Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Rachmatsyah Akbar 1111048000038
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
iv
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 84 halaman + 6 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian kasus sengketa
perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Dispute Settlement
Body yang berada dibawah naungan World Trade Organization. Skripsi ini juga
bertujuan untuk untuk melihat prospek penyelesaian kedepannya kasus sengketa ini dililhat dari kasus serupa pada kasus sebelumnya. Kasus serupa yang dimaksud
adalah kasus sengketa rokok antara Indonesia dengan Amerika perihal clove
cigarette. Latar belakang pada skripsi ini adalah gugatan Indonesia terhadap Australia melalui WTO, dikarenakan Australia telah membuat kebijakan
mengenai Tobacco Plain Packaging Act yang dirasa merugikan Indonesia.
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu melalui penelitian yuridis normatif, dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian. Metode yang penulis gunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dan juga melakukan wawancara dalam hal memperoleh data. Hasil penelitian dari skripsi penulis adalah peran negara diperlukan untuk mengambil langkah atau sikap dalam menyelesaikan konflik dengan negara lain. Peran yang dimaksud disini adalah peran awal atau yang sering digunakan pertama kali apabila masalah mulai muncul, yaitu melalui diplomasi. Diplomasi merupakan komunikasi diluar litigasi yang bertujuan untuk saling berkomunikasi melalui hubungan bilateral. Dalam hasil penelitian ini penulis juga mencoba untuk melihat prospek kedepan penyelesaian sengketa ini di WTO, penulis berada pada posisi pro pemerintah Indonesia, dikarenakan ada berbagai argumentasi yang penulis buat, salah satunya adalah bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.
Kata Kunci : WTO, Penyelesaian Sengketa, Rokok, Diplomasi,
Australia
Pembimbing : 1. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum
2. Fitria, SH., MR
v
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PERAN NEGARA DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi
Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World
Trade Organization)”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari
zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penulisan skripsi
ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai
pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Abu Tamrin, SH., MH. selaku sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum. dan Fitria, SH., MR., selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan
skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan
masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan
vi
pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan
bagi penulis.
5. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda H. Zakaria Sarong dan Ibunda
tersayang, Hj. Yumanih. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi,
dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala
hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu Perguruan Tinggi
Negeri. Begitu pula untuk kakak-kakak penulis, terima kasih atas segala
dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan.
6. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 Nevo Amaba,
Ilyas Aghnini, Fanny Fatwati Putri, Hilda Israa dan yang lainnya, yang
selalu mewarnai kehidupan di bangku perkuliahan selama delapan
semester ini.
7. Terimakasih kepada pihak Kementerian Perdagangan R.I dan Kedutaan
Besar Australia, atas kebersediaannya melakukan wawancara terkait
skripsi penulis.
8. Pihak perpustakaan Kemendag, UI, dan UIN Jakarta, terima kasih karena
telah menyediakan buku-buku yang lengkap sehingga penulis tidak
vii
Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun
immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT memberi balasan yang
berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 23 September 2015
viii
LEMBAR PENGESAHAN………....……... ii
LEMBAR PERNYATAAN………. iii
ABSTRAK………... iv
KATA PENGANTAR………....……... v
DAFTAR ISI………... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...…. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu...………... 10
F. Metode Penelitian...……...………. 12
G. Sistematika Penulisan...………...………... 14
BAB II KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Penyelesaian Sengketa Internasional...……….... 17
B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai... 20
C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional... 25
ix
A. World Trade Organization…... 41
1. Sejarah Singkat GATT dan WTO ………....…... 41
2. Fungsi WTO ………...…………... 42
3. Struktur WTO…………...………... 43
4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO.………... 44
5. Ruang Lingkup Pengaturan WTO ………...……50
B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa ………... 51
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa ……… 52
1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan Internasional ……….52
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO ………….54
BAB IV. ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL STUDI KASUS GUGATAN PERDAGANGAN ROKOK INDONESIA TERHADAP AUSTRALIA MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia…...……… 60
B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika Dengan Indonesia – Australia ……… 65
x
B. Saran……….………...80
1
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana manusia, negara adalah entitas yang saling membutuhkan.
Kebutuhan negara secara garis besar yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan
politik, kedua sektor ini memiliki peranan yang penting demi kemakmuran dan
kemajuan sebuah negara.Kebutuhan ekonomi ditujukan untuk mensejahterakan
rakyat agar dapat memiliki penghasilan yang cukup untuk keberlangsungan
kehidupan mereka sehari-hari. Kemudian kebutuhan politik diperlukan untuk
menjembatani jalannya kebutuhan ekonomi itu sendiri, sebab tidak mungkin
sebuah negara menjalani sistem perekonomiannya dengan sendiri tanpa adanya
bantuan dari negara lain. Negara butuh kerjasama atau hubungan dengan negara
yang lain agar apa yang menjadi kebutuhan di dalam negaranya dapat tercapai.
Salah satu hubungan untuk meningkatkan perekonomian yaitu melalui hubungan
perdagangan yang merupakan sektor paling mumpuni untuk meningkatan
perekonomian, tentu saja apabila neraca perdagangan ekspor dan impor
Hubungan antar negara merupakan sebuah landasan dari adanya hubungan
perdagangan itu sendiri. Hubungan antar negara disebut juga dengan hubungan
internasional, yaitu interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun
kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan
dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan.
Seperti kebanyakan sistem sosial lainnya, hubungan internasional dapat
memiliki keuntungan dan kerugian tertentu bagi para partisipasinya.1 Hubungan
internasional didasarkan atas politik bebas aktif seperti yang tertuang di dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Politik bebas aktif
bukan hanya sekedar dalam ruang lingkup politik saja, melainkan
hubungan-hubungannya yang lain, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu praktik
hubungan internasional yaitu dengan melakukan perdagangan antar negara,
setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan dalam sumber dayanya, oleh
sebab itulah mereka saling membutuhkan antara satu sama lain, hal ini dilakukan
dengan cara impor dan ekspor.
Salah satu tujuan dari adanya perdagangan internasional yaitu untuk
meningkatkan pendapatan (income) dalam negeri itu sendiri. Proses
perdagangan internasional ini tidak semata-mata sederhana atau mudah,
melainkan harus ada suatu perjanjian antara negara yang bersangkutan, baik
1
dalam lingkup bilateral, multilateral, unilateral, dan maupun regional. Dari proses
pejanjian ini muncul yang namanya kesepakatan-kesepakatan, misalnya traktat,
konvensi, aturan organisasi perserikatan bangsa-bangsa dan lain sebagainya.
Untuk mendapatkan kepastian hukum itu sendiri, munculah hukum
internasional. Hukum internasional merupakan hukum yang berlaku secara
universal sebagai regulasi internasional. Hubungan internasional sudah
berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah
terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum
internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, vatikan, belligerency,
merupakan contoh-contoh subjek non negara.
Hukum internasional dan hubungan internasional dilakukan dan
dilaksankan oleh subjek hukum internasional yaitu negara. Negara adalah
persekutuan bangsa dalam satu daerah tertentu batas-batasnya yang diperintah
dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur.2 Negara sebagai suatu subjek
memiliki peranan atau fungsi secara garis besar yaitu membuat Undang-Undang
(legislatif), menjalankan Undang-Undang (eksekutif), dan mengawasi
pemerintah (yudikatif).
Penulis dalam proposal skripsi ini menekankan pada pembahasan peranan
negara dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Penulis
2
mengambil contoh peranan negara terhadap penyelesaian sengketa perdagangan
internasional rokok yang diajukan Indonesia terhadap Australia melalui WTO
(World Trade Organization) / Organisasi Perdagangan Internasional).
Dalam penyelesaian kasus perdagangan internasional ada sebuah lembaga
yang menangani soal sengketa ini, yaitu lembaga yang terdapat di badan World
Trade Organization (WTO) / Organisasi Perdagangan Internasional, yang
bernama Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu peranan WTO yaitu sebagai
forum dalam menyelesaikan sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi
guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.3
Dalam menjalankan perekonomian nasional dan internasional seyogianya
semua hal yang berkepentingan menyatu secara bersama-sama demi
meningkatkan kesejahteraan rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri
(universal). Semua subyek hukum yaitu dalam hal ini negara wajib tunduk
kepada aturan yang ada, aturan yang telah ada tidak boleh dilanggar. Semua
negara yang ikut serta dalam hukum internasional wajib mematuhi regulasi yang
ada. Suatu negara tidak dapat melakukan proteksi ekonominya apabila ia dalam
aturan hukum nasionalnya bertentangan dengan ketentuan hukum internasional
yang sudah ada dan yang sudah disepakati (agreement) secara bersama-sama.
3
Australia diadukan lima negara ke WTO karena dianggap melanggar pasal
XXIII dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Australia
dianggap keliru menerapkan kebijakan mewajibkan kemasan polos semua
produk tembakau. Pengaduan ke WTO dilakukan Indonesia bersama Honduras,
Republik Dominika, Ukraina dan Kuba. Kelima negara ini menyampaikan
dokumen pertama kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang membuat
argumentasi hukum bahwa kebijakan Australia yang diterapkan sejak 1
Desember 2012 yang mewajibkan kemasan polos untuk semua produk tembakau
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan di WTO. Dalam pandangan
Indonesia, kebijakan Australia diatas bertentangan dengan pasal XXIII dari
GATT 1994, serta tiga ketentuan WTO lainnya yakni: understandings on rules
and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade related
aspects of intellectual property rights; dan agreement on technical barriers to
trade. 4
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang penulis bahas tidak meluas sehingga dapat
mengakibatkan ketidak jelasan dan ketidak pastian pembahasan masalah
maka penulis dengan ini membatasi masalah yang akan diteliti, antara lain,
4
membahas peran negara diluar pengadilan, yaitu melalui diplomasi dan
membahas peran negara dalam pengadilan, yaitu melalui panel WTO.
Kemudian prospek penyelesaian kasus ini kedepannya melihat dari kasus
yang serupa yang ada sebelumnya.
2. Perumusan Masalah
Menurut peraturan internasional negara tidak boleh menutup diri
dalam perdagangan internasional, pada praktiknya negara Australia menutup
perdagangan rokok terhadap Indonesia. Rumusan tersebut penulis rinci
dalam pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah prospek penyelesaian kasus sengketa dagang antara
Indonesia dengan Australia?
b. Bagaimana peranan negara Indonesia dalam kasus sengketa perdagangan
internasional rokok dengan Australia melalui World Trade Organization?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mendalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
a. Untuk mengetahui prospek penyelesaian sengketa perdagangan antara
Indonesia dengan Australia.
b. Untuk mengetahui tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian
kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui
Badan Penyelesaian Sengketa WTO.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan untuk menambah ilmu pengetahuan
khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum bisnis, ilmu hukum
internasional, ilmu hukum perdagangan internasional, ilmu hukum tata
negara, ilmu hubungan internasional dan ilmu politik bagi yang membacanya.
Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi pejabat negara agar
dapat berperan aktif dalam meningkatkan mutu kualitas indonesia di mata
dunia internasional. Manfaat penelitian ini juga untuk menambah atau
melengkapi koleksi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan
memberikan kontribusi atau sumbangsih pemikiran bagi penerapan hukum di
Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan
landasan bagi peneliti lanjutan.
Demi terciptanya cita-cita suatu negara maka negara harus memiliki
tujuan yang dikehendaki oleh masyarkat di dalamnya. Terdapat sebuah teori
mengenai negara, yaitu teori tujuan negara. Meskipun orang telah lama
memikirkan, tetapi oleh karena tujuan negara itu menentukan segala keadaan
dalam negara, maka orang biasanya menyelipkan pembicaraan tentang
ajaran tujuan negara ini dalam ajaran keseluruhannya untuk menentukan
sifat daripada ajarannya. Pentingnya pembicaraan tentang tujuan negara ini
terutama berhubungan dengan bentuk negara, susunan negara, organ-organ
negara atau badan-badan negara yang harus diadakan, fungsi dan tugas
daripada organ-organ tersebut, serta hubungannya antara organ yang satu
dengan organ yang lain yang selalu harus disesuaikan dengan tujuan negara.
Tujuan negara dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan,
waktu, serta sifat daripada kekuasaan penguasa. Karena mungkin apa yang
dalam waktu ratusan tahun lalu tidak menjadi tugas negara, dalam zaman
sekarang ini menjadi tugas negara yang amat penting, misalnya soal
ekonomi. Jadi, tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarkat adil dan
makmur.5 Pada sekarang ini tujuan negara lebih menekankan untuk
terciptanya welfare state, demi tercapainya kemaslahatan bersama.
5
2. Kerangka Konseptual
Pada era modern seperti sekarang ini banyak sekali terjadi sebuah
perubahan-perubahan di dalam segala sistem yang ada di muka bumi ini, salah
satunya merupakan proses globalisasi. Globalisasi merupakan perubahan
sebuah tatanan sistem yang ada ke arah tatanan sistem yang baru, artinya
bahwa seiring berjalannya waktu maka dibutuhkan adanya sebuah perubahan,
karena didasarkan pada berubahnya pola atau custom yang ada pada saat ini.
Dengan adanya globalisasi terdapat pula jalinan hubungan antar negara yang
satu dengan negara yang lain, sebab sebuah negara tidak dapat hidup atau
berdiri dengan sendiri-sendiri, negara saling membutuhkan karena di dalam
negara itu sendiri pasti terdapat sebuah kekurangan yang mana ia
membutuhkan negara yang lain untuk melengkapi kekurangan yang ada di
dalam negaranya. Salah satu yang dijalankan dalam hubungan kenegaraan
yaitu adanya sebuah perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau
alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan)
melakukan transaksi dagang internasioal. Fakta yang sekarang ini terjadi
adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara
untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.6 Oleh karena itu dibutuhkan
kerjasama dalam bidang ekonomi yakni hubungan perdagangan antar negara
demi untuk mendapatkan advantage secara bersama-sama.
6
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan
beberapa hasil terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan
dibahas, sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Kurniawan dari universitas
Jember, tahun 2013, yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Rokok
Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat
Melalui World Trade Organization (WTO)”. Penelitian tersebut menjelaskan
tentang prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengaturan perdagangan
internasional, mekanisme penyelesaian sengketa dalam World Trade
Organization, penyelesaian sengketa perdagangan rokok antara pemerintah
Republik Indonesia dengan Amerika Serikat melalui World Trade Organization.
Perbedaan disini penulis memfokuskan pada penyelesaian dibawah Badan
Penyelesaian Sengketa, tidak secara universalnya.
Skripsi yang disusun oleh Putri Paramita Soedali dari Universitas Pelita
Harapan, tahun 2013, yang berjudul “Peran WTO Dalam Upaya Penyelesaian
Sengketa Tobacco Control Act Antara Indonesia dan Amerika Serikat Tahun
2009-2012”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang latar belakang terjadinya
kasus rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat, dampak yang dialami
dalam upaya penyelesaian sengketa, serta mengetahui apakah implementasi
keputusan WTO yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat telah sesuai
dengan rekomendasi WTO. Pembeda dengan penulis disini yaitu penulis
mengambil kasus rokok antara Indonesia dengan Australia, dan penulis
mengarahkan pada peran negara, bukan dasar daripada implementasi keputusan
yang diputuskan oleh WTO.
Buku karangan Jhon H Willes yang berjudul “International Business
Law”, diterbitkan oleh McGraw-Hill/Irwin, New York, tahun 2005. Dalam buku
ini hanya membahas dasar daripada penyelesaian sengketa melalui WTO dan
rentang waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketanya. Perbedaan
dengan penulis yaitu penulis lebih merinci penyelesaian sengketa dengan
memfokuskan pada penyelesaian masalah dalam ranah Badan Penyelesaian
Sengketa.
Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis
menguaraikan tentang peran negara Indonesia dalam penyelesaian kasus
sengketa perdagangan rokok dengan Australia terkait peraturan kemasan polos.
Kemudian penulis juga membahas prospek kasus yang penulis ambil, melihat
dari kasus serupa yang dahulu. Dalam skripsi ini penulis juga menguraikan
mengenai cara penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Body yang
berada di ranah WTO. Jadi disini terdapat perbedaan pembahasan dan masalah
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang
memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang yang
bersifat normatif (law in book).7 Dimana penulis mencari fakta-fakta yang
akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi
objek penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada
peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan-peraturan
perundang-undangan, perjanjian internasional, konvensi-konvensi internasional yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan mengenai sifat
penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau
fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau
mecoba membuat suatu rumusan teori yang baru.
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan Perundang-Undangan
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil
Amandemen)
2) General Agreement on Tarrifs and Trade 1994
7
3) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996
4) Agreement on Technical Barriers to Trade
b. Pendekatan Konseptual
Negara yang satu dalam hal ini Australia tidak merasa bahwa
aturan yang dibuatnya melanggar ketentuan hukum internasional yang
telah ada, maka dari itu disinilah diperlukan suatu pendekatan konseptual
untuk mencari doktrin atau pendapat yang ada. Dalam hal ini tidak hanya
melihat atau fokus terhadap permasalahan hukumnya, juga harus dilihat
dari segi ekonomi dan politiknya.
3. Data dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat
kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat
dibagi atas tiga kelompok/bagian, yaitu:
a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari wawancara, peraturan
perundang-undangan dan peraturan internasional lainnya.
b. Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait
perdagangan internasional, badan penyelesaian sengketa organisasi
c. Bahan hukum tertier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum
sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu dengan cara
wawancara (interview) dan studi dokumen atau kepustakaan (library
research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber
bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
dagang dan mekanisme penyelesian litigasi maupun non litigasi. Dalam hal
ini informasi yang di update secara terus menerus di situs WTO dalam kaitan
dengan gugatan Indonesia terhadap Australia dalam kasus kemasan rokok.
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulis Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara umum atau menyeluruh tentang
isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai
Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan
pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan,
prakata, abstrak, daftar isi, serta daftar lampiran.
Bagian isi skripsi terdiri atas :
Bab I : Pendahuluan. Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi,
dan metode penelitian.
Bab II : Kedudukan Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional. Membahas dan menguraikan mengenai penyelesaian sengketa dan
juga bentuk-bentuk penyelesaiannya, serta membahas tanggung jawab
negara dalam sengketa internasional secara umum.
Bab III : World Trade Organization dan Penyelesaian Sengketa. Mebahas WTO sebagai organisasi kerjasama penyelesaian sengketa, ruang
lingkup WTO, dan juga proses atau mekanisme penyelesaian sengketa.
Bab IV : Analisis Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization. Membahas bagaimana sesungguhnya posisi dan peran Indonesia dalam menangani
Kemudian dibahas juga mekanisme penyelesaiannya melalui proses
bilateral dan terakhir melihat prospek penyelesaian sengketa di
kedepannya.
Bab V : Penutup. Berisi kesimpulan dan saran
BAB II
KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
A. Penyelesaian Sengketa Internasional
Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau
sengketa, kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan
terjemahan dari dispute.8
Sengketa (dispute)9 menurut Merrilis adalah ketidaksepahaman mengenai
sesuatu. Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa
(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:10
a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which
a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or
denial by another.
Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian
(hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Dengan demikian,
8
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 174.
9 Sengketa dalam bahasa Arab disebut almutanazi’atu 10
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 322.
setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan
sebagai sengketa (dispute).
Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasional
dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut
kebutuhan integrasi politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut
kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah sengketa tentang legal right.
Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta, misalnya posisi kapal negara A
ketika diintersepsi oleh negara B.
Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk
memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik
(political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakterisitik
sengketa hukum adalah sebagai berikut:11
1. Capable of being settled by the application of certain principles and rules of international law
2. Influence vital interest of State such as territorial integrity
3. Implementation of the existing international law enough to raise a justice decision and support to progressive international relation 4. The dispute related with legal rights and claims to change the existing
rule
Disisi lain Waldock mengemukakan bahwa:
The legal or political character of dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights as, for
11
example, in the Corfu Channel case, the dispute is evidently legal. If both are demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules of international law as, for example in a dispute regarding disarmament, the dispute is evidently political.12
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse mengemukakan bahwa
bersengketa adalah hal yang lazim dalam hubungan internasional. Definisi
persengketaan menurut Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse adalah suatu
perbedaan atas hasil yang dikehendaki dalam suatu situasi tawar-menawar (....a
difference in preferred outcomes in a bargaining situation).13
Selanjutnya menurut Oppenheim-Kelsen
All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation
between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to
be legal nature might involve highly important political intersets of the State
concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction to be a
political character more often than not concern the application of a principal or
a norm of international law.14
Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis
Palestine Concessions (Preliminary Objections, 1924) mendefinisikan pengertian
12
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323.
13
Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.189.
14
sengketa sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views
or interest between two persons. 15
B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai
1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)16
Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan
paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini
mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam
menyelesaikannya sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan
sebagai prinsip pertama (awal) yang termuat dalam Manila Declaration
(Section 1 paragraph 1).17
Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali
Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat
utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall
have the determination and good faith to prevent disputes from arising.
Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.
Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa
15
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 2.
16
Iktikad baik dalam bahasa Arab disebut hasanu an niyah 17
yang dapat memengaruhi hubungan baik antar negara. Kedua, prinsip ini
disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikannya sengketanya
melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum
internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau
cara-cara lain yang dipilih para pihak. Dalam kaitan ini, Section 1 paragraph
5 Manila Declaration mensyaratkan adanya prinsip iktikad baik ini dalam
upaya mencapai penyelesaian sengketa secara lebih dini (lebih cepat).18
2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
(mabdau khothori istikhdami al unfi fii halli an-nizaa’aat)
Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat
antara lain dalam pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Manila
Declaration. Pasal 13 Bali Concord antara lain menyatakan :
.... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall
refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such
disputes among themselves through friendly negotiations.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa (mabdau
hurriyati ikhtiyaari subuli halli an nizaa’aat)
18
Prinsip penting lainnya adalah prinsip dimana para pihak memiliki
kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme
bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).
Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UN Charter dan Section 1
paragraph 3 dan 10 Manila Declaration dan paragraph ke-5 dari Friendly
Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa
penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara
penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak.
Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa
yang akan datang.
Prinsip ini juga termuat dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration.19 Pasal ini memuat definisi mengenai
perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase.
Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan
kesepakatan atau perjanjian para pihak.20 Artinya, penyerahan suatu sengketa
kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk
memilihnya.
19 “Arbitration agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relatinship, whether contractual or not. An arbitration agreement may be i the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.
20
4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok
Sengketa (mabdau hurriyati ikhtiyaari al qoonuun alladziy sayatimmu
tathbiyquhu fii an nizaa’ar roiysiy)
Prinsip fundamental selanjutnya adalah prinsip kebebasan para
pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila
sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk
memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).21 Yang terakhir ini
adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip
keadilan, kepatutan, atau kelayakan.
Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi
pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk
menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional
ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement
antara Republik Indonesia – Malaysia mengenai penyerahan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan:
The principles and rules of international law applicable to the dispute
shall be those recognized in the provisions of Article 38 of the Statute
of theCourt .... (Article 4 Special Agreement).
5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (mabdau ittifaaqin min
athroofi an nizaa’)
21
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4
hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala
ada kesepaktan dari para pihak.22 Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak
akan mungkin berjalan apabila kesepakatannya hanya ada dari salah satu
pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.
6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies (almabdau almutaahu)
Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commision)
memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC
Draft Articles on States Responsibility.23
Selain itu prinsip ini temuat dalam Section 1 paragraph 10 Manila
Declaration.24 Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan
sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian
22
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 17.
23
When the conduct of a State has created situation not in conformity with the result required of it by an international obligation concerning the treatmentto be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.
24
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus
terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa Interhandel (1959),
Mahkamah Internasional menegaskan:
Before resort may be had to an international court, the state where the
violation occured should have an opportunity to redress it by its own
means, within the framework of its own domestic legal system.
C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional
dibagi menjadi dua ruang lingkup yaitu : secara damai (politik, organisasi
internasional, hukum), dan secara kekerasan atau paksaan.
1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik (siyasah)
a. Negosiasi (al mufawwadhatu)
Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang
melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang
dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosisasi adalah
basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.25
Negosiasi adalah “bilateral and multilateral negotiations to resolve differences between two or more states or between groups of states may
25
be carried out by diplomatic correspondence, face to face encounters by permanent diplomatic envoys or by specially designated negotiators.”26
Larry L. Teply mengemukakan antara lain:
“the word „negotiate’, in latin, consists of neg meaning „not’, and atium, maning „ease’. These latin words suggest that one will not be at
easeduring the process or until the agreement is made. Furthermore,
incertain contexts, some individuals are uncomfortable with
compromissing: they consider it an unprincipled „selling out’.”27
Dalam buku yang berjudul Street Law, pengertian negosiasi adalah
the process by which people involved in a dispute discuss their problem
and try to reach a solution acceptable to all.28
Cara negosiasi merupakan suatu upaya bersama para pihak untuk
mencapai suatu cara penyelesaian yang disepakati bersama dengan
mengelola kembali konflik-konflik pandangan para pihak. Cara ini
ditempuh manakala para pihak berkeyakinan bahwa dengan menempuh
cara ini mereka memperoleh hasil yang positif darpada negatif.
Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan
paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian
sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai
cara yang paling mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara
26
Thomas Buergenthal dan Harold G Maier, Public International Law (Minnesota: West Publishing Co, 1990), Edisi Kedua, h. 65.
27
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 43. 28 Lee Arbetman dan Ed O’Brien,
khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan secara bilateral
maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian, akan
sulit melakukan negosiasi apabila antarpihak yang bersengketa tidak
memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi
masing-masing sebagai subjek hukum internasional.
b. Jasa Baik (Good Offices)29
Jasa-jasa baik (good offices) berati intervensi suatu negara ketiga
yang merasa dirinya wajar unuk memantu penyelesaian sengketa yang
terjadi antara dua negara.30 Dalam hal ini, negara ketiga menawarkan
jasa-jasa baiknya. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah
satu dari kedua negara atau oleh keduan-duanya. Intervensi dalam bentuk
jasa-jasa baik ini adalah campur tangan yang sangat sederhana dari negara
ketiga karena negara tersebut membatasi diri dan hanya memprgunakan
pengaruh moral atau politiknya agar negara-negara yang bersengketa
mengadakan hubungan satu sama lain atau mengadakan hubungan
kembali bila hubungan tersebut telah putus.
Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak
ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya
29
Jasa baik dalam bahasa Arab disebut syahratulmahli
30
menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar
negara-negara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan
sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling
bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa
baiknya tersebut.
c. Mediasi (wasaathatun)
A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems
to be failing is mediation.31
Mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian
suatu persengketaan dimana para pihak-pihak yang bersengketa
menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud
untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para pihak yang
bersengketa.32
Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak
ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator
berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki
kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga
mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa. Mediator
31
John D. Donnell dkk, Law For Business (Illinois – USA: Richard D. Irwin, INC, 1983), Edisi Revisi, h. 21.
32
juga diharapkan bisa memberikan proposal untuk menyelesaikan
sengketa.
Jika usulan oleh mediator tidak diterima, maka mediator masih
dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan
baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari
berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat
disepakati oleh para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat
mengakhiri sengketa. Pasal 3 dan 4 the Hague Convention on the
Peaceful Settlement of Disputes (1907) menyatakan bahwa usulan-usulan
yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang
tidak bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa dirugikan).33
Penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah
pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau
pihak yang dikalahkan (win-win solution).34
33
Article 3: Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far as circumstances may alow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Power strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an unfriendly act.
Article 4: The part of the mediator consists in reconciling the opposing claims and appeasing the feelings of resentment which may have arisen between the States at variance.
34
Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat
dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para pihak yang
bersengketa.35
d. Pencarian Fakta (fact finding/Inquiry)36
Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian
sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui
investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah
satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.37 Inquiry dapat
dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun
organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya.
The Hague Convention for the Pacific Settlement of International
Disputes tahun 1907 dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi
(pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja
dan bukan merupakan suatu keputusan: .... is limited to a statement of
facts and has in no way the character of an award .... (Pasal 35).38
35
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 227.
36
Pencarian fakta dalam bahasa Arab disebut tahqiqi 37
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 331.
38
e. Konsiliasi (mushaalihat)
Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the
Regulations on the Procedure of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan:
a method for the settlement of international disputes of any nature according to which a Commission set up by the Parties, either on a permanent or an ad hoc basis to deal with a dispute proceeds to the impartial examination of the dispute and attempts to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by them, or of affording the Parties with a view to its settlement, such aid as they may have requested.
John Wade dari Bond Universiry Dispute Resolution Center,
Australia memberikan definisi konisliasi sebagai berikut:
“Conciliation is a process by which the parties in a conflict with assisting of neutral third party (conciliator) identifying the problem, creating options, consider solution options, and strive to rech agreement.” 39
Hakim Manly O. Hudson mengatakan bahwa kosiliasi adalah:
“Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan
penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu
pendirian-pendirian yang saling bertentangan. Para pihak dalam sengketa
itu tetap bebas menerima atau menolak proposal-proposal yang
dirumuskannya tersebut”.40
39
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi & Bisnis (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), h. 93.
40
Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik
yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam konsiliasi
pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang
dipermasalahkan para pihak dan kemudian memberikan rangkaian usulan
formal penyelesaian sengketanya. Usulan penyelesaian ini bagaimanapun
tidak mengikat disputing parties. Konsiliasi dapat dilakukan oleh
lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc.
Dalam praktik, perbedaan antara mediasi internasional dan
konsiliasi internasional terkadang masih samar-samar (blurred), tetapi
pusat ide dari konsiliasi itu sendiri yaitu konsiliator (atau badan
konsiliasi) yang diharapkan untuk mengeluarkan keputusan yang tidak
mengikat (is expected to issue a non-binding decision).41
2. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Organisasi Internasional
a. Penyelesaian Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (umamu
al-muttahidatu)
Seperti termuat dalam pasal 1 Piagam PBB, tujuan utama PBB
(United Nation) adalah menciptakan perdamaian dan keamanan
internasional.42 PBB juga mendorong agar sengketa-sengketa diselesaikan
41
Sean D Murphy, Principles of International Law (Amerika Serikat: Thomson/West, 2006), h. 116.
42
melalui cara-cara penyelesaian secara damai. Dalam upayanya
menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima
kelompok tindakan yaitu:43
Preventive Diplomacy: suatu tindakan untuk mencegah timbulnya
suatu sengketa diantara para pihak, mencegah luasnya suatu sngketa, atau
membatasi perluasan suatu sengketa.
Peace Making: tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa
untuk saling sepakat, khusunya melalui cara-cara damai seperti yang
terdapat dalam BAB VI UN Charter.44
Peace Keeping: tindakan untuk megerahkan kehadiran PBB dalam
pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang
berkepentingan.
Peace Building: tindakan untuk megidentifikasi dan mendukung
struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu
konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik.
aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;
43
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 95.
44
Peace Enforcement: wewenang Security Council berdasarkan piagam
untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman
terhadap perdamaian
b. Penyelesaian Melalui Organisasi Regional
Pada umumnya organisasi regional memiliki fungsi sebagai good
offices (jasa baik) dan mediasi. Organisasi Regional tersebut antara lain:
Organization of American States (OAS), 30 April 1948. Pasal 1
Piagam menggariskan tujuan pembentukan OAS yaitu: .... to achieve an
order of peace and justice, to promote their solidarity, to strenghten their
collaboration and to defend their sovereignity, their territorial integrity,
and their independence
The Organization of African Unity (OAU), 23 Mei 1963.
European Union (EU)
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
3. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Hukum (syariah)
a. Penyelesaian Melalui Arbitrase (tahkim)
Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.45
45
Arbitration differs from mediation in that the third party to whom
the dispute is submitted decides the outcome.46
Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian
sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun
demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi
mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda
mendeskripsikan badan ini sebagai berikut:
Arbitration is the resolution of international dispute through the submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one or several persons by means of contentious proceedings from which the result of definitive judgement is derived.47
Menurut William H. Gill, arbitrase diartikan sebagai “An arbitration
is the reference of a dispute or difference between not less than two persons for determination after hearing both sides in judicial manner by another person or persons, other than a court of competent jurisdiction.”48
Lawrence S. Clarck, Robert J. Aalberts, dan Peter D. Kinder
mendefinisikan arbitrase sebagai an arrangement in which the parties
46
A. James Barnes dkk, Law for Business (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc, 2006), Edisi Kesembilan, h. 30.
47
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 39.
48
agree to refer a dispute to an impartial third party (the arbitrator) and to
be bound by this determination.49
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut Komisi
Hukum Internasional adalah a procedure for the settlement of disputes
between states by a binding award on the basis of law and as a result of
fan undertaking voluntarily accepted.50
Dalam Black’s Law Dictionary, Arbitration is: “The reference of dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.51
Objek perjanjian arbitrase hanyalah sengketa di bidang
perdagangan, yaitu meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.52
49
Lawrence S. Clark, dkk, Law and Business The Regulatory Environment (Amerika Serikat: McGraw-Hill, Inc, 1994), Edisi. Keempat, h. 25.
50
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 339.
51
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase (Jakarta: Kencana, 2009), h. 35.
52
Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase: 53
1. Quicker resolutuion of disputes;
2. Lower costs in time and money to the parties; and
3. The availability of professional who are often expert in the
subject matter of dispute.
Salah satu sifat pokok dari arbitrase adalah suatu prosedur yang
menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat bagi para pihak yang
bersengketa.54
Hakikat arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual
dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan negara bersengketa yang
bersangkutan.55 Persetujuan itu dapat merupakan persetujuan umum
sebelumnya atau persetujuan khusus untuk sengketa tertentu.
b. Penyelesaian Melalui Mahkamah Internasional (mahkamatul umamu)
Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau
judicial settlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian
53
Kementrian Perdagangan RI, Telaahan Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif Penanganan Sengketa (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat Jenderal, 2011), h. 22.
54
Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), h. 221.
55
melalui badan peradilan badan internasional (world court/international
court). Dalam hukum internasional, penyelesain secara hukum dewasa ini
dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent
Court of International Justice (PCIJ) atau Mahkamah Internasional, The
International Tribunal for The Law of The Sea (Konvensi Hukum Laut
1982), atau International Criminal Court (ICC).56
4. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan atau Paksaan (iqrah)
Penyelesaian sengketa secara kekerasan atau paksaan berarti dalam hal
ini yaitu perang. Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan
negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana
negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain
mematuhinya.57
D. Tanggung Jawab Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Umum
Dalam pembagian kekuasaan (seperation of power)58 dibedakan
menjadi tiga sistem yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap sistem
56
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 58.
57
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. Ke Tujuh, h. 679
58
memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Salah satu fungsi dari lembaga
eksekutif perihal diplomasi yaitu melaksanakan hubungan diplomatik dengan
negara-negara lain.59
Negara merupakan subjek internasional, oleh sebab itu segala kekuasaan
dan juga beban tertinggi (penyelesaian sengketa internasional) di tanggung oleh
negara. Negara memiliki tanggung jawab penuh atas penyelesaian sengketanya
melalui wakil di dalam pemerintahannya.
Hal yang paling utama dilakukan negara ketika terjadi sebuah
perselisihan sengketa internasional yaitu negara melalui wakilnya melakukan
upaya diplomasi terlebih dahulu. Upaya diplomasi merupakan cara penyelesaian
jalur damai melalui bilateral, multilateral dan maupun regional. Dunia
internasional selalu memegang prinsipnya untuk melaksanakan world peace, tapi
dewasa ini sulit rasanya untuk menjalankan prinsip tersebut, karena banyaknya
penyelesaian melalui jalan kekerasan atau jalan perang (middle east).
Secara keseluruhan tanggung jawab negara dalam terjadinya sengketa
internasional yaitu selalu mengupayakan cara damai terlebih dahulu. Negara
mengupayakan peran aktifnya agar tidak terjadi impact yang buruk terhadap
negara sendiri misalnya kerugian-kerugian yang tidak diinginkan oleh warga
59
negara itu sendiri. Pemerintah harus aktif mulai dari berbagai sektor yang dirasa
dirugikan ketika sebuah sengketa internasional itu dimulai.
Jalan diplomasi memang hal yang paling utama dilakukan karena
langsung berhadapan dengan persoalan yang disengketakan. Apabila tidak
ditemukannya titik terang dalam jalan diplomasi tersebut, maka tanggung jawab
negara dikemudian yaitu melimpahkan atau membawa kasus ini melalui
BAB III
WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN SENGKETA
A. World Trade Organization
1. Sejarah Singkat GATT dan WTO
GATT didirikan setelah Perang Dunia II (tahun 1947) bersamaan
dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Monetary Fund (IMF),
dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD/Bank
Dunia).60 Ada dua puluh tiga anggota yang bergabung dalam GATT. Hingga
tahun 1994, ketika Putaran Uruguay telah selesai dan WTO didirikan tanggal
1 Januari 1995. GATT adalah satu-satunya organisasi multilateral yang
membuat peraturan tentang kebijakan perdagangan internasional. WTO saat
ini beranggotakan 161 bangsa di tahun 2015.61 WTO berjanji untuk
mematuhi prinsip-prinsip pengurangan hambatan perdagangan dan distorsi
perdagangan lainnya. Anggota antara lain seluruh negara perdagangan utama
kecuali Cina dan yang dulunya Uni Soviet. GATT dan sekarang WTO,
60
Ratya Anindita & Michael R. Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2008), h. 67.
61
http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization, diakses pada tanggal 24 Agustus 2015, jam 14:37 WIB
merupakan klub negosiasi yang memiliki aturan spesifik untuk memimpin
dan menyelesaikan perdebatan.
2. Fungsi WTO
Final Act dari Putaran Uruguay ditandatangani, bersamaan juga
dengan beberapa dokumen lainnya, pada tanggal 1 Januari 1995. WTO dan
perjanjian-perjanjian yang berkaitan padaa saat sekarang ini mengatur
sekitar 90 persen perdagangan dunia. WTO diadopsi lebih dari 146
pemerintahan.
Fungsi WTO terdapat pada WTO Agreement, yaitu sebagai berikut:62
a) Memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi, dan
mencapai sasaran-sasaran dari persetujuan ini serta persetujuan
multilateral
b) Menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang
berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral
c) Mengatur prosedur penyelesaian sengketa
d) Mengatur mekanisme pemantauan kebijaksanaan perdagangan
e) Bekerjasama dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank
Internasional
62
3. Struktur WTO
Badan-badan yang merupakan kunci dari WTO adalah sebagai berikut:63
a) Ministerial Conference (Pertemuan Tingkat Menteri) – puncak
organisasi WTO organizational membuat keputusan yang sifatnya
hirarki. Pertemuan diadakan paling tidak satu kali dalam dua tahun serta
memiliki tanggung jawab membuat kebijakan-kebijakan yang akan
dilaksanakan oleh WTO.
b) General Council / Dispute Settlement Body & Trade Policy Review
Body (Dewan Umum / Badan Penyelesaian Sengketa & Badan
Peninjauan Kebijakan Perdagangan) – komposisinya merupakan
perwakilan dari setiap anggota WTO dan merupakan pelaksana dari
WTO. Di dalam General Council, pertemuan diadakan secara bulanan.
c) WTO Secretariat (Sekretariat WTO) – pelaksana administratif dan
pelaksana harian.
d) WTO Councils (Dewan WTO) – terdapat dewan-dewan pada setiap
bidang perdagangan, yaitu:
1. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan dalam Barang)
2. Council for Trade in Services (Dewan Perdagangan dalam Jasa)
3. Council for Trade Related Aspects of Intellectual Property (Dewan
Hak Kekayaan Intelektual)
63
e) Committes and Working Parties (Komite dan Kelompok Kerja)
4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO
Terdapat 5 prinsip dasar WTO, yaitu:64
a. Non-Discrimination (Non-Diskriminasi)
Prinsip non-discrimination memuat dua aspek. Pertama, konsep Most
Favored Nation (MFN) dan kedua, National Treatment (NT).
Most Favored Nation (Negara Paling Disukai)
Pada tahun 1978 ILC mengajukan kepada UNGA suatu Draft
Articles Most-Favored Nation Clause (Rancangan Artikel Klausul
Negara yang Paling Disukai). Dalam Pasal 5 Draft itu dirumuskan
pengertian Most-Favored Nation treatment sebagai berikut:65
Most Favored Nation treatment is treatment accorded by the granting State to the beneficiary State, or to persons or things in a determined relationship with that State, not less favourable than treatment extended by the granting State to a third State or to persons or things in the same relationship with that third State.
Konsep MFN merupakan konsep yang fundamental dalam
perdagangan internasional. Konsep ini tidak hanya terbatas pada
negara-negara anggota semata, oleh karenanya jika anggota WTO memberikan
64
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 46. 65