• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Rachmatsyah Akbar 1111048000038

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 84 halaman + 6 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian kasus sengketa

perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui Dispute Settlement

Body yang berada dibawah naungan World Trade Organization. Skripsi ini juga

bertujuan untuk untuk melihat prospek penyelesaian kedepannya kasus sengketa ini dililhat dari kasus serupa pada kasus sebelumnya. Kasus serupa yang dimaksud

adalah kasus sengketa rokok antara Indonesia dengan Amerika perihal clove

cigarette. Latar belakang pada skripsi ini adalah gugatan Indonesia terhadap Australia melalui WTO, dikarenakan Australia telah membuat kebijakan

mengenai Tobacco Plain Packaging Act yang dirasa merugikan Indonesia.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu melalui penelitian yuridis normatif, dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi objek penelitian. Metode yang penulis gunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dan juga melakukan wawancara dalam hal memperoleh data. Hasil penelitian dari skripsi penulis adalah peran negara diperlukan untuk mengambil langkah atau sikap dalam menyelesaikan konflik dengan negara lain. Peran yang dimaksud disini adalah peran awal atau yang sering digunakan pertama kali apabila masalah mulai muncul, yaitu melalui diplomasi. Diplomasi merupakan komunikasi diluar litigasi yang bertujuan untuk saling berkomunikasi melalui hubungan bilateral. Dalam hasil penelitian ini penulis juga mencoba untuk melihat prospek kedepan penyelesaian sengketa ini di WTO, penulis berada pada posisi pro pemerintah Indonesia, dikarenakan ada berbagai argumentasi yang penulis buat, salah satunya adalah bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.

Kata Kunci : WTO, Penyelesaian Sengketa, Rokok, Diplomasi,

Australia

Pembimbing : 1. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum

2. Fitria, SH., MR

(6)

v

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang

senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “PERAN NEGARA DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL (Studi

Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World

Trade Organization)”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari

zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penulisan skripsi

ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai

pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima

kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Abu Tamrin, SH., MH. selaku sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum. dan Fitria, SH., MR., selaku dosen

pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan

skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan

masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan

(7)

vi

pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan

bagi penulis.

5. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda H. Zakaria Sarong dan Ibunda

tersayang, Hj. Yumanih. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi,

dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala

hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu Perguruan Tinggi

Negeri. Begitu pula untuk kakak-kakak penulis, terima kasih atas segala

dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan.

6. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 Nevo Amaba,

Ilyas Aghnini, Fanny Fatwati Putri, Hilda Israa dan yang lainnya, yang

selalu mewarnai kehidupan di bangku perkuliahan selama delapan

semester ini.

7. Terimakasih kepada pihak Kementerian Perdagangan R.I dan Kedutaan

Besar Australia, atas kebersediaannya melakukan wawancara terkait

skripsi penulis.

8. Pihak perpustakaan Kemendag, UI, dan UIN Jakarta, terima kasih karena

telah menyediakan buku-buku yang lengkap sehingga penulis tidak

(8)

vii

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun

immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT memberi balasan yang

berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 23 September 2015

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN………....……... ii

LEMBAR PERNYATAAN………. iii

ABSTRAK………... iv

KATA PENGANTAR………....……... v

DAFTAR ISI………... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...…. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu...………... 10

F. Metode Penelitian...……...………. 12

G. Sistematika Penulisan...………...………... 14

BAB II KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL A. Penyelesaian Sengketa Internasional...……….... 17

B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai... 20

C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional... 25

(10)

ix

A. World Trade Organization…... 41

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO ………....…... 41

2. Fungsi WTO ………...…………... 42

3. Struktur WTO…………...………... 43

4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO.………... 44

5. Ruang Lingkup Pengaturan WTO ………...……50

B. WTO Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa ………... 51

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa ……… 52

1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan Internasional ……….52

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam WTO ………….54

BAB IV. ANALISIS PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL STUDI KASUS GUGATAN PERDAGANGAN ROKOK INDONESIA TERHADAP AUSTRALIA MELALUI WORLD TRADE ORGANIZATION A. Peran Diplomasi Indonesia Terhadap Australia…...……… 60

B. Perbandingan Kasus Sengketa Rokok Indonesia – Amerika Dengan Indonesia – Australia ……… 65

(11)

x

B. Saran……….………...80

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana manusia, negara adalah entitas yang saling membutuhkan.

Kebutuhan negara secara garis besar yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan

politik, kedua sektor ini memiliki peranan yang penting demi kemakmuran dan

kemajuan sebuah negara.Kebutuhan ekonomi ditujukan untuk mensejahterakan

rakyat agar dapat memiliki penghasilan yang cukup untuk keberlangsungan

kehidupan mereka sehari-hari. Kemudian kebutuhan politik diperlukan untuk

menjembatani jalannya kebutuhan ekonomi itu sendiri, sebab tidak mungkin

sebuah negara menjalani sistem perekonomiannya dengan sendiri tanpa adanya

bantuan dari negara lain. Negara butuh kerjasama atau hubungan dengan negara

yang lain agar apa yang menjadi kebutuhan di dalam negaranya dapat tercapai.

Salah satu hubungan untuk meningkatkan perekonomian yaitu melalui hubungan

perdagangan yang merupakan sektor paling mumpuni untuk meningkatan

perekonomian, tentu saja apabila neraca perdagangan ekspor dan impor

(13)

Hubungan antar negara merupakan sebuah landasan dari adanya hubungan

perdagangan itu sendiri. Hubungan antar negara disebut juga dengan hubungan

internasional, yaitu interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun

kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan

dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan.

Seperti kebanyakan sistem sosial lainnya, hubungan internasional dapat

memiliki keuntungan dan kerugian tertentu bagi para partisipasinya.1 Hubungan

internasional didasarkan atas politik bebas aktif seperti yang tertuang di dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Politik bebas aktif

bukan hanya sekedar dalam ruang lingkup politik saja, melainkan

hubungan-hubungannya yang lain, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu praktik

hubungan internasional yaitu dengan melakukan perdagangan antar negara,

setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan dalam sumber dayanya, oleh

sebab itulah mereka saling membutuhkan antara satu sama lain, hal ini dilakukan

dengan cara impor dan ekspor.

Salah satu tujuan dari adanya perdagangan internasional yaitu untuk

meningkatkan pendapatan (income) dalam negeri itu sendiri. Proses

perdagangan internasional ini tidak semata-mata sederhana atau mudah,

melainkan harus ada suatu perjanjian antara negara yang bersangkutan, baik

1

(14)

dalam lingkup bilateral, multilateral, unilateral, dan maupun regional. Dari proses

pejanjian ini muncul yang namanya kesepakatan-kesepakatan, misalnya traktat,

konvensi, aturan organisasi perserikatan bangsa-bangsa dan lain sebagainya.

Untuk mendapatkan kepastian hukum itu sendiri, munculah hukum

internasional. Hukum internasional merupakan hukum yang berlaku secara

universal sebagai regulasi internasional. Hubungan internasional sudah

berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah

terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum

internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, vatikan, belligerency,

merupakan contoh-contoh subjek non negara.

Hukum internasional dan hubungan internasional dilakukan dan

dilaksankan oleh subjek hukum internasional yaitu negara. Negara adalah

persekutuan bangsa dalam satu daerah tertentu batas-batasnya yang diperintah

dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur.2 Negara sebagai suatu subjek

memiliki peranan atau fungsi secara garis besar yaitu membuat Undang-Undang

(legislatif), menjalankan Undang-Undang (eksekutif), dan mengawasi

pemerintah (yudikatif).

Penulis dalam proposal skripsi ini menekankan pada pembahasan peranan

negara dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Penulis

2

(15)

mengambil contoh peranan negara terhadap penyelesaian sengketa perdagangan

internasional rokok yang diajukan Indonesia terhadap Australia melalui WTO

(World Trade Organization) / Organisasi Perdagangan Internasional).

Dalam penyelesaian kasus perdagangan internasional ada sebuah lembaga

yang menangani soal sengketa ini, yaitu lembaga yang terdapat di badan World

Trade Organization (WTO) / Organisasi Perdagangan Internasional, yang

bernama Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu peranan WTO yaitu sebagai

forum dalam menyelesaikan sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi

guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.3

Dalam menjalankan perekonomian nasional dan internasional seyogianya

semua hal yang berkepentingan menyatu secara bersama-sama demi

meningkatkan kesejahteraan rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri

(universal). Semua subyek hukum yaitu dalam hal ini negara wajib tunduk

kepada aturan yang ada, aturan yang telah ada tidak boleh dilanggar. Semua

negara yang ikut serta dalam hukum internasional wajib mematuhi regulasi yang

ada. Suatu negara tidak dapat melakukan proteksi ekonominya apabila ia dalam

aturan hukum nasionalnya bertentangan dengan ketentuan hukum internasional

yang sudah ada dan yang sudah disepakati (agreement) secara bersama-sama.

3

(16)

Australia diadukan lima negara ke WTO karena dianggap melanggar pasal

XXIII dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Australia

dianggap keliru menerapkan kebijakan mewajibkan kemasan polos semua

produk tembakau. Pengaduan ke WTO dilakukan Indonesia bersama Honduras,

Republik Dominika, Ukraina dan Kuba. Kelima negara ini menyampaikan

dokumen pertama kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang membuat

argumentasi hukum bahwa kebijakan Australia yang diterapkan sejak 1

Desember 2012 yang mewajibkan kemasan polos untuk semua produk tembakau

merupakan pelanggaran terhadap ketentuan di WTO. Dalam pandangan

Indonesia, kebijakan Australia diatas bertentangan dengan pasal XXIII dari

GATT 1994, serta tiga ketentuan WTO lainnya yakni: understandings on rules

and procedures governing the settlement of dispute; agreement on trade related

aspects of intellectual property rights; dan agreement on technical barriers to

trade. 4

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang penulis bahas tidak meluas sehingga dapat

mengakibatkan ketidak jelasan dan ketidak pastian pembahasan masalah

maka penulis dengan ini membatasi masalah yang akan diteliti, antara lain,

4

(17)

membahas peran negara diluar pengadilan, yaitu melalui diplomasi dan

membahas peran negara dalam pengadilan, yaitu melalui panel WTO.

Kemudian prospek penyelesaian kasus ini kedepannya melihat dari kasus

yang serupa yang ada sebelumnya.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan internasional negara tidak boleh menutup diri

dalam perdagangan internasional, pada praktiknya negara Australia menutup

perdagangan rokok terhadap Indonesia. Rumusan tersebut penulis rinci

dalam pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah prospek penyelesaian kasus sengketa dagang antara

Indonesia dengan Australia?

b. Bagaimana peranan negara Indonesia dalam kasus sengketa perdagangan

internasional rokok dengan Australia melalui World Trade Organization?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mendalami tentang

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan

masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

(18)

a. Untuk mengetahui prospek penyelesaian sengketa perdagangan antara

Indonesia dengan Australia.

b. Untuk mengetahui tugas negara atau peran negara dalam penyelesaian

kasus sengketa perdagangan internasional rokok dengan Australia melalui

Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan untuk menambah ilmu pengetahuan

khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum bisnis, ilmu hukum

internasional, ilmu hukum perdagangan internasional, ilmu hukum tata

negara, ilmu hubungan internasional dan ilmu politik bagi yang membacanya.

Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi pejabat negara agar

dapat berperan aktif dalam meningkatkan mutu kualitas indonesia di mata

dunia internasional. Manfaat penelitian ini juga untuk menambah atau

melengkapi koleksi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan

memberikan kontribusi atau sumbangsih pemikiran bagi penerapan hukum di

Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan

landasan bagi peneliti lanjutan.

(19)

Demi terciptanya cita-cita suatu negara maka negara harus memiliki

tujuan yang dikehendaki oleh masyarkat di dalamnya. Terdapat sebuah teori

mengenai negara, yaitu teori tujuan negara. Meskipun orang telah lama

memikirkan, tetapi oleh karena tujuan negara itu menentukan segala keadaan

dalam negara, maka orang biasanya menyelipkan pembicaraan tentang

ajaran tujuan negara ini dalam ajaran keseluruhannya untuk menentukan

sifat daripada ajarannya. Pentingnya pembicaraan tentang tujuan negara ini

terutama berhubungan dengan bentuk negara, susunan negara, organ-organ

negara atau badan-badan negara yang harus diadakan, fungsi dan tugas

daripada organ-organ tersebut, serta hubungannya antara organ yang satu

dengan organ yang lain yang selalu harus disesuaikan dengan tujuan negara.

Tujuan negara dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan,

waktu, serta sifat daripada kekuasaan penguasa. Karena mungkin apa yang

dalam waktu ratusan tahun lalu tidak menjadi tugas negara, dalam zaman

sekarang ini menjadi tugas negara yang amat penting, misalnya soal

ekonomi. Jadi, tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan

kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarkat adil dan

makmur.5 Pada sekarang ini tujuan negara lebih menekankan untuk

terciptanya welfare state, demi tercapainya kemaslahatan bersama.

5

(20)

2. Kerangka Konseptual

Pada era modern seperti sekarang ini banyak sekali terjadi sebuah

perubahan-perubahan di dalam segala sistem yang ada di muka bumi ini, salah

satunya merupakan proses globalisasi. Globalisasi merupakan perubahan

sebuah tatanan sistem yang ada ke arah tatanan sistem yang baru, artinya

bahwa seiring berjalannya waktu maka dibutuhkan adanya sebuah perubahan,

karena didasarkan pada berubahnya pola atau custom yang ada pada saat ini.

Dengan adanya globalisasi terdapat pula jalinan hubungan antar negara yang

satu dengan negara yang lain, sebab sebuah negara tidak dapat hidup atau

berdiri dengan sendiri-sendiri, negara saling membutuhkan karena di dalam

negara itu sendiri pasti terdapat sebuah kekurangan yang mana ia

membutuhkan negara yang lain untuk melengkapi kekurangan yang ada di

dalam negaranya. Salah satu yang dijalankan dalam hubungan kenegaraan

yaitu adanya sebuah perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau

alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan)

melakukan transaksi dagang internasioal. Fakta yang sekarang ini terjadi

adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara

untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.6 Oleh karena itu dibutuhkan

kerjasama dalam bidang ekonomi yakni hubungan perdagangan antar negara

demi untuk mendapatkan advantage secara bersama-sama.

6

(21)

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan

beberapa hasil terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan

dibahas, sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Kurniawan dari universitas

Jember, tahun 2013, yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Rokok

Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat

Melalui World Trade Organization (WTO)”. Penelitian tersebut menjelaskan

tentang prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengaturan perdagangan

internasional, mekanisme penyelesaian sengketa dalam World Trade

Organization, penyelesaian sengketa perdagangan rokok antara pemerintah

Republik Indonesia dengan Amerika Serikat melalui World Trade Organization.

Perbedaan disini penulis memfokuskan pada penyelesaian dibawah Badan

Penyelesaian Sengketa, tidak secara universalnya.

Skripsi yang disusun oleh Putri Paramita Soedali dari Universitas Pelita

Harapan, tahun 2013, yang berjudul “Peran WTO Dalam Upaya Penyelesaian

Sengketa Tobacco Control Act Antara Indonesia dan Amerika Serikat Tahun

2009-2012”. Penelitian tersebut menjelaskan tentang latar belakang terjadinya

kasus rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat, dampak yang dialami

(22)

dalam upaya penyelesaian sengketa, serta mengetahui apakah implementasi

keputusan WTO yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat telah sesuai

dengan rekomendasi WTO. Pembeda dengan penulis disini yaitu penulis

mengambil kasus rokok antara Indonesia dengan Australia, dan penulis

mengarahkan pada peran negara, bukan dasar daripada implementasi keputusan

yang diputuskan oleh WTO.

Buku karangan Jhon H Willes yang berjudul “International Business

Law”, diterbitkan oleh McGraw-Hill/Irwin, New York, tahun 2005. Dalam buku

ini hanya membahas dasar daripada penyelesaian sengketa melalui WTO dan

rentang waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketanya. Perbedaan

dengan penulis yaitu penulis lebih merinci penyelesaian sengketa dengan

memfokuskan pada penyelesaian masalah dalam ranah Badan Penyelesaian

Sengketa.

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis

menguaraikan tentang peran negara Indonesia dalam penyelesaian kasus

sengketa perdagangan rokok dengan Australia terkait peraturan kemasan polos.

Kemudian penulis juga membahas prospek kasus yang penulis ambil, melihat

dari kasus serupa yang dahulu. Dalam skripsi ini penulis juga menguraikan

mengenai cara penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Body yang

berada di ranah WTO. Jadi disini terdapat perbedaan pembahasan dan masalah

(23)

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang

memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang yang

bersifat normatif (law in book).7 Dimana penulis mencari fakta-fakta yang

akurat dan valid tentang sebuah peristiwa yang konkrit yang menjadi korelasi

objek penelitian. Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada

peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan-peraturan

perundang-undangan, perjanjian internasional, konvensi-konvensi internasional yang

berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan mengenai sifat

penelitian ini yaitu bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan suatu hal atau

fenomena dengan rinci agar dapat memperkuat teori yang sudah ada, atau

mecoba membuat suatu rumusan teori yang baru.

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-Undangan

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil

Amandemen)

2) General Agreement on Tarrifs and Trade 1994

7

(24)

3) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights 1996

4) Agreement on Technical Barriers to Trade

b. Pendekatan Konseptual

Negara yang satu dalam hal ini Australia tidak merasa bahwa

aturan yang dibuatnya melanggar ketentuan hukum internasional yang

telah ada, maka dari itu disinilah diperlukan suatu pendekatan konseptual

untuk mencari doktrin atau pendapat yang ada. Dalam hal ini tidak hanya

melihat atau fokus terhadap permasalahan hukumnya, juga harus dilihat

dari segi ekonomi dan politiknya.

3. Data dan Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data

yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat

kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat

dibagi atas tiga kelompok/bagian, yaitu:

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari wawancara, peraturan

perundang-undangan dan peraturan internasional lainnya.

b. Bahan hukum sekunder yang penulis peroleh dari buku-buku terkait

perdagangan internasional, badan penyelesaian sengketa organisasi

(25)

c. Bahan hukum tertier yang penulis pergunakan bagi bahan hukum

sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus

Besar Bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu dengan cara

wawancara (interview) dan studi dokumen atau kepustakaan (library

research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber

bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa

dagang dan mekanisme penyelesian litigasi maupun non litigasi. Dalam hal

ini informasi yang di update secara terus menerus di situs WTO dalam kaitan

dengan gugatan Indonesia terhadap Australia dalam kasus kemasan rokok.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman

Penulis Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara umum atau menyeluruh tentang

isi skripsi, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai

(26)

Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan

pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan,

prakata, abstrak, daftar isi, serta daftar lampiran.

Bagian isi skripsi terdiri atas :

Bab I : Pendahuluan. Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi,

dan metode penelitian.

Bab II : Kedudukan Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional. Membahas dan menguraikan mengenai penyelesaian sengketa dan

juga bentuk-bentuk penyelesaiannya, serta membahas tanggung jawab

negara dalam sengketa internasional secara umum.

Bab III : World Trade Organization dan Penyelesaian Sengketa. Mebahas WTO sebagai organisasi kerjasama penyelesaian sengketa, ruang

lingkup WTO, dan juga proses atau mekanisme penyelesaian sengketa.

Bab IV : Analisis Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization. Membahas bagaimana sesungguhnya posisi dan peran Indonesia dalam menangani

(27)

Kemudian dibahas juga mekanisme penyelesaiannya melalui proses

bilateral dan terakhir melihat prospek penyelesaian sengketa di

kedepannya.

Bab V : Penutup. Berisi kesimpulan dan saran

(28)

BAB II

KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

A. Penyelesaian Sengketa Internasional

Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau

sengketa, kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan

terjemahan dari dispute.8

Sengketa (dispute)9 menurut Merrilis adalah ketidaksepahaman mengenai

sesuatu. Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa

(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:10

a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which

a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or

denial by another.

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian

(hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Dengan demikian,

8

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 174.

9 Sengketa dalam bahasa Arab disebut almutanazi’atu 10

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 322.

(29)

setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan

sebagai sengketa (dispute).

Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasional

dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut

kebutuhan integrasi politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut

kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah sengketa tentang legal right.

Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta, misalnya posisi kapal negara A

ketika diintersepsi oleh negara B.

Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk

memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik

(political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakterisitik

sengketa hukum adalah sebagai berikut:11

1. Capable of being settled by the application of certain principles and rules of international law

2. Influence vital interest of State such as territorial integrity

3. Implementation of the existing international law enough to raise a justice decision and support to progressive international relation 4. The dispute related with legal rights and claims to change the existing

rule

Disisi lain Waldock mengemukakan bahwa:

The legal or political character of dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights as, for

11

(30)

example, in the Corfu Channel case, the dispute is evidently legal. If both are demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules of international law as, for example in a dispute regarding disarmament, the dispute is evidently political.12

Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse mengemukakan bahwa

bersengketa adalah hal yang lazim dalam hubungan internasional. Definisi

persengketaan menurut Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse adalah suatu

perbedaan atas hasil yang dikehendaki dalam suatu situasi tawar-menawar (....a

difference in preferred outcomes in a bargaining situation).13

Selanjutnya menurut Oppenheim-Kelsen

All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation

between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to

be legal nature might involve highly important political intersets of the State

concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction to be a

political character more often than not concern the application of a principal or

a norm of international law.14

Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis

Palestine Concessions (Preliminary Objections, 1924) mendefinisikan pengertian

12

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 323.

13

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT Alumni, 2010), h.189.

14

(31)

sengketa sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views

or interest between two persons. 15

B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai

1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)16

Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan

paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini

mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam

menyelesaikannya sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan

sebagai prinsip pertama (awal) yang termuat dalam Manila Declaration

(Section 1 paragraph 1).17

Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali

Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat

utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall

have the determination and good faith to prevent disputes from arising.

Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.

Pertama, prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa

15

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 2.

16

Iktikad baik dalam bahasa Arab disebut hasanu an niyah 17

(32)

yang dapat memengaruhi hubungan baik antar negara. Kedua, prinsip ini

disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikannya sengketanya

melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum

internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau

cara-cara lain yang dipilih para pihak. Dalam kaitan ini, Section 1 paragraph

5 Manila Declaration mensyaratkan adanya prinsip iktikad baik ini dalam

upaya mencapai penyelesaian sengketa secara lebih dini (lebih cepat).18

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa

(mabdau khothori istikhdami al unfi fii halli an-nizaa’aat)

Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan

sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat

antara lain dalam pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Manila

Declaration. Pasal 13 Bali Concord antara lain menyatakan :

.... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall

refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such

disputes among themselves through friendly negotiations.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa (mabdau

hurriyati ikhtiyaari subuli halli an nizaa’aat)

18

(33)

Prinsip penting lainnya adalah prinsip dimana para pihak memiliki

kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme

bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).

Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UN Charter dan Section 1

paragraph 3 dan 10 Manila Declaration dan paragraph ke-5 dari Friendly

Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa

penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara

penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak.

Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa

yang akan datang.

Prinsip ini juga termuat dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on

International Commercial Arbitration.19 Pasal ini memuat definisi mengenai

perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase.

Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan

kesepakatan atau perjanjian para pihak.20 Artinya, penyerahan suatu sengketa

kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk

memilihnya.

19 “Arbitration agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relatinship, whether contractual or not. An arbitration agreement may be i the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.

20

(34)

4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok

Sengketa (mabdau hurriyati ikhtiyaari al qoonuun alladziy sayatimmu

tathbiyquhu fii an nizaa’ar roiysiy)

Prinsip fundamental selanjutnya adalah prinsip kebebasan para

pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila

sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk

memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).21 Yang terakhir ini

adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip

keadilan, kepatutan, atau kelayakan.

Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi

pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk

menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional

ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement

antara Republik Indonesia – Malaysia mengenai penyerahan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan:

The principles and rules of international law applicable to the dispute

shall be those recognized in the provisions of Article 38 of the Statute

of theCourt .... (Article 4 Special Agreement).

5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (mabdau ittifaaqin min

athroofi an nizaa’)

21

(35)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam

penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi

pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4

hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala

ada kesepaktan dari para pihak.22 Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak

akan mungkin berjalan apabila kesepakatannya hanya ada dari salah satu

pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.

6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies (almabdau almutaahu)

Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commision)

memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC

Draft Articles on States Responsibility.23

Selain itu prinsip ini temuat dalam Section 1 paragraph 10 Manila

Declaration.24 Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan

sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian

22

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 17.

23

When the conduct of a State has created situation not in conformity with the result required of it by an international obligation concerning the treatmentto be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.

24

(36)

sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus

terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa Interhandel (1959),

Mahkamah Internasional menegaskan:

Before resort may be had to an international court, the state where the

violation occured should have an opportunity to redress it by its own

means, within the framework of its own domestic legal system.

C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional

Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional

dibagi menjadi dua ruang lingkup yaitu : secara damai (politik, organisasi

internasional, hukum), dan secara kekerasan atau paksaan.

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik (siyasah)

a. Negosiasi (al mufawwadhatu)

Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang

melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang

dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosisasi adalah

basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.25

Negosiasi adalah “bilateral and multilateral negotiations to resolve differences between two or more states or between groups of states may

25

(37)

be carried out by diplomatic correspondence, face to face encounters by permanent diplomatic envoys or by specially designated negotiators.”26

Larry L. Teply mengemukakan antara lain:

“the word „negotiate’, in latin, consists of neg meaning „not’, and atium, maning „ease’. These latin words suggest that one will not be at

easeduring the process or until the agreement is made. Furthermore,

incertain contexts, some individuals are uncomfortable with

compromissing: they consider it an unprincipled „selling out’.”27

Dalam buku yang berjudul Street Law, pengertian negosiasi adalah

the process by which people involved in a dispute discuss their problem

and try to reach a solution acceptable to all.28

Cara negosiasi merupakan suatu upaya bersama para pihak untuk

mencapai suatu cara penyelesaian yang disepakati bersama dengan

mengelola kembali konflik-konflik pandangan para pihak. Cara ini

ditempuh manakala para pihak berkeyakinan bahwa dengan menempuh

cara ini mereka memperoleh hasil yang positif darpada negatif.

Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan

paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian

sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai

cara yang paling mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara

26

Thomas Buergenthal dan Harold G Maier, Public International Law (Minnesota: West Publishing Co, 1990), Edisi Kedua, h. 65.

27

Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 43. 28 Lee Arbetman dan Ed O’Brien,

(38)

khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan secara bilateral

maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian, akan

sulit melakukan negosiasi apabila antarpihak yang bersengketa tidak

memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi

masing-masing sebagai subjek hukum internasional.

b. Jasa Baik (Good Offices)29

Jasa-jasa baik (good offices) berati intervensi suatu negara ketiga

yang merasa dirinya wajar unuk memantu penyelesaian sengketa yang

terjadi antara dua negara.30 Dalam hal ini, negara ketiga menawarkan

jasa-jasa baiknya. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah

satu dari kedua negara atau oleh keduan-duanya. Intervensi dalam bentuk

jasa-jasa baik ini adalah campur tangan yang sangat sederhana dari negara

ketiga karena negara tersebut membatasi diri dan hanya memprgunakan

pengaruh moral atau politiknya agar negara-negara yang bersengketa

mengadakan hubungan satu sama lain atau mengadakan hubungan

kembali bila hubungan tersebut telah putus.

Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak

ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya

29

Jasa baik dalam bahasa Arab disebut syahratulmahli

30

(39)

menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar

negara-negara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan

sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling

bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa

baiknya tersebut.

c. Mediasi (wasaathatun)

A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems

to be failing is mediation.31

Mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian

suatu persengketaan dimana para pihak-pihak yang bersengketa

menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud

untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para pihak yang

bersengketa.32

Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak

ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator

berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki

kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga

mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa. Mediator

31

John D. Donnell dkk, Law For Business (Illinois – USA: Richard D. Irwin, INC, 1983), Edisi Revisi, h. 21.

32

(40)

juga diharapkan bisa memberikan proposal untuk menyelesaikan

sengketa.

Jika usulan oleh mediator tidak diterima, maka mediator masih

dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan

baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari

berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat

disepakati oleh para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat

mengakhiri sengketa. Pasal 3 dan 4 the Hague Convention on the

Peaceful Settlement of Disputes (1907) menyatakan bahwa usulan-usulan

yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang

tidak bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa dirugikan).33

Penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah

pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau

pihak yang dikalahkan (win-win solution).34

33

Article 3: Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far as circumstances may alow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Power strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an unfriendly act.

Article 4: The part of the mediator consists in reconciling the opposing claims and appeasing the feelings of resentment which may have arisen between the States at variance.

34

(41)

Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat

dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para pihak yang

bersengketa.35

d. Pencarian Fakta (fact finding/Inquiry)36

Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian

sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui

investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah

satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.37 Inquiry dapat

dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun

organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya.

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International

Disputes tahun 1907 dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi

(pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja

dan bukan merupakan suatu keputusan: .... is limited to a statement of

facts and has in no way the character of an award .... (Pasal 35).38

35

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 227.

36

Pencarian fakta dalam bahasa Arab disebut tahqiqi 37

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 331.

38

(42)

e. Konsiliasi (mushaalihat)

Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the

Regulations on the Procedure of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan:

a method for the settlement of international disputes of any nature according to which a Commission set up by the Parties, either on a permanent or an ad hoc basis to deal with a dispute proceeds to the impartial examination of the dispute and attempts to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by them, or of affording the Parties with a view to its settlement, such aid as they may have requested.

John Wade dari Bond Universiry Dispute Resolution Center,

Australia memberikan definisi konisliasi sebagai berikut:

Conciliation is a process by which the parties in a conflict with assisting of neutral third party (conciliator) identifying the problem, creating options, consider solution options, and strive to rech agreement.” 39

Hakim Manly O. Hudson mengatakan bahwa kosiliasi adalah:

“Suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelesaian setelah diadakan

penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu

pendirian-pendirian yang saling bertentangan. Para pihak dalam sengketa

itu tetap bebas menerima atau menolak proposal-proposal yang

dirumuskannya tersebut”.40

39

Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum Dalam Ekonomi & Bisnis (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), h. 93.

40

(43)

Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik

yang menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam konsiliasi

pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang

dipermasalahkan para pihak dan kemudian memberikan rangkaian usulan

formal penyelesaian sengketanya. Usulan penyelesaian ini bagaimanapun

tidak mengikat disputing parties. Konsiliasi dapat dilakukan oleh

lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc.

Dalam praktik, perbedaan antara mediasi internasional dan

konsiliasi internasional terkadang masih samar-samar (blurred), tetapi

pusat ide dari konsiliasi itu sendiri yaitu konsiliator (atau badan

konsiliasi) yang diharapkan untuk mengeluarkan keputusan yang tidak

mengikat (is expected to issue a non-binding decision).41

2. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Organisasi Internasional

a. Penyelesaian Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (umamu

al-muttahidatu)

Seperti termuat dalam pasal 1 Piagam PBB, tujuan utama PBB

(United Nation) adalah menciptakan perdamaian dan keamanan

internasional.42 PBB juga mendorong agar sengketa-sengketa diselesaikan

41

Sean D Murphy, Principles of International Law (Amerika Serikat: Thomson/West, 2006), h. 116.

42

(44)

melalui cara-cara penyelesaian secara damai. Dalam upayanya

menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima

kelompok tindakan yaitu:43

Preventive Diplomacy: suatu tindakan untuk mencegah timbulnya

suatu sengketa diantara para pihak, mencegah luasnya suatu sngketa, atau

membatasi perluasan suatu sengketa.

Peace Making: tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa

untuk saling sepakat, khusunya melalui cara-cara damai seperti yang

terdapat dalam BAB VI UN Charter.44

Peace Keeping: tindakan untuk megerahkan kehadiran PBB dalam

pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang

berkepentingan.

Peace Building: tindakan untuk megidentifikasi dan mendukung

struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu

konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik.

aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;

43

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 95.

44

(45)

Peace Enforcement: wewenang Security Council berdasarkan piagam

untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman

terhadap perdamaian

b. Penyelesaian Melalui Organisasi Regional

Pada umumnya organisasi regional memiliki fungsi sebagai good

offices (jasa baik) dan mediasi. Organisasi Regional tersebut antara lain:

Organization of American States (OAS), 30 April 1948. Pasal 1

Piagam menggariskan tujuan pembentukan OAS yaitu: .... to achieve an

order of peace and justice, to promote their solidarity, to strenghten their

collaboration and to defend their sovereignity, their territorial integrity,

and their independence

The Organization of African Unity (OAU), 23 Mei 1963.

European Union (EU)

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)

3. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Hukum (syariah)

a. Penyelesaian Melalui Arbitrase (tahkim)

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya

kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.45

45

(46)

Arbitration differs from mediation in that the third party to whom

the dispute is submitted decides the outcome.46

Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian

sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun

demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi

mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda

mendeskripsikan badan ini sebagai berikut:

Arbitration is the resolution of international dispute through the submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one or several persons by means of contentious proceedings from which the result of definitive judgement is derived.47

Menurut William H. Gill, arbitrase diartikan sebagai “An arbitration

is the reference of a dispute or difference between not less than two persons for determination after hearing both sides in judicial manner by another person or persons, other than a court of competent jurisdiction.”48

Lawrence S. Clarck, Robert J. Aalberts, dan Peter D. Kinder

mendefinisikan arbitrase sebagai an arrangement in which the parties

46

A. James Barnes dkk, Law for Business (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc, 2006), Edisi Kesembilan, h. 30.

47

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 39.

48

(47)

agree to refer a dispute to an impartial third party (the arbitrator) and to

be bound by this determination.49

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut Komisi

Hukum Internasional adalah a procedure for the settlement of disputes

between states by a binding award on the basis of law and as a result of

fan undertaking voluntarily accepted.50

Dalam Black’s Law Dictionary, Arbitration is: “The reference of dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.51

Objek perjanjian arbitrase hanyalah sengketa di bidang

perdagangan, yaitu meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan,

penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.52

49

Lawrence S. Clark, dkk, Law and Business The Regulatory Environment (Amerika Serikat: McGraw-Hill, Inc, 1994), Edisi. Keempat, h. 25.

50

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet.Kedua, h. 339.

51

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase (Jakarta: Kencana, 2009), h. 35.

52

(48)

Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan

penyelesaian sengketa melalui arbitrase: 53

1. Quicker resolutuion of disputes;

2. Lower costs in time and money to the parties; and

3. The availability of professional who are often expert in the

subject matter of dispute.

Salah satu sifat pokok dari arbitrase adalah suatu prosedur yang

menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat bagi para pihak yang

bersengketa.54

Hakikat arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual

dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat

dilakukan dengan persetujuan negara bersengketa yang

bersangkutan.55 Persetujuan itu dapat merupakan persetujuan umum

sebelumnya atau persetujuan khusus untuk sengketa tertentu.

b. Penyelesaian Melalui Mahkamah Internasional (mahkamatul umamu)

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau

judicial settlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian

53

Kementrian Perdagangan RI, Telaahan Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif Penanganan Sengketa (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat Jenderal, 2011), h. 22.

54

Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), h. 221.

55

(49)

melalui badan peradilan badan internasional (world court/international

court). Dalam hukum internasional, penyelesain secara hukum dewasa ini

dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent

Court of International Justice (PCIJ) atau Mahkamah Internasional, The

International Tribunal for The Law of The Sea (Konvensi Hukum Laut

1982), atau International Criminal Court (ICC).56

4. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan atau Paksaan (iqrah)

Penyelesaian sengketa secara kekerasan atau paksaan berarti dalam hal

ini yaitu perang. Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan

negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana

negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain

mematuhinya.57

D. Tanggung Jawab Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Umum

Dalam pembagian kekuasaan (seperation of power)58 dibedakan

menjadi tiga sistem yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap sistem

56

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.Kedua, h. 58.

57

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. Ke Tujuh, h. 679

58

(50)

memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Salah satu fungsi dari lembaga

eksekutif perihal diplomasi yaitu melaksanakan hubungan diplomatik dengan

negara-negara lain.59

Negara merupakan subjek internasional, oleh sebab itu segala kekuasaan

dan juga beban tertinggi (penyelesaian sengketa internasional) di tanggung oleh

negara. Negara memiliki tanggung jawab penuh atas penyelesaian sengketanya

melalui wakil di dalam pemerintahannya.

Hal yang paling utama dilakukan negara ketika terjadi sebuah

perselisihan sengketa internasional yaitu negara melalui wakilnya melakukan

upaya diplomasi terlebih dahulu. Upaya diplomasi merupakan cara penyelesaian

jalur damai melalui bilateral, multilateral dan maupun regional. Dunia

internasional selalu memegang prinsipnya untuk melaksanakan world peace, tapi

dewasa ini sulit rasanya untuk menjalankan prinsip tersebut, karena banyaknya

penyelesaian melalui jalan kekerasan atau jalan perang (middle east).

Secara keseluruhan tanggung jawab negara dalam terjadinya sengketa

internasional yaitu selalu mengupayakan cara damai terlebih dahulu. Negara

mengupayakan peran aktifnya agar tidak terjadi impact yang buruk terhadap

negara sendiri misalnya kerugian-kerugian yang tidak diinginkan oleh warga

59

(51)

negara itu sendiri. Pemerintah harus aktif mulai dari berbagai sektor yang dirasa

dirugikan ketika sebuah sengketa internasional itu dimulai.

Jalan diplomasi memang hal yang paling utama dilakukan karena

langsung berhadapan dengan persoalan yang disengketakan. Apabila tidak

ditemukannya titik terang dalam jalan diplomasi tersebut, maka tanggung jawab

negara dikemudian yaitu melimpahkan atau membawa kasus ini melalui

(52)

BAB III

WORLD TRADE ORGANIZATION DAN PENYELESAIAN SENGKETA

A. World Trade Organization

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO

GATT didirikan setelah Perang Dunia II (tahun 1947) bersamaan

dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Monetary Fund (IMF),

dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD/Bank

Dunia).60 Ada dua puluh tiga anggota yang bergabung dalam GATT. Hingga

tahun 1994, ketika Putaran Uruguay telah selesai dan WTO didirikan tanggal

1 Januari 1995. GATT adalah satu-satunya organisasi multilateral yang

membuat peraturan tentang kebijakan perdagangan internasional. WTO saat

ini beranggotakan 161 bangsa di tahun 2015.61 WTO berjanji untuk

mematuhi prinsip-prinsip pengurangan hambatan perdagangan dan distorsi

perdagangan lainnya. Anggota antara lain seluruh negara perdagangan utama

kecuali Cina dan yang dulunya Uni Soviet. GATT dan sekarang WTO,

60

Ratya Anindita & Michael R. Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2008), h. 67.

61

http://en.m.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Organization, diakses pada tanggal 24 Agustus 2015, jam 14:37 WIB

(53)

merupakan klub negosiasi yang memiliki aturan spesifik untuk memimpin

dan menyelesaikan perdebatan.

2. Fungsi WTO

Final Act dari Putaran Uruguay ditandatangani, bersamaan juga

dengan beberapa dokumen lainnya, pada tanggal 1 Januari 1995. WTO dan

perjanjian-perjanjian yang berkaitan padaa saat sekarang ini mengatur

sekitar 90 persen perdagangan dunia. WTO diadopsi lebih dari 146

pemerintahan.

Fungsi WTO terdapat pada WTO Agreement, yaitu sebagai berikut:62

a) Memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi, dan

mencapai sasaran-sasaran dari persetujuan ini serta persetujuan

multilateral

b) Menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang

berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral

c) Mengatur prosedur penyelesaian sengketa

d) Mengatur mekanisme pemantauan kebijaksanaan perdagangan

e) Bekerjasama dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank

Internasional

62

(54)

3. Struktur WTO

Badan-badan yang merupakan kunci dari WTO adalah sebagai berikut:63

a) Ministerial Conference (Pertemuan Tingkat Menteri) – puncak

organisasi WTO organizational membuat keputusan yang sifatnya

hirarki. Pertemuan diadakan paling tidak satu kali dalam dua tahun serta

memiliki tanggung jawab membuat kebijakan-kebijakan yang akan

dilaksanakan oleh WTO.

b) General Council / Dispute Settlement Body & Trade Policy Review

Body (Dewan Umum / Badan Penyelesaian Sengketa & Badan

Peninjauan Kebijakan Perdagangan) – komposisinya merupakan

perwakilan dari setiap anggota WTO dan merupakan pelaksana dari

WTO. Di dalam General Council, pertemuan diadakan secara bulanan.

c) WTO Secretariat (Sekretariat WTO) – pelaksana administratif dan

pelaksana harian.

d) WTO Councils (Dewan WTO) – terdapat dewan-dewan pada setiap

bidang perdagangan, yaitu:

1. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan dalam Barang)

2. Council for Trade in Services (Dewan Perdagangan dalam Jasa)

3. Council for Trade Related Aspects of Intellectual Property (Dewan

Hak Kekayaan Intelektual)

63

(55)

e) Committes and Working Parties (Komite dan Kelompok Kerja)

4. Prinsip-Prinsip Dasar WTO

Terdapat 5 prinsip dasar WTO, yaitu:64

a. Non-Discrimination (Non-Diskriminasi)

Prinsip non-discrimination memuat dua aspek. Pertama, konsep Most

Favored Nation (MFN) dan kedua, National Treatment (NT).

Most Favored Nation (Negara Paling Disukai)

Pada tahun 1978 ILC mengajukan kepada UNGA suatu Draft

Articles Most-Favored Nation Clause (Rancangan Artikel Klausul

Negara yang Paling Disukai). Dalam Pasal 5 Draft itu dirumuskan

pengertian Most-Favored Nation treatment sebagai berikut:65

Most Favored Nation treatment is treatment accorded by the granting State to the beneficiary State, or to persons or things in a determined relationship with that State, not less favourable than treatment extended by the granting State to a third State or to persons or things in the same relationship with that third State.

Konsep MFN merupakan konsep yang fundamental dalam

perdagangan internasional. Konsep ini tidak hanya terbatas pada

negara-negara anggota semata, oleh karenanya jika anggota WTO memberikan

64

Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012), h. 46. 65

(56)

Gambar

Grafika, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif. Dalam penelitian ini mendeskripsikan data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi

Berdasarkan gambar 10 dapat diketahui bahwa nilai paling tinggi dalam tingkat kepuasan konsumen dalam pembelian produk kaki naga yaitu nilai 3 dipilih sebanyak

penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai

Di dalam Pasal 3 Perjanjian Perlindungan Keamanan atau Agreement on Safeguards tentang Prosedur Penyelidikan disebutkan bahwa negara anggota hanya mungkin

Jack pemantauan headphone memberikan opsi untuk mendengarkan saluran penerima yang dipilih atau untuk mengakses dan memonitor audio dari perangkat Dante aktif di jaringan Anda.

9 Helius Sjamsuddin dan Ismaun, Pengantar Ilmu Sejarah.. Tesis ini berbeda dengan skripsi penulis. Tesis ini lebih menonjolkan ke pemanfaatan bangunan indis di

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang keadaan geografis, demografis, dan pendidikan di wilayah Pakualaman, beserta sekolah partikelir yang didirikan oleh

Dari Tabel 5 dapat dikemukakan bahwa nilai IS famili Dipterocarpaceae antara di hutan primer dengan semua kawasan hutan bekas tebangan pada semua tingkat perkembangan