• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Individu, Penggunaan APD dan Lokasi Kerja Dengan Gejala Photokeratitis Pada Pekerja Las PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Karakteristik Individu, Penggunaan APD dan Lokasi Kerja Dengan Gejala Photokeratitis Pada Pekerja Las PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau Tahun 2016"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KUESIONER PENELITIAN PT. Adhi Karya Tbk Duri, Riau 2016 Selamat pagi / siang

Saya Mulyana Agustin mahasiswi program S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Sumatra Utara. Saat ini sedang melakukan penelitian berjudul hubungan karakteristik individu, penggunaan APD dan lokasi kerja dengan gejala photokeratitis pada pekerja las PT. Adhi Karya Persero Tbk Duri, Riau tahun 2016.

Untuk itu saya memohon supaya saudara bersedia menjawab pertanyaaan berikut dengan baik dan benar sesuai dengan yang saudara alami. Jawaban yang saudara berikan tidak akan memengaruhi posisi / jabatan saudara dan saya menjamin kerahasiaan dari data yang saudara berikan .

Hormat saya, Responden

(2)

LAMPIRAN 1 : Kuesioner gejala pothokeratitis pada pekerja pengelasan PT. Adhi Karya Tbk Duri, Riau 2016

KUESIONER PENELITIAN

1. Nomor Responden : 2. Tanggal Wawancara :

3. Pewawancara :

I. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama Responden : 2. Tanggal Lahir : 3. Usia Responden :

4. Alamat Rumah :

II. Riwayat Pekerjaan

Pertanyaan Pilihan Jawaban

1. Sudah berapa lama anda bekerja di perusahaan ini ?

Tahun 2. Berapa jam anda bekerja

(menggunakan alat las) dalam sehari ?

Jam

3. Apakah pekerjaan utama anda disini ? 4. Apakah anda mempunyai

pekerja lain (selain disini) ?

1. Ya, sebutkan dimana

2. Tidak, (langsung ke 5)

5. Sudah berapa lama anda bekerja ditempat tersebut ?

6. Apakah pekerjaan anda ditempat lain itu berhubungan

1. Ya, ke 6

(3)

III.Keluhan Gejala Photokeratitis

1. Apakah anda pernah mengalami gangguan

mata setelah

melakukan pengelasan ?

2. Jenis gangguan yang dirasakan ?

Minimal 4 gejala yang dirasakan menunjukkan pekerja terkena gejala photokeratitis.

1. Mata terasa berpasir 2. Mata nyeri

3. Lakrimasi ( air mata yang berlebih ) 3. Apakah anda tidak

bekerja saat

mengalami gejala tersebut ?

IV.Penggunaan Alat Pelindung Diri

1. Apakah anda

memiliki alat pelindung mata ?

(4)

shield)

3. Kaca mata gelap biasa

4. Dan lain-lain 3. Bagaimana

pemakaian alat pelindung mata anda ?

1. Tidak dipakai 2. Jarang dipakai 3. Selalu dipakai 4. Apakah alasan anda

tidak menggunakan APD sesuai dengan standar ?

Lokasi Kerja

Di dalam ruangan Di luar ruangan

(5)
(6)
(7)
(8)

Gambar 3. Alat pelindung mata yang di gunakan pekerja las

3.1 Kaca mata hitam

(9)
(10)
(11)

29 res 29 26 1 2 1 5 1 1 0 1 1 3 2

30 res 30 29 1 3 2 7 2 1 0 1 1 3 2

31 res31 47 2 3 2 7 2 1 0 1 1 3 2

32 res 32 28 1 4 2 7 2 1 0 1 1 3 2

33 res 33 32 1 4 2 4 1 1 0 0 1 3 2

34 res 34 36 2 2 1 7 2 1 0 1 1 3 2

35 res 35 29 1 1 1 3 1 1 0 0 1 3 1

36 res 36 45 2 3 2 5 1 1 0 1 1 3 2

37 res 37 34 2 2 1 5 1 1 0 1 1 3 2

38 res 38 26 1 2 1 6 2 1 0 1 1 3 2

39 res 39 35 2 2 1 4 1 1 0 0 1 3 2

40 res 40 30 1 3 2 6 2 1 0 1 0 3 2

41 res 41 37 2 3 2 6 2 1 0 1 1 3 2

42 res 42 40 2 2 1 3 1 1 0 0 1 3 2

43 res 43 28 1 1 1 4 1 1 0 0 1 3 1

44 res 44 30 1 3 2 5 1 1 0 1 0 3 2

(12)

Keterangan :

Nama : nama responden Umur : umur responden

UmurK : umur responden setelah pengkategorian ( 1. < 33 tahun 2.≥33 tahun) R1 : masa kerja responden

R1K : masa kerja responden setelah pengkategorian ( 1. < 2 tahun 2.≥2 tahun ) R2 : lama paparan responden melakukan pengelasan

R2K : lama responden melakukan pengelasan yang telah dikategorikan (1. < 5 jam 2.≥ 5 jam )

R3 : pekerja utama responden diperusahaan (1. Mengelas 2. Memotong 3. Mempersiapkan alat 4. Lainnya R4 : pekerjaan lain selain di perusahaan

K1 : keluhan gejala photokeratitis yang dialami oleh responden (0. Tidak ada keluhan 1. Ada keluhan ) APD 1 : alat pelindung diri yang digunakan oleh responden (0. Sesuai 1. tidak sesuai)

(13)

K1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid tidak ada keluhan 11 24.4 24.4 24.4

ada keluhan 34 75.6 75.6 100.0

Total 45 100.0 100.0

2. Distribusi Pekerja Berdasarkan Umur

umurK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <33 24 53.3 53.3 53.3

>=33 21 46.7 46.7 100.0

Total 45 100.0 100.0

3. Distribusi Pekerja Berdasarkan Lama Paparan R2K

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <5 23 51.1 51.1 51.1

>=5 22 48.9 48.9 100.0

Total 45 100.0 100.0

4. Distribusi Pekerja Berdasarkan Masa Kerja R1K

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <2 33 73.3 73.3 73.3

>=2 12 26.7 26.7 100.0

(14)

5. Distribusi Pekerja Berdasarkan Penggunaan APD

APD1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid tidak sesuai 5 11.1 11.1 11.1

sesuai 40 88.9 88.9 100.0

Total 45 100.0 100.0

Frekuensi penggunaan APD oleh pekerja APD3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid selalu dipakai 45 100.0 100.0 100.0

6. Distribusi Pekerja Berdasarkan Lokasi Kerja LK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid di dalam ruangan 9 20.0 20.0 20.0

di luar ruangan 36 80.0 80.0 100.0

(15)

K1

Total tidak ada keluhan ada keluhan

umur K

<33 Count 6 18 24

Expected Count 5.9 18.1 24.0

% within umurK 25.0% 75.0% 100.0%

% within K1 54.5% 52.9% 53.3%

% of Total 13.3% 40.0% 53.3%

Residual .1 -.1

Std. Residual .1 .0

Adjusted Residual .1 .0

>=33 Count 5 16 21

Expected Count 5.1 15.9 21.0

% within umurK 23.8% 76.2% 100.0%

% within K1 45.5% 47.1% 46.7%

% of Total 11.1% 35.6% 46.7%

Residual -.1 .1

Std. Residual .0 .0

Adjusted Residual .0 .1

Total Count 11 34 45

Expected Count 11.0 34.0 45.0

% within umurK 24.4% 75.6% 100.0%

% within K1 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 24.4% 75.6% 100.0%

Pearson Chi-Square .009a 1 .926

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .009 1 .926

Fisher's Exact Test 1.000 .602

Linear-by-Linear Association .008 1 .927

(16)

2. Hubungan Lama Paparan dengan Gejala Photokeratitis R2K * K1 Crosstabulation

K1

Total tidak ada keluhan ada keluhan

R2K <5 Count 9 14 23

Expected Count 5.6 17.4 23.0 % within R2K 39.1% 60.9% 100.0% % within K1 81.8% 41.2% 51.1% % of Total 20.0% 31.1% 51.1%

Residual 3.4 -3.4

Std. Residual 1.4 -.8

Adjusted Residual 2.3 -2.3

>=5 Count 2 20 22

Expected Count 5.4 16.6 22.0 % within R2K 9.1% 90.9% 100.0% % within K1 18.2% 58.8% 48.9% % of Total 4.4% 44.4% 48.9%

Residual -3.4 3.4

Std. Residual -1.5 .8

Adjusted Residual -2.3 2.3

Total Count 11 34 45

Expected Count 11.0 34.0 45.0 % within R2K 24.4% 75.6% 100.0% % within K1 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 24.4% 75.6% 100.0% Pearson Chi-Square 5.494a 1 .019

Continuity Correctionb 3.988 1 .046 Likelihood Ratio 5.860 1 .015

Fisher's Exact Test .035 .021

Linear-by-Linear Association 5.372 1 .020 N of Valid Cases 45

(17)

Total tidak ada

keluhan ada keluhan

R1K <2 Count 8 25 33

Expected Count 8.1 24.9 33.0 % within R1K 24.2% 75.8% 100.0% % within K1 72.7% 73.5% 73.3% % of Total 17.8% 55.6% 73.3%

Residual .0 .1

Std. Residual .0 .0

Adjusted Residual .0 .1

>=2 Count 3 9 12

Expected Count 2.9 9.1 12.0 % within R1K 25.0% 75.0% 100.0% % within K1 27.3% 26.5% 26.7% % of Total 6.7% 20.0% 26.7%

Residual .1 .0

Std. Residual .0 .0

Adjusted Residual .1 .0

Total Count 11 34 45

Expected Count 11.0 34.0 45.0 % within R1K 24.4% 75.6% 100.0% % within K1 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 24.4% 75.6% 100.0% Pearson Chi-Square .003a 1 .958

Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .003 1 .958

Fisher's Exact Test 1.000 .621

(18)

4. Hubungan Penggunaan APD dengan Gejala Photokeratitis

APD1 * K1 Crosstabulation K1

Total tidak ada

keluhan ada keluhan

APD1 tidak sesuai Count 0 5 5

Expected Count 1.2 3.8 5.0 % within APD1 .0% 100.0% 100.0% % within K1 .0% 14.7% 11.1% % of Total .0% 11.1% 11.1%

Residual -1.2 1.2

Std. Residual -1.1 .6 Adjusted Residual -1.3 1.3

sesuai Count 11 29 40

Expected Count 9.8 30.2 40.0 % within APD1 27.5% 72.5% 100.0% % within K1 100.0% 85.3% 88.9% % of Total 24.4% 64.4% 88.9%

Residual 1.2 -1.2

Std. Residual .4 -.2

Adjusted Residual 1.3 -1.3

Total Count 11 34 45

(19)

Continuity Correctionb .635 1 .425 Likelihood Ratio 3.000 1 .083

Fisher's Exact Test .313 .228

Linear-by-Linear Association 1.779 1 .182 N of Valid Cases 45

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,22. b. Computed only for a 2x2 table

5. Hubungan Lokasi Kerja dengan Gejala Photokeratitis

LK * K1 Crosstabulation

K1

Total tidak ada

keluhan ada keluhan

LK di dalam ruangan Count 8 1 9

Expected Count 2.2 6.8 9.0 % within LK 88.9% 11.1% 100.0% % within K1 72.7% 2.9% 20.0% % of Total 17.8% 2.2% 20.0%

Residual 5.8 -5.8

Std. Residual 3.9 -2.2 Adjusted Residual 5.0 -5.0

di luar ruangan Count 3 33 36

Expected Count 8.8 27.2 36.0 % within LK 8.3% 91.7% 100.0% % within K1 27.3% 97.1% 80.0% % of Total 6.7% 73.3% 80.0%

Residual -5.8 5.8

Std. Residual -2.0 1.1 Adjusted Residual -5.0 5.0

Total Count 11 34 45

(20)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 25.297a 1 .000

Continuity Correctionb 21.124 1 .000 Likelihood Ratio 23.122 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 24.735 1 .000 N of Valid Cases 45

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Zubaidah dan Yanti Lusiyanti. 2003. Efek Kesehatan Radiasi Non Pengion pada Manusia dan Biomedika Nuklir. Bantan : Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran

Anymous. 2009. /Research on eye injuries reported by scientist at National TaiwanUniversity. Medical Sciences, 852

Anies. 2009.Cepat Tua Akibat Radiasi. Jakarta : Elex Media Komputindo

Canadian Centere for Occupational Health & Safety. 2008. Radiation and the Effects On Eyesand Skin. Canada : Canadian Government

Daryanto.2013.Teknik Lasedisi kedua. Bandung: Alfabeta

Elkinton, A.R dan P.T Khaw. 1996.Petunjuk Penting Kelainan Mata. Jakarta : EGC

Goff, T. 2006. ‘’Fleksibel Welding Protection’’, Occupational Health & Safety, vol.75, No.9, pp. 32-33, 34

Harris, Patrisk M. 2011. Workplace Injuries Involving the Eyes. Amerika Serikat : BureauLabor Statistick

Hollwich, Fritz. 1993.Oftalmologi. Jakarta: Binarupa Aksara

Ilyas, S. 1997.Ilmu Penyakit Mata.Jakarta: FK UI

Ilyas, S. 2003.Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Kedua.Jakarta: FK UI

Kumah, D.B et.al. 2011. Radiation- Related Eye Diseases Among Welders of Suame‘Magazine’ in the Kumasi Metropolis. Ghana : KwameNkrumah ofScience and Technology (KNUST)

Majiid Sumardi. 2011. Anatomi Dan Fisiologi Kornea. 11 Februari 2016. blogdokter.com

(22)

59

Muskita, Mandy. 2015. Analisis Faktor Resiko yang Berhubungan Dengan Terjadinya Photokeratitis Pada Juru Las Di PT. PAL (Indonesia) Persero Surabaya. Surabaya :Universitas Airlangga

Notoatmodjo. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta

Olishifsky, J.B. 1985. Fundamental of Industrial Hygiene (2 nd).

Washington DC. NationalSafety Council

Reza, Yuda K. 2013.Hubungan Sikap, Pengetahuan dan Kenyamanan dengan Penggunaan Alat Pelindung Wajah pada Pekerja Las ListrikKawasan Simongan Semarang.Semarang: Universitas Semarang

Riordan, P-Eva dan John P. Whitcher. 2010. Vaughan& Asbury Oftamologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC

Sonawan, Hery dan Rochim Suratman. 2003. Pengantar untuk Memahami Proses Pengelasan Logam. Bandung : Alfhabeta

Suma’mur. 2009.Higiene Perusahaan dan Kesehatan Tenaga Kerja (HIPERKES).Jakarta: Cv Sagung Seto

Susanto.2015.Faktor Yang Berhubungan dengan Keluhan

Photokeratokonjungtivis pada Operator Las di Bengkel Las Kecamatan Biringkanaya Kota Makasar.Makasar : Universitas Hasannudin

Sriwidharto .1996. Pentujuk Pekerja Las Edisi Ketiga. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Tenkate , T.D. & Collins, M.J. 1997.Personal Ultraviolet Radiation Exposure of Workers. Environment Health Journal.

Tenkate , T.D. 1998. Occupational Exposure to Ultraviolet Radiation : a Health Risk Assesment.Environment Health Journal

Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

(23)

Wahyuni, Sri. 2013. Keluhan Subjektif Photokeratitis pada Pekerja Tukang Las di Jalan BogorBandung Tahun 2012. Depok : Universitas Indonesia

Wiryosumarto, H and Okumura, T. 1985. Tekhnologi Pengelasan Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. Pradya Paramita.

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dilakukan dengan

metode survei dan pengumpulan data secara cross sectional dengan pendekatan

observasi atau pengumpulan data sekaligus dalam suatu saat. Dari metode survei

analitik ini dapat diketahui seberapa jauh kontribusi faktor resiko pekerja terhadap

kejadian gejala photokeratitis pada pekerja pengelasan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. Adhi Karya Tbk yang terdapat di kota Duri

Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2016.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan

diteliti. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja bagian pengelasan di PT. Adhi

(25)

3.3.2 Sampel

Sampel merupakan objek yang akan diteliti dan dianggap dapat mewakili

seluruh populasi yang ada. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pekerja (total

populasi) yang berjumlah 45 pekerja dibagian pengelasan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer ini merupakan data yang diambil secara langsung oleh peneliti

terhadap objek penelitian. Data tersebut diperoleh dari proses wawancara kepada

pekerja dengan kuesioner. Kuesioner yang digunakan diadopsi dari penelitian Sri

Wahyuni (2012).Adapun data yang diperoleh yaitu, usia, masa kerja, lama paparan,

penggunaan APD dan keluhan gejala photokeratitis yang dialami pekerja.

3.4.2 Data Sekunder

Adapun kegunaan data sekunder ini untuk melengkapi atau penunjang data

primer yang ada. Adapun data sekunder ini didapatkan dari perusahaan seperti,

gambaran perusahaan, jumlah pekerja dan jenis pekerjaan.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1 Variabel

Variabel penelitian terdiri dari :

1. Variabel independen adalah : umur, masa kerja, lama paparan, penggunaan

APD dan lokasi kerja.

(26)

33

3.5.2 Definisi Operasional

1. Usia adalah lama hidup individu yang diukur berdasarkan ulang tahun terakhir

yang telah dilalui dalam satuan tahun pada waktu dilakukan penelitian.

2. Lama paparan adalah lamanya pekerja melakukan pengelasan dalam satu hari.

3. Masa kerja adalah lamanya pekerja bekerja sebagai juru las hingga pada saat

dilakukan penelitian.

4. Penggunaan APD adalah alat pelindung mata yang di gunakan oleh pekerja

selama melakukan pekerjaan dengan kategori sesuai ataupun tidak sesuai yaitu

gogglesatau welding shield

5. Lokasi kerja adalah tempat dimana dilakukannya proses pengelasan di

dalam ataupun diluar ruangan.

6. Gejala photokeratitis adalah keluhan subjektif berupa mata terasa berpasir,

mata nyeri, mata berair, photofobia, blefarosfasme, mata merah, dan

penurunan ketajaman penglihatanyang dirasakan oleh pekerja las setelah

melakukan pengelasan.

3.6 Metode Pengukuran

Metode pengukuran variable penelitian sebagai berikut :

3.6.1 Pengukuran Variable Dependen

1. Gejala photokeratitis

Pengukuran gejala photokeratitis dilakukan dengan menggunakan kuesioner

dan wawancara dengan pekerja berdeasarkan keluhan subjektif yang pekerja rasakan

(27)

penderita phokeratitis adalah: mata akan sangat sakit (nyeri), mata seperti kelilipan

atau kemasukan pasir, photofobia, blefarosfasme , konjungtiva kemotik, gangguan

ketajaman penglihatan.

Gejala photokeratitis menurut Hollwich (1993), yaitu mata terasa nyeri, mata

terasa berpasir, fotofobia, blefarospasme dan mata banyak mengeluarkan air mata.

Berdasarkan The college of optometrists(2011), gejala photokeratitis yang dirasakan

mata terasa seperti berpasir, rasa nyeri pada mata, mata kemerahan, mata berair

(lakrimasi), blefarosfasme (mata berkedut), dan fotofobia (silau). Adanya gejala jika

responden memilki 4 gejala (mata nyeri, mata terasa berpasir, blefarosfasme, dan

fotofobia) setelah melakukan pengelasan. Dilakukan dengan pengelompokan kategori

sebagai berikut :

1. Ada keluhan (dikatakan ada keluhan jika responden mengalami minimal 4

gejala dari gejala photokeratitis setelah melakukan pengelasan)

2. Tidak ada keluhan (jika responden tidak mengalami keluhan dan

mengalami keluhan kurang dari 4 gejala photokeratitis setelah melakukan

pengelasan)

3.6.2 Pengukuran Variabel Independen

1. Untuk pengukuran variabel usia, lama paparan dan masa kerja dilakukan dengan

berdasarkan nilai median yang didapatkan selama penelitian menggunakan

(28)

35

2. Lokasi kerja

Pengukuran lokasi kerja ini dapat dinilai dengan cara observasi. Dapat dilihat

pekerja bekerja di dalam ruangan dan diluar ruangan. Pengkategorian untuk lokasi

kerja :

1. Didalam ruangan (pengelasan dilakukan didalam ruangan tanpa terkena

sinar matahari secara langsung).

2. Diluar ruangan (pengelasan dilakukan diluar ruangan tanpa adanya

penghalang matahari secara langsung).

3. Penggunaan alat pelindung diri (APD)

Penggunaan alat pelindung diri ini dinilai berdasarkan kuesioner dan

observasi. Kemudian dikelompokkan berdasarkan pengkategorian sebgai berikut:

1. Sesuai (pekerja las dimasukkan dalam kategori jika pekerja menggunakan

APD yaitugogglesatauweldingshield)

2. Tidak sesuai (pekerja las dimasukkan dalam kategori ini bila pekerja tidak

(29)

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel.

No Variabel Alat ukur Hasil ukur Skala

1

2 Lama paparan Kuesioner/

wawancara

1. < 5 jam 2. ≥5 jam

Ordinal

3 Masa kerja Kuesioner

/wawancara

1. < 2 tahun 2. ≥2 tahun

Ordinal

4 Penggunaan APD Kuesioner/ wawancara

0. Sesuai 1. Tidak sesuai

Ordinal

5 Lokasi kerja Observasi 1. Didalam

ruangan

3.7 Pengolahan dan Metode Analisis Data

3.7.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1. Editing

Hasil kuesiner/wawancara yang telah dikumpulkan dilakukan pemeriksaan

(30)

37

2. Coding

Setelah kuesioner selesai di editing maka setiap kuesioner diberikan kode. Yaitu

mengubah data kalimat menjadi bentuk angka.

3. Data entry

Pada tahap ini jawaban dari masing-masing responden yang telah diubah dalam

bentuk kode dimasukkan dalam software computer. Pada jenis penelitian data akan

diolah menggunakan spss.

4. Cleanning

Pada tahap ini akan dilakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang telah

dimasukkan sebelumnya untuk melihat adanya kemungkinan kesalahan pengkodean,

ketidaklengkapan dan sebagainya kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

3.7.2 Metode Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analis data dilakukan dengan cara analisis univariat untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variable penelitian (Notoadmodjo, 2010).

Analisis ini untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentase dari setiap variabel.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat ini dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan

atau berkolerasi (Notoadmodjo, 2010). Analisis bivariat ini digunakan untuk

menerangkan keeratan hubungan antara dua variabel (Arikunto, 1996). Untuk

(31)

chi square dengan = 0,05. Jika p > 0,05 maka Ho diterima dan Ha diterima yang

artinya tidak ada hubungan diantara kedua variabel. Tetapi jika p < 0,05 maka

(32)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum PT. Adhi Karya (Persero) Tbk

4.1.1 Sejarah Singkat

PT Adhi Karya Tbk (ADHI) adalah perusahaan yang bergerak di bidang

konstruksi di Indonesia. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1960 ini bermarkas di

Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini awalnya bernama rchitecten-Ingenicure-en

Annemersbedrijf Associatie Selle en de Bruyn, Reyerse en de Vries N.V. (Associatie

N.V.) saat kepemilikannya masih di bawah Belanda. Namun sejak tanggal 11 Maret

1960, perusahaan di nasionalisasi dengan tujuan untuk memacu pembangunan

infrastruktur di Indonesia. Bisnisnya termasuk layanan konstruksi, EPC, investasi

infrastruktur, properti, danreal estate.

Terhitung sejak tanggal 1 Juni 1974, ADHI menjadi Perseroan Terbatas,

berdasarkan pengesahan Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Perusahaan ini

merupakan perusahaan konstruksi pertama yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

(d.h. Bursa Efek Jakarta) sejak 18 Maret 2004, di mana pada akhir tahun 2003 negara

Republik Indonesia telah melepas 49% kepemilikan sahamnya kepada masyarakat

melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO).

Selain bergerak di bidang konstruksi, perusahaan juga bergerak dibidang

terkait seperti bisnis EPC, dan Investasi untuk meningkatkan daya saing perusahaan

(33)

2006. Dengan tagline-nya, “Beyond Construction”, perusahaan ingin

menggambarkan motivasinya untuk bergerak ke bisnis lain yang terkait dengan core

business perusahaan. ADHI juga telah merambah dunia Internasional di

negara-negara Asia Tenggara.

Dalam kegiatan operasionalnya, ADHI didukung oleh delapan divisi operasi

yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri di samping Anak-anak

Perusahaannya. Perusahaan ini memiliki visi untuk menjadi salah satu Perusahaan

konstruksi terkemuka di Asia Tenggara dengan melakukan kinerja berdasarkan atas

peningkatan corporate value secara incorporated, melakukan proses pembelajaran

(learning) dalam mencapai pertumbuhan (peningkatan corporate value), proaktif

melaksanakan lima lini bisnis secara profesional, governance, mendukung

pertumbuhan perusahaan, dan menerapkan Corporate Culture yang simple tapi

membumi/dilaksanakan (down to earth), serta ikut berpartisipasi aktif dalam Program

Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan Corporate Social Responsibility(CSR)

seiring pertumbuhan perusahaan.

4.1.2 Bisnis Perusahaan

Selain bergerak dalam bidang konstruksi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk juga

bergerak dalam bidang proprerti & realti, manufakturprecastdan hotel.

4.1.3 Visi dan Misi Perusahaan

1. Visi dari PT. Adhi Karya (Persero) Tbk

(34)

41

2. Misi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk yaitu :

1. Berkinerja berdasarkan atas peningkatan corporate value secara

incorporated

2. Melakukan proses pembelajaran (learning) dalam mencapai

pertumbuhan (peningkatancorporate value).

3. Menerapkan corporate culture yang simple tapi

Membumi/dilaksanakan (down to earth).

4. Proaktif melaksanakan lima lini bisnis secara profesional, governance,

mendukung pertumbuhan perusahaan.

5. Partisipasi aktif dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan

(PKBL) dan Corporate Social Responsibility (CSR) seiring

pertumbuhan perusahaan.

4.1.4 Proses Pengelasan

Jenis pengelasan yang digunakan :

1. GTAW ( gas tungsten arc welding)

2. SMAW (shielded metal arc welding)

3. Kombinasi dari keduanya

Di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri,Riau sendiri sebelum melakukan pengelasan

terlebuh dahulu melakukan :

1. Melakukanbriefing

2. Prepare document

(35)

4. Making(penandaan)

5. Pemotongan atau penggerindaan

6. Pit up (penyetelan)

7. WPS (welding procedure specification) dan sertifikat (welder) tersedia

dilapangan

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian

4.2.1 Distribusi Pekerja Berdasarkan Gejala Photokeratitis

Distribusi pekerja berdasarkan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya

(Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pekerja berdasarkan gejala Photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016.

Gejala photokeratitis N %

Ada keluhan 34 75,6

Tidak ada keluhan 11 24,4

Jumlah 45 100

Bedasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa pekerja las di PT. Adhi Karya

(Persero) Tbk Duri, Riau 2016 yang mengalami gejala photokeratitis sebanyak 34

orang (75,6%).

4.2.2 Distribusi Pekerja Berdasarkan Karakteristik Individu

1. Usia

Distribusi karaketristik pekerja las yang berdasarkan dari usia dibagi menjadi

2 kategori berdasarkan hasil nilai median. Usia pekerja las di PT. Adhi Karya

(36)

43

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pekerja berdasarkan umur di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016.

Usia (tahun) N %

< 33 24 53,3

≥33 21 46,7

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel diatas, usia yang paling banyak pada usia <33 tahun yaitu 24

orang (53,3 %).

2. Lama Paparan

Distribusi karaketristik pekerja las yang berdasarkan lama paparan dibagi

menjadi 2 kategori berdasarkan hasil nilai median. Lama paparan pada pekerja las di

PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan lama paparan diPT.Adhi Karya (Persero) Tbk, Duri Riau tahun 2016.

Lama paparan (Jam) N %

<5 jam 23 51,1

≥5 jam 22 48,9

Jumlah 45 100

Berdasarkan hasil tabel diatas, lama paparan yang dialami pekerja las di PT.

Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016 yang paling banyak menerima

lama paparan < 5 jam sebanyak 23 orang (51,1%).

3. Masa Kerja

Distribusi karaketristik pekerja las yang berdasarkan masa kerja dibagi

(37)

PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016 dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan masa kerja di di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau pada tahun 2016.

Masa Kerja (Tahun) N %

< 2 tahun 33 73,3

≥2 tahun 12 26,7

Jumlah 45 100

Berdasarkan hasil tabel diatas maka dapat dilihat pekerja las yang paling

banyak berkerja < 2 tahun sebanyak 33 orang (73,3 %).

4.2.3 Penggunaan APD

Penggunaan APD pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri

Riau tahun 2016 dapat dilihat pada tabel diberikut.

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan penggunaan APD di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau Tahun 2016.

Penggunaan APD N %

Sesuai 40 88,9

Tidak sesuai 5 11,1

Jumlah 45 100

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa di PT. Adhi Karya (Persero)

Tbk Duri Riau tahun 2016 pekerja las paling banyak yang menggunakan APD yang

sesuai yaitu sebanyak 40 orang (88,9%).

(38)

45

Lokasi kerja pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau

tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pekerja las berdasarkan lokasi kerja di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau.

Lokasi Kerja N %

Di dalam ruangan 9 20

Di luar ruangan 36 80

Jumlah 45 100

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk

pekerja las lebih banyak bekerja di luar ruangan sebanyak 36 orang (80%).

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1 Hubungan Usia dengan Gejala Photokeratitis

Hubungan antara usia dengan gejala photokeratitis pada pekerja las di PT.

Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.7 Analisis Uji Chi- Square usia pekerja las dengan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016.

Usia

Gejala photokeratitis

Jumlah Sig. (P) Ada keluhan Tidak ada

keluhan

N % N % N %

< 33 18 75 6 25 24 100

0,926

≥33 16 76,2 5 23,8 21 100

Jumlah 34 75,6 11 28,9 45 100

Berdasarkan hasil peneltian diketahui bahwa responden yang mengalami

(39)

sedangkan pada usia ≥33 tahun yang mengalami gejala photokeratitis sebanyak 16

orang (76,2%).

Pada hasil ujichi- squaremenunjukkan nilaip=0,926 dimana p> 0,05 artinya

tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan gejala photokeratitis pada

pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau tahun 2016.

4.3.2 Hubungan Lama Paparan dengan Gejala Photokeratitis

Hubungan antara lama paparan dengan gejala photokeratitis pada pekerja las

dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.8 Analisis Uji Chi- Square lama paparan pekerja las dengan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016. Ada keluhan Tidak ada

keluhan

N % N % N %

< 5 14 60,9 9 39,1 23 100

0,019

≥5 20 90,9 2 9,1 22 100

Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100

Berdasarkan hasil tabel uji diatas menunjukkan bahwa pada lama paparan < 5

jam terdapat 14 orang (60,9%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis

Sedangkan pada lama paparan ≥5 jam terdapat sebanyak 20 orang (90,9 %) pekerja

las yang mengalami gejala photokeratitis .Selain itu pada hasil uji statistikchi-square

menunjukkan nilai p= 0,019 dimana nilaip < 0,05 yang artinya terdapat hubungan

yang bermakna antara lama paparan dengan gejala photokeratitis pada pekerja las di

(40)

47

4.3.3 Hubungan Masa Kerja dengan Gejala Photokeratitis

Hubungan masa kerja dengan gejala photokeratitis pada pekerja las dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.9 Analisis Uji Fisher masa kerja pekerja las dengan gejala

photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016. Ada keluhan Tidak ada

keluhan

N % N % N %

< 2 25 75,8 8 24,2 33 100

0,621

≥2 9 75 3 25 12 100

Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa pada masa kerja < 2 tahun

terdapat 25 orang (75,8%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis dan

sedangkan pada masa kerja ≥2 tahun terdapat sebanyak 9 orang (75%) pekerja yang

mengalami gejala photokeratitis.

Selanjutnya pada hasil uji statistik fishermenunjukkan nilaip= 0,621 dimana

nilai p > 0,05 maka tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan

gejala photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau

tahun 2016.

4.3.4 Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan Gejala

Photokeratitis

Hubungan penggunaan APD dengan gejala photokeratitis dapat dilihat pada

(41)

Tabel 4.10 Analisis Uji Fisher penggunaan APD pekerja las dengan gejala

photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016.

APD

Gejala photokeratitis

Jumlah Sig. (P) Ada keluhan Tidak ada

keluhan

N % N % N %

Sesuai 29 72,5 11 27,5 40 100

0,228

Tidak sesuai

5 100 0 0 5 100

Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100

Berdasar hasil tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat 29 orang (72,5%)

pekerja las yang menggunakan APD yang sesuai yaitu welding shield (topeng las)

dan mengalami gejala photokeratitis Selain itu terdapat 5 orang (100 %) pekerja yang

menggunakan APD tidak sesuai yaitu kacamata gelap biasa dan mengalami gejala

photokeratitis.

Pada uji statistik Fisher didapatkan hasil p= 0, 228 dimana p > 0,05 maka

tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan gejala

photokeratitis pada pekerja las di PT.Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau tahun

2016.

4.3.5 Hubungan Lokasi Kerja dengan Gejala Photokeratitis

Hubungan lokasi kerja dengan gejala photokeratitis dapat dilihat di tabel

(42)

49

Tabel 4.11 Analisis Uji Fisher lokasi kerja pekerja las dengan gejala photokeratitis di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri Riau tahun 2016. Ada keluhan Tidak ada

keluhan

Jumlah 34 75,6 11 24,4 45 100

Berdasarkan hasil tabel uji diatas menunjukkan bahwa terdapat 1 orang

(11,1%) pekerja yang bekerja didalam ruangan yang mengalami gejala photokeratitis

Sedangkan pada pekerja yang bekerja diluar ruangan sebanyak 33 orang (91,7 %)

yang mengalami gejala photokeratitis.

Pada hasil uji statitistik fisher menunjukkan nilai p=0,0001 dimana nilai p <

0,05 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara lokasi kerja dengan gejala

(43)

Berdasarkan hasil peneltian diketahui bahwa responden yang mengalami

gejala photokeratitis pada usia < 33 tahun sebanyak sebanyak 18 orang (75,0%) dan

yang tidak mengalami gejala photokeratitis sebanyak 6 orang (25,0%). Sedangkan

pada usia ≥ 33 tahun yang mengalami gejala photokeratitis sebanyak 16 orang

(76,2%) dan yang tidak mengalami gejala photokeratitis sebanyak 5 orang (23,8%).

Pada hasil ujichi- squaremenunjukkan nilai p= 0,926 dimana p> 0,05 artinya tidak

ada hubungan yang bermakna antara usia dengan gejala photokeratitis.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyuni (2013),

dengan judul faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian konjugtivitis pada

pekerja pengelasan di kecamatan Cilacap, Cilacap Tengah tahun 2013 yang

menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian konjungtivitis pada

pekerja las dengan umur pekerja dengan nilai p= 0,225. Hal ini juga sejalan dengan

penellitian Sri Wahyuni (2012), yang menyatakan tidak ada hubungan antara usia

dengan gejala photokeratitis dengan nilaip= 0,073.

Maka hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Tenkate 1998, yang

menyatakan bahwa faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang bisa

memberikan efek buruk dari sinar radiasi UV terhadap manusia. Dimana menurut

(44)

51

Tidak adanya hubungan usia dengan gejala photokeratitis diasumsikan karena

reaksi sinar UV pada mata bereaksi bersifat akut sehingga bisa mengenai usia

manapun selama pekerja tersebut terpapar oleh radiasi pengelasan tersebut.

5.2 Hubungan Antara Lama Paparan dengan Gejala Photokeratitis

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lama paparan < 5 jam

terdapat 14 orang (60,9%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis dan 9

orang (39,1%) yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Sedangkan pada lama

paparan ≥ 5 jam terdapat sebanyak 20 orang (90,9 %) pekerja las yang mengalami

gejala photokeratitis dan 2 orang (9,1%) yang tidak mengalami gejala photokeratitis.

Selain itu pada hasil uji chi-square menunjukkan nilai p= 0,019 dimana nilai p <

0,05 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan

gejala photokeratitis.

Maka hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Susanto (2015) yang

menyatakan bahwa lama paparan termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi

terjadinya photokeratitis. Juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wahyuni

(2013) yang menyatakan dari perhitungan rasio prevalen menghasilkan nilai 2,667

dimana pekerja dengan lama paparan > 4 jam perhari memiliki resiko 2,667 lebih

besar dibandingkan pekerja≤4 jam untuk terkena konjungtivitas elektrik.

Lama pajanan juga menjadi salah satu faktor yang memperparah terjadinya

welders flash/flash burn, semakin lama pajanan terhadap radiasi UV semakin

memperparah terjadinya welders flash (Olifhifski, 1985). Lama paparan sinar

(45)

pekerja (Iyan Dharmawan, 1977). Semakin lama paparan maka efek yang diterima

semakin banyak maka kerusakan jaringan semakin berat (Daniel Vaughan, 1996).

Dimana pernyataan ini juga didukung penelitian yang dilakukan di Taiwan rata-rata

periode laten (awal paparan timbulnya rasa sakit) setelah paparan 389,1 menit pada

paparan proses pengelasan sekitar 5,8 jam (Yuang Lung, Yen, et.al 2004).

5.3 Hubungan Masa Kerja dengan Gejala Photokeratitis

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa masa kerja < 2 tahun terdapat 25

orang (75,8%) pekerja las yang mengalami gejala photokeratitis dan 8 orang (24,2%)

yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Sedangkan pada masa kerja ≥ 2 tahun

terdapat sebanyak 9 orang (75%) pekerja yang mengalami gejala photokeratitis dan 3

orang (25%) yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Selanjutnya pada hasil uji

fisher menunjukkan nilaip= 0,621 dimana nilai p > 0,05 maka tidak ada hubungan

yang bermakna antara masa kerja dengan gejala photokeratitis.

Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan Wahyuni (2012)

yang menyatakan bahwa masa kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kejadian konjungtivitas fotoelektrik dengan nilai p= 0,013. Begitu juga dengan hasil

penelitian Susanto (2015), dilakukan pada operator las di bengkel las kecamatan

Biringkanaya kota Makasar menunjunkkan terdapat hubungan yang signifikan atara

masa kerja dengan keluhan photokeratokonjungtivitis pada operator las. Masa kerja

<5 tahun yang mengalami keluhan photokeratokonjungtivitis lebih banyak

(46)

53

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gejala

photokeratitis diasumsikan karena pada distribusi pekerja juga hampir tidak ada

perbedaan, selain itu gejala photokeratitis ini merupakan gejala yang bereaksi secara

akut sehingga dapat muncul pada pekerja apabila pekerja sudah terpapar oleh radiasi

UV yang dihasilkan pada proses pengelasan.

5.4 Hubungan Penggunaan APD dengan Gejala Photokeratitis

Pada hasil penelitian menunjukkan terdapat sebanyak 29 orang (72,5%)

pekerja las yang menggunakan APD yang sesuai yaituwelding shield ( topeng las )

mengalami gejala photokeratitis dan 11 orang (27,5 %) yang tidak mengalami gejala

photokeratitis. Selain itu terdapat 5 orang (100 %) pekerja yang menggunakan APD

tidak sesuai yaitu kacamata gelap biasa yang mengalami gejala photokeratitis. Pada

uji Fisher didapatkan hasilp=0,228 dimana p> 0,05 maka tidak ada hubungan yang

bermakna antara penggunaan APD dengan gejala photokeratitis.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2012)

yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD

dengan keluhan subjektif photokeratitis. Begitu juga dengan hasil penelitian yang

dilakukan Susanto (2016) di bengkel las kecamatan Biringkanaya kota Makasar

menunjukkan nilai p=0,017 yang artinya terdapat hubungan antara penggunaan alat

pelindung diri dengan keluhan photokeratokonjungtivitis pada operator las. Begitu

juga dengan penelitian Yuan, et.al (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan

yang erat antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian

(47)

Penggunaan alat pelindung diri yang tepat dan sesuai sebenarnya akan

mengurangi intensitas radiasi yang akan diterima oleh mata pekerja sehingga

seharusnya pada pekerja yang telah menggunakan APD yang sesuai hanya kecil

kemungkinan untuk mengalami gejala photokeratitis. Dalam penelitian ini dari

perusahaan sendiri sudah memberikan APD yang sesuai standar dan lengkap yaitu

welding shield (topeng las), kaca mata gelap biasa, face shield (topeng las bening

untuk proses penggerindaan), apron, sarung tangan, helmet, sepatu. Alat pelindung

mata yang banyak digunakan oleh pekerja pada penelitian ini adalah welding shield

(topeng las).

Akan tetapi, pada hasil penelitian ini menunjukkan gejala photokeratitis

banyak juga dialami oleh pekerja yang menggunakan APD yang sesuai standar. Tidak

adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dan keluhan photokeratitis

hal ini dapat diasumsikan karena responden tidak menggunakan APD tersebut dengan

baik dan benar selama dilakukan pengelasan ataupun pada saat berada dilokasi

dilakukannya pengelasan. Pada saat melakukan pengelasan terkadang responden

menutup atau membuka kaca filter pada topeng las tersebut sehingga sinar UV tetap

dapat mengenai mata responden secara langsung.

Menurut penelitian yang dilakukan Angelina dan Oginawati (2009)

Penggunaan kaca mata pelindung (googles) akan mengurangi intensitas cahaya yang

masuk, namun belum diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap kesehatan mata

(48)

55

5.5 Hubungan Lokasi Kerja dengan Gejala Photokeratitis

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 orang (11,1%) pekerja

yang bekerja didalam ruangan mengalami gejala photokeratitis dan 8 orang (88,9%)

yang tidak mengalami gejala photokeratitis. Sedangkan pada pekerja yang bekerja

diluar ruangan sebanyak 33 orang (91,7 %) mengalami gejala photokeratitis dan 3

orang (8,3%) yang tidak mengalami gejala photokeratits. Pada hasil uji chi-square

menunjukkan nilai p=0,0001 dimana nilai p < 0,05 yang artinya terdapat hubungan

yang bermakna antra lokasi kerja dengan gejala photokeratitis .

Besarnya radiasi UV yang diterima oleh pekerja las yang bekerja diluar

ruangan disebabkan karena adanya tambahan pajanan radiasi UV secara langsung

dari matahari yang merupakan sumber sinar UV yang alami dan terbesar sehingga

sangat berpengaruh terhadap besarnya sinar radiasi UV yang memajan (Olishifski,

1985). Hal ini juga didukung dari hasil penelitian WHO (2003), pada pekerjaan

pengelasan sendiri memiliki potensi keterpajanan yang tinggi terhadap sinar matahari

terutama pada pekerja yang bekerja diluar ruangan.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2012),

yang menyatakan rata-rata pekerja las yang bekerja diluar ruangan mendapatkan

pajanan sinar radiasi UV lebih banyak dibandingkan pekerja yang bekerja di dalam

ruangan disebabkan oleh adanya tambahan UV alami dari sinar matahari. Sehingga

pekerja yang bekerja di luar ruangan lebih banyak mendapatkan gejala photokeratitis.

Didukung oleh hasil uji statistik bahwa ada hubungan yang signifikan antara lokasi

(49)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja las di PT.

Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau tahun 2016, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Distribusi pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau 2016 yang

mengalami gejala photokeratitis sebanyak 34 orang (75,6%) dan yang tidak

mengalami gejala photokeratitis sebanyak 11 orang (24,4%).

2. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan gejala

photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau

tahun 2016 dengan nilaip= 0,926 (p> 0,05).

3. Adanya hubungan yang signifikan antara lama paparan dengan gejala

photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau

tahun 2016 dengan nilaip= 0,019 (p <0,05).

4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gejala

photokeeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau

tahnu 2016 dengan nilaip= 0,621 (p>0,05).

5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan gejala

photokeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau

(50)

57

6. Adanya hubungan yang bermakna antara lokasi kerja dengan gejala

photokeeratitis pada pekerja las di PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Duri, Riau

tahnu 2016 dengan nilaip =0,0001 (p<0,05).

6.2 Saran

1. Kepada pekerja pada saat melakukan pengelasan sebaiknya pekerja tetap

konsisten dalam menggunakan alat pelindung mata yang telah disediakan oleh

perusahaan.

2. Kepada perusahaan sebaiknya dilakukan pemeriksaan kembali pada Alat

Pelindung Mata dan disesuaikan dengan kondisi mata pekerja yaituwelding

shield dan googles apakah masih layak sehingga dapat melindungi pekerja

dalam pelaksanaan pekerjaannya.

3. Kepada Peneliti selanjutnya dapat meneliti masalah yang sama dengan

menambahkan variabel intensitas radiasi. Serta dapat mencari besar resiko

(51)

Pengelasan (welding) diartikan sebagai salah satu teknik penyambungan

logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau

tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam tambahan dan menghasilkan sambungan

yang kontiniu (Sonawan, 2003). Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) dalam

Daryanto (2013), las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang

dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari definisi tersebut dapat dijabarkan

lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam

dengan menggunakan energi panas.

Temperatur busur las listrik sama tingginya dengan temperatur permukaan

matahari, kira-kira 5000-6000 C, sedangkan temperatur nyala api gas asetilin adalah

kira-kira 3100 C. Keduanya menimbulkan radiasi sinar yang berbahaya bagi mata (

Daryanto, 2013). Menurut Canadian Center For Occupational Health and Safety

(2008), pada proses pengelasan dapat mengeluarkan radiasi dengan panjang

gelombang antara 200-1400 nm. Ini termasuk radiasi ultraviolet (antara 200-400 nm),

sinar tampak (400-700 nm), dan inframerah (antara 700-1400 nm).

2.1.1 Jenis Pengelasan

Menurut Sriwidharto (1996), di Indonesia ada 2 jenis pengelasan yang sering

digunakan yaitu dengan mempergunakan busur nyala listrik (shielded metal arc

welding/SMAW), dan las karbit (oxy acetylene welding/OAW). Di beberapa kegiatan

(52)

9

menggunakan pengelasan jenis T.I.G (tungsten inert gas welding/SAW), M.I.G

(metal gas welding atau CO2 welding), las tahanan listrik ( electric resistance

welding/ ERW), las busur terbenam (submerged arc welding/SAW), dan

kemungkinan sinar laser untuk keperluan pengobatan.

a. Jenis las berdasarkan panas tenaga listrik

1. SMAW (Shielded Metal Arc Welding)

Las busur nyala listrik terlindung, adalah pegelasan dengan mempergunakan

busur nyala listrik sebagai sumber panas pencair logam. Untuk keselamatan kerja,

maka tegangan yang dipakai hanya 23-45 volt saja, sedang untuk pencairan

pengelasan dipakai arus listrik hingga 500 amper. Secara umum berkisar antara

80-200 Am. Untuk mencegah oksidasi ( reaksi dengan zat asam O2), bahan penambah

las (elektroda) dilindungi dengan selapis zat pelindung (flux atau slag) yang sewaktu

pengelasan ikut mencair.

2. SAW (Submerged Arc Welding)

Las busur terbenam adalah pengelasan dengan busur nyala listrik. Untuk

mencegah oksidasi cairan metal dan metal tambahan, dipergunakan butir-butir flux

atau slag, sehingga busur nyala terpendam dalam urungan dalam butir tersebut.

Karena panas busur nyala, butir-butir flux mencair dan melapisi cairan metal guna

menghindari oksidasi. Jenis pengelasan ini dilaksanakan secara otomatis atau

(53)

3. ERW (Electric Resistence Weld)

Las tahanan listrik. Dengan tahanan yang besar, panas yang dihasilkan oleh

aliran listrik menjadi sedemikian tingginya sehingga mencairkan logam yang akan

dilas. Contohnya adalah pada pembuatan pipa ERW, pengelasan plat-plat dinding

pesawat.

b. Jenis las berdasarkan panas dari kombinasi busur nyala listrik dan gas kekal

(inert)

1. GMAW (Gas Metal Arc Welding)

Pengelasan dengan gas. Nyala dihasilkan berasal dari busur nyala listrik, yang

dipakai sebagai pencair metal yang dilas dan metal penambah. Sebagai pelindung

oksidasi dipakai gas pelindung yang berupa gas kekal inert atau CO2.

2. GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)

Pengelasan dengan menggunakan busur nyala yang dihasilkan oleh elektroda

tetap terbuat dari tungsten. Sedangkan sebagai bahan penambah terbuat dari bahan

yang sama atau sejenis dengan bahan yang dilas dan terpisah dari pistol las (welding

gun). Jenis las ini baik untuk penyambungan bahan metal dan bahan-bahan campuran

yang tipis.

c. Las berdasarkan atas panas dari pembakaran campuran gas

1. OAW (Oxy Acetylene Welding)

Las karbit atau las autogen. Panas dapat dihasilkan dari pembakaran gas

(54)

11

zat asam yang disebut oxy hydrogen welding. Karena panas yang dihasilkan hanya

pas-pasan saja maka jenis las ini hanya baik untuk pengelasan plat-plat tipis. Mutu las

karbit umumnya kurang baik ditinjau dari segi kekuatannya mengingat banyaknya

bagian las yang teroksidasi karena dipakainya zat asam sebagai pemanasnya.

2.1.2 Bahaya Pengelasan

Menurut Wiryosumarto, dkk (1985) beberapa bahaya risiko paling utama dalam

pengelasan adalah:

1. Radiasi

Selama proses pengelasan akan timbul radiasi yang dapat membahayakan pekerja

las dan pekerja lain yang ada disekitar pengelasan. Radiasi tersebut bersumber dari

cahaya yang dapat dilihat atau cahaya tampak, sinar ultraviolet dan sinar infra merah.

2. Debu dan gas uap dari pengelasan

Debu asap dengan ukuran 0,5 µm atau lebih bila terhirup akan tertahan oleh bulu

hidung dan bulu pada saluran pernafasan, sedang debu asap yang lebih halus akan

terbawa masuk keparu-paru. Debu asap yang tinggal akan melekat pada kantong

udara di paru-paru dapat menimbulkan penyakit sesak nafas.Gas-gas berbahaya juga

dapat muncul dalam pengelasan seperti gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida

(55)

3. Bahaya listrik

Listrik merupakan suatu bahaya yang ada pada proses pengelasan. Banyak sekali

kecelakaan yang terjadi ditimbulkan oleh listrik dan akibatnya dapat sampai dengan

kematian pekerja.

2.1.3 Keselamatan dan Kesehatan dalam Pengelasan

2.1.3.1 Keselamatan dalam Pengelasan

Menurut Sriwidharto, (1996) untuk dapat terjaminnya keselamatan kerja las,

maka hal-hal ini yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan :

1. Persiapan

a. Dalam persiapan pengelasan bukan hanya tukang las yang harus menyiapkan

segala sesuatu tentang perlengkapan las tetapi yang lebih utama adalah persiapan

lingkungan kerja yang diusahakan oleh pihak pengawas kerja ataupun pengawas

instalasi, misalnya: meninjau apakah lokasi pengelasan layak untuk ditempati

oleh tukang las selama melaksanakan pekerjaan pengelasan misalnya, apakah

lokasi pengelasan panas sekali, bising sekali, letaknya cukup tinggi atau sangat

tinggi, basah/lembab/becek atau diatas permukaan air yang bergelora,

mengandung gas-gas yang mudah beracun, ditengah-tengah kerumnan/keramaian

masa, didalam ruangan tertutup yang sempit/pengap dan selainnya. Dari semua

kondisi tersebut tentukanlah langkah-langkah pengamanan yang dilakukan oleh

pihak pengawas seperti: penyedian baju tahan panas oleh pekerja pengelasan,

(56)

13

rambu-rambu peringatan, ventilasi dan blower pesuplai udara segar dan alat-alat

keselamatan kerja lain.

b. Peralatan yang akan dilas

Peralatan yang akan dilas harus dipersiapkan sedemikian rupa supaya layak

dilas artinya: peralatan telah dibebaskan dari tugas operasinya, telah dikosongkan dan

dibilas, diperiksa lebih dulu kandungan gasnya yang berbahaya, menyediakan sarana

ventilasi serta lampu penerangan 24 volt (jika pengelasan dilaksanakan dalam

ruangan). Melindungi daerah pengelasan dengan tabir air/kabut dan selubung

pengelasan jika (jika pelaksaan pengelasan diluar peralatan) dan jika pengelasan

mendapat izin oleh pihak instansi atau pengawas. Tanpa persiapan ini pekerja dapat

menolak melakukan pengelasan demi keselamatan dirinya sendiri, orang-orang

disekitarnya dan peralatan itu sendiri.

c. Peralatan pengelasan

1. Mesin las atau transformer las harus dalam keadaan baik dan dapat mensuplai

arus dan tegangan yang tidak selalu berubah dengan sendirinya, serta tidak

sebentar-bentar rusak.

2. Kabel las harus tidak boleh cacat yang menyebabkan kebocoran busur nyala

yang akibatnya dapat membahayakan bagi keselamatan instalasi dan personal.

3. Terminal-terminal kabel serta kutub-kutup harus dalam keadaan baik dan

(57)

4. Tangkai las dan kelam las harus dalam keadaan baik dan terpelihara. Tangkai

las yang terkelupas akan menjadi tak terpegang lagi karena isolasi panasnya

telah hilang dan suhu las yang sangat tinggi dapat merambat ke tangkai.

5. Rambu-rambu peringatan dan lembar/selubung pelindung busur nyala listrik

dipersiapkan sesuai kebutuhan dan keadaan lingkungan.

6. Alat pengatur arus yang portable(dapat dijinjing) dan harus menujukkan arus

yang sebenarnya.

d. Peralatan bantu

1. Botol-botol acetylene, propan, zat asam harus masih dalam masa berlakunya

pemeriksaan dan uji tekan yang terakhir oleh departemen tenaga kerja.

2. Katup pengurang tekanan (reducing valve) harus masih berfungsi dengan

baik.

3. Selang-selang gas dan zat asam tidak boleh cacat yang mengakibatkan

kebocoran gasacetylene/propan.

4. Brander-brander/obor potong harus dala keadaan baik dan terawat.

5. Gerinda las harus masih baik. Mata gerinda harus sesuai dengan pemakaian

serta dipasang pada mesin pemutar dengan putaran yang sesuai dengan

spesifikasi batu gerinda.

(58)

15

e. Peralatan keselamatan perorangan

1. Baju lengan panjang dan celana panjang yang terbuat dari katun. Bahan-bahan

seperti tetoron, dacron, nylon, danpolyesterlainnya tidak tepat untuk dipakai

pekerja panas, karena percikan las dapat membakar kain tersebut secara cepat.

2. Topi pet katun yang dapat diputar kebelakang untuk pemasangan topeng las.

3. Topeng las (pelindung mata dan muka) yang baik dan tepat guna. Untuk

pengelasan titik dapat dipakai topeng yang bertangkai, sedang untuk

pengelasan biasa dapat menggunakan topeng yang dilekatkan di kepala.Pada

topi las harus diperlengkapi dengan 2 macam kaca pelindung yang

masing-masing hitam dan bening. Pelindung mata yang bening dimaksudkan untuk

melindungi mata dan sekaligus melihat selagi pelakasana melakukan

penggerindaan, sedang yang hitam dimaksudkan untuk melindungi mata dari

radiasi panas busur nyala juga radiasi yang cukup intensif dari sinar-sinar

ultraviolet dan infra merah. Bahan dari kacamata las (goggles) dapat terbuat

dari plastik yang transparan dengan lensa yang dilapisi kobalt untuk

melindungi bahaya radiasi gelombang elektromagnetik non ionisasi dan

kesilauan atau lensa yang terbuat dari kaca yang dilapisi timah hitam untuk

melindungi dari radiasi gelombang elektromagnetik dan mengion.

4. Sarung tangan kulit (untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan).

5. Selongsong kaki (sleeve) yang terbuat dari kulit.

6. Sepatu las.

(59)

2. Pelaksanaan

Pelaksanaan pengelasan harus sesuai dengan prosedur pengelasan

(WPS/welding procedure specification) yang telah disetujui. Percikan api pengelasan

dapat membahayakan lingkungan sekitar lokasi pengelasan, maka sekitar lokasi harus

dilindungi dengan tabir air atau kabut serta lantai dibasahi untuk mematikan percikan

las yang berjatuhan dan masih membara.

Pengelasan tidak boleh dimulai sebelum ada lampu hijau dari pengawas

instalasi (dalam halnya pengelasan untuk perbaikan/pemeliharaan), mengingat

persiapan-persiapan pengamanan perlu dilakukan sebelum pengelasan. Persiapan

tersebut meliputi, kandungan gas (testening), purging atau pembilasan, pengucilan

(isolation) peralatan yang akan dilas dan lain-lain.

Jangan mengelas langsung pada permukaan yang berlapiskan cat, karena

disamping hasilnya buruk akibat cat tersebut juga berbahaya bagi pekerja akibat

terhirup gas yang berasal dari terbakarnya cat tersebut.

2.1.3.2 Kesehatan dalam Pengelasan

Yang terpenting harus dilindungi dalam pengelasan adalah keselamatan indera

penglihat/mata, alat pernafasan/paru-paru dan kulit. Pandangan langsung tanpa kaca

mata las dapat dilakukan pada jarak 15,24 m atau 50 kaki dari sumber busur nyala.

Walaupun memakai kaca mata las, namun jika nomornya tidak memadai maka

pekerja akan akan mengalami kepedihan yang hebat (seperti biji mata penuh dengan

(60)

17

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah alat pernafasan. Pengelasan

selain menghasilkan gas pelindung (shielding gas) yang berasal dari lapisan luar

elektroda (coating), juga gas-gas hydrogen, ozon dan lain-lain yang jika terhirup

dalam waktu panjang akan merusak kesehatan bahkan dapat meracuni darah. Jika

pelaksanaan las dilaksanakan diruang tertutup, maka guna melidungi pernafasan

pelaksana, pada ruangan tersebut disediakan lubang ventilasi dan diperlengkapi

dengan blower pensuplai udara segar dari luar (Sriwidharto, 1996).

Selanjutnya kulit muka, lengan dan kaki harus pula dilindungi dari panas

radiasi ultra ungu yang mengakibatkan kulit terbakar. Rasa kulit terbakar radiasi suhu

panas dan ultraviolet adalah pedih dan panas.

2.2 Sinar Ultraviolet

Sinar ultraviolet merupakan radiasi elektromagnetik yang terletak diantara sinar

tampak (Visible Light) dan x-ray. Spektrum sinar ultraviolet dibagi menjadi tiga

bagian yaitu bagian sinar terdekat sekitar 400-300 nm, bagian 300-200 nm, dan

bagian kosong 200-4 nm (Olishfski, 1985)

Radiasi sinar ultra ungu adalah radiasi elektromagnetis dengan panjang

gelombang 180-400 nm. Sebagai arus energi elektromagnetis dapat dinyatakan dalam

satuan mikrowatt/cm2. Pada mata sinar tersebut dapat mengakibatkan konjungtivitis

fotoelektrika. MenurutCanadian Centere for Occupational Heath & Safety, (2008)

sinar radiasi ultraviolet dibagi menjadi tiga jenis panjang gelombang yaitu :

1. Sinar ultraviolet-A

(61)

2. Sinar ultraviolet-B

Sinar ultraviolet-B mempunyai panjang gelombang 280-320 nm. Menurut

CCOH (Canadian Centere For Occupational Health & Safety) sinar yang

paling memberikan dampak nyata bagi pekerja adalah sinar UV-B. Menurut

Alatas Dkk,(2003) Energi sinar UV dengan panjang gelombang 280-315 nm

sebagian besar diserap kornea dan dapat mencapai lensa.

3. Sinar ultraviolet-C

Sinar ultraviolet-C mempunyai panjang gelombang 200-280 nm. Menurut

Alatas, dkk, (2003) energi ultraviolet-C dapat diserap seluruhnya oleh kornea

mata.

2.2.1 Efek dari Radiasi Ultraviolet pada Mata

Mata merupakan organ tubuh yang paling peka terhadap radiasi

elektromagnetik non ionisasi. Radiasi ultraviolet tidak dapat dideteksi oleh

reseptor-reseptor alat penglihatan manusia sehingga kelainan dan kerusakan sering terjadi

sebelum seseorang menyadari dirinya telah terpapar oleh radiasi tersebut.

Radiasi ultraviolet pada pekerjaan pengelasan dapat menyebabkan kerusakan

mata. Kerusakan mata paling umum terjadi akibat pemaparan bunga api pengelasan,

tetapi dapat juga terjadi melaui pemaparan langsung atau pantulan radiasi lampu

ultraviolet seperti yang digunakan di laboraturium sebagai germisida yang dapat

menyebabkan konjungtivis atau keratitis ( inflasi kornea).

(62)

19

mencapai lensa. Sedangkan energi UV-A (315- 400 nm) diserap dalam lensa secara

kuat, hanya sebagian kecil energi bisa (> 1%) yang dapat mencapai retina (Anies,

2009). Dalam studi terakhir ditunjukkan bahwa paparan radiasi UV dapat merusak

kornea mata lebih parah daripada perkiraan sebelumnya. Spesialis mata yang bekerja

di Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa lapisan endotel dalam kornea primate

juga mengalami kerusakan (khususnya oleh UV-B dalam panjang gelombang 300

nm) dan ini tidak seperti kerusakan epitel, permanen (Pitts et al., 1987).

Sinar ultraviolet dapat merusak epitel kornea, kerusakan ini akan segera baik

kembali setelah beberapa saat dan tidak akan memberikan gangguan yang menetap.

Efek fototoksik akut radiasi uv pada mata adalah photokeratitis (dikenal juga sebagai

welder flash atau snow blindness) yaitu reaksi peradangan akut pada kornea dan

konjungtiva mata. Ini merupakan kerusakan akibat reaksi fotokimia pada kornea

(photokeratitis) dan konjungtiva (fotokonjungtiva) yang muncul setelah pajanan

200-400 nm dan umumnya hanya berlansung antara 24-48 jam (Alatas, 2004).

Gejala photokeratitis berupa memerahnya bola mata yang disertai rasa sakit

yang parah, photopobia, mata terasa berpasir, dan air mata bertambah. Efek ini

bersifat sementara karena kerusakan yang terjadi sangat ringan (bagian

permukaannya saja) dan penggantian sel epitel permukaan kornea berlangsung

dengan cepat (satu siklus 48 jam) (Alatas, 2004). Keratitis terutama terdapat pada

fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu.

Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama

(63)

Keratitis dapat bersifat akibat efek kumulatif sinar ultraviolet sehinggga gambaran

keratitisnya akan menjadi berat (Ilyas, 1997).

Sedangkan pajanan kronik radiasi UV pada mata dapat menimbulkanpterygium

atau penebalan konjungtiva dan katarakogenesis atau proses pembentukan katarak.

Pterygium sebagai hasil dari pertumbuhan jaringan lemak diatas kornea. Pajanan

radiasi panjang gelombang 290-320 nm dapat menyebabkan katarak. Terdapat

hubungan yang jelas antara katarak dengan pajanan UV-B sepanjang hidup (Alatas

dkk, 2003).

2.2.2 Sumber sinar ultraviolet

Sumber sinar UV pada pekerjaan pengelasan berasal dari sinar UV alami dan

sumber sinar UV buatan. Sumber sinar UV alami yang memajan pekerja pengelasan

adalah sinar matahari sebagai sumber utama yang memancarkan sinar UV (Olishifski,

1985). Pada pekerjaan pengelasan sendiri memiliki potensi keterpajanan yang tinggi

terhadap sinar matahari terutama pada pekerja yang bekerja diluar ruangan (WHO,

2003).

Sedangkan sumber sinar ultraviolet buatan bersal dari peralatan pengelasannya

sendiri. Hal ini disebabkan karena peralatan pengelasan merupakan salah satu

peralatan kerja yang merupakan sumber sinar ultraviolet buatan dan dalam

pengoperasiannya terjadi pelelehan sehingga dari pelelehan tersebut akan timbul

percikan api/ bunga api yang memancarkan beberapa sinar antara lain sinar ultraviolet

(64)

21

2.2.3 Nilai Ambang Batas Radiasi Sinar Ultra Ungu (Sinar Ultraviolet)

Menurut keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia No. PER.13/MEN/X/2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan

Kimia di Tempat Kerja. Nilai ambang batas (NAB) untuk sinar ultraviolet ditetapkan

sebesar 0,0001 milliWatt per sentimeter persegi (Mw/cm2).

Table.2.1Nilai ambang batas radiasi sinar ultra ungu yang diperkenankan. Masa Paparan Per Jam Waktu paparan per hari

8 0,0001

(Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011)

Radiasi sinar UV dapat diukur dengan alat radiometer sinar UV yang dengan

intensitas sinar UV dapat dibaca secara langsung. Alat tersebut portabel, kisaran

panjang gelombang yang dapat diukurnya antara 180-400 nm, dan mampu mengukur

energi radiasi dari 0 sampai 19.990 mikroWatt/ dengan resolusi 0,1

(65)

2.3 Anatomi dan Fisiologi Kornea Mata

2.3.1 Anatomi Kornea Mata

Kornea (latin cornum= seperti tanduk) adalah selaput bening mata bagian

selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata

sebelah depan. Kornea merupakan 1/6 bagian pembungkus bola mata yang bening

dan berbentuk kaca arloji terletak didataran bola mata. Akibat kejernihan bola mata

maka dapat diteruskan atau dibiaskan kedalam bola mata. Kornea merupakan

komponen utama sistem optik mata dimana 70% pembiasan sinar dilakukan. Sinar

yang masuk kedalam bola mata dibiaskan oleh kornea untuk difokuskan padamacula

lutea. Turunnya tajam penglihatan depan terjadi akibat edema kornea, infiltrasi sel

radang kedalam kornea, vaskularisasi dan terbentukanya jaringan parut pada kornea

(Ilyas, 2003).

Tebal kornea pada bagian sentral 0,5 mm yang terdiri atas 5 lapis yaitu : epitel,

terdiri atas 5 lapis sel dengan 3 tipe sel, yaitu :

1. Sel epitel gepeng, sel epitel sayap, dan sel basal atau sel kuboid. Sel basal

melekat erat dengan membrane basal kornea. Sel basal dan membrane basal

epitel kornea memilki daya regenerasi.

2. Membran Bowman, yang merupakan bagian stroma kornea dan membentuk

membrane tipis yang homogeny. Membrane bowman tidak memiliki daya

(66)

23

3. Stroma, merupakan bagian kornea yang paling tebal atau 90% dari tebalnya

kornea. Stroma terdiri atas sel stroma atau keratosit dan serat kalogen yang

tersusun sangat teratur.

4. Stroma kornea tidak mempunyai daya regenerasi, bila terjadi kerusakan stroma,

maka akan membentuk jaringan parut yang keruh pada kornea .

5. Membran Descemet, lapisan elastik kornea yang bersifat transparan.

6. Endotel, terdiri atas atas satu lapis sel gepeng heksagonal.

Kornea tidak memiliki pembuluh darah, akan tetapi kaya akan serabut sensorik.

Saraf sensorik ini berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf

siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus

membrane Bowmanmelepaskanselubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi

sampai pada kedua terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi

dingin ditemukan didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan (Ilyas, 1997).

Kornea merupakan bagaian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata

disebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri

dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 1997).

2.3.2 Fisiologi Kornea Mata

Kornea berfungsi sebagai membrane pelindung dan jendela yang dilalui berkas

cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform,

avaskuler, dan degurtene atau keadaan dehidrasi relatif jaringan korena yang

dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel

Gambar

Gambar 1. Pekerja las yang sedang melakukan pengelasan di dalalam ruangan
Gambar 3. Alat pelindung mata yang di gunakan pekerja las
Gambar 4. Material yang akan di las
Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah Kota Bandar Lampung melalui Panitia Pengadaan Badan Usaha Dalam Rangka Perjanjian Kerjasama mengundang Badan Usaha (Investor) yang memiliki kemampuan

Agustus 2016, dengan ini Pokja ULPD Kepulauan Riau, Mengumumkan Pemenang Pelelangan Pemilihan Langsung dengan metode Pascakualifikasi Paket Pekerjaan Pengadaan

diungkapkan apa yang disebut sebagai kapasitas dari pengawasan. Kriteria kapasitas pengawasan ini pun dapat diterapkan pada modus pengawasan untuk menguji sejauh

Pada tahap selanjutnya dilakukan identifikasi masalah yang sangat menarik perhatian. Cara melakukan identifikasi masalah antara lain sebagai berikut. a) Menuliskan

Penetasan telur menjadi salah satu usaha yang cukup menguntungkan karena harga anak itik muda hasil penetasan (DOD) lebih mahal (antara Rp 3.000 hingga Rp 4.000 per ekor)

3) Izin yang bersifat mengurungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai sifat menguntungkan pada yang bersangkutan. Izin yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan

[r]

Umumnya anak dengan daya tahan terganggu akan menderita pneumonia berulang atau tidak dapat mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain itu daya tahan tubuh yang menurun