KUESIONER PENELITIAN PT. Adhi Karya Tbk Duri, Riau 2016 Selamat pagi / siang
Saya Mulyana Agustin mahasiswi program S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Sumatra Utara. Saat ini sedang melakukan penelitian berjudul hubungan karakteristik individu, penggunaan APD dan lokasi kerja dengan gejala photokeratitis pada pekerja las PT. Adhi Karya Persero Tbk Duri, Riau tahun 2016.
Untuk itu saya memohon supaya saudara bersedia menjawab pertanyaaan berikut dengan baik dan benar sesuai dengan yang saudara alami. Jawaban yang saudara berikan tidak akan memengaruhi posisi / jabatan saudara dan saya menjamin kerahasiaan dari data yang saudara berikan .
Hormat saya, Responden
LAMPIRAN 1 : Kuesioner gejala pothokeratitis pada pekerja pengelasan PT. Adhi Karya Tbk Duri, Riau 2016
KUESIONER PENELITIAN
1. Nomor Responden : 2. Tanggal Wawancara :
3. Pewawancara :
I. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama Responden : 2. Tanggal Lahir : 3. Usia Responden :
4. Alamat Rumah :
II. Riwayat Pekerjaan
Pertanyaan Pilihan Jawaban
1. Sudah berapa lama anda bekerja di perusahaan ini ?
Tahun 2. Berapa jam anda bekerja
(menggunakan alat las) dalam sehari ?
Jam
3. Apakah pekerjaan utama anda disini ? 4. Apakah anda mempunyai
pekerja lain (selain disini) ?
1. Ya, sebutkan dimana
2. Tidak, (langsung ke 5)
5. Sudah berapa lama anda bekerja ditempat tersebut ?
6. Apakah pekerjaan anda ditempat lain itu berhubungan
1. Ya, ke 6
III.Keluhan Gejala Photokeratitis
1. Apakah anda pernah mengalami gangguan
mata setelah
melakukan pengelasan ?
2. Jenis gangguan yang dirasakan ?
Minimal 4 gejala yang dirasakan menunjukkan pekerja terkena gejala photokeratitis.
1. Mata terasa berpasir 2. Mata nyeri
3. Lakrimasi ( air mata yang berlebih ) 3. Apakah anda tidak
bekerja saat
mengalami gejala tersebut ?
IV.Penggunaan Alat Pelindung Diri
1. Apakah anda
memiliki alat pelindung mata ?
shield)
3. Kaca mata gelap biasa
4. Dan lain-lain 3. Bagaimana
pemakaian alat pelindung mata anda ?
1. Tidak dipakai 2. Jarang dipakai 3. Selalu dipakai 4. Apakah alasan anda
tidak menggunakan APD sesuai dengan standar ?
Lokasi Kerja
Di dalam ruangan Di luar ruangan
Gambar 3. Alat pelindung mata yang di gunakan pekerja las
3.1 Kaca mata hitam
29 res 29 26 1 2 1 5 1 1 0 1 1 3 2
30 res 30 29 1 3 2 7 2 1 0 1 1 3 2
31 res31 47 2 3 2 7 2 1 0 1 1 3 2
32 res 32 28 1 4 2 7 2 1 0 1 1 3 2
33 res 33 32 1 4 2 4 1 1 0 0 1 3 2
34 res 34 36 2 2 1 7 2 1 0 1 1 3 2
35 res 35 29 1 1 1 3 1 1 0 0 1 3 1
36 res 36 45 2 3 2 5 1 1 0 1 1 3 2
37 res 37 34 2 2 1 5 1 1 0 1 1 3 2
38 res 38 26 1 2 1 6 2 1 0 1 1 3 2
39 res 39 35 2 2 1 4 1 1 0 0 1 3 2
40 res 40 30 1 3 2 6 2 1 0 1 0 3 2
41 res 41 37 2 3 2 6 2 1 0 1 1 3 2
42 res 42 40 2 2 1 3 1 1 0 0 1 3 2
43 res 43 28 1 1 1 4 1 1 0 0 1 3 1
44 res 44 30 1 3 2 5 1 1 0 1 0 3 2
Keterangan :
Nama : nama responden Umur : umur responden
UmurK : umur responden setelah pengkategorian ( 1. < 33 tahun 2.≥33 tahun) R1 : masa kerja responden
R1K : masa kerja responden setelah pengkategorian ( 1. < 2 tahun 2.≥2 tahun ) R2 : lama paparan responden melakukan pengelasan
R2K : lama responden melakukan pengelasan yang telah dikategorikan (1. < 5 jam 2.≥ 5 jam )
R3 : pekerja utama responden diperusahaan (1. Mengelas 2. Memotong 3. Mempersiapkan alat 4. Lainnya R4 : pekerjaan lain selain di perusahaan
K1 : keluhan gejala photokeratitis yang dialami oleh responden (0. Tidak ada keluhan 1. Ada keluhan ) APD 1 : alat pelindung diri yang digunakan oleh responden (0. Sesuai 1. tidak sesuai)
K1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid tidak ada keluhan 11 24.4 24.4 24.4
ada keluhan 34 75.6 75.6 100.0
Total 45 100.0 100.0
2. Distribusi Pekerja Berdasarkan Umur
umurK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <33 24 53.3 53.3 53.3
>=33 21 46.7 46.7 100.0
Total 45 100.0 100.0
3. Distribusi Pekerja Berdasarkan Lama Paparan R2K
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <5 23 51.1 51.1 51.1
>=5 22 48.9 48.9 100.0
Total 45 100.0 100.0
4. Distribusi Pekerja Berdasarkan Masa Kerja R1K
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <2 33 73.3 73.3 73.3
>=2 12 26.7 26.7 100.0
5. Distribusi Pekerja Berdasarkan Penggunaan APD
APD1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid tidak sesuai 5 11.1 11.1 11.1
sesuai 40 88.9 88.9 100.0
Total 45 100.0 100.0
Frekuensi penggunaan APD oleh pekerja APD3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid selalu dipakai 45 100.0 100.0 100.0
6. Distribusi Pekerja Berdasarkan Lokasi Kerja LK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid di dalam ruangan 9 20.0 20.0 20.0
di luar ruangan 36 80.0 80.0 100.0
K1
Total tidak ada keluhan ada keluhan
umur K
<33 Count 6 18 24
Expected Count 5.9 18.1 24.0
% within umurK 25.0% 75.0% 100.0%
% within K1 54.5% 52.9% 53.3%
% of Total 13.3% 40.0% 53.3%
Residual .1 -.1
Std. Residual .1 .0
Adjusted Residual .1 .0
>=33 Count 5 16 21
Expected Count 5.1 15.9 21.0
% within umurK 23.8% 76.2% 100.0%
% within K1 45.5% 47.1% 46.7%
% of Total 11.1% 35.6% 46.7%
Residual -.1 .1
Std. Residual .0 .0
Adjusted Residual .0 .1
Total Count 11 34 45
Expected Count 11.0 34.0 45.0
% within umurK 24.4% 75.6% 100.0%
% within K1 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 24.4% 75.6% 100.0%
Pearson Chi-Square .009a 1 .926
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .009 1 .926
Fisher's Exact Test 1.000 .602
Linear-by-Linear Association .008 1 .927
2. Hubungan Lama Paparan dengan Gejala Photokeratitis R2K * K1 Crosstabulation
K1
Total tidak ada keluhan ada keluhan
R2K <5 Count 9 14 23
Expected Count 5.6 17.4 23.0 % within R2K 39.1% 60.9% 100.0% % within K1 81.8% 41.2% 51.1% % of Total 20.0% 31.1% 51.1%
Residual 3.4 -3.4
Std. Residual 1.4 -.8
Adjusted Residual 2.3 -2.3
>=5 Count 2 20 22
Expected Count 5.4 16.6 22.0 % within R2K 9.1% 90.9% 100.0% % within K1 18.2% 58.8% 48.9% % of Total 4.4% 44.4% 48.9%
Residual -3.4 3.4
Std. Residual -1.5 .8
Adjusted Residual -2.3 2.3
Total Count 11 34 45
Expected Count 11.0 34.0 45.0 % within R2K 24.4% 75.6% 100.0% % within K1 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 24.4% 75.6% 100.0% Pearson Chi-Square 5.494a 1 .019
Continuity Correctionb 3.988 1 .046 Likelihood Ratio 5.860 1 .015
Fisher's Exact Test .035 .021
Linear-by-Linear Association 5.372 1 .020 N of Valid Cases 45
Total tidak ada
keluhan ada keluhan
R1K <2 Count 8 25 33
Expected Count 8.1 24.9 33.0 % within R1K 24.2% 75.8% 100.0% % within K1 72.7% 73.5% 73.3% % of Total 17.8% 55.6% 73.3%
Residual .0 .1
Std. Residual .0 .0
Adjusted Residual .0 .1
>=2 Count 3 9 12
Expected Count 2.9 9.1 12.0 % within R1K 25.0% 75.0% 100.0% % within K1 27.3% 26.5% 26.7% % of Total 6.7% 20.0% 26.7%
Residual .1 .0
Std. Residual .0 .0
Adjusted Residual .1 .0
Total Count 11 34 45
Expected Count 11.0 34.0 45.0 % within R1K 24.4% 75.6% 100.0% % within K1 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 24.4% 75.6% 100.0% Pearson Chi-Square .003a 1 .958
Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .003 1 .958
Fisher's Exact Test 1.000 .621
4. Hubungan Penggunaan APD dengan Gejala Photokeratitis
APD1 * K1 Crosstabulation K1
Total tidak ada
keluhan ada keluhan
APD1 tidak sesuai Count 0 5 5
Expected Count 1.2 3.8 5.0 % within APD1 .0% 100.0% 100.0% % within K1 .0% 14.7% 11.1% % of Total .0% 11.1% 11.1%
Residual -1.2 1.2
Std. Residual -1.1 .6 Adjusted Residual -1.3 1.3
sesuai Count 11 29 40
Expected Count 9.8 30.2 40.0 % within APD1 27.5% 72.5% 100.0% % within K1 100.0% 85.3% 88.9% % of Total 24.4% 64.4% 88.9%
Residual 1.2 -1.2
Std. Residual .4 -.2
Adjusted Residual 1.3 -1.3
Total Count 11 34 45
Continuity Correctionb .635 1 .425 Likelihood Ratio 3.000 1 .083
Fisher's Exact Test .313 .228
Linear-by-Linear Association 1.779 1 .182 N of Valid Cases 45
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,22. b. Computed only for a 2x2 table
5. Hubungan Lokasi Kerja dengan Gejala Photokeratitis
LK * K1 Crosstabulation
K1
Total tidak ada
keluhan ada keluhan
LK di dalam ruangan Count 8 1 9
Expected Count 2.2 6.8 9.0 % within LK 88.9% 11.1% 100.0% % within K1 72.7% 2.9% 20.0% % of Total 17.8% 2.2% 20.0%
Residual 5.8 -5.8
Std. Residual 3.9 -2.2 Adjusted Residual 5.0 -5.0
di luar ruangan Count 3 33 36
Expected Count 8.8 27.2 36.0 % within LK 8.3% 91.7% 100.0% % within K1 27.3% 97.1% 80.0% % of Total 6.7% 73.3% 80.0%
Residual -5.8 5.8
Std. Residual -2.0 1.1 Adjusted Residual -5.0 5.0
Total Count 11 34 45
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 25.297a 1 .000
Continuity Correctionb 21.124 1 .000 Likelihood Ratio 23.122 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 24.735 1 .000 N of Valid Cases 45
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Zubaidah dan Yanti Lusiyanti. 2003. Efek Kesehatan Radiasi Non Pengion pada Manusia dan Biomedika Nuklir. Bantan : Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran
Anymous. 2009. /Research on eye injuries reported by scientist at National TaiwanUniversity. Medical Sciences, 852
Anies. 2009.Cepat Tua Akibat Radiasi. Jakarta : Elex Media Komputindo
Canadian Centere for Occupational Health & Safety. 2008. Radiation and the Effects On Eyesand Skin. Canada : Canadian Government
Daryanto.2013.Teknik Lasedisi kedua. Bandung: Alfabeta
Elkinton, A.R dan P.T Khaw. 1996.Petunjuk Penting Kelainan Mata. Jakarta : EGC
Goff, T. 2006. ‘’Fleksibel Welding Protection’’, Occupational Health & Safety, vol.75, No.9, pp. 32-33, 34
Harris, Patrisk M. 2011. Workplace Injuries Involving the Eyes. Amerika Serikat : BureauLabor Statistick
Hollwich, Fritz. 1993.Oftalmologi. Jakarta: Binarupa Aksara
Ilyas, S. 1997.Ilmu Penyakit Mata.Jakarta: FK UI
Ilyas, S. 2003.Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Kedua.Jakarta: FK UI
Kumah, D.B et.al. 2011. Radiation- Related Eye Diseases Among Welders of Suame‘Magazine’ in the Kumasi Metropolis. Ghana : KwameNkrumah ofScience and Technology (KNUST)
Majiid Sumardi. 2011. Anatomi Dan Fisiologi Kornea. 11 Februari 2016. blogdokter.com
59
Muskita, Mandy. 2015. Analisis Faktor Resiko yang Berhubungan Dengan Terjadinya Photokeratitis Pada Juru Las Di PT. PAL (Indonesia) Persero Surabaya. Surabaya :Universitas Airlangga
Notoatmodjo. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta
Olishifsky, J.B. 1985. Fundamental of Industrial Hygiene (2 nd).
Washington DC. NationalSafety Council
Reza, Yuda K. 2013.Hubungan Sikap, Pengetahuan dan Kenyamanan dengan Penggunaan Alat Pelindung Wajah pada Pekerja Las ListrikKawasan Simongan Semarang.Semarang: Universitas Semarang
Riordan, P-Eva dan John P. Whitcher. 2010. Vaughan& Asbury Oftamologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC
Sonawan, Hery dan Rochim Suratman. 2003. Pengantar untuk Memahami Proses Pengelasan Logam. Bandung : Alfhabeta
Suma’mur. 2009.Higiene Perusahaan dan Kesehatan Tenaga Kerja (HIPERKES).Jakarta: Cv Sagung Seto
Susanto.2015.Faktor Yang Berhubungan dengan Keluhan
Photokeratokonjungtivis pada Operator Las di Bengkel Las Kecamatan Biringkanaya Kota Makasar.Makasar : Universitas Hasannudin
Sriwidharto .1996. Pentujuk Pekerja Las Edisi Ketiga. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Tenkate , T.D. & Collins, M.J. 1997.Personal Ultraviolet Radiation Exposure of Workers. Environment Health Journal.
Tenkate , T.D. 1998. Occupational Exposure to Ultraviolet Radiation : a Health Risk Assesment.Environment Health Journal
Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Wahyuni, Sri. 2013. Keluhan Subjektif Photokeratitis pada Pekerja Tukang Las di Jalan BogorBandung Tahun 2012. Depok : Universitas Indonesia
Wiryosumarto, H and Okumura, T. 1985. Tekhnologi Pengelasan Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dilakukan dengan
metode survei dan pengumpulan data secara cross sectional dengan pendekatan
observasi atau pengumpulan data sekaligus dalam suatu saat. Dari metode survei
analitik ini dapat diketahui seberapa jauh kontribusi faktor resiko pekerja terhadap
kejadian gejala photokeratitis pada pekerja pengelasan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT. Adhi Karya Tbk yang terdapat di kota Duri
Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2016.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan
diteliti. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja bagian pengelasan di PT. Adhi
3.3.2 Sampel
Sampel merupakan objek yang akan diteliti dan dianggap dapat mewakili
seluruh populasi yang ada. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pekerja (total
populasi) yang berjumlah 45 pekerja dibagian pengelasan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer
Data primer ini merupakan data yang diambil secara langsung oleh peneliti
terhadap objek penelitian. Data tersebut diperoleh dari proses wawancara kepada
pekerja dengan kuesioner. Kuesioner yang digunakan diadopsi dari penelitian Sri
Wahyuni (2012).Adapun data yang diperoleh yaitu, usia, masa kerja, lama paparan,
penggunaan APD dan keluhan gejala photokeratitis yang dialami pekerja.
3.4.2 Data Sekunder
Adapun kegunaan data sekunder ini untuk melengkapi atau penunjang data
primer yang ada. Adapun data sekunder ini didapatkan dari perusahaan seperti,
gambaran perusahaan, jumlah pekerja dan jenis pekerjaan.
3.5 Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1 Variabel
Variabel penelitian terdiri dari :
1. Variabel independen adalah : umur, masa kerja, lama paparan, penggunaan
APD dan lokasi kerja.
33
3.5.2 Definisi Operasional
1. Usia adalah lama hidup individu yang diukur berdasarkan ulang tahun terakhir
yang telah dilalui dalam satuan tahun pada waktu dilakukan penelitian.
2. Lama paparan adalah lamanya pekerja melakukan pengelasan dalam satu hari.
3. Masa kerja adalah lamanya pekerja bekerja sebagai juru las hingga pada saat
dilakukan penelitian.
4. Penggunaan APD adalah alat pelindung mata yang di gunakan oleh pekerja
selama melakukan pekerjaan dengan kategori sesuai ataupun tidak sesuai yaitu
gogglesatau welding shield
5. Lokasi kerja adalah tempat dimana dilakukannya proses pengelasan di
dalam ataupun diluar ruangan.
6. Gejala photokeratitis adalah keluhan subjektif berupa mata terasa berpasir,
mata nyeri, mata berair, photofobia, blefarosfasme, mata merah, dan
penurunan ketajaman penglihatanyang dirasakan oleh pekerja las setelah
melakukan pengelasan.
3.6 Metode Pengukuran
Metode pengukuran variable penelitian sebagai berikut :
3.6.1 Pengukuran Variable Dependen
1. Gejala photokeratitis
Pengukuran gejala photokeratitis dilakukan dengan menggunakan kuesioner
dan wawancara dengan pekerja berdeasarkan keluhan subjektif yang pekerja rasakan
penderita phokeratitis adalah: mata akan sangat sakit (nyeri), mata seperti kelilipan
atau kemasukan pasir, photofobia, blefarosfasme , konjungtiva kemotik, gangguan
ketajaman penglihatan.
Gejala photokeratitis menurut Hollwich (1993), yaitu mata terasa nyeri, mata
terasa berpasir, fotofobia, blefarospasme dan mata banyak mengeluarkan air mata.
Berdasarkan The college of optometrists(2011), gejala photokeratitis yang dirasakan
mata terasa seperti berpasir, rasa nyeri pada mata, mata kemerahan, mata berair
(lakrimasi), blefarosfasme (mata berkedut), dan fotofobia (silau). Adanya gejala jika
responden memilki 4 gejala (mata nyeri, mata terasa berpasir, blefarosfasme, dan
fotofobia) setelah melakukan pengelasan. Dilakukan dengan pengelompokan kategori
sebagai berikut :
1. Ada keluhan (dikatakan ada keluhan jika responden mengalami minimal 4
gejala dari gejala photokeratitis setelah melakukan pengelasan)
2. Tidak ada keluhan (jika responden tidak mengalami keluhan dan
mengalami keluhan kurang dari 4 gejala photokeratitis setelah melakukan
pengelasan)
3.6.2 Pengukuran Variabel Independen
1. Untuk pengukuran variabel usia, lama paparan dan masa kerja dilakukan dengan
berdasarkan nilai median yang didapatkan selama penelitian menggunakan
35
2. Lokasi kerja
Pengukuran lokasi kerja ini dapat dinilai dengan cara observasi. Dapat dilihat
pekerja bekerja di dalam ruangan dan diluar ruangan. Pengkategorian untuk lokasi
kerja :
1. Didalam ruangan (pengelasan dilakukan didalam ruangan tanpa terkena
sinar matahari secara langsung).
2. Diluar ruangan (pengelasan dilakukan diluar ruangan tanpa adanya
penghalang matahari secara langsung).
3. Penggunaan alat pelindung diri (APD)
Penggunaan alat pelindung diri ini dinilai berdasarkan kuesioner dan
observasi. Kemudian dikelompokkan berdasarkan pengkategorian sebgai berikut:
1. Sesuai (pekerja las dimasukkan dalam kategori jika pekerja menggunakan
APD yaitugogglesatauweldingshield)
2. Tidak sesuai (pekerja las dimasukkan dalam kategori ini bila pekerja tidak
Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel.
No Variabel Alat ukur Hasil ukur Skala
1
2 Lama paparan Kuesioner/
wawancara
1. < 5 jam 2. ≥5 jam
Ordinal
3 Masa kerja Kuesioner
/wawancara
1. < 2 tahun 2. ≥2 tahun
Ordinal
4 Penggunaan APD Kuesioner/ wawancara
0. Sesuai 1. Tidak sesuai
Ordinal
5 Lokasi kerja Observasi 1. Didalam
ruangan
3.7 Pengolahan dan Metode Analisis Data
3.7.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :
1. Editing
Hasil kuesiner/wawancara yang telah dikumpulkan dilakukan pemeriksaan
37
2. Coding
Setelah kuesioner selesai di editing maka setiap kuesioner diberikan kode. Yaitu
mengubah data kalimat menjadi bentuk angka.
3. Data entry
Pada tahap ini jawaban dari masing-masing responden yang telah diubah dalam
bentuk kode dimasukkan dalam software computer. Pada jenis penelitian data akan
diolah menggunakan spss.
4. Cleanning
Pada tahap ini akan dilakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang telah
dimasukkan sebelumnya untuk melihat adanya kemungkinan kesalahan pengkodean,
ketidaklengkapan dan sebagainya kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
3.7.2 Metode Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analis data dilakukan dengan cara analisis univariat untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variable penelitian (Notoadmodjo, 2010).
Analisis ini untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentase dari setiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan
atau berkolerasi (Notoadmodjo, 2010). Analisis bivariat ini digunakan untuk
menerangkan keeratan hubungan antara dua variabel (Arikunto, 1996). Untuk
chi square dengan = 0,05. Jika p > 0,05 maka Ho diterima dan Ha diterima yang
artinya tidak ada hubungan diantara kedua variabel. Tetapi jika p < 0,05 maka
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum PT. Adhi Karya (Persero) Tbk
4.1.1 Sejarah Singkat
PT Adhi Karya Tbk (ADHI) adalah perusahaan yang bergerak di bidang
konstruksi di Indonesia. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1960 ini bermarkas di
Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini awalnya bernama rchitecten-Ingenicure-en
Annemersbedrijf Associatie Selle en de Bruyn, Reyerse en de Vries N.V. (Associatie
N.V.) saat kepemilikannya masih di bawah Belanda. Namun sejak tanggal 11 Maret
1960, perusahaan di nasionalisasi dengan tujuan untuk memacu pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Bisnisnya termasuk layanan konstruksi, EPC, investasi
infrastruktur, properti, danreal estate.
Terhitung sejak tanggal 1 Juni 1974, ADHI menjadi Perseroan Terbatas,
berdasarkan pengesahan Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Perusahaan ini
merupakan perusahaan konstruksi pertama yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(d.h. Bursa Efek Jakarta) sejak 18 Maret 2004, di mana pada akhir tahun 2003 negara
Republik Indonesia telah melepas 49% kepemilikan sahamnya kepada masyarakat
melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO).
Selain bergerak di bidang konstruksi, perusahaan juga bergerak dibidang
terkait seperti bisnis EPC, dan Investasi untuk meningkatkan daya saing perusahaan
2006. Dengan tagline-nya, “Beyond Construction”, perusahaan ingin
menggambarkan motivasinya untuk bergerak ke bisnis lain yang terkait dengan core
business perusahaan. ADHI juga telah merambah dunia Internasional di
negara-negara Asia Tenggara.
Dalam kegiatan operasionalnya, ADHI didukung oleh delapan divisi operasi
yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri di samping Anak-anak
Perusahaannya. Perusahaan ini memiliki visi untuk menjadi salah satu Perusahaan
konstruksi terkemuka di Asia Tenggara dengan melakukan kinerja berdasarkan atas
peningkatan corporate value secara incorporated, melakukan proses pembelajaran
(learning) dalam mencapai pertumbuhan (peningkatan corporate value), proaktif
melaksanakan lima lini bisnis secara profesional, governance, mendukung
pertumbuhan perusahaan, dan menerapkan Corporate Culture yang simple tapi
membumi/dilaksanakan (down to earth), serta ikut berpartisipasi aktif dalam Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan Corporate Social Responsibility(CSR)
seiring pertumbuhan perusahaan.
4.1.2 Bisnis Perusahaan
Selain bergerak dalam bidang konstruksi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk juga
bergerak dalam bidang proprerti & realti, manufakturprecastdan hotel.
4.1.3 Visi dan Misi Perusahaan
1. Visi dari PT. Adhi Karya (Persero) Tbk
41
2. Misi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk yaitu :
1. Berkinerja berdasarkan atas peningkatan corporate value secara
incorporated
2. Melakukan proses pembelajaran (learning) dalam mencapai
pertumbuhan (peningkatancorporate value).
3. Menerapkan corporate culture yang simple tapi
Membumi/dilaksanakan (down to earth).
4. Proaktif melaksanakan lima lini bisnis secara profesional, governance,
mendukung pertumbuhan perusahaan.
5. Partisipasi aktif dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) dan Corporate Social Responsibility (CSR) seiring
pertumbuhan perusahaan.
4.1.4 Proses Pengelasan
Jenis pengelasan yang digunakan :
1. GTAW ( gas tungsten arc welding)
2. SMAW (shielded metal arc welding)
3. Kombinasi dari keduanya
Di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri,Riau sendiri sebelum melakukan pengelasan
terlebuh dahulu melakukan :
1. Melakukanbriefing
2. Prepare document
4. Making(penandaan)
5. Pemotongan atau penggerindaan
6. Pit up (penyetelan)
7. WPS (welding procedure specification) dan sertifikat (welder) tersedia
dilapangan
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1 Distribusi Pekerja Berdasarkan Gejala Photokeratitis
Distribusi pekerja berdasarkan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya
(Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pekerja berdasarkan gejala Photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016.
Gejala photokeratitis N %
Ada keluhan 34 75,6
Tidak ada keluhan 11 24,4
Jumlah 45 100
Bedasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa pekerja las di PT. Adhi Karya
(Persero) Tbk Duri, Riau 2016 yang mengalami gejala photokeratitis sebanyak 34
orang (75,6%).
4.2.2 Distribusi Pekerja Berdasarkan Karakteristik Individu
1. Usia
Distribusi karaketristik pekerja las yang berdasarkan dari usia dibagi menjadi
2 kategori berdasarkan hasil nilai median. Usia pekerja las di PT. Adhi Karya
43
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pekerja berdasarkan umur di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016.
Usia (tahun) N %
< 33 24 53,3
≥33 21 46,7
Jumlah 45 100
Berdasarkan tabel diatas, usia yang paling banyak pada usia <33 tahun yaitu 24
orang (53,3 %).
2. Lama Paparan
Distribusi karaketristik pekerja las yang berdasarkan lama paparan dibagi
menjadi 2 kategori berdasarkan hasil nilai median. Lama paparan pada pekerja las di
PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan lama paparan diPT.Adhi Karya (Persero) Tbk, Duri Riau tahun 2016.
Lama paparan (Jam) N %
<5 jam 23 51,1
≥5 jam 22 48,9
Jumlah 45 100
Berdasarkan hasil tabel diatas, lama paparan yang dialami pekerja las di PT.
Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016 yang paling banyak menerima
lama paparan < 5 jam sebanyak 23 orang (51,1%).
3. Masa Kerja
Distribusi karaketristik pekerja las yang berdasarkan masa kerja dibagi
PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016 dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan masa kerja di di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016.
Masa Kerja (Tahun) N %
< 2 tahun 33 73,3
≥2 tahun 12 26,7
Jumlah 45 100
Berdasarkan hasil tabel diatas maka dapat dilihat pekerja las yang paling
banyak berkerja < 2 tahun sebanyak 33 orang (73,3 %).
4.2.3 Penggunaan APD
Penggunaan APD pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri
Riau tahun 2016 dapat dilihat pada tabel diberikut.
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan penggunaan APD di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau Tahun 2016.
Penggunaan APD N %
Sesuai 40 88,9
Tidak sesuai 5 11,1
Jumlah 45 100
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa di PT. Adhi Karya (Persero)
Tbk Duri Riau tahun 2016 pekerja las paling banyak yang menggunakan APD yang
sesuai yaitu sebanyak 40 orang (88,9%).
45
Lokasi kerja pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau
tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan lokasi kerja di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau.
Lokasi Kerja N %
Di dalam ruangan 9 20
Di luar ruangan 36 80
Jumlah 45 100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk
pekerja las lebih banyak bekerja di luar ruangan sebanyak 36 orang (80%).
4.3 Analisis Bivariat
4.3.1 Hubungan Usia dengan Gejala Photokeratitis
Hubungan antara usia dengan gejala photokeratitis pada pekerja las di PT.
Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.7 Analisis Uji Chi- Square usia pekerja las dengan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016.
Usia
Gejala photokeratitis
Jumlah Sig. (P) Ada keluhan Tidak ada
keluhan
N % N % N %
< 33 18 75 6 25 24 100
0,926
≥33 16 76,2 5 23,8 21 100
Jumlah 34 75,6 11 28,9 45 100
Berdasarkan hasil peneltian diketahui bahwa responden yang mengalami
sedangkan pada usia ≥33 tahun yang mengalami gejala photokeratitis sebanyak 16
orang (76,2%).
Pada hasil ujichi- squaremenunjukkan nilaip=0,926 dimana p> 0,05 artinya
tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan gejala photokeratitis pada
pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau tahun 2016.
4.3.2 Hubungan Lama Paparan dengan Gejala Photokeratitis
Hubungan antara lama paparan dengan gejala photokeratitis pada pekerja las
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.8 Analisis Uji Chi- Square lama paparan pekerja las dengan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016. Ada keluhan Tidak ada
keluhan
N % N % N %
< 5 14 60,9 9 39,1 23 100
0,019
≥5 20 90,9 2 9,1 22 100
Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100
Berdasarkan hasil tabel uji diatas menunjukkan bahwa pada lama paparan < 5
jam terdapat 14 orang (60,9%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis
Sedangkan pada lama paparan ≥5 jam terdapat sebanyak 20 orang (90,9 %) pekerja
las yang mengalami gejala photokeratitis .Selain itu pada hasil uji statistikchi-square
menunjukkan nilai p= 0,019 dimana nilaip < 0,05 yang artinya terdapat hubungan
yang bermakna antara lama paparan dengan gejala photokeratitis pada pekerja las di
47
4.3.3 Hubungan Masa Kerja dengan Gejala Photokeratitis
Hubungan masa kerja dengan gejala photokeratitis pada pekerja las dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.9 Analisis Uji Fisher masa kerja pekerja las dengan gejala
photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016. Ada keluhan Tidak ada
keluhan
N % N % N %
< 2 25 75,8 8 24,2 33 100
0,621
≥2 9 75 3 25 12 100
Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa pada masa kerja < 2 tahun
terdapat 25 orang (75,8%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis dan
sedangkan pada masa kerja ≥2 tahun terdapat sebanyak 9 orang (75%) pekerja yang
mengalami gejala photokeratitis.
Selanjutnya pada hasil uji statistik fishermenunjukkan nilaip= 0,621 dimana
nilai p > 0,05 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan
gejala photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau
tahun 2016.
4.3.4 Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan Gejala
Photokeratitis
Hubungan penggunaan APD dengan gejala photokeratitis dapat dilihat pada
Tabel 4.10 Analisis Uji Fisher penggunaan APD pekerja las dengan gejala
photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016.
APD
Gejala photokeratitis
Jumlah Sig. (P) Ada keluhan Tidak ada
keluhan
N % N % N %
Sesuai 29 72,5 11 27,5 40 100
0,228
Tidak sesuai
5 100 0 0 5 100
Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100
Berdasar hasil tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat 29 orang (72,5%)
pekerja las yang menggunakan APD yang sesuai yaitu welding shield (topeng las)
dan mengalami gejala photokeratitis Selain itu terdapat 5 orang (100 %) pekerja yang
menggunakan APD tidak sesuai yaitu kacamata gelap biasa dan mengalami gejala
photokeratitis.
Pada uji statistik Fisher didapatkan hasil p= 0, 228 dimana p > 0,05 maka
tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan gejala
photokeratitis pada pekerja las di PT.Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau tahun
2016.
4.3.5 Hubungan Lokasi Kerja dengan Gejala Photokeratitis
Hubungan lokasi kerja dengan gejala photokeratitis dapat dilihat di tabel
49
Tabel 4.11 Analisis Uji Fisher lokasi kerja pekerja las dengan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016. Ada keluhan Tidak ada
keluhan
Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100
Berdasarkan hasil tabel uji diatas menunjukkan bahwa terdapat 1 orang
(11,1%) pekerja yang bekerja didalam ruangan yang mengalami gejala photokeratitis
Sedangkan pada pekerja yang bekerja diluar ruangan sebanyak 33 orang (91,7 %)
yang mengalami gejala photokeratitis.
Pada hasil uji statitistik fisher menunjukkan nilai p=0,0001 dimana nilai p <
0,05 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara lokasi kerja dengan gejala
Berdasarkan hasil peneltian diketahui bahwa responden yang mengalami
gejala photokeratitis pada usia < 33 tahun sebanyak sebanyak 18 orang (75,0%) dan
yang tidak mengalami gejala photokeratitis sebanyak 6 orang (25,0%). Sedangkan
pada usia ≥ 33 tahun yang mengalami gejala photokeratitis sebanyak 16 orang
(76,2%) dan yang tidak mengalami gejala photokeratitis sebanyak 5 orang (23,8%).
Pada hasil ujichi- squaremenunjukkan nilai p= 0,926 dimana p> 0,05 artinya tidak
ada hubungan yang bermakna antara usia dengan gejala photokeratitis.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyuni (2013),
dengan judul faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian konjugtivitis pada
pekerja pengelasan di kecamatan Cilacap, Cilacap Tengah tahun 2013 yang
menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian konjungtivitis pada
pekerja las dengan umur pekerja dengan nilai p= 0,225. Hal ini juga sejalan dengan
penellitian Sri Wahyuni (2012), yang menyatakan tidak ada hubungan antara usia
dengan gejala photokeratitis dengan nilaip= 0,073.
Maka hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Tenkate 1998, yang
menyatakan bahwa faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang bisa
memberikan efek buruk dari sinar radiasi UV terhadap manusia. Dimana menurut
51
Tidak adanya hubungan usia dengan gejala photokeratitis diasumsikan karena
reaksi sinar UV pada mata bereaksi bersifat akut sehingga bisa mengenai usia
manapun selama pekerja tersebut terpapar oleh radiasi pengelasan tersebut.
5.2 Hubungan Antara Lama Paparan dengan Gejala Photokeratitis
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lama paparan < 5 jam
terdapat 14 orang (60,9%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis dan 9
orang (39,1%) yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Sedangkan pada lama
paparan ≥ 5 jam terdapat sebanyak 20 orang (90,9 %) pekerja las yang mengalami
gejala photokeratitis dan 2 orang (9,1%) yang tidak mengalami gejala photokeratitis.
Selain itu pada hasil uji chi-square menunjukkan nilai p= 0,019 dimana nilai p <
0,05 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan
gejala photokeratitis.
Maka hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Susanto (2015) yang
menyatakan bahwa lama paparan termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya photokeratitis. Juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wahyuni
(2013) yang menyatakan dari perhitungan rasio prevalen menghasilkan nilai 2,667
dimana pekerja dengan lama paparan > 4 jam perhari memiliki resiko 2,667 lebih
besar dibandingkan pekerja≤4 jam untuk terkena konjungtivitas elektrik.
Lama pajanan juga menjadi salah satu faktor yang memperparah terjadinya
welders flash/flash burn, semakin lama pajanan terhadap radiasi UV semakin
memperparah terjadinya welders flash (Olifhifski, 1985). Lama paparan sinar
pekerja (Iyan Dharmawan, 1977). Semakin lama paparan maka efek yang diterima
semakin banyak maka kerusakan jaringan semakin berat (Daniel Vaughan, 1996).
Dimana pernyataan ini juga didukung penelitian yang dilakukan di Taiwan rata-rata
periode laten (awal paparan timbulnya rasa sakit) setelah paparan 389,1 menit pada
paparan proses pengelasan sekitar 5,8 jam (Yuang Lung, Yen, et.al 2004).
5.3 Hubungan Masa Kerja dengan Gejala Photokeratitis
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa masa kerja < 2 tahun terdapat 25
orang (75,8%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis dan 8 orang (24,2%)
yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Sedangkan pada masa kerja ≥ 2 tahun
terdapat sebanyak 9 orang (75%) pekerja yang mengalami gejala photokeratitis dan 3
orang (25%) yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Selanjutnya pada hasil uji
fisher menunjukkan nilaip= 0,621 dimana nilai p > 0,05 maka tidak ada hubungan
yang bermakna antara masa kerja dengan gejala photokeratitis.
Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan Wahyuni (2012)
yang menyatakan bahwa masa kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kejadian konjungtivitas fotoelektrik dengan nilai p= 0,013. Begitu juga dengan hasil
penelitian Susanto (2015), dilakukan pada operator las di bengkel las kecamatan
Biringkanaya kota Makasar menunjunkkan terdapat hubungan yang signifikan atara
masa kerja dengan keluhan photokeratokonjungtivitis pada operator las. Masa kerja
<5 tahun yang mengalami keluhan photokeratokonjungtivitis lebih banyak
53
Tidak adanya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gejala
photokeratitis diasumsikan karena pada distribusi pekerja juga hampir tidak ada
perbedaan, selain itu gejala photokeratitis ini merupakan gejala yang bereaksi secara
akut sehingga dapat muncul pada pekerja apabila pekerja sudah terpapar oleh radiasi
UV yang dihasilkan pada proses pengelasan.
5.4 Hubungan Penggunaan APD dengan Gejala Photokeratitis
Pada hasil penelitian menunjukkan terdapat sebanyak 29 orang (72,5%)
pekerja las yang menggunakan APD yang sesuai yaituwelding shield ( topeng las )
mengalami gejala photokeratitis dan 11 orang (27,5 %) yang tidak mengalami gejala
photokeratitis. Selain itu terdapat 5 orang (100 %) pekerja yang menggunakan APD
tidak sesuai yaitu kacamata gelap biasa yang mengalami gejala photokeratitis. Pada
uji Fisher didapatkan hasilp=0,228 dimana p> 0,05 maka tidak ada hubungan yang
bermakna antara penggunaan APD dengan gejala photokeratitis.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2012)
yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD
dengan keluhan subjektif photokeratitis. Begitu juga dengan hasil penelitian yang
dilakukan Susanto (2016) di bengkel las kecamatan Biringkanaya kota Makasar
menunjukkan nilai p=0,017 yang artinya terdapat hubungan antara penggunaan alat
pelindung diri dengan keluhan photokeratokonjungtivitis pada operator las. Begitu
juga dengan penelitian Yuan, et.al (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang erat antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian
Penggunaan alat pelindung diri yang tepat dan sesuai sebenarnya akan
mengurangi intensitas radiasi yang akan diterima oleh mata pekerja sehingga
seharusnya pada pekerja yang telah menggunakan APD yang sesuai hanya kecil
kemungkinan untuk mengalami gejala photokeratitis. Dalam penelitian ini dari
perusahaan sendiri sudah memberikan APD yang sesuai standar dan lengkap yaitu
welding shield (topeng las), kaca mata gelap biasa, face shield (topeng las bening
untuk proses penggerindaan), apron, sarung tangan, helmet, sepatu. Alat pelindung
mata yang banyak digunakan oleh pekerja pada penelitian ini adalah welding shield
(topeng las).
Akan tetapi, pada hasil penelitian ini menunjukkan gejala photokeratitis
banyak juga dialami oleh pekerja yang menggunakan APD yang sesuai standar. Tidak
adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dan keluhan photokeratitis
hal ini dapat diasumsikan karena responden tidak menggunakan APD tersebut dengan
baik dan benar selama dilakukan pengelasan ataupun pada saat berada dilokasi
dilakukannya pengelasan. Pada saat melakukan pengelasan terkadang responden
menutup atau membuka kaca filter pada topeng las tersebut sehingga sinar UV tetap
dapat mengenai mata responden secara langsung.
Menurut penelitian yang dilakukan Angelina dan Oginawati (2009)
Penggunaan kaca mata pelindung (googles) akan mengurangi intensitas cahaya yang
masuk, namun belum diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap kesehatan mata
55
5.5 Hubungan Lokasi Kerja dengan Gejala Photokeratitis
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 orang (11,1%) pekerja
yang bekerja didalam ruangan mengalami gejala photokeratitis dan 8 orang (88,9%)
yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Sedangkan pada pekerja yang bekerja
diluar ruangan sebanyak 33 orang (91,7 %) mengalami gejala photokeratitis dan 3
orang (8,3%) yang tidak mengalami gejala photokeratits. Pada hasil uji chi-square
menunjukkan nilai p=0,0001 dimana nilai p < 0,05 yang artinya terdapat hubungan
yang bermakna antra lokasi kerja dengan gejala photokeratitis .
Besarnya radiasi UV yang diterima oleh pekerja las yang bekerja diluar
ruangan disebabkan karena adanya tambahan pajanan radiasi UV secara langsung
dari matahari yang merupakan sumber sinar UV yang alami dan terbesar sehingga
sangat berpengaruh terhadap besarnya sinar radiasi UV yang memajan (Olishifski,
1985). Hal ini juga didukung dari hasil penelitian WHO (2003), pada pekerjaan
pengelasan sendiri memiliki potensi keterpajanan yang tinggi terhadap sinar matahari
terutama pada pekerja yang bekerja diluar ruangan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2012),
yang menyatakan rata-rata pekerja las yang bekerja diluar ruangan mendapatkan
pajanan sinar radiasi UV lebih banyak dibandingkan pekerja yang bekerja di dalam
ruangan disebabkan oleh adanya tambahan UV alami dari sinar matahari. Sehingga
pekerja yang bekerja di luar ruangan lebih banyak mendapatkan gejala photokeratitis.
Didukung oleh hasil uji statistik bahwa ada hubungan yang signifikan antara lokasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja las di PT.
Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau tahun 2016, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Distribusi pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau 2016 yang
mengalami gejala photokeratitis sebanyak 34 orang (75,6%) dan yang tidak
mengalami gejala photokeratitis sebanyak 11 orang (24,4%).
2. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan gejala
photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau
tahun 2016 dengan nilaip= 0,926 (p> 0,05).
3. Adanya hubungan yang signifikan antara lama paparan dengan gejala
photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau
tahun 2016 dengan nilaip= 0,019 (p <0,05).
4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gejala
photokeeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau
tahnu 2016 dengan nilaip= 0,621 (p>0,05).
5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan gejala
photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau
57
6. Adanya hubungan yang bermakna antara lokasi kerja dengan gejala
photokeeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau
tahnu 2016 dengan nilaip =0,0001 (p<0,05).
6.2 Saran
1. Kepada pekerja pada saat melakukan pengelasan sebaiknya pekerja tetap
konsisten dalam menggunakan alat pelindung mata yang telah disediakan oleh
perusahaan.
2. Kepada perusahaan sebaiknya dilakukan pemeriksaan kembali pada Alat
Pelindung Mata dan disesuaikan dengan kondisi mata pekerja yaituwelding
shield dan googles apakah masih layak sehingga dapat melindungi pekerja
dalam pelaksanaan pekerjaannya.
3. Kepada Peneliti selanjutnya dapat meneliti masalah yang sama dengan
menambahkan variabel intensitas radiasi. Serta dapat mencari besar resiko
Pengelasan (welding) diartikan sebagai salah satu teknik penyambungan
logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau
tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam tambahan dan menghasilkan sambungan
yang kontiniu (Sonawan, 2003). Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) dalam
Daryanto (2013), las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang
dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari definisi tersebut dapat dijabarkan
lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam
dengan menggunakan energi panas.
Temperatur busur las listrik sama tingginya dengan temperatur permukaan
matahari, kira-kira 5000-6000 C, sedangkan temperatur nyala api gas asetilin adalah
kira-kira 3100 C. Keduanya menimbulkan radiasi sinar yang berbahaya bagi mata (
Daryanto, 2013). Menurut Canadian Center For Occupational Health and Safety
(2008), pada proses pengelasan dapat mengeluarkan radiasi dengan panjang
gelombang antara 200-1400 nm. Ini termasuk radiasi ultraviolet (antara 200-400 nm),
sinar tampak (400-700 nm), dan inframerah (antara 700-1400 nm).
2.1.1 Jenis Pengelasan
Menurut Sriwidharto (1996), di Indonesia ada 2 jenis pengelasan yang sering
digunakan yaitu dengan mempergunakan busur nyala listrik (shielded metal arc
welding/SMAW), dan las karbit (oxy acetylene welding/OAW). Di beberapa kegiatan
9
menggunakan pengelasan jenis T.I.G (tungsten inert gas welding/SAW), M.I.G
(metal gas welding atau CO2 welding), las tahanan listrik ( electric resistance
welding/ ERW), las busur terbenam (submerged arc welding/SAW), dan
kemungkinan sinar laser untuk keperluan pengobatan.
a. Jenis las berdasarkan panas tenaga listrik
1. SMAW (Shielded Metal Arc Welding)
Las busur nyala listrik terlindung, adalah pegelasan dengan mempergunakan
busur nyala listrik sebagai sumber panas pencair logam. Untuk keselamatan kerja,
maka tegangan yang dipakai hanya 23-45 volt saja, sedang untuk pencairan
pengelasan dipakai arus listrik hingga 500 amper. Secara umum berkisar antara
80-200 Am. Untuk mencegah oksidasi ( reaksi dengan zat asam O2), bahan penambah
las (elektroda) dilindungi dengan selapis zat pelindung (flux atau slag) yang sewaktu
pengelasan ikut mencair.
2. SAW (Submerged Arc Welding)
Las busur terbenam adalah pengelasan dengan busur nyala listrik. Untuk
mencegah oksidasi cairan metal dan metal tambahan, dipergunakan butir-butir flux
atau slag, sehingga busur nyala terpendam dalam urungan dalam butir tersebut.
Karena panas busur nyala, butir-butir flux mencair dan melapisi cairan metal guna
menghindari oksidasi. Jenis pengelasan ini dilaksanakan secara otomatis atau
3. ERW (Electric Resistence Weld)
Las tahanan listrik. Dengan tahanan yang besar, panas yang dihasilkan oleh
aliran listrik menjadi sedemikian tingginya sehingga mencairkan logam yang akan
dilas. Contohnya adalah pada pembuatan pipa ERW, pengelasan plat-plat dinding
pesawat.
b. Jenis las berdasarkan panas dari kombinasi busur nyala listrik dan gas kekal
(inert)
1. GMAW (Gas Metal Arc Welding)
Pengelasan dengan gas. Nyala dihasilkan berasal dari busur nyala listrik, yang
dipakai sebagai pencair metal yang dilas dan metal penambah. Sebagai pelindung
oksidasi dipakai gas pelindung yang berupa gas kekal inert atau CO2.
2. GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)
Pengelasan dengan menggunakan busur nyala yang dihasilkan oleh elektroda
tetap terbuat dari tungsten. Sedangkan sebagai bahan penambah terbuat dari bahan
yang sama atau sejenis dengan bahan yang dilas dan terpisah dari pistol las (welding
gun). Jenis las ini baik untuk penyambungan bahan metal dan bahan-bahan campuran
yang tipis.
c. Las berdasarkan atas panas dari pembakaran campuran gas
1. OAW (Oxy Acetylene Welding)
Las karbit atau las autogen. Panas dapat dihasilkan dari pembakaran gas
11
zat asam yang disebut oxy hydrogen welding. Karena panas yang dihasilkan hanya
pas-pasan saja maka jenis las ini hanya baik untuk pengelasan plat-plat tipis. Mutu las
karbit umumnya kurang baik ditinjau dari segi kekuatannya mengingat banyaknya
bagian las yang teroksidasi karena dipakainya zat asam sebagai pemanasnya.
2.1.2 Bahaya Pengelasan
Menurut Wiryosumarto, dkk (1985) beberapa bahaya risiko paling utama dalam
pengelasan adalah:
1. Radiasi
Selama proses pengelasan akan timbul radiasi yang dapat membahayakan pekerja
las dan pekerja lain yang ada disekitar pengelasan. Radiasi tersebut bersumber dari
cahaya yang dapat dilihat atau cahaya tampak, sinar ultraviolet dan sinar infra merah.
2. Debu dan gas uap dari pengelasan
Debu asap dengan ukuran 0,5 µm atau lebih bila terhirup akan tertahan oleh bulu
hidung dan bulu pada saluran pernafasan, sedang debu asap yang lebih halus akan
terbawa masuk keparu-paru. Debu asap yang tinggal akan melekat pada kantong
udara di paru-paru dapat menimbulkan penyakit sesak nafas.Gas-gas berbahaya juga
dapat muncul dalam pengelasan seperti gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida
3. Bahaya listrik
Listrik merupakan suatu bahaya yang ada pada proses pengelasan. Banyak sekali
kecelakaan yang terjadi ditimbulkan oleh listrik dan akibatnya dapat sampai dengan
kematian pekerja.
2.1.3 Keselamatan dan Kesehatan dalam Pengelasan
2.1.3.1 Keselamatan dalam Pengelasan
Menurut Sriwidharto, (1996) untuk dapat terjaminnya keselamatan kerja las,
maka hal-hal ini yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan :
1. Persiapan
a. Dalam persiapan pengelasan bukan hanya tukang las yang harus menyiapkan
segala sesuatu tentang perlengkapan las tetapi yang lebih utama adalah persiapan
lingkungan kerja yang diusahakan oleh pihak pengawas kerja ataupun pengawas
instalasi, misalnya: meninjau apakah lokasi pengelasan layak untuk ditempati
oleh tukang las selama melaksanakan pekerjaan pengelasan misalnya, apakah
lokasi pengelasan panas sekali, bising sekali, letaknya cukup tinggi atau sangat
tinggi, basah/lembab/becek atau diatas permukaan air yang bergelora,
mengandung gas-gas yang mudah beracun, ditengah-tengah kerumnan/keramaian
masa, didalam ruangan tertutup yang sempit/pengap dan selainnya. Dari semua
kondisi tersebut tentukanlah langkah-langkah pengamanan yang dilakukan oleh
pihak pengawas seperti: penyedian baju tahan panas oleh pekerja pengelasan,
13
rambu-rambu peringatan, ventilasi dan blower pesuplai udara segar dan alat-alat
keselamatan kerja lain.
b. Peralatan yang akan dilas
Peralatan yang akan dilas harus dipersiapkan sedemikian rupa supaya layak
dilas artinya: peralatan telah dibebaskan dari tugas operasinya, telah dikosongkan dan
dibilas, diperiksa lebih dulu kandungan gasnya yang berbahaya, menyediakan sarana
ventilasi serta lampu penerangan 24 volt (jika pengelasan dilaksanakan dalam
ruangan). Melindungi daerah pengelasan dengan tabir air/kabut dan selubung
pengelasan jika (jika pelaksaan pengelasan diluar peralatan) dan jika pengelasan
mendapat izin oleh pihak instansi atau pengawas. Tanpa persiapan ini pekerja dapat
menolak melakukan pengelasan demi keselamatan dirinya sendiri, orang-orang
disekitarnya dan peralatan itu sendiri.
c. Peralatan pengelasan
1. Mesin las atau transformer las harus dalam keadaan baik dan dapat mensuplai
arus dan tegangan yang tidak selalu berubah dengan sendirinya, serta tidak
sebentar-bentar rusak.
2. Kabel las harus tidak boleh cacat yang menyebabkan kebocoran busur nyala
yang akibatnya dapat membahayakan bagi keselamatan instalasi dan personal.
3. Terminal-terminal kabel serta kutub-kutup harus dalam keadaan baik dan
4. Tangkai las dan kelam las harus dalam keadaan baik dan terpelihara. Tangkai
las yang terkelupas akan menjadi tak terpegang lagi karena isolasi panasnya
telah hilang dan suhu las yang sangat tinggi dapat merambat ke tangkai.
5. Rambu-rambu peringatan dan lembar/selubung pelindung busur nyala listrik
dipersiapkan sesuai kebutuhan dan keadaan lingkungan.
6. Alat pengatur arus yang portable(dapat dijinjing) dan harus menujukkan arus
yang sebenarnya.
d. Peralatan bantu
1. Botol-botol acetylene, propan, zat asam harus masih dalam masa berlakunya
pemeriksaan dan uji tekan yang terakhir oleh departemen tenaga kerja.
2. Katup pengurang tekanan (reducing valve) harus masih berfungsi dengan
baik.
3. Selang-selang gas dan zat asam tidak boleh cacat yang mengakibatkan
kebocoran gasacetylene/propan.
4. Brander-brander/obor potong harus dala keadaan baik dan terawat.
5. Gerinda las harus masih baik. Mata gerinda harus sesuai dengan pemakaian
serta dipasang pada mesin pemutar dengan putaran yang sesuai dengan
spesifikasi batu gerinda.
15
e. Peralatan keselamatan perorangan
1. Baju lengan panjang dan celana panjang yang terbuat dari katun. Bahan-bahan
seperti tetoron, dacron, nylon, danpolyesterlainnya tidak tepat untuk dipakai
pekerja panas, karena percikan las dapat membakar kain tersebut secara cepat.
2. Topi pet katun yang dapat diputar kebelakang untuk pemasangan topeng las.
3. Topeng las (pelindung mata dan muka) yang baik dan tepat guna. Untuk
pengelasan titik dapat dipakai topeng yang bertangkai, sedang untuk
pengelasan biasa dapat menggunakan topeng yang dilekatkan di kepala.Pada
topi las harus diperlengkapi dengan 2 macam kaca pelindung yang
masing-masing hitam dan bening. Pelindung mata yang bening dimaksudkan untuk
melindungi mata dan sekaligus melihat selagi pelakasana melakukan
penggerindaan, sedang yang hitam dimaksudkan untuk melindungi mata dari
radiasi panas busur nyala juga radiasi yang cukup intensif dari sinar-sinar
ultraviolet dan infra merah. Bahan dari kacamata las (goggles) dapat terbuat
dari plastik yang transparan dengan lensa yang dilapisi kobalt untuk
melindungi bahaya radiasi gelombang elektromagnetik non ionisasi dan
kesilauan atau lensa yang terbuat dari kaca yang dilapisi timah hitam untuk
melindungi dari radiasi gelombang elektromagnetik dan mengion.
4. Sarung tangan kulit (untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan).
5. Selongsong kaki (sleeve) yang terbuat dari kulit.
6. Sepatu las.
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan pengelasan harus sesuai dengan prosedur pengelasan
(WPS/welding procedure specification) yang telah disetujui. Percikan api pengelasan
dapat membahayakan lingkungan sekitar lokasi pengelasan, maka sekitar lokasi harus
dilindungi dengan tabir air atau kabut serta lantai dibasahi untuk mematikan percikan
las yang berjatuhan dan masih membara.
Pengelasan tidak boleh dimulai sebelum ada lampu hijau dari pengawas
instalasi (dalam halnya pengelasan untuk perbaikan/pemeliharaan), mengingat
persiapan-persiapan pengamanan perlu dilakukan sebelum pengelasan. Persiapan
tersebut meliputi, kandungan gas (testening), purging atau pembilasan, pengucilan
(isolation) peralatan yang akan dilas dan lain-lain.
Jangan mengelas langsung pada permukaan yang berlapiskan cat, karena
disamping hasilnya buruk akibat cat tersebut juga berbahaya bagi pekerja akibat
terhirup gas yang berasal dari terbakarnya cat tersebut.
2.1.3.2 Kesehatan dalam Pengelasan
Yang terpenting harus dilindungi dalam pengelasan adalah keselamatan indera
penglihat/mata, alat pernafasan/paru-paru dan kulit. Pandangan langsung tanpa kaca
mata las dapat dilakukan pada jarak 15,24 m atau 50 kaki dari sumber busur nyala.
Walaupun memakai kaca mata las, namun jika nomornya tidak memadai maka
pekerja akan akan mengalami kepedihan yang hebat (seperti biji mata penuh dengan
17
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah alat pernafasan. Pengelasan
selain menghasilkan gas pelindung (shielding gas) yang berasal dari lapisan luar
elektroda (coating), juga gas-gas hydrogen, ozon dan lain-lain yang jika terhirup
dalam waktu panjang akan merusak kesehatan bahkan dapat meracuni darah. Jika
pelaksanaan las dilaksanakan diruang tertutup, maka guna melidungi pernafasan
pelaksana, pada ruangan tersebut disediakan lubang ventilasi dan diperlengkapi
dengan blower pensuplai udara segar dari luar (Sriwidharto, 1996).
Selanjutnya kulit muka, lengan dan kaki harus pula dilindungi dari panas
radiasi ultra ungu yang mengakibatkan kulit terbakar. Rasa kulit terbakar radiasi suhu
panas dan ultraviolet adalah pedih dan panas.
2.2 Sinar Ultraviolet
Sinar ultraviolet merupakan radiasi elektromagnetik yang terletak diantara sinar
tampak (Visible Light) dan x-ray. Spektrum sinar ultraviolet dibagi menjadi tiga
bagian yaitu bagian sinar terdekat sekitar 400-300 nm, bagian 300-200 nm, dan
bagian kosong 200-4 nm (Olishfski, 1985)
Radiasi sinar ultra ungu adalah radiasi elektromagnetis dengan panjang
gelombang 180-400 nm. Sebagai arus energi elektromagnetis dapat dinyatakan dalam
satuan mikrowatt/cm2. Pada mata sinar tersebut dapat mengakibatkan konjungtivitis
fotoelektrika. MenurutCanadian Centere for Occupational Heath & Safety, (2008)
sinar radiasi ultraviolet dibagi menjadi tiga jenis panjang gelombang yaitu :
1. Sinar ultraviolet-A
2. Sinar ultraviolet-B
Sinar ultraviolet-B mempunyai panjang gelombang 280-320 nm. Menurut
CCOH (Canadian Centere For Occupational Health & Safety) sinar yang
paling memberikan dampak nyata bagi pekerja adalah sinar UV-B. Menurut
Alatas Dkk,(2003) Energi sinar UV dengan panjang gelombang 280-315 nm
sebagian besar diserap kornea dan dapat mencapai lensa.
3. Sinar ultraviolet-C
Sinar ultraviolet-C mempunyai panjang gelombang 200-280 nm. Menurut
Alatas, dkk, (2003) energi ultraviolet-C dapat diserap seluruhnya oleh kornea
mata.
2.2.1 Efek dari Radiasi Ultraviolet pada Mata
Mata merupakan organ tubuh yang paling peka terhadap radiasi
elektromagnetik non ionisasi. Radiasi ultraviolet tidak dapat dideteksi oleh
reseptor-reseptor alat penglihatan manusia sehingga kelainan dan kerusakan sering terjadi
sebelum seseorang menyadari dirinya telah terpapar oleh radiasi tersebut.
Radiasi ultraviolet pada pekerjaan pengelasan dapat menyebabkan kerusakan
mata. Kerusakan mata paling umum terjadi akibat pemaparan bunga api pengelasan,
tetapi dapat juga terjadi melaui pemaparan langsung atau pantulan radiasi lampu
ultraviolet seperti yang digunakan di laboraturium sebagai germisida yang dapat
menyebabkan konjungtivis atau keratitis ( inflasi kornea).
19
mencapai lensa. Sedangkan energi UV-A (315- 400 nm) diserap dalam lensa secara
kuat, hanya sebagian kecil energi bisa (> 1%) yang dapat mencapai retina (Anies,
2009). Dalam studi terakhir ditunjukkan bahwa paparan radiasi UV dapat merusak
kornea mata lebih parah daripada perkiraan sebelumnya. Spesialis mata yang bekerja
di Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa lapisan endotel dalam kornea primate
juga mengalami kerusakan (khususnya oleh UV-B dalam panjang gelombang 300
nm) dan ini tidak seperti kerusakan epitel, permanen (Pitts et al., 1987).
Sinar ultraviolet dapat merusak epitel kornea, kerusakan ini akan segera baik
kembali setelah beberapa saat dan tidak akan memberikan gangguan yang menetap.
Efek fototoksik akut radiasi uv pada mata adalah photokeratitis (dikenal juga sebagai
welder flash atau snow blindness) yaitu reaksi peradangan akut pada kornea dan
konjungtiva mata. Ini merupakan kerusakan akibat reaksi fotokimia pada kornea
(photokeratitis) dan konjungtiva (fotokonjungtiva) yang muncul setelah pajanan
200-400 nm dan umumnya hanya berlansung antara 24-48 jam (Alatas, 2004).
Gejala photokeratitis berupa memerahnya bola mata yang disertai rasa sakit
yang parah, photopobia, mata terasa berpasir, dan air mata bertambah. Efek ini
bersifat sementara karena kerusakan yang terjadi sangat ringan (bagian
permukaannya saja) dan penggantian sel epitel permukaan kornea berlangsung
dengan cepat (satu siklus 48 jam) (Alatas, 2004). Keratitis terutama terdapat pada
fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu.
Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama
Keratitis dapat bersifat akibat efek kumulatif sinar ultraviolet sehinggga gambaran
keratitisnya akan menjadi berat (Ilyas, 1997).
Sedangkan pajanan kronik radiasi UV pada mata dapat menimbulkanpterygium
atau penebalan konjungtiva dan katarakogenesis atau proses pembentukan katarak.
Pterygium sebagai hasil dari pertumbuhan jaringan lemak diatas kornea. Pajanan
radiasi panjang gelombang 290-320 nm dapat menyebabkan katarak. Terdapat
hubungan yang jelas antara katarak dengan pajanan UV-B sepanjang hidup (Alatas
dkk, 2003).
2.2.2 Sumber sinar ultraviolet
Sumber sinar UV pada pekerjaan pengelasan berasal dari sinar UV alami dan
sumber sinar UV buatan. Sumber sinar UV alami yang memajan pekerja pengelasan
adalah sinar matahari sebagai sumber utama yang memancarkan sinar UV (Olishifski,
1985). Pada pekerjaan pengelasan sendiri memiliki potensi keterpajanan yang tinggi
terhadap sinar matahari terutama pada pekerja yang bekerja diluar ruangan (WHO,
2003).
Sedangkan sumber sinar ultraviolet buatan bersal dari peralatan pengelasannya
sendiri. Hal ini disebabkan karena peralatan pengelasan merupakan salah satu
peralatan kerja yang merupakan sumber sinar ultraviolet buatan dan dalam
pengoperasiannya terjadi pelelehan sehingga dari pelelehan tersebut akan timbul
percikan api/ bunga api yang memancarkan beberapa sinar antara lain sinar ultraviolet
21
2.2.3 Nilai Ambang Batas Radiasi Sinar Ultra Ungu (Sinar Ultraviolet)
Menurut keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia No. PER.13/MEN/X/2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan
Kimia di Tempat Kerja. Nilai ambang batas (NAB) untuk sinar ultraviolet ditetapkan
sebesar 0,0001 milliWatt per sentimeter persegi (Mw/cm2).
Table.2.1Nilai ambang batas radiasi sinar ultra ungu yang diperkenankan. Masa Paparan Per Jam Waktu paparan per hari
8 0,0001
(Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011)
Radiasi sinar UV dapat diukur dengan alat radiometer sinar UV yang dengan
intensitas sinar UV dapat dibaca secara langsung. Alat tersebut portabel, kisaran
panjang gelombang yang dapat diukurnya antara 180-400 nm, dan mampu mengukur
energi radiasi dari 0 sampai 19.990 mikroWatt/ dengan resolusi 0,1
2.3 Anatomi dan Fisiologi Kornea Mata
2.3.1 Anatomi Kornea Mata
Kornea (latin cornum= seperti tanduk) adalah selaput bening mata bagian
selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata
sebelah depan. Kornea merupakan 1/6 bagian pembungkus bola mata yang bening
dan berbentuk kaca arloji terletak didataran bola mata. Akibat kejernihan bola mata
maka dapat diteruskan atau dibiaskan kedalam bola mata. Kornea merupakan
komponen utama sistem optik mata dimana 70% pembiasan sinar dilakukan. Sinar
yang masuk kedalam bola mata dibiaskan oleh kornea untuk difokuskan padamacula
lutea. Turunnya tajam penglihatan depan terjadi akibat edema kornea, infiltrasi sel
radang kedalam kornea, vaskularisasi dan terbentukanya jaringan parut pada kornea
(Ilyas, 2003).
Tebal kornea pada bagian sentral 0,5 mm yang terdiri atas 5 lapis yaitu : epitel,
terdiri atas 5 lapis sel dengan 3 tipe sel, yaitu :
1. Sel epitel gepeng, sel epitel sayap, dan sel basal atau sel kuboid. Sel basal
melekat erat dengan membrane basal kornea. Sel basal dan membrane basal
epitel kornea memilki daya regenerasi.
2. Membran Bowman, yang merupakan bagian stroma kornea dan membentuk
membrane tipis yang homogeny. Membrane bowman tidak memiliki daya
23
3. Stroma, merupakan bagian kornea yang paling tebal atau 90% dari tebalnya
kornea. Stroma terdiri atas sel stroma atau keratosit dan serat kalogen yang
tersusun sangat teratur.
4. Stroma kornea tidak mempunyai daya regenerasi, bila terjadi kerusakan stroma,
maka akan membentuk jaringan parut yang keruh pada kornea .
5. Membran Descemet, lapisan elastik kornea yang bersifat transparan.
6. Endotel, terdiri atas atas satu lapis sel gepeng heksagonal.
Kornea tidak memiliki pembuluh darah, akan tetapi kaya akan serabut sensorik.
Saraf sensorik ini berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf
siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus
membrane Bowmanmelepaskanselubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan (Ilyas, 1997).
Kornea merupakan bagaian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
disebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 1997).
2.3.2 Fisiologi Kornea Mata
Kornea berfungsi sebagai membrane pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform,
avaskuler, dan degurtene atau keadaan dehidrasi relatif jaringan korena yang
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel