, lalu
dilakukan analisa kadar air, kadar abu, pH, kadar
lemak, protein, TVN dan TMA, kadar garam, daya cerna
in vitro serta analisa kandungan histamin.
I. Perlakuan
Perlakuan yang diberikan pada pembuatan ikan
pindang tongkol adalah sebagai berikut :
A. Konsentrasi garam
A 1 : 20%
A2 : 25%
B. Lama pemasakan
B1 : 30 menit
B2 : 6 0 menit
B3 : 90 menit
C. Cara penyimpanan produk pada suhu kamar
C1 : dibungkus kertas
C2 : dibiarkan terbuka
D. Lama penyimpanan
Dl : 0 hari
D2 : 2 hari
Cara pembuatan ikan pindang tongkol yang
digunakan dalam penelitian ini seperti yang terli-
ikan segar
I
1
disiangi dan dicuci
I
1
dilumuri garam (A)
I
1
dibiarkan selama 3 jam
I
1
disusun dalam badeng
I
1
tambahkan air lalu direbus (B)
l
air rebusan dibuang dan disisakan sedikit
I
1
dikukus selama 30 menit
[image:36.556.90.395.88.472.2]I
1 ditiriskanI
i
dikemas (C)I
4. disimpan (D)Gambar 3. Skema pembuatan ikan pindang tongkol.
11. Pengamatan
1. Kadar Air (AOAC, 1980)
Cawan kosong dikeringkan di oven pada suhu
1 0 5 ~ ~ selama 30 menit, lalu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang beratnya. Sampel ditim-
bang seberat 5 gram di dalam cawan tersebut lalu
1 0 5 ~ ~ . Sampel dan cawan didinginkan dalam desi-
kator lalu ditimbang.
a
-
b% Kadar air =
x
100%a
a = berat sampel sebelum dioven
b = berat sampel setelah dioven
2 . Kadar Abu (AOAC, 1 9 8 0 )
Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven
selama 30 menit pada suhu 105Oc, didinginkan
dalam desikator lalu ditimbang. Ditimbang sampel
sebanyak 3-5 gram di dalam cawan lalu diletakkan
dalam tanur pada suhu 5 5 0 ~ ~ selama 4-5 jam
hingga diperoleh abu berwarna putih keabuan.
Dinginkan dalam desikator lalu ditimbang.
berat abu (g)
% Kadar abu =
x
100%berat sampel (g)
Sampel ditimbang seberat 5 gram lalu dima-
sukkan ke dalam gelas piala 50 ml dan ditambah
aquades 45 ml, kemudian diaduk dengan magnetic
stirrer selama 15 menit dan diukur pH-nya dengan
4 . Kadar Garam (metode abu)
Hasil dari analisa abu diencerkan hingga
100 ml dengan aquades, lalu dipipet 10 ml dan
ditambahkan indikator Kalium Chromat 5% 1-2
tetes kemudian dititrasi dengan AgN03 0,l N
standar.
ml AgN03 x N AgN03 x 5,846 x fp
% NaC1 = x 100%
berat sampel (g)
5 . Kadar Lemak (AOAC, 1 9 8 0 )
Labu soxhlet yang akan digunakan dikering-
kan dalam oven lalu ditimbang beratnya. Sampel
yang telah kering ditimbang sebanyak 5 gram lalu
dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke
dalam labu soxhlet. Kemudian ditambahkan petro-
leum benzen sebanyak 120 ml dan dilakukan ek-
straksi lemak selama 5 jam. Pelarut yang ada di
dalam labu soxhlet kemudian didestilasi dan labu
dikeringkan dalam oven kemudian ditimbang.
berat labu akhir
-
berat labu awal% Lemak = x 100%
berat sampel
6 . Kadar P r o t e i n (AOAC, 1 9 8 0 )
Ditimbang 1.01
-
0.02 gram sampel, lalu2 gram K2S04 serta HgO (1:l) dan 2.0 ml H2S04
pekat. Sampel didestruksi hingga menjadi cairan
berwarna hijau bening kemudian didinginkan.
Sampel yang telah dingin dibilas dengan
aquades lalu dimasukkan ke dalam alat destilasi
serta ditambahkan 10 ml NaOH pekat. Sampel kemu-
dian didestilasi dan destilat ditangkap dengan 5
ml Asam Borat jenuh yang telah diberi 2-4 tetes
indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2%
dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2%
dalam alkohol). Destilat ditampung hingga menca-
pai 50 ml.
Destilat kemudian dititrasi dengan menggu-
nakan KC1 0.02 N yang telah distandarisasi
hingga berwarna merah muda.
(titran-blanko)
x
N HC1x
14.007% N =
x
100%berat sampel (g)
% protein = % N
x
6.257. Kadar TVN dan TMA (AOAC, 1980)
~itimbang 100 gram sampel lalu ditambahkan
300 ml TCA 5% dan digiling dengan waring blender
sampai homogen. Ekstrak TCA kemudian dipisahkan
Dipipet 5 ml ekstrak TCA lalu didestilasi.
~estilat ditangkap dengan 15 ml HCl 0.01 M
standar. Ditambahkan dua tetes indikator merah
fenol (0.1 g merah fenol dengan 2.84 ml NaOH 0.1
M yang diencerkan menjadi 100 ml dengan aquades)
lalu dititrasi dengan NaOH 0.01 M standar hingga
titik akhir.
Tambahkan 1 ml formaldehid 16% untuk setiap
10 ml campuran sesudah titrasi yang pertama,
kocok, kemudian titrasi lagi dengan NaOH 0.01 M
standar
.
14(300+W) x (15-V1) x 0.01 100
TVN (mg/100 g) = x -
5 M
14(300+W) x V2 x 0.01 100
TMA (mg/100 g ) = x -
5 M
14 = bobot atom nitrogen
V1 = volume NaOH 0.01 M yang dibutuhkan untuk
titrasi I
M = berat sampel
W = jumlah air yang ada dalam bahan (g)
V2 = volume NaOH 0.01 M yang dibutuhkan
8. Daya Cerna In Vitro (metode Pepsin-Pankreatin)
Dalam suatu tabung sentrifuge disuspensikan
250 mg sampel ke dalam 15 ml HCl 0.1 N yang
mengandung 1.5 mg pepsin. Kemudian diaduk-aduk
dalam shaker bersuhu 37'~ selama 3 jam.
Suspensi kemudian dinetralkan dengan NaOH
0.5 N lalu ditambahkan 4 mg pankreatin dalam 7.5
ml buffer fosfat 0.2 M pH 8.0 yang mengandung
0.005 N Sodium Azide. Campuran kemudian diaduk-
aduk dalam shaker suhu 37OC selama 24 jam.
Residu padatan dipisahkan dengan cara
sentrifusi (20 000
x
g, suhu ~ O C selama 5menit). Kemudian dicuci 5 kali dengan 30 ml
aquades (untuk setiap kai pencucian, supernatan
dipisahkan dengan cara sentrifusi).
Akhirnya residu disaring dengan Milipore
filter (1.2 mikron), dikeringkan dan dianalisa
kadar nitrogennya dengan metode Kjeldahl.
N t o t a l sampel
-
N t o t a l r e s i d uDC p r o t e i n = x 100%
( % ) N t o t a l sampel
9. Histamin (Hardy and Smith, 1976)
Bahan kimia yang digunakan :
-
Garam diazonium : 0.4 gr p-nitroanilindalam aquades. Diencerkan dengan methanol
sampai 500 ml. Untuk larutan diazonium
digunakan 9 bagian larutan di atas
ditambah 1 bagian HC1 pekat.
- Larutan buffer asetat 0.2 N, pH 4.63.
11.43 ml CH3COOH diencerkan dengan aquades
sampai volume 1 liter. Kemudian 16.6 gr
Natrium asetat dilarutkan dalam 1 liter
aquades
.
Selanjutnya dicampur denganperbandingan 1:l.
- Amberlite resin, CG-50 Chromatography Grade
type 100-200 mesh.
Prosedur analisa.
10-25 gr contoh daging ikan ditambah dengan
100 ml larutan TCA 2.5%, diblender selama 2
menit, kemudian disaring.
1 gr Amberlite resin dimasukkan ke dalam 10
ml 0.2 N larutan buffer, kemudian dimasukkan ke dalam kolom Chromatography lalu dicuci dengan
150 ml larutan buffer.
75 ml larutan ekstrak dinetralkan dengan
larutan 1 N KOH, kemudian dialirkan ke dalam
kolom Chromatography (9-10 tetes per menit).
Kolom kemudian dicuci lagi dengan 150 ml
lautan buffer asetat (kolom jangan sampai
HC1 untuk mengabsorpsi histamin. Untuk blanko
digunakan larutan TCA 2.5% dengan prosedur yang
sama
.
Ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 15
ml larutan Na2C03 5% ditambahkan 1 ml larutan
elusi, kemudian didinginkan dalam air es (ice
water bath), lalu ditambah 2 ml larutan
diazonium yang telah dingin. Setelah dicampur,
tabung reaksi tersebut dibiarkan pada suhu OOC
selama 10 menit. Kemudian OD histamin ditentukan
pada panjang gelombang 495 nm dan besarnya kadar
histamin dihitung dari contoh. Adapun rumus
untuk menghitung kadar histamin adalah :
Y 25 100 100
Kadar histamin (mg%) = -
x
- x - x -100 1 7 5 a
dimana y = 43.6995~
+
0.3789x = besarnya resapan histamin pada spec-
trofotometer
a = berat sampel (gr)
.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam peneli-
yijkl = u
+
Ai+
B+
Ck + Dl + (AB)ij + (AC)ik +j
(AD)il
+
(BC) jk + (BD) jl + (CD)kl + (ABC)ijk+
(ABD) ijl + (BCD) jkl + (ACD) ijk+
(ABCD) ijkl+ Em(ijkl)
Keterangan :
Yijkl = hasil pengamatan dari perlakuan A taraf ke-i,
perlakuan B taraf ke-j, perlakuan C taraf ke-k
dan perlakuan D taraf ke-1.
u = pengaruh nilai tengah umum
Ai = pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i (i = 1,2)
Bj = pengaruh perlakuan B pada taraf ke-j
(j = 1,2,3).
Ck = pengaruh perlakuan C pada taraf ke-k (k = 1,2)
1 = pengaruh perlakuan D pada taraf ke-1 (1 = 1,2)
(AB) ij = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i
dengan B taraf ke-j.
(AC)ik = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i
dengan C taraf ke-k.
(AD)il = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i
dengan D taraf ke-1.
(BC) jk = pengaruh interaksi perlakuan B taraf ke-j
dengan C taraf ke-k.
(BD) jl = pengaruh interaksi perlakuan B taraf ke-j
(CD) kl = pengaruh interaksi perlakuan C taraf ke-k dengan D taraf ke-1.
(ABc) i jk = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i,
dengan perlakuan B taraf ke-j dan dengan
perlakuan C taraf ke-k.
(ABD) ijl = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i,
dengan perlakuan B taraf ke-j dan dengan
perlakuan D taraf ke-1.
(BCD) jkl = pengaruh interaksi perlakuan B taraf ke-j,
dengan perlakuan C taraf ke-k dan dengan
perlakuan D taraf ke-1.
(ACD)ikl = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i,
dengan perlakuan C taraf ke-k dan dengan
perlakuan D taraf ke-1.
(ABCD)ijkl = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i
dengan perlakuan B taraf ke-j dengan per-
lakuan C taraf ke-k dan dengan perlakuan
D taraf ke-1.
Em(ijkl) = pengaruh kesalahan dari perlakuan A taraf
ke-i, perlakuan B taraf ke-j, perlakuan
C taraf ke-k, perlakuan D taraf ke-1 dan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
1. Survei Lapang Tentang Cara Pengolahan Pindang di
Pelabuhan Ratu (Jawa Barat).
Pengamatan lapang dilakukan di empat lokasi
yang berbeda di daerah Pelabuhan Ratu dengan jenis
ikan yang berbeda pula. Pada lokasi pertama mengo-
lah ikan pindang dari jenis "yellow-finu yaitu
sejenis ikan tuna dengan ukuran panjang berkisar
satu meter. Lokasi kedua mengolah pindang dari
jenis ikan tembang dan bandeng. Lokasi ketiga
mengolah ikan pindang dari jenis tuna "skipjacktt
sedangkan lokasi keempat mengolah pindang dari ikan
tongkol dan cengker.
Jenis pengolahan pindang yang dilakukan di
empat lokasi tersebut adalah jenis pindang badeng
atau pindang paso. Sebagai langkah awal dalam
proses pembuatan pindang adalah mempersiapkan kuali
serta alat-alat lain yang digunakan. Kuali yang
sesungguhnya merupakan ember dari seng dengan
diameter 50 cm dan tingginya 30 cm tersebut dialasi
dengan potongan kayu lalu dilapisi dengan anyaman
bambu. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kontak
langsung antara ikan dengan dasar kuali yang dapat
Pada lokasi pertama, ikan "yellow-fin" dipo-
tong-potong, dicuci dengan air PAM dan dibungkus
dengan kertas telepon, kemudian disusun dalam kuali
yang berkapasitas 45 kg. Setelah itu ditaburi garam
sebanyak 5 kg, ditambahkan air sebanyak 1.5 ember
dan dimasak dalam kuali selama kurang lebih lima
jam.
Pada lokasi pengamatan kedua, pembuatan produk
ikan pindang tidak selalu dilakukan karena
disesuaikan dengan hasil tangkapan ikan dari para
nelayan yang dijual di Tempat Pelelangan Ikan
Pelabuhan Ratu.
Ikan tembang setelah dicuci (tidak dibuang isi
perutnya karena ukuran ikan terlalu kecil), lalu
disusun dalam kuali yang telah disiapkan. Setiap
dua ekor ikan tembang diberi alas daun bambu,
kemudian barulah disusun dalam kuali. Setiap lapis
ikan dalam kuali ditaburi garam hingga total garam
yang digunakan untuk satu kuali adalah 5 kg.
Setelah kuali penuh dengan ikan tembang, pada
bagian atas lalu ditutup dengan kertas semen yang
sebelumnya sudah dibasahi dan dimasak selama tiga
jam. Pada kuali untuk ikan tembang, di bagian
tengahnya ditancapkan bambu atau sebatang pipa yang
berfungsi untuk lebih meratakan panas karena pipa
air yang mendidih dikocok dengan lidi melalui pipa
tersebut, maka air akan menyiram dan mengenai ikan
hingga ke lapisan teratas.
Jika yang dipindang adalah ikan bandeng, garam
yang digunakan dicampur lagi dengan kunyit sebanyak
114 kg, lalu proses pemindangan yang dilakukan sama
seperti pada ikan tembang, hanya saja untuk setiap
ekor bandeng dibungkus dengan kertas telepon hala-
man kuning.
Pada lokasi pengamatan yang ketiga, ikan
dikeluarkan jantungnya saja dan isi perutnya tidak
dibuang, lalu dicuci dan disusun dalam kuali yang
telah dipersiapkan. Setiap lapis ikan kemudian
diberi garam hingga total garam yang digunakan
untuk satu kuali adalah 10-11 kg. Kemudian ditambah
air satu ember dan dimasak selama 5 jam.
Pada lokasi pengamatan yang terakhir, ikan
tongkol yang digunakan diperoleh dari Tempat
Pelelangan Ikan Pelabuhan Ratu, sedangkan cengker
diperoleh dari Muara Baru Jakarta.
Untuk ikan tongkol, ikan yang datang langsung
dicuci dengan air garam tanpa dibuang isi perutnya.
Konsentrasi garam yang digunakan adalah sekitar 3-4
kg garam untuk satu ember, sedangkan satu ember
memiliki kapasitas 6 liter air. Setelah dicuci
dengan kertas telepon dan langsung disusun dalam
kuali. Berbeda dengan ikan tembang dan ikan
bandeng, pada ikan tongkol tidak ditaburi qaram
untuk setiap lapisan. Namun setiap 4 lapisan ikan
tongkol, ditambahkan gula 114 kg untuk menambah
rasa gurih.
Setelah kuali penuh dengan ikan tongkol, lalu
ditambahkan air sebanyak satu ember, ditutup denqan
dua lapis kertas semen basah lalu dimasak 112 jam.
Setelah mencapai kondisi setengah matang
(dimasak 30-40 menit), air yang terdapat dalam
kuali lalu dikeluarkan dengan jalan membuka sumbat
yang terdapat di dasar kuali. Air buangan tersebut
ditampunq dalam ember lain lalu disiram-siramkan
lagi pada pindang. Selama perlakuan tersebut, tutup
kuali yang terbuat dari kertas semen dibuka dan api
tungku dimatikan.
Setelah itu kuali ditutup kembali dengan
kertas semen basah lalu diatas kertas semen dila-
pisi denqan garam sebanyak 2 kg yang disebar merata
dan pemasakan dilanjutkan hingga 2.5-3 jam berikut-
nya. Sementara itu, air yang terdapat dalam kuali
terus dibuang hingga habis, kemudian lubang disum-
bat kembali.
Untuk mengetahui apakah pindang yang dibuat
adalah lapisan garam pada tutup kuali. Jika lapisan
garam di atas kertas semen telah kering dan
mengeras serta terbentuk lubang-lubang pecahan
lapisan garam, maka proses pemasakan telah cukup dan
pindang telah matang.
Setelah matang, tanpa membuka lapisan garam di
atas kertas semen, kuali ditutup lagi dengan nam-
pan, diikat dan siap dipasarkan. Dalam kondisi
seperti itu, ikan pindang dapat tahan hingga satu
bulan asal tutup kuali tidak dibuka.
Untuk pembuatan pindang dari ikan cengker,
prinsipnya juga tidak berbeda jauh dengan pembuatan
pindang dari ikan tembang, hanya saja garam yang
dibutuhkan adalah 10 kg. Lima kg ditaburkan untuk
setiap lapisan ikan dan lima kg lainnya digunakan
untuk melapisi tutup kertas semen kuali. Selain itu
pada kuali juga ditancapkan bambu atau pipa untuk
lebih meratakan panas. Karena ikan yang diperoleh
berasal dari Jakarta dan dalam keadaan beku, maka
ikan "dithawing" terlebih dahulu dengan merendamnya
dalam kuali berisi air selama 15 menit.
Hal-ha1 yang bersifat umum dari keempat lokasi
pemindangan tersebut adalah garam yang digunakan
umumnya garam kristal yang tidak beryodium. Hal ini
itu posisi susunan ikan dalam kuali juga saling
tegak lurus antar tiap lapisan.
Tujuan dilakukannya pembungkusan atau pemberi-
an alas pada setiap ekor ikan yang dipindang adalah
untuk memudahkan pengambilan ikan pada saat
diperjualbelikan agar ikan tersebut tidak saling
menempel atau lengket.
2. Tata Cara Penanganan Dan Penjualan Produk Jadi Ikan
Pindang Pada Berbagai Pasar di Daerah Bogor.
Pengamatan lapang terhadap cara penjualan ikan
pindang dilakukan di empat pasar yaitu Pasar Bogor,
Pasar Ramayana, Pasar Anyar dan Pasar Gunung Batu.
Ikan yang dijual umumnya diambil dari tempat
pengolahannya sehari sebelum dipasarkan dan di-
perkirakan habis terjual dalam 1-2 hari.
Cara penjualan ikan pindang berbeda-beda,
tergantung dari cara pembuatannya di tempat pengo-
lahan. Pindang yang dibuat dengan menggunakan naya
atau anyaman bambu, umumnya dijual juga dalam naya.
Sedangkan ikan pindang yang dimasak dalam kuali,
juga dijual dalam kuali.
Pindang yang terbuat dari jenis ikan yang
kecil dijual dalam kotak-kotak ayaman bambu ber-
ukuran 10
x
20x
3 cm. Setiap kotak dapat menampung3 sampai 5 ekor ikan pindang, disesuaikan dengan
ikan berukuran sedang termasuk tongkol, bandeng dan
cengker yang dibuat di dalam naya, yaitu suatu
anyaman bambu berbentuk lingkaran dengan diameter
berkisar 3 5 cm, tetap dijual dalam naya.
Sebaliknya untuk pindang yang terbuat dari
ikan tongkol dengan ukuran besar, umumnya dijual
tetap dalam kuali dan terbungkus kertas telepon,
atau dikeluarkan darikuali lalu dijejerkan di atas
meja dan bungkus kertasnya dibuka, atau bahkan ada
yang dipotong kecil-kecil seperti pada ikan pindang
cakalang
.
3. Penghitungan Konsentrasi Histamin dari Beberapa Je- nis Pindang.
Kadar histamin pada beberapa pindang yang
dibeli di pasar dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan histamin dari beberapa pindang.
Jenis pindang Kadar histamin (mg % )
Pindang paso tongkol Pindang naya tongkol Pindang paso cakalang
* ) Pengukuran dilakukan di Balai Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Muara Baru dengan metoda AOAC.
* * ) Pengukuran dilakukan peneliti di Lab. AP4 de- ngan metoda berdasarkan jurnal Hardy dan Smith
~ e l a i n itu juga dilakukan analisa kimia dan
daya cerna pada ikan tongkol segar dan pindang
[image:53.550.105.465.117.391.2]tongkol pasar (Tabel 5)
Tabel 5. Komposisi kimia ikan tongkol segar dan ikan pindang tongkol pasar.
Jenis analisa ikan segar pindang pasar
Kadar air ( % ) 74.83 65.75
Kadar abu ( % ) 1.07 3.61
Kadar garam ( % ) 0.02 1.58
pH 5.90 6.10
Kadar lemak ( % ) 1.09 1.56
Kadar TVN (mg % ) 21.64 88.53
Kadar TMA (mg % ) 3.21 21.78
Kadar protein ( % ) 22.20 26.83
DC
in
vitro ( % )-
71.81Histamin (mg % ) 0.17
*
Keterangan :
-
tidak dilakukan analisa.*
tertera pada Tabel 4.B. PENELITIAN LANJUTAN
1. Kadar A i r
Kadar air merupakan faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan hasil
olahan, semakin rendah kadar air, semakin lambat
pertumbuhan mikroba sehingga bahan pangan menjadi
awet
.
Secara keseluruhan, kadar air yang terkandung
dalam produk pindang yang dihasilkan berkisar
antara 61.65%
-
69.12% (Lampiran la dan lb). Kadarair dapat dipengaruhi oleh lama pemasakan, cara
Kadar air (90)
7 0
SO 60 90
Lama pemasakan (menit)
[image:54.541.133.427.112.281.2] [image:54.541.161.453.416.593.2]penylmpanan 0 harl penylmpanan 2 harl
Gambar 4. Histogram hubungan antara lama pemasakan dan lama penyimpanan terhadap kadar air daging ikan pada konsentrasi garam 20%.
Kadar air (40)
68
Lama pemasakan (menit)
penylmpanan 0 harl penylmpanan 2 harl
Pengaruh dari lama pemasakan pindang menyebab-
kan terjadinya perubahan kadar air. Semakin lama
waktu pemasakan maka kadar air akan cenderung
semakin menurun (Gambar 4 dan Gambar 5). Hal ini
mungkin disebabkan karena larutan garam bersifat
hipertonik, sehingga semakin lama waktu pema-
sakan semakin banyak air yang diserap keluar dan
sebaliknya terjadi penetrasi larutan garam ke dalam
j aringan daging ikan. Vorkresensky (1965)
menjelaskan bahwa penetrasi garam ke dalam tubuh
ikan disebabkan oleh proses difusi, karena adanya
perbedaan konsentrasi garam yang tinggi ke
konsentrasi garam yang rendah. Proses difusi ini
akan berlanjut terus selama masih ada perbedaan
konsentrasi garam.
Selain itu, selama penyimpanan pindang yang
terbungkus cenderung memiliki kadar air yang lebih
tinggi dari pada jika dibiarkan disimpan dalam
keadaan terbuka (Tabel 6), karena kertas pembungkus
dapat menghalangi penguapan air dari produk. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Nitibaskara (1988) yang menyatakan bahwa penurunan
kadar air dapat disebabkan oleh dehidrasi air bebas
Tabel 6. Rata-rata kadar air pada perlakuan lama pemasakan dan cara penyimpanan.
Keterangan : C1 = disimpan terbungkus
C2 = disimpan terbuka cara
penyimpanan
C1 C2
Produk pindang yang baru selesai dimasak
(disimpan 0 hari) memiliki kadar air yang lebih
tinggi dari pindang yang telah mengalami penyim-
panan karena proses penirisan belum berlangsung
lama pemasakan (menit)
sempurna (Gambar 4 dan Gambar 5)
3 0 67.04 66.24
Perembesan cairan dari daging ikan selama perebusan disebabkan karena protein kehilangan daya ikatnya terhadap air sewaktu terjadi penggumpalan (Zaitsev, 1969). Selanjutnya menurut Suparno dan Murtini (1979), keluarnya air dari dalam sel menye- babkan kandungan air dalam pindang pada waktu
60 65.10 64.68
penyimpanan mengalami penurunan.
90
64.00 62.71
Berdasarkan uji BNJ faktor konsentrasi garam terhadap kadar air (Lampiran llb), diketahui bahwa penggunaan konsentrasi garam yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap
kadar air produk. Dari Gambar 4 dan Gambar 5, dapat
dilihat bahwa penggunaan konsentrasi garam 20% pada
lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi
garam 25 %. Hal ini mungkin disebabkan karena ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju
penetrasi garam ke dalam jaringan daging yaitu
kandungan lemak ikan, ketebalan daging, kesegaran
ikan, suhu dan kemurnian garam (Burgess et al.,
1965).
Berdasarkan uji statistik (Lampiran lla),
diketahui bahwa interaksi antara perlakuan
konsentrasi garam, lama pemasakan, cara dan lama
penyimpanan cukup memberikan pengaruh nyata dalam
penurunan kadar air pindang, dan berdasarkan data
Lampiran 1 diketahui bahwa kadar air terendah
diperoleh dengan adanya perlakuan lama pemasakan 90
menit, produk disimpan selama 2 hari dalam keadaan
terbuka dan menggunakan konsentrasi garam 25%.
Pindang yang dihasilkan juga memiliki kadar
air yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kadar
air ikan segar, dan tidak berbeda jauh kadar airnya
jika dibandingkan dengan ikan pindang tongkol dari
pasar (Tabel 5).
Kadar Abu
Menurut Pomeranz dan Meloan (1977), abu
biasanya berupa mineral seperti Kalium, Kalsium,
Joedawinata (1976), garam dapur mengandung kurang
lebih 90% NaCl dan senyawa-senyawa lain berupa Ca,
Mg dan Fe dalam bentuk garam-garam klorida.
Dengan semakin meningkatnya kadar garam pro-
duk, akan terjadi pula peningkatan kadar abu produk
karena garam yang terdiri dari ion ~ a + dan C1-
serta senyawa-senyawa lain seperti M~'+ dan ~ a " dapat menjadi prekursor abu yang merupakan residu
anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik.
Dari Gambar 6 terlihat bahwa kadar abu akan
mengalami peningkatan dengan semakin lamanya waktu
pemasakan. Namun berdasarkan uji statistik (Lampir-
an 12c) diketahui bahwa antara lama pemasakan 30
menit dan 60 menit tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap kadar abu produk. Pengaruh yang
nyata terlihat pada lama pemasakan 90 menit. Hal
ini mungkin disebabkan karena waktu pemasakan yang
90 menit itu memberikan cukup banyak peluang bagi
larutan garam untuk berdifusi ke dalam jaringan
ikan. Selain itu, berdasarkan uji BNJ untuk faktor
konsentrasi garam (Lampiran 12b) juga diketahui
bahwa perbedaan antara konsentrasi garam 20% dan
25% tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata.
Demikian juga untuk faktor cara penyimpanan, pin-
dang yang disimpan terbungkus tidak berbeda nyata
Secara keseluruhan, produk pindang yang diha-
silkan memiliki kadar abu berkisar 2.33%
-
6.53%(Lampiran 2a dan 2b). Faktor-faktor Yan9
berpengaruh terhadap kadar abu adalah lama
pemasakan dan lama penyimpanan (Lampiran 12c dan
12e).
kadar abu (9'0)
SO 60 90
lama pemasakan (menit)
[image:59.547.96.490.75.434.2]I
penylmpanan 0 harl penylmpanan 2 harlI
Gambar 6. Histogram hubungan lama pemasakan dan la-
ma penyimpanan terhadap kadar abu daging
.
ikan.
Dari Gambar 6 juga dapat dilihat bahwa kadar
abu pindang mengalami peningkatan setelah disimpan
selama 2 hari. Hal ini mungkin disebabkan karena
selama penyimpanan telah terjadi penguapan air dari
pindang sehingga dengan adanya penurunan kadar air
maka konsentrasi garamnya meningkat dan menyebabkan
Adnan (1982) bahwa bahan pangan umumnya bila disimpan, kadar airnya akan mencapai kesetimbangan
dengan kelembaban udara di sekeliling bahan
tersebut. Sedangkan menurut Winarno dan Fardiaz (1974), dengan adanya penurunan kadar air, maka
bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa
seperti protein, lemak, karbohidrat dan mineral- mineral dalam jumlah yang lebih tinggi, tetapi vitamin dan zat warna menjadi rusak atau berkurang. Dengan adanya penurunan kadar air produk selama penyimpanan, maka terjadi peningkatan kadar mineral sehingga kadar abu juga meningkat.
3. Kadar Garam
Kadar garam produk pindang yang dihasilkan
berkisar antara 1.61%
-
6.51% (Lampiran 3a dan 3b).Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa ada peningkatan
kadar garam produk dengan semakin lamanya waktu pemasakan dan penyimpanan. Pindang yang dimasak 90 menit memiliki kadar garam paling tinggi dibanding-
kan dengan pindang yang dimasak 30 dan 60 menit.
Hal ini mungkin disebabkan karena pemanasan yang lama akan memberikan peluang yang cukup banyak untuk terjadinya penetrasi larutan garam ke dalam
Selain itu, pindang yang dihasilkan setelah
disimpan selama 2 hari akan mengalami peningkatan
kadar garam. Hal ini mungkin berhubungan dengan
terjadinya penurunan kadar air setelah penyimpanan
selama 2 hari (Gambar 4 dan 5).
Berdasarkan analisa statistik diketahui bahwa
faktor konsentrasi garam (A) dan faktor cara
penyimpanan (C) tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap kadar garam produk pindang.
kadar garam (9")
SO 80 so lama pemasakan (menit)
[image:61.541.117.429.322.486.2]penylmpanan 0 harl penylmpannn 2 harl
Gambar 7. Histogram hubungan antara lama pemasakan
dan lama penyimpanan terhadap kadar garam daging ikan.
4 . Kadar Lemak
Kadar lemak pindang yang dihasilkan berkisar
antara 0.59 %
-
2.56 % (Lampiran 4a dan 4b). Berda-sarkan uji BNJ faktor lama pemasakan (B) dan lama
dan 14e) diketahui bahwa kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa kadar lemak
mengalami penurunan setelah disimpan selama 2 hari.
Penurunan ini mungkin disebabkan karena selama penyimpanan telah terjadi oksidasi lemak. Oksidasi disebabkan oleh a