• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mempelajari Metode Reduksi Kadar Histamin dalam pembuatan Pindang Tongkol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mempelajari Metode Reduksi Kadar Histamin dalam pembuatan Pindang Tongkol"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

/Tf'y

$2

@f

MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN

DALAM

PEMBUATAN

PlNDANG TONGKOL

Oleh

IDA AYU IRASTINA DANUR

F

25.0223

1993

F A K U L T A S TEKNOLOGI P E R T A N I A N i N S T l T U T PERTANIAN B O G O R

(2)

Ida Ayu Irastina Danur. F25.0223. Mempelajari Metode Reduksi Kadar Histamin Dalam Pembuatan Pindang Tongkol. Di bawah bimbingan Suliantari dan Sutrisno Koswara.

Pemindangan merupakan salah satu bentuk olahan ikan

secara tradisional yang cukup populer di Indonesia. Hal

ini disebabkan karena ikan pindang mempunyai citarasa

yang spesifik sehingga dapat diterima oleh masyarakat

Indonesia.

Masalah yang dihadapi dalam pembuatan ikan pindang

adalah terbentuknya suatu senyawa yang dapat menyebabkan

keracunan yaitu biogenik amin akibat sanitasi yang buruk

selama pengolahan maupun penyimpanan.

Biogenik amin adalah senyawa amin yang terbentuk

sebagai hasil proses dekarboksilasi asam amino bebas yang

terdapat di dalam tubuh ikan. Senyawa biogenik amin yang

paling sering terbentuk pada ikan pindang adalah hista-

min. Senyawa ini terbentuk akibat proses dekarboksilasi

histidin yang banyak terdapat di dalam tubuh ikan oleh

enzim dekarboksilase mikroba.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara

terbaik yang dapat mengurangi kadar histamin dalam

pembuatan ikan pindang tongkol dengan cara mengendalikan

(3)

histamin, yaitu: konsentrasi garam, lama pemasakan dan

cara serta lama penyimpanan produk akhir.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu peneli-

tian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Dalam. peneli-

tian pendahuluan dilakukan survei lapangan tentang cara

pengolahan ikan pindang di daerah Pelabuhan Ratu (Jawa

Barat), cara penanganan dan penyimpanan produk jadi di

berbagai pasar di daerah Bogor serta menganalisa

konsentrasi histamin pada produk pindang tongkol yang

diambil dari pasar.

Pada penelitian lanjutan dilakukan pembuatan ikan

pindang tongkol dengan memodifikasi metoda yang diperoleh

dari lapangan. Analisa yang dilakukan adalah kadar air,

kadar abu, kadar lemak, kadar protein, histamin, kadar

garam, pH, TVN dan TMA serta nilai kecernaan protein

secara vitro.

Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan

kadar abu dan kadar garam serta. penurunan kadar air

dengan semakin lamanya waktu pemasakan dalam suasana

bergaram. Selain itu dengan semakin lamanya waktu penyim-

panan pindang menyebabkan peningkatan nilai TVN dan TMA

serta penurunan daya cerna.

Konsentrasi garam yang tinggi dan lamanya waktu

pemasakan dapat meningkatkan ketahanan produk dari

rekontaminasi mikroba pembentuk histamin selama penyim-

(4)

zat-zat gizi makanan. Pembentukan histamin dapat diken-

dalikan dengan memperhatikan kesegaran bahan baku dan

sanitasi selama pengolahan dan penyimpanan pindang.

Berdasarkan penelitian diperoleh cara pembuatan

pindang yang terbaik dengan memperhatikan faktor yang

dapat menekan pembentukan histamin tanpa mengabaikan

komposisi gizi yang terkandung di dalamnya adalah dengan

menggunakan konsentrasi garam 20% dan lama pemasakan 60

menit dengan catatan kesegaran bahan baku dan kebersihan

selama pengolahan dan penyimpanannya harus diperhatikan.

Lama pgnyimpanan pindang yang baik adalah tidak

lebih dari dua hari dan pindang disimpan dalam keadaan

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN

DALAM PEMBUATAN PINDANG TONGKOL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Jurusan TEKNOLOGI PANGAN DAN GI21

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

IDA AYU IRASTINA DANUR

F25.0223

1993

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAXULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN

DALAM PEMBUATAN PINDANG TONGKOL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Jurusan TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

IDA AYU IRASTINA DANUR

F25.0223

Dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1969

di Jakarta

Tanggal lulus : 13 Mei 1993

Disetujui

Ir. Sutrisno Koswar

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa, karena penulis telah berhasil menyelesaikan penyu-

sunan skripsi ini.

Dalam melakukan penelitian maupun penulisan skripsi

ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai

pihak dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dra. Suliantari, MS dan Ir. Sutrisno Koswara selaku

Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu-

nya untuk memberikan bimbingan dan saran yang sangat

berharga kepada penulis.

2. Drh. Slamet Ma'oen selaku dosen penguji yang telah

meluangkan waktunya untuk menguji penulis.

3. Pak Wahid, Pak Basri, Pak Mu1 dan Pak Ganda yang

telah membantu penulis selama melakukan penelitian di

laboratorium.

4. Bapak dan Ibu tercinta yang menjadi kekuatan moril

penulis.

5. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam

penyelesaian tugas akhir ini yang tidak dapat dise-

butkan satu persatu.

Bogor, Mei 1993

(8)

DAFTAR IS1

Halaman

KATA PENGANTAR

...

iv

DAFTAR IS1

...

v

DAFTAR TABEL

...

vii

DAFTAR GAMBAR

...

viii

DAFTAR LAMPIRAN

...

ix

I

.

PENDAHULUAN

...

1

I1

.

TINJAUAN PUSTAKA

...

4

A

.

STRUKTUR IKAN TONGKOL

...

4

B

.

PROSES PEMINDANGAN

...

5

C

.

HISTAMIN

...

10

D

.

GARAM SEBAGAI PENGAWET

...

17

I11

.

METODA PENELITIAN

...

21

...

A

.

BAHAN 21 B

.

ALAT

...

22

...

C

.

METODE 22

...

D

.

RANCANGAN PERCOBAAN 3 1 IV

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

3 4 A

.

PENELITIAN PENDAHULUAN

...

3 4 1

.

Survei Lapang Tentang Cara Pengolahan Pindang di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat) 3 4 2

.

Tata Cara Penanganan dan Penjualan Pro- duk Jadi Ikan Pindang pada Berbagai Pa- sar di Daerah Bogor

...

39 3

.

Penghitungan Konsentrasi Histamin dari
(9)

...

B

.

PENELITIAN LANJUTAN

...

.

1 Kadar Air

2

.

Kadar Abu

...

3

.

Kadar Garam

...

4

.

Kadar Lemak

...

5

.

Kadar Protein

...

6

.

Nilai pH

...

...

.

7 Kadar TVN

8

.

Kadar TMA

...

9

.

Daya Cerna In Vitro

...

(10)

DAFTAR TABEL Halaman Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel

1. Kadar asam amino bebas beberapa jenis

ikan

...

15

2. Kandungan histamin beberapa jenis pro-

duk ikan

...

17

3. Komposisi garam dapur, dianalisa di La-

...

boratorium kimia organik IPB 18

4. Kandungan histamin dari beberapa pin-

dang

...

40 [image:10.541.52.465.116.481.2]

5. Komposisi kimia ikan tongkol segar dan

...

ikan pindang tongkol pasar 41

6. Rata-rata kadar air pada perlakuan lama

pemasakan dan cara penyimpanan

...

44

7. Rata-rata kadar lemak pada perlakuan

lama pemasakan dan lama penyimpanan

...

5 1

8. Rata-rata pH pada perlakuan lama pema-

sakan

...

55

9. Rata-rata kadar TVN pada perlakuan lama

pemasakan dan lama penyimpanan

...

5 6

10. Rata-rata daya cerna pada perlakuan la-

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

Gambar

1. Tipe penyebaran daging merah

...

5

2. Reaksi pembentukan histamin

...

11

3. Skema pembuatan ikan pindang tongkol

..

24

4. Histogram hubungan antara lama pema- sakan dan lama penyimpanan terhadap

kadar air pada konsentrasi garam 20%... 42

[image:11.541.54.459.147.457.2]

5. ist tog ram hubungan antara lama pemasak- an dan lama penyimpana terhadap kadar

...

air pada konsentrasi garam 25% 42

6. is tog ram hubungan antara lama pemasak- an dan lama penyimpanan terhadap kadar abu

...

47

7. Histogram hubungan antara lama pemasak-

an dan lama penyimpanan terhadap kadar garam

...

49

8. Histogram hubungan antara lama pemasak-

an dan lama penyimpanan terhadap kadar protein

...

53
(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

...

Lampiran 1

.

Data kadar a i r 7 1

...

.

Lampiran 2 Data kadar abu 73

...

.

Lampiran 3 Data kadar garam 75

...

Lampiran 4

.

Data kadar lemak 77

...

Lampiran 5

.

Data k a d a r p r o t e i n 79

...

Lampiran 6

.

Data pH 8 1

Lampiran 7

.

Data kadar TVN

...

83

Lampiran 8

.

Data kadar TMA

...

85

Lampiran 9

.

Data daya c e r n a i n v i t r o

...

87

Lampiran 10

.

Data kadar h i s t a m i n

...

89

Lampiran 11

.

S i d i k ragam d a t a k a d a r a i r

...

9 1 Lampiran 1 2

.

S i d i k ragam d a t a kadar abu

...

93

Lampiran 1 3

.

S i d i k ragam d a t a kadar garam

...

94

Lampiran 1 4

.

S i d i k ragam d a t a kadar lemak

...

95

Lampiran 1 5

.

S i d i k ragam d a t a kadar p r o t e i n

....

96

Lampiran 16

.

S i d i k ragam d a t a n i l a i pH

...

98

Lampiran 17

.

S i d i k ragam d a t a kadar TVN

...

99

Lampiran 18

.

S i d i k ragam d a t a kadar TMA

...

100
(13)

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi

sumber daya perikanan yang cukup besar. Luas wilayah

perairan teritorial Indonesia saat ini sekitar 3.1 juta

km2 dengan potensi sumber daya perikanan sebesar 4.5 juta

ton/tahun. Dengan diakuinya Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)

dalam Konvensi Hukum Laut 1 9 8 2 serta diterbitkannya

Undang-undang No. 5 tahun 1 9 8 3 tentang ZEE Indonesia,

maka luas perairan Indonesia menjadi sekitar 5.8 juta km 2

dengan potensi sumber daya lestari sebesar 6.6 juta

ton/tahun.

Dengan potensi perikanan yang cukup besar itu, maka

ikan menjadi salah satu sumber protein hewani yang cukup

penting. Namun karena sifat hasil perikanan yang cepat

mengalami kebusukan dan tidak semua masyarakat Indonesia

dapat mengkonsumsi ikan segar, maka perlu adanya pe-

nanganan dan pengolahan lebih lanjut dari hasil perikanan

agar tidak mudah membusuk atau rusak.

Dewasa ini, dari rata-rata total hasil tangkapan

perikanan, baru sekitar 47% yang dikonsumsi dalam keadaan

segar, sedangkan sisanya diolah dalam berbagai bentuk

olahan. Pengolahan ikan yang paling banyak dilakukan di

Indonesia adalah secara tradisional, yaitu dalam bentuk

penggaraman (dan pengeringan), pemindangan, pengasapan

(14)

Pemindangan merupakan salah satu teknik pengolahan

dan pengawetan ikan yang cukup populer di Indonesia. Hal

ini disebabkan karena ikan pindang umumnya disukai dan

diterima masyarakat mengingat citarasanya yang spesifik.

Dan menurut data Statistik Hasil Perikanan Indonesia

(1984), pengolahan ikan menjadi pindang mempunyai ke-

cenderungan yang terus mengingkat dari tahun ke tahun

Daya awet ikan pindang pada umumnya relatif rendah,

yaitu berkisar 2-7 hari walaupun ada pula beberapa ikan

pindanq yang dapat awet sampai satu bulan. Hal ini dise-

babkan karena walaupun pengolahan pindang telah dilakukan

dengan proses pemanasan tetapi tidak dikemas dalam wadah

yang bersih dan kedap udara sehingga mudah mengalami

penurunan mutu.

Daya awet yanq rendah dan sanitasi pindang yang

buruk dapat mengakibatkan terbentuknya senyawa-senyawa

yang tidak dikehendaki (terutama biogenik amin) yang

dapat mengakibatkan keracunan. Biogenik amin adalah

senyawa amin yang terbentuk sebagai hasil dari proses

dekarboksilasi asam amino bebas yang terdapat di dalam

tubuh ikan. Asam amino histidin, tirosin, triptofan dan

fenilalanin jika mengalami proses dekarboksilasi akan

menghasilkan senyawa-senyawa biogenik amin, yaitu hista-

min, tiramin, triptamin dan feniletilamin.

Senyawa biogenik amin yang paling sering terbentuk

(15)

akibat proses dekarboksilasi histidin yang banyak terda-

pat di dalam tubuh ikan oleh enzim histamin dekarboksi-

lase mikroba.

Menurut Food and Drug Administration (FDA, 1982),

keracunan histamin yang berbahaya akan timbul apabila

seseorang mengkonsumsi makanan dengan kandungan histamin

50 mg/lOO g bahan atau lebih. Gejala-gejala keracunan

histamin ditandai dengan rasa terbakar pada tenggorokan,

muntah-muntah, pusing, bibir bengkak, kejang, mual, muka

dan leher kemerah-merahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter-

parameter yang memegang peranan penting dalam pembentukan

histamin, menentukan metoda pengolahan pindang yang

paling efektif serta mengetahui cara penyimpanan dan lama

penyimpanan maksimal yang masih dapat dilakukan untuk

mendapatkan produk yang aman dikonsumsi dengan cara

mengendalikan dan menekan faktor-faktor pendorong terben-

tuknya histamin seperti konsentrasi garam, lama pema-

(16)

11. TINJAUAN PUSTAKA

A. STRUKTUR IKAN TONGKOL

Ikan tongkol termasuk ke dalam ordo Percomorphi,

famili Scombroidae, genus Euthynnus dan species

thvnnus affinis. Ciri-ciri umum species ini antara

lain bentuk badan yang memanjang seperti torpedo, tak

bersisik kecuali pada korselet dan garis rusuk, ber-

warna biru kehitaman pada bagian atas, putih pada

bagian bawah dan tot01 hitam di antara bagian dada dan

bagian perut (Anonim, 1979).

Berdasarkan daerah penangkapan dan besarnya, ikan

tongkol termasuk ke dalam golongan pelagik besar yaitu

jenis ikan besar yang hidup di permukaan air laut

(Hadiwiyoto, 1983)

.

Daging ikan tongkol rata-rata mengandung 71.70%

air, 26.00% protein, dan 1.0% lemak (Zaitsev et al.,

1969). Komposisi ikan dapat bervariasi antar spesies,

antar individu dalam satu spesies dan antar bagian-

bagian dari satu individu ikan. Variasi ini dapat

disebabkan karena pengaruh beberapa faktor, antara

lain umur, laju metabolisme dan aktivitas pergerakan

ikan (Stansby, 1963).

Secara umum daging ikan dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu daging putih dan daging merah. Daging

(17)

kadar lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan

daging merah (Stansby, 1963). Daging merah mempunyai

kandungan lemak yang lebih tinggi karena terdapat "lateral lineu tempat urat syaraf yang dilindungi lemak (Ma1 oen, 1984)

.

Berdasarkan penyebaran daging merah, ikan dapat digolongkan menjadi tiga tipe yaitu "codu, "mackerelw dan "frigate mackerel" tergantung pada spesies ikan

(Gambar 1) (Suzuki, 1981). Untuk ikan tongkol, poLa

penyebaran daging merahnya mengikuti tipe "frigate mackerel".

[image:17.562.74.473.170.563.2]

A. TICodll B. "Mackereln C. "Frigate mackerel"

Gambar 1. Tipe penyebaran daging merah ikan

(Suzuki, 1981)

.

B. PROSES PEMINDANGAN

Pindang merupakan hasil olahan ikan dengan cara kombinasi perebusan atau pemasakan dengan penggaraman. Pindang digolongkan ke dalam hasil olahan tradisional.

Menurut Ilyas (1979), azas dari pengolahan tradisional

(18)

menciptakan perubahan-perubahan tertentu pada produk,

yang dapat menghambat proses penurunan mutu yang

menjurus kepada pembusukan bahan mentah akibat kegi-

atan-kegiatan enzimatis, kimiawi dan mikrobiologis.

Perlakuan-perlakuan yang diberikan meliputi perlakuan

fisik atau kimiawi seperti penambahan atau perendaman

dalam larutan garam dan atau bahan-bahan organik

lainnya, sehingga dihasilkan produk olahan atau awetan

yang memiliki ciri khusus dalam rupa, flavor, bau dan

tekstur atau konsistensi yang mempunyai daya tarik

tersendiri bagi konsumen.

Menurut Clucas (1982), pemindangan adalah proses

perebusan ikan dalam air garam pada temperatur dan

tekanan normal sehingga dapat menguraikan protein dan

enzim serta membunuh beberapa bakteri pada daging ikan

sehingga proses pembusukan ikan dapat dikurangi.

Pindang mempunyai rupa, flavor, bau dan tekstur

serta keawetan yang khas, bervariasi sesuai dengan

jenis ikan, kadar garam, dan lama perebusan yang

semuanya berkaitan dengan teknik dan prosedur pemin-

dangan yang dilakukan. Jenis-jenis ikan yang umum

dipindang adalah jenis ikan pelagis seperti layang,

selar, japu, tembang, lemuru, kembung, tuna, cakalang,

tongkol, cucut dan petek (Nasran, 1980).

Menurut Suparno et al. (1979) dan Hadiwiyoto

(19)

pindang rasanya asin, tetapi pemindangan tidak dapat

digolongkan sebagai penggaraman ikan yang dilakukan

untuk mendapatkan produk yang dikenal sebagai ikan

asin. Perbedaan spesifik antara pemindangan dan peng-

garaman adalah adanya proses perebusan di dalam pemin-

dangan (Hadiwiyoto, 1983).

Ditinjau dari cara perebusan ikan dalam suasana

bergaram, dalam prakteknya pemindangan ini dapat

dibedakan atas dua kelompok, yaitu pemindangan garam

(pindang badeng) dan pemindangan air garam atau yang

lebih dikenal dengan sebutan pindang naya.

Pada pemindangan air garam, ikan yang sudah siap

dipindang disusun dalam wadah keranjang (naya)

.

Tiap

naya hanya berisi tiga sampai lima ekor ikan. Beberapa

naya disusun menjadi satu lalu dimasukkan ke dalam

larutan garam yang telah dididihkan selama setengah

sampai satu jam. Sedangkan pemindangan dengan garam

dilakukan dengan cara menyusun ikan yang telah siap

dipindang ke dalam wadah paso.

Di antara susunan ikan tersebut ditaburi garam.

Setelah paso penuh, kemudian diisi air secukupnya dan

dipanaskan selama empat sampai enam jam (Hadiwiyoto,

1983). Umumnya pada pindang badeng, wadah perebus

langsung digunakan sebagai wadah penjualan produk di

(20)

Pindang badeng dapat memiliki daya awet yang

lebih lama pada suhu kamar, hingga sekitar 1

-

3 bulan

apabila disimpan dengan baik dalam keadaan tetap

tertutup rapat dalam wadah. Penampakan produk ini

biasanya kurang bersih dan mengkilap, karena pada

permukaannya terdapat endapan-endapan lemak dan

kotoran hasil rebusan. Bentuk fisik ikan kadang-kadang

tidak utuh dan bengkok-bengkok. Rasanya lebih asin dan

aromanya hampir mendekati aroma ikan kaleng. Tekstur-

nya empuk, lebih kompak, padat dan kesat.

Pindang cue atau naya umumnya memiliki daya awet

yang relatif singkat (pada suhu kamar), yaitu sekitar

dua sampai tiga hari (Nitibaskara, 1980). Produk ini

umumnya mempunyai penampakan yang lebih bersih dan

mengkilap, sedangkan warna spesifik jenis ikan masih

kelihatan. Bentuk fisik dari ikan lebih baik, yaitu

utuh dan tidak retak. Rasanya tidak terlalu asin dan

aromanya hampir seperti ikan rebus biasa, teksturnya

lebih kenyal dan lembab.

Garam yang masuk ke dalam daging ikan dapat

mencegah atau mengurangi kegiatan bakteri. Konsentrasi

garam antara 6-101 dalam jaringan ikan akan mencegah

aktivitas bakteri pembusuk, dan dapat mengurangi kadar

air dalam tubuh ikan selama proses penggaraman

(21)

Kemungkinan adanya rekontaminasi oleh mikroba

juga dapat terjadi selama pengemasan, penyimpanan dan

distribusi. Berdasarkan cara-cara pengolahan dan

penjualan selama ini tidak mungkin dapat dihindari

adanya kontaminasi produk karena adanya kebiasaan

mengangin-anginkan produk di udara terbuka, cara

pengemasan serta penggunaan peralatan dan tempat yang

tidak higienis (Ilyas dan Hanafi, 1978).

Jenis-jenis kerusakan yang terdapat pada pindang

badeng umumnya disebabkan oleh infestasi jamur dan

bakteri halofilik. Sedangkan jenis kerusakan pada

pindang naya (pindang cue) umumnya disebabkan oleh

bakteri pembusuk dan pembentuk lendir (Anonim, 1988).

Saat proses pembusukan berlangsung, produk umumnya

didominasi (90%) oleh bakteri Micrococcus

z.

(Heru-

wati et al., 1985).

Pada kondisi di daerah tropis seperti Indonesia,

umumnya terlihat bahwa produk pindang yang masih

berkadar air tinggi dan berkadar garam rendah akan

segera mengalami pelendiran di samping tumbuhnya

kapang (Ilyas dan Hanafiah, 1978).

Dari hasil penelitian mengenai daya awet pindang,

diketahui bahwa produk ini sangat cepat membusuk

terutama disebabkan karena adanya pertumbuhan kapang

(Suparno et al., 1979). Sedangkan menurut Ichinoe,

(22)

pada produk-produk perikanan dari Jepang dan Asia

Tenggara adalah dari genus Eurotium sp.

Menurut Hadiwiyoto (1983), hasil pemindangan air

garam biasanya tahan kira-kira tiga sampai empat hari.

Sedangkan hasil pemindangan garam tahan kira-kira enam

sampai tujuh hari setelah paso dibuka.

C . HISTAMIN

Kimata (1961) dalam Orejana (1984) menyatakan

bahwa adanya histamin pada daging ikan berkaitan

dengan "Scombroid Poisoning", sehingga histamin dapat

digunakan sebagai indikator adanya suatu toksin dalam

tuna, mackerel (kembung) dan ikan-ikan sejenis tuna

lainnya. Istilah "Sc~mbroid~~ adalah merupakan istilah

yang umum digunakan untuk menyebut ikan yang secara

alami telah mengandung senyawa toksin. Termasuk ke

dalam kelompok ini adalah ikan tongkol, kembung,

cakalang, tuna, bonito dan skipjack.

Ikan uscombroid8v segar seperti tuna, cakalang,

kembung dan sejenisnya pada hakekatnya tidak mengan-

dung histamin dalam otot dagingnya, tetapi setelah

terjadi pembusukan atau dekomposisi ikan ini mengan-

dung histamin (Pan, 1984). Geiger (1948) dan Geiger et

al. (1945)

dalam

Kimata (1961) menunjukkan bahwa ikan

segar mengandung histamin sangat sedikit tetapi jum-

(23)

pembusuk pada tuna dan "scombroid" lainnya kadang-

kadang disertai dengan pembentukan histamin dalam

tingkat tinggi pada jaringan ikan yang dapat dimakan

(Hillig, 1950 dalam Taylor, 1983).

Ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu

histidin bebas dan histidin terikat dalam protein.

Yang dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin

hanya histidin bebas (Kimata, 1961). Sedangkan menurut - ----

Pan (1984), ikan-ikan yang suka berpindah-pindah

seperti tuna, cakalang dan kembung, jaringan ototnya

mengandung histidin bebas yang tinggi. Kadar asam

amino bebas pada beberapa jenis ikan dapat dilihat

pada Tabel 1.

Histamin pada ikan dibentuk melalui proses dekar-

boksilasi histidin oleh enzim yang secara alami

terdapat dalam jaringan ikan atau oleh aktivitas

bakteri. Pembentukan histamin oleh enzim yang terdapat

secara alami dalam jaringan daging ikan berlangsung

selama proses autolisis. Proses dekarboksilasi histi-

din menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 2.

CH -CH-COOH

I

= I

-

dekarboksilase histidin

I

I - ( ~ * ~ ) 2-NH2

L

Histidin Histamin

[image:23.544.62.471.573.635.2]
(24)

Menurut Kimata (1961), jumlah histamin yang

dikandung oleh ikan dipengaruhi oleh jumlah bakteri

yang terdapat pada ikan tersebut. Jumlah histamin

umumnya meningkat sesuai dengan tingkat kebusukan

ikan. Banyak bakteri yang dilaporkan menghasilkan

enzim histidin dekarboksilase, tetapi hanya Proteus

morsanii, Klebsiella ~neumoniae dan Havnia alvei yang

baru diketahui menghasilkan histamin dalam jumlah yang

cukup berarti (jumlah yang dapat menyebabkan kera-

cunan)

.

Autolisis daging mulai berlangsung secara bioki-

mia segera setelah ikan mati, terutama pada daging di

sekitar rongga perut. Setelah fase rigor mortis, enzim

dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang

menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada rasa,

warna, tekstur, bau dan rupa ikan (Ilyas, 1983)

Bakteri pembentuk histamin umumnya lebih banyak

terdapat pada jaringan otot, insang dan jeroan. Isi

jeroan mungkin merupakan sumber dari bakteri ini

karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari

mikroorganisme (Shewan, 1962).

Kecepatan proses autolisis dipengaruhi oleh suhu.

Pada suhu rendah proses autolisis dapat diperlambat

tetapi tidak dapat dihentikan sama sekali. Aktivitas

enzim dapat dikontrol dan dikendalikan dengan cara

(25)

atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan pada suhu

tertentu (Ilyas, 1983)

.

Aktivitas bakteri pembentuk histamin dipengaruhi

oleh suhu dan waktu inkubasi. Tiap-tiap spesies mem-

punyai suhu optimum yang berbeda (Behling dan Taylor,

1982). Selain itu, menurut Kimata dan Kawai (1953)

dalam

Kimata (1961) produksi histamin dipengaruhi pH

lingkungan. Bakteri yang mendekarboksilasi histidin

aktif pada suasana asam (Kimata dan Kawai dalam

Kimata, 1961). Menurut laporan Igarashi dalam Kimata

(1961), histamin tidak diproduksi pada suhu lebih dari

30°c dan suhu optimalnya adalah 27-28O~.

Menurut Taylor dan Speckhard (1983), bakteri yang

memproduksi histamin tidak berhasil diisolasi dari

ikan tuna beku, dengan demikian pembekuan dapat

menghambat pembentukan histamin. Pada jaringan ikan

yang "dithawingH, produksi histamin terhambat. Hal ini

dapat disebabkan oleh rusaknya bakteri pembentuk

histamin selama proses pembekuan dan thawing (Kimata,

1961). Sedangkan pemanasan 60°c akan membunuh bakteri

pembentuk histamin sehingga mencegah pembentukan

senyawa tersebut (Hibiku dan Simidu, 1959).

Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas

enzim sangat rendah bila dibandingkan dengan histamin

yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses

(26)

oleh suhu dan pH lingkungan. Di bawah kondisi optimum

jumlah maksimum histamin yang dihasilkan melalui

autolisis tidak melebihi 10-15 mg/100 g daging

(Kimata, 1961)

.

Pembentukan histamin setiap species berbeda,

tergantung pada kandungan histidinnya (Tabel I), tipe

dan banyaknya bakteri yang mengkontaminasi, serta suhu

pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi

mikroba (Pan, 1984). Menurut Staruskiewez (1977) dalam

Orejana (1984), jumlah histamin yang terbentuk dalam

otot daging dapat berbeda-beda tergantung dari spe-

cies, komposisi bakteri, penanganan dan penyimpanan

ikan.

Behling dan Taylor (1982) melaporkan bahwa bak-

teri penghasil histamin dapat dikelompokkan menjadi

spesies yang mampu memproduksi histamin dalam jumlah

besar (lebih dari 100 mg/lOO ml) dalam Tuna Fish

Infusion Broth (TFIB) pada suhu di atas 1 5 O ~ , lama

inkubasi kurang dari 24 jam dan spesies yang mempro-

duksi histamin dalam jumlah kecil (kurang dari 25

mg/100 ml) setelah diinkubasi pada suhu 30°c selama

lebih dari 48 jam. Dari hasil penelitian ini maka

P. morqanii, K, pneumoniae dan

E-

aeroqenes termasuk

-

penghasil histamin yang banyak, sedangkan H, alvei,

E. coli dan C, freundii menghasilkan sedikit histamin.

(27)
[image:27.541.56.461.106.659.2]

Tabel 1. Kadar asam mino bebas beberapa jenis ikan

*B

(mg/loo g)

.

Jenis ikan Asam

amino Tongkol Cakalang Tuna bermata

(Euthvnnus (Katsuwonus besar (Thun-'

af f inis) pelamis)

-

nus obesus)

Taurin 6 5

Aspartat 3

Threonin 10

Serin 6

Prolin 8

Glutamat 2 0

Glisin 10

Alanin 2 6

Va 1 in 9

Metionin 6

Ileusin 5

Leusin 9

Tirosin 4

Fenilalanin 3

Lisin 48

Histidin 1090

* ) Sumber : Konosu dan Yamaguchi (1982)

Makanan dengan kandungan histamin yang tinggi

dapat menimbulkan reaksi alergi atau keracunan yang

gejala-gejalanya antara lain sakit kepala, kejang,

mual, muka dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-

gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir

membengkak, badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller

et al., 1982).

Henry (1960) membagi tingkat keracunan histamin

menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. keracunan tingkat lemah apabila mengkonsumsi 8-40

(28)

2. keracunan sedang apabila mengkonsumsi 70-1000 mg

histamin

3. keracunan kuat apabila mengkonsumsi 1500-4000 mg

histamin

Menurut FDA (Food and Drug Administration, 1982)

keracunan histamin yang berbahaya akan terjadi apabila

seseorang mengkonsumsi makanan dengan kandungan hista-

min lebih dari 50 mg/100 g.

Amerika Serikat menetapkan jumlah maksimum hista-

min yang boleh dikandung oleh ikan tuna adalah

20 mg/100 g daging. Swedia menganjurkan bahwa batas

maksimum jumlah histamin yang boleh terdapat pada ikan

yang akan dijual adalah 20 mg/100 g daging, sedangkan

Switzerland membuat undang-undang batas maksimum

histamin di dalam produk ikan yang dikalengkan yaitu

10 mg/100 g ikan dan dalam undang-undang sementara

Chekolowakia ditetapkan bahwa batas maksimum histamin

dalam makanan adalah 40 mg/100 g yang diturunkan

menjadi 20 mg/100 g.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai

Penelitian Teknologi Perikanan mengenai kandungan

histamin pada beberapa jenis produk ikan yang terdapat

di pasar-pasar di Jakarta dan sekitarnya, ternyata

pada beberapa jenis produk melebihi batas maksimum

kandungan histamin yang direkomendasikan oleh FDA

(29)

Tabel 2. Kandu~gan histamin pada beberapa jenis produk ikan )

.

Jenis Produk Histamin (mg % )

Jambal (Tachvsurus Peda (Rastrelliqer Petis

Terasi

Saus ikan lokal Saus ikan Taiwan Udang kering Dendeng udang Cumi-cumi asin Pindang kembung Pindang tongkol

*

) Hasil penelitian BPTP, Jakarta (1984)

D. GARAM SEBAGAI PENGAWET

Menurut Zaitsev et. al. (1969), secara umum garam

terdiri dari 39.39% natrium dan 60.61% klorida, di

dalam pengolahan ikan biasanya garam digunakan sebagai

bahan pengawet dan pemberi rasa. Sebagai pengawet,

kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu ikan.

Terdapatnya zat-zat lain yang tercampur dalam garam

(terutama garam-garam magnesium, sulfat, kotoran dan

lain-lain) menimbulkan akibat yang kurang baik pada

produk penggaraman (Moeljanto, 1982).

Garam dapat mengandung kurang lebih 90% NaCl dan

kandungan yang lain berupa Ca, Mg dan Fe dalam bentuk

garam-garam klorida. Komposisi garam dapur dapat

[image:29.541.75.460.90.306.2]
(30)

18

Tabel 3. Komposisi garam dapur * )

Jenis analisa Kadar ( % )

Air Ca Mg NaCl Kotoran

* ) Joedawinata (1976)

Menurut Frazier dan Westhoff (1978), garam seba-

gai bahan pengawet berfungsi menaikan tekanan osmotik,

sehingga menyebabkan terjadinya plasmolisis pada sel

mikroorganisme, dehidrasi dan bersifat racun akibat

terbentuknya ion klorida, serta menyebabkan sel

mikroorganisme menjadi peka terhadap C02- Konsentrasi

garam yang tinggi dalam larutan atau adonan dapat

menghambat kegiatan enzim proteolitik.

Penggaraman merupakan kombinasi dari proses

fisika dan kimia, yaitu penetrasi garam ke dalam ja-

ringan daging ikan dan keluarnya air dari jaringan

yang menghasilkan perubahan berat. Pada ikan yanq

mengalami penggaraman, penurunan berat menunjukkan

berhasilnya proses penggaraman, karena merupakan hasil

reaksi antara garam dan ikan (Voskresenky

,

1965 ;

Zaitsev et. al., 1969).

Menurut Silliker et. al. (1980), penambahan garam

pada bahan makanan akan menurunkan nilai aktivitas

[image:30.547.76.468.96.257.2]
(31)

garam tersebut, sehingga air tidak dapat lagi digunakan

sebagai media reaksi dan aktivitas mikroba. Menurut

Zaitsev et. al. (1969), garam tidak hanya menyebabkan

plasmolisis, tetapi juga dapat menghambat aktivitas.

enzim dalam mengubah inti protein.

Beberapa faktor penting yang mempengaruhi efekti-

vitas penggaraman adalah konsentrasi garam, kemurnian

garam, suhu penggaraman, ketebalan daging ikan dan

kesegaran ikan (Moeljanto, 1982).

Enzim-enzim yang terdapat di dalam daging ikan

terdenaturasi oleh konsentrasi garam yang tinggi

sehingga kehilangan fungsi enzimatiknya (Winarno,

1983). Sehingga proses autolisis oleh aktivitas enzim

hidrolitik dapat dihindari.

Tarr (1962) dan Zaitsev (1969) menyatakan bahwa

pemanasan dengan suhu yang lebih besar dari 60'~ pada

setiap proses pemasakan akan menyebabkan terjadinya

denaturasi protein dan keluarnya air dari daging ikan,

dan ha1 ini juga merupakan penghambat penetrasi garam

ke dalam daging ikan.

Namun Klaveren dan Legendre (1957)

a

dalam

Borgstrom (1957) menyatakan bahwa penggunaan garam

yang terlalu tinggi konsentrasinya juga dapat menye-

babkan produk memiliki rasa pahit yang tajam, tekstur

(32)

banyaknya Ca dan Mg dalam produk dari garam yang dipa- kai.

(33)

111. METODE PENELITIAN

1. Pindang

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini

ikan tongkol abu yang diperoleh dari Pasar Kebon

Jahe. Sedangkan garam yang digunakan juga dibeli di

Pasar Anyar dengan merk "Flipperw yang merupakan

garam dapur beryodium.

Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini

adalah jerami kering yang digunakan sebagai alas

pada waktu pemasakan pindang, juga diperoleh dari

Pasar Anyar.

2. Bahan kimia.

Bahan kimia yang digunakan meliputi NaOH, HC1,

Na2C03, TCA, H2S04, formaldehid, HgO, K2S04, alko-

hol, metil merah, metilen biru, KOH, resin Amber-

lite, CH3COOH, CH3COONa, asam asetat, p-nitroani-

lin, NaN02, methanol, petroleum benzen, AgN03 serta

K2Cr03, enzim pepsin dan pankreatin serta kertas

saring Whatman 42 diperoleh dari laboratorium PAU,

AP4 dan laboratorium jurusan TPG, atau dari toko

(34)

B. ALAT

Alat-alat yang digunakan diperlukan adalah panci

untuk memasak pindang (badeng) yang dibeli dari pasar

di Pelabuhan Ratu, kompor gas, baskom, seperangkat

alat gelas, alat destruksi dan destilasi, tanur, oven,

soxhlet, pH-meter, timbangan, desikator, alat sentri-

fuge serta buret dan shaker.

C . METODE

penelitian ini meliputi dua tahap yaitu peneli-

tian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada peneli-

tian pendahuluan dilakukan :

a. survei lapang tentang cara pengolahan ikan pindang

di daerah Pelabuhan Ratu.

b. survei lapang tentang tata cara penanganan dan pe-

nyimpanan produk ikan pindang di berbagai pasar di

daerah Bogor (Pasar Anyar, Pasar Gunung Batu, Pasar

Ramayana serta Pasar Bogor).

c. Analisis kandungan histamin pada berbagai jenis

produk pindang yang ada di pasar.

Sedangkan pada penelitian lanjutan dilakukan pem-

buatan ikan pindang tongkol secara higienis dengan

metode yang dimodifikasi dari survei lapang, lalu

dilakukan analisa kadar air, kadar abu, pH, kadar

lemak, protein, TVN dan TMA, kadar garam, daya cerna

in vitro serta analisa kandungan histamin.

(35)

I. Perlakuan

Perlakuan yang diberikan pada pembuatan ikan

pindang tongkol adalah sebagai berikut :

A. Konsentrasi garam

A 1 : 20%

A2 : 25%

B. Lama pemasakan

B1 : 30 menit

B2 : 6 0 menit

B3 : 90 menit

C. Cara penyimpanan produk pada suhu kamar

C1 : dibungkus kertas

C2 : dibiarkan terbuka

D. Lama penyimpanan

Dl : 0 hari

D2 : 2 hari

Cara pembuatan ikan pindang tongkol yang

digunakan dalam penelitian ini seperti yang terli-

(36)

ikan segar

I

1

disiangi dan dicuci

I

1

dilumuri garam (A)

I

1

dibiarkan selama 3 jam

I

1

disusun dalam badeng

I

1

tambahkan air lalu direbus (B)

l

air rebusan dibuang dan disisakan sedikit

I

1

dikukus selama 30 menit

[image:36.556.90.395.88.472.2]

I

1 ditiriskan

I

i

dikemas (C)

I

4. disimpan (D)

Gambar 3. Skema pembuatan ikan pindang tongkol.

11. Pengamatan

1. Kadar Air (AOAC, 1980)

Cawan kosong dikeringkan di oven pada suhu

1 0 5 ~ ~ selama 30 menit, lalu didinginkan dalam

desikator dan ditimbang beratnya. Sampel ditim-

bang seberat 5 gram di dalam cawan tersebut lalu

(37)

1 0 5 ~ ~ . Sampel dan cawan didinginkan dalam desi-

kator lalu ditimbang.

a

-

b

% Kadar air =

x

100%

a

a = berat sampel sebelum dioven

b = berat sampel setelah dioven

2 . Kadar Abu (AOAC, 1 9 8 0 )

Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven

selama 30 menit pada suhu 105Oc, didinginkan

dalam desikator lalu ditimbang. Ditimbang sampel

sebanyak 3-5 gram di dalam cawan lalu diletakkan

dalam tanur pada suhu 5 5 0 ~ ~ selama 4-5 jam

hingga diperoleh abu berwarna putih keabuan.

Dinginkan dalam desikator lalu ditimbang.

berat abu (g)

% Kadar abu =

x

100%

berat sampel (g)

Sampel ditimbang seberat 5 gram lalu dima-

sukkan ke dalam gelas piala 50 ml dan ditambah

aquades 45 ml, kemudian diaduk dengan magnetic

stirrer selama 15 menit dan diukur pH-nya dengan

(38)

4 . Kadar Garam (metode abu)

Hasil dari analisa abu diencerkan hingga

100 ml dengan aquades, lalu dipipet 10 ml dan

ditambahkan indikator Kalium Chromat 5% 1-2

tetes kemudian dititrasi dengan AgN03 0,l N

standar.

ml AgN03 x N AgN03 x 5,846 x fp

% NaC1 = x 100%

berat sampel (g)

5 . Kadar Lemak (AOAC, 1 9 8 0 )

Labu soxhlet yang akan digunakan dikering-

kan dalam oven lalu ditimbang beratnya. Sampel

yang telah kering ditimbang sebanyak 5 gram lalu

dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke

dalam labu soxhlet. Kemudian ditambahkan petro-

leum benzen sebanyak 120 ml dan dilakukan ek-

straksi lemak selama 5 jam. Pelarut yang ada di

dalam labu soxhlet kemudian didestilasi dan labu

dikeringkan dalam oven kemudian ditimbang.

berat labu akhir

-

berat labu awal

% Lemak = x 100%

berat sampel

6 . Kadar P r o t e i n (AOAC, 1 9 8 0 )

Ditimbang 1.01

-

0.02 gram sampel, lalu
(39)

2 gram K2S04 serta HgO (1:l) dan 2.0 ml H2S04

pekat. Sampel didestruksi hingga menjadi cairan

berwarna hijau bening kemudian didinginkan.

Sampel yang telah dingin dibilas dengan

aquades lalu dimasukkan ke dalam alat destilasi

serta ditambahkan 10 ml NaOH pekat. Sampel kemu-

dian didestilasi dan destilat ditangkap dengan 5

ml Asam Borat jenuh yang telah diberi 2-4 tetes

indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2%

dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2%

dalam alkohol). Destilat ditampung hingga menca-

pai 50 ml.

Destilat kemudian dititrasi dengan menggu-

nakan KC1 0.02 N yang telah distandarisasi

hingga berwarna merah muda.

(titran-blanko)

x

N HC1

x

14.007

% N =

x

100%

berat sampel (g)

% protein = % N

x

6.25

7. Kadar TVN dan TMA (AOAC, 1980)

~itimbang 100 gram sampel lalu ditambahkan

300 ml TCA 5% dan digiling dengan waring blender

sampai homogen. Ekstrak TCA kemudian dipisahkan

(40)

Dipipet 5 ml ekstrak TCA lalu didestilasi.

~estilat ditangkap dengan 15 ml HCl 0.01 M

standar. Ditambahkan dua tetes indikator merah

fenol (0.1 g merah fenol dengan 2.84 ml NaOH 0.1

M yang diencerkan menjadi 100 ml dengan aquades)

lalu dititrasi dengan NaOH 0.01 M standar hingga

titik akhir.

Tambahkan 1 ml formaldehid 16% untuk setiap

10 ml campuran sesudah titrasi yang pertama,

kocok, kemudian titrasi lagi dengan NaOH 0.01 M

standar

.

14(300+W) x (15-V1) x 0.01 100

TVN (mg/100 g) = x -

5 M

14(300+W) x V2 x 0.01 100

TMA (mg/100 g ) = x -

5 M

14 = bobot atom nitrogen

V1 = volume NaOH 0.01 M yang dibutuhkan untuk

titrasi I

M = berat sampel

W = jumlah air yang ada dalam bahan (g)

V2 = volume NaOH 0.01 M yang dibutuhkan

(41)

8. Daya Cerna In Vitro (metode Pepsin-Pankreatin)

Dalam suatu tabung sentrifuge disuspensikan

250 mg sampel ke dalam 15 ml HCl 0.1 N yang

mengandung 1.5 mg pepsin. Kemudian diaduk-aduk

dalam shaker bersuhu 37'~ selama 3 jam.

Suspensi kemudian dinetralkan dengan NaOH

0.5 N lalu ditambahkan 4 mg pankreatin dalam 7.5

ml buffer fosfat 0.2 M pH 8.0 yang mengandung

0.005 N Sodium Azide. Campuran kemudian diaduk-

aduk dalam shaker suhu 37OC selama 24 jam.

Residu padatan dipisahkan dengan cara

sentrifusi (20 000

x

g, suhu ~ O C selama 5

menit). Kemudian dicuci 5 kali dengan 30 ml

aquades (untuk setiap kai pencucian, supernatan

dipisahkan dengan cara sentrifusi).

Akhirnya residu disaring dengan Milipore

filter (1.2 mikron), dikeringkan dan dianalisa

kadar nitrogennya dengan metode Kjeldahl.

N t o t a l sampel

-

N t o t a l r e s i d u

DC p r o t e i n = x 100%

( % ) N t o t a l sampel

9. Histamin (Hardy and Smith, 1976)

Bahan kimia yang digunakan :

-

Garam diazonium : 0.4 gr p-nitroanilin
(42)

dalam aquades. Diencerkan dengan methanol

sampai 500 ml. Untuk larutan diazonium

digunakan 9 bagian larutan di atas

ditambah 1 bagian HC1 pekat.

- Larutan buffer asetat 0.2 N, pH 4.63.

11.43 ml CH3COOH diencerkan dengan aquades

sampai volume 1 liter. Kemudian 16.6 gr

Natrium asetat dilarutkan dalam 1 liter

aquades

.

Selanjutnya dicampur dengan

perbandingan 1:l.

- Amberlite resin, CG-50 Chromatography Grade

type 100-200 mesh.

Prosedur analisa.

10-25 gr contoh daging ikan ditambah dengan

100 ml larutan TCA 2.5%, diblender selama 2

menit, kemudian disaring.

1 gr Amberlite resin dimasukkan ke dalam 10

ml 0.2 N larutan buffer, kemudian dimasukkan ke dalam kolom Chromatography lalu dicuci dengan

150 ml larutan buffer.

75 ml larutan ekstrak dinetralkan dengan

larutan 1 N KOH, kemudian dialirkan ke dalam

kolom Chromatography (9-10 tetes per menit).

Kolom kemudian dicuci lagi dengan 150 ml

lautan buffer asetat (kolom jangan sampai

(43)

HC1 untuk mengabsorpsi histamin. Untuk blanko

digunakan larutan TCA 2.5% dengan prosedur yang

sama

.

Ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 15

ml larutan Na2C03 5% ditambahkan 1 ml larutan

elusi, kemudian didinginkan dalam air es (ice

water bath), lalu ditambah 2 ml larutan

diazonium yang telah dingin. Setelah dicampur,

tabung reaksi tersebut dibiarkan pada suhu OOC

selama 10 menit. Kemudian OD histamin ditentukan

pada panjang gelombang 495 nm dan besarnya kadar

histamin dihitung dari contoh. Adapun rumus

untuk menghitung kadar histamin adalah :

Y 25 100 100

Kadar histamin (mg%) = -

x

- x - x -

100 1 7 5 a

dimana y = 43.6995~

+

0.3789

x = besarnya resapan histamin pada spec-

trofotometer

a = berat sampel (gr)

.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam peneli-

(44)

yijkl = u

+

Ai

+

B

+

Ck + Dl + (AB)ij + (AC)ik +

j

(AD)il

+

(BC) jk + (BD) jl + (CD)kl + (ABC)ijk

+

(ABD) ijl + (BCD) jkl + (ACD) ijk

+

(ABCD) ijkl

+ Em(ijkl)

Keterangan :

Yijkl = hasil pengamatan dari perlakuan A taraf ke-i,

perlakuan B taraf ke-j, perlakuan C taraf ke-k

dan perlakuan D taraf ke-1.

u = pengaruh nilai tengah umum

Ai = pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i (i = 1,2)

Bj = pengaruh perlakuan B pada taraf ke-j

(j = 1,2,3).

Ck = pengaruh perlakuan C pada taraf ke-k (k = 1,2)

1 = pengaruh perlakuan D pada taraf ke-1 (1 = 1,2)

(AB) ij = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i

dengan B taraf ke-j.

(AC)ik = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i

dengan C taraf ke-k.

(AD)il = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i

dengan D taraf ke-1.

(BC) jk = pengaruh interaksi perlakuan B taraf ke-j

dengan C taraf ke-k.

(BD) jl = pengaruh interaksi perlakuan B taraf ke-j

(45)

(CD) kl = pengaruh interaksi perlakuan C taraf ke-k dengan D taraf ke-1.

(ABc) i jk = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i,

dengan perlakuan B taraf ke-j dan dengan

perlakuan C taraf ke-k.

(ABD) ijl = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i,

dengan perlakuan B taraf ke-j dan dengan

perlakuan D taraf ke-1.

(BCD) jkl = pengaruh interaksi perlakuan B taraf ke-j,

dengan perlakuan C taraf ke-k dan dengan

perlakuan D taraf ke-1.

(ACD)ikl = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i,

dengan perlakuan C taraf ke-k dan dengan

perlakuan D taraf ke-1.

(ABCD)ijkl = pengaruh interaksi perlakuan A taraf ke-i

dengan perlakuan B taraf ke-j dengan per-

lakuan C taraf ke-k dan dengan perlakuan

D taraf ke-1.

Em(ijkl) = pengaruh kesalahan dari perlakuan A taraf

ke-i, perlakuan B taraf ke-j, perlakuan

C taraf ke-k, perlakuan D taraf ke-1 dan

(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Survei Lapang Tentang Cara Pengolahan Pindang di

Pelabuhan Ratu (Jawa Barat).

Pengamatan lapang dilakukan di empat lokasi

yang berbeda di daerah Pelabuhan Ratu dengan jenis

ikan yang berbeda pula. Pada lokasi pertama mengo-

lah ikan pindang dari jenis "yellow-finu yaitu

sejenis ikan tuna dengan ukuran panjang berkisar

satu meter. Lokasi kedua mengolah pindang dari

jenis ikan tembang dan bandeng. Lokasi ketiga

mengolah ikan pindang dari jenis tuna "skipjacktt

sedangkan lokasi keempat mengolah pindang dari ikan

tongkol dan cengker.

Jenis pengolahan pindang yang dilakukan di

empat lokasi tersebut adalah jenis pindang badeng

atau pindang paso. Sebagai langkah awal dalam

proses pembuatan pindang adalah mempersiapkan kuali

serta alat-alat lain yang digunakan. Kuali yang

sesungguhnya merupakan ember dari seng dengan

diameter 50 cm dan tingginya 30 cm tersebut dialasi

dengan potongan kayu lalu dilapisi dengan anyaman

bambu. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kontak

langsung antara ikan dengan dasar kuali yang dapat

(47)

Pada lokasi pertama, ikan "yellow-fin" dipo-

tong-potong, dicuci dengan air PAM dan dibungkus

dengan kertas telepon, kemudian disusun dalam kuali

yang berkapasitas 45 kg. Setelah itu ditaburi garam

sebanyak 5 kg, ditambahkan air sebanyak 1.5 ember

dan dimasak dalam kuali selama kurang lebih lima

jam.

Pada lokasi pengamatan kedua, pembuatan produk

ikan pindang tidak selalu dilakukan karena

disesuaikan dengan hasil tangkapan ikan dari para

nelayan yang dijual di Tempat Pelelangan Ikan

Pelabuhan Ratu.

Ikan tembang setelah dicuci (tidak dibuang isi

perutnya karena ukuran ikan terlalu kecil), lalu

disusun dalam kuali yang telah disiapkan. Setiap

dua ekor ikan tembang diberi alas daun bambu,

kemudian barulah disusun dalam kuali. Setiap lapis

ikan dalam kuali ditaburi garam hingga total garam

yang digunakan untuk satu kuali adalah 5 kg.

Setelah kuali penuh dengan ikan tembang, pada

bagian atas lalu ditutup dengan kertas semen yang

sebelumnya sudah dibasahi dan dimasak selama tiga

jam. Pada kuali untuk ikan tembang, di bagian

tengahnya ditancapkan bambu atau sebatang pipa yang

berfungsi untuk lebih meratakan panas karena pipa

(48)

air yang mendidih dikocok dengan lidi melalui pipa

tersebut, maka air akan menyiram dan mengenai ikan

hingga ke lapisan teratas.

Jika yang dipindang adalah ikan bandeng, garam

yang digunakan dicampur lagi dengan kunyit sebanyak

114 kg, lalu proses pemindangan yang dilakukan sama

seperti pada ikan tembang, hanya saja untuk setiap

ekor bandeng dibungkus dengan kertas telepon hala-

man kuning.

Pada lokasi pengamatan yang ketiga, ikan

dikeluarkan jantungnya saja dan isi perutnya tidak

dibuang, lalu dicuci dan disusun dalam kuali yang

telah dipersiapkan. Setiap lapis ikan kemudian

diberi garam hingga total garam yang digunakan

untuk satu kuali adalah 10-11 kg. Kemudian ditambah

air satu ember dan dimasak selama 5 jam.

Pada lokasi pengamatan yang terakhir, ikan

tongkol yang digunakan diperoleh dari Tempat

Pelelangan Ikan Pelabuhan Ratu, sedangkan cengker

diperoleh dari Muara Baru Jakarta.

Untuk ikan tongkol, ikan yang datang langsung

dicuci dengan air garam tanpa dibuang isi perutnya.

Konsentrasi garam yang digunakan adalah sekitar 3-4

kg garam untuk satu ember, sedangkan satu ember

memiliki kapasitas 6 liter air. Setelah dicuci

(49)

dengan kertas telepon dan langsung disusun dalam

kuali. Berbeda dengan ikan tembang dan ikan

bandeng, pada ikan tongkol tidak ditaburi qaram

untuk setiap lapisan. Namun setiap 4 lapisan ikan

tongkol, ditambahkan gula 114 kg untuk menambah

rasa gurih.

Setelah kuali penuh dengan ikan tongkol, lalu

ditambahkan air sebanyak satu ember, ditutup denqan

dua lapis kertas semen basah lalu dimasak 112 jam.

Setelah mencapai kondisi setengah matang

(dimasak 30-40 menit), air yang terdapat dalam

kuali lalu dikeluarkan dengan jalan membuka sumbat

yang terdapat di dasar kuali. Air buangan tersebut

ditampunq dalam ember lain lalu disiram-siramkan

lagi pada pindang. Selama perlakuan tersebut, tutup

kuali yang terbuat dari kertas semen dibuka dan api

tungku dimatikan.

Setelah itu kuali ditutup kembali dengan

kertas semen basah lalu diatas kertas semen dila-

pisi denqan garam sebanyak 2 kg yang disebar merata

dan pemasakan dilanjutkan hingga 2.5-3 jam berikut-

nya. Sementara itu, air yang terdapat dalam kuali

terus dibuang hingga habis, kemudian lubang disum-

bat kembali.

Untuk mengetahui apakah pindang yang dibuat

(50)

adalah lapisan garam pada tutup kuali. Jika lapisan

garam di atas kertas semen telah kering dan

mengeras serta terbentuk lubang-lubang pecahan

lapisan garam, maka proses pemasakan telah cukup dan

pindang telah matang.

Setelah matang, tanpa membuka lapisan garam di

atas kertas semen, kuali ditutup lagi dengan nam-

pan, diikat dan siap dipasarkan. Dalam kondisi

seperti itu, ikan pindang dapat tahan hingga satu

bulan asal tutup kuali tidak dibuka.

Untuk pembuatan pindang dari ikan cengker,

prinsipnya juga tidak berbeda jauh dengan pembuatan

pindang dari ikan tembang, hanya saja garam yang

dibutuhkan adalah 10 kg. Lima kg ditaburkan untuk

setiap lapisan ikan dan lima kg lainnya digunakan

untuk melapisi tutup kertas semen kuali. Selain itu

pada kuali juga ditancapkan bambu atau pipa untuk

lebih meratakan panas. Karena ikan yang diperoleh

berasal dari Jakarta dan dalam keadaan beku, maka

ikan "dithawing" terlebih dahulu dengan merendamnya

dalam kuali berisi air selama 15 menit.

Hal-ha1 yang bersifat umum dari keempat lokasi

pemindangan tersebut adalah garam yang digunakan

umumnya garam kristal yang tidak beryodium. Hal ini

(51)

itu posisi susunan ikan dalam kuali juga saling

tegak lurus antar tiap lapisan.

Tujuan dilakukannya pembungkusan atau pemberi-

an alas pada setiap ekor ikan yang dipindang adalah

untuk memudahkan pengambilan ikan pada saat

diperjualbelikan agar ikan tersebut tidak saling

menempel atau lengket.

2. Tata Cara Penanganan Dan Penjualan Produk Jadi Ikan

Pindang Pada Berbagai Pasar di Daerah Bogor.

Pengamatan lapang terhadap cara penjualan ikan

pindang dilakukan di empat pasar yaitu Pasar Bogor,

Pasar Ramayana, Pasar Anyar dan Pasar Gunung Batu.

Ikan yang dijual umumnya diambil dari tempat

pengolahannya sehari sebelum dipasarkan dan di-

perkirakan habis terjual dalam 1-2 hari.

Cara penjualan ikan pindang berbeda-beda,

tergantung dari cara pembuatannya di tempat pengo-

lahan. Pindang yang dibuat dengan menggunakan naya

atau anyaman bambu, umumnya dijual juga dalam naya.

Sedangkan ikan pindang yang dimasak dalam kuali,

juga dijual dalam kuali.

Pindang yang terbuat dari jenis ikan yang

kecil dijual dalam kotak-kotak ayaman bambu ber-

ukuran 10

x

20

x

3 cm. Setiap kotak dapat menampung

3 sampai 5 ekor ikan pindang, disesuaikan dengan

(52)

ikan berukuran sedang termasuk tongkol, bandeng dan

cengker yang dibuat di dalam naya, yaitu suatu

anyaman bambu berbentuk lingkaran dengan diameter

berkisar 3 5 cm, tetap dijual dalam naya.

Sebaliknya untuk pindang yang terbuat dari

ikan tongkol dengan ukuran besar, umumnya dijual

tetap dalam kuali dan terbungkus kertas telepon,

atau dikeluarkan darikuali lalu dijejerkan di atas

meja dan bungkus kertasnya dibuka, atau bahkan ada

yang dipotong kecil-kecil seperti pada ikan pindang

cakalang

.

3. Penghitungan Konsentrasi Histamin dari Beberapa Je- nis Pindang.

Kadar histamin pada beberapa pindang yang

dibeli di pasar dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan histamin dari beberapa pindang.

Jenis pindang Kadar histamin (mg % )

Pindang paso tongkol Pindang naya tongkol Pindang paso cakalang

* ) Pengukuran dilakukan di Balai Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Muara Baru dengan metoda AOAC.

* * ) Pengukuran dilakukan peneliti di Lab. AP4 de- ngan metoda berdasarkan jurnal Hardy dan Smith

(53)

~ e l a i n itu juga dilakukan analisa kimia dan

daya cerna pada ikan tongkol segar dan pindang

[image:53.550.105.465.117.391.2]

tongkol pasar (Tabel 5)

Tabel 5. Komposisi kimia ikan tongkol segar dan ikan pindang tongkol pasar.

Jenis analisa ikan segar pindang pasar

Kadar air ( % ) 74.83 65.75

Kadar abu ( % ) 1.07 3.61

Kadar garam ( % ) 0.02 1.58

pH 5.90 6.10

Kadar lemak ( % ) 1.09 1.56

Kadar TVN (mg % ) 21.64 88.53

Kadar TMA (mg % ) 3.21 21.78

Kadar protein ( % ) 22.20 26.83

DC

in

vitro ( % )

-

71.81

Histamin (mg % ) 0.17

*

Keterangan :

-

tidak dilakukan analisa.

*

tertera pada Tabel 4.

B. PENELITIAN LANJUTAN

1. Kadar A i r

Kadar air merupakan faktor yang sangat besar

pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan hasil

olahan, semakin rendah kadar air, semakin lambat

pertumbuhan mikroba sehingga bahan pangan menjadi

awet

.

Secara keseluruhan, kadar air yang terkandung

dalam produk pindang yang dihasilkan berkisar

antara 61.65%

-

69.12% (Lampiran la dan lb). Kadar

air dapat dipengaruhi oleh lama pemasakan, cara

(54)

Kadar air (90)

7 0

SO 60 90

Lama pemasakan (menit)

[image:54.541.133.427.112.281.2] [image:54.541.161.453.416.593.2]

penylmpanan 0 harl penylmpanan 2 harl

Gambar 4. Histogram hubungan antara lama pemasakan dan lama penyimpanan terhadap kadar air daging ikan pada konsentrasi garam 20%.

Kadar air (40)

68

Lama pemasakan (menit)

penylmpanan 0 harl penylmpanan 2 harl

(55)

Pengaruh dari lama pemasakan pindang menyebab-

kan terjadinya perubahan kadar air. Semakin lama

waktu pemasakan maka kadar air akan cenderung

semakin menurun (Gambar 4 dan Gambar 5). Hal ini

mungkin disebabkan karena larutan garam bersifat

hipertonik, sehingga semakin lama waktu pema-

sakan semakin banyak air yang diserap keluar dan

sebaliknya terjadi penetrasi larutan garam ke dalam

j aringan daging ikan. Vorkresensky (1965)

menjelaskan bahwa penetrasi garam ke dalam tubuh

ikan disebabkan oleh proses difusi, karena adanya

perbedaan konsentrasi garam yang tinggi ke

konsentrasi garam yang rendah. Proses difusi ini

akan berlanjut terus selama masih ada perbedaan

konsentrasi garam.

Selain itu, selama penyimpanan pindang yang

terbungkus cenderung memiliki kadar air yang lebih

tinggi dari pada jika dibiarkan disimpan dalam

keadaan terbuka (Tabel 6), karena kertas pembungkus

dapat menghalangi penguapan air dari produk. Hal

ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Nitibaskara (1988) yang menyatakan bahwa penurunan

kadar air dapat disebabkan oleh dehidrasi air bebas

(56)
[image:56.547.80.490.90.633.2]

Tabel 6. Rata-rata kadar air pada perlakuan lama pemasakan dan cara penyimpanan.

Keterangan : C1 = disimpan terbungkus

C2 = disimpan terbuka cara

penyimpanan

C1 C2

Produk pindang yang baru selesai dimasak

(disimpan 0 hari) memiliki kadar air yang lebih

tinggi dari pindang yang telah mengalami penyim-

panan karena proses penirisan belum berlangsung

lama pemasakan (menit)

sempurna (Gambar 4 dan Gambar 5)

3 0 67.04 66.24

Perembesan cairan dari daging ikan selama perebusan disebabkan karena protein kehilangan daya ikatnya terhadap air sewaktu terjadi penggumpalan (Zaitsev, 1969). Selanjutnya menurut Suparno dan Murtini (1979), keluarnya air dari dalam sel menye- babkan kandungan air dalam pindang pada waktu

60 65.10 64.68

penyimpanan mengalami penurunan.

90

64.00 62.71

Berdasarkan uji BNJ faktor konsentrasi garam terhadap kadar air (Lampiran llb), diketahui bahwa penggunaan konsentrasi garam yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap

kadar air produk. Dari Gambar 4 dan Gambar 5, dapat

dilihat bahwa penggunaan konsentrasi garam 20% pada

(57)

lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi

garam 25 %. Hal ini mungkin disebabkan karena ada

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju

penetrasi garam ke dalam jaringan daging yaitu

kandungan lemak ikan, ketebalan daging, kesegaran

ikan, suhu dan kemurnian garam (Burgess et al.,

1965).

Berdasarkan uji statistik (Lampiran lla),

diketahui bahwa interaksi antara perlakuan

konsentrasi garam, lama pemasakan, cara dan lama

penyimpanan cukup memberikan pengaruh nyata dalam

penurunan kadar air pindang, dan berdasarkan data

Lampiran 1 diketahui bahwa kadar air terendah

diperoleh dengan adanya perlakuan lama pemasakan 90

menit, produk disimpan selama 2 hari dalam keadaan

terbuka dan menggunakan konsentrasi garam 25%.

Pindang yang dihasilkan juga memiliki kadar

air yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kadar

air ikan segar, dan tidak berbeda jauh kadar airnya

jika dibandingkan dengan ikan pindang tongkol dari

pasar (Tabel 5).

Kadar Abu

Menurut Pomeranz dan Meloan (1977), abu

biasanya berupa mineral seperti Kalium, Kalsium,

(58)

Joedawinata (1976), garam dapur mengandung kurang

lebih 90% NaCl dan senyawa-senyawa lain berupa Ca,

Mg dan Fe dalam bentuk garam-garam klorida.

Dengan semakin meningkatnya kadar garam pro-

duk, akan terjadi pula peningkatan kadar abu produk

karena garam yang terdiri dari ion ~ a + dan C1-

serta senyawa-senyawa lain seperti M~'+ dan ~ a " dapat menjadi prekursor abu yang merupakan residu

anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik.

Dari Gambar 6 terlihat bahwa kadar abu akan

mengalami peningkatan dengan semakin lamanya waktu

pemasakan. Namun berdasarkan uji statistik (Lampir-

an 12c) diketahui bahwa antara lama pemasakan 30

menit dan 60 menit tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap kadar abu produk. Pengaruh yang

nyata terlihat pada lama pemasakan 90 menit. Hal

ini mungkin disebabkan karena waktu pemasakan yang

90 menit itu memberikan cukup banyak peluang bagi

larutan garam untuk berdifusi ke dalam jaringan

ikan. Selain itu, berdasarkan uji BNJ untuk faktor

konsentrasi garam (Lampiran 12b) juga diketahui

bahwa perbedaan antara konsentrasi garam 20% dan

25% tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata.

Demikian juga untuk faktor cara penyimpanan, pin-

dang yang disimpan terbungkus tidak berbeda nyata

(59)

Secara keseluruhan, produk pindang yang diha-

silkan memiliki kadar abu berkisar 2.33%

-

6.53%

(Lampiran 2a dan 2b). Faktor-faktor Yan9

berpengaruh terhadap kadar abu adalah lama

pemasakan dan lama penyimpanan (Lampiran 12c dan

12e).

kadar abu (9'0)

SO 60 90

lama pemasakan (menit)

[image:59.547.96.490.75.434.2]

I

penylmpanan 0 harl penylmpanan 2 harl

I

Gambar 6. Histogram hubungan lama pemasakan dan la-

ma penyimpanan terhadap kadar abu daging

.

ikan.

Dari Gambar 6 juga dapat dilihat bahwa kadar

abu pindang mengalami peningkatan setelah disimpan

selama 2 hari. Hal ini mungkin disebabkan karena

selama penyimpanan telah terjadi penguapan air dari

pindang sehingga dengan adanya penurunan kadar air

maka konsentrasi garamnya meningkat dan menyebabkan

(60)

Adnan (1982) bahwa bahan pangan umumnya bila disimpan, kadar airnya akan mencapai kesetimbangan

dengan kelembaban udara di sekeliling bahan

tersebut. Sedangkan menurut Winarno dan Fardiaz (1974), dengan adanya penurunan kadar air, maka

bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa

seperti protein, lemak, karbohidrat dan mineral- mineral dalam jumlah yang lebih tinggi, tetapi vitamin dan zat warna menjadi rusak atau berkurang. Dengan adanya penurunan kadar air produk selama penyimpanan, maka terjadi peningkatan kadar mineral sehingga kadar abu juga meningkat.

3. Kadar Garam

Kadar garam produk pindang yang dihasilkan

berkisar antara 1.61%

-

6.51% (Lampiran 3a dan 3b).

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa ada peningkatan

kadar garam produk dengan semakin lamanya waktu pemasakan dan penyimpanan. Pindang yang dimasak 90 menit memiliki kadar garam paling tinggi dibanding-

kan dengan pindang yang dimasak 30 dan 60 menit.

Hal ini mungkin disebabkan karena pemanasan yang lama akan memberikan peluang yang cukup banyak untuk terjadinya penetrasi larutan garam ke dalam

(61)

Selain itu, pindang yang dihasilkan setelah

disimpan selama 2 hari akan mengalami peningkatan

kadar garam. Hal ini mungkin berhubungan dengan

terjadinya penurunan kadar air setelah penyimpanan

selama 2 hari (Gambar 4 dan 5).

Berdasarkan analisa statistik diketahui bahwa

faktor konsentrasi garam (A) dan faktor cara

penyimpanan (C) tidak memberikan pengaruh yang

berbeda nyata terhadap kadar garam produk pindang.

kadar garam (9")

SO 80 so lama pemasakan (menit)

[image:61.541.117.429.322.486.2]

penylmpanan 0 harl penylmpannn 2 harl

Gambar 7. Histogram hubungan antara lama pemasakan

dan lama penyimpanan terhadap kadar garam daging ikan.

4 . Kadar Lemak

Kadar lemak pindang yang dihasilkan berkisar

antara 0.59 %

-

2.56 % (Lampiran 4a dan 4b). Berda-

sarkan uji BNJ faktor lama pemasakan (B) dan lama

(62)

dan 14e) diketahui bahwa kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata.

Pada Tabel 7 terlihat bahwa kadar lemak

mengalami penurunan setelah disimpan selama 2 hari.

Penurunan ini mungkin disebabkan karena selama penyimpanan telah terjadi oksidasi lemak. Oksidasi disebabkan oleh a

Gambar

Tabel 1. Kadar asam amino bebas beberapa jenis ..................................
.......... Gambar 1. Tipe penyebaran daging merah Reaksi pembentukan histamin ..........
Gambar 1. Tipe penyebaran daging merah ikan .
Gambar 2. Reaksi pembentukan histamin.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Marx yang kemudian dilengkapi oleh Friedrich Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan jender antara laki-laki dan

tangga untuk pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Kabupeten/Kota di Provinsi Bali. Manusia yang sejahtera adalah manusia yang

Perencanaan merupakan tahapan yang selanjutnya setelah melakukan tahapan orientasi. Dalam tahapan ini, peneliti akan merencanakan tindakan yang akan dilakukan setelah

KJPP yang kantor perwakilannya telah ditutup dan dinyatakan tidak berlaku tetap dapat mengajukan permohonan pembukaan kantor perwakilan dengan memenuhi ketentuan

Adapun bentuk-bentuk partisipasi anggota pada Koperasi Pegawai Negeri Tut Wuri Handayani Kecamatan Sungai Raya yaitu partisipasi pada unit simpan pinjam, unit

Menyediakan perkhidmatan rujukan profesional seperti yang ditakrifkan oleh Association of College and Research Libraries (Amerika Syarikat) iaitu "perkhidmatan

3.2.1.1 Bahwa yang dimaksud pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

Uji hedonik dilakukan terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan dan rasa dari bakso dan sosis asal daging segar, daging beku dan produk komersial yang telah