• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS

PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI

DAERAH BOGOR

Oleh :

DEBBY FADHILAH PAZRA B04104042

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

DEBBY FADHILAH PAZRA. Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias sp.) Asal dari Daerah Bogor. Di bawah bimbingan : Bambang Pontjo Priosoeryanto dan Risa Tiuria

Beberapa tahun terakhir produksi budidaya ikan mengalami penurunan, penyebabnya adalah timbulnya wabah penyakit pada ikan, sedangkan permintaan dan kebutuhan terhadap ikan terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumen yaitu peningkatan jumlah konsumsi ikan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi secara deskriptif dari ikan lele (Clarias spp.) pada organ usus, insang dan otot yang sampelnya diambil di daerah Bogor. Penelitian ini menggunakan 17 ekor ikan lele yang dinekropsi. Organ yang diambil adalah insang, otot dan usus, kemudian dibuat preparat histopatologi dan dilakukan pengamatan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang yaitu hiperplasia lamela sekunder pada 17 sampel, kongesti 16 sampel, edema 13 sampel, proliferasi sel goblet 10 sampel, deskuamasi epitel insang 8 sampel, kerusakan tulang rawan 8 sampel, hemoragi 6 sampel dan kista dari metaserkaria trematoda digenea 5 sampel. Perubahan histopatologi pada organ usus adalah proliferasi sel goblet dan kongesti pada 10 sampel, deskuamasi sel epitel usus 8 sampel, infeksi parasit 5 sampel dan hemoragi 3 sampel. Perubahan histopatologi pada organ otot yaitu degenerasi otot sampai nekrosa 13 sampel, edema dan deskuamasi epitel 8 sampel serta infeksi oleh parasit 4 sampel. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu perubahan histopatologi paling banyak ditemui pada insang adalah hiperplasia lamela sekunder, pada usus proliferasi sel goblet dan kongesti, sedangkan pada otot adalah degenerasi otot. Perlunya penelitian lanjutan dengan melakukan perlakuan khusus agar penyebab dari perubahan histopatologi akibat dari suatu penyakit atau infeksi dapat diketahui dengan pasti.

(3)

ABSTRACT

DEBBY FADHILAH PAZRA, Histopathological Lesions of Gill, Intestine, and

Muscle of Catfish (Clarias spp.) from Bogor. Advisor: Bambang Pontjo

Priosoeryanto dan Risa Tiuria

Fish production, especially from aquaculture product in the last several years have been decreased. One of the causes is the incidence of fish disease epidemic, meanwhile the demand of fish is increasing significantly. The increasing of the fish demand is a consequence from the increasing of human population and consumer behaviour change due to the need of animal protein consumption. This purpose of the present research is to elaborate the histopathological lesions in the intestine, gill and muscle of catfish (Clarias spp.) from Bogor. A total of 17 heads catfish were used in this study. Gill, muscle and intestine organs were collected upon necropsy and were then processed for histopathological technique. The slides were observed using a light microscopy. Result of the present research indicated that the main lesions in the gill is secondary lamella hyperplasia which found in 17 samples, congestion 16 samples, oedema 13 samples, goblet cell proliferation 10 samples, epithelial desquamation 8 samples, cartilago damage 8 samples, haemorrahage 6 samples and metacercariae encysted infection 5 samples. Histopathological lesions in intestines were goblet cell proliferation and congestion which detected in 10 fishes samples, epithelial desquamation 8 samples, parasite 5 samples and haemorrahage 3 samples. Histopathological lesions in muscle were muscle degeneration 13 samples, oedema and epithelial desquamation 8 samples and parasite infection 4 samples. Conclusion from research is the most histopathological lesions in gill were secondary lamella hyperplasia which found in 17 samples. The most histopathological lesions in intestines were goblet cell proliferation and congestion which detected in 10 fishes samples, while in the muscle was degeneration which found in 13 samples. Future researches needed by doing special treatment in order to knows the cause of histopatologi’s change that is effected infection or disease which is certainly known. Numbers and location of research require to be multiplied in order to got the data which is more amount and representative area Bogor.

(4)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS

PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI

DAERAH BOGOR

Oleh :

DEBBY FADHILAH PAZRA B04104042

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor

Nama : Debby Fadhilah Pazra

NRP : B04104042

Menyetujui Dosen Pembimbing :

drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 2 Februari 1986 sebagai putri pertama dari lima bersaudara pasangan Ali Mukhni Oyon, SH dan Rumjasmi.

Pada tahun 1992 penulis memasuki bangku sekolah dasar negeri 27 Sijunjung lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan ke SLTP negeri 2 Sijunjung. Pada tahun 2001 dilanjutkan ke SMA negeri 1 Sawahlunto Sijunjung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena dengan Rahmat dan Inayah-Nya penulisan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor ini dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada drh.Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D dan drh. Risa Tiuria, MS, Ph. D selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis. Serta drh. R. Roso Soejoedono. MPH.DEA selaku pembimbing akademik.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Laboratorium Patologi FKH-IPB dan Labratorium Helmintologi FKH-IPB beserta staf yang telah banyak memberikan bantuan serta fasilitas laboratorium. Terima kasih juga kepada teman-teman satu penelitian yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

Rasa cinta kasih serta ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Ayahanda dan Ibunda, adik-adik tersayang. Terimakasih atas bantuan, dorongan semangat dan doanya yang dicurahkan selama ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu penulis sampai akirnya bisa menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semuanya terutama bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2008

Debby Fadhilah Pazra

(8)
(9)
(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(11)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS

PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI

DAERAH BOGOR

Oleh :

DEBBY FADHILAH PAZRA B04104042

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

DEBBY FADHILAH PAZRA. Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias sp.) Asal dari Daerah Bogor. Di bawah bimbingan : Bambang Pontjo Priosoeryanto dan Risa Tiuria

Beberapa tahun terakhir produksi budidaya ikan mengalami penurunan, penyebabnya adalah timbulnya wabah penyakit pada ikan, sedangkan permintaan dan kebutuhan terhadap ikan terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumen yaitu peningkatan jumlah konsumsi ikan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi secara deskriptif dari ikan lele (Clarias spp.) pada organ usus, insang dan otot yang sampelnya diambil di daerah Bogor. Penelitian ini menggunakan 17 ekor ikan lele yang dinekropsi. Organ yang diambil adalah insang, otot dan usus, kemudian dibuat preparat histopatologi dan dilakukan pengamatan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang yaitu hiperplasia lamela sekunder pada 17 sampel, kongesti 16 sampel, edema 13 sampel, proliferasi sel goblet 10 sampel, deskuamasi epitel insang 8 sampel, kerusakan tulang rawan 8 sampel, hemoragi 6 sampel dan kista dari metaserkaria trematoda digenea 5 sampel. Perubahan histopatologi pada organ usus adalah proliferasi sel goblet dan kongesti pada 10 sampel, deskuamasi sel epitel usus 8 sampel, infeksi parasit 5 sampel dan hemoragi 3 sampel. Perubahan histopatologi pada organ otot yaitu degenerasi otot sampai nekrosa 13 sampel, edema dan deskuamasi epitel 8 sampel serta infeksi oleh parasit 4 sampel. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu perubahan histopatologi paling banyak ditemui pada insang adalah hiperplasia lamela sekunder, pada usus proliferasi sel goblet dan kongesti, sedangkan pada otot adalah degenerasi otot. Perlunya penelitian lanjutan dengan melakukan perlakuan khusus agar penyebab dari perubahan histopatologi akibat dari suatu penyakit atau infeksi dapat diketahui dengan pasti.

(13)

ABSTRACT

DEBBY FADHILAH PAZRA, Histopathological Lesions of Gill, Intestine, and

Muscle of Catfish (Clarias spp.) from Bogor. Advisor: Bambang Pontjo

Priosoeryanto dan Risa Tiuria

Fish production, especially from aquaculture product in the last several years have been decreased. One of the causes is the incidence of fish disease epidemic, meanwhile the demand of fish is increasing significantly. The increasing of the fish demand is a consequence from the increasing of human population and consumer behaviour change due to the need of animal protein consumption. This purpose of the present research is to elaborate the histopathological lesions in the intestine, gill and muscle of catfish (Clarias spp.) from Bogor. A total of 17 heads catfish were used in this study. Gill, muscle and intestine organs were collected upon necropsy and were then processed for histopathological technique. The slides were observed using a light microscopy. Result of the present research indicated that the main lesions in the gill is secondary lamella hyperplasia which found in 17 samples, congestion 16 samples, oedema 13 samples, goblet cell proliferation 10 samples, epithelial desquamation 8 samples, cartilago damage 8 samples, haemorrahage 6 samples and metacercariae encysted infection 5 samples. Histopathological lesions in intestines were goblet cell proliferation and congestion which detected in 10 fishes samples, epithelial desquamation 8 samples, parasite 5 samples and haemorrahage 3 samples. Histopathological lesions in muscle were muscle degeneration 13 samples, oedema and epithelial desquamation 8 samples and parasite infection 4 samples. Conclusion from research is the most histopathological lesions in gill were secondary lamella hyperplasia which found in 17 samples. The most histopathological lesions in intestines were goblet cell proliferation and congestion which detected in 10 fishes samples, while in the muscle was degeneration which found in 13 samples. Future researches needed by doing special treatment in order to knows the cause of histopatologi’s change that is effected infection or disease which is certainly known. Numbers and location of research require to be multiplied in order to got the data which is more amount and representative area Bogor.

(14)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS

PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI

DAERAH BOGOR

Oleh :

DEBBY FADHILAH PAZRA B04104042

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor

Nama : Debby Fadhilah Pazra

NRP : B04104042

Menyetujui Dosen Pembimbing :

drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 2 Februari 1986 sebagai putri pertama dari lima bersaudara pasangan Ali Mukhni Oyon, SH dan Rumjasmi.

Pada tahun 1992 penulis memasuki bangku sekolah dasar negeri 27 Sijunjung lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan ke SLTP negeri 2 Sijunjung. Pada tahun 2001 dilanjutkan ke SMA negeri 1 Sawahlunto Sijunjung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena dengan Rahmat dan Inayah-Nya penulisan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor ini dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada drh.Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D dan drh. Risa Tiuria, MS, Ph. D selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis. Serta drh. R. Roso Soejoedono. MPH.DEA selaku pembimbing akademik.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Laboratorium Patologi FKH-IPB dan Labratorium Helmintologi FKH-IPB beserta staf yang telah banyak memberikan bantuan serta fasilitas laboratorium. Terima kasih juga kepada teman-teman satu penelitian yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

Rasa cinta kasih serta ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Ayahanda dan Ibunda, adik-adik tersayang. Terimakasih atas bantuan, dorongan semangat dan doanya yang dicurahkan selama ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu penulis sampai akirnya bisa menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semuanya terutama bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2008

Debby Fadhilah Pazra

(18)
(19)
(20)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(21)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Gambar Ikan lele (Clarias spp.) ... 3

2. Gambarhistogramfrekuensi lesio histopatologi organ insang ikan lele (Clarias spp.) ... 23

3. Gambaran HP organ insang yang mengalami hiperplasia lamela sekunder ... 25

4. Gambaran HP organ insang yang mengalami edema dan deskuamasi epitel ... 27

5. Gambaran HP organ insang yang mengalami kongesti dan hemoragi ... 29

6. Gambaran HP kista dari metaserkaria trematoda digenea terdapat di dalam filamen kartilago insang ... 31

7. Gambar HP proliferasi sel goblet pada insang. ... 33

8. Gambaran HP kerusakan tulang rawan insang... 34

9. Gambar histogram Frekuensi lesion histopatologiorgan usus ikan Lele (Clarias spp.) ... 35

10. Gambaran HP proliferasi sel goblet pada usus... 37

11.Gambaran HP kongesti, hemoragi dan deskuamasi epitel pada usus ... 38

12.Gambaran HP perasit menginfeksi epitel usus... 40

13. Gambaran HP histogram frekuensi lesio histopatologi organ otot ikan Lele (Clarias spp.) ... 41

14. Gambaran HP degenerasi hialin, edema dan nekrosa pada otot ... 43

15. Gambaran HP deskuamasi epitel pada integument ... 45

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan lele merupakan salah satu komoditi unggulan budidaya yang dikembangkan saat ini. Ikan lele disamping sebagai salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat, juga merupakan komoditas yang dapat menunjang ekonomi rumah tangga. Ikan lele mempunyai tingkat serapan pasar yang cukup baik, selain pasar dalam negeri juga terdapat peluang untuk pasar ekspor.

Beberapa tahun terakhir produksi budidaya ikan khususnya ikan lele mengalami penurunan penyebabnya adalah timbulnya wabah penyakit pada ikan, sedangkan permintaan dan kebutuhan terhadap ikan terus meningkat. Peningkatan permintaan terhadap ikan merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumen yaitu peningkatan jumlah konsumsi ikan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Ikan juga menjadi alternatif pilihan karena masyarakat menganggap bahwa ikan lebih aman dan sehat dikonsumsi bagi tubuh dan dapat meningkatkan kecerdasan.

Permintaan kebutuhan protein hewani asal ikan khususnya ikan lele yang terus meningkat mendorong petani ikan untuk meningkatkan industri atau budidaya ikan kearah intensifikasi. Budidaya sistem intensif sering mengakibatkan ikan stres, dalam kondisi ini pertumbuhan dan penularan agen penyakit terjadi secara cepat yang berakibat timbulnya wabah penyakit baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur yang bisa menimbulkan kematian. Menurut Dana (1990), terjadinya kematian ikan budidaya dan stok alami yang dikaitkan dengan penyakit sering dilaporkan. Indonesia sedikitnya telah tercatat tiga kali wabah yang mengakibatkan kerugian besar disebabkan penyakit yaitu parasit protozoa maupun bakteri.

(24)

yaitu parasit. Ikan bisa terserang penyakit jika pemeliharaan dan pembudidayaannya tidak baik. Serangan parasit pada ikan menimbulkan dampak negatif yang cukup tinggi. Apabila ditemukan parasit dalam jumlah sedikit sebetulnya masih dianggap wajar dan tidak mengganggu proses akuakultur, tetapi apabila jumlah parasit yang menyerang ikan sangat banyak akan mengganggu pertumbuhan dan produktifitas ikan bahkan mengakibatkan kematian. Pada ikan-ikan yang hidup bebas di alam, akibat yang ditimbulkan oleh parasit umumnya bersifat laten atau kronis. Ikan yang terinfeksi parasit biasanya dengan mudah diikuti infeksi sekunder oleh bakteri, fungi atau virus. Nabib dan Pasaribu (1989) menambahkan, penyakit non infeksius disebabkan oleh bermacam faktor diantaranya rendahnya kandungan oksigen terlarut, tingginya kandungan amoniak, nitrit ataupun racun-racun lain yang merupakan hasil ciptaan dan aktifitas manusia yang masuk ke dalam perairan.

Histopatologi merupakan penelusuran penyakit secara mikroskopik dimana dalam pengamatan histopatologi informasi yang diperoleh dalam bentuk gambaran perubahan organ/jaringan. Informasi yang diperoleh juga dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui ada atau tidak infeksi penyakit serta untuk meramalkan proses kejadian penyakit dan tingkat epidemik suatu penyakit. Infeksi suatu penyakit baik yang infeksius maupun yang non-infeksius dapat didiagnosa dengan beberapa cara, diantaranya dengan diagnosa secara histopatologi yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang penyakit. Penelitian ini akan membahas tentang gambaran perubahan histopatologi apa saja yang terlihat pada organ usus, insang dan otot ikan lele.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi secara deskriptif dari ikan lele (Clarias spp.) pada organ usus, insang dan otot.

1.3 Manfaat Penelitian

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Lele

2.1.1 Taksonomi ikan lele

Menurut Suyanto (1999), taksonomi ikan lele (Clarias spp.) adalah sebagai berikut: filum Chordata, sub filum Vetebrata, kelas Pisces, sub kelas Teleostei, ordo Osteriophysi, sub ordo Siluroidae, famili Clariidae, genus Clarias dan spesies Clarias spp..

2.1.2 Morfologi

Bentuk umum ikan lele adalah bulat memanjang dengan kepala pipih. Mulut terminal dilengkapi dengan empat pasang sungut disekelilingnya. Tubuh tidak bersisik, berkulit licin bewarna gelap atau coklat dengan bagian ventral lebih terang. Sepanjang dorsal dan anal dilengkapi sirip lunak, sirip punggung hampir mencapai atau bersambung dengan sirip ekor dan tidak bersirip lunak (Gambar 1) (Saanin 1984).

Gambar 1. Ikan lele (Clarias spp.)

(26)

cangkang tengkorak sampai leher terdapat bercak putih kusam. Alat pernafasan tambahan pada ikan lele bukan labirin seperti yang dipunyai ikan gurami, sepat dan tambakan melainkan hanya berupa lipatan kulit tipis yang menyerupai spons

(arboresent) yang terdapat dalam rongga di atas insang serta melekat padanya

(Soetomo 1987). Kriteria ikan lele yang baik adalah tubuh tidak cacat, bentuk tubuh lurus, berlendir bening, tidak ada benjolan ataupun luka, sungut sempurna dan warna cerah (Anonim 1992).

2.1.3 Habitat

Habitat alami ikan lele adalah dasar perairan agak berlumpur, air tergenang, ada pelindung dan perairan relatif dangkal. Habitat dapat disesuaikan dengan persyaratan yang dituntut untuk hidup dan berkembang tumbuh sesuai dengan tingkat stadiumnya. Tempat berlindung ikan lele dapat berupa pelindung seperti tanaman air, pralon dan bambu. Kedalaman air di kolam induk antara 60-125 cm dan di kolam benih antara 15-40 cm. Lele akan hidup lebih baik di air yang tergenang dengan kedalaman tertentu yaitu kedalaman tertinggi 125 cm (Anonim 1992).

Ikan lele mempunyai organ insang tambahan (arborescent) yang memungkinkan ikan ini mengambil oksigen pernafasannya dari udara di luar air, karena itu ikan lele tahan hidup di perairan yang airnya mengandung sedikit oksigen. Ikan lele ini relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik, oleh karena itu ikan lele tahan hidup dengan baik di daratan rendah sampai daerah perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Apabila suhu tempat hidupnya terlalu dingin, misal kurang dari 200 C pertumbuhannya akan terhambat (Suyanto 1986).

2.1.4 Makanan

(27)

renik, seperti kutu-kutu air (Daphnia, Cladosera, Copepoda), cacing-cacing, larva (jentik-jentik serangga), siput-siput kecil dan sebagainya (Suyanto 1986).

Ikan lele secara alami makan di dasar perairan, tetapi dapat dilatih dan sifat ini membuka peluang bagi penggunaan pakan buatan dalam usaha budidaya baik pakan permukaan maupun tengah dan dasar (Anonim 1992).

2.1.5 Tingkah laku

Ikan lele adalah ikan yang hidup di air tawar dan bersifat nokturnal, artinya ia aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap. Siang hari yang cerah, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang-lubang atau tempat yang tenang dan aliran air yang tidak terlalu deras. Ikan lele membuat sarang di dalam lubang-lubang di tepi sungai, tepi-tepi rawa atau pematang sawah dan kolam yang teduh dan terang. Berhubung sifat-sifat dan tingkah lakunya itu, memancing ikan lele pada malam hari lebih berhasil dari pada siang hari, karena ikan lele aktif mencari makan pada malam hari atau sesudah matahari terbenam (Suyanto 1986).

Secara alami lele bersifat nokturnal, tetapi dalam usaha budidaya akan beradaptasi (diurnal). Secara periodik lele akan muncul ke permukaan untuk mengambil oksigen bebas. Lele mampu bergerak di darat dengan menggunakan sirip dada. Padat penebaran yang relatif tinggi dan keadaan lapar dapat memacu sifat kanibalisme (Anonim 1992).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Ikan Lele

2.2.1 Sistem Respirasi (Insang)

(28)

mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan (Nabib dan Pasaribu 1989).

Insang terdiri dari dua rangkaian yang tersusun atas empat lengkungan tulang rawan dan tulang keras (holobrankhia) yang menyusun sisi faring. Masing-masing holobrankhia yang menonjol dari pangkal posterior lengkung insang. Hemibrankhia terdiri dari dua baris filamen tipis panjang yang disebut lamela primer. Lamela primer permukaannya mengalami perluasan oleh adanya lamela sekunder yang merupakan lipatan semilunar yang menutupi permukaan dorsal dan ventral. Insang juga dilengkapi dengan lapisan sel-sel penghasil mukus dan sel-sel yang mengekresi ammonia dan kelebihan garam. Pada bagian tepi tengah anterior dilengkapi stuktur (gill rakers) yang berperan menyaring pertikel-pertikel pakan (Roberts 2001).

Insang dilengkapi dengan sejumlah glandula yang dikenal sebagai glandula brankhial, yaitu sel-sel epitel insang yang mengalami spesialisasi. Glandula tersebut adalah glandula mukosa dan glandula asidofilik (sel-sel khlorida). Glandula mukosa berupa sejumlah sel-sel tunggal berbentuk buah pear atau oval dan menghasilkan mukus dan terdapat baik pada lengkung insang, filamen insang maupun lamela sekunder. Mukus merupakan glikoprotein yang bersifat basa atau netral dengan fungsi: a.) perlindungan atau proteksi, b.) menurunkan terjadinya friksi atau gesekan, c.) antipatogen, d.) membantu pertukaran ion, dan e.) membantu pertukaran gas dan air (Irianto 2005).

2.2.2 Sistem Pencernaan

(29)

Struktur histologi dinding dari intestin secara umum hampir sama dengan vetebrata tingkat tinggi dimana terdiri dari empat lapisan yaitu : mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari epitel mukosa, lamina basalis, lamina propria dan muskularis mukosa. Pada lapisan submukosa terdiri dari stratum kompaktum dan stratum granulosum. Pada lapisan muskularis terdiri dari lapisan otot sirkuler dan lapisan otot longitudinal, sedangkan pada lapisan serosa terdiri dari subserosa tella dan subserosa membran (Takashima dan Hibiya 1995).

2.2.3 Sistem Integumen

Kulit merupakan penghalang fisik terhadap perubahan lingkungan serta serangan patogen dari luar tubuh. Lapisan kulit terdiri atas kutikula, epidermis, membran basalis, dermis dan hipodermis. Ikan tidak memiliki lapisan keratin pada epidermisnya, tetapi dilapisi oleh kutikula yang memiliki mukus, mukopolisakarida, immunoglobulin spesifik, lisozim dan sejumlah asam lemak bebas. Sel lain yang ada pada lapisan epidermis yaitu sel-sel goblet yang berperan dalam sekresi mukus. Mukus memiliki kemampuan protektif bagi hewan karena : a.) mukus melapisi permukaan tubuh sehingga mempermudah gerakan saat berenang, b.) membentuk lapisan pelindung dari infeksi agensia patogenik dan mengandung senyawa anti mikroba, c.) melindungi permukaan tubuh dari abrasi dan d.) berperan dalam proses osmoregulator (Irianto 2005).

Sisik dan kulit merupakan bagian dari sistim pelindungan fisik tubuh ikan. Pada umumnya kerusakan sisik dan kulit dapat terjadi akibat penanganan

(handling stress), kelebihan populasi, dan infeksi parasit. Kelebihan populasi

(overcrowded) atau multikultur dapat menyebabkan trauma akibat berkelahi

(30)

tetapi tidak semua ikan memiliki sisik misalnya pada ikan lele (Clarias spp.) (Irianto 2005).

2.2.4 Sistem Muskuloskeletal (Otot)

Hasil pemeriksaan histopatologi dan biokhemis dari otot ikan ternyata terdapat sejumlah tipe serabut otot yang pada banyak spesies ikan tersusun dalam banyak kelompok-kelompok yang terpisah. Umumnya ada 2 kelompok yaitu, kelompok muskularis lateralis superfisialis terdiri atas yang disebut otot merah dan kelompok muskularis lateralis profundus yang terdiri atas serabut-serabut putih. Serabut-serabut merah ini adalah serabut aerobik dan berdaya kontraksi lamban dan banyak pembuluh darah, serupa dengan serabut-serabut merah pada otot mamalia, sedangkan serabut-serabut putih adalah anaerob berdaya kontraksi cepat dan mudah menderita kerusakan. Diantara lapisan otot-otot merah dan putih terdapat serabut merah muda yang fungsinya berada diantara serabut-serabut merah dan putih (Nabib dan Pasaribu 1989).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Penyakit pada Ikan Lele

2.3.1 Suhu

Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan pada suhu lingkungan sekelilingnya (Hoole et al. 2001). Ikan memiliki derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan mengalami stes manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi (Irianto 2005).

(31)

menyebabkan stres pernafasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen (Irianto 2005).

2.3.2 Cahaya

Pada sistem budidaya intensif, intensitas cahaya, lama penyinaran, area berkanopi dan penyerapan cahaya lebih mudah dikontrol. Parameter-parameter ini akan berperan dalam laju pertumbuhan dan maturisasi ikan. Pada system intensif berair dangkal, sinar ultraviolet cahaya matahari yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan “sunburn” pada bagian dorsal ikan (Irianto 2005).

Penetrasi cahaya dapat terhalang oleh turbiditas air yang disebabkan melimpahnya populasi fitoplankton (alga bloom) dan partikel-partikel padatan terlarut. Apabila penetrasi cahaya tidak dapat mencapai dasar kolam atau tambak, akan menghambat tumbuhnya algae berfilamen dan tumbuhan air pengganggu pada dasar kolam. Sampai batas tertentu melimpahnya fitoplankton tertentu sangat menguntungkan karena kebutuhan pakan alami tercukupi (Boyd 1991).

2.3.3 Stres

Stres yaitu suatu keadaan saat suatu hewan tidak mampu mengatur kondisi fisiologis normal karena berbagai faktor merugikan yang mempengaruhi kondisi kesehatannya. Sehingga stres didefinisikan sebagai pengaruh segala bentuk perubahan atau tantangan lingkungan yang mendorong homeostatik atau proses-proses penyeimbang lainnya melebihi batas kemampuan normal segala tingkatan organisasi biologis (Irianto 2005).

(32)

2.3.4 Kelebihan Populasi (overcrowded) atau Multikultur

Penyakit infeksi menjadi ancaman utama keberhasilan akuakultur. Pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat pada area yang terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung berkembang dan penyebarnya penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebaran tinggi akan menyebabkan ikan mudah stres sehingga menyebabkan ikan menjadi mudah terserang penyakit, selain itu kualitas air, volume air dan alirannya berpengaruh terhadap berkembangnya suatu penyakit. Populasi yang tinggi akan mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan yang sakit dengan ikan yang sehat (Irianto 2005).

2.3.5 Sistem Imun Ikan Lele yang Rendah

Beragam faktor yang mempengaruhi masing-masing individu dalam menanggapi suatu patogen potensial. Patogen harus dapat menembus sistem imun ikan untuk dapat menimbulkan penyakit. Daya tahan alami (imun) memungkinkan suatu hewan menjadi terbebas dari serangan patogen karena tidak adanya jaringan spesifik atau reseptor seluler bagi kolonisasi patogen atau tidak mampu mendukung syarat-syarat optimum baik dari sisi kecukupan nutrien maupun lingkungan bagi pertumbuhan pathogen. Masing-masing individu hewan memiliki daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin, status nutrien dan stres. Saat ikan pada kondisi lemah (sistem imun rendah) dan pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan maka ikan akan rentan terserang patogen (Irianto 2005).

2.4 Penyakit-Penyakit Infeksius pada Ikan Lele

2.4.1 Parasit

(33)

menyerang ikan lele antara lain Ichthiophthirius multifiliis dan Argulus sp. Hasil penelitian yang dilakukan di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi diperoleh jenis-jenis parasit yang ditemukan menginfeksi benih ikan lele dumbo yaitu Trichodina spp.,Trichodinella spp., Ichthiophthirius multifiliis, Gyrodactylus spp., Cryptobia spp.. Sedangkan menurut Hariyadi (2006), parasit yang menyerang ikan lele yaitu Vorticella, Cryptobia sp., Trichodina, Ichthyophthirius multifiliis, Myxosporidea,

Gyrodactylus, Dactylogyrus, Branchionus, Metaserkaria dari trematoda digenea

dan Lytocestus parvulus.

1. Protoza

Epistylis spp.

Menurut Kabata (1985), Epistylis spp. digolongkan dalam filum Ciliophora, sub kelas Peritricha, ordo Peritrichida, sub ordo Sessilina, famili Epistylidae, genus Epistylis, spesies Epistylis spp..

Menurut Flynn (1973), tubuh berbentuk seperti kerucut dn mempunyai cilia di daerah ujung adoral. Organisme muda berenang bebas mempunyai cilia tambahan yang melingkar disekitar ujung posterior tubuh. Kabata (1985) menambahkan, Epistylis spp. mempunyai makronukleus lonjong seperti sosis, ciri perbedaan yang paling penting adalah tangkai yang tidak kontraktil. Selnya sendiri cukup baik untuk berkontraksi dan menarik kembali periostoma ke dalam sel.

(34)

pernafasan, pertumbuhan terhambat serta berat badan ikan menurun (Kabata 1985).

Eimeria

Menurut Woo (2006), Emeria digolongkan dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoasida, Subkelas Coccidiasina, Ordo Eucoccidiorida, Subordo Eimeriorina, famili Eimeriidae dan genus eimeria.

Eimeria spp. merupakan coccidia yang menginfeksi beragam jenis ikan air

tawar dan air laut serta menyebabkan penyakit coccidiosis. Emeria tidak hanya menginfeksi sel-sel epitel tetapi juga organ dalam termasuk gonad. Emeria subepitelia merupakan spesies emeria yang menginfeksi ikan-ikan cyprinid menyebabkan area bintik-bintik putih agak menonjol pada bagian saluran pencernaan anterior dan tengah. E. carpelli menginfeksi ikan cyprinid menyebabkan borok, hemoragi pada saluran pencernaan. Adapun E. sardinae menginfeksi ikan-ikan air laut menyebabkan reaksi granulomatous pada hati dan testis (Irianto 2005). Infeksi pada usus sering bersifat asimtomatis tetapi dapat menyebabkan nekrosa pada epitel usus dan enteritis. Inflamasi pada usus disebabkan oleh pembentukan ookista. Parasit ektraintestin dapat juga menyebabkan lesion dengan kerusakan sel target yang khas dan diikuti dengan inflamasi. Selain itu, infeksi juga terjadi pada organ reproduksi, hati, limpa dan gelembung renang (Noga 2000).

2. Trematoda Digenea

Anatomi Trematoda Digenea

(35)

Siklus Hidup

Menurut Noga (2000), siklus hidup dari trematoda digenea yaitu digenea dewasa menghasilkan telur yang keluar dari usus inang definitif (ikan, beruang atau mamalia), telur menetas menjadi mirasidium yang menginfeksi moluska (siput atau keong) sebagai inang antara. Serkaria berkembang dikeluarkan oleh moluska dan mengalami penetrasi pada ikan. Setelah menempati jaringan target, serkaria berubah menjadi metaserkaria dimana biasanya membentuk kista di jaringan. Ikan yang juga sebagai inang antara mengandung kista dari metaserkaria trematoda digenea dimakan oleh inang definitif kemudian metaserkaria berubah menjadi dewasa. Irianto (2005) menambahkan, trematoda digenea memiliki siklus hidup yang komplek dengan melibatkan sejumlah inang definitif. Ikan dapat berperan sebagai inang sementara dan inang definitif tergantung spesies trematoda digenea. Trematoda dapat berupa parasit ekternal atau internal pada berbagai macam organ.

Patogenesis

Kebanyakan digenea dewasa berada di dalam gastrointestinal, tetapi jarang menginfeksi gelembung renang, ovary, peritoneum, vesica urinaria atau sistem sirkulasi (Noga 2000).

Kerusakan inang biasanya terjadi selama serkaria migrasi yang menyebabkan hemoragi, nekrosis dan inflamasi di tempat migrasi dari serkaria, jika terjadi infeksi bersifat akut sangat fatal khususnya pada ikan kecil. Serkaria berpindah atau migrasi dari jaringan inang definitif dapat mengganggu fungsi organ. Metaserkaria dapat ditemukan di beberapa jaringan, tergantung pada spesies digenea yang menginfeksi. Metaserkaria dapat merusak nilai estetika dan menurunnya laju pertumbuhan pada ikan. Lesion terlihat bewarna putih atau kuning karena warna dari cacing, selain itu juga bewarna hitam karena hiperpigmentasi reaksi dari inang definitif (Noga 2000).

Metaserkaria trematoda digenea dapat berbahaya bagi ikan yaitu

Diplostomum yang metaserkarianya menginfeksi lensa mata ikan salmon dan ikan

(36)

pada ikan subtropis dan tropis selain itu juga menyebabkan morbiditas serius di Florida dan Israel (Noga 2000). Menurut Olson dan Pierce (1997), kista dari metaserkaria dapat menimbulkan respon pada inang definitif berupa proliferasi kartilago dari perikondrium dan respon fibroblastik pada jaringan insang, selain itu juga mengakibatkan hiperplasia epitel insang dan fusi (penyatuan) lamela insang sehingga terjadi kerusakan dan berkurangnya permukaan respirasi insang serta berkurangnya efisiensi difusi gas.

Beberapa trematoda digenea yaitu dari kelompok heterophyds

(Heterophyes, Haplorchis, Metagonimus) dan opisthorchids (Chlonorchis,

Opisthorchis) dapat menginfeksi manusia karena cacing ini bersifat zoonosis.

Manusia dapat terinfeksi dengan cara memakan daging ikan yang mengandung kista dari metaserkaria trematoda digenea yang tidak dimasak dengan baik atau sempurna dan tidak diasinkan (Noga 2000). Menurut Woo (2006), kasus pada manusia pernah dilaporkan di negara Israel dan Jepang menyebabkan laryngitis akut pada manusia.

2.5 Penyakit-Penyakit Non-Infeksius pada Ikan Lele

2.5.1 Defisiensi Vitamin

Vitamin E (tokopherol)

(37)

Perubahan patologi akibat dari defisiensi vitamin E yaitu terjadinya perubahan temperatur akibat respon patologi yang hebat, degenerasi hyalin pada otot, infiltrasi lemak subepikardial dan proliferasi fibroblas. Pemberian tekopherol dapat mencegah kondisi ini, tentu saja level tokopherol dalam jaringan ketika diberikan makanan suplemen 5-10 kali di atas syarat diet minimum (Roberts 2001).

2.5.2 Expose Bahan Toksik

Bermacam polutan dan logam berat menyebabkan perubahan morfologi insang pada ikan. Secara umum reaksi jaringan terhadap expose bahan toksik lingkungan menyerupai respon inflamasi (peradangan). Expose ikan terhadap logam berat, deterjen, nitropenol memperlihatkan pemisahan diantara sel epitel dan dasar sel pilar sistem, dimana dapat terjadi koleps integriti struktur lamela sekunder. Contohnya respon dari expose zinc pada ikan trout pelangi dan stickleback terlihat adanya “swelling”(membengkak) pada lamela sekunder dan pelepasan epitel lamela dari sel pilar sistem dan kerusakan sel epitel. Pada kasus berat ruang interlamelar dimana air secara normal disalurkan, dapat menjadi komplit menyebabkan hiperplasia sel epitel di filamen primer dan produksi mukus berlebihan (Leatherland 1998). Menurut Hoole et al. (2001), perubahan-perubahan yang akut pada jaringan insang akibat dari terpapar bahan-bahan toksik berupa fusi (peleburan) lamela dan piknosis sel-sel. Kasus-kasus kronis akan terjadi nekrosis, deskuamasi sel epitel, edema, dan ditandai dengan infiltrasi sel-sel granuler eosinofilik dan jenis leukosit yang lain. Kondisi-kondisi ini mengurangi efisiensi difusi gas dan fungsi insang yang lain dan dapat berakibat fatal.

Keracunan Pestisida

(38)

epitel lamela sekunder dan nekrosa sel epitel mengakibatkan gangguan respirasi dan osmoregulasi serta mengakibatkan kematian (Roberts 2001).

Ammonia

Ammonia lebih toksik dari nitrogen, dapat bersifat akut bagi ikan dan dapat mengakibatkan kematian. Ammonia di dalam air ada dua bentuk yaitu ion ammonia (NH4+) dan ammonia bebas (NH3). Ammonia bebas (NH3) lebih toksik dari pada ion ammonia. Ammonia akan meningkat pada kondisi temperatur dan pH air meningkat. Ammonia lebih toksik jika rendahnya level oksigen yang terlarut (DO). Jika air mengandung biomass yang signifikan seperti macrophytes dan algae pada saat terjadi fotosintesis dan respirasi (malam) akan mengakibatkan kenaikan atau penurunan level (DO) dan kenaikan atau penurunan level CO2 hal ini dapat mempengaruhi pH (Hoole et al. 2001)

Toksisitas dari ammonia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : spesies ikan, level ekposur dari ammonia bebas (NH3), periode ekposur dan beberapa efek aklimasi. Ikan yang terpapar toksik menyebabkan perubahan kimia darah diantaranya : peningkatan pH, gangguan osmolegulator dan kesulitan bernafas. Gangguan osmolegulator, peningkatan permeabilitas, dimana ikan harus mengimbanginya dengan peningkatan ekresi urin. Fakta menyatakan bahwa ammonia dapat merusak epitel insang, edema, deskuamasi epitel insang dan nekrosis. Level ammonia yang tinggi menyebabkan kematian yang akut pada ikan. Ini karena kerusakan epitel dan usus, menyebabkan hemoragi, mempengaruhi CNS dan tingkahlaku yang abnormal. Ekposur kronis level subletal dapat menyebabkan penurunan berat badan dan peningkatan kerentanan infeksi (Hoole et al. 2001).

2.6 Beberapa Perubahan Histopatologi

2.6.1 Inflamasi

(39)

bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, (4) migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan dan (5) pembengkakan sel jaringan, sedangkan menurut Roberts (2001), inflamasi merupakan suatu respon pertahanan jaringan yang rusak dan terjadi pada semua vetebrata. Respon inflamasi pada hewan tingkat tinggi ditandai dengan color, rubor, tumor, dolore dan function laeso (panas, merah, bengkak, sakit dan kehilangan fungsi).

Inflamasi dapat mengakibatkan pembatasan area yang terluka dari jaringan yang tidak mengalami inflamasi. Ruang jaringan dan cairan limfatik dalam daerah yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga sedikit saja cair yang melintasi ruang. Proses pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau produk toksik (Guyton and Hall 1996).

Menurut Spector (1993), inflamasi dapat akut yaitu umurnya pendek atau kronis yaitu berkepanjangan, tergantung kepada derajat luka jaringan. Underwood (1992) menambahkan bahwa inflamasi akut merupakan reaksi awal dari kerusakan jaringan, terjadinya dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, cairan dan sel keluar dari pembuluh darah serta adanya netrofil di jaringan yang meradang. Pada inflamasi kronis ditandai dengan : (1) adanya limposit, sel plasma dan makrofag predominan, (2) merupakan lanjutan dari inflamasi akut, (3) inflamasi granulomatos adalah bentuk spesifik dari inflamasi kronis dan kadang-kadang diikuti reaksi sekunder oleh amyloidosis.

2.6.2 Edema

Edema merupakan suatu kondisi dimana meningkatnya jumlah cairan dalam kopartemen jaringan interseluler. Edema terjadi pada jaringan ikat longgar (sub kutis) dan rongga-rongga badan (rongga perut dan di dalam paru-paru) (Underwood 1992).

(40)

inflamasi yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskuler, (2) peningkatan tekanan intravena, (3) obtruksi saluran limfatik, (4) hipoalbumin yang berkaitan dengan penurunan tekanan onkotik plasma.

2.6.3 Hemoragi dan Kongesti

Hemoragi (pendarahan) adalah kondisi yang ditandai dengan keluarnya darah dari dalam vaskula akibat dari kerusakan dinding vaskula. Kebocoran dinding ada dua macam melalui kerobekan (per reksis) dan melalui perenggangan jarak antara sel-sel endotel dinding vaskula (per diapedisis). Hemoragi per diapedisis umumnya terjadi pada pembuluh kapiler. Hemoragi per reksis dapat terjadi pada vaskuler apa saja, bahkan dapat terjadi bila dinding jantung robek atau bocor (Smith dan Jones, 1961).

Hemoragi kecil dimana berbentuk titik darah tidak lebih besar dari ujung peniti disebut ptechiae (tunggal, petechia). Hemoragi dengan spot yang agak besar di permukaan tubuh atau di jaringan disebut ekimosis (tunggal, ekimosis). Ektrafasasi merupakan hemoragi dalam jaringan yang sudah sangat menyebar (Smith dan Jones 1961) .

Hemoragi dapat disebabkan oleh : (1) trauma yaitu kerusakan dalam bentuk fisik yang merusak sistem vaskula jaringan di daerah benturan/ kontak, (2) infeksi agen infeksius terutama mengakibatkan septisemia, (3) bahan toksik yang merusak endotel kapiler, (4) faktor lain yang menyebabkan dinding vaskula lemah sehingga pembuluh darah rentan untuk bocor.

(41)

2.6.4 Degenerasi Otot dan Nekrosa

Degenerasi Hialin merupakan perubahan yang mengikuti cloudy swelling dan disebut juga nekrosis koagulasi. Nukleus kromatin berkondensasi dan menyebabkan lurik pada serabut otot menghilang. Serabut memperlihatkan suatu penampilan homogen dan efektif terhadap pewarnaan eosin. Serabut-serabut otot terhialinasi menjadi lebih rapuh dibandingkan serabut-serabut yang tetap utuh. Degenerasi hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot menyebabkan nukleus dekat dengan batas bagian terhialinasi dan bagian yang tetap utuh sering kali mengalami hiperplasia. Beberapa serabut otot yang telihat normal di dekat serabut-serabut yang terpengaruh hialinasi sering memperlihatkan pemisahan longitudinal yang frekuen (Takashima dan Hibiya 1995).

Degenerasi granuler merupakan perubahan paling berat yang muncul pada serabut otot dan dikenal sebagai nekrosis pencairan, yaitu degenerasi granuler yang mempengaruhi seluruh serabut atau hanya suatu bagian saja. Sarkoplasma menjadi granuler memperlihatkan suatu massa eosinofilik yang tidak beraturan di dalam sarkolema, adakalanya tetap jelas terlihat pada bagian serabut otot yang tidak terpengaruh. Kejadian umum terlihat pada serabut otot yang rusak, yaitu adanya infiltrasi fagosit. Serabut dengan fagosit yang memenuhi bagian-bagian terdegenerasi dikenal sebagai kantong-kantong berbentuk pipa (Tubular Bag). Serabut-serabut otot berdekatan dengan serabut yang terpengaruh oleh degenerasi ini juga memperlihatkan pemisahan longitudinal, hipertropi dan hiperplasia nukleus, tetapi tingkatnya lebih besar dibandingkan dengan degenerasi hialin pada serabut otot (Takashima dan Hibiya 1995).

(42)

proses ini disebut sebagai kariolisis. Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya fungsi pada daerah yang nekrosa. Pada beberapa keadaan daerah nekrotik dapat menjadi fokus infeksi yang merupakan medium pembiakan yang sangat baik bagi pertumbuhan organisme tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain di dalam tubuh, bahkan tanpa infeksipun adanya jaringan nekrosa di dalam tubuh dapat memicu perubahan sistemik tertentu misalnya peningkatan jumlah leukosit di dalam sirkulasi. Jaringan yang mengalami nekrosis dapat menginduksi respon peradangan dari jaringan yang berdekatan. Jaringan yang nekrosa akan hancur dan hilang memberi jalan bagi proses perbaikan yang mengganti daerah nekrotik dengan sel-sel yang beregenerasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya jaringan parut (Price dan Wilson 2006).

2.6.5 Proliferasi Sel Goblet

Sel goblet terdapat diantara sel absorbtif vili usus halus yang mengandung asam glikoprotein berfungsi untuk melicinkan dinding usus (Janquiera et al. 1997) dan berfungsi sebagai media pertahanan yang penting terhadap infeksi cacing (Tiuria et al. 2000), sedangkan pada insang terdapat pada epitel lamela primer bagian aferen dan eferen tepi lamela primer (Takashima dan Hibiya 1995) serta berfungsi sebagai pelindung atau proteksi, menurunkan terjadinya friksi dan gesekan, antipatogen, membantu pertukaran ion dan membantu pertukaran gas dan air (Irianto 2005).

Proliferasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan atau kenaikan jumlah sel yang nyata dalam jaringan (Price dan Wilson 2006). Menurut Tiuria et al. (2000), proliferasi dan hiperplasia sel goblet terjadi pada permukaan mukosa usus. Sel ini berasal dari sel bakal (stem sel ) yang terdapat pada dasar kripta, berdiferensiasi dan bermigrasi dari dasar kripta ke bagian atas vili yaitu lamina propria selanjutnya disalurkan ke dalam lumen.

2.6.5 Hiperplasia Lamela Sekunder

(43)

biasanya disebut “clubbing” pada lamela. Seluruh jarak antar lamela dipenuhi oleh sel-sel baru dan sering ditunjukkan dengan metaplasia mukoid mengakibatkan area respirasi menjadi berkurang (Roberts 2001).

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi serta Labratorium Helmintologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB dimulai dari bulan Juli - Agustus 2007.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) organ insang, otot dan usus ikan lele yang telah difiksasi dalam BNF (Buffer Netral Formalin) 10%, (2) pewarnaan Haematoksilin-Eosin, (3) xylol dan minyak emersi, (4) objek gelas dan cover gelas, (5) mikroskop, (6) kamera untuk dokumentasi, (7) akuarium.

3.3 Metode Penelitian

(45)

100%

Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang yaitu hiperplasia lamela sekunder yang merupakan perubahan histopatologi paling banyak ditemukan yaitu pada 17 sampel dari 17 sampel ikan yang diambil, berikutnya diikuti oleh kongesti 16 sampel, edema 13 sampel, proliferasi sel goblet 10 sampel, deskuamasi epitel insang 8 sampel, kerusakan tulang rawan 8 sampel, hemoragi 6 sampel dan yang paling sedikit kista dari metaserkaria trematoda digenea 5 sampel (Gambar 2).

Gambar 2. Frekuensi lesio histopatologi organ insang ikan lele (Clarias spp.)

Hiperplasia Lamela Sekunder

(46)

ringan terjadi hanya sebahagian kecil dari lamela sekunder insang yang mengalami penebalan.

Hiperplasia lamela sekunder disebabkan karena habitat ikan lele yang hidup di perairan berlumpur, rawa, telaga, sawah yang tergenang air dimana kualitas airnya buruk. Menurut Camargo dan Martinez (2007), kontaminasi air oleh aktifitas manusia seperti pertanian dan industri yang mengandung beranekaragam polutan organik dan inorganik diantaranya minyak, logam berat, pestisida dan pupuk menyebabkan perubahan kualitas air dan ganguan kesehatan pada ikan. Perubahan histopatologi insang ikan yang terpapar polutan berupa hiperplasia sel epitel dan terangkatnya epitel lamela insang. Pada kasus berat mengakibatkan fusi pada beberapa lamela sekunder, hipertropi sel epitel dan bentuk lamela insang menjadi tidak beraturan (Gambar 3). Faktor lain yang dapat menyebabkan hiperplasia lamela sekunder yaitu ammonia dalam bentuk NH3 yang berasal dari ekresi metabolisme pakan yang bersifat toksik bagi ikan serta bisa diikuti infeksi sekunder oleh bakteri. Kista dari metaserkaria trematoda digenea juga dapat menyebabkan hiperplasia lamela sekunder. Hal ini dapat dilihat dari 5 sampel ditemukan kista dari metaserkaria trematoda digenea yang terdapat di dalam filamen kartilago insang. Menurut Woo (2006), kista dari metaserkaria trematoda digenea menginduksi hiperplasia epitel insang dan penebalan filamen insang.

Menurut Roberts (2001), hiperplasia lamela biasanya berkaitan dengan peningkatan jumlah dan migrasi sel malpighian di lamela primer. Hiperplasia lamela sekunder juga berkaitan dengan edema pada lamela dan hipertropi sel epitel serta terjadi perubahan bentuk sel pilar, tetapi faktor utama yaitu peningkatan jumlah sel kloride yang meluas sampai ke permukaan lamela sekunder sehingga terjadi penebalan pada lamela sekunder. Akibat dari penebalan lamela sekunder area respirasi menjadi berkurang, selain itu juga terjadi gangguan pertukaran ion di epitel dan terganggunya fungsi normal sel kloride.

(47)

(48)

Edema dan Deskuamasi Epitel Insang

Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi pada organ insang didapatkan 13 sampel ikan lele terjadi edema pada lamela insang dari 17 sampel ikan lele yang diambil. Edema yang terjadi pada insang mulai dari yang ringan sampai yang berat. Enam sampel mengalami edema berat sisanya mengalami edema ringan sampai sedang, sedangkan deskuamasi epitel pada lamela primer dan sekunder ditemukan pada 8 sampel ikan lele dari 17 sampel yang diambil. Deskuamasi yang terjadi mulai dari ringan sampai berat. Edema dan deskuamasi yang berat terjadi jika hampir seluruh lamela sekunder insang mengalami edema dan deskuamasi, sedangkan edema dan deskuamasi ringan terjadi hanya sebahagian kecil lamela sekunder insang yang mengalami edema dan deskuamasi.

(49)

(50)

Kongesti dan Hemoragi

Kongesti menempati urutan kedua paling banyak dari perubahan histopatologi yang terjadi pada insang yaitu 16 sampel, sedangkan hemoragi lebih sedikit yaitu 6 sampel. Kongesti dan hemoragi yang terjadi pada insang mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat. Insang yang mengalami kongesti berat 4 sampel, sedangkan yang mengalami hemoragi yang berat 2 sampel sisanya mengalami kongesti dan hemoragi yang ringan sampai sedang. Kongesti dan hemoragi berat terjadi jika hampir seluruh bagian insang mengalami kongesti dan hemoragi, sedangkan kongesti dan hemoragi ringan terjadi jika sebahagian kecil insang yang mengalami kongesti dan hemoragi.

(51)

Gambar 5. Kongesti (panah hitam) dan hemoragi (panah biru). Pewarnaan

(52)

Parasit

Berdasarkan pengamatan, didapatkan kista dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filamen kartilago insang sebanyak 5 sampel dari 17 sampel ikan yang diambil. Infeksi dari metaserkaria trematoda digenea yang membentuk kista mulai dari ringan sampai berat. Satu sampel mengalami infeksi berat, sedangkan empat sampel mengalami infeksi ringan sampai sedang. Infeksi yang berat terjadi jika kista dari metaserkaria trematoda digenea banyak ditemukan di dalam filamen kartilago insang, sedangkan infeksi yang ringan terjadi jika kista dari metaserkaria trematoda digenea sedikit ditemukan di dalam filamen kartilago insang.

(53)

(54)

Proliferasi Sel Goblet

Berdasarkan pengamatan, didapatkan 10 sampel dari 17 sampel ikan lele yang diambil mengalami proliferasi sel goblet. Proliferasi sel goblet terjadi mulai dari rendah sampai tinggi. Tiga sampel mengalami proliferasi sel goblet yang tinggi dan sisanya rendah sampai sedang. Proliferasi sel goblet tinggi terjadi jika jumlah sel goblet insang meningkat secara signifikan, sedangkan proliferasi sel goblet rendah terjadi jika jumlah sel goblet yang meningkat hanya sedikit dan tidak begitu signifikan.

Proliferasi sel goblet pada insang yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel goblet insang (Gambar 7) disebabkan karena respon terhadap adanya kista dari metaserkaria trematoda digenea. Ini terlihat pada insang ditemukan kista dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filmen kartilago insang, selain itu juga proliferasi sel goblet bisa disebabkan karena terpapar bahan kimia organik (pestisida dan deterjen) serta ammonia. Menurut Hoole et al. (2001), jumlah sel-sel mukus juga meningkat akibat respon atas infeksi atau peradangan parasit dan kualitas air yang buruk. Sel-sel mukus membebaskan material mukusnya ke permukaan epitel untuk melindungi jaringan insang. Irianto (2005) menambahkan, sel goblet merupakan sejumlah sel-sel tunggal berbentuk buah pear atau oval dan menghasilkan mukus dan terdapat pada lengkung insang, filamen insang maupun lamela sekunder. Mukus merupakan glikoprotein yang bersifat basa atau netral dengan fungsi pelindungan atau proteksi serta anti patogen. Proliferasi sel goblet yang terjadi pada insang merupakan mekanisme pertahanan dari selaput lendir insang pada ikan yang terinfeksi akibat respon dari adanya parasit dan bahan asing seperti bahan-bahan kimia organik.

(55)

Gambar 7. Proliferasi sel goblet pada insang (panah biru). Pewarnaan HE, 1 bar = 40 μm

Kerusakan Tulang Rawan (Kartilago) Insang

Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel mengalami kerusakan tulang rawan pada insang dari 17 sampel ikan lele yang diambil. Lima diantaranya terdapat kista dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filamen kartilago insang.

(56)

Gambar 8. Kerusakan tulang rawan insang (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 60 μm

2. Usus

(57)

diikuti oleh deskuamasi sel epitel usus 8 sampel, infeksi parasit 5 sampel dan yang paling sedikit yaitu hemoragi 3 sampel (Gambar 9).

(58)

Tabel 1. Jumlah Sel Goblet pada Usus Ikan Lele (Clarias spp.) Sampel (lele) Jumlah sel goblet

1 70

(59)

menghambat kolonisasi mikroorganisme pada mukosa usus. Mukus mengandung imunoglobulin (IgM) yang dapat menghancurkan patogen yang menginvasi. Ini merupakan mekanisme pertahanan usus untuk mengeluaran suatu antigen atau bahan asing dari dalam tubuh sehingga bisa terbebas dari bahan asing tersebut.

Gambar 10. Proliferasi sel goblet pada usus (panah biru). Pewarnaan HE,

(60)

Gambar 11. Kongesti (panah biru), hemoragi (panah hitam) pada usus gambar atas dan deskuamasi epitel usus (panah biru)

gambar bawah. Pewarnaan HE, 1 bar = 40 μm

Kongesti dan Hemoragi

(61)

hemoragi paling sedikit ditemui yaitu pada 3 sampel. Kongesti yang terjadi mulai dari yang ringan sampai sedang, sedangkan hemoragi terjadi mulai dari yang ringan sampai berat. Satu sampel mengalami hemoragi yang berat dan yang lainnya mengalami hemoragi ringan sampai sedang. Kongesti dan hemoragi berat terjadi jika hampir seluruh bagian usus mengalami kongesti dan hemoragi, sedangkan kongesti dan hemoragi ringan terjadi jika sebahagian kecil usus yang mengalami kongesti dan hemoragi.

Hemoragi yang terjadi pada usus bisa disebabkan oleh masuknya bahan atau benda asing bersama makanan yang dapat menyebabkan lesio di usus dan terjadinya hemoragi. Menurut Irianto (2005), Eimeria yang menginfeksi ikan juga bisa menyebabkan borok, hemoragi pada saluran pencernaan. Infeksi berat yang ditandai dengan banyaknya cacing dewasa dari trematoda digenea di dalam usus dapat menyebabkan terjadinya kongesti akibat dari tertekannya pembuluh darah di usus oleh cacing dewasa trematoda digenea. Kongesti pada usus secara histopatologi ditandai dengan banyaknya eritrosit yang berada di pembuluh darah, sedangkan hemoragi ditandai dengan eritrosit sudah keluar dari pembuluh darah dan berada di jaringan usus (Gambar 11).

Deskuamasi Epitel Usus

Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel terjadi deskuamasi epitel usus. Deskuamasi epitel yang terjadi mulai dari yang ringan sampai sedang. Deskuamasi epitel sedang jika deskuamasi yang terjadi pada usus lebih banyak dibandingkan deskuamasi ringan tetapi tidak sebanyak deskuamasi yang berat, sedangkan deskuamasi epitel ringan terjadi jika hanya disebahagian kecil usus yang mengalami deskuamasi epitel.

(62)

Gambar 12. Perasit pada epitel usus (panah merah) dan infiltrasi sel-sel radang (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 40 μm

Parasit

(63)

76,47%

ringan sampai berat. Satu sampel mengalami infeksi berat sisanya ringan sampai sedang. Parasit menginfeksi epitel usus membentuk sarang-sarang bergranul merah. Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa disekitar sarang-sarang parasit ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang merupakan respon pertahanan tubuh terhadap infeksi parasit (Gambar 12).

Parasit ini belum teridentifikasi dengan pasti, kemungkinan oocysta yang bersporulasi dari Eimeria yang menyebabkan coccidiosis pada ikan. Menurut Philbey dan Ingram (1991), coccidia di usus berada di mukosa lamina epitelia dan lamina propria. Biasanya disekitar sarang dari coccidia diinfiltrasi oleh sel-sel radang pada bagian lamina propria. Menurut Woo (2006), Eimeria ditemukan di usus ikan umumnya menginfeksi epitel usus. Oocysta dari ikan yang terinfeksi coccidia akan bersporulasi ketika hidup di tubuh ikan, infeksi yang berat menyebabkan letargi dan penurunan berat badan ikan.

3. Otot

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perubahan histopatologi yang ditemui pada organ otot adalah degenerasi otot sampai nekrosa 13 sampel diikuti edema dan deskuamasi epitel 8 sampel serta infeksi oleh parasit 4 sampel (Gambar 13).

(64)

Degenerasi Otot Sampai Nekrosa

Degenerasi otot sampai nekrosa merupakan perubahan histopatologi yang paling banyak di temukan di organ otot ikan lele yaitu 13 sampel. Degenerasi otot yang terjadi berupa degenerasi hialin, selain itu juga ditemukan nekrosa pada otot. Degenerasi otot disebabkan karena faktor defisiensi nutrisi terutama defisiensi vitamin E. Menurut Roberts (2001), perubahan patologi akibat dari defisiensi vitamin E yaitu terjadinya perubahan temperatur akibat respon patologi yang hebat, degenerasi hialin pada otot, infiltrasi lemak subepikardial dan proliferasi fibroblas.

Menurut Takashima dan Hibiya (1995), degenerasi hialin merupakan perubahan yang mengikuti cloudy swelling dan disebut juga nekrosis koagulasi. Nukleus kromatin berkondensasi dan menyebabkan lurik pada serabut otot menghilang. Serabut memperlihatkan suatu penampilan yang homogen dan efektif terhadap pewarnaan eosin (Gambar 14). Serabut-serabut yang terhialinasi menjadi lebih rapuh dibandingkan serabut-serabut yang tetap utuh, jika degenerasi hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot menyebabkan nukleus dekat dengan batas bagian yang terhialinasi dan bagian yang tetap utuh sering kali mengalami hiperplasia. Beberapa serabut otot yang telihat normal di dekat serabut-serabut yang terpengaruh hialinasi sering memperlihatkan pemisahan longitudinal yang frekuen.

(65)

dengan sel-sel yang beregenerasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya jaringan parut (Price dan Wilson 2006).

Gambar 14. Degenerasi hialin (panah hitam) gambar atas, edema (panah biru) dan nekrosa pada otot (panah hijau) gambar bawah. Pewarnaan

(66)

Edema

Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel terjadi edema pada organ otot. Menurut Guyton dan Hall (1996), edema pada otot disebabkan karena depresi sistem metabolik, inflamasi dan tidak adanya nutrisi untuk sel, contohnya jika aliran darah ke jaringan menurun sehingga pengiriman oksigen dan nutrien berkurang mengakibatkan pompa ion membran sel menjadi tertekan maka ion natrium yang biasanya masuk ke dalam sel tidak dapat lagi dipompa keluar sel. Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa otot yang mengalami edema terlihat serabut-serabut otot menjadi merenggang dan diisi oleh cairan edema (Gambar 14).

Menurut Gavin dan Zachary (2007), edema juga dapat terjadi pada jaringan yang mengalami peradangan atau stimuli imunologi. Peradangan atau stimuli imunologi menginduksi terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas diinduksi oleh mediator diantaranya histamin, bradikinin, leukotrienes dan substan P, dimana mediator ini dapat menyebabkan sel endotel kontraksi dan celah interendotel melebar sehingga cairan dengan kandungan protein tinggi keluar dari celah interendotel masuk ke jaringan yang mengalami peradangan. Price dan Wilson (2006) menambahkan, peningkatan tekanan hidrostatik cenderung memaksa cairan masuk ke dalam ruang interstisial tubuh sehingga dengan alasan ini kongesti dan edema cenderung terjadi secara bersamaan. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya edema adalah penurunan tekanan osmotik intravaskuler. Keseimbangan cairan bergantung pada sifat-sifat osmotik protein serum, jika terjadi penurunan konsentrasi protein dapat mengakibatkan edema. Edema dapat menyebabkan pembengkakan pada jaringan yang mengalami peradangan karena terjadi akumulasi dari cairan.

Deskuamasi Epitel Integumen

(67)

perlukaan. Kerusakan epitel kulit dapat diikuti dengan infeksi sekunder oleh bakteri. Menurut Irianto (2005), kulit merupakan penghalang fisik terhadap lingkungan serta patogen dari luar tubuh, jika terjadi kerusakan pada kulit patogen akan dengan mudah masuk dan menginfeksi ikan.

Gambar 15. Deskuamasi epitel pada integumen (panah biru). Pewarnaan HE, 1 bar = 40 μm

Parasit

Hasil pengamatan histopatologi yang dilakukan pada organ otot didapat infeksi dari parasit sebanyak 4 sampel. Parasit ini sejenis protozoa yang menginfeksi diantara serabut otot dan di permukaan integumen (Gambar 16). Tingkat infeksinya masih tergolong ringan hanya di sebahagian kecil dari otot maupun integumen. Parasit ini belum teridentifikasi dengan pasti, kemungkinan

Epistylis yang bersifat parasit obligat dan hampir tidak spesifik terhadap ikan

(68)

Gambar 16. Parasit di permukaan integumen (panah biru) gambar atas dan parasit di otot (panah biru) gambar bawah. Pewarnaan HE, 1 bar = 20 μm

(69)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang ikan lele

(Clarias spp.) adalah hiperplasia lamela sekunder, kongesti, edema, proliferasi sel

goblet, deskuamasi epitel insang, kerusakan tulang rawan, hemoragi dan kista dari metaserkaria trematoda digenea. Perubahan histopatologi pada organ usus adalah proliferasi sel goblet, kongesti, deskuamasi epitel usus, infeksi parasit dan hemoragi, sedangkan perubahan histopatologi pada organ otot adalah degenerasi otot sampai nekrosa, edema, deskuamasi epitel integumen dan infeksi oleh parasit.

5.2 Saran

(70)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele (Clarias batrachus). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian.

Boyd, C E. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta.

Camargo, M M P dan Martinez C B R. 2007. Histopathology of Gill, Kidney and Liver of A Neotropical Fish Caged in An Urban Stream. Neotropical Ichthyology 5 (3) : 327-336.

Dana, D dan Angka S L. 1990. Masalah Penyakit Parasit dan Bakteri pada Ikan

Air Tawar Serta Cara Penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional II

Penyakit Ikan dan Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Flynn, R J. 1973. Parasit of Laboratory Animals. The Iowa State University Press/Ames, USA.

Gavin, M D dan Zachary J F. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. Mosby Elsevier, USA.

Guyton, A C dan Hall J E. 1996. Fisiologi Kedokteran. Edisi IX. EGC, Philadelphia.

Hariyadi, P. 2006. Inventarisasi Parasit Lele Dumbo Clarias sp di daerah Bogor

[skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Hoole et al.. 2001. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes. Fishing New Books, Oxford.

Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 243 hal.

Janquiera, L C et al..1971. Basic Histology. Second Edition. Lange Medical Publication, California. 468 hal.

(71)

Leatherland, J F. 1998. Fish Diseases and Disorders. Volume 2 : Non-Infectious Disorders. CABI Publishing, USA. 386 hal.

Nabib, R dan Pasaribu F H. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bogor. 158 hal.

Noga, E J. 2000. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Iowa State Press, USA. 366 hal.

Olson, R E dan Pierce J R. 1997. A Trematoda Metacercaria Causing Gill Cartilage Proliferation in Steelhead Trout from Oregon. Journal of Wildlife 33 (4) : 886-890.

Philbey, W dan Ingram A. 1991. Coccidiosis due to Goussia lomi (Protista: Apicomplexa) in Aquarium-reared Murray cod, Maccullochela peeli (Mitchell), (Percichthyide). Journal of Fish Disease 14 : 237-242.

Price, S A dan Wilson L M. 2006. Patofisiologi. Edisi VI. Volume I. EGC, Philadelphia.

Roberts, R J. 2001. Fish Pathology. Third Edition. W.B.Saunders, London, Edinburgh, Philadelphia, St Louis, Sydney, Toronto. 472 hal.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifiksi Ikan. Bina Cipta, Jakarta.

Smith, H A dan Jones T C. 1961. Veterinary Pathology. Lea & Febiger, Philadelpia.

Soetomo, M H A. 1987. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Sinar Biru, Bandung. 109 hal.

Spector, W G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Supriyadi, H et al.. 1986. Parasit pada Ikan Lele di Jawa Barat (Clarias sp.). Buletin Penelitian Perikanan darat. Vol. 5., Bogor.

Suyanto, S R. 1986. Budidaya Ikan Lele. Cetakan IV. Penebar Swadaya, Jakarta. Takashima, F dan Hibiya T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and

Pathological Features. Edisi II. Kodansha Ltd, Tokyo. 195 hal.

Tiuria, R et al.. 2000. Pengaruh Infeksi Cacing Ascaridia Galli Terhadap Respon

Sel Goblet dan Sel Mast pada Usus Halus Ayam Petelur. Majalah

(72)

Underwood, J C E. 1992. General and Systematic Pathology. Churchill Livingstone, New York.

Woo, P T K. 2006. Fish Diseases and Disorders. Volume 1 : Protozoa and Metazoa Infections. Second Edition. CABI Publishing, USA.

Gambar

Gambar 5. Kongesti (panah hitam) dan hemoragi (panah biru). Pewarnaan             HE, gambar atas 1 bar = 60 μm dan gambar bawah 1 bar = 40μm
Tabel 1. Jumlah Sel Goblet pada Usus Ikan Lele (Clarias spp.)
Gambar 11. Kongesti (panah biru), hemoragi (panah hitam) pada usus                               gambar atas dan deskuamasi epitel usus (panah biru)        gambar bawah

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan yang disebabkan oleh infeksi Iridovirus pada organ otak, mata, insang, jantung, limpa, usus, pankreas, hati,

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) perubahan gejala klinis, patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) yang dimulai pada jam ke-2 pi dari organ- organ kulit, insang,

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) perubahan gejala klinis, patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) yang dimulai pada jam ke-2 pi dari organ- organ kulit, insang,

Gambar 9 mikroanatomi insang Clarias batrachus yang terpapar limbah cair pewarna batik dengan konsentrasi 25 ppt kerusakan yang terjadi antara hiperplasia lamela

Penelitian mengenai “Identifikasi Bakteri Aeromonas hydrophila Serta Pengaruhnya Terhadap Histopatologi Organ Insang Pada Ikan Lele Dumbo ( Clarias gariepinus )”

Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan patologi yang disebabkan oleh infestasi cacing parsitik pada organ insang dan usus ikan Bunglon Batik

Dari penelitian yang dilakukan telah didapatkan hasil preparat histopatologi yaitu , insang dan kulit benih ikan lele yang sehat sebagai kontrol, insang dan kulit benih ikan

Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Koki Berdasarkan pengamatan, perubahan struktur histologi yang ditemukan di organ insang yaitu hiperplasia, nekrosis dan kongesti serta tingkatan