• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella Ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias Sp.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella Ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias Sp.)"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PATOGENESIS INFEKSI BUATAN

BAKTERI

Edwardsiella ictaluri

PADA

IKAN LELE (

Clarias

sp.)

ASEP DADANG KOSWARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias sp.) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Asep Dadang Koswara

(3)

ABSTRACT

ASEP DADANG KOSWARA. Pathogenesis Study of Edwardsiella ictaluri Experimental Infection in catfish (Clarias sp.). Under supervision of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.

Disease in cultured of catfish Clarias sp. known to be one of mortality factors resulted in low production and harvest failure. One of the potent diseases is Edwardsiella ictaluri infecting catfish Clarias sp.

Therapy by antibiotics often evokes resistance of the pathogenic bacteria and therefore it is necessary to carry out its alternative control. One of the procedures is by controlling its introduction and spread of E. ictaluri carried by fish or other media from one area to the others and its potential infection.

The aim of the study is to observe the pathological sequence and to recognize the organ target of E. ictaluri experimental infection incatfish (Clarias sp.). Fifty fishes inject intraperitoneally with LD50 dose of 1,3 x 104 cfu/ml E. ictaluri while 10 control fishes inject with 0.1 ml of PBS. The fishes are observed

for their swim behaviour and gross lesion up to 72 hours post infection (pi). Sample for histopathology and bacteria re-isolation are obtained at sequential time of 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48 and 72 hours pi.

The fishes infected with E. ictaluri demostrate the vertical swim behavior starting from 2 hours pi, and weak reaction of outer stimulation from 12 pi. Gross observation revealed swollen spleen and kidney from 4 hours pi, produced acute peritonitis (abdominal dropsy) since 12 hours pi. Ptechial hemorrhagic dermatitis detected from 24 hours pi while swollen pallor liver exposed from 36 hours pi. Histopathology examination revealed similar lesion of natural infection of E. ictaluri such ulcerative dermatitis, ophthalmitis, branchitis, encephalitis,

(4)

RINGKASAN

ASEP DADANG KOSWARA. Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias sp.). Di bawah bimbingan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.

Edwardsiella ictaluri merupakan penyebab penyakit Enteric Septicemia of Catfish (ESC) termasuk hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) golongan II

yang memerlukan kewaspadaan tinggi untuk dicegah masuk dan tersebarnya penyakit ini di wilayah Republik Indonesia. Bakteri ini menimbulkan hole in the head disease. Ikan lele (Clarias sp.) merupakan salah satu komoditas air tawar yang penting, dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Masalah yang sering dihadapi pada budidaya ikan lele adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh parasit dan bakteri. Ikan lele merupakan salah satu inang target infeksi E. ictaluri. Upaya pencegahan penyebaran penyakit ini dapat dilakukan dengan tindakan karantina melalui tindakan pemeriksaan penyakit ikan terhadap ikan lele yang dilalulintaskan. Sampai saat ini, perubahan patologi ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri isolat lokal secara detail belum diketahui,

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui tahapan perubahan jaringan ikan lele (Clarias sp.) secara makroskopis (Patologi Anatomi/PA) dan mikroskopis (HP) akibat infeksi buatan E. ictaluri, (2) untuk menentukan target organ ikan lele (Clarias sp.) yang terinfeksi E. ictaluri, sehingga akan memudahkan dalam diagnosa penyakit.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi dalam mengenali berbagai stadium perkembangan dari infeksi E. ictaluri pada ikan lele (Clarias sp.) melalui pengamatan patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) agar memudahkan pengawasan lalulintas ikan lele yang kemungkinan membawa / terinfeksi E. ictaluri, sehingga serangan bakteri tersebut dapat dicegah masuk dan tersebarnya di wilayah negara Republik Indonesia.

Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu uji pendahuluan (uji pengembalian virulensi dan uji LD50) dan uji utama. Uji utama dilakukan terhadap 50 ekor ikan yang disuntik secara intraperitoneal dengan dosis LD50 1,3

(5)

ml PBS. Pengamatan yang dilakukan meliputi : (a) gejala klinis, (b) patologi anatomi, (c) histopatologi, (d) pengujian E. ictaluri pada ikan sampel, (e) penghitungan jumlah koloni bakteri, dan (f) kualitas air. Sampel ikan untuk histopatologi dan reisolasi bakteri diambil pada jam ke-2, 4, 8, 12, 24, 36, 48 dan 72 pi.

Hasil penelitian memperlihatkan ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri mengalami perubahan gejala klinis yaitu berenang vertikal mulai jam ke-2 pi dan refleks terhadap rangsang melemah mulai jam ke-12 pi. Perubahan makroskopis (patologi anatomi) yang terjadi adalah ukuran limpa dan ginjal membesar serta berwarna lebih gelap mulai jam ke-4 pi. Pembesaran abdomen (peritonitis / dropsy) mulai jam ke-12 pi. Dermatitis hemoragik ptekhie mulai terjadi jam ke 24 pi, sementara warna hati pucat mulai jam ke-36 pi.

Adanya lesio mikroskopis (histopatologi) pada organ-organ ikan lele terlihat mulai jam ke-2 pi, yaitu pada jantung dan usus. Pada jantung ditemukan kongesti, hemoragi, epikarditis dan hiperleukositosis. Pada usus ditemukan hiperplasia sel goblet, hemoragi, edema, akumulasi sel radang dan proliferasi MMC. Lesio pada mata, hati, pankreas dan limpa mulai jam ke-4 pi. Pada mata ditemukan edema dan akumulasi sel radang. Pada hati ditemukan kongesti, hemoragi, degenerasi sel lemak, akumulasi sel radang dan nekrosa multifokal. Pada pankreas ditemukan atrofi sel asinar, nekrosa sel asinar, infiltrasi sel lemak, degenerasi dan nekrosa pulau Langerhans. Pada limpa ditemukan proliferasi makrofag, bakteri dalam makrofag, deplesi folikel dan nekrosa. Lesio pada ginjal mulai jam ke-8 pi, pada otak mulai jam ke-12 pi, pada kulit mulai jam ke-24 pi, dan pada insang mulai jam ke-48 pi. Pada ginjal ditemukan hialinisasi tubuli, infiltrasi makrofag, bakteri dalam makrofag, penebalan kapsul Bowman dan nekrosa. Pada otak ditemukan kongesti, hemoragi, gliosis, nekrosa neuron, neuronofagia dan perivaskular cuffing. Pada kulit ditemukan edema, erosi sel epidermis dan akumulasi sel radang. Pada insang ditemukan akumulasi sel radang.

(6)

Hasil penghitungan jumlah koloni E. ictaluri tertinggi pada jam ke-24 pi yaitu 7 x108 cfu/ml. Hal ini menunjukkan, pada jam ke-24 pi derajat septisemia pada limpa ikan lele adalah yang paling tinggi. Selanjutnya jumlah koloni menurun karena berangsur-angsur sel-sel pada limpa mengalami kerusakan atau nekrosa.

Hasil pemeriksaan kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran layak untuk budidaya ikan lele, baik untuk parameter suhu, DO, pH, NO2, maupun NO3.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) perubahan gejala klinis, patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) yang dimulai pada jam ke-2 pi dari organ-organ kulit, insang, otak, hati, pankreas, limpa dan ginjal ikan lele yang diinfeksi buatan E. ictaluri sesuai dengan perubahan channel catfish yang terinfeksi alami E. ictaluri. Lesio yang sesuai yaitu peritonitis, dermatitis ulseratif, ophthalmitis,

brankhitis, ensefalitis, sel asinar pankreas atrofi, hepatitis nekrosa multifokus, splenitis dan nephritis. Lesio yang tidak sesuai ditemukan pada jantung yaitu epikarditis dan hiperleukositosis, pada usus yaitu enteritis kataralis, dan belum menimbulkan hole in the head, (2) lesio khas infeksi E. ictaluri pertama kali dideteksi mulai jam ke-4 pi, berturut-turut pada jaringan limpa, hati dan ginjal, (3) dari organ limpa, ginjal dan hati ikan lele, koloni E. ictaluri mulai ditemukan pada jam 2 pi hingga dengan jam ke-72 pi dengan menggunakan uji biokimia. Pada pengamatan Histopatologi (HP), E. ictaluri mulai ditemukan pada jam ke-36 pi hingga jam ke 72 pi pada jaringan ginjal dan jam ke-8 pi hingga jam ke-72 pi pada jaringan limpa, sedangkan pada jaringan hati tidak ditemukan E. ictaluri, dan (4) ikan lele yang dilalulintaskan yang mempunyai gejala klinis dan patologi anatomi mengarah ke infeksi E. ictaluri seperti gerak renang vertikal, dropsy dan ptekhie hemoragik, pemeriksaan dilanjutkan ke laboratorium bakteri.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

(8)

KAJIAN PATOGENESIS INFEKSI BUATAN

BAKTERI

Edwardsiella ictaluri

PADA

IKAN LELE (

Clarias

sp.)

ASEP DADANG KOSWARA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri

Edwardsiella ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias sp.) Nama : Asep Dadang Koswara

NIM : B053040071

Disetujui, Komisi Pembimbing

drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

drh. Bambang Pontjo P., MS, PhD Prof.Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri pada Ikan Lele (Clarias sp.)

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi atas waktu, saran, kesempatan, dan bimbingan selama penyusunan tesis ini. Juga ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, PhD selaku Ketua Program Studi Sains Veteriner, Kepala Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta yang telah mengijinkan untuk tempat penelitian, Prof. drh. Kurniasih dan drh. Surya Amanu, MS yang telah membantu penyediaan isolat bakteri.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung tanggal 12 Januari 1965 dari ayah Entang Suriadinata (alm) dan ibu Odjoh. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara.

(12)
(13)

Halaman

Uji Utama ... 16

Pengamatan Gejala Klinis Ikan Uji ………..………. 16

Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis …….…….. 16

Pengembalian Virulensi E. ictaluri ... 20

Hasil LD50 ... 22

Uji Utama ... 24

Gejala Klinis ……….. 24

Pemeriksaan Makroskopis (Patologi Anatomi) ………. 26

Pemeriksaan Mikroskopis (Histopatologi) ……… 28

Pengujian E. ictaluri Pada Ikan Sampel …... 63 Penghitungan Jumlah Koloni E. ictaluri dari Limpa ….…… 63

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Morfologi dan uji biokimia E. ictaluri dari isolat awal (asal UGM)

dan uji pengembalian virulensi bakteri (BUSKI) ... 21 2 Jumlah kematian ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri pada uji LD50 23 3 Perhitungan LD50 ikan lele yang diinfeksi E. Ictaluri ... 23 4 Hasil Pengamatan gejala klinis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri

selama 72 jam infeksi ... 24 5 Jumlah kematian ikan dari 50 ekor ikan lele yang diinfeksi E.

ictaluri 1,3 x 104 cfu/ml. ... 25 6 Pengamatan makroskopis ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri

pada dosis 1,3 x 104 cfu/ml ... 26 7 Jumlah koloni bakteri pada limpa ikan lele yang diinfeksi E.

ictaluri ………..

64

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 E. ictaluri dengan pewarnaan Gram ... 5 2 Ptekhie hemoragik pada permukaan tubuh channel catfish

(Ictalurus punctatus) yang terinfeksi E. ictaluri ... 7 3 Hati channel catfish yang terinfeksi E. ictaluri ... 8 4 Channel catfish dengan lesio hole in the head ……….. 9 5 Denah alur penelitian kajian patogenesis infeksi E. ictaluri pada

ikan lele (Clarias sp.) ... 19 6 Koloni E. ictaluri yang tumbuh di media TSA ... 22 7 Gerak renang vertikal yang teramati pada ikan lele yang

diinfeksikan E. ictaluri

...

25 8 Perubahan makroskopis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri ... 28

9 Jaringan mata ikan lele yang normal

….………...

29 10 Edema ditemukan di belakang jaringan mata ikan lele

...

30 11 Akumulasi sel radang ditemukan di belakang bola mata ikan lele . 31 12 Jaringan kulit dan otot ikan lele yang normal ………. 32 13 Edema radang di bawah epidermis dan otot pada jaringan kulit

dan otot ikan lele ………... 33 14 Erosi sel epidermis dan infiltrasi sel radang ringan pada bagian

dermis kulit ikan lele ... 34 15 Akumulasi sel radang pada subkutan kulit ikan lele dan dermatitis

ulseratif

...

34 16 Jaringan insang ikan lele yang normal ... 35 17 Akumulasi sel radang pada lamella sekunder jaringan insang ikan

lele ... 36 18 Jaringan otak ikan lele yang normal ... 37 19 Ensefalitis pada jaringan otak ikan lele ... 37 20 Nekrosa neuron, gliosis dan aktivitas neuronofagia pada jaringan

otak ... 38 21 Nekrosa neuron, gliosis, aktivitas neuronofagia dan infiltrasi

monosit pada jaringan otak ... 39 22 Area dengan nekrosa neuron tipe iskemia pada jaringan otak.ikan . 40 23 Perivaskular cuffing dan difus gliosis pada jaringan otak ikan lele . 40 24 Jaringan miokardium ikan lele yang normal ... 42 25 Epikarditis dan kongesti pada jaringan jantung ikan lele ... 43 26 Hemoragi pada otot jantung dan epikarditis pada jaringan jantung

(16)

sentra melano-makrofag serta infiltrasi limfosit ... 47

31 Edema dan sel radang pada jaringan usus ikan lele ... 47

Halaman 32 Jaringan hati ikan lele yang normal ... 48

33 Kongesti dan dilatasi sinusoid hati pada ikan lele ... 49

34 Hemoragi pada jaringan hati ikan lele ... 49

35 Degenerasi lemak pada jaringan hati ikan lele ... 50 36 Nekrosis multifokal pada jaringan hati ikan lele disertai infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag ... 51

37 Jaringan pankreas ikan lele yang normal ... 52

38 Sel asinar inaktif pada jaringan pankreas ikan lele ... 52

39 Daerah nekrosa sel asinar pankreas ikan lele ... 53

40 Degenerasi dan nekrosa dari sel-sel pada pulau Langerhans jaringan pankreas ikan lele ... 54

41 Infiltrasi sel lemak pada jaringan pankreas ikan lele ... 55

42 Jaringan limpa ikan lele yang normal ... 56

43 Bakteri dalam makrofag pada jaringan limpa ikan lele ... 56

44 Morfologi bakteri yang di fagosit makrofag pada jaringan limpa ikan lele ... 57

45 Deplesi dan nekrosa folikel limfoid pada jaringan limpa ikan lele ... 58

46 Daerah nekrosa di jaringan folikel limfoid limpa ikan lele ... 58

47 Jaringan ginjal ikan lele yang normal ... 59

48 Proliferasi makrofag pada jaringan interrenal dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hyalin pada jaringan ginjal ikan lele ... 60

49 Bakteri dalam makrofag pada jaringan interrenal ginjal ikan lele .. 60

50 Penebalan kapsula Bowman dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hialin pada jaringan ginjal ikan lele ... 61

51 Morfologi E. ictaluri ... 62

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur Pembuatan Preparat Histopatologi (HP) ... 70 2 Pengamatan Histopatologi (HP) pada setiap jam pengamatan dan

setiap organ ikan lele ………...

72 3 Hasil pengujian morfologi dan biokimia (gula-gula) E. ictaluri

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Edwardsiella ictaluri yang merupakan penyebab penyakit Enteric

Septicemia of Catfish (ESC) termasuk hama dan penyakit ikan karantina (HPIK)

golongan II yang memerlukan kewaspadaan tinggi untuk dicegah masuk dan

tersebarnya penyakit ini di wilayah Republik Indonesia, karena penyakit bakteri

ini membahayakan dalam waktu relatif cepat dapat mewabah dan merugikan sosio

ekonomi (Anonim 2006). Di Indonesia dilaporkan, E. ictaluri pertama kali

ditemukan telah menginfeksi ikan patin Siam (Pangasius hypophthalmus) di

Provinsi Jambi pada bulan Januari 2002 (Panigoro et al. 2005). Supriyadi et al.

(2005) juga menemukan adanya E. ictaluri yang telah menginfeksi ikan patin

yang dibudidayakan di Provinsi Jambi, dan ikan lele di daerah Blitar, Jawa Timur.

Terakhir bakteri ini ditemukan telah menginfeksi ikan bawal di daerah

Yogyakarta (Amanu, komunikasi pribadi 2007).

Penyakit ESC pertama kali dikenal pada tahun 1976 menyebabkan

kematian pada benih channel catfish (Ictalurus punctatus) di Alabama dan

Georgia, USA. Bakteri penyebab penyakit ini diidentifikasi sebagai spesies baru,

E. ictaluri, baru dilaporkan pada tahun 1981. Di daerah Mississippi, penyakit

ESC ini dilaporkan telah menyebabkan kematian sampai 47 % dari total produksi

setahun ikan channel catfish dan mengakibatkan kerugian ekonomi dalam jutaan

dolar (Hawke et al. 1998) dan pada tahun 1988 telah terjadi 2.456 kasus di

Mississippi (Durborow et al. 1991).

E. ictaluri juga dilaporkan telah menginfeksi walking catfish (Clarias

batrachus) yang dibudidayakan di Thailand pada tahun 1987. Sedangkan di

Vietnam, E. ictaluri juga telah menginfeksi ikan patin Siam (Pangasius

hypophthalmus) yang dipelihara di kolam-kolam pada tahun 1992 (Panigoro et al.

2005).

E. ictaluri umumnya menyerang golongan catfish dan dikenal dengan

penyakit Hole in the Head Disease. Gejala eksternal dari serangan bakteri ini

adalah luka-luka pada bagian permukaan kulit berukuran 3-5 mm, berkembang

(19)

akhir dari manifestasi penyakit ini adalah luka di bagian kepala. Luka menyebar

hingga tulang kranium dan menyebabkan rongga otak terbuka. Berbeda dengan

E. tarda, pada serangan E. ictaluri tidak menghasilkan gas H2S sehingga tidak

menimbulkan bau busuk pada ikan yang terinfeksi (Hawke et al. 1981; Inglis et

al. 1993)

Selain menginfeksi channel catfish, E. ictaluri juga dapat menginfeksi

blue catfish (Ictalurus furcatus), white catfish (I. melas), walking catfish (Clarias

batrachus), European catfish (Silurus glanis), Chinook salmon (Oncorhynchus

tshawytscha) dan rainbow trout (O. mykiss) (Inglis et al. 1993; Noga 2000). E.

ictaluri juga telah dapat diisolasi dari ikan-ikan hias sakit seperti ikan danio,

green knife fish dan rosy barb (Hawke et al. 1998; Noga 2000). Bakteri ini juga

berpotensi sebagai patogen pada ikan salmonid (Baxa et al. 1990)

Ikan lele (Clarias sp.) merupakan salah satu komoditas air tawar yang

penting, dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Ikan

lele banyak dibudidayakan secara intensif di Indonesia dan harganya terjangkau

oleh lapisan masyakarat bawah (Khairuman dan Amri 2005). Produksi budidaya

ikan lele setiap tahunnya mengalami peningkatan, pada tahun 2002 produksinya

sebesar 39.193 ton (Anonim 2004). Masalah yang sering dihadapi pada budidaya

ikan lele adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh parasit dan bakteri. Ikan

lele merupakan salah satu inang target infeksi E. ictaluri (Anonim 2006).

Upaya pencegahan penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan tindakan

karantina melalui tindakan pemeriksaan penyakit ikan terhadap ikan lele yang

dilalulintaskan. Sampai saat ini, perubahan patologi ikan lele yang terinfeksi E.

ictaluri isolat lokal secara detail belum diketahui, sehingga perlu dilakukan

penelitian untuk mengetahui tahapan perubahan patologi (makroskopis dan

mikroskopis) ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tahapan perubahan jaringan ikan lele (Clarias sp.) secara

makroskopis (Patologi Anatomi/PA) dan mikroskopis (Histopatologi/HP)

(20)

2. Untuk menentukan target organ ikan lele (Clarias sp.) yang terinfeksi E.

ictaluri, sehingga akan memudahkan dalam diagnosa penyakit.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi

dalam mengenali berbagai stadium perkembangan dari infeksi E. ictaluri pada

ikan lele (Clarias sp.) melalui pengamatan patologi anatomi (PA) dan

histopatologi (HP) agar memudahkan pengawasan lalulintas ikan lele yang

kemungkinan membawa / terinfeksi E. ictaluri, sehingga serangan bakteri

tersebut dapat dicegah masuk dan tersebarnya di wilayah negara Republik

Indonesia.

Hipotesis

Hipotesis yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah tanda-tanda

klinis maupun patologis pada ikan lele (Clarias sp.) yang diinfeksi secara buatan

dengan E. ictaluri mempunyai karakteristik yang sama dengan channel catfish

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Enteric Septicemia of Catfish (ESC)

Penyakit Enteric Septicemia of Catfish (ESC) pertama kali dikenal pada

tahun 1976 menyebabkan kematian pada benih channel catfish (Ictalurus

punctatus) di Alabama dan Georgia, USA (Hawke et al. 1998). Penyakit ESC

pertama kali diinformasikan pada tahun 1979 (Hawke et al. 1981; Hawke et al.

1998). Penyakit ESC disebabkan oleh infeksi E. ictaluri umumnya menyerang

jenis-jenis ikan lele terutama channel catfish (I. punctatus) (Hawke et al. 1998;

Inglis et al. 1993).

E. ictaluri menimbulkan penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi

cukup besar pada industri budidaya lele. Di daerah Mississippi, penyakit ESC ini

dilaporkan telah menyebabkan kematian sampai 47 % dari total produksi setahun

ikan channel catfish dan mengakibatkan kerugian ekonomi dalam jutaan dolar

(Hawke et al. 1998). Semua isolat E. ictaluri yang berasal dari ikan channel

catfish delta Mississippi mempunyai profil plasmid yang sama (homolog),

sehingga bisa digunakan sebagai probe asam nukleat untuk menentukan

keberadaan bakteri pada ikan (Reid and Boyle 1989).

E. ictaluri ini juga berhasil diisolasi dari ikan hias air tawar termasuk

kelompok ikan Barbus. E. ictaluri secara eksperimental pernah diinfeksikan

pada ikan Rainbow Trout, Salmon, dan beberapa jenis ikan Tilapia, tetapi secara

alami belum pernah dilaporkan terjadi wabah penyakit ESC pada ketiga jenis ikan

tersebut (Hawke et al. 1998).

Etiologi

Bakteri penyebab penyakit ESC diidentifikasi sebagai spesies baru, E.

ictaluri, dilaporkan pada tahun 1981 (Hawke et al. 1981; Hawke et al. 1998).

Dua dari tiga spesies yang termasuk genus Edwardsiella berkaitan dengan proses

infeksi pada manusia dan hewan. E. ictaluri merupakan agen penyebab enteric

septicemia pada channel catfish, sementara E. tarda merupakan patogen pada

hewan (ikan) dan manusia (Wong et al. 1989). Identifikasi E. ictaluri didasarkan

(22)

mudah dapat dibedakan dari E. tarda dari ketidakmampuannya untuk

memproduksi indol dan H2S (E. tarda mampu memproduksi keduanya).

Kedua spesies tersebut tidak saling bereaksi silang secara serologis (Shotts and

Plumb 1987).

Sistematika bakteri E. ictaluri menurut Holt et al. (1994) adalah sebagai

berikut : Famili : Enterobacteriaceae Genus : Edwardsiella

Spesies : Edwardsiella ictaluri

E. ictaluri adalah bakteri fakultatif anaerob, batang Gram negatif (Gambar

1) termasuk famili Enterobacteriaceae (Holt et al. 1994). Karakteristik biokimia

E. ictaluri pertama kali digambarkan oleh Hawke et al. (1981), dan dipelajari

lebih lanjut oleh Waltman et al. (1986) dengan menguji 119 isolat E. ictaluri, dan

ditemukan 100% positif dalam pengujian metil red, nitrat reduktase, lisin

dekarbosilase, ornithin dekarbosilase dan katalase. Selain itu, hasil pengujian

menyatakan 100% negatif dalam pengujian sitrat, malonat, Voges-Proskauer, phenylalanin, indol, arginin dihidrolase, sitokrom oksidase, β - galactosidase dan hydrolyzing urea.

(23)

Karakteristik dari E. ictaluri adalah bergerak dengan flagella, tidak

berspora dan tidak berkapsul, batang, pleomorfik, Gram -, berukuran 0,75 – 2,5

µm, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna, suhu optimum 28-30oC,

oksidase -, katalase +, H2S -, Indol - (dari tryptophan), fermentatif, 0/129 resistan,

lysin dekarboksilase +, arginin dihidrolase , ornithin +, Gelatin , Urea , Citrate

-, VP --, Glukosa +-, Inositol --, Sorbitol --, Rhamnose --, Mannitol --, Arabinose --,

Sukrose -, fakultatif anaerob (Austin and Austin 1987; Crumlish et al. 2002;

Anonim 2006a; Holt et al. 1994).

Masa inkubasi E. ictaluri adalah 36 - 48 jam, tampak sebagai koloni

nonpigmen yang halus, bundar (diameter 1-2 mm), cembung ramping sampai

keseluruhan tepi. Bakteri ini tumbuh lambat atau tidak sama sekali pada suhu

37oC (Anonim 2006a). Media yang lengkap untuk pertumbuhan E. ictaluri terdiri

dari 46 komponen, termasuk di dalamnya larutan garam basal, glukosa,

magnesium sulfat, iron sulfate, 6 trace metal, 4 nukleotida, 10 vitamin, dan 19

asam amino. Pertumbuhan optimal pada suhu 30oC dan pH 7,0 (Collins and

Ronald 1996)

E. ictaluri termasuk famili Enterobacteriaceae dengan karakterisik Gram

negatif, batang, sitokrom oksidase negatif, bergerak kuat pada suhu 25-30oC dan

tidak bergerak pada suhu tinggi. Bakteri ini dapat memfermentasi dan

mengoksidase glukosa dengan memproduksi gas pada suhu 20-30oC. Terdapat

satu dari tiga plasmid yang berhubungan dengan E. ictaluri, fungsi plasmid ini

belum jelas tetapi penting dalam peningkatan resistensi antibiotika. Bakteri ini

akan tumbuh lambat di dalam kultur media, memerlukan 36 – 48 jam untuk

membentuk koloni pada BHI agar dengan suhu 28-30oC dan akan tumbuh lambat

atau bahkan tidak sama sekali pada suhu 37oC (Inglis et al. 1993).

Gejala Klinis

Ikan yang terinfeksi E. ictaluri seringkali terlihat berenang berputar-putar,

kepala ikan tersebut mengejar ekornya. Keadaan tingkah laku berputar (whirling

/kepala mengejar ekor) tersebut merupakan tanda adanya E. ictaluri pada otak

ikan. Ikan yang terinfeksi akan berenang menggantung dengan kepala di atas dan

(24)

Gejala klinis dari serangan bakteri ini adalah adanya ptekhie hemoragik

(Gambar 2) atau peradangan pada kulit di bawah mulut, operkulum (tutup insang)

dan perut ikan. Lesio seringkali menjadi banyak pada kulit ikan dan berwarna

merah terang. Peradangan dan hemoragik juga terjadi pada dasar sirip, luka-luka

fokal merah pada bagian kutan berukuran kecil berdiameter 1-3 mm, luka tersebut

berada di posteriolateral badan. Pada ikan yang terinfeksi kronis, lesio terbuka

akan berkembang diantara tulang tengkorak bagian depan, belakang atau diantara

mata. Ikan ini juga mengalami eksoptalmia, insang pucat dan pembesaran

abdomen (Inglis et al. 1993).

Gambar 2. Ptekhie hemoragik (tanda panah) pada permukaan tubuh channel catfish (Ictalurus punctatus) yang terinfeksi E. ictaluri (Sumber : Inglis et al. 1993)

Perubahan makroskopis PA akibat penyakit ESC ini diantaranya adalah

adanya timbunan cairan atau perdarahan pada rongga tubuh (Hawke et al. 1998;

Inglis et al. 1993). Hati terlihat berwarna pucat pada jaringan yang nekrosis atau

nampak burik berwarna merah dan putih (Gambar 3). Ptekhie hemoragik dapat

dijumpai pada jaringan otot, usus, dan lemak pada ikan. Usus terkadang berisi

cairan yang mengandung darah (Hawke et al. 1998). Ginjal dan limpa membesar,

(25)

peritoneum dan usus (Inglis et al. 1993).

Gambar 3. Hati channel catfish yang terinfeksi E. ictaluri nampak warna belang putih (tanda kepala anak panah) (Sumber : Hawke et al. 1998).

Patogenesis

E. ictaluri dapat menginfeksi inangnya melalui hidung, saluran

gastrointestinal dan insang, kemudian akan menyebar ke organ tubuh melalui

bakteriemia akut. Sel bakteri akan difagositosis lebih efisien jika terdapat serum

antibodi anti-E. ictaluri (Nusbaum and Morrison 2002). Masuknya E. ictaluri ke

dalam channel catfish terjadi melalui jaringan epitel, termasuk saluran

gastrointestinal dan mukosa olfaktorius (Skirpstunas and Baldwin 2002).

Dua bentuk gejala klinis ESC pada channel catfish adalah ensefalitis

kronis dan septicemia akut (Anonim 2006a). Pada bentuk kronis, bakteri tersebut

setelah menginfeksi kantung olfaktorius akan menyebar sepanjang syaraf

olfaktorius menuju otak, menyebabkan peradangan granulomatosa.

Meningoencephalitis ini menyebabkan tingkah laku ikan abnormal, berenang

lemah dan tidak beraturan. Pada tahap akhir penyakit ini, pembengkakan pada

dorsum kepala akibat proses peradangan mengikis jaringan ikat pada bagian ini.

Luka di kulit yang menembus tulang kranium menyebabkan terbentuknya lubang

pada tulang kranium sehingga penyakit ini disebut hole in the head disease

(26)

Pada bentuk akut, bakteri ini diduga menginfeksi melalui mukosa usus dan

menyebabkan bakteremia. Ikan yang terinfeksi memperlihatkan ptekhie

hemoragik pada sekitar mulut, kerongkongan dan bagian dasar dari sirip.

Tanda-tanda umum adalah luka multifokal berdiameter 2 mm, lesio-lesio kutan

hemoragik berkembang menjadi luka tidak berpigmen, pucat, peradangan insang

tingkat sedang dan eksoptalmia. Hemoragik dan nekrosis fokal tersebar pada hati

dan semua organ internal lainnya. Enteritis hemoragik, edema sistemik,

akumulasi cairan asites pada rongga tubuh, dan pembesaran limpa adalah

tanda-tanda non-spesifik (Anonim 2006a).

Gambar 4. Channel catfish dengan lesio hole in the head yang disebabkan oleh erosi pada tengkorak (tanda panah) (Sumber : Noga 2000).

Pada bentuk akut ini, kematian ikan terlihat pada hari 4 – 12 hari (Keskin

et al. 2004). Organ channel catfish yang terinfeksi berat E. ictaluri adalah ginjal

dan limpa yang mengalami nekrosis, hati mengalami edema dan nekrosis.

Karakteristik darah yang terinfeksi E. ictaluri adalah berkurangnya konsentrasi

hematokrit, hemoglobin, glukosa plasma dan protein plasma. Jaringan insang

interlamella mengalami proliferasi, kulit epidermis hilang, infiltrasi mononuklear

(27)

miositis selama 2 (dua) minggu sejak infeksi. Ikan lele menunjukkan lesio

gastrointestinal, termasuk ptekhie atau ekimosa pada mukosa saluran

gastrointestinal dan distensi intestinal yang berhubungan dengan produksi gas.

Sel E. ictaluri dapat dijumpai dalam makrofag (Inglis et al. 1993 ; Noga 2000).

Enteritis, hepatitis, miositis dan nefritis interstitialis mulai timbul sebagai lesio

akut yang kemudian akan berkembang menjadi kronis aktif dan akhirnya menjadi

kronis (Noga 2000).

Epizootologi

E. ictaluri dapat bertahan hidup pada kolam berlumpur selama lebih dari

90 hari pada suhu 25oC. Bakteri ini mungkin bersifat karier dalam usus ikan

terinfeksi. E. ictaluri dapat dideteksi dengan fluorescent antibody dalam usus

burung pemakan ikan. Penyakit ESC merupakan penyakit musiman, terutama

terjadi pada akhir musin semi sampai awal musim panas dan mulai pada musim

gugur. Pola ini sesuai dengan suhu udara 20 – 27oC. Penyakit ini telah dapat

dideteksi setiap bulan. Pada penelitian channel catfish yang terinfeksi terjadi

mortalitas tertinggi pada suhu 25oC, terendah pada suhu 23oC dan 28oC, dan tidak

ada kematian pada suhu 17oC, 21oCatau 32oC (Inglis et al. 1993).

Penyakit ESC terjadi antara suhu 22 – 28 oC dengan puncak wabah terjadi

pada bulan Mei, Juni, September dan Oktober, dan menyebabkan kematian ikan

500 – 2.000 ekor per hari pada kolam yang berisi 80.000 – 1.000.000 ikan

(Francis-Floyd et al. 1987). Setelah beberapa tahun awal penemuan penyakit

ESC, telah dideteksi beberapa kasus penyakit. Dimulai awal tahun 1980, jumlah

isolat E. ictaluri mulai banyak ditemui. Sebagai contoh, pada tahun 1981 telah

dilaporkan terjadi 47 kasus di Southeastern USA, dan tahun 1985 terdapat 1042

kasus dimana 28 % di Southeastern USA. Tingkat mortalitas populasi ikan

terinfeksi E. ictaluri bervariasi kurang dari 10 % sampai dengan lebih dari 50 %,

mulai dari benih sampai ukuran dewasa yang dipelihara di kolam air tergenang,

(28)

Pengendalian

Penyakit ESC dapat dikontrol melalui kemoterapi dan/atau tindakan

profilaktik. Perawatan anti mikrobial yang paling sering digunakan adalah aplikasi

oral dengan potentiated sulfonamide sulfadimethoxine ormethoprim atau

oksitetrasiklin, tetapi plasmid-mediated akan melawan antibiotik ini. Manajemen

untuk mengurangi stress pada ikan, penghentian makanan pada saat penyebaran

penyakit ESC terdeteksi dan vaksinasi merupakan cara pencegahan (Anonim

2006a). Copper sulphate dengan konsentrasi 2 mg/l juga dapat digunakan untuk

mencegah serangan E. ictaluri (Griffin and Mitchell 2207). Hasil penelitian dari

McGinnis et al. (2003) menunjukkan E. ictaluri sensitif terhadap florfenicol

(FFC) secara in vitro.

Saeed and Plumb (1986) telah melakukan penelitian vaksin untuk

serangan E. ictaluri, ternyata vaksin yang terbuat dari LPS (lipopolysaccharide)

E. ictaluri mampu meningkatkan imunitas inang terhadap serangan E. ictaluri.

Channel catfish mempunyai antibodi protektif setelah ikan-ikan tersebut terpapar

E. ictaluri (Vinitnantharat and Plumb 1993).

Diagnosis

Diagnosis definitif penyakit ESC memerlukan isolasi dan identifikasi E.

ictaluri di dalam target jaringan dengan gejala klinis yang menyertai. Pada

bentuk akut, ginjal merupakan organ target, sementara pada bentuk kronis otak

merupakan target organ untuk isolasi (Noga 2000).

Untuk mendeteksi penyakit ESC, Shotts and Waltman telah

mengembangkan media selektif untuk E. ictaluri, yaitu Edwardsiella Ictaluri

Agar (EIA), dapat digunakan untuk isolasi primer dan identifikasi presumtif

(Inglis et al. 1993). Identifikasi penyakit ESC menggunakan pengujian

karakteristik biokimia, atau serologi dengan aglutinasi serum spesifik, fluorescent

antibody (FA), atau ELISA (Inglis et al. 1993; Hawke et al. 1998; Anonim 2006a)

atau PCR (Anonim 2006a). E. ictaluri juga dapat diidentifikasi dengan

menggunakan sistem miniatur test biokimia seperti Sistem Minitek (BBL

(29)

Untuk menentukan intra dan interspesifik E. ictaluri dapat dianalisa

dengan menggunakan gel elektroforesis protein, fatty acid methyl esters

(FAMEs) dan immunoblotting (Panangala et al. 2006).

Ikan Lele (Clarias sp.)

Sistematika ikan lele menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut :

Kelas : Pisces

Bentuk umum ikan lele adalah bulat memanjang dengan kepala pipih.

Mulut terminal dilengkapi dengan empat pasang sungut sekelilingnya, tubuh tidak

bersisik, kulit licin berwarna gelap atau coklat dengan bagian ventral yang lebih

terang. Sepanjang dorsal dan anal dilengkapi sirip lunak, sirip punggung hampir

bersambungan dengan sirip ekor (Saanin 1968).

Jenis ikan ini bersifat nokturnal yaitu aktif di malam hari, lebih suka

bersembunyi di balik batu atau tanaman air, mencari makanan di dasar perairan.

Sekalipun demikian ikan ini sekali kali harus keluar ke permukaan air untuk

mengambil oksigen. Ikan lele termasuk ikan karnivor atau juga omnivor yang

memangsa jenis ikan kecil, larva serangga atau hewan dasar lainnya. Ikan ini lebih

banyak menggunakan penciumannya daripada penglihatannya untuk mencari

makan (Saanin 1968). Ikan lele lebih menyukai tempat terbuka dengan suhu

berkisar antara 20-25ºC. Ikan lele disebut ‘Scavenger’ karena senang memakan

bangkai. Makanan tambahan seperti pelet juga di sukai lele (Lingga dan Susanto

1989).

Dari segi biologi ikan lele mempunyai daya tahan hidup yang tinggi,

sehingga dapat hidup dalam lumpur dan air dengan kandungan oksigen rendah,

asalkan tidak mengandung racun. Hal ini disebabkan karena ikan lele memiliki

alat pernafasan tambahan yang terdapat dalam ruang udara sebelah atas insang,

sehingga mampu mengambil udara secara langsung dari udara (Arsyad dan

(30)

yang dipunyai ikan gurame, sepat dan tambakan melainkan hanya berupa

beberapa lipatan kulit tipis yang menyerupai spons (arborescent) yang terdapat

dalam rongga diatas rongga insang serta melekat padanya (Soetomo 1987).

Kualitas Air

Air merupakan faktor yang paling penting dalam budidaya ikan. Bukan

hanya ikan lele, ikan-ikan lainpun untuk hidup dan berkembang biak memerlukan

air. Karenanya, kualitas dan kuantitas air harus diperhatikan agar kegiatan

budidaya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kualitas air adalah variabel

yang dapat mempengaruhi kehidupan lele. Variabel tersebut dapat berupa sifat

fisika, kimia dan biologi air. Sifat fisika air meliputi suhu, kekeruhan dan warna

air. Sifat kimia air adalah kandungan oksigen, karbondioksida, pH, amoniak dan

alkalinitas. Sifat biologi meliputi jenis dan jumlah binatang renik. Beberapa

persyaratan sifat air untuk budidaya lele adalah suhu berkisar antara 20 – 30oC,

pH antara 6,5 – 8, DO sebesar 3 ppm, CO2 sebesar 15 ppm, N2 sebesar 102 %,

NH3 sebesar 0,05 ppm, NH4+ sebesar 8,80 ppm, NO2 sebesar 0,25 ppm, dan NO3

(31)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina

Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi,

Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB

yang dimulai pada bulan Nopember 2006 sampai dengan Januari 2008.

E. ictaluri

E. ictaluri diisolasi dari ginjal ikan Bawal (Colossoma macropomum) yang

berasal dari peternakan ikan di desa Pringgolayan, Yogyakarta. E. ictaluri

tersebut telah diidentifikasi berdasarkan morfologi dan sifat-sifat biokimianya di

Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta (Amanu, komunikasi pribadi 2007).

E. ictaluri tersebut dikultur kembali di Laboratorium Balai Uji Standar

Karantina Ikan Jakarta, dilanjutkan dengan pengujian ulang morfologi dan

biokimia, untuk membuktikan bahwa bakteri tersebut benar-benar E. ictaluri.

Ikan Lele (Clarias sp.)

Ikan lele yang digunakan dalam penelitian berukuran 9 – 10 cm (5 – 6

gram) yang berasal dari satu induk dan bebas dari infeksi E. ictaluri. Ikan lele

tersebut diambil secara acak berasal dari peternakan ikan di daerah Cijeruk

Kabupaten Bogor. Ikan tersebut diperiksa kesehatannya dan tidak menunjukkan

gejala sakit. Sebelum digunakan dalam penelitian, ikan diaklimatisasi selama 48

jam dalam akuarium berukuran 30 x 25 x 20 cm3 berisi air 10 liter dengan kondisi

air statis yang telah difilter dan diberi aerasi. Pakan ikan berupa pakan pelet yang

(32)

Metode Penelitian

Uji Pendahuluan

Pengembalian Virulensi E. ictaluri

Pengembalian virulensi bakteri dilakukan dengan cara menginfeksikan E.

ictaluri dari sediaan kultur murni laboratorium pada ikan lele (Clarias sp.) sebagai

inang target penyakit ESC. Sebelumnya bakteri dibiakkan pada media cair (BHI

broth) dan diinkubasi pada suhu 28oC selama 24 – 48 jam (Inglis et al. 1993;

Anonim, 2006a). Hasil pemanenan dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril

dengan ditambah pelarut PBS dan diaduk dengan vortex mixer hingga homogen,

setelah itu suspensi isolat bakteri yang diperoleh dihitung tingkat kekeruhannya

dengan membandingkan kepadatan konsentrasi bakteri (109 cfu/ml) pada standar

kepadatan bakteri menurut McFarland (Jang 1980).

Biakan E. ictaluri konsentrasi kepadatan 109 cfu/ml sebanyak 0,1 ml

disuntikkan secara intraperitoneal pada ikan lele ukuran ± 6 gram sebanyak 5

ekor. Setelah 2 – 3 hari masa inkubasi ikan yang menunjukkan gejala menciri

penyakit ESC segera diisolasi dari organ ginjal dan dilakukan pemeriksaan

sifat-sifat biokimianya untuk mengetahui kemurnian isolat bakteri tersebut. Isolat

bakteri dimurnikan dengan menggunakan media TSA. Isolat bakteri dari organ

ginjal yang telah terbukti virulen kemudian digunakan untuk uji selanjutnya.

Penentuan Dosis Infeksi (LD50)

Untuk memperbanyak biakan E. ictaluri yang akan digunakan pada uji

penentuan LD50, bakteri dipupuk pada media plat TSA, selanjutnya diinkubasi

pada 27ºC. Bakteri dipanen setelah 18 - 24 jam dan dibuat suspensi dalam larutan

PBS steril untuk mendapatkan konsentrasi kepadatan 104, 106, 108, 1010 cfu/ml.

Dalam menentukan nilai LD50 digunakan 5 kelompok perlakuan

masing-masing terdiri dari 10 ekor ikan. Ikan-ikan diinfeksi oleh 4 tingkat konsentrasi

kepadatan bakteri 104, 106, 108 dan 1010 cfu/ml secara intraperitonial sebanyak 0,1

ml per ekor dan 1 kelompok kontrol yang tidak diinfeksi, masing-masing

kelompok uji dilakukan 3 kali ulangan.

Pasca infeksi ikan tersebut dimasukkan ke dalam akuarium dan diberi

(33)

makroskopis dan jumlah kematian ikan selama 72 jam. LD50 dihitung menurut

metode Dragsted-Behrens (Hubert, 1980). Nilai LD50 tersebut digunakan sebagai

dosis infeksi pada uji utama.

Uji Utama

Uji utama bertujuan untuk mengetahui tahapan perubahan jaringan ikan

lele (Clarias sp.) secara makroskopis dan mikroskopis akibat infeksi E. ictaluri

dengan menggunakan dosis infeksi LD50.

Ikan lele sebanyak 50 ekor diinfeksi E. ictaluri secara intraperitoneal

dengan konsentrasi kepadatan sesuai hasil uji LD50 sebanyak 0,1 ml per ekor.

Pasca infeksi ikandimasukkan ke dalam 5 buah akuarium dan diberi pakan pelet

steril. Tiap akuarium memiliki kepadatan jumlah ikan uji sebanyak 10

ekor/akuarium. Satu akuarium berisi 10 ekor ikan yang diinjeksi PBS bertindak

sebagai kelompok kontrol. Penggantian air dilakukan bila air keruh yaitu sehari

sekali selama pengujian berlangsung.

Pengamatan perubahan jaringan secara makroskopik (Patologi Anatomi)

dan mikroskopik (Histopatologi) dari ikan-ikan uji yang diinfeksi E. ictaluri

dengan cara mengambil 1 ekor ikan sampel dari masing-masing akuarium pada

jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pasca infeksi (pi), sehingga setiap waktu

pengambilan sampel diperoleh 5 ekor ikan.

Pengamatan Gejala Klinis Ikan Uji

Pengamatan gejala klinis yang diamati lele meliputi tingkah laku ikan lele

berupa reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang. Pengamatan gerakan

renang dilakukan selama 72 jam, uji untuk mengetahui reaksi terhadap

rangsangan dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pi.

Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis

Setiap waktu pengambilan sampel dilakukan pemeriksaan makroskopis

terhadap perubahan pada organ eksternal dan internal tubuh ikan. Pengamatan PA

dilakukan terhadap bentuk, warna dan ukuran dari organ-organ tersebut. Untuk

(34)

lambung, usus, pankreas, hati, limpa dan ginjal difiksasi dalam larutan Buffer

Netral Formalin (BNF) 10%, selama 48 jam. Sampel selanjutnya di proses untuk

pembuatan sediaan histopatologi menggunakan automatic tissue processor

(Sakura®

,

Jepang), ditanam pada parafin menggunakan alat tissue embedding

console (Sakura®

,

Jepang) dan dipotong menggunakan mikrotom (Spencer®,

USA) setebal 5 µm. Sediaan histopatologi diwarnai dengan pewarnaan

hematoxylin-eosin (HE) dan Giemsa (Lampiran 1).

Pengamatan makroskopis dan mikroskopis berdasarkan adanya lesio pada

kulit, otot, mata, insang, jantung, lambung, usus, pankreas, hati, limpa dan ginjal

ikan uji. Pengamatan dilakukan pada jam ke 2, 4, 8,12, 24, 36, 48, dan 72 pi.

Data-data yang diperoleh dari pengamatan patologi dianalisa secara

deskriptif, baik data mengenai perubahan patologi anatomi (PA) maupun

perubahan histopatologi (HP).

Pada pengamatan perubahan histopatologi (HP), frekuensi kejadian lesio

pada setiap organ ikan lele dihitung dengan cara :

Jumlah sampel ikan yang mengalami lesio

x 100 % Jumlah sampel ikan

Pengujian E. ictaluri Pada Ikan Sampel

Selama uji utama dilakukan pengujian adanya E. ictaluri pada jaringan

ikan sampel pada setiap pengamatan. Jaringan yang diambil yaitu ginjal, limpa

dan hati, selanjutnya dilakukan isolasi dan dikultur pada media TSA kemudian

diinkubasi pada suhu 27°C selama 24 jam, dan koloni yang tumbuh terpisah diuji

lanjut sifat-sifat morfologi dan biokimianya (gula-gula). Pengujian adanya E.

ictaluri pada ikan sampel dilakukan pada pengamatan jam ke-2, 4, 8, 12, 24, 36,

48, dan 72 setelah infeksi.

Penghitungan Jumlah Koloni Bakteri

Pada uji utama, dilakukan reisolasi bakteri pada limpa dan penghitungan

jumlah koloni E. ictaluri dengan tujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan

(35)

metoda hitungan cawan (HC). Metode HC ini dilakukan dengan cara : 1 gram

limpa dimasukkan ke dalam 9 ml larutan bufer pepton water. Kemudian

ditumbuhkan pada media TSA diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27°C. Isolat 1 (satu) koloni bakteri dipindahkan dan dikultur ke dalam 10 ml BHI broth,

diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27°C. Kemudian 0,1 ml contoh yang telah mengalami satu seri pengenceran diulaskan dengan spatula pada permukaan

TSA sebanyak 2 cawan (duplo). Setelah inkubasi, dilakukan perhitungan jumlah

koloni dengan menggunakan Colony Counter (Fardiaz 1987). Penghitungan

koloni bakteri ini dilakukan pada pengamatan jam ke 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan

72 pi.

Penghitungan koloni bakteri dilakukan terhadap cawan yang mengandung

30 sampai 300 koloni. Jumlah bakteri yang terdapat dalam tabung asal ditentukan

dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran

pada cawan yang bersangkutan, dengan rumus sebagai berikut :

Faktor pengenceran = Pengencaran x Pengenceran x Jumlah yang

awal selanjutnya ditumbuhkan

1 Koloni per ml = Jumlah koloni x

Faktor Pengenceran

Kualitas Air

Kualitas air yang diamati pada uji utama terdiri dari Nitrit (test kit), Nitrat

(test kit), pH (test kit), Oksigen terlarut, dan Suhu (termometer). Pengamatan

nitrit dan nitrat dilakukan pada saat awal dan akhir uji. Sedangkan pengamatan

(36)

Uji Pendahuluan :

Uji Utama :

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Pendahuluan

Pengembalian Virulensi E. ictaluri

Hasil uji biokimia (gula-gula) E. ictaluri menghasilkan enzim katalase,

memfermentasi glukosa, tidak memfermentasi laktosa, tidak memproduksi H2S,

tidak membentuk indol dari tryptophan, tidak mampu memproduksi asam

campuran dari fermentasi glukosa, tidak mampu membentuk

acetyl-methyl-carbinol, tidak menggunakan citrate sebagai sumber karbon, tidak menghasilkan

enzim urease, tidak menghasilkan gelatin, dapat menggunakan gula secara

fermentatif, dapat menggunakan gula secara oksidatif dan bakteri tergolong Gram

negatif (Tabel 1).

Karakteristik dari E. ictaluri adalah bergerak dengan flagella, tidak

berspora dan tidak berkapsul, batang, pleomorfik, Gram -, berukuran 0,75 – 2,5

µm, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna, suhu optimum 28-30oC,

oksidase -, katalase +, H2S -, Indol - (dari tryptophan), fermentatif, 0/129 resistan,

lysin dekarboksilase +, arginin dihidrolase , ornithin +, Gelatin , Urea , Citrate

-, VP --, Glukosa +-, Inositol --, Sorbitol --, Rhamnose --, Mannitol --, Arabinose --,

Sukrose -, fakultatif anaerob (Austin and Austin 1987; Crumlish et al. 2002;

Anonim 2006a; Holt et al. 1994).

Isolasi E. ictaluri tidak menghasilkan H2S atau indol, atau fermentasi

glukosa dengan menghasilkan gas pada suhu 37°C (Hawke et al. 1981). Menurut

Holt et al. (1994) mengatakan hasil isolasi E. ictaluri yang diinkubasi pada suhu

37°C selama 48 jam tidak menghasilkan H2S, indol, sukrosa dan citrate.

Koloni E. ictaluri secara morfologi terlihat sebagai koloni halus, tidak

berpigmen, konvek ramping, dan bundar (Gambar 6). Menurut Cooper et al.

(1996) mengatakan bahwa setelah inkubasi pada suhu 28° - 30°C selama 36 - 48

jam, koloni E. ictaluri terlihat mungil, halus, bundar (diameter 1-2 mm), penuh

dan dalam koloni tidak berpigmen, cembung ramping sampai keseluruhan tepi.

E. ictaluri merupakan Gram negatif berbentuk batang, sekitar 0,75-2,5 μm,

(38)

cytochrome oxidase negative. Bakteri ini tumbuh lambat atau tidak sama sekali

pada suhu 37°C.

(39)

K

IsolatE. ic

taluridari

Ginjal Ikan Lele

Gambar 6. Koloni E. ictaluri yang tumbuh di media TSA, hasil dari uji pengembalian virulensi bakteri yang diinfeksikan ke ikan lele.

K : Koloni tunggal E. ictaluri

Hasil LD50

Selama pengujian LD50 berlangsung, ikan lele menunjukkan gejala klinis

terinfeksi E. ictaluri. Tingkah laku ikan lele mengalami kelainan, ikan bergerak

berenang tidak normal dan berenang dengan kepala di atas permukaan air/vertikal.

Hasil pengamatan makroskopis, menunjukkan bintik-bintik merah pada kulit,

warna hati pucat, ginjal dan limpa berwarna lebih gelap.

Pada uji LD50, kematian ikan lele mulai muncul 1 hari setelah diinjeksi

bakteri. Kematian hari pertama dimulai dari ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis

1010 cfu/ml, kemudian ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis 108 cful/ml. Ikan lele

yang diinfeksi bakteri dosis 106 cfu/ml dan 104 cfu/ml mengalami kematian mulai

(40)

Tabel 2. Jumlah kematian ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri pada uji LD50.

Jumlah Ikan yang Mati (ekor)

Total Mati

Untuk mengetahui nilai LD50 E. ictaluri, data pengamatan kematian ikan

lele pada Tabel 2 dihitung menurut metode Dregsted Behrens (Hubert, 1980)

seperti Tabel 3 di bawah ini :

Tabel 3. Perhitungan LD50 ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri.

Konsentrasi Log

Perhitungan nilai LD50 :

dipergunakan untuk uji utama. Dalam salah satu penelitian, injeksi 1,5 x 103 cfu

E. ictaluri yang patogen dapat menyebabkan 100 % kematian catfish (Plumb dan

Sanchez 1983). Data lain menyebutkan bahwa nilai LD50 dari infeksi E. ictaluri

(41)

Uji Utama

Gejala Klinis

Selama penelitian dilakukan pengamatan terhadap gejala klinis yaitu

tingkah laku ikan lele meliputi reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang.

Hasil pengamatan reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang, pada jam

ke-0 ikan lele terlihat masih normal. Ikan lele mengalami kelainan gejala klinis

mulai jam ke-2 pi (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil Pengamatan gejala klinis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri selama 72 jam infeksi.

No. Jam pengamatan

Gejala klinis

Gerakan renang Refleks terhadap rangsangan

Tingkah laku ikan lele mulai berubah pada pengamatan jam ke-2 pi yaitu

ikan lele mulai bergerak berenang tidak normal, ikan lele berenang dengan kepala

di atas permukaan air/vertikal (Tabel 4 dan Gambar 7). Hal ini sesuai dengan

penyataan Hawke et al. 1998 dan Francis-Floyd 1996 bahwa ikan yang terinfeksi

E. ictaluri akan berenang menggantung dengan kepala di atas dan ekor di bawah.

Refleks ikan lele terhadap rangsang mulai melemah pada pengamatan jam ke-12

(42)

Gambar 7. Gerak renang vertikal (tanda panah) yang teramati pada ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri mulai jam ke-2 pi.

Selain gejala klinis tersebut di atas, juga dilakukan pengamatan terhadap

jumlah kematian ikan lele. Pengamatan dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24,

36, 48, dan 72 pi, Pada pengamatan jam ke-0 sampai dengan jam ke-12 pi,

terlihat belum ada kematian ikan pada akuarium. Kematian ikan dimulai pada

jam ke-24 sebanyak 4 ekor dari 50 ekor ikan yang diinfeksi pada dosis bakteri 1,3

x 104 cfu/ml (Tabel 5).

Tabel 5. Jumlah kematian ikan dari 50 ekor ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri

1,3 x 104 cfu/ml.

No. Jam Pengamatan Jumlah Ikan yang Moribund dan Mati (ekor)

1 Jam ke- 0 pi 0

2 Jam ke- 2 pi 5

3 Jam ke- 4 pi 5

4 Jam ke- 8 pi 5

5 Jam ke- 12 pi 5

6 Jam ke- 24 pi 4

7 Jam ke- 36 pi 4

8 Jam ke- 48 pi 5

(43)

Pemeriksaan Makroskopis (Patologi Anatomi)

Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap bentuk, warna, ukuran dan

perubahan patologi organ eksternal dan internal ikan lele. Organ eksternal ikan

yang diamati adalah kulit dan abdomen, sedangkan organ internal ikan yang

diamati adalah hati, limpa dan ginjal. Pengamatan makroskopis patologi anatomi

ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48,

dan 72 pi. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 6.

Perubahan makroskopis pada kulit ikan lele dimulai pada jam ke-24 pi,

terjadi bercak-bercak merah terang (Tabel 6). Menurut Francis-Floyd (1996),

salah satu perubahan eksternal spesifik ikan yang terinfeksi E. ictaluri adalah

adanya lesio pada kulit berupa hemoragi. Lesio tersebut berupa ptekhie

hemoragik yang seringkali menjadi banyak (multifokus) pada kulit ikan dan

berwarna merah terang (Inglis et al. 1993)

Tabel 6. Pengamatan makroskopis ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri pada dosis 1,3 x 104 cfu/ml

No Jam

Pengamatan

Patologi Anatomi

Kulit Abdomen Hati Limpa Ginjal

1 Ke- 0 pi TAK TAK TAK TAK TAK

(44)

Abdomen ikan lele mulai mengalami perubahan pada jam ke-12 pi yaitu

ukurannya menjadi lebih besar atau dinamakan peritonitis / dropsy (Tabel 6 dan

Gambar 8a). Pembesaran pada abdomen disebabkan oleh pembengkakan organ

internal dan akibat adanya timbunan cairan eksudat atau pendarahan pada rongga

tubuh (Hawke et al. 1998; Inglis et al. 1993). Akumulasi cairan eksudat

peradangan pada rongga tubuh merupakan tanda non-spesifik dari penyakit ESC

(Francis-Floyd 1996; Anonim 2006a). Infeksi Vibrio anguillarum, Aeromonas

hydrophilla dan Renibacterium salmoninarum juga menyebabkan akumulasi

cairan eksudat peradangan pada rongga tubuh (Noga 1996; Roberts 1978; Inglis et

al. 1993).

Pada jam ke-36 pi, hati ikan lele mulai mengalami perubahan warna

menjadi lebih pucat (Tabel 6 dan Gambar 8b). Hati terlihat berwarna pucat atau

nampak belang merah dan pucat pada jaringan yang mengalami degenerasi

(Hawke et al. 1998).

Limpa ikan lele mulai mengalami perubahan pada jam ke-4 pi yaitu

berwarna menjadi agak gelap dan ukurannya membesar (Tabel 6). Hal ini sesuai

dengan Inglis et al. (1993), bahwa limpa catfish yang terinfeksi E. ictaluri akan

membesar dan berwarna merah gelap. Pembesaran ukuran limpa merupakan tanda

non-spesifik pada infeksi E. ictaluri (Anonim 2006a). Beberapa penyakit lain

seperti Aeromonas hydrophill, Yersinia ruckeri dan Mycobacterium marinum

menunjukkan pembengkakan limpa ((Noga 1996; Inglis et al. 1993).

Perubahan makroskopis ginjal ikan lele dimulai pada jam ke-4 pi. Ginjal

ikan lele mulai mengalami perubahan yaitu berwarna lebih gelap (Tabel 6).

Menurut Inglis et al. (1993), ginjal catfish yang terinfeksi E. ictaluri akan

(45)

a

b

Gambar 8. Perubahan makroskopis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri, a) abdomen ikan lele membesar, tanda panah; dan b) hati ikan lele pucat, tanda panah.

Pemeriksaan Mikroskopis (Histopatologi)

Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan ikan lele yang diinfeksi

buatan E. ictaluri secara intraperitoneal. akan menimbulkan lesio pada

organ-organ internal dan eksternal. Bakteri yang masuk rongga perut ikan akan

menginfeksi epitel selaput peritoneum dan masuk ke pembuluh darah

(bakteremia). Sebagai mikroorganisme bebas, bakteri akan menginfeksi mobile

cell (leukosit) menyebar ke organ tubuh seperti hati, limpa, kulit dan organ

internal lainnya (Mims 1987).

Infeksi alami dari E. ictaluri dapat terjadi melalui rute jaringan epitel

olfaktoris, insang dan saluran gastrointestinal, kemudian akan menyebar ke organ

tubuh melalui pembuluh darah (bakteriemia) secara akut (Nusbaum and Morrison

(46)

Adanya lesio pada organ-organ ikan lele terlihat mulai jam ke-2 pi, yaitu

pada jantung dan usus. Lesio pada mata, hati, pankreas dan limpa mulai jam ke-4

pi. Lesio pada ginjal mulai jam ke-8 pi, pada otak mulai jam ke-12 pi, pada kulit

mulai jam ke-24 pi, dan pada insang mulai jam ke-48 pi. Menurut Baldwin and

Newton (1993), ESC dicirikan oleh serangan septisemia yang cepat dengan

deteksi awal adanya E. ictaluri pada organ-organ internal dimulai 15 menit

mengikuti cairan sekresi lambung. Lesio mikroskopis dilaporkan muncul pada

hari ke-2 pi (Newton et al. 1989).

Histopatologi Mata

Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-2 pi belum

nampak adanya perubahan lesio pada jaringan mata ikan lele, jaringan mata masih

nampak normal (Gambar 9). Pada jam ke-4 pi 60% sampel mulai menunjukkan

adanya perubahan mikroskopis pada mata ikan lele yaitu berupa edema di bagian

posterior mata (Gambar 10) dan meningkat menjadi 100% pada jam ke-72 pi.

Edema pada bagian posterior mata ikan lele berkaitan dengan peningkatan

permeabilitas vaskular, yang merupakan awal stadium peradangan (Damjanov

1997).

(47)

Gambar 10. Edema ditemukan di belakang jaringan mata ikan lele pada jam ke-4 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 10 µm.

Pada jam 48 pi, 20% sampel menunjukkan reaksi pada jaringan mata

berupa adanya sel radang di bagian posterior mata ikan lele (Gambar 11) dan

menjadi 60% sampel pada jam ke 72 pi. Edema dan akumulasi sel radang di

posterior bola mata menyebabkan penonjolan bola mata atau eksophthalmus

secara makroskopis. Semakin banyak cairan edema dan sel radang yang

terakumulasi dalam ruang intraorbital, maka eksophthalmus semakin jelas

terlihat. Lesio eksophthalmus merupakan lesio non-spesifik dari infeksi E

ictaluri. Gangguan keseimbangan endokrin dan beberapa penyakit septisemia lain

seperti Aeromonas hydrophila dan Aeromonas salmonicida, Vibrio anguillarum

(Noga 1996; Inglis et al. 1993) menunjukkan lesio eksophthalmus juga.

Septisemia menyebabkan pembuluh darah khususnya pembuluh darah arteri yang

menyuplai bagian khoroid mengalami kerusakan endotel sehingga terjadi edema,

(48)

Gambar 11. Akumulasi sel radang ditemukan di otot belakang bola mata ikan lele pada jam ke-48 pi E.ictaluri (tanda panah). Pewarnaan HE, skala 10 µm.

Insert : Infiltrasi sel radang di antara otot di belakang bola mata. Pewarnaan HE, skala 1 µm

Histopatologi Kulit

Perubahan organ kulit akibat infeksi E. ictaluri memperlihatkan berbagai

kerusakan pada bagian epidermis dan dermis kulit ikan lele. Hasil pengamatan

terhadap sampel kulit ikan lele menunjukkan adanya : edema pada dermis, erosi

sel epitel dan sel radang pada lapisan subepidermis.

Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-12 pi belum

nampak adanya perubahan lesio pada jaringan kulit ikan lele, jaringan kulit masih

nampak normal (Gambar 12). Pada jam ke-24 pi mulai terlihat edema pada

lapisan di bawah sel epitel epidermis dan di daerah otot (Gambar 13).

Edema adalah meningkatnya akumulasi cairan ekstraselular dan

ekstravaskular di sela-sela jaringan dan rongga tubuh. Edema dapat bersifat lokal

atau meluas di seluruh tubuh. Endotel kapiler merupakan suatu membran semi

permeabel yang dapat dilalui air dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein

plasma hanya dapat lewat sedikit atau terbatas sekali. Tekanan osmotik darah

(49)

permeabilitas ini tergantung pada substansi semen yang mengikat sel-sel endotel

tersebut (Sudiono et al. 2003). Ada dua mekanisme kejadian edema, yaitu edema

hemodinamik dan edema permeabilitas. Edema hemodinamik terjadi akibat

tekanan yang meningkat pada pembuluh darah pada kondisi gangguan jantung

atau tekanan osmotik pembuluh darah yang berbeda dengan jaringan sekitarnya.

Edema permeabilitas biasanya terjadi akibat peradangan yang menyebabkan

endotel rusak pada beberapa bagian (Damjanov 1997). Edema pada lapisan di

bawah epidermis dan bagian dermis kulit ikan lele berkaitan dengan peningkatan

permeabilitas vaskular, yang merupakan awal stadium peradangan.

(50)

Gambar 13. Edema radang di bawah epidermis (tanda panah) dan otot (tanda kepala anak panah) pada jaringan kulit dan otot ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri

pada jamke-24 pi. Pewarnaan HE, skala 2 µm.

Pada jam ke-24 pi, 60% sampel jaringan kulit dan otot mulai menunjukkan

erosi sel epidermis dan meningkat menjadi 100% pada jam ke-72 pi (Gambar 14).

Pada jam 36 pi, 20% sampel mulai memperlihatkan adanya sel radang di jaringan

subkutan (Gambar 15) dan meningkat menjadi 40% pada jam ke 72 pi.

Adanya sel radang di jaringan subkutan menyebabkan kejadian degenerasi

dan nekrosa pada epidermis dan dermis di bawahnya. Sel epidermis yang nekrosa

akan terlepas dari membran basalnya dan menyebabkan erosi yang meluas. Jika

nekrosa mencapai bagian dermis maka akan terbentuk ulkus atau luka terbuka.

Jaringan otot dibawah akumulasi sel radangpun turut mengalami perubahan

(51)

Gambar 14. Erosi sel epidermis kulit ikan lele pada jam ke-24 pi E. ictaluri (tanda panah), infiltrasi sel radang ringan terlihat pada bagian dermis (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE, skala 1µm

(52)

Peradangan kulit yang ulseratif merupakan lesio non-spesifik pada ikan

lele yang terinfeksi E ictaluri. Lesio tersebut merupakan perjalanan infeksi yang

bersifat sistemik atau septisemia. Agen yang beredar di pembuluh darah mencapai

bagian kulit, merusak endotel dan menimbulkan lesio perdarahan ptekhie, edema,

infiltrasi sel radang serta mengakibatkan erosi epidermis dan ulser. Infeksi

Aeromonas hydrophila, Pseudomonas fluorescens dan Vibrio anguillarum juga

menyebabkan lesio dermatitis ulseratif (Noga 1996; Roberts 1978; Inglis et al.

1993).

Histopatologi Insang

Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-36 pi belum

nampak adanya perubahan lesio atau jaringan insang ikan lele masih nampak

normal (Gambar 16). Infiltrasi sel radang diantara lamella sekunder (brankhitis)

mulai terlihat pada 20% sampel jam ke-48 pi (Gambar 17) hingga 20% sampel

pada jam ke-72 pi.

(53)

Peradangan insang merupakan reaksi tidak spesifik terhadap E. ictaluri.

Lesio brankhitis juga dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi

parasit. Infeksi Flavobacterium branchiophila, Amyloodinium sp. juga

menyebabkan peradangan insang (Noga 1996).

Gambar 17. Akumulasi sel radang pada lamella sekunder jaringan insang ikan lele (tanda panah) pada jam ke 36 pi E. ictaluri menyebabkan fusi dari lamela sekunder insang, Pewarnaan HE, skala 5 µm

Histopatologi Otak

Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-8 pi belum nampak

adanya perubahan pada jaringan otak ikan lele (Gambar 18). Perubahan dimulai

pada jam ke-12 pi yaitu kongesti dan hemoragi (Gambar 19). Kongesti ditemukan

pada 20% dari sampel jam ke-12 pi sampai dengan jam ke-36 pi. Hemoragi

(54)

Gambar 18. Jaringan otak ikan lele yang normal pada jam ke-8 pi E ictaluri, Pewarnaan HE, Skala 1µm

(55)

Pada jam ke-24 pi tampak nekrosa neuron dan gliosis (Gambar 20) dan

aktifitas neuronofagia (Gambar 21). Gliosis dan aktifitas neuronofagia terjadi

mulai jam ke-24 hingga jam ke-72 pi.

Gambar 20. Nekrosa neuron , gliosis dan aktivitas neuronofagia pada jaringan otak jam ke-36 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm

Gliosis terjadi ketika jaringan otak mengalami lesio nekrosis. Pada

permulaannya, terjadi respon eksudatif dengan aktivasi mikroglia lokal dan

pengerahan monosit fagositik untuk memfagositosis jaringan mati (Stevens et al.

(56)

Gambar 21. Nekrosa neuron, gliosis, aktivitas neuronofagia dan infiltrasi monosit pada jaringan otak jam ke-36 pi E. Ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm

Menurut Cheville (1999), neuronofagia merupakan proses fagositosis

sel-sel syaraf oleh mikroglia, sebaiknya dibedakan dari satelitosis, dimana

oligodendrogliosit berakumulasi di sekitar neuron. Dalam proses reaksi terhadap

lesio di otak, mikroglia mengalami pembesaran, hiperplasia dan otofagia.

Monosit yang berasal dari sirkulasi biasanya memasuki neuropil. Duapuluh

persen sampel pada jam ke-36 pi hingga jam ke-72 pi menunjukkan infiltrasi

monosit (Gambar 21). Nekrosis neuron mulai terlihat pada 20% sampel dari jam

ke-36 pi hingga 60% pada jam ke-72 pi.

Berdasarkan perubahan morfologi dimana ukuran neuron bertambah kecil

dengan sitoplasma yang gelap maka nekrosa neuron yang terjadi di golongkan

dalam nekrosa tipe iskhemia (Gambar 22). Iskhemik neuron terjadi akibat

gangguan suplai oksigen ke otak (McGavin et al. 2001). Infeksi sistemik dari E.

ictaluri telah menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga suplai oksigen

terganggu dan menimbulkan lesio iskhemia. Neuron yang mengalami nekrosa

akan difagositosis oleh sel glia dan mengundang kehadiran monosit yang berasal

(57)

yang disebut sebagai perivaskular cuffing juga terlihat pada ikan lele penelitian ini

(Gambar 23).

Gambar 22. Area dengan nekrosa neuron tipe iskemia pada jaringan otak jam ke-72 pi (tanda panah) E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm

Gambar

Gambar 5. Denah alur penelitian kajian patogenesis infeksi E. ictaluri pada ikan lele
Gambar 6.  Koloni E. ictaluri yang tumbuh di media TSA, hasil dari uji pengembalian virulensi bakteri yang diinfeksikan ke ikan lele
Gambar 29. Hiperplasia sel goblet pada jaringan usus ikan lele jam ke- 2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm
Gambar 30. Hemoragi pada jaringan lamina propria usus ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri (tanda panah), proliferasi sentra melano-makrofag (tanda kepala anak panah hitam) serta infiltrasi limfosit (tanda kepala anak panah tanpa warna) mengikuti kejadian he
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul ”Upaya

Parameter uji tantang yaitu tingkat kelangsungan hidup yang diamati selama 10 hari pemeliharaan dan prosentase kejadian gejala klinis untuk mengetahui daya tahan tubuh

Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan yang disebabkan oleh infeksi Iridovirus pada organ otak, mata, insang, jantung, limpa, usus, pankreas, hati,

Lima belas ekor kucing lokal Bali yang diperiksa dengan gejala klinis rhinitis serosa dan dispnoea menunjukkan perubahan patologi anatomi yang signifikan pada organ paru berupa

Perubahan histopatologi dari organ hati, ginjal, dan limpa ikan gurame hasil ko-infeksi 21 hari dan 28 ha- ri pascainfeksi menunjukkan kongesti, granuloma multifokal pada hati

Penelitian mengenai “Identifikasi Bakteri Aeromonas hydrophila serta Pengaruhnya Terhadap Histopatologi Organ Hati pada Ikan Lele Dumbo(Clarias gariepinus)” belum

Secara keseluruhan, ikan nila yang diinjeksi dengan ECP dengan waktu inkubasi yang berbeda mengalami patologi anatomi organ luar lebih cepat dibandingkan dengan penginjeksian

Sedangkan histopatologi yang terdapat pada organ hati adalah fibrosis pada jaringan hati, hemoragi, kongesti, terbentuknya vakuola-vakuola, adanya degerasi lemak, adanya